BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hak-hak ini muncul...

21
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hak Asasi Manusia, 1 merupakan suatu isu yang senantiasa menyertai perjalanan reformasi Indonesia. Sebagaimana umum diketahui, untuk jangka waktu yang lama bangsa dan negara Indonesia terpuruk dalam kehidupan HAM yang tidak bisa disebut maju, beradab, atau setidaknya berkembang secara cukup terencana. 2 Meski pun reformasi terus digelorakan pada berbagai lini ketatanegaraan dan ketatapemerintahan di Indonesia, tetapi berbagai kasus korupsi masih saja terus terjadi. Masalah utama pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia ialah politik hukum yang belum optimal. 3 Politik Hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah Indonesia yang meliputi: pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan; kedua, pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. 4 Hal ini dapat 1 Selanjutnya dalam Skripsi ini Hak Asasi Manusia akan disebut HAM 2 Transisi politik dari suatu rejim otoritarian atau totalitarian kepada kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat yang lebih beradab, sering mempersyaratkan dan menuntut keharusan berlakunya HAM, demokrasi dan masyarakat sipil ( civil society). 3 R.E.S. Fobia, ―Korupsi Ditinjau Dari Perspektif Hukum‖, Prosiding Studium Generale: Korupsi Ditinjau dari Perspektif Hukum dan Agama-agama serta Pencegahannya, Daniel Nuhamara dan Irene Ludji (Editor), Fakultas Teologi UKSW, Salatiga, 2013, h. 1. 4 Abdul Hakim Garuda Nusantara, ―Politik Hukum Nasional‖, Makalah pada Kerja Latihan Bantuan Hukum, LBH, Surabaya, September 1985, sebagaimana dikutip oleh Moh. Mahfud MD., Politik Hukum Di Indonesia, PT. Pustaka LP3ES Indonesia, September 1998, h. 9.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hak-hak ini muncul...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hak-hak ini muncul dari tuntutan agar negara menyediakan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar setiap orang,

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hak Asasi Manusia,1 merupakan suatu isu yang senantiasa menyertai

perjalanan reformasi Indonesia. Sebagaimana umum diketahui, untuk jangka

waktu yang lama bangsa dan negara Indonesia terpuruk dalam kehidupan HAM

yang tidak bisa disebut maju, beradab, atau setidaknya berkembang secara cukup

terencana.2

Meski pun reformasi terus digelorakan pada berbagai lini ketatanegaraan

dan ketatapemerintahan di Indonesia, tetapi berbagai kasus korupsi masih saja

terus terjadi. Masalah utama pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia

ialah politik hukum yang belum optimal.3 Politik Hukum adalah legal policy yang

akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah Indonesia yang

meliputi: pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan

pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan;

kedua, pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum yang telah ada termasuk

penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.4 Hal ini dapat

1 Selanjutnya dalam Skripsi ini Hak Asasi Manusia akan disebut HAM

2 Transisi politik dari suatu rejim otoritarian atau totalitarian kepada kehidupan

berbangsa, bernegara dan bermasyarakat yang lebih beradab, sering mempersyaratkan dan

menuntut keharusan berlakunya HAM, demokrasi dan masyarakat sipil (civil society).

3 R.E.S. Fobia, ―Korupsi Ditinjau Dari Perspektif Hukum‖, Prosiding Studium Generale:

Korupsi Ditinjau dari Perspektif Hukum dan Agama-agama serta Pencegahannya, Daniel

Nuhamara dan Irene Ludji (Editor), Fakultas Teologi UKSW, Salatiga, 2013, h. 1.

4 Abdul Hakim Garuda Nusantara, ―Politik Hukum Nasional‖, Makalah pada Kerja

Latihan Bantuan Hukum, LBH, Surabaya, September 1985, sebagaimana dikutip oleh Moh.

Mahfud MD., Politik Hukum Di Indonesia, PT. Pustaka LP3ES Indonesia, September 1998, h. 9.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hak-hak ini muncul dari tuntutan agar negara menyediakan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar setiap orang,

2

terjadi karena banyak faktor seperti daya tarik kekuasaan dan kondisi

perekonomian yang tidak berkeadilan. Kemilau politik lebih memikat ketimbang

kemuliaan hukum. Kepanikan serta kerawanan ekonomi memaksa tunduk daya

dukung hukum.5 Potensi pengembangan dibelenggu, negara hukum serasa

terhempas nun jauh di sana, diterjang kinerja dan realitas buruk sejarah tata negara

dan tata pemerintahan yang masih saja koruptif, entah sampai kapan.6 Tindak

pidana korupsi sesungguhnya adalah tindakan destruktif, perilaku anti-

pembangunan.7 Tak terkecuali pembangunan bidang pendidikan. Mengapa

demikian? Amartya Sen misalnya menegaskan pandangannya bahwa

―development as a process of expanding the real freedom that people enjoy.‖8

Dalam pandangan yang kurang lebih sama, Paulo Freire, terkenal dengan filsafat

pendidikannya bahwa sistem pendidikan sebaliknya justru harus menjadi kekuatan

penyadaran dan pembebas umat manusia.9

Mempercakapkan hubungan antara pembangunan dengan kebutuhan

bersikap anti-korupsi, maka tak boleh lengah apalagi melupakan bahwa Indonesia

masih harus berusaha lebih serius untuk mengerjakannya.10

5 R.E.S. Fobia, Op cit, h. 9.

6 Ibid.

7 Ibid.

8 Amartya Sen, Development As Freedom, Oxford University Press, 1999, p. 36.

9 Mansour Fakih, Antonius M. Indrianto, Eko Prasetyo, Menegakkan Keadilan dan

Kemanusiaan, Insist Press, Cetakan Pertama, Yogyakarta, Maret 2003, h. 150.

