BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1....

21
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1. Permasalahan Pada dasarnya kehendak utama manusia diarahkan untuk mencapai kebahagian. Kebahagiaan adalah tujuan dari setiap perjalanan kehidupan manusia. Berbagai jalan ditempuh oleh manusia untuk mencapainya. Di sisi lain, dalam upaya menuju kebahagiaan itu manusia tersentak oleh penderitaan. Ketersentakan itu terjadi karena penderitaan ada diluar kehendak manusia, di luar orientasi hidup manusia, di luar proyeksi kehidupan manusia. Secara umum, penderitaan adalah fenomena universal yang dihadapi oleh manusia. Penderitaan merupakan salah satu keadaan eksistensial dalam kehidupan. Penderitaan dengan demikian menjadi bagian dari historisitas manusia. Jika penderitaan menjadi bagian dari historisitas manusia maka penderitaan turut berperan dalam pembentukan jati diri manusia. Penderitaan dalam hal ini mengganggu proyeksi pemikiran manusia akan dunia yang dikehendakinya. Dunia yang dikehendaki bagi dirinya menyatu dengan pembentukan jati dirinya. Jadi, pada dasarnya pembentukan jati diri dipengaruhi oleh cara manusia

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1....

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

1. Permasalahan

Pada dasarnya kehendak utama manusia diarahkan untuk mencapai

kebahagian. Kebahagiaan adalah tujuan dari setiap perjalanan kehidupan

manusia. Berbagai jalan ditempuh oleh manusia untuk mencapainya. Di

sisi lain, dalam upaya menuju kebahagiaan itu manusia tersentak oleh

penderitaan. Ketersentakan itu terjadi karena penderitaan ada diluar

kehendak manusia, di luar orientasi hidup manusia, di luar proyeksi

kehidupan manusia.

Secara umum, penderitaan adalah fenomena universal yang

dihadapi oleh manusia. Penderitaan merupakan salah satu keadaan

eksistensial dalam kehidupan. Penderitaan dengan demikian menjadi

bagian dari historisitas manusia. Jika penderitaan menjadi bagian dari

historisitas manusia maka penderitaan turut berperan dalam pembentukan

jati diri manusia. Penderitaan dalam hal ini mengganggu proyeksi

pemikiran manusia akan dunia yang dikehendakinya. Dunia yang

dikehendaki bagi dirinya menyatu dengan pembentukan jati dirinya. Jadi,

pada dasarnya pembentukan jati diri dipengaruhi oleh cara manusia

memberi makna terhadap kenyataan di sekelilingnya termasuk

penderitaan.

Oleh karena itu, ada dua alasan filosofis masalah penderitaan

merupakan topik penting untuk diteliti. Pertama, kenyataan penderitaan

membuat manusia menyadari keterbatasan diri, saat yang menyadari

keterbatasan memahami kenyataan yang berada di luar kendalinya. Kedua,

kenyataan penderitaan mengundang manusia terus merefleksikan hidupnya

dan caranya memahami kenyataan yang transenden.

Sikap manusia terhadap penderitaan itu berbeda-beda. Penderitaan

sebagai yang dimaknai sebagai sisi negatif dari kehidupan cenderung

dihindari dan diabaikan. Di sisi lain, penderitaan yang dianggap positif

memberikan makna baru terhadap kehidupan yang dihadapi manusia itu

sendiri. Kedua sisi ini turut terbentuk dari struktur dasar pemikiran

manusia sehingga turut membentuk jati diri manusia.

Pencarian makna penderitaan sepanjang sejarah peradaban manusia

tentu tidak menyelesaikan masalah penderitaan. Ditilik dari sebabnya

penderitaan itu bersifat eksternal dan juga internal. Pembedaan sebab dari

penderitaan ini pun tidak mutlak menjelaskan penderitaan. Penderitaan itu

ada ketika disadari atau penderitaan berlangsung dalam kesadaran

manusia. Manusia dan penderitaan adalah dua hal yang tidak terpisahkan.

Masing-masing saling berkaitan dan saling melengkapi. Manusia tidak

menarik diri dari penderitaan dan penderitaan tak dapat dijelaskan lepas

dari manusia, keduanya terbingkai dalam identitas kemanusiaan.

