BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...

17
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seni yang dalam pengertian paling sederhananya selalu diidentifikasikan sebagai sebuah keindahan bukanlah sebagai hal yang bersifat mubah, namun dari segi filsafat hukum Islam, seni dikategorikan sebagai kebutuhan manusia yang bersifat tersier (maslahah tahsiniyyah). Kegunaan seni terkait langsung dengan manusia yang baginya nilai keindahan adalah suatu dimensi kehidupan yang perlu bagi peningkatan harkat dan martabat manusia. 1 Dalam klasifikasi yang banyak diterima, seni juga merupakan salah satu dari tujuh aspek integral penyusun suatu kebudayaan, disamping sistem religi, sistem pengetahuan, sistem bahasa, sistem ekonomi, sistem tehnologi dan sistem sosial. Ia berkembang secara simultan dengan keseluruhan kebudayaan yang bersangkutan. 2 Kenyataan bahwa manusia dalam kehidupannya sehari-hari tidak bisa terlepaskan dari keindahan (seni) kerap kali menjadi alasan yang cukup 1 Maslahah Tahsiniyyah yaitu kepentingan yang perwujudannya dapat memberi nilai tambah di atas kehidupan yang layak dan normal sehingga hidup manusia dapat menjadi lebih indah,lebih lengkap dan lebih sempurna. Syamsul Anwar, “Pandangan Islam Terhadap Kesenian”, dalam Jabrohim dan Saudi Berlian (eds.), Islam dan Kesenian, Yogyakarta : Majelis Kebudayaan Muhammadiyah Universitas Ahmad Dahlan dan Lembaga Litbang PP Muhammadiyah, 1995, hlm. 204-206. 2 Ismail Raji’ al-Faruqy, Cultural Atlas of Islam. Terj. Hartono Hadi Kusumo, Yogyakarta : Yayasan Bentang Budaya, 1999, hlm. Vi.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Seni yang dalam pengertian paling sederhananya selalu

diidentifikasikan sebagai sebuah keindahan bukanlah sebagai hal yang bersifat

mubah, namun dari segi filsafat hukum Islam, seni dikategorikan sebagai

kebutuhan manusia yang bersifat tersier (maslahah tahsiniyyah). Kegunaan

seni terkait langsung dengan manusia yang baginya nilai keindahan adalah

suatu dimensi kehidupan yang perlu bagi peningkatan harkat dan martabat

manusia.1

Dalam klasifikasi yang banyak diterima, seni juga merupakan salah

satu dari tujuh aspek integral penyusun suatu kebudayaan, disamping sistem

religi, sistem pengetahuan, sistem bahasa, sistem ekonomi, sistem tehnologi

dan sistem sosial. Ia berkembang secara simultan dengan keseluruhan

kebudayaan yang bersangkutan.2

Kenyataan bahwa manusia dalam kehidupannya sehari-hari tidak bisa

terlepaskan dari keindahan (seni) kerap kali menjadi alasan yang cukup

1 Maslahah Tahsiniyyah yaitu kepentingan yang perwujudannya dapat memberi nilai

tambah di atas kehidupan yang layak dan normal sehingga hidup manusia dapat menjadi lebih indah,lebih lengkap dan lebih sempurna. Syamsul Anwar, “Pandangan Islam Terhadap Kesenian”, dalam Jabrohim dan Saudi Berlian (eds.), Islam dan Kesenian, Yogyakarta : Majelis Kebudayaan Muhammadiyah Universitas Ahmad Dahlan dan Lembaga Litbang PP Muhammadiyah, 1995, hlm. 204-206.

2 Ismail Raji’ al-Faruqy, Cultural Atlas of Islam. Terj. Hartono Hadi Kusumo, Yogyakarta : Yayasan Bentang Budaya, 1999, hlm. Vi.

2

penting kenapa seni selalu menjadi tema yang cukup menarik untuk dibawa ke

dalam ruang kajian.