10

Berdasarkan ―Transparency International Corruption Perceptions Index 2012 ―,

Indonesia menempati peringkat ke- 118 dilihat dari urutan negara-negara terbaik yang bersih dari

korupsi. Lihat informasi lengkapnya dalam:

http://www.ey.com/Publication/vwLUAssets/2012_TI_CPI/$FILE/2012%20TI%20CPI.pdf ;

dikunjungi pada Kamis 24 Oktober 2013, pukul 09.15 WIB, sebagaimana terkutip dalam R.E.S.

Fobia, Op cit, h. 15.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hak-hak ini muncul dari tuntutan agar negara menyediakan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar setiap orang,

3

Korupsi bermekaran bersama berbagai krisis yang mendera silih berganti

menjadi bagian tak terpisahkan dalam perjalanan hidup bangsa Indonesia. Krisis

ekonomi, krisis politik, krisis sosial, krisis budaya hingga krisis agama. Persoalan

kemiskinan, pengangguran, keterbelakangan, ketidakadilan, kekerasan hingga

penyalahgunaan kekuasaan seakan-akan tidak mau beranjak dari kehidupan

bangsa ini.11

Korupsi merupakan suatu persoalan hukum, terutama bila kita

hendak membahas secara lebih mendalam tentang negara hukum Indonesia.

Undang-Undang Dasar 1945,12

menegaskan bahwa Indonesia adalah negara

hukum, bukan negara kekuasaan.

Korupsi tampak lewat penyalahgunaan kekuasaan. Karena itu, korupsi

jelas melawan konstitusionalitas dan identitas Indonesia sebagai negara hukum.

Hal ini menjadi penting untuk ditelaah, terutama karena tujuan hukum dan tujuan

negara memiliki hubungan yang sangat erat. Konstitusionalitas dan identitas

negara hukum Indonesia hanya akan berwibawa bila ada kehidupan HAM yang

eksistensial.13

Sebagai contoh, tentang tujuan hukum, umum dikenal pandangan bahwa

hukum mengabdi pada tujuan negara yang utamanya untuk menghasilkan

Dalam hubungan dengan masalah ini, perhatikan juga Laporan ―Control Risks”, yang

antara lain mengutip seorang European Senior Executive, Jakarta, November 2012 yang

mengatakan tentang Indonesia bahwa: ―Graft is a way of life here. And it is getting worse at a time

when head office has never had greater expectations from us‖. Lihat laporan lengkapnya dalam:

http://www.controlrisks.com/Oversized%20assets/indonesia_whitepaper_2013.pdf ; dikunjungi

pada Kamis 24 Oktober, pukul 00.41 WIB, Ibid.

11

Krisis yang meliputi berbagai bidang kehidupan ini, lazimnya dikenal sebagai krisis

multi-dimensional.

12

Selanjutnya dalam Skripsi ini Undang-Undang Dasar 1945 akan disebut UUD 1945.

13 R.E.S. Fobia, Op cit, h 1.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hak-hak ini muncul dari tuntutan agar negara menyediakan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar setiap orang,

4

kemakmuran & kebahagiaan kepada rakyat.14

Lebih tegas lagi, O. Notohamidjojo

mengingatkan bahwa norma kemanusiaan menuntut supaya dalam

penggembalaan hukum, manusia senantiasa diperlakukan sebagai manusia.15

Korupsi sebagai tindak pidana sangat merusak penghormatan,

perlindungan dan pemenuhan HAM. Jelas bahwa korupsi dapat membahayakan,

dan akan menghancurkan negara hukum. Korupsi memanipulasi kemakmuran dan

kebahagiaan publik karena sifatnya yang hanya memperkaya diri atau kelompok

sendiri. Ada atau bahkan banyak pihak berpendapat bahwa kemakmuran dan

kebahagian justru dapat dicapai melalui korupsi, tetapi tentu saja hal ini menjadi

masalah untuk jagad kesadaran dan kehidupan semisal hukum, agama, etika dan

moral.16

Skripsi ini hendak membahas korupsi di bidang pendidikan sebagai

pelanggaran HAM. Sesungguhnya ini tidak berarti bahwa korupsi di bidang

lainnya bukanlah pelanggaran HAM. Dipastikan bahwa korupsi juga melanggar

jenis HAM lainnya seperti pada bidang ketahanan pangan, kesehatan, perumahan

dan daya beli masyarakat. Pilihan terhadap bidang pendidikan sengaja dilakukan

sebagai fokus pembahasan, dengan alasan seperti dikemukakan Freire,17

14

Sebagaimana terkutip dalam Ibid.

15 O. Notohamidjojo, Soal-soal Pokok Filsafat Hukum, Tri Budiono (Editor), Griya

Media, Salatiga, 2011, h.. 41.

16

Ibid.