Fenomena penderitaan ini menggairahkan manusia dengan segala

kemampuan rasionya menelusuri sebab dari penderitaan itu. Simpul-

simpul refleksi diarahkan ke Sang Illahi yang ditempatkan sebagai yang

berkuasa atas dunia ini. Dimanakah Allah? Mengapa Allah membiarkan

penderitaan terjadi? Mengapa penderitaan menimpa orang baik, tidak

berdosa, bahkan yang baru menghirup aroma kehidupan?

Teodise abad pertengahan menginterpretasikan penderitaan sebagai

akibat dari dosa. Dosa sebagai kejahatan manusia. Penderitaan merupakan

konsekuensi dari dosa. Allah sebagai yang Maha Baik dan Mahakuasa

memberikan hukuman berupa penderitaan kepada manusia yang berdosa.

Pemahaman ini memberikan tekanan psikis bagi orang-orang yang

melakukan kesalahan dan dianggap sebagai nasib yang layak diterima

(Sudarminta, 2008:198).

Kaum ateisme memandang penderitaan dan kejahatan menjadi

point penting mendukung argumen mereka tentang ketiadaan Allah.

Masalah penderitaan selesai, tidak ada Allah, jadi tidak ada jawaban atas

penderitaan. Penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh filsafat

mendukung adanya Allah pun tidak menyelesaikan pertanyaan

tentangukuran dan jumlah penderitaan yang begitu raksasa.

Salah satunya refleksi yang dilakukan oleh Hegel bahwa tanpa

negativitas segi-segi positif eksistensi tidak memperoleh bobot yang

sebenarnya. Nada yang sama disampaikan Frans Magnis (2006: 227)

bahwa “penderitaan adalah biaya pelaksanaan sebuah nilai yang lebih luas.

Tanpa penderitaan, perkembangan makhluk hidup menurut kodratnya

tidak akan mungkin”. Secara sederhana dipahami, tanpa penderitaan

kehidupan tidak akan berbobot. Tanpa penderitaan, tidak ada tanggung

jawab, tidak ada pengorbanan, tidak ada kesetiaan, dan tidak ada

solidaritas.

Pertimbangan-pertimbangan teologis filosofis ini memang

membuat manusia mengerti bahwa adanya keburukan dan penderitaan

merupakan implikasi kehendak Allah untuk menciptakan manusia.

Pengertian ini pun belum menyelesaikan persoalan penderitaan yang

sedemikian melimpah. Penderitaan yang dimaksudkan adalah penderitaan

individual masing-masing orang sebagaimana disaksikan dalam

lingkungan keluarga, lingkungan kerja dan lingkungan bermasyarakat.

Semua pertimbangan-pertimbangan tadi masih kurang memadai dan

kurang sedap ketika berhadapan dengan kelimpahan penderitaan (Magnis-

Suseno, 2006: 227-228).

Karl Theodor Jaspers adalah salah satu filsuf yang membahas

tentang penderitaan. Penderitaan dalam pemikirannya termasuk dalam

situasi batas (boundary situation). Situasi batas itu tercermin dari

kematian, penderitaan, nasib, kegagalan, perjuangan dan kekurangan-

kekurangan dunia. Jaspers menjelaskan bahwa justru dalam situasi batas

eksistensi manusia nampak. Eksistensi itu nampak ketika manusia

memutuskan atau menentukan pilihan terhadap hidupnya. Keputusan itu

menandainya sebagai manusia yang bebas dan harus memutuskan dalam

ketidaktahuannya. Manusia berhadapan dengan transendensi dalam

ketidaktahuannya. Kehadiran transendensi dimaknai dalam situasi batas

manusia. Penderitaan itu mendua. Di satu sisi, semua bentuk penderitaan

merusak dasein (manusia) sedikit demi sedikit. Pada sisi lain, menjadi

sesuatu yang baik, yaitu kesempatan bagi eksistensi untuk berkembang.

Situasi penderitaan membuat manusia dapat menjadi dirinya sendiri

dibandingkan dengan situasi keberuntungan yang cenderung membuat

manusia semakin dangkal (Hamersma, 1985:13-15).

