BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH....
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH....
-
1
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH. Pada era modern ini, ilmu pengetahuan dan tehnologi dianggap sebagai
soko guru kemajuan hidup. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi
masyarakat barat telah sampai kepada the post indrustrial society yaitu
masyarakat yang secara matrial telah tiba pada taraf makmur, peralatan-peralatan
terkendali secara otomatis dan mekanis.1
Tetapi disisi lain, kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan tehnologi
ternyata membawa ekses yang tak terelakan. Ini bias di lihat di berbagai kawasan
di atas bumi ini bahwa alam dan kekayaan banyak termanipulasi lingkungan
material di cekik oleh industrialisasi dan mekanisasi yang di rasakan dampaknya
oleh segenap segi kehidupan.
Ekses yang paling nyata adalah keamanan dan kehidupan manusia dan
segenap mahluk bumi lainya terancam oleh persenjataan. Kekayaan perut bumi di
kuras habis hingga tak dapat di perbaharui kembali, meminjam istilah Seyyed
Hossein Nasr manusia sering memperlakuakn bumi sebagai pelacur dakm rangka
pemuasan diri tanpa batas.2
Jurang antara kaya dan miskin di perlebar dengan pertumbuhan ekonomi
yang tidak merata, pada akhirnya masyarakat modern seperti ini tanpa disadari
integritas kemanusiaanya tereduksi karena mereka terperangkap dalam jaringan
sistem rasionalitas ilmu pengetahuan dan tehnologi yang mengabaikan moral,
sementara agama yang menanamkan keyakinan kepada manusia tentang adanya
kekuatan transcendental secara perlahan semakin terkikis, mereka menganggap
agama menjadi tidak relevan lagi dan tidak cocock di anut di masa modern.
Sistem rasionalitas ilmu pengetahuan telah mengantarkan kehidupan
manusia pada suasana moderisme, dengan kehidupan modern manusia berusaha
1 Ali Anwar, Hierarki Ilmu dan Pengaruhnya Terhadap Kebahagiaan Kajiaan atas
Pemikiran Seyyed Hossein Nasr, Empirisme Journal Pemikiran dan Kebudayaan Islam Vol.13 No. 1juli 2004 (Kediri; STAIN Kediri 2004) hlm 126.
2 Abdurrahman Masud, Menggagas Pendidikan Nondikotomok; Humanis Relegius Sebagai Paradigma Islam (Yogyakarta; Gama Media,2002) hlm 52-53.
-
2
menemukan dirinya sebagai kekuatan yang dapat menyelesaikan persoalan-
persoalan hidupnya, manusia di pandang sebagai mahluk yang bebas, independent
dari tuhan dan alam bahkan masyarakatnya sendiri.3
Manusia barat sengaja membebaskan dirinya dari tatanan ilahiyah
(theomorphisme) untuk selanjutnya membangun tatanan yang semata-mata
berpusat pada manusia (antropomorpisme), bahkan lebih gila lagi Nietzsche
pernah mengatakan God is death intinya manusia ingin menjadi raja yang
bebas dan menentukan nasibnya sendiri tanpa disibukan oleh persoalan yang
bersifat spiritual-trasendental.
Namun ironisnya justru manusia modern barat pada akhirnya tidak mampu
menjawab persoalan hidupnya sendiri, proses modernisasi yang di jalankan
ternyata tidak selalu berhasil memenui janjinya mengangkat harakat
kemanusiaanya dan sekaligus memberi makna yang lebih mendalam bagi
kehidupan4, mereka di hinggapi rasa dan ketidak bermaknaan hidup, ada sesuatu
yang rancau dalam kehidupanya, mereka kehilangan visi keilahiaan dan
mengalami kehampaan spiritual, mereka menderita keterasingan (aliansi), baik
teraliansi dari dirinya, lingkungan social dan dari tuhannya. Mereka tidak
mengetahui makna dan tujuan hidup, meminjam istilah cak Nur masyarakat
modern menalami kepanikan epistimologi5.
Konsep ilmu pengetahuan dan tehnologi modern telah mengalami
desakralisasi pengetahuan yakni pengetahuan yang mereka agung-agungkan bias
membawa kebahagiyaan ternyata malah berbalik arah justru membawa kepada
kegilasahan, halini karena konsep pengetahuan telah terceraikan dengan aspek
spiritual sebagai akibatnya manusia modern telah kehilangan sense of wonder
yang mengakibatkan lenyapnya pengetahuan tentang kesucian.6
3 Roger Garaudy, Promesses DelIslam, terj H.M Rosyidi, (Jakarta; Bulan Bintang, 1985)
hlm 75. 4 Arnold J Toybee, Surviving The Future, terj Nin Bakdi Sumanto, (Yogyakarta; Gajah
Mada Univercity Press, 1988) hlm 60. 5 Nurcholis Majid, Islam Doktrin Peradaban ; Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah
Keimanan dan Kemoderenenan, (Jakarta ;Yayasan Wakaf Paramadina, 1992) hlm 58 6 Seyyed Hossein Nasr, Pengetahuan dan Kesuciaan, terj Suharsono dkk (Jakarta;Inisiasi
Press,2004) hlm 2.
-
3
Lalu bagaimana dengan umat Islam dengan konsep keilmuanya? Konsep
pengetahuan Islam yang dianggap bersentuhan dengan nilai-nilai teologis, terlalu
beroriantasi pada religuitas dan spritualitas tanpa memperdulikan betapa
pentingnya ilmu-ilmu umum yang dianggap sekuler.
Demi menjaga identitasnya dalam persaingan budaya global, para ilmuan
muslim bersikap definisif dengan mengambil posisi konservatif-statis, yakni
dengan melarang segala bentuk inovasi dan mengedepankan ketaatan fanatik
terhadap syariah (fiqh produk abad pertengahan) yang di anggap telah final.
Mereka melupakan sumber kreatifitas yakni ijtihad bahkan mencanangkan
ketertutupan.
Sikap keilmuan muslim tersebut pada akhirnya menimbulkan pemisahan
wahyu dan akal, pemisahan pemikiran dari aksi dan cultural, bahkan
menimbulkan stagnasi keilmuan di kalangan mereka, sedemikian sehingga
dampak negative dari model keilmuan Islam sendiri tidak kalah membahayakan di
banding konsep ilmu pengetahuan barat.
Dengan demikian ilmu-ilmu non agama atau keduniawian (profan)
khususnya ilmu-ilmu alam dan eksakta ( merupakan akar-akar pengembangan
sains dan tehnologi) sejak awal perkembangan madrasah dan al- jamiah sudah
berada dalam posisi termarjinalkan, meski Islam pada dasarnya tidak
membedakan nilai-nilai ilmu agama dan non agama, tetapi dalam prakteknya
supremasi lebih di berikan kepada ilmu-ilmu agama, ini disebabkan sikap
keagamaan dan kesalehan yang memandang ilmu agama sebagai jalan tol
menuju Tuhan.7
Memang sebelum kehancuran aliran theology Mutazilah pada masa
khalifah abasyiah al-Makmun (198-218) M mempelajari ilmu-ilmu umum yang
bertitik tolak dari nalar dan kajian-kajian empiris bukan sesuatu yang tidak ada
sama sekali dalam kurikulum madrasah, tetapi dengan pemakruhan untuk tidak
menyatakan pengharaman penggunaan nalar, setelah runtuhnya Mutazilah, ilmu-
ilmu umum yang di curigai itu di hapus dari kurikulum madrasah, mereka yang
7 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam ; Tradisi dan Modernisasi Menuju Melenium Baru,
(Jakarta; Logos Wacana Ilmu, 1999) hlm ix.
-
4
cendrung dan masih berminat kepada ilmu-ilmu umum itu terpaksa mempelajari
secara sendiri-sendiri atau bahkan di bawah tanah karena mereka di pandang
sebagai ilmu-ilmu subersif yang dapat dan akan menggugat kemapanan doktrin
Sunni terutama dalam bidang kalam (theologi) dan fiqh.8
Kenapa legalisme fiqh atau syariah bisa begitu dominan terhadap
lembaga-lembaga pendidikan islam ? Pertama karena dengan pandangan
ketinggian syariah. Kedua karena secara institusional lembaga-lembaga
pendidikan Islam oleh mereka yang ahli dalam bidang bidang agama berhasil
membagi struktur akademis yang cukup canggih dan elaboratif, karena itu dalam
kelembagaan madrasah yang baik misalnya ada Masyakhat al- Quran (
professorship keguruan al-Quran) Masyakhat al Hadist, an-Nahwu dan
sebagainya, sebaliknya tidak dikenal misalnya Masyakhat al-Kimiyah, at-Tib dan
mereka cukup terpadu plus di dukung institusi lembaga-lembaga pendidikan itu
sendiri, sehingga siap menangkis kemunculan (di pandang sebagai tantangan)
kaum ilmuan (sains) muslim yang tidak mempunyai dukungan institusional,
Ketiga hampir seluruh madrasah atau al-Jamiah didirikan dan dipertahankan
dengan dana wakaf baik dari dermawan kaya atau penguasa politik muslim,
motifasi kesalihan mendorong para dermawan untuk mengarahkan madrasah
bergerak dalam lapangan-lapangan ilmu-ilmu agama yang di pandang akan lebih
mendatangkan pahala ketimbang ilmu-ilmu umum, yang mempunyai aura profan
dan tak terkait begitu jelas dengan soal pahala.9
Jika dipandang semata-mata dari sudut keagamaan dalam pengertian
terbatas supremasi dan dominasi ilmu-ilmu agama yang dewasa ini, termasuk
ilmu-ilmu profan dalam batas tertentu, agaknya mengandung implikasi positif,
supremasi itu membuat tranmisi syariah yang merupakan salah satu inti Islam
dari generasi awal muslim kepada generasi berikutnya menjadi lebih terjamin,
cuma sayangnya supremasi syariah ini tidak berlangsung dalam cara yang
dinamis, seiring dengan semakin tingginya kecurigaan terhadap nalar, tranmisi
8 Ibid, hlm ix. 9 Ibid, hlm x
-
5
ilmu-ilmu keagamaan tidak berlangsung secara kreatif dan imajinatif, ijtihad
betapapun terbatasnya di cekik secara sempurna melalui pintu ijtihad itu sendiri.
Akibatnya syariah yang di tranmisikan melalui madrasah itu tidak lebih
dari upaya pengawetan, doktrin-doktrin yang sebagainya telah usang dan tidak
berbunyi ketika di hadapkan kepada realitas sosial yang terus berubah, disini
kemudian lembaga-lembaga pendidikan Islam diharapkan menjadi salah satu
faktor dinamis dalam masyarakat Islam justru menjadi bastion kubu kemapanan
yang dengan gigih membela kebekuan pemikiran dan keilmuan .
Jika dilihat dalm perspektif yang lebih luas supremasi ilmu-ilmu agama
menimbulkan dampak yang substansial, bukan hanya terhadap perkembangan
ilmu pengetahuan Islam, tapi juga peradaban Islam secara keseluruhan, secara
keilmuan perkembangan semacam ini menimbulkan dikhotomisasi dan
antagonisasi berbagai cabang ilmu.
Padahal menurut S.H Nasr berbagai cabang ilmu atau bentuk pengetahuan
di pandang dari perspektif Islam pada ahirnya adalah satu. Dalam Islam tidak
dikenal pemisahan esensial antara ilmu agama dan ilmu profan, berbagai ilmu
dalm perspektif intelektual yang di kembagkan dalam Islam memang mempunyai
suatu herarki, tetapi herarki ini pada ahirnya bermuara pada pengetahuan tentang
yang maha tinggi substansi dari segenap ilmu, inilah alasan mengapa para ilmuan
muslim mengintregasiakn ilmu-ilmu yang di kembangkan peradaban-peradaban
kedalam skema herarki ilmu pengetahuan menurut Islam.10
Jadi tak kala bagian-bagian besar ilmu-ilmu tersebut terjadi
pendikhotomian atau pemakruhan terciptalah kepincangan kepincangan yang
pada giliranya mendorong terjadinya kemunduran peradaban secara keseluruhan,
di barat sains unggul tapi rapuh dalam spiritual, dunia Islam unggul dalam
spiritual tapi gagap dalam sains.
