BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf ·...

76
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pembangunan nasional ditujukan untuk meraih cita-cita perjuangan kemerdekaan Indonesia yang berbasis mututaraf kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Dalam mengisi cita-cita perjuangan tersebut maka perlu dilakukan program yang terencana dan terarah untuk melaksanakan proses pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan tersebut yakni Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945. Suatu kenyataan selama ini bahwa pembangunan nasional belum terlaksana sebagaimana mestinya sesuai dengan tujuan nasional, hal ini disebabkan oleh berbagai hal yang cukup kompleks terutama aspek penegakan hukum (law enforcement) yang lemah, masih tumbuh suburnya budaya korupsi, kolusi, nepotisme, dan lain-lain. Semua kompleksitas masalah itu berpengaruh besar terhadap tercapainya tujuan nasional. Pada bidang jasa konstruksi juga tidak kalah penting turut melahirkan fenomena-fenomena hukum dan sosial, walaupun telah terjadi perubahan paradigma perangkat hukum, namun dalam praktek masih terlihat nyata belum terlaksana sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Jasa konstruksi merupakan salah satu kegiatan dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya yang mempunyai peranan penting dalam pencapaian berbagai sarana guna menunjang terwujudnya tujuan pembangunan nasional. Melalui sektor inilah, 1

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf ·...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pembangunan nasional ditujukan untuk meraih cita-cita perjuangan

kemerdekaan Indonesia yang berbasis mututaraf kehidupan masyarakat

secara keseluruhan. Dalam mengisi cita-cita perjuangan tersebut maka perlu

dilakukan program yang terencana dan terarah untuk melaksanakan proses

pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang

mendasari perjuangan tersebut yakni Pancasila dan Undang- Undang Dasar

1945.

Suatu kenyataan selama ini bahwa pembangunan nasional belum

terlaksana sebagaimana mestinya sesuai dengan tujuan nasional, hal ini

disebabkan oleh berbagai hal yang cukup kompleks terutama aspek penegakan

hukum (law enforcement) yang lemah, masih tumbuh suburnya budaya

korupsi, kolusi, nepotisme, dan lain-lain. Semua kompleksitas masalah itu

berpengaruh besar terhadap tercapainya tujuan nasional.

Pada bidang jasa konstruksi juga tidak kalah penting turut melahirkan

fenomena-fenomena hukum dan sosial, walaupun telah terjadi perubahan

paradigma perangkat hukum, namun dalam praktek masih terlihat nyata belum

terlaksana sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Jasa konstruksi

merupakan salah satu kegiatan dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya

yang mempunyai peranan penting dalam pencapaian berbagai sarana guna

menunjang terwujudnya tujuan pembangunan nasional. Melalui sektor inilah,

1

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

2

secara fisik kemajuan pembangunan Indonesia dapat dilihat langsung dari

adanya keberadaan gedung-gedung yang tinggi, jembatan, infrastruktur seperti

jalan tol, sarana telekomunikasi, merupakan hal-hal aktual yang menandakan

denyut ekonomi Indonesia tengah berlangsung.1

Pada tahun 1999 pemerintah membuat peraturan perundang-undangan

mengenai jasa konstruksi, yaitu Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999

tentang Jasa Konstruksi, diikuti dengan tiga Peraturan Pemerintah sebagai

peraturan pelaksanaanya, yaitu: Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000

tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi, Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa

Konstruksi, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2000

tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi dan Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 04 Tahun 2010 tentang Perubahan atas

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran

Masyarakat Jasa Konstruksi.

Melatarbelakangi lahirnya peraturan perundang-undangan tentang jasa

konstruksi tersebut adalah karena berbagai peraturan perundang-undangan

yang berlaku selama ini belum berorientasi pada pengembangan jasa

konstruksi sesuai dengan karakteristiknya. Hal ini yang mengakibatkan kurang

berkembangnya iklim usaha yang mendukung peningkatan daya saing secara

optimal maupun bagi kepentingan masyarakat.2

1

Nazarkhan Yasin, Mengenal Klaim Kontruksi & penyelesaian Sengketa Kontruksi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004, hlm. 226

2 Salim HS., Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Jakarta: Sinar

Grafika, 2003, hlm. 91

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

3

Sebagai konsekwensi yuridis Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999

tentang jasa konstruksi, lahirlah Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi

(LPJK) yang berfungsi sebagai lembaga penentu dan mempunyai kompetensi

untuk melakukan akreditasi Asosiasi Perusahaan dan Asosiasi Jasa Konstruksi

yang selanjutnya menjadi dasar Asosiasi Perusahaan dan Asosiasi Profesi Jasa

Konstruksi, dimana sebelumnya kewenangan ini adalah sepenuhnya

kewenangan pemerintah yang dikenal dengan Daftar Rekanan Mampu (DRM)

yang diterbitkan oleh Gubernur disetiap Provinsi dengan prosedur dan

persyaratan tertentu.3

Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) adalah lembaga yang

didukung oleh pemerintah sebagai satu-satunya lembaga jasa konstruksi

sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999

tentang Jasa Konstruksi dalam Pasal 31 ayat (3), yang menyatakan:

“Penyelenggaraan peran masyarakat jasa konstruksi sebagaimana

dimaksud pada Ayat (1) dalam pelaksanakan pengembangan jasa

konstruksi dilakuakan oleh suatu lembaga yang independen dan

mandiri”4

Hal ini dipertegas lagi dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor

KMA/416/VI/2002 Tanggal 25 Juni 2002, yang kemudian ditindaklanjuti

dalam Putusan Departemen Hukum dan HAM Nomor. I. 10-462 Tanggal 2

Oktober 2002, yang menetapkan:

3 Zahirman Zabir, Jasa Kontruksi Dalam Hukum Bisnis, Jakarta: Zahirman Zabir &

Associates Advocates & Legal Consultan, 2004, hlm. 4 4

Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 tentang

Jasa Kontruksi, Lembaran Negara R.I. Tahun 1999 Nomor 54, dan Tambahan Lembaran Negara

R.I. Nomor 3833

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

4

“Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) sebagai satu-

satunya lembaga jasa konstruksi sebagaimana dimaksud dalam

Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999”.5

Sedangkan dalam Pasal 84 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017

tentang Jasa Konstruksi dinyatakan bahwa:

(1) Penyelenggaraan sebagian kewenangan Pemerintah Pusat

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 mengikutsertakan

masyarakat Jasa Konstruksi.

(2) Keikutsertaan masyarakat Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dilakukan melalui satu lembaga yang dibentuk oleh

Menteri.

(3) Unsur pengurus lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

dapat diusulkan dari:

a. asosiasi perusahaan yang terakreditasi;

b. asosiasi profesi yang terakreditasi;

c. institusi pengguna Jasa Konstruksi yang memenuhi kriteria;

dan

d. perguruan tinggi atau pakar yang memenuhi kriteria.

(4) Selain unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pengurus

lembaga dapat diusulkan dari asosiasi terkait rantai pasok

konstruksi yang terakreditasi.

(5) Pengurus lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan

oleh Menteri setelah mendapatkan persetujuan dari Dewan

Perwakilan Rakyat.

(6) Asosiasi yang terakreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

diberikan oleh Menteri kepada yang memenuhi persyaratan:

a. jumlah dan sebaran anggota;

b. pemberdayaan kepada anggota;

c. pemilihan pengurus secara demokratis;

d. sarana dan prasarana di tingkat pusat dan daerah; dan

e. pelaksanaan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

(7) Penyelenggaraan sebagian kewenangan yang dilakukan oleh

lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibiayai dengan

anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau sumber lain yang

sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(8) Biaya yang diperoleh dari masyarakat atas layanan dalam

penyelenggaraan sebagian kewenangan yang dilakukan lembaga

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan penerimaan

5 Website kppu.go.id;http://www.kppu.go.id/docs/positioning paper/konstruksi.pdf.

diakses tanggal 29 November 2016

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

5

negara bukan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

(9) Ketentuan mengenai penyelenggaraan sebagian kewenangan

Pemerintah Pusat yang mengikutsertakan masyarakat Jasa

Konstruksi dan pembentukan lembaga sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) di bentuk dengan

tujuan untuk dapat membina dan mengembangkan kegiatan jasa konstruksi,

untuk mewujudkan tujuan pembentukan Lembaga Pengembangan Jasa

Konstruksi (LPJK) tersebut maka dibentuklah lembaga pengembangan jasa

konstruksi (LPJK) di setiap Daerah yang berkedudukan disetiap daerah yang

berkedudukan di ibukota Propinsi yang bersengketa. lembaga pengembangan

jasa konstruksi Daerah Propinsi yang disingkat menjadi LPJK Daerah disertai

nama Daerah yang bersangkutan.6

Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 18

Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, yang memuat tentang bentuk kontrak

kerja yang berbunyi:

(1) Kewajiban pengguna jasa dalam pengikatan mencakup:

a. menerbitkan dokumen tentang pemilihan penyedia jasa yang

memuat ketentuan-ketentuan secara lengkap, jelas dan benar

serta dapat dipahami.

b. menetapkan penyedia jasa secara tertulis sebagai hasil

Pelaksanaan pemilihan.

(2) Dalam pengikatan, penyedia jasa wajib menyusun dokumen

penawaran berdasarkan prinsip keahlian untuk disampaikan

kepada pengguna jasa.

(3) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

bersifat mengikat bagi kedua pihak dan salah satu pihak tidak dapat

mengubah dakumen tersebut secara sepihak sampai dengan

penandatanganan kontrak kerja konstruksi.

6 Ketetapan Musyawarah Nasional LPJK tahun 2008 Nomor:

01/TAP/MUNASUSLPJK/II/2008 tentang Penetapan Dan Pengesahan Anggaran Dasar Dan

Anggaran Rumah Tangga LPJK, Jakarta: 2008, Pasal 3 Anggaran Rumah Tangga LPJK

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

6

(4) Pengguna jasa dan penyedia jasa harus menindaklanjuti penetapan

tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan suatu

kontrak kerja konstruksi untuk menjamin terpenuhinya hak dan

kewajiban para pihak yang secara adil dan seimbang serta dilandasi

dengan itikad baik dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.

Tugas LPJK sendiri diatur dalam Pasal 33 Ayat (2) Undang-undang

Nomor 18 Tahun 1999, menyatakan:

“Tugas Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) adalah:

1. Melakukan atau mendorong penelitian dan pengembangan jasa

konstruksi

2. Melakukan pendidikan dan pelatihan jasa konstruksi

3. Melakukan registrasi tenaga kerja konstruksi, yang meliputi

klasifikasi, kualifikasi dan sertifikasi keterampilan dan keahlian

kerja.

4. Melakukan registrasi badan usaha jasa konstruksi

5. Mendorong dan meningkatkan peran arbitrase, mediasi dan penilai

ahli di bidang jasa konstruksi”9.

LPJK juga memberikan pelayanan jasa sebagaimana yang diatur dalam

Pasal 5 ayat (1), (2) dan (2a) Peraturan Pemerintah Nomor 04 Tahun 2010

yang menyatakan:

(1) Lingkup layanan jasa perencanaan pekerjaan konstruksi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dapat terdiri dari:

a. Survey

b. Perencanaan umum, study makro dan study mikro

c. Study kelayakan proyek, industry dan produksi

d. Perencanaan teknik, operasi dan pemeliharaan

e. Penelitian

(2) Lingkup layanan jasa pengawasan pekerjaan kontruksi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) dapat terdiri dari

jasa:

a. Pengawasan pelaksanaan pekerjaan konstruksi

b. Pengawasan keyakinan mutu dan ketepatan waktu dalam

proses pekerjaan dan hasil pekerjaan konstruksi.

(3) Layanan jasa perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan

konstruksi dapat dilakukan secara terintegrasi.

Pembangunan yang dilakukan di Indonesia sudah dimulai sejak

sebelum kemerdekaan Indonesia, yaitu pada masa pemerintahan Belanda.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

7

Pada saat itu perusahaan yang bergerak di bidang jasa konstruksi tidak begitu

banyak, hanya sekitar enam perusahaan dan merupakan anak perusahaan

dengan induknya berada di Netherland. Di samping keenam perusahaan

kontraktor Belanda tersebut ada juga beberapa Perusahaan kontraktor kecil

Indonesia yang berfungsi sebagai sub kontraktor dan pemasok.7

Setelah Indonesia merdeka, banyak tenaga bangsa Belanda seperti

tenaga teknik, profesor, guru, direktur perusahaan, dan arsitek, kembali ke

negaranya. Hal ini menyebabkan posisi ini harus diisi oleh orang Indonesia.

Pada periode ini terjadi ketidakstabilan perekonomian Indonesia, tidak tersedia

dana yang cukup untuk perkembangan, kecuali hanya untuk pekerjaan

rehabilitasi dengan bantuan asing.8

Seiring berjalannya waktu, tepatnya pada tahun 1965 dilakukanlah

pembenahan dalam program pembangunan maupun pelaksanaannya. Hal ini

dapat dimungkinkan karena adanya kestabilan di bidang politik, ekonomi dan

keuangan. Lembaga pemerintah mulai melaksanakan pembangunan yang

memberikan titik awal kebangkitan jasa konstruksi nasional. Jasa konstruksi

mempunyai peranan penting dan strategis, mengingat jasa konstruksi

menghasilkan produksi akhir berupa bangunan atau bentuk fisik lainnya, baik

yang berupa sarana maupun prasarana yang berfungsi mendukung

pertumbuhan dan perkembangan berbagai bidang, terutama bidang ekonomi,

sosial, dan budaya untuk mewujudukan masyarakat adil dan makmur yang

merata secara materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-

7 Artikel yang berjudul “Jasa Konstruksi”, diakses di www.pu.go.id/satminkal/itjen/.../

uu_18_1999.pdf, pada tanggal 29 November 2016 8

Ibid, hlm. 2

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

8

Undang Dasar 1945. Selain berperan dalam mendukung berbagai bidang

pembangunan, jasa konstruksi berperan pula untuk mendukung tumbuh dan

berkembangnya berbagai industri barang dan jasa yang diperlukan dalam

penyelenggaran pekerjaan konstruksi.9

Dalam Pasal 1601 KUHPerdata dijelaskan mengenai perjanjian

pemborongan yang mana terdapat dua pihak, yaitu pihak pemborong dan

pihak yang memborongkan. Dalam hal ini, pihak pemborong atau yang

lazimnya disebut sebagai kontraktor adalah pihak yang mengikatkan dirinya

kepada pihak yang memborongkan pekerjaannya untuk melakukan pekerjaan

sesuai dengan yang diinginkan oleh pemilik pekerjaan/proyek. Pemborong

atau kontraktor bisa disamakan dengan orang atau suatu badan hukum atau

badan usaha yang mana mereka dikontrak atau di sewa untuk menjalankan

pekerjaan berdasarkan isi kontrak yang dimenangkannya dari pihak pemilik

pekerjaan. Sedangkan pihak yang memborongkan pekerjaannya adalah pihak

yang mengikatkan dirinya kepada si pemborong untuk dikerjakan

pekerjaannya yang mana pemilik pekerjaan ini berasal dari instansi/lembaga

pemerintahan, badan hukum, badan usaha, ataupun perorangan.10

Bidang usaha kontraktor sebenarnya sangat luas dan setiap kontraktor

memiliki fokus usaha dan spesialisasi di bidangnya masing-masing, salah

satunya kontraktor bidang konstruksi atau dikenal dengan istilah kontraktor

bangunan atau penyedia jasa konstruksi. Adapun perihal mengenai Jasa

9 Rizki Wahyu Sinatria Pianandita, “Penanganan Sengketa pada Kontrak Konstruksi yang

Berdimensi Publik (Tinjauan Hukum Atas Putusan BANI No.283/vii/ARB-BANI/2008)”, Tesis,

Sarjana Hukum, Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2009, hlm. 28 10

Artikel yang berjudul “Perbedaan Kontraktor dan Pemborong”, diakses di

www.cvemasnapropertindosentosa.blogspot.com pada tanggal 29 November 2016

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

9

konstruksi dan penyelenggaraannya diatur dalam Undang-undang No. 18

Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun

2010 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, yang sekarang telah dirubah

dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Selain

itu, untuk pekerjaan konstruksi milik pemerintah secara umum diatur juga

dalam Perpres No. 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

yang merupakan perubahan kedua dari Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.11

Dalam pelaksanaan jasa konstruksi yang bekerja sama dengan

instansi/lembaga pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh Pejabat Pembuat

Komitmen (PPK) selaku pejabat yang akan bertanggung jawab atas

pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang akan dilakukan dengan penyedia jasa

konstruksi. Ada beberapa tahapan, yang pertama adalah dibuat rencana umum

pengadaan oleh pengguna anggaran, kemudian menetapkan PPK yang

nantinya akan menyusun Harga Perkiraan Sendiri (HPS) dan menyusun

rancangan kontrak yang disebut juga sebagai Kontrak Kerja Konstruksi.

