BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah fileselalu menggunakan bahasa yang baik dan benar. ......
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah fileselalu menggunakan bahasa yang baik dan benar. ......
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa memiliki peranan penting dalam masyarakat yakni sebagai sarana
komunikasi. Bisa dikatakan bahwa tanpa adanya bahasa, suatu komunikasi itu
tidak dapat terjadi. Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat
berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (Keraf, 1984 : 1).
Masyarakat erat kaitannya dengan bahasa, begitupun sebaliknya bahasa melekat
pada masyarakat. Interaksi sosial dalam masyarakat terjadi dapat berupa lisan
maupun tulis. Bahasa yang alami adalah bahasa yang merupakan akibat dari
suatu proses yang terjadi di dalam bahasa itu sendiri, tanpa pengarahan apapun
yang sifatnya disengaja(Suwito, 1983: 137). Bahasa itu sendiri juga memiliki
fungsi untuk berinteraksi atau komunikasi, alat untuk menyampaikan pikiran,
gagasan dan juga perasaan.
Setiap orang memiliki ciri khas tersendiri dalam berbahasa (berbicara atau
menulis). Kekhasan ini dapat mengenai volume suara, pilihan kata, penataan
sintaksis, dan penggunaan unsur-unsur bahasa lainnya (Chaer dan Agustina, 2004:
34). Berbicara lebih sering digunakan orang dibandingkan dengan cara berbahasa
yang lain. Kepandaian dalam berbicara merupakan salah satu faktor yang dapat
menyebabkan seseorang disukai bahkan disegani oleh orang lain.
Berbicara kepada orang lain merupakan peristiwa yang wajar dilakukan
orang setiap harinya. Namun tingkat kepandaian berbicara seorang dengan orang
lain tentulah berbeda. Kemampuan bicara bisa merupakan bakat, tetapi
2
kepandaian bicara yang baik memerlukan pengetahuan dan latihan (Sutardjo,
2013: 7). Berbicara dengan orang lain tentu menggunakan cara yang berbeda-
beda, hal ini tergantung pada sudut pembicara, tempat berbicara, pokok
pembicaraan, dan situasi pembicaraannya. Cara lain juga yang sering digunakan
orang lain untuk mengidentifikasi sejauh mana seorang penutur menguasai bahasa
yang sedang dipergunakannya malalui pemilihan variasi dalam tuturannya.
Penggunaan bahasa dalam berbicara pada kehidupan sehari-hari tidak
selalu menggunakan bahasa yang baik dan benar. Seringkali dalam berbicara
muncul adanya percampuran bahasa entah dari penutur maupun dari mitra tutur
dalam kegiatan komunikasi sehari-hari. Dalam kedwibahasaan ini muncullah
istilah Alih Kode dan Campur Kode. Pada keadaan seperti ini maka terjadilah
peristiwa saling kontak antara bahasa satu dengan bahasa lainnya dalam suatu
komunikasi. Alih kode dan campur kode selalu melekat pada kehidupan sehari-
hari terutama percakapan dengan orang lain. Kehidupan manusia sehari-hari tidak
lepas dari berbagai macam kegiatan keagamaan, maka dari itu alih kode dan
campur kode juga terjadi pada khotbah dalam acara-acara agama.
Melalui khotbah seseorang dapat menyampaikan gagasan, pikiran atau
informasi kepada orang banyak secara lisan. Dalam pelaksanaanya antara pidato
dan khotbah tidak dapat dibedakan, keduanya sama-sama menyampaikan suatu
gagasan atau pesan kepada khalayak. Hanya saja yang membedakan keduanya
adalah situasi, tempat, waktu (kesempatan), tema dan sumbernya. Khotbah lebih
bersifat khusus untuk masalah keagamaan.
3
Khotbah memiliki peranan yang sangat penting dalam kegiatan
masyarakat beragama khususnya, baik itu pada waktu sekarang maupun pada
waktu-waktu yang akan datang. Mereka yang mahir berbicara dengan mudah
dapat menguasai massa dan berhasil memasarkan gagasan mereka dengan baik
sehingga mudah diterima oleh orang lain. Banyak cara yang dapat dilakukan oleh
pengkhotbah untuk menyampaikan gagasannya kepada pendengar. Salah satunya
adalah penggunaan aspek kebahasaan berupa alih kode dan campur kode
mengenai materi yang disampaikan. Oleh karena itu, sering kita temukan dalam
kehidupan sehari-hari banyak pengkhotbah yang menggunakan dua bahasa atau
lebih dalam ceramahnya, termasuk di gereja dan lebih khusus lagi di Gereja
Kristen Jawa.
Gereja Kristen Jawa (GKJ) Ampel sebagai gereja induk yang memiliki dua
Pepanthan di bawahnya yaitu GKJ Berdug dan GKJ Kentheng, yang masih satu
klasis dengan GKJ Boyolali. Pendeta dari gereja induk juga bertugas untuk
melayani di gereja-gereja Pepanthan dengan jadwal pelayanan dan khotbah yang
sudah ditentukan oleh gereja induk. Dalam GKJ yang bisa melayani khotbah
haruslah yang diberi gelar Pendeta, Penatua, ataupun Diaken (Surachman, 2013:
23). Dalam pelayanan khotbah setiap minggunya pendeta dibantu oleh majelis
gereja induk dan pepanthan yang jumlahnya ada 16 majelis. Gereja ini sendiri
memiliki jumlah jemaat sebanyak 281 orang yang tersebar di tiga gereja induk
dan pepanthan (Jaryono, 2010: 30-31).
GKJ Ampel ini sendiri terbentuk dari berkumpulnya beberapa orang
kristen di Ampel yang kemudian dilayani oleh GKJ Boyolali pada tahun 1966.
4
Pada tahun 1969, persekutuan orang-orang ini yang berjumlah sekitar 20 orang
ditempatkan di rumah salah seorang jemaat. Kemudian pada tahun 1977 ada
seseorang yang memberikan sebidang tanah, yang pada saat itu sudah
berkembang menjadi sekitar 70 orang. Baru pada tahun 1979 mulai dibangun
gedung gereja di atas sebidang tanah tadi yang dananya berasal dari usaha warga
jemaat, simpatisan dan juga donatur.
