BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seni yang dalam pengertian paling sederhananya selalu
diidentifikasikan sebagai sebuah keindahan bukanlah sebagai hal yang bersifat
mubah, namun dari segi filsafat hukum Islam, seni dikategorikan sebagai
kebutuhan manusia yang bersifat tersier (maslahah tahsiniyyah). Kegunaan
seni terkait langsung dengan manusia yang baginya nilai keindahan adalah
suatu dimensi kehidupan yang perlu bagi peningkatan harkat dan martabat
manusia.1
Dalam klasifikasi yang banyak diterima, seni juga merupakan salah
satu dari tujuh aspek integral penyusun suatu kebudayaan, disamping sistem
religi, sistem pengetahuan, sistem bahasa, sistem ekonomi, sistem tehnologi
dan sistem sosial. Ia berkembang secara simultan dengan keseluruhan
kebudayaan yang bersangkutan.2
Kenyataan bahwa manusia dalam kehidupannya sehari-hari tidak bisa
terlepaskan dari keindahan (seni) kerap kali menjadi alasan yang cukup
1 Maslahah Tahsiniyyah yaitu kepentingan yang perwujudannya dapat memberi nilai
tambah di atas kehidupan yang layak dan normal sehingga hidup manusia dapat menjadi lebih indah,lebih lengkap dan lebih sempurna. Syamsul Anwar, “Pandangan Islam Terhadap Kesenian”, dalam Jabrohim dan Saudi Berlian (eds.), Islam dan Kesenian, Yogyakarta : Majelis Kebudayaan Muhammadiyah Universitas Ahmad Dahlan dan Lembaga Litbang PP Muhammadiyah, 1995, hlm. 204-206.
2 Ismail Raji’ al-Faruqy, Cultural Atlas of Islam. Terj. Hartono Hadi Kusumo, Yogyakarta : Yayasan Bentang Budaya, 1999, hlm. Vi.
2
penting kenapa seni selalu menjadi tema yang cukup menarik untuk dibawa ke
dalam ruang kajian.
Dalam dustur agama Islam sendiri, hampir semua gologan dipastikan
sepakat bahwa seni merupakan fitrah dan tidak bertentangan dengan ajaran
agama, bahkan bentuk personifikasi pengajaran terdalam dari agama selain
selalu muncul dalam bentuk metafora, logika, juga kerap kali muncul dalam
bentuk simbol-simbol yang bersifat estetik.3 Hal ini didasarkan pada dalil
bahwa Nabi SAW menjelaskan bahwa Allah itu indah dan menyukai
keindahan, dan bahkan al-Qur’an sendiri dipandang mengandung nilai artistik
yang sangat tinggi.
Islam sendiri pernah melahirkan berbagai macam karya seni yang
mampu mencerahkan peradaban yang unik, yang berbeda dengan peradaban
lain; seperti kaligrafi, ornamen dan ukiran yang banyak menghiasi masjid,
rumah, gagang pedang, bejana-bejana yang terbuat dari kuningan, kayu,
tembikar dan lain sebagainya.4
Namun di sisi lain, dalam kajian keislaman, dialektika tentang seni
selalu saja seperti tertumbuk pada sebuah jalan buntu. Kesan tersebut muncul
akibat adanya sikap ambivalensi (pertentangan) kaum muslim sendiri dalam
menghadapi persoalan seni, sehingga para seniman muslim lebih memilih
bersikap menghindar dari kemungkinan menuangkan ide-ide seninya.
3 Hamdy Salad, Agama Seni, “Refleksi Teologis Dalam Ruang Estetik”, Yogyakarta :
Semesta, 2000, Cet. Ke-1, hlm. 22 4 Yusuf al-Qardawi, al-Islam wa al-Fann (Islam Bicara Seni), Alih bahasa : Wahid
Ahmadi, dkk., Solo : Intermedia, 1998, hlm. 15.
3
Dari sekian banyak jenis seni, seni lukis yang merupakan salah satu
cabang seni yang menginduk pada cabang seni rupa adalah salah satu disiplin
yang paling banyak mendapatkan sorotan oleh kaum muslim.