Filsafat eksistensi dimulai dengan pertanyaan: Aku ini siapa?

Apakah yang saya ketahui? Apakah yang harus saya lakukan? Jaspers

memberikan titik tolak dari pemahaman manusia akan dirinya sendiri

dalam dunia. Manusia “aku” sebagai subjek yang tidak terjangkau oleh

penelitian ilmiah dalam arti sesungguhnya, dan hal yang sama juga

berlaku tentang dasar dunia. Di dalam dunia, manusia sama sekali tidak

menemukan dasar yang teguh sehingga manusia harus melampaui dunia

untuk mendasari diri sendiri (Weij, 1988:144).

Metafisika atau ontologi adalah salah satu cabang filsafat yang

menyelidiki hakikat di balik seluruh kenyataan. Metafisika cenderung

disamakan dengan ontologi dalam sejarah pemikiran filsafat. Menurut

Snijders (2009: 40), metaphysical insight dipakai dalam arti yang lebih

umum untuk membedakannya dengan scientifical insight, sedangkan

ontologi menunjuk pada pokok khusus dari metafisika

Ontologia adalah usaha paham (logos) tentang yang ada (on)

sejauh ada, maka menuju metaphysical insight. Metafisika menuju kepada

the ultimate unity or ground of everything, absolute being.

Penyelidikannnya merangkum cakrawala yang merangkum segala

cakrawala. Cakrawala yang melingkupi dalam pemikiran Jaspers disebut

sebagai All Encompassing (Das um Grefeinde) (Bakker, 1992:20).

Hakikat penderitaan dalam pemikiran Karl Jaspers ini akan

direlevansikan dengan penderitaan masyarakat Maluku pasca konflik.

Dampak yang ditimbulkan oleh konflik itu bukan hanya kerugian material

tetapi juga warisan immaterial. Warisan immaterial itu berupa

trauma.Warisan material di sisi lain yaitu segregasi wilayah pemukiman.

Akibatnya, komunikasi komunitas antar agama hanya berlangsung di

ruang-ruang publik seperti lembaga pendidikan dan tempat-tempat umum

(pasar, taman dll).

Hingga tahun 2014, masyarakat Ambon secara khusus masih hidup

dalam lingkungan yang tersegregasi. Segregasi (pemisahan) itu terbagi

berdasarkan agama, masing-masing komunitas beragama membentuk

wilayah pemukimannya. Walaupun konflik telah berakhir hampir sepuluh

tahun yang lalu tetapi proses integrasi (pembauran) penduduk di kota

Ambon tidak kunjung berhasil. Faktanya sebagian besar wilayah kota

Ambon (90%) masih dihuni oleh satu komunitas agama tertentu dan hanya

sebagian kecil wilayah (10%) yang penduduknya merupakan pembauran

(1999-2004) (Apituley, dkk, 2014: 13).

Fenomena konflik ini menjelaskan bahwa penderitaan turut pula

mempengaruhi perbedaan penghayatan masing-masing manusia dalam

pola relasinya. Kenyataan konflik membuat sebagian orang menderita

(trauma) tetapi sebagian orang justru berusaha melampaui penderitaan itu

dengan cara berdialog, membangun relasi antar-agama dan berusaha

menghayati kembali ajaran beragama yang lebih esensial.

2. Rumusan Masalah

1. Apa pemikiran filsafat Karl Jaspers tentang penderitaan?

2. Apa hakikat penderitaan Karl Jaspers dalam tinjauan ontologi?

3. Bagaimana kontribusi ontologi penderitaan dalam memahami

penderitaan Maluku pasca konflik?

3. Keaslian Penelitian

Peneliti hingga saat ini telah melakukan penelusuran terhadap

karya-karya yang berkaitan dengan Karl Jaspers dengan tema Boundary

situation, khususnya konsep penderitaan. Penelusuran dilakukan melalui

dua jalan yaitu penelusuran dalam literatur dalam bentuk fisik dan

penelusuran literatur terkait melalui internet.