17

Formulasi filsafat pendidikan Paulo Freire dinamakannya sendiri sebagai

‗pendidikan kaum tertindas‘, sebuah sistem pendidikan yang ditempa dan dibangun kembali

bersama dan diperuntukkan bagi kaum tertindas. Sistem pendidikan pembaharu ini, kata Freire,

adalah pendidikan untuk pembebasan –bukan untuk penguasaan (dominasi). Pendidikan harus

menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan sosial-budaya (social and cultural domestication).

Pendidikan bertujuan menggarap realitas manusia, dan karena itu, secara metodologis bertumpu di

atas prinsip-prinsip aksi dan refleksi total—yakni prinsip bertindak untuk merubah kenyataan yang

menindas dan pada sisi simultan lainnya secara terus-menerus menumbuhkan kesadaran akan

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hak-hak ini muncul dari tuntutan agar negara menyediakan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar setiap orang,

5

pendidikan untuk membebaskan yang tertindas, tentu saja termasuk pembebasan

dari korupsi.

Pendidikan merupakan salah satu pilar utama untuk mewujudkan

masyarakat yang demokratis dan sejahtera. Sebab melalui pendidikan yang baik

itulah seseorang akan dibukakan wawasannya, diteguhkan keyakinan

kemanusiaannya, serta dibukakan akses terhadap sumber-sumber daya ekonomi

yang mampu membawa dirinya pada kemakmuran dan kesejahteraan. Semua hal

itu akan menjadi dasar untuk membangun tatanan kehidupan yang demokratis dan

menghargai kemanusiaan. Oleh karena itulah pemenuhan hak-hak atas pendidikan

yang dimiliki warga menjadi tidak dapat ditawar lagi. Pemenuhan hak atas

pendidikan tersebut merupakan salah satu bagian dari penegakan HAM di negeri

ini. Saatnya, masyarakat tidak hanya perlu memenuhi hak sipil dan politik saja,

tapi juga hak Ekosob. Keduanya itu tidak perlu dipertentangkan mana yang lebih

penting; karena keduanya sama-sama penting. Hanya saja, kadang perwujudannya

amat tergantung pada situasi politik suatu negara, seperti sudah dijelaskan

diatas.18

Secara historis, pendidikan itu pada mulanya bersifat sangat eksklusif dan

elitis, karena hanya dialami oleh golongan bangsawan saja. Para bangsawan itu

selalu mengundang guru-guru privat di rumah, terutama untuk mengajarkan sastra

dan filsafat sebagai suatu bentuk kelangenan (merenda kehidupan) karena mereka

telah mengalami kehidupan yang mapan secara ekonomis, sehingga banyak waktu

realitas dan hasrat untuk merubah kenyataan yang menindas tersebut. Inilah makna dan hakekat

praxis itu. Lihat Mansour Fakih, Antonius M. Indrianto, Eko Prasetyo, Op cit, h. 151.

18 Darmaningtyas dan Heranisty Nasution, ―Pemenuhan Hak-Hak Atas Pendidikan,‖

Jurnal HAM, Vol. 8, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2012, h. 75.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hak-hak ini muncul dari tuntutan agar negara menyediakan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar setiap orang,

6

kosong yang dimiliki. Tradisi itu kemudian berkembang dengan hadirnya filsuf

Yunani, Plato yang pada tahun 397 SM mengajarkan ilmu kepada murid-

muridnya di sebuah taman bernama academe. Nama taman ini untuk seterusnya

digunakan untuk menyebut jenis atau bentuk pendidikan, yaitu akademi.

Pendidikan jasmani, musik, dan sastra diajarkan sampai siswa berumur 18 tahun.

Setelahnya mereka yang belajar ini diwajibkan untuk memasuki dinas militer

selama dua tahun. Pada umur 20 tahun mereka kembali lagi bersekolah untuk

mempelajari aritmatika, ilmu ukur, astronomi, dan filsafat.19

Tetapi kehidupan yang semakin beradab terus berkembang. Simak

pernyataan Anna Elleanor Roosevelt, (1884 – 1962),20

seorang tokoh

kemanusiaan Amerika Serikat dan istri Presiden Frranklin D. Roosevelt. Dia

adalah pembela terkemuka bagi kaum buruh dan kaum miskin, serta tokoh

pendidikan, kesehatan, dan masalah-masalah lain yang menimpa anak-anak.

Selama Perang Dunia I ia banyak melakukan perjalanan atas nama suaminya dan

atas nama suatu gagasan yang sangat didambakan oleh suaminya, yakni

terciptanya sebuah organisasi internasional yang ampuh untuk mencegah perang-

perang di masa depan. Setelah suaminya meninggal, Elleanor ditunjuk menjadi

delegasi Amerika Serikat untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa,21

yang baru dan

pada awal 1946, ia terpilih menjadi ketua pertama Komisi PBB untuk HAM.

19

R. Darmanto Djojodibroto, Tradisi Kehidupan Akademik, Galang Press, Yogyakarta,

2004, h. 43.

20 George Clack dan Kathleen Hug (Editor), Hak Asasi Manusia: Sebuah Pengantar, Th.

Hermaya (Penerjemah), Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1998, h.121-122.