Tidak semudah seperti ketika membicarakan seni rupa lainnya, seperti
halnya arsitektur, kerajinan, dan kaligrafi, seni lukis dalam kesenian Islam
lebih banyak mendapat sorotan dan pembahasan dari para ahli hukum Islam.
Dalam hal ini terjadi ambivalensi dikalangan para ahli hukum Islam mengenai
persoalan boleh atau tidaknya atau bahkan halal dan haramnya melukiskan
mahluk-mahluk bernyawa, seperti manusia dan binatang. Berbagai macam
pendapat dan pembahasan bermunculan dari para ulama dan pakar Islam, baik
klasik maupun modern, tentang boleh tidaknya melukis atau menggambar
mahluk bernyawa.
Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah pertumbuhan dan
perkembangan Islam, bahwa pada awal-awal kelahiran Islam Rasulullah SAW
melarang terhadap seni lukis yang mengarah pada penggambaran mahluk-
mahluk hidup, baik manusia maupun binatang. Sebagaimana yang pernah
beliau nyatakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim :
ان : سمعت رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم يقول : وعن ا بن مسعود ر ضي اهللا عنه قا ل
)متفق عليه (عذابا يوم القيامة المصورون اشدالناس
Artinya : “Dan dari Ibnu Mas’ud r.a. berkata : ‘Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : ‘Sesungguhnya Orang yang mendapatkan siksa paling berat pada hari kiamat adalah para pelukis.”( H.R. Bukhari dan Muslim)5
5 Imam Nawawi, Riyad al-Salihin, Terjemah Salim Bahreisy, Bandung : PT. Alma’arif,
1977, hlm. 119.
4
Mayoritas ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan hadits di atas
adalah para pelukis yang melukis mahluk hidup atau bernyawa, seperti
manusia dan binatang.
Dengan berdasarkan dari hadits-hadits Nabi SAW, yang
mengisyaratkan akan pelarangan pelukisan makhluk hidup banyak dari para
ulama klasik menyatakan pandangannya bahwa syara telah mengharamkan
yang demikian itu. Sedangkan hal yang diperbolehkan untuk dijadikan obyek
gambaran adalah sesuatu yang tidak memiliki ruh atau nyawa, seperti bunga,
tumbuhan, gunung dan pemandangan alam.6
Di antara ulama klasik yang terkenal paling keras dalam
mengharamkan lukisan mahluk bernyawa adalah Imam Nawawi. Dengan
berdasarkan beberapa hadits sahih yang ditemukan memberi petunjuk tentang
adanya larangan pelukisan mahluk bernyawa dan pendapat para sahabat serta
para ulama ia berpendapat bahwa syara’ telah melarang lukisan mahluk
bernyawa, dan itu adalah sekeras-kerasnya pelarangan. Di mana disebutkan
bahwa Rasulullah SAW melarang pembuatan lukisan dan patung, karena hal
tersebut menunjukkan perbuatan yang menyamai aktivitas Allah sebagai dzat
Yang Maha Pencipta. Pelarangan akan lukisan mahluk bernyawa adalah
mutlak sifatnya, baik itu pada pakaian, permadani, uang logam, emas, perak,
dan dinding atau lainnya. Bagi setiap orang yang menciptakan gambar atau
lukisan mahluk bernyawa, Allah akan memberikan azab yang pedih, akan
6 Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhsiyah al-Islamiyah, Jilid 2, Beirut : Daar al-Ummah,
1994, hlm. 363.
5
diperintahkan kepada mereka untuk memberikan nyawa terhadap apa yang
sudah mereka ciptakan itu.7 Sebagaimana hadits Nabi SAW :
ان الذين يصنعون : عن ابن عمر رضي اهللا عنهما ان رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم قال
)متفق عليه (احيواماخلقتم : يقال لهم , هذه الصورة يعذبون يوم القييامة
Artinya : “Dari Ibnu Umar r.a. sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda :’Sesungguhnya orang-orang yang membuat gambar itu nanti pada hari kiamat akan tersiksa, dimana dikatakan pada mereka : hidupkanlah apa yang telah kamu buat”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).8
Dalam memberikan pandangannya mengenai persoalan tersebut Imam
Nawawi lebih terkesan mengabaikan hadits-hadits Nabi SAW yang
menunjukkan adanya sikap netral nabi akan persoalan lukisan yang
menggambarkan mahluk hidup sebagai obyeknya, yakni seperti hadits yang
menceritakan bahwa Rasulullah memerintahkan ‘Aisyah untuk menyimpan
gambaran atau lukisan burung dengan alasan bahwa lukisan tersebut
mendorong beliau untuk memperbincangkan tentang hal yang bersifat
duniawi.