Setelah dokumen tersebut selesai, PPK menyerahkannya kepada bagian

keuangan untuk disetujui terlebih dahulu, hal ini terkait dengan ketersediaan

anggaran. Apabila telah mendapat persetujuan, PPK menyerahkannya kepada

panitia Unit Layanan Pengadaan (ULP) untuk melakukan proses pelelangan

dan menetapkan pemenang lelang/tender. Setelah panitia ULP telah

mendapatkan pemenang lelang, panitia ULP menyerahkan kembali kepada

PPK untuk melaksanakan proses selanjutnya, yaitu penandatanganan kontrak

11

Ibid

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

10

kerja konstruksi dengan penyedia jasa konstruksi yang telah memenangkan

proses lelang.

Rancangan kontrak yang disusun oleh PPK meliputi Syarat-Syarat

Umum Kontrak (SSUK), pelaksanaan kontrak, penyelesaian kontrak,

adendum kontrak, pemutusan kontrak, hak dan kewajiban para pihak, personil

dan/atau peralatan penyedia, pembayaran kepada penyedia, pengawasan mutu,

serta Syarat-Syarat Khusus Kontrak (SSKK). Semua rancangan ini disusun

berdasarkan Peraturan Kepala LKPP No. 6 Tahun 2012 tentang Petunjuk

Teknis Pepres No. 70 Tahun 2012 dan Peraturan LKPP No. 6 Tahun 2010

tentang Standar Dokumen Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana

telah diubah dengan Peraturan Kepala LKPP No. 2 Tahun 2011.

Pada umumnya perjanjian pengadaan barang/jasa yang dibuat dalam

bentuk kontrak kerja konstruksi menggunakan perjanjian baku yang mengikat

antar PPK dan penyedia jasa konstruksi. Klausula-klausula dalam kontrak

tersebut telah dirancang sebelumnya oleh PPK dengan berpedoman pada

Peraturan Kepala LKPP No. 6 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pepres

No. 70 Tahun 2012 dan Peraturan LKPP No. 6 Tahun 2010 tentang Standar

Dokumen Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah diubah

dengan Peraturan Kepala LKPP No. 2 Tahun 2011 tanpa melibatkan penyedia

jasa konstruksi. Penyedia jasa konstruksi yang telah memenangkan pelelangan

proyek harus menerima klausula-klausula yang telah disiapkan oleh PPK.

Apa yang terkandung dalam kontrak pemerintah pada dasarnya adalah

kemauan sepihak dari pemerintah. Syarat-syarat dalam kontrak telah disiapkan

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

11

oleh pemerintah melalui perancang yang terampil dan berpengalaman. Pihak

kontraktor atau pemasok hanya mempunyai dua pilihan, setuju atau tidak

setuju. Sama sekali tertutup kemungkinan melakukan penawaran balik.

Kontrak baku yang secara luas digunakan dalam praktek kontrak pemerintah

dengan demikian hanya menyisakan sedikit hak bagi kontraktor, selebihnya

adalah kewajiban yang harus dipatuhi.12

Kontrak baku tersebut menghilangkan hak dari pihak penyedia jasa

konstruksi untuk mengadakan negosiasi pada saat pembentukan kontrak,

sehingga posisi para pihak tidak seimbang. Pihak Penyedia Jasa hanya dapat

memilih antara dua, menerima atau menolak kontrak kerja konstruksi yang

telah dirumuskan oleh PPK terlebih dahulu. Apabila pihak penyedia jasa

konstruksi bersedia menerima kontrak, maka mereka harus menandatangani

kontrak kerja konstruksi itu.

Ketidakseimbangan antara jumlah pekerjaan konstruksi/proyek dan

banyaknya penyedia jasa konstruksi mengakibatkan posisi tawar penyedia jasa

konstruksi menjadi lemah. Banyaknya jumlah Penyedia Jasa Konstruksi

membuat PPK leluasa melakukan pilihan. Adanya kekhawatiran tidak

mendapatkan pekerjaan yang ditenderkan oleh pemilik proyek menyebabkan

penyedia jasa konstruksi mau saja menerima kontrak kerja konstruksi yang

dibuat oleh PPK.

Sebenarnya dalam kontrak kerja kontruksi diberikan kesempatan

kepada pihak penyedia jasa kontruksi untuk melakukan perubahan dalam

12

Yohannes S. Simamora., Hukum Kontrak (Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa

Pemerintah di Indonesia), Surabaya: Laksbang Justitia Surabaya, 2006, hlm. 64

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

12

kontraknya. Hanya saja, perubahan ini dimungkinkan dalam hal-hal tertentu

saja, misalnya cara pembayaran atau jangka waktu penyelesaian pekerjaan,

itupun apabila hal tersebut cukup memungkinkan karena akan kembali

mempertimbangkan kondisi lapangan, apakah memang diperlukan perubahan

jangka waktu penyelesaian pekerjaan.

Adanya kontrak baku ini menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan

dalam kontrak kerja konstruksi tersebut karena ada beberapa klausula yang

dianggap dapat merugikan pihak penyedia jasa konstruksi, salah satunya

masalah pemenuhan prestasi. Pada dasarnya masih ada beberapa hal dalam

klausula-klausula tersebut yang harus betul-betul ditegaskan. Banyak kasus

yang terjadi, dimana penyedia jasa konstruksi dituntut oleh pengguna jasa

karena melakukan wanprestasi. Padahal pada kenyataannya tidak hanya

penyedia jasa konstruksi yang memungkinkan melakukan wanprestasi dalam

pelaksanaan pekerjaannya, bahkan pihak pengguna jasa konstruksi pun tidak

jarang melakukan wanprestasi, misalnya dalam hal keterlambatan pembayaran

prestasi yang telah dilaksanakan oleh penyedia jasa konstruksi secara tepat

waktu dan tanpa cacat sedikitpun.

Misalnya ketika penyedia jasa melakukan wanprestasi dalam hal

keterlambatan penyelesaian pekerjaan, maka penyedia jasa akan dikenakan

denda yang mana denda tersebut akan secara otomatis dipotong atau diambil

dari angsuran pembayaran pekerjaan penyedia. Sedangkan yang terjadi

sebaliknya, yaitu apabila pihak PPK selaku pengguna jasa yang terlambat

melakukan pembayaran prestasi terhadap penyedia, pihak penyedia jasa harus

terlebih dahulu mengajukan tagihan disertai perhitungan dan data-data.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

13

Namun, pada kenyataannya yang terjadi selama ini adalah belum pernah ada

pihak dari penyedia jasa yang berani menggugat hal tersebut dengan

mengajukan tagihan kepada pihak PPK dikarenakan mereka khawatir hal

tersebut akan berpengaruh ataupun dijadikan sebagai suatu penilaian untuk

mendapatkan dan mengerjakan suatu proyek kedepannya.

Selain itu, terkadang pihak penyedia jasa konstruksi terlambat

menerima pembayaran berdasarkan tahapan penyelesaian pekerjaannya

(termijn) dari pemerintah selaku pengguna jasa dengan alasan sedang tidak

ada dana di kas daerah. Dengan adanya keterlambatan pembayaran ini, tentu

akan mempengaruhi kinerja dari penyedia jasa konstruksi, misalnya dalam hal

waktu penyelesaian pekerjaan yang sedang dikerjakan juga akan ikut

mengalami keterlambatan. Tetapi di satu sisi, ketika penyedia jasa

konstruksinya terlambat menyelesaikan pekerjaannya, penyedia jasa

konstruksi tersebut tetap dikenakan denda keterlambatan, padahal

keterlambatan ini juga terjadi dikarenakan adanya keterlambatan pembayaran

termijn dari pihak pemerintah.

Dalam melaksanakan pekerjaan pembangunan dikenal dengan istilah

kontrak.”Kontrak disini dikatakan bahwa suatu perjanjian (tertulis) di antara

dua atau lebih orang (pihak) yang menciptakan (hak) dan kewajiban untuk

melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal khusus. Ciri kontrak yang utama

adalah bahwa dia merupakan suatu tulisan yang memuat perjanjian para pihak,

lengkap dengan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat, serta yang berfungsi

sebagai alat bukti apa adanya (seperangkat) kewajiban.13

13 Budiono Kusumohamidjojo, Panduan Untuk Merancang Kontrak, Jakarta: Penerbit PT

Grasindo, 2001, hlm. 6

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

14

Selain itu ciri khas yang paling penting dari suatu kontrak adalah

adanya kesepakatan bersama (mutual consent) para pihak. Kesepakatan

bersama ini bukan hanya merupakan karakteristik dalam pembuatan kontrak,

tetapi hal itu penting sebagai suatu niat yang diungkapkan kepada pihak lain.

Di samping itu, sangat mungkin untuk suatu kontrak yang sah dibuat tanpa

adanya kesepakatan bersama. Dalam kontrak yang baik akan diatur

mekanisme yang efektif dan alat yang ampuh untuk menghadapi dan

mengendalikan berbagai permasalahan dan kesulitan dalam proses

pelaksanaan kegiatan proyek, sehingga terdapat perlindungan terhadap risiko.

Proyek ini yang memberikan tugas yaitu Pemerintah Daerah. Bentuk

mekanisme untuk pemilik, antara lain meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Jaminan pelaksanaan (performance bond)

2. Garansi dan pertanggungan (warranty)

3. Pembayaran berdasarkan kemajuan pekerjaan (progress payment)

4. Hak untuk mengadakan inspeksi dan testing

5. Hak mendapatkan laporan berkala

6. Hak melaksanakan penjaminan mutu (quality control).

Dalam rangka pelaksanaan pembangunan fisik yang berwujud gedung-

gedung pemerintah, jalan raya, pasar, dan sebagainya, pemerintah pada

umumnya tidak mengerjakan sendiri, pemilik proyek biasanya melimpahkan

pekerjaan bangunan tersebut kepada perusahaan jasa kontruksi yang

melibatkan rekanan pemborong atau kontraktor bangunan, konsultan proyek

yang semuanya banyak berperan dalam pembangunan.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

15

Ketentuan khusus untuk kontrak Jasa Konsultansi. Dimana

kewenangan anggota konsultan (penyedia jasa) adalah ketentuan yang

mengatur mengenai apabila penyedia jasa yaitu sebuah joint venture yang

beranggotakan lebih dari sebuah penyedia jasa, anggota joint venture tersebut

memberi kuasa kepada salah satu anggota joint venture untuk bertindak dan

mewakili hak-hak dan kewajiban anggota penyedia jasa lainnya terhadap

pengguna jasa.14

Dalam usaha untuk mendapatkan suatu kontrak kontruksi, kontraktor

harus mengikuti tender atau mengajukan penawaran harga kepada owner.

Kontraktor harus menentukan besar mark-up optimum yang tetap akan

memberinya keuntungan tetapi dengan harga akhir yang lebih rendah dari

pesaing lain. Dijelaskan bahwa kontraktor adalah perusahaan-perusahaan yang

bersifat perorangan yang berbadan hukum yang bergerak dalam bidang

pemborongan bangunan. Implikasi/penyimpangan yang sering dilakukan oleh

kontraktor di lapangan:

1. Kontraktor tidak mau melaksanakan pekerjaan tertentu karena item

pekerjaan tidak tercantum dalam Bill of Quantity

2. Kontraktor mengajukan perhitungan perubahan pekerjaan mengacu kepada

volume Bill of Quantity yang ada.

3. Kontraktor melaksanakan pekerjaan di lapangan sesuai volume yang

tercantum dalam BQ.

14

Herry Kamaroesid, Tata Cara Penyusunan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa

Pemerintah, Jakarta: Penerbit Mitra Wacana Media, 2009, hlm. 17

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

16

Kontrak dalam proyek konstruksi dikenal sebagai kontrak engineering.

Suatu kontrak adalah dokumen yang memuat persetujuan bersama secara

sukarela, yang mempunyai kekuatan hukum, di mana pihak pertama berjanji

untuk memberikan jasa dan menyediakan material untuk membangun proyek

bagi pihak kedua, sedangkan pihak kedua berjanji akan membayar sejumlah

uang sebagai imbalan untuk jasa dan material yang telah disediakan oleh pihak

pertama. Setiap kontrak harus bersikap adil untuk kedua belah pihak, dan tidak

bermaksud untuk mengambil keuntungan secara sepihak dengan merugikan

orang lain.

Penyelesaian kasus-kasus kegagalan produk konstruksi sering berakhir

dengan suatu ketidakjelasan siapa yang harus bertanggung jawab. Setiap pihak

yang terlibat akan selalu berusaha menghindar dari setiap tanggung jawab. Hal

ini merupakan konsekuensi logis sifat unik proyek konstruksi yang melibatkan

banyak pihak yang bekerja sesuai keahliannya dengan berbagai peran dan

tanggung jawab. Yang pasti bahwa setiap pihak yang terlibat memberikan

konstribusi terhadap pencapaian kinerja produk yang berarti mempunyai

kemungkinan untuk memberi konstribusi terhadap kegagalan bangunan.