Pertama, melalui penelusuran secara fisik, peneliti hanya

menemukan buku “Filsafat Eksistensi Karl Jaspers”tulisan dari Harry

Hamersma (terbitan tahun 1985) dan”Tahap-Tahap Bermetafisika Karl

Jaspers” dalam buku Metafisika Sistematik (terbitan tahun 2004) oleh Joko

Siswanto.

Kedua, melalui penelusuran internet, peneliti menemukan beberapa

temuan antara lain: buku “From Selfhood to Being“(terbitan tahun 2012)

karya Ronny Miron. Buku ini membahas perjalanan pemikiran Jaspers dan

analisnya terhadap diri melalui tahapan indrawi hingga tahapan metafsis

(https://www.academia.

Edu/2321772/karl_jaspers_from_selfhood_to_being diakses: Sabtu, 20

Desember 2014, Pukul 22.00 WIT). Buku kedua dengan pengarang yang

samaThe Desire Of Metaphysics (tahun 2014) (https://bu.academia.

Edu/RonnyMiron/the_desire_of_metaphysisdiakses:Sabtu 20 Desember,

Pukul 22:30). Buku ini membahas tentang kritikan Karl Jaspers terhadap

metafisika klasik yang mengusahakan ontologi sebagai paham.

4. Manfaat Penelitian

Objek material dari penelitian ini adalah konsep penderitaan dalam

pemikiran Jaspers dan ontologi sebagai objek formalnya. Tujuan dari

penelitian ini sebagai berikut:

a. Penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan ilmu secara umum

dalam memahami kenyataan manusia secara khusus dalam relasinya

dengan manusia lain.

b. Penelitian ini sangat bermanfaat bagi pengembangan studi,

khususnya filsafat dalam pengembangan wacana baru dan menjadi

sumber pengembangan pula untuk penelitian-penelitian berikutnya.

c. Penelitian ini juga berguna bagi pengembangan bangsa dan

negara karena penelitian ini memperkaya pemaknaan manusia

tentang penderitaan dan menganalisa persoalan penderitaan

dengan lebih jelas ditilik dalam kenyataan yang menyeluruh.

B. Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan dan menemukan pemikiran pokok filsafat Karl

Jaspers tentang penderitaan.

2. Melakukan analisis kritis dari sisi ontolologis tentang penderitaan

dalam pemikiran Karl Jaspers.

3. Merefleksikan penderitaan untuk menemukan kontibusinya dalam

memahami penderitaan masyarakat Maluku pasca konflik.

C. Tinjauan Pustaka

Istilah penderitaan secara etimologi berasal dari bahasa Sansekerta

dhra yang berarti menanggung atau menahan. Penderitaan dalam bahasa

Indonesia berasal dari kata “derita” yang berarti sesuatu yang

menyusahkan hati. Jadidipahami penderitaan adalah keadaan tidak

menyenangkan yang ditanggung oleh seseorang. Penderitaan dalam bahasa

Yunani digambarkan dengan istilah “paskho”. Istilah ini menjelaskan

penderitaan karena usaha pribadi yang hendak menanggung beban

seseorang atau tindakan yang membuat dirinya menderita.

James Jones (2010: 16-19) dalam bukunya Why do People Suffer?

menyatakan situasi personal yang dihadapkan dengan penderitaan.

Penderitaan diklasifikasikan kedalam beberapa bagian: pertama,

penderitaan mental. Penderitaan ini tidak memiliki objek atau sumber yang

jelas. Penderitaan mental terjadi tanpa alasan yang rasional. Kedua,

penderitaan emosional. Penderitaan ini bersifat universal karena

merupakan perubahan suasana hati yang dapat juga dipengaruhi oleh

lingkungan sekitar. Misalnya, rasa rendah diri, kebencian terhadap diri,

kehilangan orang terdekat. Ketiga, penderitaan fisik. Penderitaan fisik

terkadang pun menjadi baik ketika disadari menjadi sebuah peringatan.

Misalnya: sentuhan terhadap api membuat kulit terasa hangus dan sakit

tetapi sekaligus menjadi peringatan untuk tidak menyentuh api. Keempat,

penderitaan spiritual. Penderitaan spiritual berkaitan dengan keinginan diri

untuk menemukan makna bagi keberadaan diri. Pertanyaan yang

disampaikan seseorang ketika mengalami penderitaan ini: Dari mana

manusia berasal? Mengapa manusia ada? Bagaimana mengetahui batas-

batas manusia? Ke arah mana tujuan hidup manusia?