Dalam dustur agama Islam sendiri, hampir semua gologan dipastikan

sepakat bahwa seni merupakan fitrah dan tidak bertentangan dengan ajaran

agama, bahkan bentuk personifikasi pengajaran terdalam dari agama selain

selalu muncul dalam bentuk metafora, logika, juga kerap kali muncul dalam

bentuk simbol-simbol yang bersifat estetik.3 Hal ini didasarkan pada dalil

bahwa Nabi SAW menjelaskan bahwa Allah itu indah dan menyukai

keindahan, dan bahkan al-Qur’an sendiri dipandang mengandung nilai artistik

yang sangat tinggi.

Islam sendiri pernah melahirkan berbagai macam karya seni yang

mampu mencerahkan peradaban yang unik, yang berbeda dengan peradaban

lain; seperti kaligrafi, ornamen dan ukiran yang banyak menghiasi masjid,

rumah, gagang pedang, bejana-bejana yang terbuat dari kuningan, kayu,

tembikar dan lain sebagainya.4

Namun di sisi lain, dalam kajian keislaman, dialektika tentang seni

selalu saja seperti tertumbuk pada sebuah jalan buntu. Kesan tersebut muncul

akibat adanya sikap ambivalensi (pertentangan) kaum muslim sendiri dalam

menghadapi persoalan seni, sehingga para seniman muslim lebih memilih

bersikap menghindar dari kemungkinan menuangkan ide-ide seninya.

3 Hamdy Salad, Agama Seni, “Refleksi Teologis Dalam Ruang Estetik”, Yogyakarta :

Semesta, 2000, Cet. Ke-1, hlm. 22 4 Yusuf al-Qardawi, al-Islam wa al-Fann (Islam Bicara Seni), Alih bahasa : Wahid

Ahmadi, dkk., Solo : Intermedia, 1998, hlm. 15.

3

Dari sekian banyak jenis seni, seni lukis yang merupakan salah satu

cabang seni yang menginduk pada cabang seni rupa adalah salah satu disiplin

yang paling banyak mendapatkan sorotan oleh kaum muslim.

Tidak semudah seperti ketika membicarakan seni rupa lainnya, seperti

halnya arsitektur, kerajinan, dan kaligrafi, seni lukis dalam kesenian Islam

lebih banyak mendapat sorotan dan pembahasan dari para ahli hukum Islam.

Dalam hal ini terjadi ambivalensi dikalangan para ahli hukum Islam mengenai

persoalan boleh atau tidaknya atau bahkan halal dan haramnya melukiskan

mahluk-mahluk bernyawa, seperti manusia dan binatang. Berbagai macam

pendapat dan pembahasan bermunculan dari para ulama dan pakar Islam, baik

klasik maupun modern, tentang boleh tidaknya melukis atau menggambar

mahluk bernyawa.

Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah pertumbuhan dan

perkembangan Islam, bahwa pada awal-awal kelahiran Islam Rasulullah SAW

melarang terhadap seni lukis yang mengarah pada penggambaran mahluk-

mahluk hidup, baik manusia maupun binatang. Sebagaimana yang pernah

beliau nyatakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim :

ان : سمعت رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم يقول : وعن ا بن مسعود ر ضي اهللا عنه قا ل

)متفق عليه (عذابا يوم القيامة المصورون اشدالناس

Artinya : “Dan dari Ibnu Mas’ud r.a. berkata : ‘Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : ‘Sesungguhnya Orang yang mendapatkan siksa paling berat pada hari kiamat adalah para pelukis.”( H.R. Bukhari dan Muslim)5

5 Imam Nawawi, Riyad al-Salihin, Terjemah Salim Bahreisy, Bandung : PT. Alma’arif,

1977, hlm. 119.

4

Mayoritas ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan hadits di atas

adalah para pelukis yang melukis mahluk hidup atau bernyawa, seperti

manusia dan binatang.