GKJ Ampel memiliki seorang pendeta yang yang ditugaskan dan telah
ditahbiskan di gereja ini pada tanggal 24 Juli 2010 bernama Pdt. Jaryono, S.Si.
Sebagai seorang pendeta beliau memiliki tugas untuk menggembalakan jemaat-
jemaatnya dan lebih seringnya lagi adalah memberikan khotbah dalam kebaktian
setiap hari minggu dan persekutuan selain hari minggu. Dalam kebaktian minggu
maupun persekutuan, bahasa yang digunakan tidak selalu menggunakan bahasa
Jawa, itu tergantung pada jadwal yang telah ditentukan oleh gereja induk itu
sendiri.
Setiap pengkhotbah yang bertugas di GKJ Ampel memiliki kekhasan
masing-masing dalam berkhotbah, baik itu dari gaya berkhotbah, emosi atau
penghayatan mengenai materi yang disampaikan, sedangkan volume dan tekanan
suara yang digunakan pengkhotbah tergantung pada jemaat yang mendengarkan
khotbah. Setiap pengkhotbah memiliki tingkat pendidikan dan kemampuan
berbahasa Jawa yang berbeda maka hal ini mempengaruhi dalam penyampaian
khotbah berbahasa Jawa secara baik dan benar. Meskipun secara retorika mereka
memiliki kemampuan yang sangat baik, namun dari segi kebahasaan mereka
masih sering menggunakan lebih dari satu bahasa, sehingga akan muncul alih
5
kode dan campur kode. Peralihan bahasa juga dapat disebabkan oleh karena
materi khotbah yang diberikan kepada pengkhotbah, jemaat yang bervariasi baik
dari segi umur, pekerjaan, dan tingkat pendidikan.
Berikut ini adalah contoh “Alih Kode dan Campur Kode dalam Khotbah
Berbahasa Jawa di Gereja Kristen Jawa Ampel Kabupaten Boyolali”:
Data 1
Awit ugi namung dhateng panganthinipun Gusti menika dados jaminan. Jaminan
dan kepastian hidup orang percaya itu hanya di dalam penyertaan Tuhan.
‟karena juga hanya kepada penyertaan Tuhan itulah yang menjadi jaminan.
Jaminan dan kepastian hidup orang percaya itu hanya di dalam penyertaan Tuhan‟
(BK/08/11/15)
Data tuturan di atas merupkan tuturan yang terjadi di GKJ Ampel
kabupaten Boyolali. Waktu terjadinya tuturan adalah hari minggu 8 November
2015 pada pukul 08.20 WIB. Penuturnya adalah majelis GKJ Ampel yang
bertugas menyampaikan materi khotbah pada hari itu kepada pendengar.
Pendengar tuturan tersebut adalah warga jemaat GKJ Ampel yang datang
beribadah hari itu. Situasi saat terjadinya tuturan adalah tenang, semua yang ada
di tempat itu fokus mendengarkan penutur yang sedang berkhotbah dalam
kegiatan keagamaan. Tujuan dari tuturan itu adalah penutur ingin
memberitahukan kepada pendengar bahwa penyertaan Tuhan yang menjadi
jaminan dan kepastian orang percaya.
Alih kode pada tuturan di atas dilakukan penutur dari bahasa Jawa „awit
ugi namung dhateng panganthinipun Gusti menika dados jaminan‟ yang
kemudian beralih ke bahasa Indonesia „jaminan dan kepastian hidup orang
6
percaya itu hanya di dalam penyertaan Tuhan‟ sehingga fungsinya berbeda.
Alih kode ini disebut alih kode ekstern.
Fungsi dilakukannya alih kode oleh penutur pada data tuturan tersebut
adalah lebih argumentatif. Penutur ingin lebih meyakinkan pendengar ketika
mulai beralih ke bahasa Indonesia. Sebelumnya penutur mencoba memberikan
argumen, namun kemudian lebih ditekankan lagi lewat pernyataan berikutnya.
Faktor yang menyebabkan terjadinya alih kode oleh penutur adalah pokok
pembicaraan. Ketika penutur masih berbicara dengan bahasa Jawa, belum
melakukan alih kode sudah jelas di sana bahwa pokok pembicaraanya penyertaan
Tuhan yang menjadi jaminan. Setelah penutur beralih kode ke bahasa Indonesia
penutur lebih jelas membahas tentang penyertaan Tuhan yang bukan hanya
menjadi jaminan, namun juga sebagai kepastian hidup orang percaya seperti yang
dimaksudkan penutur.
Data 2
Kula pitados bilih pasamuwan ingkang ing ngriki, ing GKJ Ampel, menawi saking
pamawas kula menika boten kenging krisis ekonomi awit sedaya tansah saged.
‟saya percaya jika jemaat yang ada di sini, di GKJ Ampel, apabila dari
penglihatan saya itu tidak terkena krisis ekonomi karena semua serba bisa‟
(BK/08/11/15)
Data tuturan di atas merupakan peristiwa tutur yang terjadi di GKJ Ampel.
Tuturan tersebut terjadi pada hari minggu 8 November 2015 pukul 08.20 WIB.
Tuturan tersebut dilakukan oleh penutur yaitu pengkhotbah yang pada hari itu
melakukan tugasnya berkhotbah. Yang mendengarkan tuturan tersebut adalah
semua warga jemaat yang hadir di tempat dan waktu yang sama. Situasi ketika
7
tuturan terjadi cukup tenang karena pada saat itu tengah mengikuti kegiatan
keagamaan. Tujuan dari tuturan di atas adalah meyakinkan kepada pendengar
bahwa jemaat yang ada di situ tidak ada yang mengalami krisis ekonomi seperti
yang sedang dibahas penutur.