Di samping sebagian para ulama yang memberatkan atau
mengharamkan pelukisan atau penggambaran mahluk-mahluk bernyawa, ada
juga sebagian ulama yang membolehkan penciptaan gambar atau lukisan
setiap mahluk bernyawa, asalkan para pencipta (seniman) itu tidak
mempunyai niat atau maksud untuk menyelewengkan hasil gambar atau
lukisan itu kepada hal-hal yang merusak aqidah dan keimanan umat Islam
7 Imam Nawawi, Shahih Muslim bi Syarhi an-Nawawi, Beirut : Daar al-Fikr, XIV, hlm. 84 8 Imam Nawawi, Riyad al-Salihin, hlm. 119.
6
terhadap ke-Esa-an Allah sebagai Maha Pencipta.9 Hasil-hasil ciptaan itu
semata-mata hanyalah untuk hiasan saja. Jadi kebolehan mencipta lukisan dan
gambar mahluk bernyawa di dasarkan pada niat baik dan tujuan hasilnya, ini
adalah termasuk pendapat minoritas ulama.
Beberapa ulama juga menyatakan bahwa tumbuhnya alasan
pelarangan itu bukanlah karena faktor ketiadaan apresiasi terhadap suatu jenis
kesenian, melainkan karena kondisi masyarakat muslim pada waktu itu,
masyarakat muslim ketika itu baru saja memasuki dunia baru, dari dunia
masyarakat jahiliyah ke dalam dunia Islam, sehingga dikawatirkan akan
terjadinya kerancauan dengan konsep tauhid yang menjadi inti ajaran Islam,
senimannya akan terjebak ke dalam praktik syirik, seperti kebiasaan kaum
jahiliah yang mengagungkan dan memuja hasil seni rupa, seperti lukisan atau
patung.
At-Thahawi, salah seorang ulama dari madzhab Hanafi berpendapat
bahwa syara’ pada awal periode datangnya Islam, memang melarang
datangnya seluruh gambar dengan segala bentuknya, baik yang berupa patung
ataupun tidak. Sebab pada waktu itu, fase dimana aqidah harus benar-benar
ditancapkan dalam jiwa orang Islam karena mereka baru saja meninggalkan
praktek syirik. Tetapi setelah aqidah mereka benar-benar kokoh (setelah
beberapa tahun lamanya) Islam memperbolehkan gambar-gambar yang tidak
ada bayangannya, seperti gambar yang ada pada pakaian (kain), kertas dan
9 Drs. Oloan Situmorang, Seni Rupa Islam, Pertumbuhan dan Perkembangannya, Angkasa,
Bandung, 1993, hlm. 134.
7
sebagainya, namun jika gambar itu dikultuskan dan diagung-agungkan maka
tetap saja hukumnya haram.10
Selain At-Thahawi, Yusuf Qardlawi juga memberikan pandangan
bahwa yang dimaksud dalam hadits Nabi SAW adalah orang-orang yang
menggambar sesuatu yang disembah selain Allah, sedangkan dia mengetahui
dan sengaja, maka orang yang demikian adalah kufur. Tetapi kalau tidak ada
maksud seperti di atas maka hukumnya makruh. Menurutnya subyek gambar
mempunyai pengaruh soal haram dan halalnya.11
Sebagaimana yang telah dinyatakan dalam hadits yang digunakan oleh
para ulama klasik sebagai alasan yang memberatkan dalam penciptaan lukisan
atau gambar mahluk bernyawa mengakibatkan terhambatnya kreatifitas para
seniman muslim. Mereka lebih memilih bersikap menghindar dari
kemungkinan menuangkan ide-ide kreatifnya ke dalam bentuk lukisan mahluk
bernyawa.