Dengan berdasarkan dari hadits-hadits Nabi SAW, yang

mengisyaratkan akan pelarangan pelukisan makhluk hidup banyak dari para

ulama klasik menyatakan pandangannya bahwa syara telah mengharamkan

yang demikian itu. Sedangkan hal yang diperbolehkan untuk dijadikan obyek

gambaran adalah sesuatu yang tidak memiliki ruh atau nyawa, seperti bunga,

tumbuhan, gunung dan pemandangan alam.6

Di antara ulama klasik yang terkenal paling keras dalam

mengharamkan lukisan mahluk bernyawa adalah Imam Nawawi. Dengan

berdasarkan beberapa hadits sahih yang ditemukan memberi petunjuk tentang

adanya larangan pelukisan mahluk bernyawa dan pendapat para sahabat serta

para ulama ia berpendapat bahwa syara’ telah melarang lukisan mahluk

bernyawa, dan itu adalah sekeras-kerasnya pelarangan. Di mana disebutkan

bahwa Rasulullah SAW melarang pembuatan lukisan dan patung, karena hal

tersebut menunjukkan perbuatan yang menyamai aktivitas Allah sebagai dzat

Yang Maha Pencipta. Pelarangan akan lukisan mahluk bernyawa adalah

mutlak sifatnya, baik itu pada pakaian, permadani, uang logam, emas, perak,

dan dinding atau lainnya. Bagi setiap orang yang menciptakan gambar atau

lukisan mahluk bernyawa, Allah akan memberikan azab yang pedih, akan

6 Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhsiyah al-Islamiyah, Jilid 2, Beirut : Daar al-Ummah,

1994, hlm. 363.

5

diperintahkan kepada mereka untuk memberikan nyawa terhadap apa yang

sudah mereka ciptakan itu.7 Sebagaimana hadits Nabi SAW :

ان الذين يصنعون : عن ابن عمر رضي اهللا عنهما ان رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم قال

)متفق عليه (احيواماخلقتم : يقال لهم , هذه الصورة يعذبون يوم القييامة

Artinya : “Dari Ibnu Umar r.a. sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda :’Sesungguhnya orang-orang yang membuat gambar itu nanti pada hari kiamat akan tersiksa, dimana dikatakan pada mereka : hidupkanlah apa yang telah kamu buat”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).8

Dalam memberikan pandangannya mengenai persoalan tersebut Imam

Nawawi lebih terkesan mengabaikan hadits-hadits Nabi SAW yang

menunjukkan adanya sikap netral nabi akan persoalan lukisan yang

menggambarkan mahluk hidup sebagai obyeknya, yakni seperti hadits yang

menceritakan bahwa Rasulullah memerintahkan ‘Aisyah untuk menyimpan

gambaran atau lukisan burung dengan alasan bahwa lukisan tersebut

mendorong beliau untuk memperbincangkan tentang hal yang bersifat

duniawi.

Di samping sebagian para ulama yang memberatkan atau

mengharamkan pelukisan atau penggambaran mahluk-mahluk bernyawa, ada

juga sebagian ulama yang membolehkan penciptaan gambar atau lukisan

setiap mahluk bernyawa, asalkan para pencipta (seniman) itu tidak

mempunyai niat atau maksud untuk menyelewengkan hasil gambar atau

lukisan itu kepada hal-hal yang merusak aqidah dan keimanan umat Islam

7 Imam Nawawi, Shahih Muslim bi Syarhi an-Nawawi, Beirut : Daar al-Fikr, XIV, hlm. 84 8 Imam Nawawi, Riyad al-Salihin, hlm. 119.

6

terhadap ke-Esa-an Allah sebagai Maha Pencipta.9 Hasil-hasil ciptaan itu

semata-mata hanyalah untuk hiasan saja. Jadi kebolehan mencipta lukisan dan

gambar mahluk bernyawa di dasarkan pada niat baik dan tujuan hasilnya, ini

adalah termasuk pendapat minoritas ulama.