Bentuk campur kode yang terdapat pada tuturan di atas adalah berujud
frasa. Frasa yang dimaksud adalah dalam bentuk bahasa Indonesia, dimana
tuturan aslinya adalah bahasa Jawa yaitu „kula pitados bilih pasamuwan ingkang
ing ngriki, ing GKJ Ampel, menawi saking pamawas kula menika boten kenging
krisis ekonomi awit sedaya tansah saged‟. Penggunaan frasa dari bahasa
Indonesia yaitu „krisis ekonomi‟ terletak agak akhir tuturan yang tidak memiliki
fungsi baru dalam kalimat. Campur kode ini merupakan campur kode ekstern.
Campur kode pada data tuturan di atas berfungsi untuk kelancaran dan
mempermudah maksud tuturan. Penutur lebih lancar menggunakan kata itu jika
dibanding harus mencari padanan kata lainnya, yang malah akan menyusahkan
penutur. Selain itu frasa yang digunakan cukup umum dan hampir semua orang
mengetahui maksud dari tuturan penutur dengan menggunakan tuturan itu.
Faktor yang menyebabkan campur kode dalam tuturan tersebut adalah
kesengajaan. Penutur dengan sengaja melakukan campur kode pada tuturan
tersebut. Pendengar maupun penutur sudah mengerti maksud dari tuturan yang
dicampur kodekan tadi, penutur juga dengan lancar mengucapkan karena istilah
itu merupakan istilah yang umum. Campur kode ini tidak hanya menguntungkan
penutur melalui kelancaran dan kemudahan saja tetapi juga menjadikan tuturan
yang lebih bervariasi dari tuturan yang lain.
8
Penelitian yang berkaitan dengan alih kode dan campur kode berbahasa
Jawa sebelumnya juga pernah diteliti oleh beberapa peneliti lain, diantaranya
adalah sebagai berikut.
Penelitian yang dilakukan oleh Geti Mawarni (2013), dalam penelitiannya
yang berjudul “Penggunaan Bahasa Jawa oleh Penyetor Susu Sapi Segar di KUD
Mojosongo Boyolali (Suatu Kajian Sosiolinguistik)” mengkaji mengenai tingkat
tutur, alih kode dan campur kode, serta interfensi yang digunakan dalam
komunikasi penyetor susu sapi segar di KUD Mojosongo Boyolali.
Penelitian oleh Erry Prastya Jati (2014) yang berjudul Alih Kode dan
Campur Kode dalam Penggunaan Bahasa Jawa Tukang Ojek di Terminal Bus
Simo Boyolali (Suatu Tinjauan Sosiolinguistik) merupakan penelitian deskriptif
kualitatif yang datanya bersumber dari informan yaitu tukang ojek itu sendiri.
Penelitian oleh Sri Hartini (2004) yang berjudul Penggunaan Bahasa Jawa
dalam Khotbah Jum‟at di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar. Juga
penelitian oleh Nastiti Puji Rahayu (2015) yang berjudul Alih Kode dan Campur
Kode dalam Komunikasi Penjual dengan Pembeli dan Pembeli dengan Pembeli di
Warung HIK Kecamatan Jebres Kota Surakarta (Kajian Sosiolinguistik).
Penelitian mengenai alih kode dan campur kode dalam khotbah berbahasa
Jawa di Gereja Kristen Jawa Ampel belum pernah dilakukan. Hal inilah yang
mendasari penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam lagi mengenai penggunaan
alih kode dan campur kode dalam khotbah berbahasa Jawa di Gereja Kristen
Jawa. Alasan yang ada ialah karena (1) GKJ menggunakan khotbah berbahasa
Jawa, (2) GKJ Ampel merupakan GKJ terbesar di kecamatan Ampel dan memiliki
9
jemaat yang banyak dengan penguasaan bahasa yang berbeda-beda, (3)
pengkhotbah di GKJ Ampel memiliki kekhasan dalam menggunakan bahasa
seperti bentuk alih kode dan campur kode yang dipakai. Peneliti memberikan
judul penelitian ini “Alih Kode dan Campur Kode dalam Khotbah Berbahasa
Jawa di Gereja Kristen Jawa Ampel Kabupaten Boyolali”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, permasalahan yang akan
dikemukakan penulis yaitu mengenai penggunaan alih kode dan campur kode
dalam khotbah berbahasa Jawa di Gereja Kristen Jawa Ampel. Oleh karena itu
dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut;
1. Bagaimanakah bentuk alih kode dan campur kode dalam khotbah
berbahasa Jawa di Gereja Kristen Jawa Ampel?
2. Bagaimanakah fungsi alih kode dan campur kode dalam khotbah
berbahasa Jawa di Gereja Kristen Jawa Ampel?
3. Bagaimanakah faktor yang menyebabkan alih kode dan campur kode
dalam khotbah berbahasa Jawa di Gereja Kristen Jawa Ampel?
C. Tujuan Penelitian
Setiap melakukan kegiatan penelitian tentu mempunyai tujuan, demikian
pula halnya dengan penelitian ini. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Mendeskripsikan bentuk alih kode dan campur kode dalam khotbah
berbahasa Jawa di Gereja Kristen Jawa Ampel;
10
2. Mendeskripsikan fungsi alih kode dan campur kode dalam khotbah
berbahasa Jawa di Gereja Kristen Jawa Ampel;
3. Mendeskripsikan faktor penyebab alih kode dan campur kode dalam
khotbah berbahasa Jawa di Gereja Kristen Jawa Ampel.
D. Pembatasan Masalah
Batasan masalah pada penelitian ini adalah penggunaan alih kode dan
campur kode dalam khotbah kebaktian berbahasa Jawa di Gereja Kristen
Jawa(GKJ) Ampel kabupaten Boyolali.
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat menambah teori
sosiolinguistik khusus mengenai alih kode dan campur kode dalam khotbah
berbahasa Jawa.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberi wawasan
tentang penggunaan alih kode dan campur kode yang dapat digunakan dalam
khotbah berbahasa Jawa. Selain itu, diharapkan agar pemberi khotbah lebih
memperhatikan penggunaan bahasa dalam setiap khotbahnya.