M. Iqbal seorang penyair dan filosof muslim pernah menyindir sinis
kepincangan dua problem tersebut, dalam sairnya ia berdialog dengan Jalaludin
Rumi atas problem diatas,
10 Seyyed Hossein Nasr, Sains dan Peradaban di dalam Islam,terj Mahyudin, (Bandung;
Pustaka, 1986), hlm 42.
-
6
Mata yang memandang mencucurkan air mata darah;
Pengetahuan modern telah menjadi perusak agama .
Yang di jawab oleh Rumi,
Kalau kau terapkan pengetahuan hanya pada jasadmu saja;
Maka ia akan menjadi ular berbisa, tapi bila kau terapkan ia kehatimu, ia
akan menjadi temanmu.
Dalam konsep pengetahuan Islam Iqbal pernah bertanya sinis kepada Rumi,
Pikiran-pikiranku yang luhur tinggi menyentuh langit,
Tapi diatas bumi aku terhina, terhina dan sekarat
Aku tak mampu mengurus urusan urusan dunia ini
Dan aku terus-menerus menghadapi batu-batu penghalangan di jalanku
Mengapa orang-orang yang ahli agama tolol dalam masalah dunia.
Dan ia memperoleh jawaban yang menghancurkan ;
Siapa saja yang mengaku mampu berjalan di atas langit,
Mengapa baginya susah berjalan diatas bumi?11
Karena itu perlu usaha usaha untuk mempertemukan kelebihan di antara
keduanya sehingga lahir konsep ilmu pengetahuan yang canggih tetapi tetap
bersifat relegius dan bernafaskan tauhid.
Diantara pemikiran muslim kontemporer yang menganggap fenomena di
atas sebagai malapetaka yang mengancam kehidupan adalah Seyyed Hossein
Nasr, ia adalah seorang ilmuan produk Iran tradisional dan barat modern, yang
banyak memberi kritik atas krisis yang terjadi di barat dan merembes ketimur,
sebagi ilmuan yang mendapat dua pengaruh tradisi wajar kalau Nasr berusaha
untuk menjadikan Islam sebagai pusat semangat spiritual dan tempat menemukan
nilai-nilai hakiki kemanusiaan.
Nasr sebagai seorang pemikir muslim kontemporer terkemuka pada
tingkat internasional, dewasa ini banyak memberikan perhatiaan pada masalah-
masalah manusia modern, dan memberikan kritik yang cukup tajam. Melihat
11 Fazlu Rahman, Islam dan Modernitas; Tentang Transfomasi Intelektual, terj .Ahsin
Muhamad,(Bandung; Pustaka, 2000), hlm 67-68.
-
7
karya-karyanya, Nasr adalah pemikir yang memiliki karya yang sangat komplek
dan multidimensi, dengan sejarah ilmu pengetahuan sebagai spesialisasinya.12
Berangkat dari kenyataan diatas , penulis berasumsi bahwa Nasr hendak
menjadiakn Islam sebagai pemberi semangat spiritual kepada kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi , dengan memahami agama dan ajaranyan dengan
seksama dan menyeluruh sebagai suatu unitas, maka umat Islam akan mampu
membangun peradaban keemasan baru sebagai mana yang pernah di capai umat
Islam masa klasik, tentunya saluran yang paling pas adalah lewat pendidikan.
Melihat corak dan posisi pemikiran Nasr diatas , penulisan beranggapan
bahwa pemikiran Nasr menarik untuk di kaji, karena hal ini akan mempunyai arti
dalam mengurangi ekses ilmu pengetahuan modern yang saat ini merembes di
mana-mana.
Pokok permasalahan yang akan di kaji dalam penelitian ini adalah
bagaimana konsep pengetahuan menurut Nasr dan implikasinya bagi
pengembangan pendidikan Islam.
B. PENEGASAN ISTILAH.
Untuk menghindari bias pemahaman , maka perlu memberikan batasan-
batasan istilah sebagai penegasan judul.
Dalam bab ini akan di kemukakan mengenai pokok pokok istilah sebagai
berikut;
1. KONSEP.
Konsep berasal dari bahasa Inggris concept yang berarti buram;
bagan; rencana; pengertian. Kata ini dalam bahasa Indonesia di tulis
dengan konsep dengan arti ruang; rancangan; buram (surat). Adapun
yang dimaksud dalam judul ini adalah konsep dengan makna rancangan13.
12 Azyumardi Azra, Memperkenalkan Pemikiran Seyyed Hossein Nasr, ( Jakarta; Yayasan
Wakaf Paramadina, 1993) hlm, 35. 13 Wj.S. Poerwodarminta, Kamus Bahasa Indonesia,( Jakarta; PN Balai Pustaka, 1985)
hlm, 377.
-
8
2. ILMU PENGETAHUAN.
Ilmu Pengetahuan adalah segala sesuatu yang kita ketahui yang
belum teruji kebenaranya yang biasanya disamakan dengan opini atau
knowledge dalam bahasa inggrisnya14.
3. IMPLIKASI.
Implikasi berarti keterlibatan atau keadaan terlibat; apa yang
termasuk atau tersimpul; sesuatu yang di sugestikan tetapi tidak di
nyatakan .
Dalam judul ini yang di maksud dengan implikasi adalah
keterlibatan atau dengan kata lain pengaruh pengetahuan tersebut.15
4. PENDIDIKAN ISLAM.
Dalam kamus bahasa Indonesia di sebutkan bahwa pendidikan
merupakan proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau
sekelompok orang dalam usaha mendewasakan kepribadiaan melalui
upaya pengajaran dan latihan. Pendidikan berarti pula sebagai
pengembangan potensi yang terpendam dan tersembunyi. Dalam bahasa
Inggris pendidikan berasal dari kata education kemudian istilah ini
menjadi berkembang yang meliputi, a) Development in knowledge, skill,
ability, or character by teaching, training, study or expereance. b)
Knowlegde , skill, aballity, or character devoleped by teaching, training,
study, or experience. c) Science and art that deal with the pringsiples,
problem,ect,of teaching and learning.16
Sedangkan pendidikan Islam menekankan pada pemahaman
terhadap Islam sebagai suatu kekuatan yang memberi hidup bagi suatu
peradaban raksasa termasuk di dalamnya pendidikan.17 Ahmadi
memberikan pengertiaan pendidikan menurut pandangan Islam yaitu
14 Mulyadhi Kartanegara, Pengantar Epistimologi Islam, (Bandung; Mizan, 2003) hlm, 2. 15 Wj.S. Poerwodarminta, Op,Cit, hlm 520. 16 E.L Thorndhike, Clarence L. Barnthart, Advenceu Junior Dictionari, (New York;
Doubleday and Company Inc, 1965) hlm 257. 17 Hasan Lagullung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta; PT. Al-Husna Zikra, 2000)
hlm. 29
-
9
tindakan yang dilakukan secara sadar denagn tujuan memelihara dan
mengembangkan firah serta potensi (sumber daya) insani menuju
terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil).18
5. SEYYED HOSSEIN NASR.
Seyyed Hossein Nasr adalah Intelektual Islam lahir di Iran pada
tanggal 7 April 1933, Dia adalah salah satu dari sekian intelektual muslim
yang melanglang buana dalam pemikiran keislaman, dia menjadi salah
satu professor di tiga benua dalam bidang keahliaan filsafat, sejarah sains
Islam.19
C. RUMUSAN MASALAH.
Berdasarkan latar belakang maka penelitian ini akan memfokuskan kajian
pada konsep pengetahuaan S.H. Nasr dan implikasinya bagi pengembangan
pendidikan Islam, untuk menjawab permasalahan ini perlu dirumuskan kelompok
dalam sub-sub masalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah konsep Ilmu pengetahuan S.H Nasr ?
2. Bagaimanakah implikasinya bagi pengembangan pendidikan Islam?
D.TUJUAN PENELITIAN.
1. Tujuan penulisan skripsi.
Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, maka tujuan yang
hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah:
a. Untuk mengetahui bagaimana sebenarnya konsep Ilmu
pengetahuan S.H Nasr.
b. Untuk menggali konsep Ilmu pengetahuan S.H Nasr dan sejauh
mana implikasinya bagi pengembangan pendidikan Islam.
2. Manfaat penulisan skripsi.
Nilai guna yang dapat diambil dari penulisan skripsi ini adalah;
18 Ahmadi, Islam Paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta; Aditya Media, 1999) hlm,
16. 19 Zainul Hasan, Islam Tradisional; Kajian atas pemikiran Nasr, (Pamekasan; Journal
Studi Keislaman, Vol,V, No,I. STAIN Pamekasan, 2004) hlm, 341.
-
10
a. Sebagai usaha dalam mengembangkan sebuah tatanan model
pengetahuan yang tanpa mengenal batas.
b. Sebagai upaya mensinergikan dan mengenalkan konsep
pengetahuan bagi pengembangan pendidikan islam.
E. KAJIAN KEPUSTAKAAN.
Sampai sejauh ini kajian tentang pemikiran Seyyed Hossein Nasr sudah
cukup banyak, baik berupa penulisan dalam bentuk skripsi, buku dan journal
kebanyakan penulisan itu berkisar tentang konsep Tasawuf, Filsafat, Pengetahuan
dan Sains serta masalah Seni.
Dalam penulisan bidang sains dan epistimologi (teori pengetahuan) yang
berhubungan dengan penulisan skripsi ini pernah di tulis oleh Fathurahman
(4193081) dari Fakultas Ushuludin IAIN Walisongo Semarang dengan judul
Epistimologi menurut Seyyed Hossein Nasr di dalam tulisan itu diterangkan bahwa
telah terjadi pendikhotomian metode pencarian pengetahuan pasca renaisance yakni
dengan mengesampingkan aspek metafisik dalam arti pengetahuan telah mengalami
sekulerisasi.
Hampir sama juga penelitian yang pernah dilakuakn oleh Ali Maksum NIP
(150275405) IAIN Sunan Ampel yang mengambil tema Epistimologi Seyyed
Hossein Nasr Dalam Filsafat Islam, disana penulis menerangkan tentang pengalihan
landasan epistimologi dari Theosentris ke Antroposentris yang di lakukan pada
zaman modern ini yang merembes ke dunia islam.
Ali Anwar pernah menulis dalam Journal Empirisma Vol 13 NO 1 juli 2004
dengan judul Hierarki Ilmu dan Kebahagiyaan ( Studi atas pemikiran S.H Nasr) di
sana di terangkan kepanikan mayarakat modern akibat kesalahan dalam mengambil
epistimologi mereka mengalami kehampaan spiritual dan tidak bias mengahadapi
hidup, mereka merasa terasing dengan Tuhan, lingkungan bahkan dirinya sendiri,
dan dalam penulisan itu di jelaskan tentang akan pentingnya kembali ketradisi yakni
agama.
Melihat hasil penelitian-penelitian sebelumnya yang telah dipaparkan di atas
ternyata belum ada yang secara khusus mengkaji tentang Konsep Pengetahuan
-
11
Seyyed Hossein Nasr Dan Implikasinya Bagi Pengembangan Pendidikan Islam,
sedangkan yang membedakan pada penelitian ini dengan beberapa penelitian di atas
adalah di sini peneliti akan mengungkapkan pemikiran-pemikiran Seyyed Hossein
Nasr tentang pengetahuan dan Implikasinya bagi pengembangan pendidikan Islam.