Beberapa ulama juga menyatakan bahwa tumbuhnya alasan

pelarangan itu bukanlah karena faktor ketiadaan apresiasi terhadap suatu jenis

kesenian, melainkan karena kondisi masyarakat muslim pada waktu itu,

masyarakat muslim ketika itu baru saja memasuki dunia baru, dari dunia

masyarakat jahiliyah ke dalam dunia Islam, sehingga dikawatirkan akan

terjadinya kerancauan dengan konsep tauhid yang menjadi inti ajaran Islam,

senimannya akan terjebak ke dalam praktik syirik, seperti kebiasaan kaum

jahiliah yang mengagungkan dan memuja hasil seni rupa, seperti lukisan atau

patung.

At-Thahawi, salah seorang ulama dari madzhab Hanafi berpendapat

bahwa syara’ pada awal periode datangnya Islam, memang melarang

datangnya seluruh gambar dengan segala bentuknya, baik yang berupa patung

ataupun tidak. Sebab pada waktu itu, fase dimana aqidah harus benar-benar

ditancapkan dalam jiwa orang Islam karena mereka baru saja meninggalkan

praktek syirik. Tetapi setelah aqidah mereka benar-benar kokoh (setelah

beberapa tahun lamanya) Islam memperbolehkan gambar-gambar yang tidak

ada bayangannya, seperti gambar yang ada pada pakaian (kain), kertas dan

9 Drs. Oloan Situmorang, Seni Rupa Islam, Pertumbuhan dan Perkembangannya, Angkasa,

Bandung, 1993, hlm. 134.

7

sebagainya, namun jika gambar itu dikultuskan dan diagung-agungkan maka

tetap saja hukumnya haram.10

Selain At-Thahawi, Yusuf Qardlawi juga memberikan pandangan

bahwa yang dimaksud dalam hadits Nabi SAW adalah orang-orang yang

menggambar sesuatu yang disembah selain Allah, sedangkan dia mengetahui

dan sengaja, maka orang yang demikian adalah kufur. Tetapi kalau tidak ada

maksud seperti di atas maka hukumnya makruh. Menurutnya subyek gambar

mempunyai pengaruh soal haram dan halalnya.11

Sebagaimana yang telah dinyatakan dalam hadits yang digunakan oleh

para ulama klasik sebagai alasan yang memberatkan dalam penciptaan lukisan

atau gambar mahluk bernyawa mengakibatkan terhambatnya kreatifitas para

seniman muslim. Mereka lebih memilih bersikap menghindar dari

kemungkinan menuangkan ide-ide kreatifnya ke dalam bentuk lukisan mahluk

bernyawa.

Padahal sebagaimana kita pahami bahwa estetika Islam pada dasarnya

tidak membatasi seni untuk diproyeksikan pada satu medium atau beberapa

medium tertentu. Apapun bentuk dari seni yang disampaikan, baik seni lukis,

arsitektur, ornamen, musik dan lainnya, selama dipresentasikan terhadap hal-

hal yang positif untuk kehidupan dan penghidupan manusia, maka Islam akan

memberikan ruang yang seluas-luasnya sesuai dengan Aqidah, moral dan

syari’ah Islam.

10 At-Thahawi melalui Achmad Sunarto, Halal dan Haram Dalam Islam, Surabaya :

Bintang Terang, 1999, hlm. 122. 11 Yusuf Qardlawi, Al-Halal wa Haram fi al-Islam, Beirut : al-Maktab al-Islamy, Cet. Ke-

15, 1994, hlm. 110.

8

Dalam rangka aktualisasi terhadap keindahan itu, sesungguhnya al-

Qur’an telah memberikan ruang gerak dan legitimasi faktual yang

memungkinkan seni terus hidup dalam kedinamisaannya lewat medium

apapun keeindahan itu diekspresikan. Dalam al-Qur’an sendiri tidak terdapat

ayat yang secara jelas melarang kaum muslim membuat lukisan. Al-Qur’an

hanya mengecam keberadaan patung dan berhala yang dibuat orang-orang

untuk disembah. Sama halnya dengan patung dan berhala, jika sebuah lukisan

dibuat dan kemudian dipuja atau diagungkan, maka hal itu akan menimbulkan

syirik yang dosanya tidak akan diampuni Allah SWT.