21

Selanjutnya dalam Skripsi ini Perserikatan Bangsa-Bangsa disebut PBB.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hak-hak ini muncul dari tuntutan agar negara menyediakan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar setiap orang,

7

Dalam kedudukannya itu, Elleanor memainkan peran penting dalam menyusun

Deklarasi Umum Hak-hak asasi Manusia.22

Dia terus bertugas sampai 1952.

Dia tercatat pernah mengatakan:23

... Bila saya menengok kembali pekerjaan yang sejauh ini

telah dilakukan oleh Komisi Hak Asasi Manusia kami, saya

menyadari bahwa maknanya ada dua macam.

Pertama, kita telah merumuskan beberapa hak asasi.

Selain itu, kita telah menemukan bahwa keadaan dunia kita

zaman sekarang memerlukan perincian perlindungan-

perlindungan tertentu yang harus dimiliki seseorang agar dia

memiliki rasa aman dan martabat akan dirinya sendiri.

Pengaruhnya terus terang bersifat mendidik [ketikan miring oleh

penulis]. Sungguh, saya suka membayangkan bahwa deklarasi

tersebut akan menolong memajukan pendidikan rakyat di dunia

secara besar-besaran [ketikan miring oleh penulis].

Bagi saya tampaknya yang paling penting ialah deklarasi

tersebut diterima oleh semua bangsa yang menjadi anggota PBB,

bukan karena mereka itu akan segara melaksanakan semua

keputusan-keputusan deklarasi tersebut, melainkan karena

mereka wajib mendukung pedoman-pedoman yang sejak

sekarang harus menjadi sasaran bangsa-bangsa itu [ketikan

miring oleh penulis]. Karena sasaran-sasaran tersebut telah

dirumuskan secara jelas, orang-orang yang berkehendak baik di

mana pun juga akan berusaha untuk meraihnya dengan lebih

bersemangat dan, saya yakin, dengan harapan sukses yang lebih

besar...

22

Selanjutnya dalam Skripsi ini Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia Tahun 1948

disebut DUHAM 1948

23

Dikutip dari Artikel Anna Elleanor Roosevelt, ―The Promise of Human Rights‖,

Foreign Affairs, April 1948, George Clack dan Kathleen Hug (Editor), Op cit, h. 122.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hak-hak ini muncul dari tuntutan agar negara menyediakan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar setiap orang,

8

Secara teoritik, bila mengacu kepada Vasak, yang memperkenalkan tiga

generasi atau kategori mengenai HAM maka dapat dijelaskan bahwa Persamaan

atau HAM Generasi Kedua diwakili oleh perlindungan hak-hak ekonomi, sosial,

dan budaya. Hak-hak ini muncul dari tuntutan agar negara menyediakan

pemenuhan terhadap kebutuhan dasar setiap orang, mulai dari makan sampai pada

kesehatan. Negara dengan demikian dituntut bertindak lebih aktif, agar hak-hak

tersebut dapat terpenuhi atau tersedia. Karena itu hak-hak generasi kedua ini

dirumuskan dalam bahasa yang positif: ―hak atas‖ (right to), bukan dalam bahasa

negatif: ―bebas dari‖ (freedom from). Inilah yang membedakannya dengan HAM

Generasi Pertama. Termasuk dalam generasi kedua ini adalah hak atas pekerjaan

dan upah yang layak, hak atas jaminan sosial, hak atas pendidikan, hak atas

kesehatan, hak atas pangan, hak atas perumahan, hak atas tanah, hak atas

lingkungan yang sehat, dan hak atas perlindungan hasil karya ilmiah,

kesusastraan, dan kesenian.24

HAM Generasi Kedua pada dasarnya adalah tuntutan akan persamaan

sosial. Hak-hak ini sering pula dikatakan sebagai hak-hak positif, yang sangat

membutuhkan peran aktif negara. Keterlibatan negara di sini harus menunjukkan

tanda plus (positif), tidak boleh menunjukkan tanda minus (negatif). Jadi untuk

memenuhi hak-hak yang dikelompokkan ke dalam generasi kedua ini, negara

diwajibkan untuk menyusun dan menjalankan program-program bagi pemenuhan

hak-hak tersebut. Contohnya, untuk memenuhi hak atas pekerjaan bagi setiap

orang, negara harus membuat kebijakan ekonomi yang dapat membuka lapangan

24 Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi (Editor), Hukum Hak Asasi

Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII),

Yogyakarta, Maret 2008, h. 15-16.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hak-hak ini muncul dari tuntutan agar negara menyediakan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar setiap orang,

9

pekerjaan. Sering pula hak-hak generasi kedua ini diasosiasikan dengan paham

sosialis, atau sering pula dianggap sebagai hak derivatif—yang karena itu

dianggap bukan hak yang riil. Namun demikian, sejumlah negara (seperti Jerman

dan Meksiko) telah memasukkan hak-hak ini dalam konstitusi mereka.25

Sesuai dengan perkembangan zaman, pendidikan yang semula eksklusif

dan elitis itu kemudian berkembang menjadi pendidikan untuk semua warga.

Penegasan bahwa pendidikan itu menjadi hak setiap warga terdapat pada Pasal 26

DUHAM 1948 yang menyatakan: ―Setiap orang berhak atas pendidikan.

Pendidikan harus bebas biaya, setidaknya pada tingkat dasar dan tingkat rendah.