F. METODE PENELITIAN.
1. Jenis Penelitin
Jenis penelitian ini adalah kepustakaan (Library Research), yaitu
dengan cara mengadakan studi secara teliti literatur-literatur yang
berkaitan dengan pokok permasalahan yang dibahas. 20
2. Pendekatan
Pendekatan yang dipakai dalam penelitian skripsi ini adalah
pendekatan faktual historis. Sedang yang dimaksud dengan faktual historis
yaitu suatu pendekatan dengan mengemukakan historisitas faktual
mengenai tokoh.21 Pemakaian pendekatan dengan berusaha membuat
interpretasi secara sistematis dan hipotesis.22 Pendekatan ini penulis
gunakan dalam mengungkapkan historisitas Seyyed Hossein Nasr tentang
konsep pengetahuan.
3. Sumber Data
Adapun sumber-sumber yang penulis gunakan sebagai berikut:
a. Sumber Primer, artinya
Sumber primer dalam penelitian ini adalah bahan utama yang di
jadikan refrensi yaitu pendapat Seyyed Hossein Nasr tentang konsep
pengetahuan yang tertuang dalam karya Knowlegde and Secred yang
diterjemahkan oleh Suharsono dengan judul Pengetahuaan dan
Kesuciaan yang di terbitkan oleh Pustaka Pelajar Yogyakarta 1997
20 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid I (Yogyakarta: Andi Offset, 1989) hlm 9 21 Anton Bekker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat
(Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 61 22 Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat (Jajarta: Raja Grifindo Persada, 1996), hlm.
134
-
12
yang kemudian di rilis ulang penerjemahan tersebut dengan judul
Intelegensi dan Spritualitas Agama-agama oleh Suharsono dkk,
diterbitkan oleh Inisiasi Press Jakarta 2004 serta karya-karya beliau
lainya yang ada hubunganya dengan pengetahuan.
b. Sumber Skunder, artinya
Sumber sekunder yaitu sumber-sumber lain yang membahas pemikiran
Seyyed Hossein Nasr yang dapat di temukan dalm berbagai journal
maupun majalah, seperti tulisan pada journal Studi Keislaman VOL V.
NO.I. STAIN Pamekasan 2004 yang menulis tentang biografi dan
pemikiranya tentang Islam Tradisional .
c. Sumber Tertier, artinya
Sumber tertier yaitu sumber penunjang dalam pembahasan skripsi ini,
yaitu literature-literatur lain yang berkaitan dengan judul skripsi diatas.
4. Metode Pengumpulan Data.
Metode pengumpulan data yang penulis gunakan adalah:
Dokumentasi yang di pakai penulis untuk menemukan data-data tentang
konsep Seyyed Hossein Nasr yang berhubungan dengan pengetahuan
5. Metode Analisis Data.
Untuk menganalisis data penulis menggunakan metode:
1.Metode Historis
Metode Historis yaitu metode merekonstruksi masa lampau secara
obyektif dan sistematis dengan mengumpulkan, mengevaluasi serta
mensitesiskan bukti-bukti untuk menegakan fakta.23 Penulis menggunakan
metode ini untuk mengungkap dan menganalisis historisitas Seyyed
Hossein Nasr beserta konsepnya tentang pengetahuan
2. Metode Interpretatif
23 Mohamad Nasir, Metodologi Penelitian, (Jakarta; Ghalia Indonesia, 1988) hlm 56.
-
13
Metode Interpretatif adalah menyelami buku dengan setepat
mungkin mampu mengungkapkan arti dan makna uraian yang di sajikan24.
Metode ini penulis gunakan untuk memahami dengan seksama pemikiran-
pemikiran Seyyed Hossein Nasr yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan.
3. Metode Analitik Kritis adalah mendiskripsikan, membahas dan
mengkritik gagasan primer yang selanjutnya di konfirmasikan dengan
gagasan primer yang lain dalam upaya studi perbandingan, hubungan dan
pengembangan model.25
Penulis menggunakan metode ini untuk mendiskripsikan
membahas dan mengkritik gagasan-gagasan Seyyed Hossein Nasr tentang
ilmu pengetahuan dengan memperbandingkan gagasan-gagasan beliau
yang lain.
G. SISTEMATIKA PENULISAN SKRIPSI.
Untuk mempermudah pemahaman dan menghindari kesalah fahamandalam
tulisan ini di bagi tiga bagian.
1. Bagian muka .
Pada bagian ini berupa sampul judul, persembahan, lembar nota
pembimbing, pengantar, pengesahan,moto, kata pengantar, daftar isi.
2. Bagian isi.
Pada bagian isi ini ada lima bab yang secara utuh dan berkaitan yaitu
sebagai berikut:
Bab I, Pendahuluan.
A. Latar Belakang Masalah
B. Penjelasan Istilah.
C. Rumusan Masalah.
D. Tujuan Penulisan.
E Telaah Kepustakaan.
F. Metodologi Penelitian.
24 Anton Bakker dan Ahmad Charis Zubair, Metode Penelitian Filsafat, (Yogyakarta;
Kanisius, 1990) hlm 63. 25 Anton Bakker dan Charis Zubair, Ibid, hlm 62.
-
14
Bab II, KONSEP DASAR ILMU PENGETAHUAN
A. Pengertian pengetahuan
B. Pembagian Pengetahuan
C. Dasar Ontologis Ilmu Pengetahuan
D. Dasar Epistemologi Ilmu Pengetahuan
E. Dasar Aksiologi Ilmu Pengetahuan
F. Kedudukan ilmu pengetahuan dalam Pendidikan Islam
Bab III, KONSEP PENGETAHUAN SEYYED HOSSEIN NASR.
A. Riwayat hidup Seyyed Hossein Nasr.
B. Karya-karya Seyyed Hossein Nasr.
C. Hakikat pengetahuan menurut Seyyed Hossein Nasr.
D. Sumber pengetahuan menurut Seyyed Hossein Nasr.
E. Jalan memperoleh pengetahuan. menurut Seyyed Hossein Nasr.
F. Pendidikan Islam menurut Seyyed Hossein Nasr.
Bab IV, ANALISIS DATA.
Konsep pengetahuan Seyyed Hossein Nasr dan implikasinya bagi
pengembangan pendidikan Islam.
A. Tradisi dalam pendidikan Islam.
B. Pendidikan Islam dan Modernitas
C. Pendidikan Islam dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan.
Bab V, KESIMPULAN
Berisis mengenahi kesimpulan dan saran-saran.
3. Bagian belakang.
Pada bagian belakang berupa daftar pustaka dan lampiran-lampiran.
-
15
BAB II
KONSEP DASAR ILMU PENGETAHUAN
A. DEFENISI PENGETAHUAN
Pada umumnya pembahasan tentang epistemologi26 (teori
pengetahuan) di mulai dengan penjelasan tentang defenisi sains,
pengetahuan, dan ilmu yang kesemua itu memerlukan pengertian yang jelas
karena ketiga istilah tersebut mempunyai konotasi yang sama yakni berkisar
tentang pengetahuan sesuatu sebagaimana adanya.
Namun seiring dengan perkembangan filsafat yakni tantang teori
pengetahuan (epistimologi) ada sesuatu yang menarik yaitu adanya
pembedaan antara teori pengetahuan Islam dengan barat, perbedaanya sangat
fundamental dan perlu penjelasan yang sangat jeli agar tidak menimbulkan
kekaburan dan kesalahfahaman, lebih-lebih era sekarang di mana wacana
ilmiah di dominasi oleh barat dan kebanyakan sarjana muslim hanya mengenal
teori dari barat dan jarang sekali yang serius mendalami teori-teori
pengetahuan Islam.
Kata science sebenarnya dapat saja diterjemahkan dengan ilmu, tanpa
ada perbedaan. Seperti kata science, kata ilmu dalam epistemologi Islam, tidak
sama dengan pengetahuan biasa saja, tetapi sebagaimana yang telah di
definisikan oleh Ibn Hazm ( W. 1064 M ) ilmu difahami sebagai pengetahuan
tentang sesuatu sebagaimana adanya, dan seperti science di bedakan dengan
knowlegde, ilmu juga di bedakan oleh ilmuan muslim dengan opini. Akan
tetapi di barat ilmu dalam pengetahuan ini telah di batasi hanya pada bidang
fisik-empiris dan dalam teori pengetahuan Islam ilmu tidak hanya mengkaji
26 Epistemology or the theory of knowledge is the branch of philosophy which is
concerned with the nature and scope of knowledge its presupposition and base and the general reliability of claim to knowledge. Paul Edwards, The Encyclopedia of Philosophy, Vol. III (Colliermas Millan, London, 1972 ), Hal. 8-9. Harun Nasution mendefenisikan bahwa epistemology adalah teori pengetahuan yang membahas apa itu pengetahuan dan bagaimana cara memperolehnya. Lihat Harun Nasution Falsafah Agama, ( Bulan Bintang, Jakarta, 1973 ), hal. 7
-
16
pada kajian fisisk-empiris tapi juga nonfisik dan metafisik, penyetaraann ini
dapat dilacak atas pernyataan Karier pengarang buku scientist of the mind
bahwa pada masa-masa abad ke-19 sains di fahami sebagai any organized
kowlegde atau sembarang pengetahuan yang terorganisasi termasuk teologi
dengan pengertian seperti ini sebenarnya kata ilmu harus di fahami.27
Untuk membahas agak rinci tentang defenisi dari ilmu dan sains serta
menentukan batasan-batasan apa yang di kajinya akan di bahas dahulu tentang
sains kemudian ilmu adapun mengenai opini atau rayi tidak akan di bahas
cukup di pahami sebagai pengetahuan umum yang belum teruji kebenaranya
atau barang kali bisa di katakan dengan common sense.
Menurut kamus Websters New World dictionary, kata sains berasal
dari kata latin, scire berarti mengetahui, secara bahasa scince berarti keadaan
atau fakta mengetahui dan sering di di ambil dalam arti pengetahuan
(knowlegde) yang di kontraskan dengan intuisi atau kepercayaan.28
Namun kata ini kemudian mengalami perkembangan dan perubahan
pemaknaan sehingga berarti pengetahuan yang sistematis yang berasal dari
observasi, kajian dan percobaan percobaan yang di kaji, dengan demikian
telah terjadi pergeseran makna sains dari pengetahuan menjadi pengetahuan
yang sistematis berdasarkan observasi indrawi. Tren ini kemudian mengarah
pada pembahasan lingkup sains hanya pada dunia fisik, hal ini dapat dirujuk
dengan pengertian sains sebagai pengetahuan yang sistematis tentang alam
dan dunia fisik.
Sebagai pengetahuan yang sistematis sains barangkali tidak begitu
unik karena semua ilmu seperti teologi dan metafisika, memang harus
sistematis dan organized. Karakter sains baru muncul ketika pengetahuan yang
sistematis tersebut harus muncul dengan; observasi dan yang di sebut dengan
27 Mulyadi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan; Pengantar Epistemologi Islam.
(Bandung: Mizan, 2003), hlm. 7 28 Webster New Word Dictionary Of The American Language. (Cleveland and New York:
The Publishing Company, 1962), hlm. 1305
-
17
observasi disini adalah observasi indrawi apakah keadaanya dengan alat indra
telanjang tanpa alat bantuan alat atau dengan alat dengan teleskop.
Sarat observasi inilah yang membuat sains harus bersifat empiris yakni
yang bisa dialami atau diamati secara indrawi, agar bisa bersifat empiris dan
dapat diukur maka objek yang dikaji adalah berupa alam dan dunia fisik atau
istilah August Comte positivistik, jadi sains haruslah positifistik, ini
merupakan ciri atau karakter dasar sains dan mempunyai dampak myang
sangat fundamental terhadap pandangan keagamaan seseorang yang bisa
membawa kepada ateisme.