Kegagalan bangunan tidak hanya sebatas merugikan pemilik, namun

mempunyai konsekuensi lain seperti perselisihan yang dapat menambah

biaya-biaya dan waktu yang seharusnya tidak perlu. Tuntutan Undang-Undang

No 18/1999 tentang Jasa Konstruksi Jo. Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2017 tentang Jasa Konstruksi yang mensyaratkan kegagalan bangunan

dimasukkan ke dalam kontrak adalah salah satu kemajuan dalam sistem

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

17

penyelenggaraan konstruksi nasional khususnya untuk memenuhi asas

keadilan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa hal itu menyimpan potensi

masalah yang kompleks jika ketersediaan perangkat pendukung bagi

penerapan undang-undang tersebut, khususnya yang berhubungan dengan

masalah kegagalan bangunan tidak segera dipenuhi. Kebutuhan yang berkaitan

dengan sistem penjaminan produk konstruksi yang sesuai dengan

pertumbuhan jasa konstruksi nasional dan kondisi-kondisi sosial budaya

masyarakat di tanah air merupakan hal yang harus dipikirkan dan

dikembangkan untuk memberi dukungan terhadap penerapan undang-undang

tersebut.

Kegagalan bangunan dan kegagalan konstruksi dapat disebabkan oleh

faktor teknis maupun faktor non teknis. Faktor teknis karena adanya

penyimpangan proses pelaksanaan yang tidak memenuhi spesifikasi teknis

yang disepakati dalam kontrak, sedangkan faktor non teknis lebih disebabkan

karena proses pra kontrak (Bidding) maupun tidak kompetennya Badan Usaha,

tenaga kerja, tidak profesionalnya tata kelola manajerial antara pihak-pihak

yang terlibat dalam proyek konstruksi serta lemahnya pengawasan/supervisi.

Kontrol mutu atau pengawasan/supervisi pada saat proses konstruksi sering

kali tidak efektif. Kegagalan konstruksi dapat diketahui setelah proses

konstruksi selesai atau bahkan pada proses perawatan. Apabila deteksi

kegagalan konstruksi terlambat, hal ini akan mengakibatkan penambahan

biaya untuk pekerjaan perbaikan sebesar 6-12% dari biaya konstruksi dan 5%

untuk biaya perawatan. Kegagalan konstruksi hampir 20-40% terjadi dalam

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

18

tahap proses pelaksanaan dan kegagalan tersebut 54% diakibatkan oleh tenaga

kerja yang tidak terampil dan selebihnya 12% diakibatkan oleh mutu material.

Surat Perjanjian atau Kontrak membagi risiko secara adil sedemikian rupa,

sehingga para pihak bersepakat. Kontrak merupakan proses distribusi risiko

dari Owner/pihak pengguna jasa ke pihak penyedia jasa. Kontrak harus

dipahami dan disadari oleh para pihak agar tidak terjadi permasalahan di

kemudian hari.

Tujuan proyek terdapat 4 target, yaitu biaya ekonomis, kualitas

terpenuhi, waktu tak terlampui dan keselamatan kerja terpenuhi. Apabila salah

satu tujuan proyek tak terpenuhi maka dapat diartikan bahwa proyek tersebut

mengalami kegagalan. Kegagalan konstruksi maupun kegagalan bangunan

merupakan proses panjang dari suatu proses pelaksanaan pekerjaan yang

dilakukan oleh kontraktor karena tidak sesuai dengan kontrak, khususnya RKS

dan Gambar Rencana yang telah ditetapkan. Kegagalan konstruksi dan

kegagalan bangunan disebabkan oleh indikator kinerja proyek yang tidak

tercapai. Berdasarkan fenomena-fenomena di atas akan dikaji “Rekonstruksi

Jasa Konstruksi Pembangunan Fisik Yang berbasis mutuPelayanan Publik

Berbasis Nilai Keadilan”, diharapkan hasil dari kajian ini dapat memberikan

kontribusi pengetahuan kepada penyelesaian permasalahan di industri

konstruksi.

Akibat kegagalan konstruksi yang dapat menyebabkan tidak berfungsi

baik secara keseluruhan maupun sebagian, sehingga masyarakat tidak dapat

memanfaatkan hasil pembangunan secara maksimal, sehingga hal tersebut

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

19

mengakibatkan terganggunya pelayanan publik terhadap jasa konstruksi

pembangunan fisik.

Kualitas pelayanan pada sektor publik saat ini menjadi kata kunci

untuk membangkitkan kembali kepercayaan masyarakat pada pemerintah.

Menurut Gaster15

ada tiga argumen bagi pemerintah untuk mempromosikan

kebijakan kualitas dalam pelayanan publiknya. Pertama, kebijakan kualitas

menguat di pemerintahan lokal disebabkan adanya desakan dari eksternal.

Kedua, kebijakan kualitas akan memberikan kontribusi terhadap popularitas

dan keberlangsungan dari pemerintah lokal. Ketiga, Kebijakan kualitas dapat

membawa pemerintah lokal dan masyarakatnya lebih dekat dan fokus pada

konsumen atau citizen sehingga menjadi baseline bagi pelayanan publik dan

nilai-nilai demokratik.

Secara definitif, kualitas pelayanan dimaknai sebagai fitness for

purpose atau fitness use dengan tujuan untuk mempertemukan kenyataan dan

harapan dari konsumen. Haywood-Farmer16

berpendapat bahwa organisasi

pelayanan mempunyai kualitas yang tinggi (high quality), jika ia dapat

mempertemukan preferensi dan harapan konsumen secara konsisten. Elemen

kunci dalam mencapai hasil dari kualitas pelayanan adalah dengan

mengidentifikasi segala sesuatu yang memenuhi persyaratan yang disesuaikan

dengan harapan konsumen. Untuk mampu mencapai kualitas pelayanan yang

tinggi, maka ada tiga atribut dasar yang harus dipenuhi, yaitu: Pertama,

15 Lucy Gaster, “Quality Service in Local Government: a Bottom-up Approach”. Journal

of Management Development, Vol. 15, No. 2, 1996, hlm. 80-96 16

Abby Ghobadian, “Service Quality: Concepts and Models”. International Journal of

Quality & Reliability Management, Vol. 11, No. 9; 1993, hlm. 43-66

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

20

fasilitas fisik, proses, dan prosedur pelayanan. Kedua, tingkah laku birokrat

yang ramah dan komunikatif. Ketiga, pertimbangan profesionalisme dalam

memberikan pelayanan.

Menurut Ghobadian,17

ada beberapa tantangan yang muncul dalam

upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik, yaitu; lack of visibility,

difficulties in assigning specific accountability, time requered to improve

service quality, and delivery uncertinties. Untuk mengatasi tantangan ini,

maka pemerintah perlu melakukan upaya peningkatan pelayanan publik

dengan memfokuskan diri pada konsumen, memberdayakan front line staff,

melatih dan memberikan motivasi pada staf, serta mempunyai visi yang jelas

tentang kualitas.

Di Indonesia, dengan adanya model demokrasi saat ini telah terjadi

perubahan kualitas pelayanan publik. Pemerintah daerah sebagai representasi

masyarakatnya, secara otonom dapat melayani secara langsung kebutuhan

masyarakatnya. Dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat,

Pemerintah daerah dihadapkan pada tuntutan perubahan yang menyangkut

responsibilitas personal, isu-isu kualitas, orientasi pada pengguna, orientasi

pada hasil layanan, menjalankan mekanisme pasar, orientasi ke budaya inovasi

dan diversifikasi.18

Mengenai tanggung jawab Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan jasa

konstruksi, menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang

Jasa Konstruksi dinyatakan bahwa:

17

Ibid, hlm. 46-47 18

Bambang Supriyono, “Peranan Pemerintahan Daerah dalam Peningkatan Kualitas

Pelayanan Publik”. Jurnal Ilmu Administrasi Publik, Vol.II, No. 2, Maret-Agustus 2002

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

21

(1) Pemerintah Pusat bertanggung jawab atas:

a. meningkatnya kemampuan dan kapasitas usaha Jasa Konstruksi

nasional;

b. terciptanya iklim usaha yang kondusif, penyelenggaraan Jasa

Konstruksi yang transparan, persaingan usaha yang sehat, serta

jaminan kesetaraan hak dan kewajiban antara Pengguna Jasa

dan Penyedia Jasa;

c. terselenggaranya Jasa Konstruksi yang sesuai dengan Standar

Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan;

d. meningkatnya kompetensi, profesionalitas, dan produktivitas

tenaga kerja konstruksi nasional;

e. meningkatnya kualitas penggunaan material dan peralatan

konstruksi serta teknologi konstruksi dalam negeri;

f. meningkatnya partisipasi masyarakat Jasa Konstruksi; dan

g. tersedianya sistem informasi Jasa Konstruksi.

(2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilaksanakan oleh Menteri, berkoordinasi dengan menteri teknis

terkait.

Yang berbasis mutu pelayanan publik, Pasal 5 Undang-Undang Nomor

2 Tahun 2017 tentang Jasa Kontruksi memberikan kewenangan kepada

Pemerintah Pusat, yaitu:

(1) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat

(1) huruf a, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:

a. mengembangkan struktur usaha Jasa Konstruksi;

b. mengembangkan sistem persyaratan usaha Jasa Konstruksi;

c. menyelenggarakan registrasi badan usaha Jasa Konstruksi;

d. menyelenggarakan akreditasi bagi asosiasi perusahaan Jasa

Konstruksi dan asosiasi yang terkait dengan rantai pasok Jasa

Konstruksi;

e. menyelenggarakan pemberian lisensi bagi lembaga yang

melaksanakan sertifikasi badan usaha;

f. mengembangkan sistem rantai pasok Jasa Konstruksi;

g. mengembangkan sistem permodalan dan sistem penjaminan

usaha Jasa Konstruksi;

h. memberikan dukungan dan pelindungan bagi pelaku usaha Jasa

Konstruksi nasional dalam mengakses pasar Jasa Konstruksi

internasional;

i. mengembangkan sistem pengawasan tertib usaha Jasa

Konstruksi;

j. menyelenggarakan penerbitan izin perwakilan badan usaha

asing dan Izin Usaha dalam rangka penanaman modal asing;

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

22

k. menyelenggarakan pengawasan tertib usaha Jasa Konstruksi

asing dan Jasa Konstruksi kualifikasi besar;

l. menyelenggarakan pengembangan layanan usaha Jasa

Konstruksi;

m. mengumpulkan dan mengembangkan sistem informasi yang

terkait dengan pasar Jasa Konstruksi di negara yang potensial

untuk pelaku usaha Jasa Konstruksi nasional;

n. mengembangkan sistem kemitraan antara usaha Jasa

Konstruksi nasional dan internasional;

o. menjamin terciptanya persaingan yang sehat dalam pasar Jasa

Konstruksi;

p. mengembangkan segmentasi pasar Jasa Konstruksi nasional;

q. memberikan pelindungan hukum bagi pelaku usaha Jasa

Konstruksi nasional yang mengakses pasar Jasa Konstruksi

internasional; dan

r. menyelenggarakan registrasi pengalaman badan usaha.

(2) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat

(1) huruf b, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:

a. mengembangkan sistem pemilihan Penyedia Jasa dalam

penyelenggaraan Jasa Konstruksi;

b. mengembangkan Kontrak Kerja Konstruksi yang menjamin

kesetaraan hak dan kewajiban antara Pengguna Jasa dan

Penyedia Jasa;

c. mendorong digunakannya alternatif penyelesaian sengketa

penyelenggaraan Jasa Konstruksi di luar pengadilan; dan

d. mengembangkan sistem kinerja Penyedia Jasa dalam

penyelenggaraan Jasa Konstruksi.

(3) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat

(1) huruf c, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:

a. mengembangkan Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan,

dan Keberlanjutan dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi;

b. menyelenggarakan pengawasan penerapan Standar Keamanan,

Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan dalam

penyelenggaraan dan pemanfaatan Jasa Konstruksi oleh badan

usaha Jasa Konstruksi;

c. menyelenggarakan registrasi penilai ahli; dan

d. menetapkan penilai ahli yang teregistrasi dalam hal terjadi

Kegagalan Bangunan.

(4) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat

(1) huruf d, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:

a. mengembangkan standar kompetensi kerja dan pelatihan Jasa

Konstruksi;

b. memberdayakan lembaga pendidikan dan pelatihan kerja

konstruksi nasional;

c. menyelenggarakan pelatihan tenaga kerja konstruksi

strategis dan percontohan;

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

23

d. mengembangkan sistem sertifikasi kompetensi tenaga kerja

konstruksi;

e. menetapkan standar remunerasi minimal bagi tenaga kerja

konstruksi;

f. menyelenggarakan pengawasan sistem sertifikasi,

pelatihan, dan standar remunerasi minimal bagi tenaga kerja

konstruksi;

g. menyelenggarakan akreditasi bagi asosiasi profesi dan lisensi

bagi lembaga sertifikasi profesi;

h. menyelenggarakan registrasi tenaga kerja konstruksi;

i. menyelenggarakan registrasi pengalaman profesional tenaga

kerja konstruksi serta lembaga pendidikan dan pelatihan kerja

di bidang konstruksi;

j. menyelenggarakan penyetaraan tenaga kerja konstruksi asing;

dan

k. membentuk lembaga sertifikasi profesi untuk melaksanakan

tugas sertifikasi kompetensi kerja yang belum dapat dilakukan

lembaga sertifikasi profesi yang dibentuk oleh asosiasi profesi

atau lembaga pendidikan dan pelatihan.

(5) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat

(1) huruf e, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:

a. mengembangkan standar material dan peralatan konstruksi,

serta inovasi teknologi konstruksi;

b. mengembangkan skema kerja sama antara institusi penelitian

dan pengembangan dan seluruh pemangku kepentingan Jasa

Konstruksi;

c. menetapkan pengembangan teknologi prioritas;

d. memublikasikan material dan peralatan konstruksi serta

teknologi konstruksi dalam negeri kepada seluruh pemangku

kepentingan, baik nasional maupun internasional;

e. menetapkan dan meningkatkan penggunaan standar mutu

material dan peralatan sesuai dengan Standar Nasional

Indonesia;

f. melindungi kekayaan intelektual atas material dan peralatan

konstruksi serta teknologi konstruksi hasil penelitian dan

pengembangan dalam negeri; dan

g. membangun sistem rantai pasok material, peralatan, dan

teknologi konstruksi.

(6) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat

(1) huruf f, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:

a. meningkatkan partisipasi masyarakat yang berkualitas dan

bertanggung jawab dalam pengawasan penyelenggaraan Jasa

Konstruksi;

b. meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat Jasa

Konstruksi;

c. memfasilitasi penyelenggaraan forum Jasa Konstruksi sebagai

media aspirasi masyarakat Jasa Konstruksi;

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

24

d. memberikan dukungan pembiayaan terhadap penyelenggaraan

Sertifikasi Kompetensi Kerja; dan

e. meningkatkan partisipasi masyarakat yang berkualitas dan

bertanggung jawab dalam Usaha Penyediaan Bangunan.

(7) Dukungan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf

d dilakukan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan

negara.