Pada umumnya, penderitaan adalah pengalaman paling mendalam

yang menggangu manusia. Victor Frankl (2003: 75) dalam bukunya Man

Search For Meaning menjelaskan bahwa menderita adalah bagian hidup

yang tidak dapat dihilangkan bahkan oleh nasib dan kematian. Tanpa

penderitaan dan kematian hidup manusia tidak akan lengkap. Orang-orang

yang melampaui penderitaan adalah orang-orang yang memiliki prestasi

batin. Ini merupakan tanda kebebasan spiritual sehingga dapat membuat

hidup lebih bermakna. Makna bersifat personal, unik dan dipenuhi sebagai

kebutuhan tertinggi manusia.

Budi Kleden (2006: xi) dalam bukunya Membongkar Derita

menyatakan bahwa persoalan penderitaan menyentuh rasio dan iman

manusia. Artinya, penderitaan menyentuh keseluruhan dimensi manusia.

Oleh karena itu, refleksi yang paling sesuai untuk membahas masalah

penderitaan adalah filosofis dan teologis. Kebutuhan kedua pendekatan ini

diperlukan karena beragam pertanyaan manusia seperti siapakah manusia?

Bagaimana asal dan tujuan kehadiran manusia? Mengapa ada keburukan?

Dimanakah Tuhan di hadapan seluruh kejahatan dan penderitaan?

Pertanyaan-pertanyaan ini menampilkan kegelisahan manusia

tentang hakikat kenyataan. Kata penderitaan memiliki gema yang berkaitan

dengan refleksi dan makna kehidupan manusia, sekaligus sebagai ancaman

bagi manusia untuk menemukan kebahagiaan. Penderitaan dengan

demikian merupakan keadaan yang menggangu keberadaan manusia dan

proyeksi kehidupannya. Penderitaan tidak dapat diacuhkan karena bersifat

negatif, tetapi penderitaan juga tidak dapat dipahami sebagai hukuman dari

Tuhan. Fenomena penderitaan secara filosofis harus ditilik mulai dari

manusia yang merefleksikannya sehingga hakikat filosofis penderitaan

dimengerti.

Penderitaan secara filosofis dibahas juga oleh Karl Jaspers. Konsep

penderitaan dalam pemikiran Jaspers termasuk dalam situasi batas. Situasi

batas dalam pemikiran Jaspers terdiri dari: kematian, penderitaan,

perjuangan, kegagalan dan kesalahan. Jonna bornemark (2006: 54) dalam

artikelnya berjudul Limit Situation menyatakan:

“Limit-situation concerns the specific individual as a foundational

structure. The paradoxes that the limit-situations carry are of

concern not only as an abstract mind-game but especially in factual

life”.

Pemikiran Jaspers dalam pemikiran filsafat ditempatkan dalam

filsafat eksistensialis sehingga konsep penderitaan berkaitan erat dengan

konsep eksistensi. Eksistensialisme memandang manusia terlahir sebagai

“ada” yang biologis, mekanis tetapi manusia harus menjadi eksistensi yang

mandiri dan bertanggung jawab terhadap setiap tindakannya (Flynn,

1995:5). Manusia (being) disituasikan oleh kondisi biologis dan status

sosial tetapi manusia terus berubah oleh kehendak bebas dan

transendensinya (Reynolds, 2006:3). Konsep-konsep ini dikembangkan

dari pemikiran Søren Kierkegaard. Konsep lain yang dikembangkan

kemudia juga adalah anxiety, authenticity and inauthenticity, choice,

commitment, freedom, and responsibility.

Jaspers menempatkan filsafat eksistensi sebagai suatu metafisika.