Masih ada satu yang berkaitan denga karakteristik sains yaitu masalah
matematika. Jika sains harus bersifat fisik dan positifistik bagaimana dengan
kedudukan matematika, apakah matematika termasuk sains materinya-
subjeknya empiris atau tidak ? tampaknya matematika adalah masuk dalam
kategori sains, sehingga munculah istilah mathematical science dan tidak ada
keraguan bahwa matematika selalu berkaitan denga atau di abstraksikan dari
benda-benda fisik, walaupun pada dirinya tidak lagi bersifat fisik, namun
justru di sinilah letak persaratanya, jika materi-subjek matematika pada
dirinya bukan fisik, bagaimanakah matematika bisa di pandang sebagai sains
hal ini bukan karena alat atau insterumen sains ternyata jawabanya tidak
begitu jelas.
Menurut Paul Davies mengatakan bahwa para matematikawan
terpecah belah menjadi dua kelompok, ada yang menyatakan bahwa objek
matematika mempunyai status ontologis yang jelas seperti kaum platonis,
tetapi yang lain menolak status tersebut. Tapi matematika memang dimasukan
atau dapat diklasifikasikan kedalam ilmu-ilmu pasti (exact science), sifat
kepastian inilah dan bukan status ontologis objeknya yang barang kali menjadi
pembenaran matematika dimasukan kedalam kategori sains.29
29 Paul Davies, Membaca Pikiran Tuhan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2001), hlm. 54
-
18
Sekarang beralih kemasalah pengertian atau pembahasan masalah
ilmu, ilmu berasal dari kata alima yang artinya mengetahui, jadi kata ilmu
secara harfiah tidak berbeda dengan science yang berasal dari kata scire yang
artinya juga mengetahui. Ilmu bisa di definisikan pengetahuan sebagaimana
adanya, pengetian ini mengisaratkan bahwa ilmu tidak begitu saja sebagai
pengetahuan biasa yang didasarkan pada opini atau kesan keliru dari indra
tetapi ilmu merupakan pengetahuan yang telah teruji kebenaranya berdasarkan
bukti-bukti yang yang kuat dan tidak hanya berdasarkan praduga atau asumsi
dengan kreteria lain, ilmu sama dengan sains dalam hal sebagai pengetahuan
yang sestimatis dan organis.30
Namun kajian ilmu berbeda dengan sains kalau sains hanya berkutat
kemasalah empiris positifistik, ilmu melampauinya dengan tidak menjamah
masalah empiris saja tapi juga nonempiris seperi matematika dan metafisika.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa awalnya ilmu dan sains mempunyai
pengertian yang sama bahkan juga lingkup yang sama, namun kemudian sains
membatasi dirinya pada dunia fisik sedangkan ilmu masih tetap meliputi tidak
hanya fisik tetapi juga bidang matematika dan metafisika, adapun mengenai
opini seperti yang telah disinggung adalah pengetahuan umum atau sembarang
pengetahuan yang kebenaranya belum teruji melalui penelitian-penelitian
seksama.
Sering ada juga ungkapan bahwa ilmu tidak bertentangan dengan
agama, makanya tidak perlu dipertentangkan denganya, namun al-Quran
mensyinyalir adanya ilmu yang bermanfaat dan tidak, hal ini mengidenfikasi
bahwa ilmu yang berkembang sesuai dengan ajaran-ajaran agama jelas tidak
bertentangan, namun ilmu yang dikembangkan tanpa menghiraukan tuhan dan
para pendukungnya menolak tuhan atas nama ilmu harus diwaspadai.
Jadi tidak semua ilmu bersifat positif atau sportif terhadap agama
bahkan ada ilmu yang mempunyai pringsip yang bertentangan dengan
30 Mulyadi Kartanegara, Op Cit, hlm. 4
-
19
pringsip-pringsip agama dan ini harus di kritisi namun jika ilmu itu
menjelaskan fenomena alam sebagai tanda kekuasaan tuhan jelas bahwa ilmu
itu bukan hanya tidak bertentangan dengan agama melainkan harus dipandang
mulia dan sakral.
B. PEMBAGIAN PENGETAHUAN
1. Sains
Sebagaiman telah diketahui bahwa sains adalah pengetahuan yang
sistematis tentang alam dan dunia fisik jadi kebenarannya adalah berdasar
pada suatu yang riil, imbas dari lingkup sains yang hanya pada bidang fisik
empiris membuat pandangan dunianya bersifat sekuler materialistik dalam arti
kosmologi yang sains kenalkan adalah yang jauh dari unsur-unsur spritual
seperti Tuhan, malaikat dan ruh.31
Kosmologi sains adalah susunan kosmosfisik, manusia bahkan hanya
di pandang semata-mata sebagai mahluk fisik, manusia telah kehilangan
dimensi spritual bahkan bumi sendiri tidak mempunyai kedudukan istemewa
di taklukan sedemikian hebatnya di ibaratkan sebagai pelacur di kuras tanpa
memandang sebab akibatnya
2. Filsafat
Jika sains mengandalkan indrawi sebagai pemasok pengetahuan,
filsafat mengandalkan penalaran rasional, untuk kawasan yang di kaji filsafat
adalah lebih luas dari sains kalau sains hanya berkutat pada masalah fisik,
filsafat beroprasi pada level yang lebih tinggi dari sains yaitu metafisik.
Para ilmuan muslim mengatakan bahwa sains berkutat pada dunia
indrawi (al-mahsusat) sedangkan berkutat pada dunia akal (al-Makulat),
maka dari itu objek-objek filsafat berpusat pada ide-ide, pemikiran atau
konsep-konsep sehingga proses penelitianya lebih banyak melibatkan
penalaran rasional dari pada pengamatan atau observasi indrawi, makanya
filsafat lebih luas lingkupnya dari sains dan tentunya akan berbeda dengan
31 Mulyadi Kartanegara, Op Cit,hlm. 9
-
20
sains, dunia misalnya menurut para filosuf bukan sebagi realitas akhir
melainkan sebagai karya agung agen external yang telah sedemikian rapi dan
serasi sehingga alam bisa berjalan dengan dengan sedimikian kompak dan
serasi, agen external disini biasanya di sebut tuhan.32
Karena berbeda dengan sains maka berbeda pula para filosof dalam
memandang manusia, para filosof tidak memandang manusia sebagai hanya
mahluk fisik-kimia, tetapi di sebut sebagai mahluk makrokosmos, mahluk
yang bermartabat, bermoral karena diyakini bahwa manusia merupakan agen
yang punya kebebasan berkehendak atau memilih dalam bentuk tindakan
volunter yang hakiki, manusia adalah mahluk yang memiliki jiwa yang
independen dan bersifat spritual, sifat inilah yang nantinya akan di mintai
pertanggungjawaban di hadapan tuhan setelah mati.
3. Agama
Setelah memahami sains dan filsafat dan tahu wilayah kajianya serta
keunggulanya dan kekurangan, kajian selanjutnya adalah agama. Berbeda
dengan sains yang mengandalkan indra, filsafat mengandalkan rasio, agama
bersandar pada wahyu, yang berarti bersandar pada otoritas penerima wahyu
atau yang di wahyui yang disebut nabi atau rasul, maka dari itu pengetahuan
agama disebut dengan naqli (tranmitted) bukan aqli (rasional), tujuan ilmu
agama menurut Ibnu Khaldun33 bersifat praksis yaitu menjamin pelaksanaan
kehendak syariat, sedangkan ilmu-ilmu rasional bersifat teoritis karena ingin
mengetahui segala sesuatu sebagiman adanya.34
Karena berbeda dengan sains dan filsafat dalam sumber pengetahuan
maka agamapun mempunyai pandangan tersendiri yang tidak sama dengan
sains dan filsafat. Alam semesta misalnya menurut agama bukanlah realitas
32 Ibid, hlm. 12 33 Nama lengkapnya adalah Abdurrahman Abu Zaid Ibn Khaldun (732 H/ 1322 M-808 H
/ 1406 M) dikenal sebagai seorang filosof sejarah dan cendikiawan prilaku manusia, berasal dari Yaman dan menetap di Spanyol, ia sendiri lahir di Tunis tempat ia belajar agama dan filsafat dan ia tertarik dengan ajaran Nashirudin at Thusi. Seyyed Hossein Nasr, Sains dan Peradaban di dalam Islam, (Bandung: Pustaka Bandung,1986), hlm 40
34 Mulyadi Kartanegara, Op Cit, hlm. 15
-
21
independen apalagi terakhir tetapi menurut agama alam semesta merupakan
tanda-tanda (ayat) kebesaran dan keberadaan tuhan jadi mempelajari alam
adalah sama dengan mempelajari jejak-jejak ilahi dan karena itu pengkajian
akan dapat menambah keimanan kepada tuhan dan bukan penolakan terhadap
keberadaan tuhan seperti yang telah dilakukan saintis besar barat sepaerti
Darwin, Freud dan Laplace.
Dalam kacamata agama tuhan merupakan dzat yang bertanggung
jawab atas turunya hujan, menghidupkan bumi yang mati memancarkan air
dari tanah semua itu di gambarkan tuhan sebagai hasil langsung kerja tuhan,
namun kadang tuhan bekerja lewat perantara malaikat dengan berbagai
tugasnya. Apapun hubungan langsung dan tidak langsung antara tuhan dengan
alam yang jelas alam tidak akan bisa independen dari kebijaksanaan tuhan
atau tidak akan pernah absen dari unsur-unsur ilahi atau spritual, jadi
pandangan agama yang kaya ini berbeda dengan sekali dengan pandangan
dunia saintis yang sepi dan sunyi bahkan mati karena telah di bersihkan dari
unsur-unsur supernatural.35
Agama memandang manusia sangat istimewa seperti dalam filsafat,
manusia menurut agama adalah wakil tuhan yang di turunkan di muka bumi,
sebuah kedudukan yang sanat istimewa yang tidak pernah di berikan oleh
aliran filsafat humanisme, bahkan manusia di beri hak wewenang untuk
mengelola bumi asal sesuai dengan aturan ilahi.
Agama juga memberikan atas berbagai soal yang tidak bisa di jawab
oleh sains dan filsafat, misalnya masalah nasib, mati, keadaan alam qubur
hanya agama yang mempunyai otoritas untuk menjawab masalah-masalah
diatas.36
Jadi disini agama bisa memberi jawaban pengetahuan makna yang
lebih tinggi dan melengkapi pandangan sains dan filsafat, karena agama
35 Ibid, hlm. 15 36 Ibid, hlm. 16
-
22
menjawab dengan dengan bahasa simbol dan mistis yang sangat memperkaya
pandangan dunia, agama sebenarnya tidak perlu kuatir dan terdesak dengan
pandangan sains dan filsafat karena keduanya mempunyai kontribusi masing-
masing.
C. DASAR ONTOLOGI ILMU PENGETAHUAN
Koento Wibisono menjelaskan ontologi ilmu adalah meliputi apa
hakekat ilmu itu, apa hakekat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan
pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafat tentang apa dan
bagaimana (yang ) ada itu (being).37
Masalah utama dalam kajian ontologi ini adalah apa yang ada(what is
being), dimana yang ada dan apa kebenaran itu. Sedemikian mendasar dan
mendalamnya persoalan-persoaln ini sehingga manusia di hadapkan pada
jawaban yang berbeda-beda, semua itu adalah pilihan yang mendasarkan
keyakinan sehingga menimbulkan berbagai macam jawaban dan aliran.