(8) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat

(1) huruf g, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:

a. mengembangkan sistem informasi Jasa Konstruksi nasional;

dan

b. mengumpulkan data dan informasi Jasa Konstruksi nasional

dan internasional.

Sedangkan untuk kewenangan Pemerintah Daerah baik Provinsi

maupun Kabupaten Kota diatur dalam Pasal 7 dan 8 Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2017 tentang Jasa Konstuksi, yaitu:

Pasal 7

Kewenangan Pemerintah Daerah provinsi pada sub-urusan Jasa

Konstruksi meliputi:

a. penyelenggaraan pelatihan tenaga ahli konstruksi; dan

b. penyelenggaraan sistem informasi Jasa Konstruksi cakupan daerah

provinsi

Pasal 8

Kewenangan Pemerintah Daerah kabupaten/kota pada suburusan Jasa

Konstruksi meliputi:

a. penyelenggaraan pelatihan tenaga terampil konstruksi;

b. penyelenggaraan sistem informasi Jasa Konstruksi cakupan daerah

kabupaten/kota;

c. penerbitan Izin Usaha nasional kualifikasi kecil, menengah, dan

besar; dan

d. pengawasan tertib usaha, tertib penyelenggaraan, dan tertib

pemanfaatan Jasa Konstruksi.

Berdasarkan hal tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian lebih lanjut guna penyusunan Disertasi dimana fokus pelaku tindak

pidana adalah orang dewasa dengan mengambil judul: “REKONSTRUKSI

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

25

HUKUM JASA KONSTRUKSI PEMBANGUNAN FISIK YANG

BERBASIS MUTU PELAYANAN PUBLIK”.

B. PERMASALAHAN

Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah sebagai mana yang

dijelaskan di atas, maka permasalahan yang muncul yang perlu diteliti adalah

sebagai berikut:

1. Apakah pelaksanaan konstruksi pembangunan fisik sudah berjalan secara

optimal?

2. Faktor-faktor yang menyebabkan perlu adanya rekonstruksi hukum

terhadap pelaksanaan jasa konstruksi pembangunan fisik yang berbasis

mutu pelayanan publik?

3. Bagaimanakah rekonstruksi hukum jasa konstruksi pelaksanaan

pembangunan fisik yang berbasis mutu pelayanan publik?

C. TUJUAN PENELITIAN DISERTASI

Berdasarkan fokus studi dan permasalahan dalam penelitian ini, maka

tujuan dari penelitian yang ingin dicapai adalah untuk :

1. Untuk menganalisis pelaksanaan konstruksi pembangunan fisik sudah

berjalan secara optimal.

2. Untuk menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan perlu adanya

rekonstruksi hukum terhadap pelaksanaan jasa konstruksi pembangunan

fisik yang berbasis mutu pelayanan publik.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

26

3. Untuk menganalisis rekonstruksi hukum jasa konstruksi pelaksanaan pembangunan fisik yang berbasis mutu pelayanan publik .

D. KEGUNAAN PENELITIAN DISERTASI

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kontribusi teoritis berupa pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya

pengembangan ilmu hukum tentang Undang-Undang Jasa Konstruksi,

serta diharapkan dapat menambah referensi bagi penelitian-penelitian

dimasa yang akan datang. Disamping itu, penelitian ini kiranya dapat

mendorong lebih banyak lagi penelitian-penelitian hukum yang selama ini

kurang mendapat perhatian dari kalangan akademisi maupun praktisi

hukum.

2. Kontribusi praktis dari penelitian ini diharapkan hasilnya dapat

memberikan masukan yang bersifat korektif dan evaluatif bagi pembaca

dalam upaya peningkatan mutu pembangunan fisik yang terjadi.

Disamping itu, hasil penelitian juga kiranya dapat menjadi masukan bagi

Pemerintah untuk menyusun langkah strategis mengenai

pertanggungjawaban yang ada pada kegiatan jasa konstruksi pembangunan

fisik.

E. KERANGKA PEMIKIRAN DISERTASI

Adapun yang dimaksud dengan rekonstruksi hukum pembangunan

oleh penulis dalam disertasi ini adalah merekonstruksi peraturan perundang-

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

27

undangan yang berlaku yang mengatur tentang hukum jasa konstruksi

pembangunan fisik yang tadinya menurut penulis belum mencerminkan nilai-

nilai keadilan menjadi peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang

hukum jasa konstruksi pembangunan yang berbasis mutupelayanan publik

yang berdasarkan nilai-nilai keadilaan. Hal ini karena peraturan perundang-

undangan yang berlaku termasuk Kompilasi Hukum Islam saat ini yang

mengatur tentang hukum jasa konstruksi pembangunan untuk meningkatkan

mutu pelayanan publik dirasa sudah tidak adil lagi, karena sudah tidak sesuai

lagi dengan perkembangan saat ini, oleh karena itu perlu dilakukan

rekontruksi hukum sehingga dalam menyelesaian masalah peningkatan mutu

pelayanan publik dapat mencerminkan nilai-nilai keadilan.

Kata rekonstruksi menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah

mengembalikan sebagai semula atau penyusunan (penggambaran) kembali.19

Kata rekontruksi berasal dari bahasa Inggris “Recontruction” yang berari

pengembalian seperti semula atau penyusunan (penggambaran) kembali.

Secara istilah rekontruksi adalah perumusan atau penyusunan kembali suatu

konsep dikembalikan kepada asalnya.20

Kegagalan pekerjaan konstruksi adalah keadaan hasil pekerjaan

konstruksi yang tidak sesuai dengan spesifikasi pekerjaan sebagaimana

disepakati dalam kontrak kerja konstruksi baik sebagian maupun keseluruhan

sebagai akibat kesalahan pengguna jasa atau penyedia jasa. (PP No. 29/2000

19 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi

kedua, Cetakan ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 1994, hlm. 829. 20

Lihat pengertian rekontruksi dalam http://www.artikata.com/arti-347397-

rekontruksi.php/ . diakses tgl tanggal 29 November 2016.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

28

Pasal 31 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi). Kegagalan merupakan

akumulasi dari berbagai faktor. Oyfer menyatakan “construction defects” di

Amerika disebabkan oleh faktor manusia (54%), desain (17%), perawatan

(15%), material (12%), dan hal tak terduga (2%). Sementara itu, penyebab

potensial untuk kegagalan konstruksi secara umum disebabkan oleh: site

selection and site developments errors, programing deficienciess, construction

errors, material deficienciesand perational errors. Di samping faktor

penyebab kegagalan konstruksi dimana terkait fase fase proses pelaksanaan

konstruksi (life cycle product) faktor alam juga merupakan salah satu

penyebab kegagalan konstruksi yang paling sulit diperkirakan. Hal ini

dikarenakan data atau rekaman tentang perilaku yang tersedia tidak akurat

atau karakter dari alam yang sekarang kecenderungannya bukan merupakan

akibat tunggal, tetapi merupakan akibat dari resultante kesalahan-kesalahan

(multiple sources) yang dibuat masing masing pihak yang terlibat dalam

proyek konstruksi. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor

penyebab kegagalan konstruksi merupakan resultante kesalahan-kesalahan

(multiple sources) yang dibuat oleh pihak-pihak yang terlibat dalam proyek

konstruksi baik yang bersifat teknis maupun non teknis.

Pada Pasal 11 Undang-Undang RI No. 18 Tahun 1999 dijelaskan

tentang tanggung jawab dari perencana konstruksi, pelaksana konstruksi dan

pengawas konstruksi terhadap hasil pekerjaannya. Tanggung jawab tersebut

dilandasi prinsip-prinsip keahlian sesuai kaidah keilmuan, kepatuhan, dan

kejujuran intelektual dalam menjalankan profesinya dengan tetap

Page 29: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

29

mengutamakan kepentingan umum. Tanggung jawab dapat ditempuh melalui

mekanisme pertanggungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku, yaitu:

1. Pasal 26 Undang-Undang RI No. 18 Tahun 1999 dipaparkan mengenai

ketentuan kegagalan bangunan sebagai berikut:

a. Jika terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan karena kesalahan

perencana atau pengawas konstruksi, dan hal tersebut menimbulkan

kerugian bagi pihak lain, maka perencana atau pengawas konstruksi

wajib bertanggung jawab sesuai dengan bidang profesi dan dikenakan

ganti rugi.

b. Jika terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan karena kesalahan

pelaksana konstruksi dan hal tersebut terbukti menimbulkan kerugian

bagi pihak lain, maka pelaksana konstruksi wajib bertanggung jawab

sesuai dengan bidang usaha dan dikenakan ganti rugi.

2. Bab V bagian ketiga tentang penilaian kegagalan pembangungn Pasal 36

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 29 Tahun 2000 tentang

Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.

a. Kegagalan bangunan dinilai dan ditetapkan oleh 1 (satu) atau lebih

penilai ahli yang profesional dan kompeten dalam bidangnya serta

bersifat independen dan mampu memberikan penilaian secara obyektif,

yang harus dibentuk dalam waktu paling lambat 1 (satu) bulan sejak

diterimanya laporan mengenai terjadinya kegagalan bangunan.

b. Penilai ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipilih, dan

disepakati bersama oleh penyedia jasa dan pengguna jasa.

Page 30: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

30

c. Pemerintah berwenang untuk mengambil tindakan tertentu apabila

kegagalan bangunan mengakibatkan kerugian dan atau menimbulkan

gangguan pada keselamatan umum, termasuk memberikan pendapat

dalam penunjukan, proses penilaian dan hasil kerja penilai ahli yang

dibentuk dan disepakati oleh para pihak.

3. Pasal 63 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 menyatakan bahwa:

Penyedia Jasa wajib mengganti atau memperbaiki Kegagalan Bangunan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) yang disebabkan kesalahan

Penyedia Jasa.

4. Sanksi atau hukuman mengenai kegagalan bangunan ini dapat ditinjau dari

Undang-Undang RI No. 18 Tahun 1999 dalam Pasal 43.

a. Barang siapa yang melakukan perencanaan pekerjaan konstruksi yang

tidak memenuhi ketentuan keteknikan dan mengakibatkan kegagalan

pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenai pidana paling

lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10%

(sepuluh per seratus) dari nilai kontrak.

b. Barang siapa yang melakukan pelaksanaan pekerjaan konstruksi yang

bertentangan atau tidak sesuai dengan ketentuan keteknikan yang telah

ditetapkan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi atau

kegagalan bangunan dikenakan pidaba paling lama 5 (lima) tahun

penjara atau dikenakan denda paling banyak 5% (lima per seratus) dari

nilai kontrak.

c. Barang siapa yang melakukan pengawasan pelaksanaan pekerjaan

konstruksi dengan sengaja memberi kesempatan kepada orang lain

Page 31: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

31

yang melaksanakan pekrjaan konstruksi melakukan penyimpangan

terhadap ketentuan keteknikan dan menyebabkan timbulnya kegagalan

pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenai pidana paling

lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10%

(sepuluh per seratus) dari nilai kontrak.

5. Sanksi menurut Pasal 98 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang

Jasa Konstruksi, dinyatakan bahwa Penyedia Jasa yang tidak memenuhi

kewajiban untuk mengganti atau memperbaiki Kegagalan Bangunan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dikenai sanksi administratif

berupa:

a. peringatan tertulis;

b. denda administratif;

c. penghentian sementara kegiatan layanan Jasa Konstruksi;

d. pencantuman dalam daftar hitam;

e. pembekuan izin; dan/atau

f. pencabutan izin.

Berikut disajikan alur kerangka pemikiran dari disertasi ini yang

tergambar di bawah ini.

Page 32: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

32

KERANGKA UMUM / ALUR PIKIR PENELITIAN DISERTASI

SISTEM

HUKU

M

BARAT

SISTEM

HUKUM

ADAT/ISLAM

STUDI

HUKU

M

KRITIS

HUKUM

PIDANA

MATERIIL

SISTEM

PERADILAN

PIDANA

HUKUM

PIDANA

FORMIL

PENDEKATAN

YURIDIS

EMPIRIS

JASA KONSTRUKSI

PEMBANGUNAN

FISIK

MUTU PELAYANAN

PUBLIK

MUTU PELAYANAN

PUBLIK

KEADILAN

HUKUM

MASY

REKONSTRUKSI HUKUM JASA

KONSTRUKSI PEMBANGUNAN

FISIK YANG BERBASIS

MUTUPELAYANAN PUBLIK

KEADILAN

HUKUM

MASY

PRAKTIS :

Memberikan masukan

yang bersifat korektif

dan evaluatif bagi

pembaca dalam upaya

peningkatan mutu

pembangunan fisik

yang terjadi.

Disamping itu, hasil

penelitian juga kiranya

dapat menjadi masukan

bagi Pemerintah untuk

menyusun langkah

strategis mengenai

pertanggungjawaban

yang ada pada kegiatan

jasa konstruksi

pembangunan fisik

KONTRIBUSI

TEORITIS : Pengembangan ilmu

pengetahuan,

khususnya

pengembangan ilmu hukum tentang Undang-

Undang Jasa

Konstruksi, serta diharapkan dapat

menambah referensi

bagi penelitian- penelitian dimasa yang

akan datang. Disamping

itu, penelitian ini kiranya dapat

mendorong lebih

banyak lagi penelitian- penelitian hukum yang

selama ini kurang

mendapat perhatian dari kalangan akademisi

maupun praktisi hukum

Page 33: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

33

F. Kerangka Konseptual Disertasi

1. Pengertian Kebijakan Publik

Secara umum, istilah “kebijakan” atau “policy” dipergunakan

untuk menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu

kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam

suatu bidang kegiatan tertentu. Pengertian kebijakan seperti ini dapat kita

gunakan dan relatif memadai untuk keperluan pembicaraan-pembicaraan

biasa, namun menjadi kurang memadai untuk pembicaraan-pembicaraan

yang lebih bersifat ilmiah dan sistematis menyangkut analisis kebijakan

publik. Oleh karena itu, kita memerlukan batasan atau konsep kebijakan

publik yang lebih tepat.

Pada dasarnya terdapat banyak batasan atau definisi mengenai apa

yang dimaksud dengan kebijakan publik (public policy) dalam literatur

ilmu politik. Masing-masing definisi tersebut memberi penekanan yang

berbeda-beda. Perbedaan ini timbul karena masing-masing ahli

mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. Sementara di sisi yang lain,

pendekatan dan model yang digunakan para ahli pada akhirnya juga akan

menentukan bagaimana kebijakan publik tersebut hendak didefinisikan.

Misalnya, apakah kebijakan dilihat sebagai rangkaian keputusan yang

dibuat oleh pemerintah atau sebagai tindakan-tindakan yang dampaknya

dapat diramalkan.