Padahal sebagaimana kita pahami bahwa estetika Islam pada dasarnya
tidak membatasi seni untuk diproyeksikan pada satu medium atau beberapa
medium tertentu. Apapun bentuk dari seni yang disampaikan, baik seni lukis,
arsitektur, ornamen, musik dan lainnya, selama dipresentasikan terhadap hal-
hal yang positif untuk kehidupan dan penghidupan manusia, maka Islam akan
memberikan ruang yang seluas-luasnya sesuai dengan Aqidah, moral dan
syari’ah Islam.
10 At-Thahawi melalui Achmad Sunarto, Halal dan Haram Dalam Islam, Surabaya :
Bintang Terang, 1999, hlm. 122. 11 Yusuf Qardlawi, Al-Halal wa Haram fi al-Islam, Beirut : al-Maktab al-Islamy, Cet. Ke-
15, 1994, hlm. 110.
8
Dalam rangka aktualisasi terhadap keindahan itu, sesungguhnya al-
Qur’an telah memberikan ruang gerak dan legitimasi faktual yang
memungkinkan seni terus hidup dalam kedinamisaannya lewat medium
apapun keeindahan itu diekspresikan. Dalam al-Qur’an sendiri tidak terdapat
ayat yang secara jelas melarang kaum muslim membuat lukisan. Al-Qur’an
hanya mengecam keberadaan patung dan berhala yang dibuat orang-orang
untuk disembah. Sama halnya dengan patung dan berhala, jika sebuah lukisan
dibuat dan kemudian dipuja atau diagungkan, maka hal itu akan menimbulkan
syirik yang dosanya tidak akan diampuni Allah SWT.
Di tengah-tengah perdebatan tentang boleh tidaknya lukisan atau
gambaran mahluk bernyawa, seni lukis terus berkembang seiring perjalanan
kehidupan manusia. Sampai pada kurun sekarang ini seni lukis mengalami
perkembangan yang cukup pesat. Kemunculan jenis-jenis baru dari seni lukis,
yakni dalam pengertian tehnik baru, bentuk visual baru serta paradigma
berkesenian yang baru, semakin mendapatkan sambutan hangat di kalangan
masyarakat luas.
Di Indonesia sendiri setelah terjadinya “boom” pasar lukis, seni lukis
terbilang cukup pesat mengalami perkembangan. Banyak Galeri lukisan
bermunculan tak ubahnya cedawan yang tumbuh di musim penghujan, begitu
juga generasi-generasi baru seniman lukis dengan berbagai macam eksplorasi
dalam berkarya. Di tingkat kemanfaatannya, seni lukis juga mempunyai
peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Dalam kalangan
tertentu lukisan mahluk bernyawa menjadi perangkat dan tema kajian untuk
9
kebutuhan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Selain itu pula dengan
berangkat dari realitas bahwa kesenian mempunyai hubungan yang sangat erat
dengan kemanusiaan seringkali pameran lukisan atau lelang lukisan juga
dimanfaatkan atau diselenggarakan untuk mencari dana amal kemanusiaan.
Bahkan sejak adanya “boom” pasar lukisan hal tersebut menjadi mode kerena
hasilnya biasanya cukup menggembirakan, bahakan dapat lebih bila yang
digelar adalah lukisan-lukisan yang sedang diminati pasar.12
Berangkat dari kenyataan inilah penulis tergerak untuk memilih dan
membahas judul tentang “Islam dan Seni Lukis (Studi Analisis Pendapat
Imam an-Nawawi Tentang Hukum Lukisan Mahluk Bernyawa)”.
Landasan penulisan skripsi ini bertujuan untuk mencari titik terang mengenai
seputar seni lukis dalam pandangan Islam sehingga pada akhirnya dapat
diharpakan untuk meluruskan persepsi minor yang masih berkembang dengan
menawarkan alternatif-altenatif baru melalui kajian yang bersifat
komprehensif, bahwa banyak terdapat dimensi-dimensi positif yang selama ini
luput dari perhatian masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan
beberapa pokok permasalahan dalam penulisan ini yaitu :
1. Bagaimana sesungguhnya pendapat Imam Nawawi tentang hukum lukisan
mahluk bernyawa?
12 Oing Hong Jin, “Sambutan Gelar Seni Untuk Kemanusiaan”, dalam Katalog Pameran
Gelar Seni Untuk Kemanusiaan, 23-30 Januari, 2005, hlm. 4. t.d.