Pendidikan dasar harus bersifat wajib. Pendidikan teknik dan profesi harus

tersedia secara umum dan pendidikan yang lebih tinggi harus sama-sama dapat

dimasuki semua orang berdasarkan kemampuan.‖26

DUHAM 1948 yang

bersumber dari deklarasi-deklarasi di Eropa dan Amerika Serikat tersebut

membuka kesadaran semua pemimpin negara di dunia mengenai pentingnya

pendidikan sebagai jembatan emas untuk menuju kepada kehidupan yang lebih

baik. Kesadaran akan pentingnya pendidikan tersebut juga dimiliki oleh para

pendiri bangsa di negeri ini, seperti yang tercermin secara jelas dalam rumusan

Pembukaan UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa salah satu tujuan negara

adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan merupakan salah satu media

pencerdasan bangsa yang paling efektif dan dapat berlangsung massif.27

Tugas

pencerdasan tersebut kemudian dirumuskan secara jelas pada Pasal 31 UUD

25

Ibid, h. 16.

26

Darmaningtyas dan Heranisty Nasution, Op cit, h. 75.

27

Ibid, h. 75-76

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hak-hak ini muncul dari tuntutan agar negara menyediakan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar setiap orang,

10

Tahun 1945 sebelum amandemen, yaitu : (1) Tiap-tiap warga negara berhak

mendapatkan pengajaran; (2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan

satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang.28

Akan tetapi, Pasal 31 ayat (1) yang menjamin hak warga negara untuk

mendapatkan pengajaran juga tidak disertai konsep kewajiban bagi penjamin agar

hak tersebut dapat dipenuhi. Demikian pula dengan ayat (2)-nya yang mewajibkan

pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran

nasional selayaknya menjadi prioritas kewajiban pemerintah (karena sudah

dinyatakan tertulis dalam hukum dasar negara).29

Dari rumusan-rumusan tersebut, tampak jelas terlihat bahwa konsep HAM

dalam Undang-Undang Dasar 1945 telah ditafsirkan menjadi hak seseorang

sebagai warga negara Indonesia. Selanjutnya dapat dikatakan juga bahwa

penyempitan pengakuan HAM juga terjadi dalam hubungan pemikiran keterkaitan

hak dan kewajiban asasi, dimana sebagai hak yang diberikan oleh pemerintah

maka akan menimbulkan konsekuensi bahwa sesuai dengan kepentingan

penguasa, pemberian hak tersebut dapat dicabut oleh penguasa.30

Lebih parahnya, tidak ada lagi peraturan yang lebih tinggi daripada

Undang-Undang Dasar 1945 yang dapat mencegah penguasa untuk melakukan

tindakan pencabutan HAM seseorang. Bahkan, mekanisme pencabutan yang tidak

diatur benar-benar memberikan peluang bagi penguasa.31

28

Ibid, h. 76.

29 Benny D. Setianto, Pergulatan Wacana HAM Di Indonesia, Penerbit Masscom Media,

Cetakan I, Mei 2003, h. 38-39. 30

Ibid, h. 39.

31

Ibid.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hak-hak ini muncul dari tuntutan agar negara menyediakan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar setiap orang,

11

Bunyi Pasal 31 UUD 1945 itu kemudian mengalami perubahan setelah

terjadi reformasi politik 1998. Perubahan tersebut terutama menyangkut masalah

kejelasan rumusan relasi warga versus negara dalam pemenuhan hak-hak atas

pendidikan. Pasal 31 UUD Tahun 1945 hasil amandemen itu selengkapnya

berbunyi:32

1. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.

2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan

pemerintah wajib membiayainya.

3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem

pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan

ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan

kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.

4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-

kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara

serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk

memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

5. Pendidikan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi

dengan menjujung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan

bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat

manusia.

Ada beberapa hal baru yang ditawarkan pada bunyi Pasal 31 UUD 1945

hasil amandemen tersebut dilihat dari aspek pemenuhan hak atas pendidikan bagi

warga. Pertama, terjadi penggantian kata ―pengajaran‖ menjadi ―pendidikan‖.

Kata ―pengajaran‖ sebetulnya lebih jelas mengacu pada pendidikan di sekolah

(formal). Sedangkan pendidikan sebetulnya lebih luas lagi karena bisa mencakup

32

Darmaningtyas dan Heranisty Nasution, Op cit, h. 76.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hak-hak ini muncul dari tuntutan agar negara menyediakan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar setiap orang,

12

pendidikan formal (di sekolah) maupun pendidikan non formal (di luar sekolah).