F. Landasan Teori
Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini:
11
1. Sosiolinguistik
Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan
linguistik, dua bidang ilmu empiris yang mempunyai kaitan sangat erat. Sosiologi
adalah kajian yang objektif dan ilmah mengenai manusia di dalam masyarakat,
dan mengenai lembaga-lembaga, dan proses sosial yang ada dalam masyarakat.
Sedangkan linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa, atau bidang
ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Dengan demikian, secara
mudah dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisiplin
yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu di
dalam masyarakat (Chaer dan Agustina, 2004: 2).
Studi interdisipliner yang menggarap masalah-masalah kebahasaan dalam
hubungannya dengan masalah-masalah sosial dikenal dengan sebutan
sosiolinguistik. Lebih cenderung disebut dengan sosiologi bahasa dengan
pertimbangan, karena studi ini pada hakekatnya menggarap masalah-masalah
sosial dalam hubungannya dengan pemakaian bahasa (Fishman dalam Suwito.
1983: 4). Sosiolinguistik menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya
dengan pemakaiannya dalam masyarakat, memandang bahasa sebagai sistem
sosial dan sistem komunikasi, serta merupakan bagian dari masyarakat dan
kebudayaan tertentu, sedangkan pemakaian bahasa adalah bentuk interaksi sosial
yang terjadi dalam situasi kongkret (Appel dalam Suwito, 1983: 2).
Dari beberapa pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa
sosiolinguistik mempelajari bahasa yang berkaitan dengan pengguna bahasa itu
sendiri. Studi interdisipliner yang menempatkan bahasa hingga dipandang sebagai
12
bagian dari sistem sosial dan komunikasi dari masyarakat pemakai bahasa dengan
situasi yang relevan terjadi.
2. Kode
Pada suatu aktivitas bicara yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari,
seseorang yang melakukan pembicaraan sebenarnya mengirimkan kode-kode kepada
lawan bicaranya (Pateda 1990 : 83). Pengkodean melalui proses yang terjadi baik
kepada pembicara maupun mitra bicara. Kode-kode yang dihasilkan oleh tuturan
harus dimengerti oleh kedua belah pihak. Di dalam proses pengkodean kalau mitra
bicara atau pendengar memahami apa yang dikodekan oleh lawan bicaranya, maka
pasti akan mengambil keputusan dan bertindak sesuai dengan apa yang disarankan
oleh penutur. Tindakan yang dimaksud misalnya berupa memutuskan pembicaraan
mengulangi pernyataan. Proses pengkodean sebagai variasi yang dimaksud, yaitu
lembut, keras, cepat, lambat, bernada dan sebagainya sesuai dengan situasi hati
pembicara. Jadi, manusia dapat mengubah suaranya sendiri dengan suasana hati yang
senang.
Poedjosoedarmo (1978 : 4) memberikan batasan kode sebagai suatu sistem
tutur yang penerapan unsur bahasanya mempunyai ciri-ciri khas sesuai dengan latar
belakang si penutur, relasi penutur dengan mitra tutur dan situasi tutur yang ada.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam sebuah kode terdapat beberapa unsur
bahasa seperti kalimat, kata, morfem dan fonem yang pemakaiannya dikendalikan
oleh semacam pembatasan umum yang berupa faktor-faktor nonlinguistik, dan faktor
tersebut disebut dengan komponen tutur.
Kode biasanya berbentuk varian-varian bahasa yang secara nyata dipakai
dalam berkomunikasi dan berinteraksi antara orang satu dengan orang lain. Bagi
13
masyarakat yang monolingual kode terjadi dari varian-varian satu bahasa, tetapi bagi
masyarakat yang multilingual kode terjadi dari varian satu bahasa atau lebih dari dua
bahasa atau lebih. Secara garis besar, kode dapat dibedakan menjadi tiga, dialek,
ragam, dan tingkat tutur atau undha usuk. Dialek dapat dibedakan berdasarkan
geografis, sosial, usia, jenis kelamin, aliran dan suku. Tingkat tutur dapat dibedakan
menjadi tingkat tutur hormat dan tidak hormat.
Menurut Suwito (1983 : 67) kode adalah salah satu varian dalam herarki
kebahasaan. Selain kode juga dikenal beberapa varian, antara lain varian kelas sosial,
ragam, gaya, varian kegunaan,.Varian regional disebut dengan dialek geografis yang
dibedakan dengan dialek regional dan dialek lokal. Ragam dan gaya dirangkum
dalam laras bahasa, sedangkan varian kegunaan disebut dengan register. Tiap-tiap
varian merupakan tingkat tertentu dalam kebahasaan dan semuanya termasuk dalam
cakupan kode, sedangkan kode merupakan bagian dari bahasa.
Yang dapat disimpulkan dari pernyataan-pernyataan tersebut kode adalah
bentuk variasi bahasa yang digunakan orang untuk berkomunikasi. Orang yang
berbicara kepada orang lain mengirimkan kode-kode yang dihasilkan oleh tuturan dan
harus dimengerti oleh keduanya. Dalam kode juga terdapat beberapa unsur bahasa
seperti kalimat, kata, morfem, dan fonem.
3. Alih Kode
Alih kode adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode lainnya.
Apabila seorang penutur semula menggunakan kode A, kemudian beralih
menggunakan kode B, maka peristiwa ini disebut sebagai alih kode (Suwito,
1983; 68). Faktor yang mempengaruhi alih kode adalah penutur, mitra tutur,
14
hadirnya penutur ketiga, pokok pembicaraan, untik membangkitkan rasa humor,
dan untuk sekedar gengsi (Suwito, 1983; 72-73).
Pada dasarnya alih kode merupakan penggantian kode yang berupa bahasa
atau ragam bahasa dari kode yang satu ke kode yang lain pada waktu seseorang
bertutur. Menurut Kridalaksana (2008), pengertian penggantian yang dimaksudkan
untuk menyesuaikan diri dengan peran serta atau situasi lain.
Dalam kenyataan sehari-hari, ternyata bahwa ragam bahasa lebih cenderung
memakai alih kode, hal ini disebabkan oleh faktor kemudahan dalam mendiskripsi
suatu peristiwa tutur dengan menghubungkan faktor-faktor yang mempengaruhi
peristiwa tutur.