Salah satu definisi mengenai kebijakan publik diberikan oleh

Robert Eyestone. Ia mengatakan bahwa “secara luas” kebijakan publik

Page 34: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

34

dapat didefinisikan sebagai “hubungan suatu unit pemerintah dengan

lingkungannya”.21

Konsep yang ditawarkan Eyestone ini mengandung

pengertian yang sangat luas dan kurang pasti karena apa yang dimaksud

dengan kebijakan publik dapat mencakup banyak hal. Batasan lain tentang

kebijakan publik diberikan oleh Thomas R. Dye22

yang mengatakan

bahwa “kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah

untuk dilakukan dan tidak dilakukan”. Walaupun batasan yang diberikan

oleh Thomas R. Dye ini agak tepat, namun batasan ini tidak cukup

memberi pembedaan yang jelas antara apa yang diputuskan oleh

pemerintah untuk dilakukan dan apa yang sebenarnya dilakukan oleh

pemerintah. Di samping itu, konsep ini bisa mencakup tindakan-tindakan

seperti pengangkatan pegawai baru atau pemberian lisensi. Suatu tindakan

yang sebenarnya berada di luar domain kebijakan publik.

Seorang pakar ilmu politik lain, Richard Rose23

menyarankan

bahwa kebijakan hendaknya dipahami sebagai “serangkaian kegiatan yang

sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensi-konsekuensinya bagi

mereka yang bersangkutan daripada sebagai suatu keputusan sendiri.

Definisi ini sebenarnya bersifat ambigu, namun definisi ini berguna karena

kebijakan dipahami sebagai arah atau pola kegiatan, dan bukan sekedar

suatu keputusan untuk melakukan sesuatu. Akhirnya marilah kita

mendiskusikan definisi yang diberikan oleh Carl Friedrich. Ia memandang

21 Robert Eyestone, The Threads of Policy: A Study in Policy Leadership, Indianapolis:

Bobbs Merril, 1971, hlm. 18 22

Thomas R. Dye, Understanding Public Policy, New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliff, 1975, hlm. 1

23 Richard Rose, Policy Making in Great Britain, London: Mac Millan, 1969, hlm. 79

Page 35: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

35

kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang,

kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, yang

memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap

kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam

rangka mencapai suatu tujuan, atau merealisasikan suatu sasaran atau

suatu maksud tertentu. Definisi yang diberikan oleh Carl Friedrich ini

menyangkut dimensi yang luas karena kebijakan tidak hanya dipahami

sebagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga oleh

kelompok maupun oleh individu. Selain itu, gagasan bahwa kebijakan

mencakup perilaku yang mempunyai maksud layak mendapatkan

perhatian dan sekaligus harus dilihat sebagai bagian definisi kebijakan

publik yang penting, sekalipun maksud atau tujuan dari tindakan-tindakan

pemerintah yang dikemukakan dalam definisi ini mungkin tidak selalu

mudah dipahami.

Namun demikian, satu hal yang harus diingat dalam

mendefinisikan kebijakan adalah bahwa pendefinisian kebijakan tetap

harus mempunyai pengertian mengenai apa yang sebenarnya dilakukan

daripada apa yang diusulkan dalam tindakan mengenai suatu persoalan

tertentu. Hal ini dilakukan karena kebijakan merupakan suatu proses yang

mencakup pula tahap implementasi dan evaluasi sehingga definisi

kebijakan yang hanya menekankan pada apa yang diusulkan menjadi

kurang memadai. Oleh karena itu, definisi mengenai kebijakan publik akan

lebih tepat bila definisi tersebut mencakup pula arah tindakan atau apa

Page 36: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

36

yang dilakukan dan tidak semata-mata menyangkut usulan tindakan.

Berdasarkan pada pertimbangan seperti ini, maka definisi kebijakan publik

yang ditawarkan James Anderson lebih tepat dibandingkan dengan

definisi-definisi kebijakan publik yang lain. Menurut James E. Anderson24

kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang

ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu

masalah atau suatu persoalan. Konsep kebijakan ini dianggap tepat karena

memusatkan perhatian pada apa yang sebenarnya dilakukan dan bukan

pada apa yang diusulkan atau dimaksudkan. Selain itu, konsep ini juga

membedakan kebijakan dari keputusan yang merupakan pilihan di antara

berbagai alternatif yang ada.

Sementara itu, Amir Santoso25

dengan mengkomparasi berbagai

definisi yang dikemukakan oleh para ahli yang menaruh minat dalam

bidang kebijakan publik menyimpulkan bahwa pada dasarnya pandangan

mengenai kebijakan publik dapat dibagi ke dalam dua wilayah kategori.

Pertama, pendapat ahli yang menyamakan kebijakan publik dengan

tindakan-tindakan pemerintah. Para ahli dalam kelompok ini cenderung

menganggap bahwa semua tindakan pemerintah dapat disebut sebagai

kebijakan publik. Pandangan kedua menurut Amir Santoso berangkat dari

para ahli yang memberikan perhatian khusus pada pelaksanaan kebijakan.

24 James E. Anderson, Public Policy Making, New York: Holt, Rienhart and Winston,

1979, hlm. 4 25

Amir Santoso, Analisis Kebijakan Publik: Suatu Pengantar, Jurnal Ilmu Politik 3,

Jakarta: Gramedia, 1993, hlm. 4-5

Page 37: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

37

Para ahli yang masuk dalam kategori ini terbagi ke dalam dua

kubu, yakni mereka yang memandang kebijakan publik sebagai keputusan-

keputusan pemeirntah yang mempunyai tujuan dan maksud-maksud

tertentu dan mereka yang menganggap kebijakan publik sebagai memiliki

akibat-akibat yang bisa diramalkan. Para ahli yang termasuk ke dalam

kubu yang pertama melihat kebijakan publik dalam ketiga lingkungan,

yakni perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan penilaian. Dengan

kata lain, menurut kubu ini kebijakan publik secara ringkas dapat

dipandang sebagai proses perumusan, implementasi dan evaluasi

kebijakan. Ini berarti bahwa kebijakan publik adalah serangkaian instruksi

dari pada pembuat keputusan kepada pelaksana kebijakan yang

menjelaskan tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut.26

Sedangkan kubu kedua lebih melihat kebijakan publik terdiri dari

rangkaian keputusan dan tindakan. Kubu kedua ini diwakili oleh Presman

dan Wildavsky yang mendefinisikan kebijakan publik sebagai suatu

hipotesis yang mengandung kondisi-kondisi awal da akibat-akibat yang

bisa diramalkan.27

Tentu saja masih banyak kategori dan definisi yang dapat

dikemukakan menyangkut kebijakan publik. Masing-masing definisi

tersebut memuaskan untuk menjelaskan satu aspek namun besar

kemungkinan gagal dalam menjelaskan aspek yang lain. Oleh karena itu,

preposisi yang menyatakan bahwa kebijakan publik merupakan kebijakan

26

Ibid 27

Ibid

Page 38: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

38

yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga pemerintah dan pejabat-

pejabat pemerintah harus mendapat perhatian sebaik-baiknya agar kita bisa

membedakan kebijakan publik dengan bentuk-bentuk kebijakan yang lain,

seperti misalnya kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak swasta. Kebijakan

tersebut akan dipengaruhi oleh aktor-aktor dan faktor-faktor bukan

pemerintah, seperti misalnya kelompok-kelompok penekan maupun

kelompok-kelompok kepentingan.

Keterlibatan aktor-aktor dalam perumusan kebijakan kemudian

menjadi ciri khusus dari kebijakan publik. Ini disebabkan oleh kenyataan

bahwa kebijakan itu diformulasikan oleh apa yang dikatakan oleh David

Easton28

sebagai penguasa dalam suatu sistem politik yaitu para sesepuh

tertinggi suku, anggota-anggota eksekutif, legislatif, yudikatif,

administrator, penasihat, raja, dan semacamnya. Menurut Easton, mereka

ini merupakan orang-orang yang terlibat dalam masalah sehari-hari dalam

suatu sistem politik, diakui oleh sebagian terbesar anggota sistem politik,

mempunyai tanggung jawab untuk masalah-masalah ini, dan mengambil

tindakan-tindakan yang diterima secara mengikat dalam waktu yang

panjang oleh sebagian terbesar anggota sistem politik selama mereka

bertindak dalam batas-batas peran yang diharapkan.

Menurut Anderson,29

konsep kebijakan publik ini kemudian

mempunyai beberapa implikasi, yakni, pertama, titik perhatian kita dalam

membicarakan kebijakan publik berorientasi pada maksud atau tujuan dan

28

James F. Anderson, 1979, Op. Cit, hlm.

3 29

Ibid, hlm. 3-4

Page 39: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

39

bukan perilaku secara serampangan. Kebijakan publik secara luas dalam

sistem politik modern bukan sesuatu yang terjadi begitu saja melainkan

direncanakan oleh aktor-aktor yang terlibat di dalam sistem politik. Kedua,

kebijakan merupakan arah atau pola tindakan yang dilakukan oleh pejabat-

pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan-keputusan yang

tersendiri. Suatu kebijakan mencakup tidak hanya keputusan untuk

menetapkan undang-undang mengenai suatu hal, tetapi juga keputusan-

keputusan beserta dengan pelaksanaannya. Ketiga, kebijakan adalah apa

yang sebenarnya dilakukan oleh pemerintah dalam mengatur perdagangan,

mengendalikan inflasi atau mempromosikan perumahan rakyat dan bukan

apa yang diinginkan oleh pemerintah. JIka lembaga legislatif menetapkan

undang-undang tersebut sehingga tidak ada perubahan yang timbul dalam

perilaku ekonomi, maka hal ini dapat dikatakan bahwa kebijakan publik

mengenai kasus ini sebenarnya merupakan salah satu dari nonregulasi

upah. Keempat, kebijakan publik mungkin dalam bentuknya bersifat

positif atau negatif. Secara positif, kebijakan mungkin mencakup bentuk

tindakan pemerintah yang jelas untuk mempengaruhi suatu masalah

tertentu. Secara negatif, kebijakan mungkin mencakup suatu keputusan

oleh pejabat-pejabat pemerintah, tetapi tidak untuk mengambil tindakan

dan tidak untuk melakukan sesuatu mengenai suatu persoalan yang

memerlukan keterlibatan pemerintah.

Dengan kata lain, pemerintah dapat mengambil kebijakan untuk

tidak melakukan campur tangan dalam bidang-bidang umum maupun

Page 40: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

40

khusus. Kebijakan tidak campur tangan mungkin mempunyai

konsekuensi-konsekuensi besar terhadap masyarakat atau kelompok-

kelompok masyarakat. Dalam bentuknya yang positif, kebijakan publik

didasarkan pada undang-undang dan bersifat otoritatif. Anggota-anggota

masyarakat menerima secara sah bahwa pajak harus dibayar dan undang-

undang perkawinan harus dipatuhi. Pelanggaran terhadap kebijakan ini

berarti menghadapi risiko denda, hukuman kurungan atau dikenakan

secara sah oleh sanksi-sanksi lainnya. Dengan demikian, kebijakan publik

mempunyai sifat “paksaan” yang secara potensial sah dilakukan. Sifat

memaksa ini tidak dimiliki oleh kebijakan yang diambil oleh organisasi-

organisasi swasta, hal ini berarti bahwa kebijakan publik menurut ketaatan

yang luas dari masyarakat. Sifat yang terakhir inilah yang membedakan

kebijakan publik dengan kebijakan lainnya.

2. Implementasi Kebijakan Publik

Kebijakan yang telah direkomendasikan untuk dipilih oleh policy

makers bukanlah jaminan bahwa kebijakan tersebut pasti berhasil dalam

implementasinya. Ada banyak variabel yang mempengaruhi keberhasilan

implementasi kebijakan baik yang bersifat individual maupun kelompok

atau institusi. Implementasi dari suatu program melibatkan upaya-upaya

policy makers untuk memengaruhi perilaku birokrat pelaksana agar

bersedia memberikan pelayanan dan mengatur perilaku kelompok sasaran.

Dalam berbagai sistem politik, kebijakan publik

diimplementasikan oleh badan-badan pemerintah. Badan-badan tersebut

Page 41: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

41

melaksanakan pekerjaan-pekerjaan pemerintah dari hari ke hari yang

membawa dampak pada warga negaranya. Dalam literatur administrasi

negara klasik, politik dan administrasi dipisahkan. Politik, menurut Frank

Goodnow yang menulis pada tahun 1900, berhubungan dengan penetapan

kebijakan yang akan dilakukan oleh negara. Ini berhubungan dengan nilai

keadilan dan penentuan apa yang harus dilakukan atau tidak dilakukan

oleh pemerintah. Sedangkan administrasi, di pihak lain, berhubungan

dengan implementasi apa yang akan dilakukan oleh negara. Administrasi

berhubungan dengan pertanyaan fakta, bukan yang seharusnya.

Konsekuensi dari pendapat di atas, administrasi memfokuskan perhatian

pada mencari cara yang efisien, one best way untuk mengimplementasikan

kebijakan publik.30

Namun, dalam praktik badan-badan pemerintah sering menghadapi

pekerjaan-pekerjaan di bawah mandat dari undang-undang yang terlalu

makro dan mendua (ambiguous), sehingga memaksa mereka untuk

membuat diskresi, untuk memutus apa yang seharusnya dilakukan dan apa

yang seharusnya tidak dilakukan.

Implementasi melibatkan usaha dari policy makers untuk

memengaruhi apa yang oleh Lipsky disebut “street level bureaucrats”

untuk memberikan pelayanan atau mengatur perilaku kelompok sasaran

(target group). Untuk kebijakan yang sederhana, implementasi hanya

melibatkan satu badan yang berfungsi sebagai implementator, misalnya

30

Ibid, hlm. 23-24

Page 42: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

42

kebijakan komite sekolah untuk mengubah metode pengajaran guru di

kelas. Sebaliknya, untuk kebijakan makro, misalnya kebijakan

pengurangan kemiskinan di pedesaan, maka usaha-usaha implementasi

akan melibatkan berbagai institusi, seperti birokrasi kabupaten, kecamatan,

pemerintah desa. Mengenai keterlibatan berbagai aktor dalam

implementasi, Randall B. Ripley dan Grace A. Franklin menulis sebagai

berikut:

Implementation process involve many important actors holding

diffuse and competing goals and expectations who work within a

contexts of an increasingly large and complex mix of government

programs that require participation from numerous layers and

units of government and who are affected by powerfull factors

beyond their control.31

Kompleksitas implementasi bukan saja ditunjukkan oleh

banyaknya aktor atau unit organisasi yang terlibat, tetapi juga dikarenakan

proses implementasi dipengaruhi oleh berbagai variabel yang kompleks,

baik variabel yang individual maupun variabel organisasional dan masing-

masing variabel pengaruh tersebut juga saling berinteraksi satu sama lain.