Persoaln pertama , what is being ? memberikan alternatif yang
berbeda-beda sesuai dengan keyakinan mereka,(1) Monisme, yang ada hanya
satu, dan yang satu itu serba spirit atau idea maka akan melahirkan aliran
spritualisme atau idealisme, tetapi jika yang satu itu serba materi akan
melahirkan materialisme.(2)Dualisme, yang ada itu serba dua, misalnya jiwa
dan raga maka terlahirlah aliran eksistensialisme, dan (3) Pluralisme, menurut
aliran ini yang ada itu terdiri dari banyak unsur dan serba plural, (4) Yang ada
adalah sesuatu yang tidak dapat di ketahui, maka lahirlah aliran agnotisme.38
Persoalan yang kedua where is being ? . jawaban dari pertanyaan ini
adalah (1) yang bersemayam dalam dunia ide, yang bersifat abstrak tetap dan
abadi (2)yang ada bermulim di dunia ide, bersifat konkrit dan dan individual
sehingga kebenaran yang diperolehnya terbatas dan berubah-ubah.
37 Kunto Wibisono, Ilmu Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum Mengenahi Kelahiran dan
Perkembanganya Sebagai Pengantar untuk Memahami Filsafat Ilmu, makalah kuliah filsafat ilmu progam pascasarjana IAIN sunan kalijaga, 1996, p.6.
38 Ibid
-
23
Persoaln ketiga adalah what is truth?. Jika yang dimaksud kebenaran
itu kekal dan abadi, maka tidak ada jawaban kecuali kemutlakan dan
kekuasaan Tuhan, tetapi jika yang di maksud adalah kebenaran yang berubah-
ubah, maka persoaln yang muncul adalah bagaimana perubahan itu dan apa
yang menentukan perubahan itu.
Dasar ontologi yang bermula dari pertanyaan what is being? Pada
prosesnya memunculkan klasifikasi ontologik kedalam tiga bagian yaitu:
(1)ontologi bersahaja, segala sesuatu dipandang sebagai keadaan sewajarnya
dan apa adanya, (2) ontologi kuantitatif dan kualitatif, kuantitatif karena
mempertanyakan tunggal atau jamak sedangkan kualitatif berangkat dari
pertanyaan apakah yang merupakan jenis pertanyaan itu, dan (3) ontologi
monistik, kenyataan itu tunggal adanya, keanekaragaman, perbedaan dan
perubahan dianggap semu belaka39 pada giliranya nanti ontologi ini akan
melahirkan mekanisme, idealisme dan materialisme.
Dasar-dasar ontologis ini berlaku untuk semua jenis ilmu pengetahuan
terutama tentang eksistensi bangun dan berkembangnya agar selaras dengan
makna dan hakekat serta fungsi manusia diciptakan.
D. HIERARKI PENGETAHUAN
Dalam teori pengetahuan suatu ilmu tidak akan bisa mencapai status
ilmiah yang sah kecuali status ontologisnya jelas diakui, oleh karena itu status
ontologis akan sangat berpengaruh sebagai basis klasifikasi ilmu,para filosof
muslim sangat peduli dengan masalah ini diantaranya al-Kindi, al-Farabi, ibn
Sina, al-Gazali, Qutbudin al-Syirazi dan Mullashadra.40
Menurut S.H Nasr apa yang mereka lakukan adalah dalam rangka
menjelaskan hierarki ilmu dan mengharmoniskan wahyu dan akal atau antara
agama dan ilmu, sebagaimana telah dijelaskan bahwa antara epiestimologi
39 Louis O Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargo, (Yogyakarta: Tiara
Wacana , 1992) hal. 191-192. 40 Ahmadi, Ideologi Pendidikan Islam; Paradigma Humanis-Teosentris, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 130-131
-
24
Islam dan barat sangat berbeda, jika barat hanya berbijak pada hal yang
beraura mahsusat yakni objek-objek indrawi tapi para filosof muslim
mengakui ststus ontologi mahsusut dan maqulat.
Dari kerangkam berfikir seperti itu epiestemologi Islam telah berhasil
menyusun klasifikasi ilmu yang komprehensif dan disusun secara hierarkis
yaitu metafisisyang menmpati posisi tertinggi disusul oleh matematika dan
terahir ilmu-ilmu fisik atau fisika.
Dari trikotomo seprti itu lahir berbagai disiplin ilmu rasional dalam
dunia Islam seperti ontologi, teologi, kosmologi, anggelologi dan eskatologi
yang termasuk dalam kategori ilmu-ilmu metafisik. Geometri,aljabbar,
aritmatika, musik dan trigonometri yang termasuk didalamnya kategori ilmu-
ilmu matematika. Dan fisika, kimia, geologi, geografi, astronomi, optika yang
termasuk dalam kategori ilmu-ilmu fisik.41
E. DASAR EPISTEMOLOGI ILMU PENGETAHUAN
Epistemologi atau teori ilmu pengetahuan membahas secara mendalam
segenap proses yang terlihat dalam usaha kita untuk memperoleh
pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses
tertentu yang dinamakan metode keilmuan.
Epistemologi berkaitan dengan beberapa masalah diantaranya:
bagiamana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa
ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang diperhatikan agar
mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu
sendiri? Apakah kreterianya ? cara atau teknik sarana apa yang membantu
dalam mendapatkan pengetahuan berupa ilmu?.42
41 Mulyadi Kartanegara Menyibak Tirai Kejahilan, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 43 42 Jujun S. Sumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1995), hal. 33
-
25
I. SUMBER PENGETAHUAN
Epistemologi meliputi sumber sarana dan tatacara menggunakan sarana
untuk mencapai pengetahuan (ilmiah), adapun sumber-sumber pengetahuan
adalah indra, akal dan hati
1. INDERA
Sebagai sumber atau ada yang mengatakan alat, pengetahuan, indra
tentu amat penting. Begitu pentingnya indra sehingga oleh aliran filsafat
seperti empirisme indra dipandang sebagai satu-satunya sumber
pengetahuan, melalui indralah kita mengenal dunia sekeliling kita, melalui
mata kita bisa melihat bentuk keberadaan, sifat-sifat atau karakteristik
benda-benda yang ada di dunia. Telingan denganya kita bisa mengenal
dimensi lain dari objek-objek fisik yang tidak bisa di cerap oleh mata yaitu
suara, demikian juga lewat indra perasa kita bisa merasakan rasa masam,
asin, manis, pahit, dan lain-lain yang tentunya tidak dapat dilihat dan di
dengar mata dan telingan.
Tak kalah pentingnya adalah adanya indra pencium yang dapat
mencerap aspek lain dari objek-objek fisik yang tidak bisa dilihat, didengar
atau dirasa yaitu bau yang bisa membedakan antara harum dan dingin,
lunak, halus serta kasar.
Mengenai fungsi indra sebagai sumber pengetahuan dapat diantaranya
sebagai alat adaptasi dengan lingkungan dan sebagai alat pertahanan hidup
(survival) contoh mata sangat berguna untuk mengamati bahaya yang
mungkin akan mengancam nyawa seperti tertabrak kendaraan bermotor,
terbakar oleh api atau terjerembak kedalam parit dan dengan itu kita bisa
mengambil tindakan seperlunya untuk menyelamatkan diri, telingan juga
sangat berfungsi untuk menghindari bahaya serupa misalnya mendengar
klakson mobil ketika mata karena sesuatu hal tidak bisa melihatnya, indra
perasa untuk menghindari dari memakan benda-benda yang sudah busuk
atau beracun, dengan demikian bahwa indra tidak hanya sebagai sumber
-
26
pengetahuan tetapi juga diperlukan untuk menghindari dari bahaya atau
dengan kata lain pancra indra merupakan instrumen untuk kelangsungan
hidup.43
Setelah tahu seluk beluk indra fungsi dan keistemewaanya mungkin
perlu juga mengkritisinya, pertanyaanya adalah apakah indra telah cukup
memasok kebutuhan sebagi pengetahuan tentang sesuatu apa adanya?
Apakah misalnya penglihatan kita telah mampu memberi pengetahuan
tentang sebuah benda, katakanlah langit, bulan atau bintang? Sepintas kita
akan menjawab ya misalnya kita bisa mengatakan bahwa langit itu biru,
bulan itu bulat pipih seperti piring atau bintang kecil, namun apakah
penglihatan kita melaporkan benda-benda itu sendiri sebagimana adanya
atau hanya kesan yang tercerap oleh mata kita belaka? Apakah kesan
indrawi kita sama dengan kenyataan, ternyata kita tahu bahwa kesan indra
itu tidak sesuai dengan benda itu sebagaimana adanya.
Indra penglihatan misalnya akan menduga bahwa bintang dilangit yang
berkelip-kelip padahal menurut penyelidikan ilmiah bisa saja bintang yang
berkelip adalah cahaya yang terpancar dari bintang jutaan tahuan yang lalu
karena bintang yang berjarak jauh memang membutuhkan jutaan tahun
untuk merambat sampai kemata, jadi jelas bahwa bahwa kesan yang di
tangkap jauh berbeda dengan keadan sebenarnya.
Begitupun indra pendengaran suara gunung berapi yang meletus,
didengar pada pukul 10.06 misalnya belum tentu terjadi pada saat
mendengarnya, sebab gelombang suara membutuhkan waktu bebrapa saat
untuk mencapai ketelingan mungkin hanya beberapa detik atau 1-4 menit,
selain itu tidak semua gelombang suara dapat didengar karena telingan
hanya mampu mendengar gelombang suara yang berfrekkuensi tertentu saja,
bukan gelombang suara yang jauh di luar batas frekuensi tertentu saja.
43 Mulyadi Kartanegara, Op, Cit, hlm. 19
-
27
Dua contoh diatas telah cukup memberi kita pengetahuan (informasi)
tentang benda-benda indrawi ternyata tidak memadai untuk mengetahui
sesuatu sebagaimana adanya, namun juga kecakapan-kecakapan lain dari
mental yang di sebut panca indra batin atau biasa disebut indra bersama (al-
Hiss al-Mustarak). Indra ini menyebabkan sebuah objek indrawi muncul
sebagi sebuah kesatuan yang utuh dengan segala dimensinya dan tidak lagi
parsial yang biasa disumbangkan oleh tiap indra lahir.44
Kedua khayal atau daya imajinasi retentif, indra ini adalah daya yang
bisa melestarikan bentuk yang ditangkap oleh mata atau suara yang didengar
oleh telingan. Daya ini sangat penting karena kita bisa mengingat wajah
seorang yang cantik nan anggun atau anggota keluarga kita dan jika tanpa
daya tersebut tak bisa di bayangkan akibatnya kita akan seperti orang yang
kehilangan ingatan.45
Indra batin yang ketiga disebut daya estiminasi (wahm) indra ini
adalah untuk menilai apakah benda itu berbahaya atau bermanfaat untuk di
jahui dan didekati, jadi wahm adalah daya unyuk menyimpulkan sesuatu
benda yang mengharapkan untuk bertindak apakah menjahui atau
mendekati.46
Indra batin yang keempat disebut imajinasi ( Mutakhaliyah atau
compositif imaginatif faculty) sebenarnya hampir sama dengan indra
bersama cuma imajinasi dapat menggabungkan sesuatu benda menurut
selera yang kita kehendaki misalnya kita menggabungkan bentuk manusia
dengan burung dalam sebuah bentuk yang unik bisa disebut dengan buroq.47
Indra batin yang kelima disebut memori (al-Hafizhah) indra ini
berguna untuk melastarikan bentuk-bentuk imajiner yang meliputi fisik dan
44 Ibid, hlm. 21 45 Ibid, hlm. 22 46 Ibid, hlm. 34 47 Ibid, hlm. 23
-
28
bentuk nonfisik atau abstrak48, dari berbagi corak keistemewaan serta
kekurangan dari indra ini adalah ternyata ia tidak memadai untuk
mengetahui sesuatu sebagaimana adanya, oleh karena itu dibutuhkan
bantuan alat atau sumber lain untuk mengetahui tentang sesuatu
sebagaimana adanya,
Al- Gazali49 dalam kitabnya Miskah al-Anwar memandang akal
lebih patut di sebut cahaya dari pada indra dengan kata lain akal lebih patut
di sebut sebagi sumber ilmu dari pada indra misalnya misalnya dengan indra
kita bisa melihat separuh dari bulan yang terlihat dalam hal ini akalah yang
dapat meyempurnakan bentuk bulan sebagai bola dan dengan akal pula kita
bisa tahu bahwa pensil dalm gelas yang penuh dengan air itu lurus sekalipun
tampak.