Dengan kata lain, pasal ini sebetulnya justru mereduksi keharusan negara untuk

menyelenggarakan pengajaran dan melimpahkannya kepada pendidikan non

formal.33

Kedua, adanya kejelasan hubungan antara warga versus negara, yaitu apa

yang disebut sebagai ―hak‖ warga tersebut ―wajib‖ dipenuhi oleh negara. Ayat ini

terutama untuk memberikan penegasan payung hukum dari program wajib belajar

sembilan tahun yang sudah dicanangkan oleh Pemerintah Orde Baru sejak 2 Mei

1994. Selama itu, pengertian ―wajib belajar‖ yang melekat kepada anak usia

antara 7-15 tahun tidak selalu diikuti dengan kewajiban negara untuk memenuhi

anggarannya. Dengan rumusan yang baru tersebut diharapkan timbul kejelasan

hubungan atas kewajiban yang harus ditanggung negara, yaitu dalam hal

pembiayaannya.34

Ketiga, bunyi ayat (4) yang menyatakan bahwa negara memprioritaskan

anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan

belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk

memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Ayat tersebut

dimaksudkan untuk memperjelas ukuran tanggung jawab negara dalam hal

membiayai pendidikan untuk warganya. Serius tidaknya negara memenuhi hak-

hak atas pendidikan warganya itu dapat dilihat dari seberapa besar anggaran

negara yang dialokasikan untuk pendidikan. Angka sekurang-kurangnya 20% dari

APBN/APBD dipilih berdasarkan pengalaman negara-negara lain yang telah

33

Ibid.

34

Ibid, h. 77.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hak-hak ini muncul dari tuntutan agar negara menyediakan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar setiap orang,

13

memberikan anggaran lebih dari 25% dari APBN untuk pendidikan. Sehingga bila

pemerintah Indonesia pun mampu mengalokasikan anggaran pendidikan

sekurang-kurangnya 20% dari APBN/APBD itu merupakan kemajuan yang

signifikan.35

Bunyi Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 hasil amandemen tersebut dipertegas

lagi dengan pasal 49 UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang

menyatakan bahwa: (1) Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya

pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD); (2) Gaji guru dan dosen yang diangkat

oleh Pemerintah dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

(APBN).36

Namun disayangkan bahwa rumusan Pasal 31 ayat (4) UUD Tahun 1945

yang diamandemen serta bunyi Pasal 49 UU Sisdiknas tersebut terdistorsi oleh

Putusan Mahkamah Konstitusi.(MK) Nomor 24/PUU-V/2007 yang di dalamnya

mengamanatkan bahwa anggaran 20% itu termasuk gaji pendidik dan pendidikan

kedinasan sebagai bagian dari komponen pendidikan yang harus dimasukkan

dalam penyusunan anggaran dan belanja pendidikan pada APBN dan APBD.

Berdasarkan pemberitaan Koran Tempo, yang dikutip oleh Darmaningtyas dan

Nasution, Putusan tersebut muncul sebagai jawaban terhadap permohonan

gugatan yang diajukan oleh Rahmatiah Abbas, guru dari Sulawesi Selatan dan

Badryah Rifai, dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar tentang

pengujian materi UU Sisdiknas, khususnya pasal 49 tentang anggaran pendidikan.

35

Ibid.

36

Ibid.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hak-hak ini muncul dari tuntutan agar negara menyediakan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar setiap orang,

14

Menurut Putusan MK tersebut, pasal 49 Ayat 1 UU Sisdiknas yang

mengecualikan gaji pendidikan di dalam presentase anggaran pendidikan

dianggap bertentangan dengan pasal 31 Ayat 4 UUD 1945. Sehingga yang terjadi

pada saat ini adalah anggaran pendidikan di setiap daerah atau secara nasional

lebih 20% dari APBN/APBD, namun 70% dari anggaran tersebut dipergunakan

untuk menggaji guru dan dosen serta untuk membiayai pendidikan kedinasan.

Dampak buruknya adalah tidak ada jaminan bahwa wajib belajar sembilan tahun

itu gratis. Oleh karena anggaran pendidikan yang ada tidak cukup untuk

membiayai operasional pendidikan, maka konsekuensinya adalah membebankan

biaya pendidikan kepada murid-murid. Realitas ini tentunya bertentangan dengan

Pasal 26 DUHAM 1948 yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu bahwa

pendidikan dasar itu gratis.37

Padahal pendidikan adalah salah satu hak dasar yang dimiliki oleh setiap

warga. Dengan demikian, pendidikan merupakan salah satu bentuk asasi yang

melekat pada setiap orang dan negara wajib memenuhinya. Belum lagi kalau

dibahas secara lebih khusus, misalnya mengenai pendidikan yang berbasis HAM,

yang berarti berbicara pendidikan ditinjau dari aspek hak, bukan dari aspek

filosofis, sosiologis, apalagi metodologis. Penjernihan pengertian semacam ini

penting mengingat ada banyak isu yang muncul dalam bidang pendidikan.38

Wacana tentang ―Pendidikan Berbasis HAM‖ di Indonesia dapat dikatakan

terlambat bergaung karena pada masa Orde Baru,39

dengan sistem kekuasaan yang

37

Ibid, h. 77-78.

38 Darmaningtyas dan Heranisty Nasution, Op cit, h. 71.

39

Karakter politik Indonesia Era Orde Baru antara lain; pertama, partisipasi dan kekuasaan dalam

proses pengambilan keputusan di tingkat nasional sepenuhnya dikuasai oleh para pejabat tinggi

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hak-hak ini muncul dari tuntutan agar negara menyediakan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar setiap orang,