Di tengah-tengah perdebatan tentang boleh tidaknya lukisan atau

gambaran mahluk bernyawa, seni lukis terus berkembang seiring perjalanan

kehidupan manusia. Sampai pada kurun sekarang ini seni lukis mengalami

perkembangan yang cukup pesat. Kemunculan jenis-jenis baru dari seni lukis,

yakni dalam pengertian tehnik baru, bentuk visual baru serta paradigma

berkesenian yang baru, semakin mendapatkan sambutan hangat di kalangan

masyarakat luas.

Di Indonesia sendiri setelah terjadinya “boom” pasar lukis, seni lukis

terbilang cukup pesat mengalami perkembangan. Banyak Galeri lukisan

bermunculan tak ubahnya cedawan yang tumbuh di musim penghujan, begitu

juga generasi-generasi baru seniman lukis dengan berbagai macam eksplorasi

dalam berkarya. Di tingkat kemanfaatannya, seni lukis juga mempunyai

peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Dalam kalangan

tertentu lukisan mahluk bernyawa menjadi perangkat dan tema kajian untuk

9

kebutuhan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Selain itu pula dengan

berangkat dari realitas bahwa kesenian mempunyai hubungan yang sangat erat

dengan kemanusiaan seringkali pameran lukisan atau lelang lukisan juga

dimanfaatkan atau diselenggarakan untuk mencari dana amal kemanusiaan.

Bahkan sejak adanya “boom” pasar lukisan hal tersebut menjadi mode kerena

hasilnya biasanya cukup menggembirakan, bahakan dapat lebih bila yang

digelar adalah lukisan-lukisan yang sedang diminati pasar.12

Berangkat dari kenyataan inilah penulis tergerak untuk memilih dan

membahas judul tentang “Islam dan Seni Lukis (Studi Analisis Pendapat

Imam an-Nawawi Tentang Hukum Lukisan Mahluk Bernyawa)”.

Landasan penulisan skripsi ini bertujuan untuk mencari titik terang mengenai

seputar seni lukis dalam pandangan Islam sehingga pada akhirnya dapat

diharpakan untuk meluruskan persepsi minor yang masih berkembang dengan

menawarkan alternatif-altenatif baru melalui kajian yang bersifat

komprehensif, bahwa banyak terdapat dimensi-dimensi positif yang selama ini

luput dari perhatian masyarakat.

B. Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan

beberapa pokok permasalahan dalam penulisan ini yaitu :

1. Bagaimana sesungguhnya pendapat Imam Nawawi tentang hukum lukisan

mahluk bernyawa?

12 Oing Hong Jin, “Sambutan Gelar Seni Untuk Kemanusiaan”, dalam Katalog Pameran

Gelar Seni Untuk Kemanusiaan, 23-30 Januari, 2005, hlm. 4. t.d.

10

2. Bagaimana istimbath hukum Imam Nawawi dalam memberikan hukum

terhadap lukisan mahluk bernyawa?

3. Sejauh mana relevansi dari pendapat Imam Nawawi tentang hukum lukisan

mahluk bernyawa dengan konteks kekinian?

C. Tujuan Penelitian

Berpijak dari permasalahan di atas dapat dijelaskan penulisan skripsi

ini sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pendapat Imam Nawawi tentang hukum lukisan

mahluk bernyawa.

2. Untuk mengetahui istimbath hukum pendapat Imam Nawawi tentang

hukum lukisan mahluk bernyawa.

3. Untuk mengetahui sejauh mana relevansi dari pendapat Imam Nawawi

tentang hukum lukisan mahluk bernyawa dengan konteks kekinian.