2. AKAL
Akal secara bahasa mempunyai arti terikat atau mengikat yakni
mengikat manusia dengan Awalnya50, oleh para filosuf muslim akal di bagi
menjadi 2 akal praksis dan akal teoritis, dalam hal ini akal teoritis adalah
berhubungan dengan pengetahuan sedangkan akal praksis berhubungan
dengan etika, disini akan di bahas keistimewaan atau kelebihan serta
kekurangan akal sebagai pemasok alat pengetahuan.
Manusia di bedakan dengan hewan oleh kecakapan mental yang luar
biasa yang tidak dimiliki oleh hewan apapun yaitu akal, akal bisa melakukan
hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh indra (baik lahir-maupun batin) yaitu
bertanya secara kritis, akal misalnya dapat bertanya tentang dimana sebuah
benda berada, kapan peristiwa terjadi, apa penyebabnya, dan siapa
48 Ibid, hlm. 23 49 Abu Hamid Muhammad al-Gazali (450 H/ 1058 M-505 H/ 1111 M) nama latinya al
Gazel bukanlah seorang saintis dan filosof dalam arti biasa, tapi meninggalkan pengaruh yang luar biasa pada kehidupan intelektual Islam, hingga tak cukuplah ketika bicara soal sains tanpa menyinggung peranya. Seyyed Hossein Nasr, Sains dan Peradaban di dalam Islam, (Bandung: Pustaka Bandung,1986), hlm. 34
50 Seyyed Hossein Nasr Intelegensi dan Spritualitas Agama-Agama, (Jakarta: Inisani Press, 2004), hlm.11
-
29
pelakunya ? akal telah menjadi sumber luar biasa yang melebihi dari indera,
itu tak lain karena akal memiliki perangkat atau konstruksi mental atau yang
disebut oleh Immanuel Kant sebagai kategori-kategori seperti ruang, waktu,
substansi, kualitas, relasi dan kuantitas.
Kecakapan yang paling istimewa dimiliki akal adalah kemampuan
untuk menangkap quiditas atau esensi dari suatu yang diamati atau di
pahami, ketika berbicara tentang esensi meja akal sudah tidak lagi berbicara
tentang meja yang berbentuk bundar, segitiga, segiempat, akan tetapi ia
berbicara tentang hakekat atau quiditas yang meliputi semua meja partikular
atau tertentu, hal inilah yang disebut bentuk ( Form) atau Surrah oleh
Ariestoteles, dengan kemampuan akal menangkap esensi ( Mahiyah) dari
benda-benda yang diamatinya, manusia bisa menyimpan jutaan makna atau
pemahaman tentang berbagai objek ilmu yang bersifat abstrak sehingga
tidak memerlukan ruang fisik yang luas didalam pikiran manusia.
Setelah tahu tentang kelebihan yang dimiliki akal akan lebih baiknya
juga tahu kekurangan atau kelemahan akal sebagai sumber pengetahuan.
Rumi pernah berkata akal boleh menguasai seribu satu cabang ilmu, tetapi
tentang hidupnya sendiri ia tidak tahu apa-apa. Akal memang sangat
berguna sebagai sumber ilmu tapi hanya sebagai kecakapan intelektual atau
kecerdasan intelegensi. Akal sering tidak berdaya jika dihadapkan pada sisi
emosional manusia, ketika dihadapkan pada persoalan cinta, misalnya akal
tidak bisa berkata apa-apa pikiran kita akan buntu dan lidah menjadi kelu,
dengan kata lain akal tidak mengerrti tentang pengalaman esensial yaitu
pengalaman yang kita rasakan bukan di konsepsikan.51
Akal dengan kebiasaannya meruang-ruang ( sepatilize) apapun yang
menjadi objeknya cenderung memahami secara general atau homogen
sehingga tidak tahu tentang keunikan sesuatu moment atau runag, akal tidak
51 Mulyadi Kartanegara, Op Cit, hlm. 27
-
30
akan mengerti mengapa bagi seseorang ada tempat yang sakral dan yang
profan52.
Akal seperti yang dikatakan Rumi dan Bergson, tidak mampu
memahami objek penelitian secara langsung karena akal dengan
menggunakan kata-kata atau simbol akan berputar-putar seperti objek
tersebut, ia tidak akan langsung dapat menyentuhnya, pengenalan akal pada
sebauh benda hanyalah bersifat simbolis yakni melalaui kata-kata, tetapi
kata-kata saja tidak akan cukup memberi pengetahuan sejati tentang objek
yang dikajinya.53
3.HATI
Untuk menutupi kekurangan akal manusia dilengkapi oleh tuhan
dengan intuisi atau hati ( Qalb) sehingga akan lengkaplah seluruh perangkap
ilmu bagi manusia. Ketika akal tidak mampu memahami wilayah kehidupan
emosional manusia, hati kemudian dapat memahaminya. Hati yang terlatih
akan dapat memahami perasaan seseorang hanya misalnya dengan
mendenmgar suara atau memandang matanya.
Ketika akal hanya berkutat pada tataran kesadaran hati bisa menerobos
kealam ketidaksadaran atau alam ghaib dalam bahasa agama, sehingga bisa
mengalami pemgalaman non inderawi, bahkan bisa berkomunikasi dengan
mahluk-mahluk ghaib seperti malaikat, jin bahkan tuhan sendiri seperti yag
dialami oleh para nabi.
Ibarat radar hati manusia terkadang mampu menangkap sinyal dari
langit dengan begitu terang betapapun redupnya sinar itu dari sudut pandang
akal.
52 Mulyadi Kartanegara, Menembus Batas; Panorama Filsafat Islam, (Bandung: Mizan,
2002), hlm. 13 53 Mulyadi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan; Pengantar Epistemologi Islam,
(Bandung: Mizan, 2003), hlm. 27
-
31
Dengan hatilah manusia bisa merasakan pengalaman-pengalaman
eksistensial tanpa ada generelasi atau kecendrungan meruang-ruang, dan
dapat mengenal objek secara lebih akrab dan langsung.
Pengetahuan hati adalah pengetahuan eksistensial atau pengetahuan
yang didasarkan pada pengalaman, ia juga disebut pengetahuan presence54
karena objeknya di pandang hadir dalam diri atau jiwa seseorang dan ini
tidak mungkin bisa di pahami oleh akal, akal hanya mungkin mengerti cinta
lewat mulut atau teori-teori tapi hati memahaminya langsung bukan lewat
teori tapi hati mendalaminya sendiri sehingga ia tahu karena ia telah
merasakan bukan tahu lewat omongan.
II. METODE ILMIAH
Kalau sementara klasifikasi ilmu berkaitan dengan pertanyaan apa yang
dapat dikaji atau dapat diketahui, metode ilmu berkaitan dengan pertanyaan
bagaima dapat mengetahui sebuah objek pengetahuan, pertanyaan bagaimana
untuk mengetahui objek-objek ilmu tentu sangat penting bagi setiap teori
pengetahauan karena dengan begitu kita bisa mengetahui langkah-langkah dan
prosedur apa yang dapat di ambil oleh seorang ilmuan untuk sampai pada
pengetahuan tentang sebuah objek sebagiman adanya.
Seperti apa yang pernah di lontarkan Ziaudin Sardar sementara para
ilmuwan barat menggunakn hanya pada satu macam metode ilmiah yaitu
observasi, para pemikir muslim menggunakan tiga macam metode sesuai
dengan tingkat atau hierarki objek-objeknya yaitu 1) metode observasi
sebagaimana yang telah digunakan oleh teori barat atau biasa di sebut dengan
Bayani 55atau Tajribi,56 2) metode logis atau demontratif yang disebut dengan
54 Mehdi Hairi Yazdi Menghadirkan Cahaya Tuhan, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 17 55 Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks secara
langsung atau tidak langsung dan dijustifikasi oleh akal. Kebahasaanya yang di gali lewat infrensi (istidlal) secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikanya tanpa perlu pemikiran secara langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu ditafsir meskipun demikian akal atau rasio tidak bebas menentukan makna dan maksudnya tetapi tetap harus bersandar pada teks. Bayani berasal dari kata Arab yang berarti penjelasan eskplanasi, al-Jabbiri mengatakan berdasarkan beberapa makna yang
-
32
Burhani,57 3) metode intuitif atau yang biasa disebut dengan Irfani 58yang
masing-masing bersumber pada indra,akal dan hati.
1.Metode observasi
Metode observasi adalah metode eksperimen yang berkaitan dengan
pengamatan indrawi yang tentunya sanat cocok atau sesuai dengan objek-
objek fisik, al kindi misalnya di kenal bukan hanya sebagai seorang filosof
melainkan ilmuan yang menggunakan metode observasi di laboratium kimia
dan fisikanya.59
2. Metode demontratif
Metode demontratif atau burhani pada dasarnya adalah metode logika
atau penalaran rasional yang di gunakan untuk menguji kebenaran dan
kekliruan dari sebuah penyataan atau teori-teori ilmiah dan filosofis dengan
cara memperhatikan keabsahan dan akurasi pengambilan sebuah kesimpulan
ilmiah.60
di berikan kamus lisan al arab suatu kamus karya ibn Mansur dan di anggap sebagai karya pertama yang belum tercemari pengetahuan lain tentang kata ini memberikan arti sebagai al Fashl wa Intishal (memisah dan terpisah) dan ad Dhuhur wa al Idhar (jelas dan menjelaskan )makna al fashl wa al Idhar dalam kaitanya dengan metodologi sedang wa Dhuhur berkaitan dengan visi (ray) dari metode bayani. A. Khudhori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 177
56 Tajribi adalah metode yang mengkaji objak-objak fisik yang tentunya Indra adalah alat dan sekaligus sumber utamanya utamanya, lihat Mulyadi Op Cit, hlm. 52
57 al-Burhani secara sederhana bisa diartikan sebagai suatu aktifitas untuk menetapkan kebenaran proposisi yang satu dengan yang lain yang telah terbukti kebenaranya secara aksiomatik, menurut al Jabbiri pringsip-pringsip burhani pertamakali di kenalkan oleh Ariestoteles yang di kenal dengan metode analitik ( tahlili) suatu cara berfikir yang didasarkan atas proposisi tertentu, proposisi hamliyah( kategori) atau proposisi sartiyah dengan mengambil 10 kategori sebagai objek kaitan yaitu kualitas, ruang, waktu dan seterusnya. Pada masa Alexander Aprodisi murid serta komentator Aristoteles di gunakan istilah Logika dan ketika masuk khasanah pemikiran Islam berganti nama dengan Burhani. A. Khudori Soleh Op Cit, hlm. 220
58 Irfani berasal dari kata dasar bahasa Arab Arafa semakna dengan Marifat berarti pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman (ekperiens) sedang ilmu menunjuk pada pada pengatahuan yang di peroleh lewat tranformasi ( Naql) atau rasional (Aql) karena secara termenilogi Irfan bias diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang di peroleh lewat penyinaran oleh ruhani ( Riyadlah) yang dilakukan atas dasar cinta. Mehdi Hairi Yazdi, Menghadirkan Cahaya Tuhan, (Bandung: Mizan, 2004), hlm.47-48 . Hal ini merupakan kebalikan dari metode Bayani,karena sasaran bidik Irfani adalah aspek esoteris syariat, apa yang ada di balik teks.A. Khudori Soleh, Op Cit, hlm. 194
59 Mulyadi Kartanegara Op Cit, hlm. 53 60 Ibid, hlm. 56
-
33
Menurut para filosof metode burhani di gunakan dalm penelitian
ilmiah dan filosofis sekalipun di ketahui bahwa kadang-kadang mereka juga
menggunakan metode dealikta yang biasanya di gunakan oleh para teologi
perbedaan antar keduanya terletak pada dasar premis mereka, premis
demonstratisf didasarkan pada pengetahuan ilmiah sementara premis-premis
dealikta opini
3.Metode intuitif
Kalau metode bayani berkaitan dengan indrawi, metode burhani
berkaitan dengan akal maka intuitif sesuai dengan namanya berkaitan dengan
intuisiatau hati (qalb).