10
2. Bagaimana istimbath hukum Imam Nawawi dalam memberikan hukum
terhadap lukisan mahluk bernyawa?
3. Sejauh mana relevansi dari pendapat Imam Nawawi tentang hukum lukisan
mahluk bernyawa dengan konteks kekinian?
C. Tujuan Penelitian
Berpijak dari permasalahan di atas dapat dijelaskan penulisan skripsi
ini sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pendapat Imam Nawawi tentang hukum lukisan
mahluk bernyawa.
2. Untuk mengetahui istimbath hukum pendapat Imam Nawawi tentang
hukum lukisan mahluk bernyawa.
3. Untuk mengetahui sejauh mana relevansi dari pendapat Imam Nawawi
tentang hukum lukisan mahluk bernyawa dengan konteks kekinian.
Tujuan formal yang ingin dicapai oleh penulis yaitu untuk
memperoleh gelar kesarjanaan (S1) dalam ilmu syari’ah.
D. Telaah Pustaka
Dalam telah pustaka ini penulis sampaikan bahwa banyak penelitian
yang membahas tentang pendapat Imam Nawawi, namun Studi Analisis
pendapat Imam Nawawi tentang hukum lukisan mahluk bernyawa sepanjang
pengamatan penulis belum pernah dilakukan.
Pandangan Imam Nawawi dalam kitabnya yang berjudul Shahih
Muslim bi Syarhi an-Nawawi berpendapat bahwa hadits-hadits Nabi tersebut
11
menunjukkan haramnya menyimpan atau membuat lukisan dengan
mengambil obyek mahluk bernyawa, yaitu gambar dalam bentuk lukisan yang
biasa dibuat oleh orang-orang jahiliyah untuk dipuja dan diagungkan. Imam
Nawawi berpandapat bahwa pekerjaan membuat gambar atau lukisan dengan
obyek mahluk bernyawa seperti manusia dan binatang, baik dengan bentuk
tiga dimensi (patung) ataupun dua dimensi (lukisan) yang dipergunakan atau
tidak dipergunakan hukumnya adalah haram. Sedangkan membuat gambar
atau lukisan dengan obyek mahluk yang tidak bernyawa seperti pohon, biji-
bijian dan pegunungan adalah halal hukumnya.13
Alasan Imam Nawawi mengharamkan semua jenis lukisan mahluk
bernyawa baik dalam bentuk dua dimensi ataupun tiga dimensi karena hal
tersebut lebih menyerupai berhala, cenderung kepada syirik dan lebih tampak
sebagai peniruan ciptaan Allah SWT. Di mana pada masa Nabi segala macam
bentuk gambar atau patung dijadikan sebagai sarana untuk penyembahan.
Senada dengan Imam Nawawi, Sayyid Sabiq, dalam kitabnya yang
berjudul Fiqh as-Sunnah, juga menyatakan bahwa pembuatan gambar dan
lukisan mahluk bernyawa apapun tujuannya adalah haram. Sedangkan gambar
dan lukisan yang diperbolehkan dalam Islam yaitu segala macam obyek yang
tidak memiliki ruh atau nyawa seperti pepohonan, gunung, bunga dan
pemandangan alam.14
13 Imam Nawawi, Shahih Muslim bi Sarh an-Nawawi, hlm. 81-82. 14 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 3, Beirut : Daar al-Kutub al-Araby, t.t., hlm. 498.