Problem utamanya adalah persoalan yang Ada. Manusia pertama-tama

harus sadar keberadaannya dalam situasi yang tidak pasti, dan karena itu

terbuka dengan kemungkinan. Manusia yang sadar dalam situasi demikian

ditantang untuk terus menerus mencari yang ada hingga menemukan

kepastian akan dirinya (Siswanto, 1998: 128). Landasan operasional

filsafat adalah kesadaran tentang “Yang Melingkupi”yang hadir melalui

keterbukaan pikiran terhadap ada dan hubungannya dengan pengetahuan.

Kesadaran “Yang Melingkupi” ini hadir melalui situasi batas (Michelman,

2008: 126).

Penderitaan justru bermakna dalam pemikiran Jaspers. Kurt

Salamun (2006: 8) dalam artikelnya yang berjudul Karl Jaspers,

Conception Of The Meaning Of life menyatakan bahwa:

“Jaspers focuses on the importance of "active suffering" which is

the opposite of resignation. It implies effort to be happy despite

suffering. Due to the "antinomial structure" of all life and reality,

human beings always have two basic options in confrontation with

boundary situations: an option of resignation, pessimism and

nihilistic despair, or in contrast, the option of optimistic confidence

in the meaning of life”.

Ulrich Diehl (2009: 4) dalam artikelnya berjudul Human Suffering

as a Challenge for the meaning of life menegaskan:

“The common moment of all Grenzsituationen is that they bring

about suffering; but the commont moment is also, that they let the

forces grow, which go along with the pleasures of existence, of

meaning, of growing. Suffering is not the one Grenzsituation among

others, but all o them turn into suffering under their subjective

point of view. Pleasure and suffering are unavoidably chained to

each other”.

Penderitaan adalah sebuah karakter dari batasan dalam hidup.

Penderitaan juga dihindari tetapi menghindari memahami penderitaan

sebagai bagian dari kebutuhan kehidupan manusia mengarah pada

penipuan diri dan kegagalan untuk melihat makna eksistensial dari

penderitaan. Sebaliknya, menerima penderitaan dan menghadapi

penderitaan dan menerima bahwa itu menandai bahwa penderitaan milik

manusia secara personal. Apapun pilihan kehendak seseorang dalam hidup,

jumlah penderitaan tidak dapat dihindari. Kebahagiaan belaka menjadi

tanpa makna atau kosong. Kebahagiaan sejati harus mengambil resiko dan

terbentuk lagi dengan penderitaan itu (Ulrich 2009: 36-39).

D. Landasan Teori

Ontologi dimengerti sebagai ilmu dari ‘yang ada” pada umumnya

yang mencakup beberapa isu yaitu hakikat dari eksistensi dan struktur

kategori dari setiap realitas. Keberadaan sebagai substansi dilacak dalam

kategori Aristoteles. Sistem ontologi yang lain mengusulkan skema lain.

Skema kategori menampilkan struktur hierarki, “ada” atau “yang ada”

sebagai kategori tertinggi yang mencakup segala yang ada. Skema lain

menampilkan pembagian yang ada antara yang “universal” dan partikular”

sebagai langkah lanjut dari skema hierarki. Pembagian lain juga adalah

“yang ada” sebagai abstrak dan kongkret (Roh dan Materi)” (Honderich,

2005: 670).

Filsafat tentang ta meta ta physica menurut Aristoteles berpusat pada

to on hei on (Metaphysica IV, 1; 1003a, 21). Artinya, pengada sekedar

pengada (a being as being). Kata Yunani on merupakan bentuk netral dari

oon dengan bentuk genetifnya ontos. Kata itu adalah bentuk partisipatif dari

kata kerja einai (“ada” atau “mengada”), jadi berarti: “yang ada atau

pengada”. Objek material bagi filsafat dalam hal ini terdiri dari segala-

galanya yang ada. Hal-hal itu ditinjau dalam segi-segi formal bukan saja

aspek yang terbatas, atau sekedar manusia atau dunia serta Tuhan tetapi

menurut sifat dan hal mengadanya. Oleh karena itu, walaupun Aristoteles

belum menggunakan nama itu tetapi di kemudian hari filsafat ini disebut

sebagai ontologi (Bakker, 1992: 16).