Poedjosoedarmo (1978 : 15) membicarakan alih kode permanen dan alih kode
sementara. Alih kode permanen merupakan peristiwa penggantian kode secara tetap
dan dalam waktu yang lama oleh seorang pembicara. Alih kode tersebut terjadi bila
ada perubahan yang menyolok dalam kedudukan status sosial dan hubungan pribadi
antara pembicara dan lawan bicara.
Dapat disimpulkan bahwa alih kode adalah proses pergantian kode dari satu
kode ke kode yang lain ketika sedang bertutur. Alih kode itu sendiri bisa bersifat
permanen dan juga sementara, ini bisa dilihat dari waktu yang digunakan penutur.
4. Bentuk, Fungsi, Faktor yang Menyebabkan Alih Kode
Bentuk alih kode ada dua yaitu alih kode intern dan alih kode ekstern.
Apabila alih kode itu terjadi antar bahasa-bahasa daerah dalam satu bahasa nasional,
atau antara dialek-dialek dalam satu bahasa daerah, atau antar beberapa ragam dan
gaya yang terdapat dalam satu dialek, alih kode seperti itu disebut alih kode intern.
15
Sedangkan apabila yang terjadi adalah bahasa asli dengan bahasa asing, maka disebut
alih kode ekstern (Suwito, 1983: 69).
Alih kode berfungsi secara eksklusif, jika situasi relevan dengan peralihan
kode. Selain itu menunjukkan suatu gejala adanya saling ketergantungan antara
fungsi kontekstual dan situasi relevansi di dalam pemakaian dua bahasa atau lebih
(Suwito, 1983: 69). Fungsi lain dari alih kode adalah (1) lebih argumentatif, (2) lebih
prestise, (3) lebih komunikatif, (4) memberikan penghormatan, (5) mempertegas
pembicaraan, (6) pernyataan untuk diri sendiri.
Menurut Suwito (1983: 72 – 74) beberapa faktor yang menyebabkan
terjadinya alih kode antara lain penutur, lawan tutur, hadirnya orang ketiga, pokok
pembicaraan, untuk membangkitkan rasa humor dan sekedar untuk bergengsi.
Nababan (1984 : 7) menyatakan bahwa unsur-unsur yang menyebabkan adanya alih
kode ada beberapa macam, yaitu pemeran serta, topik, situasi, tujuan, jalur dan ragam
bahasa.
Menurut Poedjosoedarmo (1978 : 23 – 26) alih kode terjadi karena kehendak
atau suasana hak penutur berubah, ada orang ketiga yang hadir dalam pembicaraan,
suasana pembicaraan berubah, topik pembicaraan berubah, ada pengaruh
pembicaraan lain, dan penutur tidak menguasai kode yang tengah dipakai.
Dari beberapa pakar dan penelitian sosiolinguistik yang telah dilakukan dapat
disarikan bahwa alih kode dilihat dari segi bentuk berupa (a) bahasa, (b) ragam, dan
(c) tingkat tutur. Alih kode yang berujud bahasa, misalnya bahasa Jawa, bahasa
Indonesia, bahasa Inggris. Faktor-faktor penyebab alih kode bermacam-macam, yaitu
(1) gaya berbahasa penutur, (2) kedwibahasaan, (3) kesengajaan.
16
5. Campur Kode
Campur Kode (code mixing) adalah penggunaan satuan bahasa dari satu
bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa,
termasuk di dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan (Kridalaksana,
2008; 40).
Di dalam campur kode ciri-ciri ketergantungan ditandai dengan adanya
hubungan timbal balik antara peranan dan fungsi kebahasaan. Peranan maksudnya
yang menggunakan bahasa tersebut, sedangkan fungsi kebahasaan berarti apa yang
hendak dicapai oleh penutur dengan tuturannya. Seorang penutur yang banyak
menguasai bahasa akan mempunyai kesempatan bercampur kode lebih banyak
daripada penutur yang hanya menguasai satu atau dua bahasa saja. Tetapi tidak
berarti bahwa penutur yang menguasai lebih banyak bahasa selalu banyak bercampur
kode. Sebab yang hendak dicapai oleh penutur dengan tuturannya sangat menentukan
pilihan kebahasaannya.
Ciri-ciri yang lain adanya gejala campur kode ialah bahwa unsur-unsur bahasa
atau variasi-variasinya yang menyisip didalam bahasa lain tidak lagi mempunyai
fungsi tersendiri. Unsur-unsur itu telah menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan
secara keseluruhan hanya menduduki satu fungsi (Suwito, 1983; 75-76).
Dalam kondisi yang maksimal campur kode merupakan konvergensi
kebahasaan yang mana unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa yang masing-
masing telah menanggalkan fungsinya di dalam mendukung fungsi bahasa yang
disisipinya. Unsur-unsur yang demikian dapat dibedakan menjadi dua golongan (1)
yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasivariasinya, (2) bersumber dari
17
bahasa asing. Adapun campur kode golongan (1) disebut dengan campur kode
kedalam(inner code mixing), sedangkan golongan (2) disebut dengan campur kode
keluar(outer code mixing).
Dapat disimpulkan bahwa campur kodeadalah peristiwa percampuran kode
ataupun varian bahasa oleh seseorang yang sedang berbicara kepada lawan bicaranya
untuk memperluas gaya bahasa. Ciri campur kode ditandai dengan adanya hubungan
timbal balik antara peranan dan fungsi kebahasaan.
6. Bentuk, Fungsi, Faktor yang Menyebabkan Campur Kode
Dari sisi bentuk, campur kode dapat berupa (1) penyisipan unsur-unsur yang
berujud kata, (2) penyisipan unsur-unsur yang berujud frasa, (3) penyisipan unsur-
unsur yang berujud bentuk baster, (4) penyisipan unsur-unsur yang berujud
perulangan kata, (5) penyisipan unsur-unsur yang berujud ungkapan atau idiom, (6)
penyisipan unsur-unsur yang berujud klausa (Suwito, 1983; 78-80).