Metode pendekatan intuitif biasanya juga disebut metode dzauqi ada
juga yang menyebut presensial karena objek-objeknya hadir dalam jiwa
seseorang bisa dialami langsung oleh pelakunya, modus ilmu seperti ini
biasanya disebut ilmu hudhuri (knowlegde by presense).61
Dalam dunia Islam dihiasi oleh karya-karya mistik yang agung dan
sangat inspirasional seperti Fushus al Hikam dan al Futuhat al Makiyah
karangan ibn Arabi, Manthiq atThoir karangan Faridudin Atthar, al Matsnawi
al Manawi karya Jalaludin ar Rumi.
F. DASAR AKSIOLOGI ILMU PENGETAHUAN
Sampailah kita pada dasar ilmu pengetahuan yang ketiga yaitu
aksiologi yang menanyakan tetang kegunaan ilmu itu sendiri, aksiologi
meliputi nilai-nilai yang ebrsifat normatif dalam pemberian makna tehadap
kebenaran atau kenyataan sebagaiman di jumpai dalam kehidupan kita yang
menjelajah berbagai wilayah baik sosial, simbolok ataupun fisik materiil, lebih
dari itu nilai-nilai juga ditunjukan oleh aksiologi sebagi suatu Conditio sine
quanon yang wajib di patuhi dalam kegiatan penelitian maupun dalam
penerapan ilmu.
61 Ibid, hlm. 60
-
34
Telah terjadi perdebatan panjang tentang apakah ilmu itu bebas nilai
atau tidak sebagianberpendapat bahwa ilmu pengetahuan sendiri merupakan
tujuan Pokok bagi yang menekuninya dan mereka ungkapkan dengan
semboyang science for science sebagaimana mereka ungkapkan art for
art .
Sebagian lagi cendrung berpendapat bahwa tujuan ilmu pengetahuan
adalah upaya bagi para peneliti menjadiakan alat atau jalan untuk menambah
kesenagna dalam kehidupanya yang terbatas di muka bumi sedangkan
sebagian cendrung menjadikan sebagi alat untuk meningkatkan kebudayaan
dan kemajuan bagi umat manusia. Adapun al-Quran menjadiaknya sebagai
alat untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi dan lebih umum dari sekedar
ilmu pengetahuan itu sendiri.62
Pada dasarnya ilmu itu harus di gunakan untuk kepentingan
kemaslahatan umat manusia Ilmu pengetahuan adalah suatu sistem yang di
kembangkan manusia untuk mengetahui keadaanya dan lingkunganya atau
menyesuaikan lingkunganya dengan dirinya dalam rangka strategi
kehidupanya-63 dalam ini ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat
dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat
manusia, kelestarian lingkungan dan keseimbangan alam.
Kenyataanya bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh membiarkan diri
terpengaruh oleh nilai-nilai yang letaknya di luar ilmu pengetahuan atau
dengan ungkapan yang agak singkat bahwa ilmu pengetahuan itu seharusnya
bebas, namun demikian jelaslah kiranya bahwa kebebasan yang dituntut ilmu
pengetahuan tidak sama dengan ketidakterikatan mutlak, terkait dengan
pembicaraan ini Van Melsen berkesimpulan bahwa ilmu pengetahuan tidak
62 Ali Abdul Adzim, Epistemologi dan aksiologi Ilmu Perspektif al-Quran, (Bandung:
CV. Rosda, 1989), hal. 268 63 T. Jacob, Manusia Ilmu dan Tehnologi; Pergumpulan Abadi dalam Perang dan Damai,
(Yogyakarta; Tiara Wacana, 1988), hal. 7
-
35
pernah bebas nilai sebab ia sendiri mengejawantahkan suatu nilai etis ,
bertambah relevansi etisnya karena semakin erat kaitanya dengan praktis.64
G. KEDUDUKAN PENGETAHUAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Membicarkan pengetahuan tidak akan lepas dengan yang namanya
pendidikan, karena antara pengetahuan dan pendidikan mempunyai hubungan
yang erat dan saling mempengarui.
Islam adalah agama yang mewarisi berbagai macam tradisi mulai dari
budaya, seni dan berbagai macam ilmu dan Islam telah berhasil
mengembangkan dengan cirinya sendiri, maka peradaban Islam klasik di hiasi
oleh para ilmuan dan filosof yang sangat berpengaruh.
Salah satu hal yang di anggap paten sekarang untuk melestarikan dan
mengembangkan khasanah keilmuan Islam adalah pendidikan, pendidikan
juga dianggap sebagai hal terpenting dalam pengembangan Islam itu sendiri,
alasan lain adalah karena pendidikan dianggap mampu menyelesaikan
problem sosial secara simultan dan bersifat permanen, artinya bahwa
pendidikan dapat memberikan kontribusi kepada umat terhadap laju
kehidupan sosial secara mapan.
Pemaknaan kemapanan kontribusi tersebut dilihat dari proses
transformasi pengetahuan keilmuan, ilmu di trasnformasikan oleh seorang ahli
kepada peserta didik. Ilmu yang dimaksudkan adalah salah satu hasil dari
usaha manusia untuk dirinya sendiri.
Kalau melihat sepanjang sejarah pendidikan Islam di Madrasah atau
al-Jamiah diabdikan untuk pentransferan pengetahuan baik ilmu agama
dengan penekanan lebih khusus, di bandingkan pengetahuan umum hal ini
nantinya merupakan akar dari munculnya istilah antara ilmu yang di wajibka
dan ada ilmu yang di makruhkan.
64 A.G.M. Van Melsen, Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita, terj. K.
Bertens.(Jakarta; Gramedia , 1992) hal. 93
-
36
Persoalan dikhotomik ini memang membawa dampak yang sangat luar
biasa hal ini kalau di lacak dari akar persoalan adalah berhubungan erat
dengan hierarki pengetahuan, jika ada salah satu dari herarki pengetahuan
yang hilang maka yang terjadi adalah kepincangan atau dikhotomi.
Kesan sekarang yang menggema dalam pendidikan Islam adalah
pendidikan yang hanya mengutamakan ilmu-ilmu agama serta
mengesampingkan ilmu-ilmu umum karena mereka menganggap bahwa
dengan mempelajari ilmu agama maka jalan menuju sorga terbuka lebar.
Di samping itu setelah sebagian dunia Islam memerdekakan dirinya
dari penjajahan juga berimbas yang sangat krusial, hal ini bisa di tinjau dari
berbagai negara Islam, mereka telah merdeka dari negara belanda misalnya
memiliki sistem pendidikan modern ala belanda65 seperti Indonesia hasilnya
sekarang terjadi dualisme sistem pendidikan yang satu lebih menekankan
umum yang satu lebih menekankan agama.
Padahal sebagaimana yang telah di katakan S.H Nasr bahwa berbagai
cabang pengetahuan di pandang dari perspektif Islam pada ahirnya adalah
satu di dalam Islam tidak di kenal pemisahan esensial antara ilmu agama dan
ilmu umum.
Berbagai ilmu dari perspektif intelektual yang di kembangkan dalam
Islam memang mempunyai hierarki, tetapi hierarki ini pada akhirnya bermuara
pada pengetahuan pada yang tunggal yaitu subtansi dari segenap ilmu, inilah
alasan kenapa para ilmuan muslim berusaha menitregasikan ilmu-ilmu yang di
kembangkan peradaban-peradaban lain kedalam skema hierarki ilmu
pengetahuan menurut Islam makanyan tak ayal jika peradaban klasik Islam di
hiasi para filosof dan ilmuwan agung mereka bukan hanya pandai dalam ilmu
agama dan juga dalam ilmu umum.
65 Moh. Sofyan, Pendidikan Berparadigma Profetik, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2004),
hlm.124
-
37
Jadi sudah seharusnya sekarang mengahiri tentang pelarangan atas
kajian suatu ilmu dengan alasan bahwa ilmu itu tidak bisa menghasilakn
pahala, lebih-lebih didunia pendidikan Islam, kalau melihat perkembangan
sekarang banyak lembaga pendidikan Islam yang sudah berlapang dada guna
mengajarkan ilmu-ilmu yang dulunya di anggap makruh bahkan haram.
-
38
BAB III
PEMIKIRAN
SEYYED HOSSEIN NASR TENTANG ILMU PENGETAHUAN DAN
PENDIDIKAN ISLAM
A. Riwayat Hidup dan Karya-karyanya
Seyyed Hossein Nasr dilahirkan di Teheran, Iran dan mendapatkan
pendidikan dasarnya di kota kelahirannya sendiri, pendidikan tingginya
ditempuh di Amerika di Massachusetts Institut of Technology (MIT), disana
berhasil mendapatkan diploma B.S. (Bachelor of Science) dan M.A. (Master
of Arts) dalam bidang fisika. Prestasi yang disandangnya belum memuaskan
dirinya. Lalu Seyyed Hossein Nasr melanjutkan Universitas Harvard
menekuni History of Science and Philosophy, di Perguruan tinggi ini Nasr
berhasil memperoleh gelar Ph.D (Doctor of Philosophy) pada tahun 1958.66
Seyyed Hossein Nasr adalah salah seorang diantara muslim yang
mempunyai keahlian dalam bidang kajian Islam yang menembus hambatan-
hambatan ilmiah untuk menggali Islam sebagai pengkajian secara obyektif dan
jujur.67
Sejak tahun 1958, Nasr mengajar di Universitas Teheran, dimana Nasr
mendapat gelar Professor dalam bidang sejarah ilmu pengetahuan dan filsafat.
Tahun 1962 beliau menjadi dosen tamu di Harvard University dan tinggal
disana sampai tahun1965. Tahun 1994 1965 Nasr menjadi pimpinan Aga
Khan Chair of Islamic Studies pada American University of Beirut. Nasr juga
memberikan ceramah dan kuliah di beberapa negara antara lain : Amerika,
Eropa, Timur Tengah, Pakistan, India, Jepang dan Australia, Nasr mengarang
lebih dari dua belas buku dan sejumlah artikel. Hasil karyanya telah
66 Komaruddin Hidayat, Upaya Pembebasan Manusia Sufistik Terhadap Manusia
Modern Menurut Seyyed Hossein Nasr, Konsep Manusia Menurut Islam, Peny. Lawam Raharjo, Grafiti Pers, Jakarta, 1987, hlm. 183
67 Seyyed Hossein Nasr, Islam Dalam Cita dan Fakta. Terj. Abdurrahman Wahid, Leppenas, Jakarta. 1983, hlm. 183
-
39
diterjemahkan kedalam lebih dari sepuluh bahasa asing. Ceramah-ceramahnya
berkisar pada pemikiran Islam dan problem manusia modern.68
Reputasinya sebagai Guru Besar dalam kajian sejarah ilmu
pengetahuan dan filsafat menunjukkan kedalaman dan ketajaman
pemikirannya. Nasr juga ilmuwan muslim yang melanjutkan kritik sedemikian
hebatnya, kepada dunia Barat dan peradaban modern pada umumnya, dengan
menggunakan pedang intelektualnya.