Keberhasilan implementasi kebijakan akan ditentukan oleh banyak

variabel atau faktor dan masing-masing variabel tersebut saling

berhubungan satu sama lain. Untuk memperkaya pemahaman kita tentang

berbagai variabel yang terlibat di dalam implementasi, maka akan

dielaborasi beberapa teori implementasi, seperti dari George C. Edwards

III (1980), Merilee S. Grindle (1980), dan Daniel A. Mazmanian dan Paul

31 Randall B. Ripley dan Grace A. Franklin, Bureaucracy and Policy Implementation,

Homewood Illinois: The Dorsey Press, 1986, hlm. 11

Page 43: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

43

A. Sabatier (1983), Van Meter dan Van Horn (1975) dan Cheema dan

Rondinelli (1983), dan David L. Weimer dan Aidan R. Vining (1999).32

a. Teori George C. Edwards III (1980)

Dalam pandangan Edwards III, implementasi kebijakan

dipengaruhi oleh empat variabel, yakni (1) komunikasi, (2)

sumberdaya, (3) disposisi dan (4) struktur birokrasi. Keempat variabel

tersebut juga saling berhubungan satu sama lain.

1) Komunikasi

Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar

implementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang

menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada

kelompok sasaran (target group) sehingga akan mengurangi

distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan

tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok

sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok

sasaran. Keberhasilan program Keluarga Berencana (KB) di

Indonesia, sebagai contoh, salah satu penyebabnya adalah karena

Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) secara

intensif melakukan sosialisasi tujuan dan manfaat program KB

terhadap pasangan usia subur (PUS) melalui berbagai media.

2) Sumber Daya

Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas

dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya

32

Subarsono, Analisis Kebijakan Publik, Konsep Teori dan Aplikasi, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2005, hlm. 89

Page 44: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

44

untuk melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan efektif.

Sumber daya tersebut dapat berwujud sumber daya manusia, yakni

kompetensi implementor dan sumber daya finansial. Sumber daya

adalah faktor yang penting untuk implementasi kebijakan agar

efektif. Tanpa sumber daya, kebijakan hanya tinggal di kertas

menjadi dokumen saja.

3) Disposisi

Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh

implementor, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis.

Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan

dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang

diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki

sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan,

maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif.

Berbagai pengalaman pembangunan di negara-negara

Dunia Ketiga menunjukkan bahwa tingkat komitmen dan kejujuran

aparat rendah. Berbagai kasus korupsi yang muncul di negara-

negara Dunia Ketiga, seperti Indonesia adalah contoh konkrit dari

rendahnya komitmen dan kejujuran aparat dalam

mengimplementasikan program-program pembangunan.

4) Struktur Birokrasi

Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan

kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap

Page 45: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

45

implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang

penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang

standar (standard operating procedures atau SOP). SOP menjadi

pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak.

Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung

melemahkan pengawasan dan menimbulkan red tape, yakni

prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Ini pada gilirannya

menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel.

b. Teori Merilee S. Grindle (1980)

Keberhasilan implementasi menurut Merilee S. Grindle33

dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan (content of

policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation).

Variabel isi kebijakan ini mencakup: (1) sejauh mana kepentingan

kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan; (2)

jenis manfaat yang diterima oleh target group, sebagai contoh,

masyarakat di wilayah slum areas lebih suka menerima program air

bersih atau perlistrikan daripada menerima program kredit sepeda

motor; (3) sejauhmana perubahan yang diinginkan dari sebuah

kebijakan. Suatu program yang bertujuan mengubah sikap dan perilaku

kelompok sasaran relatif lebih sulit diimplementasikan daripada

program yang sekedar memberikan bantuan kredit atau bantuan beras

kepada kelompok masyarakat miskin; (4) apakah letak sebuah program

33

Merilee S. Grindle, Politics and policy Implementation in the Third World, Oxford:

Oxford University Press, 1980, hlm. 98

Page 46: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

46

sudah tepat. Mislanya, ketika BKKBN memiliki program peningkatan

kesejahteraan keluarga dengan memberikan bantuan dana kepada

keluarga pra sejahtera, banyak orang menanyakan apakah letak

program ini sudah tepat berada di BKKBN; (5) apakah sebuah

kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci; dan (6)

apakah sebuah program didukung oleh sumber daya yang memadai.

Sedangkan variabel lingkungan kebijakan mencakup: (1)

seberapa besar kekuasaan, kepentingan dan strategi yang dimiliki oleh

para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan; (2)

karakteristik institusi dan rejim yang sedang berkuasa; (3) tingkat

kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.

c. Teori Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983)

Menurut Mazmanian dan Sabatier, ada tiga kelompok variabel

yang memengaruhi keberhasilan implementasi, yakni: (1) karakteristik

dari masalah (tractability of the problems); (2) karakteristik

kebijakan/undang-undang (ability of statute to structure

implementation); (3) variabel lingkungan (nonstatutory variables

affectiong implementation).

d. Teori Donald S. Van Mater dan Carl E. Van Horn (1975)

Menurut Meter dan Horn, ada lima variabel yang memengaruhi

kinerja implementasi, yakni (1) standar dan sasaran kebijakan; (2)

sumber daya; (3) komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas;

(4) karakteristik agen pelaksana; dan (5) kondisi sosial, ekonomi dan

politik.

Page 47: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

47

1) Standar dan sasaran kebijakan. Standar dan sasaran kebijakan harus

direalisir. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan

terjadi multiinterpretasi dan mudah menimbulkan konflik di antara

para agen implementasi.

2) Sumber daya. Implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya

baik sumber daya manusia (human resources) maupun sumber

daya non manusia (non human resources). Dalam berbagai kasus

program pemerintah, seperti Program Jaring Pengaman Sosial

(JPS) untuk kelompok miskin di pedesaan kurang berhasil karena

keterbatasan kualitas aparat pelaksana.

3) Hubungan antar organisasi. Dalam banyak program, implementasi

sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi

lain. Untuk itu, diperlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi

bagi keberhasilan suatu program.

4) Karakteristik agen pelaksana. Yang dimaksud karakteristik agen

pelaksana adalah mencakup struktur birokrask, norma-norma dan

pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya

itu akan memengaruhi implementasi suatu program.

5) Kondisi sosial, politik dan ekonomi. Variabel ini mencakup sumber

daya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan

implementasi kebijakan. Sejauh mana kelompok-kelompok

kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan;

karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak;

Page 48: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

48

bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan dan apakah

elite politik mendukung implementasi kebijakan.

6) Disposisi implementor. Disposisi implementor ini mencakup tiga

hal yang penting, yakni: (a) respons implementor terhadap

kebijakan yang akan memengaruhi kemauannya untuk

melaksanakan kebijakan; (b) kognisi, yakni pemahamannya

terhadap kebijakan; dan (c) intensitas disposisi implementor, yakni

preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.

e. Teori G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli (1983)

Ada empat kelopok variabel yang dapat memengaruhi kinerja

dan dampak suatu program, yakni: (a) Kondisi lingkungan; (b)

hubungan antar organisasi; (c) sumber daya organisasi untuk

implementasi program; (d) karakteristik dan kemampuan agen

pelaksana.

f. Teori David L. Weimer dan Aidan R. Vining (1999)

Dalam pandangan Weimer dan Vining ada tiga kelompok

variabel besar yang dapat memengaruhi keberhasilan implementasi

suatu program, yakni: (1) logika kebijakan; (2) lingkungan tempat

kebijakan dioperasikan, dan (3) kemampuan implementor kebijakan.

Logika dari suatu kebijakan. Ini dimaksudkan agar suatu

kebijakan yang ditetapkan masuk akal (reasonable) dan mendapat

dukungan teoritis. Kita dapat berpikir bahwa logika dari suatu

kebijakan seperti halnya hubungan logis dari suatu hipotesis. Contoh:

Page 49: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

49

kebijakan atau program dari pemerintah kabupaten untuk

meningkatkan mutu pelajaran scinence di Sekolah Menengah Tingkat

Atas (SMA) melalui pemberian bantuan dana. Kebijakan ini akan

berhasil apabila didukung hipotesis sebagai berikut: pertama, ada

SMU cukup berprestasi di kabupaten dan mau melamar untuk

menggunakan dana untuk program tersebut; kedua, ada proses seleksi

untuk memilih SMU yang ikut dijadikan sasaran program; ketiga, dana

yang telah dikucurkan benar-benar digunakan untuk tujuan yang telah

ditetapkan; keempat, hasil yang dicapai dapat dibuktikan secara valid,

dan kelima, dinas pendidikan kabupaten mampu mengenali bahwa

pengalaman yang telah berhasil dapat diterapkan di SMU lain. Ini

berarti bahwa isi dari suatu kebijkan atau program harus mencakup

berbagai aspek yang dapat memungkinkan kebijaksanaan atau program

tersebut dapat diimplementasikan pada tataran praktis.

Lingkungan tempat kebijakan tersebut dioperasikan akan

memengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan. Yang

dimaksud lingkungan ini mencakup lingkungan sosial, politik,

ekonomi, hankam dan fisik atau geografis. Suatu kebijakan dapat

berhasil diimplementasikan di suatu daerah tertentu, tetapi ternyata

gagal diimplementasikan di daerah lain, karena kondisi lingkungan

yang berbeda. Sebagai contoh, untuk saat ini belum semua Sekolah

Menengah Tingkat Pertama (SMP) dan SMU dapat

mengimplementasikan program “Kurikulum Berbasis Kompetensi”

Page 50: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

50

sebagaimana dicanangkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Ini

disebabkan kondisi sekolah yang sangat bervariasi.

Kemampuan implementor. Keberhasilan suatu kebijakan dapat

dipengaruhi oleh tingkat kompetensi dan ketrampilan dari para

implementor kebijakan. Untuk kasus implementasi program kurikulum

berbasis kompetensi di SMP dan SMU, maka kualitas, komitmen dan

jumlah guru yang memadai memberikan sumbangan yang signifikan

bagi keberhasilan program tersebut, karena merekalah implementor

dari program tersebut.

Permasalahan implementasi kebijakan atau program tidak

sesederhana yang dibayangkan oleh berbagai pihak, bahkan untuk

keperluan studi kebijakan terutama sebagai bahan analisis ataupun

evaluasi terhadap proses formulasi hingga implementasi program

sungguh merupakan aktifitas ilmiah yang sangat berat dan

’melelahkan’, sehingga tingkat kesulitannyapun sangat tinggi dan

kompleks, kiranya tidak berlebihan bila Budi Winarno34

mengatakan

bahwa dalam studi kebijakan, kompleksitas kebijakan terletak pada

proses implementasi itu sendiri. Masalah-masalah implementasi sangat

kompleks dan para sarjana seringkali dihambat oleh pertimbangan-

pertimbangan metodologi. Bila dihubungkan dengan studi perumusan

kebijakan, maka analisis tentang proses implementasi menimbulkan

masalah batas kajian yang sungguh-sungguh. Salah satu kesulitan yang

34

Budi Winarno, Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo,

2002, hlm. 105

Page 51: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

51

sering muncul adalah dalam upaya membatasi aktor-aktor yang

relevan. Di samping itu untuk melengkapi studi implementasi

membutuhkan banyak variabel dan sangat sulit untuk mengukurnya.

3. Pelayanan Publik

Di Indonesia, konsepsi pelayanan administrasi pemerintahan

seringkali dipergunakan secara bersama-sama atau dipakai sebagai

sinonim dari konsepsi pelayanan perijinan dan pelayanan umum, serta

pelayanan publik. Keempat istilah tersebut dipakai sebagai terjemahan dari

public service. Hal ini dapat dilihat dalam dokumen-dokumen pemerintah

sebagaimana dipakai oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara.

Administrasi pemerintahan memang disejajarkan, dipakai secara

silih berganti dan dipergunakan sebagai sinonim dari pelayanan perijinan,

yang merupakan terjemahan dari administrative service. Sedangkan

pelayanan umum, lebih sesuai jika dipakai untuk menerjemahkan konsep

public service. Istilah pelayanan umum ini dapat disejajarkan atau

dipadankan dengan istilah pelayanan publik.35

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81

Tahun 1993 yang kemudian disempurnakan dengan Keputusan Menteri

Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003 mendefinisikan

pelayanan umum sebagai:

Segala bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh Instansi

Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha

35 Ratminto dan Atik Septi W, Manajemen Pelayanan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2005, hlm. 4

Page 52: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

52

Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dalam bentuk barang

dan atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan

masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Mengikuti definisi tersebut di atas, pelayanan publik atau

pelayanan umum dapat didefinisikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan,

baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik dan pada prinsipnya

menjadi tanggungjawab dan dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di

Pusat, di Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau

Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan

masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Sedangkan pelayanan administrasi pemerintahan atau pelayanan

perijinan dapat didefinisikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan yang

pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi

Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik

Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, baik dalam rangka upaya

pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan

ketentuan peraturan perundang-undangan, yang bentuk produk

pelayanannya adalah ijin atau warkat.

Pelayanan publik atau pelayanan umum dan pelayanan administrasi

pemerintahan atau perijinan tersebut mungkin dilakukan sebagai upaya

pemenuhan kebutuhan masyarakat, misalnya upaya Kantor Pertanahan

untuk memberikan jaminan kepastian hukum atas kepemilikan tanah

dengan menerbitkan akta tanah, pelayanan penyediaan air bersih,

Page 53: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

53

pelayanan transportasi, pelayanan penyediaan listrik dan lain-lain.

Pelayanan publik atau pelayanan umum dan pelayanan administrasi

pemerintahan atau pelayanan perijinan juga mungkin diselenggarakan

sebagai pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Misalnya karena

adanya ketentuan peraturan perundangan bahwa setiap pengendara harus

memiliki Surat Ijin Mengemudi, maka diselenggarakan pelayanan

pengadaan SIM.

Sebagaimana telah dijelaskan pelayanan publik atau pelayanan

umum dapat diartikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam

bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi

tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di

Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha

Milik Daerah, dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat

maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-

undangan. Dengan demikian pelayanan publik atau pelayanan umum

sangat terkait dengan upaya penyediaan barang publik atau jasa publik.

Beberapa pengertian dasar yang dituliskan di dalam Keputusan

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003 adalah

sebagai berikut:

a. Pelayanan Publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan

oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan

kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan

peraturan perundang-undangan

Page 54: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

54

b. Penyelenggara pelayanan publik adalah Instansi Pemerintah

c. Instansi Pemerintah adalah sebutan kolektif meliputi satuan

kerja/satuan organisasi Kementrian, Departemen, Lembaga Pemerintah

Non Departemen, Kesekretariatan Lembaga Tertinggi dan Tinggi

Negara dan Instansi Pemerintah lainnya, baik Pusat maupun Daerah

termasuk Badan Usaha Milik Negara, Badan Hukum Milik Negara dan

Badan Usaha Milik Daerah

d. Unit penyelenggara pelayanan publik adalah unit kerja pada Instansi

Pemerintah yang secara langsung memberikan pelayanan kepada

penerima pelayanan publik

e. Pemberi pelayanan publik adalah pejabat/pegawai instansi pemerintah

yang melaksanakan tugas dan fungsi pelayanan publik sesuai dengan

peraturan perundang-undangan

f. Penerima pelayanan publik adalah orang, masyarakat, instansi

pemerintah dan badan hukum

g. Biaya pelayanan publik adalah segala biaya (dengan nama atau sebutan

apapun) sebagai imbalan jasa atas pemberian pelayanan publik yang

besaran dan tata cara pembayaran ditetapkan oleh pejabat yang

berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan

h. Indeks Kepuasan Masyarakat adalah tingkat kepuasan masyarakat

dalam memperoleh pelayanan yang diperoleh dari penyelenggara atau

pemberi pelayanan sesuai harapan dan kebutuhan masyarakat.

Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2003 menyatakan bahwa

hakikat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada

Page 55: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

55

masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintah

sebagai abdi masyarakat.

Untuk dapat memberikan pelayanan yang memuaskan bagi

pengguna jasa, penyelenggaraan pelayanan harus memenuhi asas-asas

pelayanan sebagai berikut: (Keputusan Menpan Nomor 63 Tahun 2003)

a. Transparansi

Bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang

membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.

b. Akuntabilitas

Dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

c. Kondisional

Sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima

pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan

efektifitas.

d. Partisipatif

Mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan

publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan

masyarakat.

e. Kesamaan Hak

Tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama,

golongan, gender dan status ekonomi.

Page 56: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

56

f. Keseimbangan Hak dan Kewajiban

Pemberi dan penerima pelayanan publik harus memenuhi hak dan

kewajiban masing-masing pihak.

Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2003 membedakan jenis

pelayanan menjadi empat kelompok. Adapun empat kelompok tersebut

adalah sebagai berikut:

a. Kelompok Pelayanan Administratif yaitu pelayanan yang

menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh

publik, misalnya status kewarganegaraan, sertifikat kompetensi,

kepemilikan atau penguasaan terhadap suatu barang dan sebagainya.

Dokumen-dokumen ini antara lain Kartu Tanda Penduduk (KTP), Akte

Pernikahan, Akte Kelahiran, Akte Kematian, Buku Pemilik Kendaraan

Bermotor (BPKB), Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor

Kendaraan (STNK), Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Paspor,

Sertifikat Kepemilikan/Penguasaan Tanah dan sebagainya.

b. Kelompok pelayanan barang, yaitu pelayanan yang menghasikan

berbagai bentuk/jenis barang yang digunakan oleh publik, misalnya

jaringan telepon, penyediaan tenaga listrik, air bersih, dan sebagainya

c. Kelompok pelayanan jasa, yaitu pelayanan yang menghasilkan

berbagai bentuk jasa yang dibutuhkan oleh publik, misalnya

pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penyelenggaraan transportasi, pos

dan sebagainya.

Penyelenggaraan pelayanan publik perlu memperhatikan dan

menerapkan prinsip, standar, pola penyelenggaraan, biaya, pelayanan bagi

Page 57: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

57

penyandang cacat, lanjut usia, wanita hamil dan balita, pelayanan khusus,

biro jasa pelayanan, tingkat kepuasan masyarakat, pengawasan

penyelenggaraan, penyelesaian pengaduan sengketa, serta evaluasi kinerja

penyelenggaraan pelayanan publik. Kesemuanya itu akan dijelaskan di

dalam sub bab-sub bab di bawah ini.

a. Prinsip pelayanan publik

Di dalam Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2003 disebutkan

bahwa penyelenggaraan pelayanan harus memenuhi beberapa prinsip

sebagai berikut:

1) Kesederhanaan

Prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah dipahami

dan mudah dilaksanakan

2) Kejelasan

Kejelasan ini mencakup kejelasan dalam hal:

a) Persyaratan teknis dan administratif pelayanan publik;

b) Unit kerja/pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab

dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan/

persoalan/sengketa dalam pelaksanaan pelayanan publik;

c) Rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran.

3) Kepastian waktu

Pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun

waktu yang telah ditentukan.

Page 58: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

58

4) Akurasi

Produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat dan sah.

5) Keamanan

Proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan

kepastian hukum

6) Tanggung jawab

Pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang

ditunjuk bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan dan

penyelesaian keluhan/persoalan dalam pelaksanaan pelayanan

publik.

7) Kelengkapan sarana dan prasarana

Tersedianya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan

pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana

teknologi telekomunikasi dan informatika (telematika).

8) Kemudahan akses

Tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah

dijangkau oleh masyarakat dan dapat memanfaatkan teknologi

telekomunikasi dan informatika.

9) Kedisiplinan, kesopananan dan keramahan

Pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun,

ramah serta memberikan pelayanan dengan ikhlas.

10) Kenyamanan

Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang

tunggu yang nyaman, bersih, rapi, lingkungan yang indah dan sehat

Page 59: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

59

serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan, seperti

parkir, toilet, tempat ibadah dan lain-lain.

b. Standar pelayanan publik

Setiap penyelenggaraan pelayanan publik harus memiliki

standar pelayanan dan dipublikasikan sebagai jaminan adanya

kepastian bagi penerima pelayanan. Standar pelayanan merupakan

ukuran yang dibakukan dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang

wajib ditaati oleh pemberi dan atau penerima pelayanan. Menurut

Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2003, standar pelayanan,

sekurang-kurangnya meliputi:

1) Prosedur pelayanan

Prosedur pelayanan yang dibakukan bagi pemberi dan penerima

pelayanan termasuk pengaduan.

2) Waktu penyelesaian

Waktu penyelesaian yang ditetapkan sejak saat pengajuan

permohonan sampai dengan penyelesaian pelayanan termasuk

pengaduan.

3) Biaya pelayanan

Biaya/tarif pelayanan termasuk rinciannya yang ditetapkan dalam

proses pemberian pelayanan.

4) Produk pelayanan

Hasil pelayanan yang akan diterima sesuai dengan ketentuan yang

telah ditetapkan.

Page 60: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

60

5) Sarana dan prasarana

Penyediaan sarana dan prasarana pelayanan yang memadai oleh

penyelenggara pelayanan publik.

6) Kompetensi petugas pemberi pelayanan

Kompetensi petugas pemberi pelayanan harus ditetapkan dengan

tepat berdasarkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, sikap dan

perilaku yang dibutuhkan.

c. Pola penyelenggaraan pelayanan publik

Dalam kaitannya dengan pola pelayanan, Keputusan Menteri

Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003 menyatakan

adanya empat pola pelayanan, yaitu:

1) Fungsional

Pola pelayanan publik diberikan oleh penyelenggara pelayanan,

sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya.

2) Terpusat

Pola pelayanan publik diberikan secara tunggal oleh penyelenggara

pelayanan berdasarkan pelimpahan wewenang dari penyelenggara

pelayanan terkait lainnya yang bersangkutan.

3) Terpadu

Pola penyelenggaraan pelayanan publik terpadu dibedakan menjadi

dua, yaitu:

a) Terpadu satu atap

Pola pelayanan terpadu satu atap diselenggarakan dalam satu

tempat yang meliputi berbagai jenis pelayanan yang tidak

Page 61: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

61

mempunyai keterkaitan proses dan dilayani melalui beberapa

pintu. Terhadap jenis pelayanan yang sudah dekat dengan

masyarakat tidak perlu disatuatapkan.

b) Terpadu satu pintu

Pola pelayanan terpadu satu pintu diselenggarakan pada satu

tempat yang meliputi berbagai jenis pelayanan yang memiliki

keterkaitan proses dan dilayani melalui satu pintu.

4) Gugus tugas

Petugas pelayanan publik secara perorangan atau dalam

bentuk tugas ditempatkan pada instansi pemberi pelayanan dan

lokasi pemberian pelayanan tertentu. Selain pola pelayanan

sebagaimana yang telah disebutkan tersebut di atas, instansi yang

melakukan pelayanan publik dapat mengembangkan pola

penyelenggaraan pelayanannya sendiri dalam rangka upaya

menemukan dan menciptakan inovasi peningkatan pelayanan

publik. Pengembangan pola penyelenggaraan pelayanan publik

dimaksud mengikuti prinsip-prinsip sebagaimana ditetapkan dalam

pedoman ini.

d. Biaya pelayanan publik

Di dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara

Nomor 63 Tahun 2003 diamanatkan agar penetapan besaran biaya

pelayanan publik perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1) Tingkat kemampuan dan daya beli masyarakat;

Page 62: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

62

2) Nilai/harga yang berlaku atas barang dan atau jasa;

3) Rincian biaya harus jelas untuk jenis pelayanan publik yang

memerlukan tindakan seperti penelitian, pemeriksaan, pengukuran

dan pengajuan;

4) Ditetapkan oleh pejabat yang berwenang dan memperhatikan

prosedur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

e. Pelayanan bagi penyandang cacat, lanjut usia, wanita hamil dan balita

Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2003 juga mengatur bahwa

penyelenggara pelayanan wajib mengupayakan tersedianya sarana dan

prasarana yang diperlukan serta memberikan akses khusus berupa

kemudahan pelayanan bagi penyandang cacat, lanjut usia, wanita

hamil dan balita.

f. Pelayanan khusus

Penyelenggaraan jenis pelayanan publik tertentu seperti pelayanan

transportasi, kesehatan, dimungkinkan untuk memberikan

penyelenggaraan pelayanan khusus, dengan ketentuan seimbang

dengan biaya yang dikeluarkan sepanjang tidak bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan, seperti ruang perawatan VIP di rumah

sakit, dan gerbong eksekutif kereta api sesuai dengan Keputusan

MENPAN Nomor 63 Tahun 2003.

g. Biro jasa pelayanan

Dalam kaitannya dengan keberadaan biro jasa pelayanan, Keputusan

MENPAN Nomor 63 Tahun 2003 menegaskan bahwa pengurusan

Page 63: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

63

pelayanan publik pada dasarnya dilakukan sendiri oleh masyarakat.

Namun dengan pertimbangan tertentu dan sebagai wujud partisipasi

masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik tertentu

dimungkinkan adanya biro jasa untuk membantu penyelenggaraan

pelayanan publik. Status biro jasa tersebut harus jelas, memiliki izin

usaha dari instansi yang berwenang dan dalam menyelenggarakan

kegiatan pelayanannya harus berkoordinasi dengan penyelenggara

pelayanan yang bersangkutan, terutama dalam hal yang menyangkut

persyaratan, tarif jasa dan waktu pelayanan, sepanjang tidak

mengganggu fungsi penyelenggaraan pelayanan publik. Sebagai

contoh, biro jasa perjalanan angkutan udara, laut dan darat.

h. Tingkat kepuasan masyarakat

Ukuran keberhasilan penyelenggaraan pelayanan ditentukan oleh

tingkat kepuasan penerima pelayanan. Kepuasan penerima pelayanan

memperoleh pelayanan sesuai dengan yang dibutuhkan dan

diharapkan. Oleh karena itu dalam kaitannya dengan tingkat kepuasan

masyarakat, Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2003

mengamanatkan agar setiap penyelenggara pelayanan secara berkala

melakukan survei indeks kepuasan masyarakat.

i. Pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik

Pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik, dilakukan melalui

beberapa cara sebagai berikut:

1) Pengawasan melekat yaitu pengawasan yang dilakukan oleh atasan

langsung, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Page 64: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

64

2) Pengawasan fungsional yaitu pengawasan yang dilakukan oleh

aparat pengawasan fungsional sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan

3) Pengawasan masyarakat yaitu pengawasan yang dilakukan oleh

masyarakat, berupa laporan atau pengaduan masyarakat tentang

penyimpangan dan kelemahan dalam penyelenggaraan pelayanan

publik.

j. Penyelesaian pengaduan

Setiap pimpinan unit penyelengara pelayanan publik wajib

menyelesaikan setiap laporan atau pengaduan masyarakat mengenai

ketidakpuasan dalam pemberian pelayanan sesuai dengan

kewenangannya. Untuk menampung pengaduan masyarakat tersebut,

unit pelayanan menyediakan loket/kotak pengaduan. Dalam

menyelesaikan pengaduan masyarakat, pimpinan unit penyelenggara

pelayanan publik perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1) Prioritas penyelesaian pengaduan;

2) Penentuan pejabat yang menyelesaikan pengaduan;

3) Prosedur penyelesaian pengaduan;

4) Rekomendasi penyelesaian pengaduan;

5) Pemantauan dan evaluasi penyelesaian pengaduan;

6) Pelaporan proses dan hasil penyelesaian pengaduan kepada

pimpinan;

Page 65: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

65

7) Penyampaian hasil penyelesaian pengaduan kepada yang

mengadukan;

8) Dokumentasi penyelesaian pengaduan.

k. Penyelesaian sengketa

Dalam hal pengaduan tidak dapat diselesaikan oleh unit penyelenggara

pelayanan publik yang bersangkutan dan terjadi sengketa, maka

Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2003 mengatur bahwa

penyelesaiannya dapat dilakukan melalui jalur hukum.

Dalam kaitannya dengan evaluasi kinerja penyelenggaraan

pelayanan publik, Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2003

menyatakan bahwa pimpinan penyelenggara pelayanan publik secara

berkala mengadakan evaluasi terhadap kinerja penyelenggaraan pelayanan

di lingkungan secara berkelanjutan dan hasilnya secara berkala dilaporkan

kepada pimpinan tertinggi penyelenggara pelayanan publik. Penyelenggara

pelayanan publik yang kinerjanya dinilai baik perlu diberikan penghargaan

untuk memberikan motivasi agar lebih meningkatkan pelayanan.

Sedangkan penyelenggara pelayanan publik yang kinerjanya dinilai belum

sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat, perlu terus melakukan

upaya peningkatan. Dalam melakukan evaluasi kinerja pelayanan publik

harus menggunakan indikator yang jelas dan terukur sesuai ketentuan yang

berlaku.

Page 66: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

66

G. METODE PENELITIAN DISERTASI

1. Paradigma Penelitian

Penulis dalam penelitian ini menggunakan paradigma positivisme,

suatu paradigma yang memandang bahwa ilmu hukum itu hanya berurusan

dengan peraturan perundang-undangan semata. Hukum sebagai sesuatu

yang harus diterapkan, dan lebih cenderung untuk tidak mempersoalkan

nilai keadilan dan kegunaannya bagi masyarakat. Kajian hukum dan

penegakannya hanya berkisar tentang apa yang benar dan yang tidak

benar, apa yang salah dan yang tidak salah dan bentuk-bentuk lain yang

lebih bersifat preskripstif.

Hans Kelsen, Teori hukum murni adalah teori hukum positip. Ia

merupakan teori tentang hukum positif umum, bahkan tentang tatanan

hukum khusus, ia merupakan teori hukum umum, bukan penafsiran

tentang norma hukum nasional atau internasional tertentu, namun ia

menyajikan teori penafsiran.

Sebagai sebuah teori, ia terutama dimaksudkan untuk mengetahui

dan menjelaskan tujuannya. Teori ini berupaya menjawab pertanyaan apa

itu hukum dan bagaimana ia ada, bukan bagaimana ia semestinya ada,

ia merupakan ilmu hukum (yurisprudensi); bukan politik hukum.