Fungsi campur kode digunakan untuk (1) kelancaran dan mempermudah
menyampaikan maksud tuturan atau pesan yang ingin disampaikan, (2) keefektifan
bahasa, (3) pesan yang disampaikan mudah dipahami mitra tuturnya, serta berfungsi
untuk (4) memperjelas maksud tuturan kepada pendengar (Suwito, 1983; 75-77).
Adapun penyebab campur kode antara lain (1) sikap berbahasa penutur, (2)
kekurangtahuan penutur pada kaidah bahasa, (3) kedwibahasaan, (4) kemiskinan
perbendaharaan kata penutur, dan (5) kesengajaan. Kemudian dari sisi fungsi,
penggunaan campur kode oleh penutur dimaksudkan untuk mengenakkan
pembicaraan, mempermudah alur komunikasi penutur dan mitra tutur, dan untuk
tidak terikat kaidah bahasa (yang kaku).
18
7. Tingkat Tutur
Tingkat tutur adalah variasi-variasi yang perbedaannya ditentukan dengan
adanya perbedaan sikap santun yang ada dalam diri pembicara terhadap lawan
bicaranya (Poedjosoedarmo, 1979 : 3). Tingkat tutur bahasa Jawa dibagi menjadi tiga
macam yaitu, Basa Krama, Basa Madya, dan Basa Ngoko (Poedjosoedarmo, 1979 :
13).
Tingkat tutur krama adalah tingkat tutur yang mengungkapkan arti penuh
sopan santun. Tingkat tutur ini menandakan adanya perasaan segan penutur terhadap
lawan tutur karena lawan tutur merupakan orang yang belum dikenal, atau
berpangkat, atau priyayi, berwibawa, dan lain-lain (Poedjosoedarmo, 1979 : 14).
Mudha krama merupakan tingkat tutur krama yang biasanya digunakan oleh orang
yang lebih muda terhadap orang yang lebih tua. Kramantara merupakan tingkat tutur
krama yang digunakan oleh orang-orang yang dianggap sederajat. Wredha krama
merupakan tingkat tutur krama yang biasanya digunakan orang yang lebih tua kepada
orang yang lebih muda.
Tingkat tutur madya adalah tingkat tutur menengah antara krama dan ngoko,
menunjukkan perasaan sopan namun secara sedang-sedang saja. Tingkat ini bermula
dari tingkat tutur krama yang dalam proses perkembangannya mengalami tiga
perkembangan penting yaitu, proses kolokialisasi, penurunan tingkat, dan ruralisasi
(Poedjosoedarmo, 1979 : 15). Tingkat tutur madya memiliki tiga tingkat yaitu madya
krama, madyantara, dan madya ngoko. Perbedaan ketiganya hanya berdasarkan kata-
kata dan afiksasi yang disisipkan di dalamnya.
19
Tingkat tutur ngoko mencerminkan rasa tak berjarak penutur dan mitra tutur,
yang mana di antara mereka saling tidak memiliki rasa segan satu sama lain. Tingkat
tutur ini seharusnya dipakai oleh orang yang sudah sangat akrab dan ingin
menyatakan keakrabannya. Tingkat tutur ngoko ini dibagi menjadi basa antya, antya
basa, dan ngoko lugu. Yang membedakan ketiganya hampir sama dengan perbedaan
yang digunakan oleh tingkat tutur madya.
8. Khotbah
Khotbah adalah pidato lisan yang dibuat oleh seorang nabi atau anggota
ulama mengenai hal-hal alkitabiah, teologis, agama atau moral, biasanya
memegang perilaku kepercayaan, hukum atau manusia dalam konteks sekarang
atau masa lalu. Di dalam khotbah si pengkhotbah tidak memberitakan firman
Allah secara langsung, sebagaimana yang dilakukan para Nabi, namun ia harus
mengemukakan hasil penafsirannya atas firman Allah (Engel, 2007: 7).
Khotbah tidak sama dengan pidato atau mengajar. Khotbah harus dibuat
berdasarkan penafsiran yang bermutu. Khotbah adalah salah satu bentuk
komunikasi satu arah, meski respon pendengar akan mempengaruhi pengkhotbah.
Berkhotbah adalah proses penyampaian stimulus dalam bentuk kata-kata, pesan
dan makna suci, dengan tujuan membentuk dan merubah perilaku pendengar.
Mengawali khotbah dengan menyampaikan dasar pemikiran yang tertulis di depan
dan kemudian mengakhirinya dengan memberikan pertanyaan reflektif maka di
dalam berkhotbah terdapat adanya “interaksi dan transaksi” (Indrasmara dan
Yusak, 2010: 81-82).
20
Berkhotbah bukan proses membuat pendengar menjadi ahli Alkitab,
melainkan mengenalkan Allah melalui firman. Oleh karena itu seorang
pengkhotbah harus memiliki karakteristik spiritualitas yang patut diteladani.
Pertama, pengkhotbah adalah seorang yang penuh kesungguhan. Kedua,
pengkhotbah adalah seorang yang betul-betul percaya dan berbakti kepada Tuhan.
Ketiga, pengkhotbah adalah seorang yang bersedia menerima kritikan. Keempat,
pengkhotbah adalah bukan seorang peniru. Dan yang kelima, pengkhotbah adalah
seorang yang mau memelihara kesehatan jasmani dan rohaninya (Engel, 2007: 18-
19).
Berdasarkan beberapa pengertian khotbah di atas maka dapat disimpulkan
bahwa khotbah adalah pidato lisan mengenai hal-hal agama atau moral yang
disampaikan oleh orang yang memiliki karakteristik spiritualias dengan tujuan
membentuk dan merubah perilaku pendengar.
G. Jenis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka penelitian ini
termasuk jenis penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif adalah
penelitian yang studi kasusnya mengarah pada pendeskripsian secara rinci,
mendalam, dan benar-benar potret kondisi apa yang sebenarnya terjadi menurut
apa adanya di lapangan (Sutopo, 2002:111).