Sebagai ilmuwan yang sekarang hidup dalam status setengah
pengasingan karena dahulu bersedia bekerja sama dengan Shah Reeza
Pahlevi di Teheran dalam mendirikan dan kemudian memimpin sebuah institut
pengkajian filsafat dan menerima gelas kebangsawanan dari sang raja diraja
itu, reputasi Nasr tidak menurun hanya saja Nasr meninggalkan Iran dan
menetap di salah sebuah universitas di Amerika Serikat. Selama ilmuwan
tidak menjual pengetahuan yang dimilikinya untuk melenyapkan,
mengaburkan atau menutupi kebenaran, selama itu pula integritas ilmunya
tidak terganggu sama sekali.69
Kedudukannya sebagai pemimpin Aga Khan Chair of Islamic Studies
pada Amerika University of Beirut, menunjukkan reputasinya dalam
pemikiran Islam dalam karya-karyanya yang cemerlang. Nasr yakin bahwa
tugas dalam Aga Khan Chair yang dipimpinnya adalah memperkenalkan Islam
dalam khasanah kehidupan intelektualnya secara setia dalam bahasa yang
kontemporer tanpa menyimpang dari sudut tradisional, juga untuk
mengadakan dialog dengan agama lain di luar Islam, terutama Kristen yang
berdiri berdampingan dengan Islam di Libanon, serta untuk mengadakan studi
tentang aliran-aliran Islam yang bersama-sama mewakili di Negeri ini.
Ada dua metode yang mendukun pengembangan Nasr, pertama metode
komperatif yaitu sutau metode yang diperlukan untuk melakukan studi
perbandingan yang berarti antar tradisi-tradisi religius dan metafisis timur dan
barat, kedua metode historis yaitu melangkah ke lembaran sejarah kemudain
68 Kata Pengantar Abdurrahman Wahid dalam Seyyed Hossein Nasr. Islam Dalam Cita dan Fakta. Up right, hlm. x
69 Ibid,. hlm. ix
-
40
membandingkan sumber-sumber dari berbagai filsafat sain yang diadopsi oleh
filsafat Islam dari filsafat Yunani kemudian melangkah kedepan untuk
membandingkan filsafat Islam di tranfisi dari filsafat barat.
Seyyed Hossein Nasr berjasa dalam meyakinkan bahwa pemikiran dan
kebudayan Islam tersebut masih hidup dengan kuatnya. Nasr juga
menyarankan semua itu dipandang dengan menjauhkan dari sikap rasional dan
sekuler faham Helenistis, dengan pengunduran diri dari ujian dan gejolak
sejarah, timbul kesadaran yang lebih dalam akan pangilannya sendiri sebagai
umat religius Timur dekat.70 Seyyed Hossein Nasr sebagain tokoh pemikir
Islam dengan bahasa kontemporer tanpa meninggalkan sisi tradisional itu
sendiri, berusaha menghadapi dan memberikan jawaban terhadap pandangan
orientalis yang banyak berpijak pada pemikiran modern seperti materialisme,
scientisisme dan sebagainya.
Karya-karyanya yang tertulis dalam bahasa Eropa yang meniliti Islam
dari sudut pandangnya sendiri, pandangan tradisional sedang karya-karyanya
yang tertulis dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh dunia Islam, meskipun
yang biak biasanya didasarkan pada argumentasi-argumentasi yang ditujukan
kepada intelegensi muslim tradisional yang kesulitan dam keraguan
sekelompok masayarakat yang telah dimodernisir. Argumentasi dan otoritas
agama yang tradisional adalah sepenuhnya memiliki validitas dan bahasa
mereka adalah apa yang seharusnya digunakan. Lebih tepat, keadaan luar
biasa pada saat itu telah membawa situasi yang mana bahasa-bahasa dan jalur
argumentasi harus diubah untuk menjadikannya menarik dan dimengerti.71
Demikianlah perjalan hidup Seyyed Hossein Nasr yang mencurahkan
segala tenaga dan pikirannya demi tegaknya agama Islam di muka bumi ini.
Karya-karya Seyyed Hossein Nasr, antara lain :
1. Buku terdiri atas :
a. Islam and The Plinght of Modern Man (Islam dan Nestapa Manusia
Modern)
70 Seyyed Hossein Nasr, Sains dan Peradaban di Dalam Islam, Terj. J. Mahyudin. Penerbit Pustaka, Bandung, 1986, hlm. v-vi
71 Seyyed Hossein Nasr, Op. Cit. hlm. xi
-
41
Buku ini berisi tentang masalah-masalah penting yang dihadapi
oleh manusia modern. Buku ini juga membahas cara-cara penerapan
ajaran warisan intelektual dan spiritual Islam. Selain juga alternatif
besar ajaran Islam tersebut untuk mencari jalan keluar dari kedudukan
manusia modern melalui penerapan ajaran Islam.
b. Ideals and Realities od Islam (Islam Dalam Cita dan Fakta)
Buku menggambarkan sebagai aspek yang esensial dalam
Islam sebagai kekuatan yang tetep hidup dan ditujukan kepada orang-
orang yang terbiasa dengan dialektika pemikiran modern. Buku ini
juga menjawab berbagai serangan terhadap Islam yang dilakukan
beberapa ahli Barat yang berkisar pada keimanan.
c. Science and Civilation in Islam (Sains dan Peradaban di Dalam Islam)
Buku ini bertujuan untuk menyadarkan manusia muslim
mengenai apa yang harus dibenahi dalam menyerap Ilmu Pengetahuan
barat yang didominasi dunia sekarang ini karena ilmu pengetahuan
modern mengalami krisis. Salah satu sumbernya adalah anggapan yang
netralitas ilmu dari konteknya yakni hikmat dan wahyu. Berpijak dari
hikmat dan wahyu, maka bumi ini menjelaskan kembali peran ilmu
pengetahuan dan peradaban Islam menetralisir pendapat tersebut.
d. Living Sufism (Tasawuf Dulu dan Sekarang)
Buku ini berisi beberapa persoalan masa kini yang dihadapi
dunia modern pad aumumnya dan dunia Islam khususnya yaitu
persoalan yang penyelesaiannya tergantung pada pemahaman dan
pemakaian prinsip-prinsip tasawuf secara keseluruhannya. Buku ini
diharapkan dapat menjadi kuci untuk membuka sejumlah pintu meuju
gudang perbendaharaan tasawuf sejak dulu hingga sekarang.
e. Knowledge and The Sacred (Pengetahuan dan Kesucian)
Buku ini bermaksud untuk menggambarkan kekuatan yang
berbahaya yang dimiliki manusia, yaitu bahwa kemampuan rasional
dapat menajadi kekuatan setan jika dipisahkan dari intelek wahyu yang
memberikan kualitas pengetahuan dan kandungan sucinya. Manusia
-
42
sebagai makhluk yang diberkati dengan intelegensi penuh yang
berpusat pada Yang Absolut, manusia harus menjadi manusia yang
sebenarnya. Menjadi manusia mengetahui pada akhirnya berarti
mengetahui dan juga melebihi diri sendiri. Mengetahui pada akhirnya
berarti mengetahui Substansi Tertinggi (sumber dari segala sesuatu).
f. A Young Muslims Guide to The Modern World (Menjelajah Dunia
Modern)
Buku ini memberikan bimbingan kepada kaum muda muslim
dalam menjelajahi dunia modern, agar mampu memahami lebih dalam
lagi tentang peradaban Barat dan pemikiran modern yang telah
mempengaruhi dunia Islam selama kurang dua abad belakangan ini.
Diharapkan pula agar kaum muslim menjadi akrab dengan agama dan
akar-akar budaya sendiri, sehingga makna pandangan moral dan
intelektual yang diperlukan untuk bertahan dan berperan dalam dunia
modern tanpa kehilangan keimannya. Bahkan lebih jauh dari itu
menekankan sebagai keyakinan dan pandangan hidup.
Selain karya karya yang telah disebutkan diatas ada beberapa buku
atau karya-karya lain seperti : Islam Tradisi, Intelektual Islam, Three
Muslim Sages, Islamic of Art and Spirituality.
2. Makalah, terdiri atas :
Islam in the Islamic worls and today, Dedance, Deficition and
Renaissance in The Context of Contemporary, Philosophia Perennis and
Study of Religion, dan Dunia Barat dan Tantangan-tantangan terhadap
Islam.
B. Hakikat Pengetahuan
Berbicara masalah pengetahuan, tidak lepas dengan adanya istilah
tradisi. Pengetahuan dan tradisi keduanya sangat erat hubungannya, karena
pengetahuan berada dalam setiap jantung tradisi, dan tradisi berasal dari
agama.
Tradisi sebagaimana yang dipergunakan oleh para tradisionalis,
menyiratkan sesuatu yang sakral, seperti yang disampaikan kepada manusia
-
43
melalui wahyu maupun pengungkapan pengembangan peran sakral itu dalam
sejarah kemanusiaan tertentu, dalam satu cara yang mengimplikasikan baik
kesinambungan horizontal dengan Sumber maupun rantai-antai vertikal yang
menghubungkan setiap denyut kehidupan tradisi yang sedang diperbincangkan
dengan relaitas transender. Tradisi bisa berarti ad-din dalam pengertian yang
seluas-luasnya yang mencakup semua aspek agama dan peradabannya, bisa
pula di sebut as-sunnah, yaitu apa yang didasarkan pada mode-mode sakral,
bisa juga diartikan as-silsilah yaitu mata rantai yang mengkaitkan setiiap
periode, episode atau tahap kehidupan dan pemikiran dunia tradisional kepada
sumber (Tuhan).72
Istilah tradisi dalam penggunaan secar teknis, dalam karya ini atau
yang lain, berarti kesejatian-kesejatian, atau prinsip-prinsip dari Yang Asal
Ilahi (The Divine Origin) yang diwahyukan atau dibeberkan kepada manusia
dan keseluruhan wilayah kosmos alam, melalalui berbagai figur yang lain,
beserta percabangan dan aplikasinya dalam berbagai wilayah realitas yang
mencakup hukum dan struktur sosial, seni, simbolisme serta berbagai cabang
ilmu pengetahuan Suprim sekaligus cara-cara mendapatkannya.73
Tradisi dalam pengertian yang lebih universal, dapat dianggap
memasukkan prinsip-prinsip yang mengikat manusia ke surga atau ke langit
yang disebut juga agama. Tradisi di lihat dalam maknanya yang essensial atau
hakikat adalah prnsip-prinsip yang ditampakkan surga (yang diwahyukan itu
sendiri) yang berfungsi mengikat manusia kepada permulaanya (dengan yang
Asal).74 Tradisi dalam pengertian yang konkrit dapat dianggap sebagai
aplikasi prinsip-prinsip tersebut, tradisi mengimplikasikan adanya kesejatian-
kesejatian yang berkarakter supra individual yang berakar pada hakikat
Realitas. Tradisi bukanlan mitologi kekanak-kanakan dan usang, tetapi sebuah
ilmu yang benar-benar nyata. Tradisi sebagaimana juga agama terdiri dari dua
72 Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi (Di Tengah Kancah Dunia Modern). Terj. Lukman
Hakim, Pustaka, Bandung, 1994. hlm.3 73 Ahmad Harun Permata, (ed), Perenialisme Melacak Jejak Filsafat Abadi, PT. Tiara
Wacana Yogya, Yogyakarta, 1996, hlm. 147 74 Seyyed Hossein Nasr, Pengetahuan dan Kesucian, Terj. Suharsono, (et. el), Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 1997, hlm. 77
-
4