12
Syaikh Ahmad Syakir berpendapat tentang dibolehkannya pembuatan
lukisan mahluk bernyawa sebagaimana yang termuat dalam ta’liqnya atas
hadits Nabi sebagai mana berikut :
“Di antara hujjah mereka adalah, bahwa mereka menta’wil nas-nas (yang berkenaan dengan masalah gambar ini) dengan alasan yang tidak pernah diterangkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak pernah dijadikan sebagai alasan atas diharamkannya gambar, yaitu bahwa menurut mereka, diharamkannya gambar itu pada mulanya adalah karena dekatnya mereka kepada periode penyembahan berhala, sedang sekarang situasi itu telah lampau sehingga alasan itu tidak lagi dapat digunakan dan manusia tidak perlu dikhawatirkan akan kembali menyembah berhala lagi”.15
Sedangkan Yusuf al-Qardlawi dalam kitabnya al-Halal wa al-Haram
fi al-Islam dan al-Islam wa al-Fann membahas panjang lebar mengenai
kedudukan hukum gambar atau lukisan mahluk bernyawa ini. Ia mengatakan
bahwa hukum menggambar atau melukis mahluk bernyawa tersebut
tergantung kita melihat bagaimana tujuan dari gambar atau lukisan tersebut,
bagaimana pembuatan gambar atau lukisan tersebut, di tempat mana gambar
atau lukisan itu di tempatkan, serta apa tujuan orang yang membuat.
Kalau karya estetik atau seni tersebut berbentuk sesuatu yang
disembah selain Allah SWT, seperti gambar al-Masih bagi orang-orang
Kristen atau sapi bagi orang-orang hindu, maka bagi sipembuatnya (seniman)
tidak lain dia adalah menyiarkan kekufuran dan kesesatan. Akan tetapi,
apabila gambar atau lukisan dengan obyek mahluk bernyawa tersebut tidak
memiliki unsur-unsur larangan seperti di atas, maka hukumnya adalah tidak
haram.16
15 Imam Ahmad ibn Hanbal, al-Musnad, Beirut : Dar al-Fikr, 1878, hadits no. 7166. 16 Yusuf al-Qardlawi, al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, hlm. 103-105
13
Dr. Abu Hapsin dalam makalahnya juga menyimpulkan bahwa
larangan Nabi SAW terhadap lukisan mahluk bernyawa adalah dimaksudkan
untuk menegakkan ajaran tauhid. Tetapi ketika situasi masyarakat dipandang
sudah aman dari praktek idolatri, Nabi SAW kemudian menunjukkan sikap
netralnya.17
Kemudian Dr. Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan al-Qur’an
mengemukakan bahwa seni adalah keindahan. Ia merupakan ekspresi ruh dan
budaya manusia yang mengandung dan mengungkapkan keindahan. Ia lahir
dari sisi terdalam manusia, didorong oleh kecenderungan seniman kepada
yang indah, apapun jenis keindahan itu. Dorongan tersebut merupakan naluri
manusia, atau fitrah yang dianugrahkan Allah SWT kepada hamba-
hambanya.18
E. Metodologi Penelitian
Penelitian skripsi ini berdasarkan pada suatu penelitian melalui studi
kepustakaan (Library Research) yang relevan dengan pokok permasalahan.
Agar skripsi ini memenuhi kriteria karya tulis ilmiah yang bermutu dan
mengarah pada obyek kajian serta sesuai maka metode pendekatan yang
digunakan dalam sekripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Sumber dan Pengumpulan Data
Penelitian ini dilakukan dengan cara menelusuri dan menelaah
literatur-literatur, atau penelitian yang difokuskan pada bahan-bahan
17 Abu Hapsin, The Attitude of Islamic Law Toward Painting, Paper The Final Exam of Islamic Art, Thailand : Mahidol University, 1998, hlm. 1. t.d.
18 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Bandung : Penerbit Mizan, 1996, hlm. 385.
14
pustaka.19 Tehnik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan
mengkaji dan menelaah berbagai buku dan kitab yang mempunyai
relevansi dengan skripsi ini. Jenis data yang akan dikumpulkan dalam
penelitian adalah data primer maupun data sekunder.20 Data primer
meliputi Kitab Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawi karya Imam Nawawi
yang membahas tentang hukum melukis mahluk bernyawa. Sedangkan
data sekunder adalah semua data yang relevan dengan masalah tersebut,
baik secara langsung atau tidak langsung.