Tujuan formal yang ingin dicapai oleh penulis yaitu untuk

memperoleh gelar kesarjanaan (S1) dalam ilmu syari’ah.

D. Telaah Pustaka

Dalam telah pustaka ini penulis sampaikan bahwa banyak penelitian

yang membahas tentang pendapat Imam Nawawi, namun Studi Analisis

pendapat Imam Nawawi tentang hukum lukisan mahluk bernyawa sepanjang

pengamatan penulis belum pernah dilakukan.

Pandangan Imam Nawawi dalam kitabnya yang berjudul Shahih

Muslim bi Syarhi an-Nawawi berpendapat bahwa hadits-hadits Nabi tersebut

11

menunjukkan haramnya menyimpan atau membuat lukisan dengan

mengambil obyek mahluk bernyawa, yaitu gambar dalam bentuk lukisan yang

biasa dibuat oleh orang-orang jahiliyah untuk dipuja dan diagungkan. Imam

Nawawi berpandapat bahwa pekerjaan membuat gambar atau lukisan dengan

obyek mahluk bernyawa seperti manusia dan binatang, baik dengan bentuk

tiga dimensi (patung) ataupun dua dimensi (lukisan) yang dipergunakan atau

tidak dipergunakan hukumnya adalah haram. Sedangkan membuat gambar

atau lukisan dengan obyek mahluk yang tidak bernyawa seperti pohon, biji-

bijian dan pegunungan adalah halal hukumnya.13

Alasan Imam Nawawi mengharamkan semua jenis lukisan mahluk

bernyawa baik dalam bentuk dua dimensi ataupun tiga dimensi karena hal

tersebut lebih menyerupai berhala, cenderung kepada syirik dan lebih tampak

sebagai peniruan ciptaan Allah SWT. Di mana pada masa Nabi segala macam

bentuk gambar atau patung dijadikan sebagai sarana untuk penyembahan.

Senada dengan Imam Nawawi, Sayyid Sabiq, dalam kitabnya yang

berjudul Fiqh as-Sunnah, juga menyatakan bahwa pembuatan gambar dan

lukisan mahluk bernyawa apapun tujuannya adalah haram. Sedangkan gambar

dan lukisan yang diperbolehkan dalam Islam yaitu segala macam obyek yang

tidak memiliki ruh atau nyawa seperti pepohonan, gunung, bunga dan

pemandangan alam.14

13 Imam Nawawi, Shahih Muslim bi Sarh an-Nawawi, hlm. 81-82. 14 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 3, Beirut : Daar al-Kutub al-Araby, t.t., hlm. 498.

12

Syaikh Ahmad Syakir berpendapat tentang dibolehkannya pembuatan

lukisan mahluk bernyawa sebagaimana yang termuat dalam ta’liqnya atas

hadits Nabi sebagai mana berikut :

“Di antara hujjah mereka adalah, bahwa mereka menta’wil nas-nas (yang berkenaan dengan masalah gambar ini) dengan alasan yang tidak pernah diterangkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak pernah dijadikan sebagai alasan atas diharamkannya gambar, yaitu bahwa menurut mereka, diharamkannya gambar itu pada mulanya adalah karena dekatnya mereka kepada periode penyembahan berhala, sedang sekarang situasi itu telah lampau sehingga alasan itu tidak lagi dapat digunakan dan manusia tidak perlu dikhawatirkan akan kembali menyembah berhala lagi”.15

Sedangkan Yusuf al-Qardlawi dalam kitabnya al-Halal wa al-Haram

fi al-Islam dan al-Islam wa al-Fann membahas panjang lebar mengenai

kedudukan hukum gambar atau lukisan mahluk bernyawa ini. Ia mengatakan

bahwa hukum menggambar atau melukis mahluk bernyawa tersebut

tergantung kita melihat bagaimana tujuan dari gambar atau lukisan tersebut,

bagaimana pembuatan gambar atau lukisan tersebut, di tempat mana gambar

atau lukisan itu di tempatkan, serta apa tujuan orang yang membuat.