Pertanyaan tentang “mengada” muncul dari pemahaman tentang

kenyataan kongkret. Ontologi dengan demikian menanyakan sesuatu yang

dikenal. Pertanyaan itu ada karena ada yang namanya pra-pengetahuan

(Vorwissen). Pra-pengetahuan sebagai suatu pemahaman yang menuntun

untuk menemukan paham berikutnya. Paham adalah usaha manusia adalah

usaha kesadaran manusia menunaikan kemanusiaannya. Oleh karena itu,

filsafat sebagai refleksi terakhir yang ingin mengeksplisitkan dan

mensistematisasikan pra-pengetahuan tersebut. Ontologi dengan demikian

bergerak diatara dua kutub yaitu antara pengalaman akan kenyataan

kongkret dan pra-pengertian mengada yang paling umum. Jadi, refleksi

ontologis berbentuk suatu lingkaran hermeneutis antara pengalaman dan

“mengada” tanpa mana yang dikatakan terlebih dulu (Bakker, 1992: 21).

Buah dari metafisika adalah bukan pengetahuan melainkan

pemahaman. Oleh karena itu, seorang metafisikus adalah orang yang tidak

pernah menutup diri dari pandangan-pandangan metafisika lain. Suatu

masalah metafisika tidak dipisahkan dari data yang menjadi tahap pertama

menganalisa masalah. Data berkaitan dengan kondisi umum (pemahaman

umum) tetapi datum adalah sesuatu yang “diberi” dalam refleksi filsafat

(Taylor, 1992: 2).

Bakker (1992) dalam bukunya Ontologi atau Metafisika Umum

menjelaskan ontologi sebagai filsafat pengada atau dasar-dasar kenyatan.

Metafisika tetap dianggap sebagai filsafat tentang yang-ada atau pengada.

Persoalan dasar pengada diantaranya adalah apakah pengada itu satu atau

banyak? Apakah pengada memiliki ciri homogal yang bersifat transendental?

Apakah pengada memiliki permanensi atau kebaruan? Apakah pengada

berdimensi jasmani atau rohani? Apakah kehadiran pengada itu bernilai atau

tidak? Apakah dalam pengada ditemukan norma ontologis transendental yang

berlaku untuk semua? (Siswanto, 2004: 23). Ontologi umum dalam penelitian

ini dijadikan sebagai objek formal membahas kenyataan penderitaan dalam

pemikiran Jaspers dengan beberapa dimensi yang digunakan sesuai dengan

kenyataan penderitaan.

E. Metode Penelitian

1. Bahan atau materi Penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif bidang filsafat yang bersumber dari

data pustaka. Bahan dan materi penelitian ini akan diperoleh melalui

penelusuran pustaka yaitu buku-buku yang berkaitan dengan bahan

penelitian.

a. Bahan Primer

Karya Karl Jaspers yang berjudul Philosophy yang terdiri dari 3

Jilid.

1) Jilid I: Orientasi dunia

2) Jilid II: Penerangan Eksistensi

3) Jilid III: Metafisika

b. Bahan Sekunder

1) Karya Karl Jaspers yang berjudul:

a) A Way To Wisdom.

b) Truth and Symbol.

c) The Parenial Scope of Philosophy.

d) The Idea Of University.

e) Tragedy is not enough.

2) Buku dan tulisan yang membahas tentang pemikiran Karl

Jaspers:

a) Buku karya Harry Hamersma tentang Filsafat Eksistensi

Karl Jaspers.

b) Buku Karangan Filiz Pech tentang Death, Deathlessness

and Exitenz in Karl Jaspers Philosophy.

c) Tulisan Kurt Salamun Karl Jaspers Conception of

Meaning of Life (2006).

d) Tulisan Diehl, Ulrich berjudul Human Suffering as a

Challenge for the Meaning of Life (2009).

e) Tulisan Karya Joko Siswanto yang berjudul Tahap-tahap

bermetafisika Karl Jaspers dalam buku Metafisika

Sistematik (2004).