2. Metode Analisis Data
Sebagai tindak langsung dari upaya pengumpulan data, maka
metode analisis data menjadi sangat signifikan untuk menuju
kesempurnaan penelitian ini. Dalam menganalisa data penulis
menggunakan metode sebagai berikut :
a. Metode Deskriptif-Analitis
Metode ini merupakan metode pembahasan dengan cara
menguraikan masalah yang dibahas secara teratur, yakni mengenai
hukum lukisan mahluk bernyawa menurut Imam Nawawi, latar
belakang pemikiran dan metodologi istimbath hukum yang dipakai
oleh Imam Nawawi dalam persoalan hukum lukisan mahluk bernyawa
serta relevansi pendapat tersebut dengan kondisi kekinian. Metode ini
digunakan sebagai pendekatan untuk menguraikan pemikiran tokoh
19 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Yogyakarta : Andi Offset, 1998, hlm. 9. 20 Saifudin Azwar, Metode Penelitian, Cet II, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999, hlm. 9.
15
sebagaimana adanya dan menganalisanya sehingga dapat lebih mudah
untuk dipahami dan disimpulkan.
Dengan menggunakan metode ini diharapkan pembahasan ini
tidak keluar dari pesan atau isi yang diusung oleh Imam Nawawi
terutama pandangan-pandangannya tentang hukum lukisan mahluk
bernyawa.
b. Metode Pendekatan Sosio-Historis
Yaitu suatu upaya memahami pendapat atau wacana dengan
mempertimbangkan kondisi historis-empiris pada saat pendapat atau
wacana itu disampaikan.21
Dengan metode pendekatan ini penulis bermaksud untuk
melihat sejarah kehidupan Imam Nawawi, situasi kemasyarakatan serta
pemikiran-pemikiran yang ada, baik secara langsung ataupun tidak
langsung berpengaruh pada pemikiran beliau dalam memberikan
pendapatnya tentang hukum lukisan mahluk bernyawa.
c. Metode Pendekatan Hermeneutik
Dengan metode pendekatan ini penulis mencoba untuk
melakukan pemahaman penafsiran dan penterjemahan teks tertulis
yang berasal dari lingkungan sosial dan historis yang berbeda dengan
lingkungan dunia pembaca untuk memahami teks keagamaan.22
21 Said Agil H.M. dan Abdul Mustaqim, Studi Kritis Hadits Nabi, Pendekatan Sosio-
Historis-Kontekstual, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001, hlm. 23. 22 Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah, Semarang : Aneka Ilmu, 2000, hlm.141.
16
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun berdasarkan hasil dari studi kepustakaan (Library
Research), maka dalam sistem penulisan skripsi menggambar struktur
organisasi penyusunan yang dapat dijelaskan, yang masing-masing bab
memuat urutan sebagai berikut :
1. Bagian Muka
Bagian ini memuat Halaman Sampul, Halaman Judul, Halaman
Pengesahan, Halaman Motto, Halaman Kata Pengantar dan Halaman Isi.
2. Bagian Isi/Batang tubuh kerangka
Sistematika penulisan bagian ini akan terperinci menjadi bab-bab, sub bab
yang saling berhubungan. Adapun pembahasannya sebagai berikut :
BAB I. Pendahuluan
Terdiri dari latar belakang masalah, permasalahan dan
ruang lingkupnya, tujuan penulisan, telaah pustaka, metode
penulisan skripsi dan sistematika penulisan skripsi.
BAB II. Tinjauan Umum Tentang Seni Lukis
Terdiri dari pengertian seni lukis, sejarah dan
perkembangan dari seni lukis, dalil-dalil normatif, al-
Qur’an dan as-Sunnah yang terkait dengan hukum lukisan
mahluk bernyawaserta pendapat para ulama tentang hukum
lukisan mahluk bernyawa.
BAB III. Merupakan data penelitian tentang pendapat Imam an-
Nawawi tentang hukum lukisan mahluk bernyawa yang
17
memuat tentang biografi Imam Nawawi dan karya-
karyanya, selanjutnya pendapat Imam Nawawi tentang
hukum lukisan mahluk bernyawa serta metode istimbath
hukum Imam Nawawi tentang hukum melukis mahluk
bernyawa.
BAB IV Pada bab ini berisi posisi Imam Nawawi dalam peta
pemikiran tentang hukum lukisan mahluk bernyawa,
validitas istimbath hukum Imam Nawawi tentang hukum
melukis mahluk bernyawa, serta relevansi pendapat Imam
Nawawi tentang hukum melukis mahluk bernyawa dengan
konteks kekinian.
BAB V Penutup
Terdiri dari kesimpulan, saran-saran dan penutup.