Dalam penelitian ini, data yang terkumpul berupa kata-kata dan bukan
dalam bentuk angka. Maka dari itu, penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang penentuan sampelnya
dengan cara cuplikan yang juga disebut purposive sampling, artinya sampel
21
ditentukan secara selektif, sumber datanya diarahkan kepada sumber data yang
menghasilkan data secara produktif, penting sesuai dengan permasalahan yang
ditentukan tujuan penelitian, dan teori yang digunakan (Sutopo, 2002:36).
Penelitian deskriptif kualitatif adalah penelitian yang mendeskripsikan
kondisi yang benar-benar terjadi di lapangan dengan penetuan sampelnya
menggunakan cara cuplikan atau nukilan yang disebut purposive sampling.
Maksud dari penelitian yang dilaksanakan ini adalah mendeskripsikan dan
menjelaskan fenomena yang muncul tanpa menggunakan hipotesa dan data
beserta hasilnya berbentuk deskriptif. Fenomena yang dikaji tidak berupa angka
atau koefisien tentang hubungan antara variabel. Penelitian ini berusaha
mendeskripsikan data-data kebahasaan yang berwujud kata-kata.
H. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Gereja Kristen Jawa (GKJ) Ampel yang
beralamatkan di dusun Nyamplunglor, desa Urutsewu, kecamatan Ampel,
kabupaten Boyolali. Lokasi dipilih karena gereja ini merupakan gereja induk,
yang mana gereja ini menjadi tolak ukur bagi gereja-gereja pepanthannya dan di
tempat inilah dijadwalkan khotbah berbahasa Jawa dua sampai tiga kali dalam
sebulan.
I. Data dan Sumber Data
1. Data
Data adalah semua informasi yang disediakan oleh alam yang harus dicari
atau disimpulkan dan dipilah-pilah oleh peneliti (Edi Subroto, 1992: 34). Data
22
penelitian ini berupa data lisan yakni tuturan yang berasal dari rekaman suara dan
video khotbah berbahasa Jawa oleh pengkhotbah yang bertugas di GKJ Ampel
yang kemudian ditranskripsikan dalam bentuk teks yang terdapat alih kode dan
campur kode.
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian adalah asal muasal dari mana data penelitian
itu diperoleh (Edi Subroto, 1992: 34). Sumber data penelitian ini diperoleh dari
lima khotbah berbahasa Jawa yang dilakukan oleh pengkhotbah yang bertugas
selama tiga bulan di GKJ Ampel yang direkam dalam bentuk rekaman suara dan
video.
J. Sampel
Sampel adalah data yang disahkan untuk dikaji karena lolos seleksi
berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian dan teori yang digunakan yang
selanjutnya sebagai bahan untuk dikaji (Nasution, 1988: 28).
Dalam penelitian ini, teknik yang digunakan peneliti adalah teknik
purposive sampling, yaitu pengambilan sampel ditentukan secara selektif, sumber
datanya diarahkan pada sumber data yang menghasilkan data secara produktif,
sesuai dengan permasalahan yang ditentukan dalam tujuan penelitian, dan teori
yang digunakan (Sutopo, 2006:64). Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian
tuturan dalam khotbah berbahasa Jawa di GKJ Ampel yang mengandung alih
kode dan campur kode yang dipakai peneliti sebagai data dalam penelitian ini.
23
K. Alat penelitian
Alat penelitian dalam penelitian ini meliputi alat utama dan alat bantu.
Alat utama yang digunakan adalah peneliti sendiri, artinya kelenturan sikap
peneliti mampu menggapai dan menilai makna dari berbagai interaksi (Sutopo,
2006:44). Penulis langsung mengikuti ibadah dan mendengarkan khotbah secara
langsung. Alat bantu dalam penelitian ini berupa handycam, kamera digital, dan
handphone yang digunakan untuk merekam berjalannya khotbah. Alat bantu
lainnya berupa bollpoin, buku catatan, dan komputer untuk mengolah dan
memproses data.
L. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode
simak, karena cara yang digunakan peneliti untuk memperoleh data dilakukan
dengan menyimak penggunaan bahasa. Dalam hal ini yang disimak adalah
penggunaan bahasa secara lisan yang bersumber dari khotbah berbahasa Jawa di
GKJ Ampel.
Selanjutnya untuk memperoleh data yang representatif dari metode simak
ini digunakan beberapa teknik yakni sebagai berikut:
1. Teknik dasar : Teknik Sadap
Teknik dasar yang digunakan pada penelitian ini meliputi teknik sadap,
yaitu penyimakan dengan meyadap penggunaan bahasa pembicara
seseorang atau beberapa orang. Teknik ini memperoleh data dengan
24
menyadap penggunaan bahasa yang digunakan pengkhotbah dalam
khotbahnya.
2. Teknik Lanjutan I : Teknik Simak Bebas Libat Cakap
Teknik ini disebut “teknik simak bebas libat cakap” atau teknik “SBLC”
karena dilakukan dengan tidak berpartisipasi ketika menyimak. Dalam hal
ini peneliti tidak ikut serta dalam proses pembicaraan, dan hanya berlaku
sebagai pemerhati yang mendengarkan apa yang dikatakan pengkhotbah
ketika menyampaikan khotbahnya di depan majelis dan jemaat.
3. Teknik Lanjutan II : Teknik Rekam
Agar data yang diperoleh lebih akurat dibutuhkan teknik rekam dengan
cara merekam tuturan dalam khotbah. Perekaman yang dilakukan dengan
handycam dan handphone yang menghasilkan rekaman video dan audio.
Kemudian berdasarkan hasil rekaman tersebut dilakukan transkripsi data.
4. Teknik Lanjutan III : Teknik Catat
Di samping kegiatan perekaman penulis juga melakukan pencatatan.
Pencatatan dilakukan setelah teknik pertama dan kedua selesai dilakukan.
Pencatatan dilakukan agar memudahkan peneliti dalam memproses data
setelah data terkumpul , lalu diklasifikasi dan diseleksi berdasarkan
masalah untuk dianalisis dan baru kemudian dilanjutkan dengan
menganalisis data.