15

amat otoriter, perhatian publik tidak tertuju ke sana, tapi lebih tertuju pada

pemenuhan hak-hak sipil dan politik (Sipol). Maklum pada saat itu, dengan

kekuasaan yang bercorak militeristik, seseorang dapat ditangkap dan dipenjarakan

kapan saja tanpa proses hukum yang jelas. Demikian pula hak politik pun

terkekang, kebebasan pers dan berorganisasi tidak ada, partai politik hanya

dikunci menjadi tiga saja, yaitu Golkar, PPP, dan PDI. Wajar bila konsentrasi

perjuangan pada masa Orde Baru itu lebih condong pada pemenuhan hak Sipol

saja. Tapi pasca reformasi politik, yaitu sejak Presiden Suharto mundur pada

tanggal 21 Mei 1998, muncul perhatian baru pada pemenuhan hak ekonomi,

sosial, dan budaya (Ekosob). Pendidikan termasuk di dalamnya. Itu sebabnya

perhatian kita terhadap pemenuhan hak-hak atas pendidikan yang berbasis HAM

itu jadi terhambat dan baru muncul sekarang.40

Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya diperlakukan secara berbeda dengan

Hak Sipil dan Politik. Dalam banyak hal perbedaan itu dibuat-buat karena semua

hak bersifat saling tergantung dan tidak terbagi-bagi. Tidaklah mungkin membuat

perbedaan antara sumber-sumber hak dan kebebasan yang berbeda.41

Pasal 2

adalah ketentuan yang paling penting untuk memahami sifat hak ekonomi, sosial,

dan budaya. Patut dicatat bahwa ―dipandang dari segi sistem politik dan ekonomi,

Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (KIHESB)

negara, termasuk para teknokrat; kedua, adanya ketergantungan kekuasaan para penguasa politik

Orde Baru pada beberapa pilar elit politik dan membangun dukungan politik melalui distribusi

sumber daya ekonomi; dan ketiga, menciptakan partisipasi terkontrol melalui penciptaan lembaga-

lembaga korporatis negara, yang berusaha membangun pluralisme terbatas melalui penggunaan

represi kooptasi, serta sebuah jaringan lembaga korporasi untuk mengendalikan oposisi. Lihat

Kata Pengantar Penerbit dalam Cornelis Lay, Presiden, Civil Society dan HAM, Cet. I, Jakarta,

Penerbit Pensil 324, 2004, h. v.

40 Darmaningtyas dan Heranisty Nasution, Op cit, h. 71-72.

41 Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi (Editor), Op cit, h. 112.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hak-hak ini muncul dari tuntutan agar negara menyediakan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar setiap orang,

16

bersifat netral dan prinsip-prinsipnya tidak dapat secara memadai digambarkan

sebagai didasarkan semata-mata pada kebutuhan dan keinginan akan sistem

sosialis atau kapitalis, atau ekonomi campuran, terencana yang terpusat atau bebas

(laissez-faire) atau pendekatan tertentu... hak yang diakui di dalam Kovenan

Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (KIHESB) dapat

diwujudkan dalam konteks sistem ekonomi dan politik yang beragam dan luas,

asalkan sifat saling tergantung dan tidak terbagi-bagi kedua perangkat hak asasi

manusia tersebut, ... diakui dan dicerminkan dalam sistem yang bersangkutan‖.42

Apa ada hirarki hak yang laten? Beberapa orang berargumentasi bahwa

ada hirarki hak yang tersembunyi, dengan melihat Hak Ekonomi, Sosial, dan

Budaya menduduki tempat kedua.43

Namun sebagai bagian integral dari sistem

Hak Asasi Manusia, banyak hak sipil dan politik yang bergantung pada hak

ekonomi, sosial, dan budaya. Dengan demikian, kedua sistem ini saling

bergantung. Hak partisipasi politik44

membutuhkan pendidikan45

dan hak untuk

hidup46

didasarkan pada perawatan-perawatan kesehatan yang memadai.47

Jadi

tidak mungkin untuk membedakan kedua Kovenan itu berdasarkan hak dan

kebebasan yang terkandung di dalamnya. Memang mungkin dapat diperdebatkan

bahwa beberapa hak secara praktis lebih penting dari yang lain, hak untuk hidup

42 Komisi untuk Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Komentar Umum 3, dari dok.

PBB/E/1991/23, paragraf 8, Ibid, h. 112-113.

43

Lihat di Beetham, ―What Future for Ekonomic and Sosial Rights?‖, Political Studies,

1995, h. 41-60, Ibid, h. 113.

44

Pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, Ibid.

45

Pasal 13 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Ibid.

46

Pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, Ibid.

47

Pasal 12 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Ibid.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hak-hak ini muncul dari tuntutan agar negara menyediakan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar setiap orang,

17

adalah contoh nyata. Namun dari sudut pandang hukum tidaklah mungkin untuk

menentukan hirarki hak karena dengan meratifikasi suatu kovenan maka ada

kewajiban yang muncul untuk menghormati hak secara sama.48

Memperhatikan pentingnya hak atas pendidikan, maka dengan sendirinya

persoalan korupsi di bidang pendidikan harus disorot secara serius. Sekadar

contoh, ICW (Indonesian Corruption Watch), pernah mempertanyakan mengapa

kenaikan anggaran pendidikan tidak sebanding dengan kinerja indikator

pendidikan. Kemudian terungkap bahwa salah satu penyebabnya ialah korupsi

anggaran pendidikan.49

Disebutkan bahwa dalam kurun waktu 5 tahun, penegak

hukum telah mengusut 142 kasus korupsi pendidikan yang menyebabkan kerugian

negara mencapai Rp 243,3 miliar. Selain itu, penegak hukum juga telah

menetapkan 287 tersangka. Dari 142 kasus tersebut, sebagian besar terjadi pada

tahun 2007. Besarnya kasus korupsi yang terjadi pada tahun 2007 berkaitan

dengan pengelolaan dana DAK yang mengalami kebocoran di berbagai daerah.