Kalau karya estetik atau seni tersebut berbentuk sesuatu yang

disembah selain Allah SWT, seperti gambar al-Masih bagi orang-orang

Kristen atau sapi bagi orang-orang hindu, maka bagi sipembuatnya (seniman)

tidak lain dia adalah menyiarkan kekufuran dan kesesatan. Akan tetapi,

apabila gambar atau lukisan dengan obyek mahluk bernyawa tersebut tidak

memiliki unsur-unsur larangan seperti di atas, maka hukumnya adalah tidak

haram.16

15 Imam Ahmad ibn Hanbal, al-Musnad, Beirut : Dar al-Fikr, 1878, hadits no. 7166. 16 Yusuf al-Qardlawi, al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, hlm. 103-105

13

Dr. Abu Hapsin dalam makalahnya juga menyimpulkan bahwa

larangan Nabi SAW terhadap lukisan mahluk bernyawa adalah dimaksudkan

untuk menegakkan ajaran tauhid. Tetapi ketika situasi masyarakat dipandang

sudah aman dari praktek idolatri, Nabi SAW kemudian menunjukkan sikap

netralnya.17

Kemudian Dr. Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan al-Qur’an

mengemukakan bahwa seni adalah keindahan. Ia merupakan ekspresi ruh dan

budaya manusia yang mengandung dan mengungkapkan keindahan. Ia lahir

dari sisi terdalam manusia, didorong oleh kecenderungan seniman kepada

yang indah, apapun jenis keindahan itu. Dorongan tersebut merupakan naluri

manusia, atau fitrah yang dianugrahkan Allah SWT kepada hamba-

hambanya.18

E. Metodologi Penelitian

Penelitian skripsi ini berdasarkan pada suatu penelitian melalui studi

kepustakaan (Library Research) yang relevan dengan pokok permasalahan.

Agar skripsi ini memenuhi kriteria karya tulis ilmiah yang bermutu dan

mengarah pada obyek kajian serta sesuai maka metode pendekatan yang

digunakan dalam sekripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Sumber dan Pengumpulan Data

Penelitian ini dilakukan dengan cara menelusuri dan menelaah

literatur-literatur, atau penelitian yang difokuskan pada bahan-bahan

17 Abu Hapsin, The Attitude of Islamic Law Toward Painting, Paper The Final Exam of Islamic Art, Thailand : Mahidol University, 1998, hlm. 1. t.d.

18 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Bandung : Penerbit Mizan, 1996, hlm. 385.

14

pustaka.19 Tehnik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan

mengkaji dan menelaah berbagai buku dan kitab yang mempunyai

relevansi dengan skripsi ini. Jenis data yang akan dikumpulkan dalam

penelitian adalah data primer maupun data sekunder.20 Data primer

meliputi Kitab Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawi karya Imam Nawawi

yang membahas tentang hukum melukis mahluk bernyawa. Sedangkan

data sekunder adalah semua data yang relevan dengan masalah tersebut,

baik secara langsung atau tidak langsung.

2. Metode Analisis Data

Sebagai tindak langsung dari upaya pengumpulan data, maka

metode analisis data menjadi sangat signifikan untuk menuju

kesempurnaan penelitian ini. Dalam menganalisa data penulis

menggunakan metode sebagai berikut :

a. Metode Deskriptif-Analitis

Metode ini merupakan metode pembahasan dengan cara

menguraikan masalah yang dibahas secara teratur, yakni mengenai

hukum lukisan mahluk bernyawa menurut Imam Nawawi, latar

belakang pemikiran dan metodologi istimbath hukum yang dipakai

oleh Imam Nawawi dalam persoalan hukum lukisan mahluk bernyawa

serta relevansi pendapat tersebut dengan kondisi kekinian. Metode ini

digunakan sebagai pendekatan untuk menguraikan pemikiran tokoh

19 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Yogyakarta : Andi Offset, 1998, hlm. 9. 20 Saifudin Azwar, Metode Penelitian, Cet II, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999, hlm. 9.