M. Metode Analisis Data
Metode yang digunakan untuk menganalisis data penelitian ini adalah
metode padan dan metode distribusional.
25
Metode distribusional yaitu metode analisis data yang alat penentunya
unsur dari bahasa yang bersangkutan itu sendiri (Sudaryanto, 2015: 18). Teknik
dasar yang digunakan dalam metode ini adalah teknik Bagi Unsur Langsung
(BUL) yang membagi hasil satuan lingual data penelitian menjadi unsur-unsur
tertentu. Unsur yang bersangkutan dipandang menjadi bagian langsung satuan
lingual yang dimaksud. Metode dan teknik ini kemudian digunakan untuk
mengkaji bentuk alih kode dan campur kode.
Metode padan adalah metode analisis data yang alat penentunya di luar,
terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto,
2015; 15). Metode padan ini digunakan untuk menganalisis fungsi dan faktor yang
mempengaruhi penggunaan bahasa oleh pengkhotbah di GKJ Ampel. Teknik
dasarnya adalah teknik Pilah Unsur Penentu (PUP). Teknik ini digunakan untuk
memilah data yang berkaitan dengan komponen tutur yaitu setting dan scene,
partisipan, end, act, key, instrumen, norma, genre yang kemudian disingkat
dengan singkatan SPEAKING.
Penerapan metode distribusional dan padan dalam menganalisis data alih
kode adalah sebagai berikut.
Data 3
kados dene randha Sarfat kalawau, misungsungaken sedaya darbekipun. Seluruh
kepunyaannya dan seluruh hidupnya itu diberikan.
‟seperti juga janda Sarfat itu tadi, mempersembahkan semua miliknya. Seluruh
kepunyaannya dan seluruh hidupnya itu diberikan.‟
(BK/08/11/15)
26
Tempat berbicara dan suasana bicaranya adalah di depan mimbar GKJ
Ampel dalam suasana tenang. Waktu pada saaat peristiwa itu adalah hari minggu,
8 November 2015 pada pukul 08.00 WIB. Pendengar tuturan tersebut adalah
jemaat. Tujuan dari tuturan adalah memperjelas pernyatan sebelumnya dengan
nada suara yang cenderung lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Penutur adalah
seorang pengkhotbah yang secara lisan menyampaikan materi kepada jemaat yang
fokus mendengarkan pada saat kegiatan keagamaan.
Data di atas merupakan tuturan pengkhotbah yang terdapat alih kode dari
bahasa Jawa ke bahasa Indonesia. Penutur berbicara dengan menggunakan bahasa
Jawa „kados dene randha Sarfat kalawau, misungsungaken sedaya
darbekipun„, kemudian beralih dengan „seluruh kepunyaannya dan seluruh
hidupnya itu diberikan‟ yang merupakan tuturan bahasa Indonesia dan memiliki
fungsi baru. Alih kode ini disebut alih kode intern.
Fungsi alih kode yang dilakukan penutur adalah mempertegas
pembicaraan. Penutur menjelaskan lagi materi khotbah yang disampaikan
mengenai apa yang telah diberikan oleh Sarfat.
Faktor yang melatarbelakangi penggunaan alih kode adalah penutur.
Penutur dengan sengaja mengalihkan kode karena pada kalimat sebelumnya
penutur menggunakan bahasa Jawa yang cukup sulit dimengerti orang pada
umumnya. Maksud dari penutur sendiri adalah mungkin agar pendengar lebih
paham dengan apa yang dituturkannya dengan memberikan kalimat penjelas yang
dialihkodekan ke dalam bahasa Indonesia yang sifatnya resmi.
27
Contoh penerapan metode distribusional dan padan dalam menganalisis
data campur kode adalah sebagai berikut:
Data 4
menika mratandhani bilih kawontenan perekonomian bangsa kita samangke
pancen nembe ngraosaken awrat
„itu menandakan bahwa keadaan perekonomian bangsa kita saat ini memang
sedang merasakan kesulitan‟
(BK/08/11/15)
Peristiwa tutur tersebut terjadi di GKJ Ampel pada hari Minggu, 8
November 2015. Penutur adalah seorang pengkhotbah yang secara lisan
menyampaikan materi kepada pendengar yaitu jemaat yang fokus memperhatikan
pada saat kegiatan keagamaan. Tujuan dari tuturan adalah menjelaskan keadaan
ekonomi bangsa kita sekarang ini.
Penutur yang berbahasa Jawa melakukan campur kode dengan
menyisipkan unsur kata berbahasa Indonesia yaitu kata „perekonomian‟ di
tengah tuturan berbahasa Jawa „menika mratandhani bilih kawontenan
perekonomian bangsa kita samangke pancen nembe ngraosaken awrat‟. Campur
kode ini merupakan campur kode ekstern.
Fungsi campur kode yang dilakukan penutur adalah kelancaran dan
mempermudah maksud tuturan. Kata dari bahasa Indonesia yang disisipkan oleh
penutur merupakan kata yang cukup familier dan sudah banyak dimengerti
maksudnya.
Faktor terjadinya campur kode adalah kesengajaan. Penutur yang
merupakan seorang pengkhotkbah melakukan campur kode karena sedang
28
membahas tentang keuangan sehingga penutur merasa bahwa pernyataannya akan
mudah dimengerti apabila menggunakan kata tersebut.
N. Metode Penyajian Data
Penyajian hasil penelitian ini menggunakan metode informal. Metode
informal yaitu metode penyajian hasil analisis data berupa perumusan dengan
menggunakan kata-kata biasa, termasuk penggunaan terminologi yang bersifat
teknis (Sudaryanto, 2015; 241). Karena dalam penelitian ini, peneliti akan
menyajikan hasil analisis data dengan menggunankan kata-kata.
Dengan menggunakan metode di atas, peneliti dapat menentukan alih kode
dan campur kode bahasa Jawa dengan bahasa lainnya yang terjadi secara lebih
praktis sehingga data yang dihasilkan dalam penelitian ini dapat dengan mudah
dimengerti.