48

Ibid.

49 itjenkemendiknas.go.id, Peran Masyarakat Sipil Dalam Pemberantasan Korupsi Di

Kemendikbud ICW, 2013, ICW Korupsi Pendidikan Manado.pptx, slide 4-5.

http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CCUQFjAA&url

=http%3A%2F%2Fitjen.kemdiknas.go.id%2Fdownlot.php%3Ffile%3DICW%2520Korupsi%2520

Pendidikan%2520Manado%25202013.pptx&ei=RzDlUur8CcSJrQeN7oDQDg&usg=AFQjCNHX

VKOindVzCN3Nd_skXAVoD845rw, dikunjungi pada Minggu 25 Januari 2014, pukul 14.04

WIB.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hak-hak ini muncul dari tuntutan agar negara menyediakan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar setiap orang,

18

Tabel 1: Kerugian Negara Dalam Korupsi Pendidikan 2004 – 2008 50

Tahun

Terjadi Kasus

Kerugian

Negara

(Rp

Miliar)

2004 25 60.7

2005 11 5.5

2006 27 11.3

2007 65 135.3

2008 14 30.4

Total 142 243.3

ICW bahkan mengatakan bahwa kasus korupsi yang berhasil ditindak

masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan korupsi sebenarnya terjadi!51

B. Rumusan Masalah

Mengapa korupsi dana pendidikan merupakan pelanggaran HAM?

C. Tujuan Penelitian

Untuk menganalisis alasan-alasan korupsi dana pendidikan sebagai pelanggaran

HAM.

50

Ibid, slide 6

51

Ibid.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hak-hak ini muncul dari tuntutan agar negara menyediakan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar setiap orang,

19

D. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritik untuk mengidentifikasi dan mendesiminasi kaidah-kaidah hak

atas pendidikan, khususnya yang harus dilindungi dari praktek korupsi sekaligus

yang dapat didayagunakan untuk melawan korupsi; dan

2. Secara praktis untuk memperkuat semangat perjuangan HAM pada umumnya

dan hak atas pendidikan pada khususnya.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian yang dilakukan penulis adalah penelitian hukum (legal research)

secara deskriptif. Penelitian yang bersifat deskriptif adalah suatu metode dalam

meneliti sekelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem

pemikiran ataupun suatu peristiwa di masa sekarang.52

Dalam konteks ini, penulis

ingin mengetahui alasan-alasan korupsi sebagai pelanggaran HAM.

Pendekatan yang digunakan penulis ialah pendekatan perundang-undangan

(statute approach) dan pendekatan sejarah (historical approach). Pendekatan

peraturan perundang-undangan adalah pendekatan dengan menggunakan produk

legislasi dan regulasi.53

Dalam hal ini misalnya DUHAM 1948, Kovenan Sipol,

Kovenan Ekosob, Konvensi Hak Anak, Konvensa Menentang Diskriminasi dalam

Pendidikan, UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999.

Pendekatan perundang-undangan dan pendekatan sejarah dibutuhkan untuk

memperoleh pemahaman yang lebih lengkap berkaitan dengan korupsi, terutama

52

Moh. Natsir, Metode Penelitian, Ghalia, Jakarta, 1983, h. 63.

53 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2006, hlm. 97.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hak-hak ini muncul dari tuntutan agar negara menyediakan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar setiap orang,

20

alasan-alasan korupsi sebagai pelanggaran HAM dan cara pencegahan dan

pemberantasannya secara hukum.

Pendekatan sejarah ini juga berkenaan dengan fakta bahwa korupsi sudah

sangat lama terjadi, di Indonesia, padahal gagasan dan nilai-nilai HAM juga

sesungguhnya sudah lama ada dan berkembang secara luas.

2. Bahan Hukum Penelitian

Sumber penelitian ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

Sesuai dengan pendekatan yang digunakan, maka bahan hukum primer yang

digunakan dalam menjawab permasalahannya adalah berbagai peraturan hukum

yang berkaitan dengan permasalahan hukum korupsi, Sedangkan bahan hukum

sekunder adalah sebagai pelengkap atau penunjang terhadap bahan hukum primer

yang diperoleh dari literatur-literatur tentang HAM dan hukum anti-korupsi,

misalnya dalam bentuk buku-buku maupun artikel-artikel.

3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan-bahan hukum penelitian dilakukan melalui studi

pustaka.

4. Metode Analisa Data

Dalam melakukan analisis data untuk menjawab permasalahan penelitian

maka metode yang digunakan adalah metode yuridis kualitatif.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hak-hak ini muncul dari tuntutan agar negara menyediakan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar setiap orang,

21

5. Unit Amatan dan Unit Analisa

Unit amatan dalam penelitian ini adalah DUHAM 1948, Kovenan Sipol,

Kovenan Ekosob, Konvensi Hak Anak, Konvensi Menentang Diskriminasi dalam

Pendidikan, UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999.

Sedangkan unit analisanya bersangkutan dengan kaidah-kaidah HAM