15

sebagaimana adanya dan menganalisanya sehingga dapat lebih mudah

untuk dipahami dan disimpulkan.

Dengan menggunakan metode ini diharapkan pembahasan ini

tidak keluar dari pesan atau isi yang diusung oleh Imam Nawawi

terutama pandangan-pandangannya tentang hukum lukisan mahluk

bernyawa.

b. Metode Pendekatan Sosio-Historis

Yaitu suatu upaya memahami pendapat atau wacana dengan

mempertimbangkan kondisi historis-empiris pada saat pendapat atau

wacana itu disampaikan.21

Dengan metode pendekatan ini penulis bermaksud untuk

melihat sejarah kehidupan Imam Nawawi, situasi kemasyarakatan serta

pemikiran-pemikiran yang ada, baik secara langsung ataupun tidak

langsung berpengaruh pada pemikiran beliau dalam memberikan

pendapatnya tentang hukum lukisan mahluk bernyawa.

c. Metode Pendekatan Hermeneutik

Dengan metode pendekatan ini penulis mencoba untuk

melakukan pemahaman penafsiran dan penterjemahan teks tertulis

yang berasal dari lingkungan sosial dan historis yang berbeda dengan

lingkungan dunia pembaca untuk memahami teks keagamaan.22

21 Said Agil H.M. dan Abdul Mustaqim, Studi Kritis Hadits Nabi, Pendekatan Sosio-

Historis-Kontekstual, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001, hlm. 23. 22 Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah, Semarang : Aneka Ilmu, 2000, hlm.141.

16

F. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun berdasarkan hasil dari studi kepustakaan (Library

Research), maka dalam sistem penulisan skripsi menggambar struktur

organisasi penyusunan yang dapat dijelaskan, yang masing-masing bab

memuat urutan sebagai berikut :

1. Bagian Muka

Bagian ini memuat Halaman Sampul, Halaman Judul, Halaman

Pengesahan, Halaman Motto, Halaman Kata Pengantar dan Halaman Isi.

2. Bagian Isi/Batang tubuh kerangka

Sistematika penulisan bagian ini akan terperinci menjadi bab-bab, sub bab

yang saling berhubungan. Adapun pembahasannya sebagai berikut :

BAB I. Pendahuluan

Terdiri dari latar belakang masalah, permasalahan dan

ruang lingkupnya, tujuan penulisan, telaah pustaka, metode

penulisan skripsi dan sistematika penulisan skripsi.

BAB II. Tinjauan Umum Tentang Seni Lukis

Terdiri dari pengertian seni lukis, sejarah dan

perkembangan dari seni lukis, dalil-dalil normatif, al-

Qur’an dan as-Sunnah yang terkait dengan hukum lukisan

mahluk bernyawaserta pendapat para ulama tentang hukum

lukisan mahluk bernyawa.

BAB III. Merupakan data penelitian tentang pendapat Imam an-

Nawawi tentang hukum lukisan mahluk bernyawa yang

17

memuat tentang biografi Imam Nawawi dan karya-

karyanya, selanjutnya pendapat Imam Nawawi tentang

hukum lukisan mahluk bernyawa serta metode istimbath

hukum Imam Nawawi tentang hukum melukis mahluk

bernyawa.

BAB IV Pada bab ini berisi posisi Imam Nawawi dalam peta

pemikiran tentang hukum lukisan mahluk bernyawa,

validitas istimbath hukum Imam Nawawi tentang hukum

melukis mahluk bernyawa, serta relevansi pendapat Imam

Nawawi tentang hukum melukis mahluk bernyawa dengan

konteks kekinian.

BAB V Penutup

Terdiri dari kesimpulan, saran-saran dan penutup.