3) Buku yang membahas tentang eksistensialisme dan ontologi.

a) Buku karangan Marjorie Grene berjudul Dreadfull

Freedom “a critique of existentialism".

b) Historical Dictionary Of Existentialism ditulis oleh

Stephen Michelman.

c) Buku karangan Thomas Flynn yang berjudul An

Introduction to Existentialism.

d) Karya penelitian “Ontologi Eksistensialisme

Kontemporer” oleh Joko Siswanto.

e) Buku karangan Richard Taylor yang berjudul

Metaphysics.

c. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data primer dan data sekunder dalam

penelitian ini diperoleh dari koleksi perpustakaan filsafat

Universitas Gajah Mada. Sebagian data sekunder diperoleh dari

jurnal ilmiah dan ensiklopedia elektronik di internet yang telah

disertai referensi yang lengkap dari para penulis.

d. Langkah-Langkah Penelitian

1) Mengumpulkan data yang berkaitan dengan tema penderitaan.

Dalam langkah pertama ini peneliti mengumpulkan buku-buku

atau karya dari Karl Jaspers dan tulisan yang membahas

tentang konflik Maluku. Selain itu, data yang dikumpulkan

berkaitan dengan objek formal dari penelitian ini.

2) Data yang dikumpulkan kemudian diklasifikasikan untuk

menentukan jenis data utama (primer) dan data pendukung

(sekunder).

3) Data yang dikumpulkan selanjutntya akan dianalisis sesuai

dengan metode yang telah dipilih, yakni metode hermeneutika

dengan unsur metodis: deskripsi, analisis, refleksi, dan

heuristik.

4) Menyusun hasil penelitian.

5) Seminar hasil penelitian untuk memperoleh saran, kritik dan

masukan-masukan yang konstruktif.

6) Menyusun laporan hasil penelitian.

e. Analisis Data

Penelitian ini tergolong dalam model penelitian historis-faktual

mengenai tokoh. Metode yang digunakan dalam penelitian ini

yaitu hermeneutika filosofis dengan unsur-unsur metodis sebagai

berikut:

1) Deskripsi

Metode ini dipakai karena tipe penelitian ini adalah

penelitian kepustakaan yang bersifat deskriptif.

Konsekuensinya, metode ini secara otomatis akan mewarnai

seluruh penelitian ini mulai dari persiapan, pengumpulan

data, serta analisis data (Bakker, 1990: 65). Pada metode ini,

peneliti menguraikan secara teratur seluruh konsep Karl

Jaspers.

2) Analisis

Analisis adalah usaha menguraikan fenomena

penderitaan dalam pemikiran Karl Jaspers untuk

mengetahui unsur-unsur yang lebih bersifat khusus

sehingga diperoleh pengertian tentang hakikat penderitaan

yang komprehensif.

3) Refleksi

Penelitian ini menginspirasi peneliti untuk mengambil

jarak (distansiasi) tentang pemikiran Karl Jaspers demi

membentuk konsepsinya tentang manusia dan penderitaan.

Refleksi itu didasari model sistematis-reflektif (Bakker,

1990: 65).

4) Heuristika

Unsure ini digunakan dalam upaya memahami teks yang

akan diteliti. Berdasarkan bahan baru atau pendekatan baru,

diusahakan menemukan pemahaman baru atau interpretasi

baru pada Karl Jaspers.

F. Sistematika Penulisan

Bab I, berisi penjelasan secara umum dan garis besar keseluruhan

tulisan. Secara berurutan terdiri dari bagian latar belakang penelitian,

tujuan penelitian. Tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian,

hasil yang akan dicapai, dan sistematika penelitian.

Bab II, berisi pengertian sistematis tentang ontologi, objek formal,

dan objek material, persoalan-persoalan umum ontologi, dan aliran-aliran

utama ontologi.

Bab III, berisi pemikiran para tokoh yang mempengaruhi Karl

Jaspers dan pengaruh pemikiran di zamannya. Uraian singkat biografi

Jaspers, pemikiran eksistensialisnya.

Bab IV, berisi tinjauan pemikiran umum tentang penderitaan dalam

analisa ontologis Anton Bakker terhadap penderitaan dalam seluruh

kerangka pemikiran Karl Jaspers.

Bab V, merefleksikan ontologis penderitaan dan kontribusinya

dalam memahami penderitaan masyarakat Maluku pasca konflik.

Bab VI, berisi kesimpulan dan saran.