Ia disebut teori hukum “murni “lantaran ia hanya menjelaskan

hukum dan berupaya membersihkan obyek penjelasannya dari segala hal

yang tidak bersangkut-paut dengan hukum. Yang menjadi tujuannya

adalah membersihkan ilmu hukum dari unsur-unsur asing. Inilah landasan

Page 67: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

67

metodologis dari teori itu, doktrin positivisme teori hukum Hans Kelsen

terkenal dengan 2 Teori yaitu pertama teori hukum murni, hukum bebas

dari kepentingan politik, ekonomi, sosial, moral, bebas dari semua

kepentingan, kedua teori hukum jenjang atau piramit, norma-norma

dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan norma diatasnya.

H.L.A.Hart, membedakan arti dari “positivisme” seperti yang

banyak disebut dalam ilmu hukum kontemporer, yakni: pertama,

anggapan bahwa undang-undang adalah perintah-perintah manusia; kedua,

anggapan bahwa tidak perlu ada hubungan antara hukum dengan moral

atau hukum yang ada dan yang seharusnya ada, ketiga, anggapan bahwa

analisis (studi tentang arti) dari konsepsi-konsepsi hukum: (a) layak

dilanjutkan; (b) harus dibedakan dari penelitian-penelitian historis

mengenai sebab-sebab atau asal-usul dari undang-undang dari penelitian-

penelitian sosiologis mengenai hubungan hukum dengan gejala sosial

lainnya, dan kritik atau penghargaan hukum apakah dalam arti moral atau

sebaliknya; keempat, anggapan bahwa sistem hukum adalah suatu sistem

logis tertutup, artinya, putusan-putusan hukum yang tepat dapat dihasilkan

dengan cara-cara yang logis dari peraturan-peraturan hukum yang telah

ditentukan lebih dahulu tanpa mengingat tuntutan-tuntutan sosial,

kebijaksanaan, norma-norma moral; kelima, anggapan bahwa penilaian-

penilaian moral tidak dapat diberikan atau dipertahankan, seperti halnya

dengan pernyataan-pernyataan tentang fakta, dengan alasan yang rasional,

petunjuk, atau bukti.

Page 68: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

68

Metodologi; hermeneutis dan dialektis.Sifat variabel dan personal

(intramental) dari konstruksi sosial menunjukan bahwa konstruksi

individu hanya dapat diciptakan dan disempurnakan melalui interaksi

antara dan di antara peneliti dengan para responden. Beragam konstruksi

ini di interpretasikan menggunakan teknik-teknik hermenetik konvensional

dan dikomparasikan serta diperbandingkan melalui pertukaran dialektis.

Tujuan akhirnya adalah untuk mendapatkan sebuah konstruksi consensus

yang lebih matang dan canggih daripada semua konstruksi sebelumnya

(termasuk, tentu saja, konstruksi etika peneliti).36

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan

yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara

menelaah dan meng-interpretasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang

menyangkut asas, konsepsi, doktrin dan norma hukum yang berkaitan

dengan pembuktian perkara pidana. Adapun pendekatan yuridis empiris

dilakukan dengan penelitian lapangan yang ditujukan pada penerapan

hukum acara pidana dalam perkara pidana.

a. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan

berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori,

konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan perundang-undangan

yang berhubungan dengan penelitian ini. Pendekatan ini dikenal pula

dengan pendekatan kepustakaan, yakni dengan mempelajari buku-

36 Norman K. Denzin, Yvonna S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research,

diterjemahkan oleh Dariyatno, Badrus Samsul Fata, Abi, John Rinaldi, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2009, hlm 137

Page 69: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

69

buku, peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang

berhubungan dengan penelitian ini.

b. Pendekatan yuridis empiris yakni dilakukan dengan melihat kenyataan

yang ada dalam praktek di lapangan. Pendekatan ini dikenal pula

dengan pendekatan secara sosiologis yang dilakukan secara langsung

ke lapangan. Pendekatan yuridis empiris ini dilakukan untuk

mendapatkan data primer yang dilakukan dengan melakukan

wawancara dengan subjek penelitian serta melakukan observasi untuk

lebih mendapatkan data akurat yang berkaitan dengan penelitian ini.

3. Sumber Data

Di dalam, sumber utamanya adalah bahan hukum yang dikaitkan

dengan fakta sosial karena dalam penelitian ilmu hukum empiris yang

dikaji adalah bukanhanya bahan hukum saja akan tetapi di tambah dengan

pendapat para ahli. Penulisan disertasi ini menggunakan data primer, yaitu

data yang diperoleh langsung dari sumbernya, baik melalui wawancara,

observasi maupun laporan yang berbentuk dokumen tidak resmi yang

kemudian diolah oleh peneliti, dan data sekunder, yaitu data yang di ambil

dari bahan pustaka yang terdiri dari 3 (tiga) sumber bahan hukum yaitu

bahan hukum primer,sekunder dan tersier. Untuk lebih jelasnya penulis

akan mengemukakan sebagai berikut:

a. Bahan Hukum Primer

1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999,

tentang Jasa Konstruksi

Page 70: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

70

2) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana

Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025,

Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional

(BAPENAS).

3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi

4) Peraturan Pemerintah Repubik Indonesia Nomor 28 Tahun 2000,

Tentang Usaha Dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi

5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2000,

tentang penyelenggaraan Jasa Konstruksi

6) Peraturan Pemerintah Repubik Indinesia Nomor 30 Tahun 2000,

Tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi

7) Peraturan Pemerintah Repubik Indinesia Nomor 4 Tahun 2010,

Tentang Perubahan Atas PP Nomor 28 Tahun 2000 Tentang Usaha

Dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi

8) Peraturan Pemerintah Repubik Indinesia Nomor 92 Tahun 2010,

Tentang Perubahan Kedua Atas PP Nomor 28 Tahun 2000 Tentang

Penyelenggaraan Jasa Konstruksi

9) Peraturan Pemerintah Repubik Indinesia Nomor 4 Tahun 2010,

Tentang Perubahan Atas PP Nomor 28 Tahun 2000 Tentang Usaha

Dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi

10) Peraturan presiden Republik Indonesia tentang pengadaan

barang/jasa pemerintah antara lain sebagai berikut :

a) Perpres RI No. 18 Tahun 2000

b) Perpres RI No. 80 Tahun 2003

Page 71: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

71

c) Perpres RI No. 54 Tahun 2010

d) Perpres RI No. 35 Tahun 2011

e) Perpres RI No. 172 Tahun 2014

f) Perpres RI No. 4 Tahun 2015

b. Bahan Hukum Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh secara langsung dari

penelitian lapangan yang ada hubungannya dengan masalah yang

diteliti, yakni dilakukannya wawancara.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum yang menguatkan penjelasan dari bahan hukum

primer dan sekunder yaitu berupa kamus hukum.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data primer dilakukan dengan observasi dan

wawancara yang mendalam dengan para key informan yang sudah

ditentukan peneliti berdasarkan karakteristik penelitian. Lincoln dan Guba

mengemukakan maksud wawancara, yaitu mengkonstruksikan mengenai

orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan,

kepedulian, dan lain-lain kebulatan; merekonstruksi kebulatan-kebulatan

demikian sebagai yang dialami masa lalu, memverifikasi, mengubah dan

memperluas informasi yang diperoleh dari orang lain37

.

Responden yang akan diwawancarai antara lain pihak kontraktor

dan Dinas Pekerjaan Umum. Sementara pengumpulan data sekunder,

37

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi, Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2010, hlm. 148

Page 72: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

72

dilakukan dengan studi kepustakaan (dokumentasi) yaitu serangkain usaha

untuk memperoleh data dengan cara membaca, menelaah,

mengklasifikasikan dan dilakukan pemahaman terhadap bahan-bahan

hukum yang berupa peraturan-peraturan, literatur yang ada relevansinya

dengan permasalahan yang dikemukakan.38

5. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data terhadap data primer, peneliti menggunakan

teknis analisis data tipe Strauss dan J. Corbin39

, yaitu dengan menganalisis

data sejak peneliti berada dilapangan (field). Selanjutnya peneliti

melakukan penyusunan, pengkatagorian data dalam pola/thema. Setelah

data divalidasi, peneliti melakukan rekonstruksi dan analisis secara

induktif kualitatif untuk dapat menjawab permasalahan. Data akan

dianalisis menggunakan model interaktif yang dikemukakan oleh Mattew

B. Miles and A. Michael Huberman40

yang meliputi 3 (tiga) kegiatan,

yakni reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan atau

verifikasi.

6. Teknik Validasi Data

Teknik validasi data bertujuan untuk mengetahui sejauhmana

keabsahan data yang telah diperoleh dalam penelitian. Teknik yang

digunakan adalah triangulasi pada sumber, yakni (1) melakukan

38

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normaif, Suatu Pengantar

Singkat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 25 39

A. Stauss and J. Corbin Busir, Qualitative Research: Grounded Theory Prosedure and

Technique, Lindon Sage Publication, 1990, hlm. 19 40

Mattew B. Miles & A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, Jakarta: UI Press, 1992, hlm. 22

Page 73: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

73

perbandingan antara data yang diperoleh dari hasil observasi dengan data

yang diperoleh dari hasil wawancara dengan informan; (2) melakukan

perbandingan antara persepsi, pandangan dan pendapat umum dengan

persepsi, pandangan dan pendapat peneliti; (3) melakukan perbandingan

antara hasil wawancara dengan dokumen-dokumen hasil kajian pustaka.

Setelah proses triangulasi dilakukan, barulah peneliti menentukan data

yang dinilai sah untuk digunakan sebagai bahan penelitian.

H. SISTEMATIKA PENELITIAN DISERTASI

Penyusunan dan pembahasan disertasi ini dibagi dalam 6 (enam) bab,

yaitu Bab I merupakan Pendahuluan, yang berisi Latar Belakang

Permasalahan, Permasalahan, Tujuan Penelitan Disertasi, Kegunaan Penelitian

Disertasi, Kerangka Pemikiran, Kerangka Konseptual Disertasi, Metode

Penelitian, Sistematika Penulisan dan Orisinalitas Penelitian.

Bab II berisi telaah mengenai Kajian Pustaka, yang berisi Kajian

Pustaka dan Kerangka Teori. Untuk Kajian Pustaka berisi kebijakan publik,

pelayanan publik, good governance dan jasa konstruksi. Sedangkan untuk

Kerangka Teori berisi Teori Keadilan, Teori Negara Hukum, Teori Pelayanan

Publik, Teori Birokrasi, Teori Bekerjanya Hukum, Teori Hukum Progresif,

Teori Hukum Pembangunan, Teori Umum Perjanjian, Teori Pertanggung

Jwaban Hukum dan Teori Penegakan Hukum.

Bab III berisi telaah mengenai pelaksanaan konstruksi pembangunan

fisik sudah berjalan secara optimal.

Page 74: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

74

Bab IV berisi telaah mengenai faktor-faktor yang menyebabkan perlu

adanya rekonstruksi hukum terhadap pelaksanaan jasa konstruksi

pembangunan fisik yang berbasis mutupelayanan publik.

Bab V berisi telaah mengenai rekonstruksi hukum jasa konstruksi

pelaksanaan pembangunan fisik yang berbasis mutupelayanan publik dapat

diterapkan secara adil.

Bab VI yang merupakan bab Penutup rangkaian telaah dalam disertasi

ini. Bab ini berisi simpulan serta saran terhadap hasil analisis yang dilakukan.

Simpulan merupakan intisari dari pembahasan permasalahan yang diajukan

dalam disertasi, sedangkan saran merupakan bentuk kristalisasi pemikiran

promovendus sebagai usulan terhadap simpulan yang ada.

I. ORISINALITAS/ KEASLIAN PENELITIAN

Dalam rangka mengetahui orisinalitas dari penelitian ini, maka penulis

melakukan penelusuran disertasi sebagaimana terjabarkan di bawah ini.

Berdasarkan hasil penelusuran tersebut belum ditemukan uraian khusus

tentang rekonstruksi hukum jasa konstruksi pembangunan fisik yang berbasis

mutupelayanan publik.

NO

PENELITI

JUDUL

PENELITIAN

VARIABEL PEMBANDING

Penelitian Terdahulu

Penelitian Sekarang

1. Aji Prasetyanti

(2014) Jaminan Kepastian

Hukum Dalam

Penyelesaian

Sengketa Bidang

Jasa Konstruksi Di

Indonesia Melalui

- kepastian hukum dalam

proses beracara di BANI

dan pelaksanaan Putusan

BANI serta mengetahui

kendala yuridis- teknis

- peraturan perundangan

- Penyelesaian dengan

menggunakan

pendekatan metode

yuridis empiris dan

yuridis normatif

- Rekonstruksi hukum

Page 75: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

75

BANI (Khususnya

Sumber Dana

Pemerintah Dan

BUMN)

jasa konstruksi dan

peraturan mengenai

penyelesaian sengketa

melalui Badan Arbitrase

Nasional Indonesia

(BANI)

melalui undang-undang

jasa konstruksi, Perpres

RI, PP Republik

Indonesia dan landasan

teori-teori hukum

2. Kurnia Arry Soelaksono, Prof.

Dr. RM.

Soedikno

Mertokusumo,

SH, dan Mustafa,

SH, MS

(2014)

Penyelesaian Perselisihan Melalui

Arbitrase Atas

Sengketa Perjanjian

jasa konstruksi

Membahas penyelesaian perselisihan melalui

arbitrase atas sengketa perjanjian jasa konstruksi

- Penyelesaian dengan menggunakan

pendekatan metode

yuridis empiris dan

yuridis normatif

- Rekonstruksi hukum

melalui undang-undang

jasa konstruksi, Perpres

RI, PP Republik

Indonesia dan landasan

teori-teori hukum 3. Adhi Satya

Pratama; Pitaya,

SH., M. Hum

Pelaksanaan Pemberian Ganti

Rugi Dan

Kompensasi Dalam

Hubungan Pengguna

jasa Dan Penyedia

jasa Pada Kontrak

jasa konstruksi

Proyek infrastruktur

Di Pt Adhi Karya

(Persero) Tbk

Membahas pelaksanaan pemberian ganti rugi dan

kompensasi dalam

hubungan pengguna jasa

dan penyedia jasa pada

kontrak jasa konstruksi

proyek infrastruktur di PT

Adhi Karya (Persero) Tbk.

- Penyelesaian dengan menggunakan

pendekatan metode

yuridis empiris dan

yuridis normatif

- Rekonstruksi hukum

melalui undang-undang

jasa konstruksi, Perpres

RI, PP Republik

Indonesia dan landasan

teori-teori hukum 4 Iwan Erar Joesoef

(2011) Model Kerjasama Pemerintah dan

Swasta: Studi

Penerapan Kontrak

Build Operate

Transfer Dalam

Perjanjian

Pengusahaan Jalan

Tol di Indonesia

Membahas model kerjasama pemerintah dan

swasta: studi penerapan

kontrak build operate

transfer dalam perjanjian

pengusahaan jalan tol di

Indonesia dan kendala yang

dihadapi.

- Penyelesaian dengan menggunakan

pendekatan metode

yuridis empiris dan

yuridis normatif

- Rekonstruksi hukum

melalui undang-undang

jasa konstruksi, Perpres

RI, PP Republik

Indonesia dan landasan

teori-teori hukum

Dalam penelitian ini berusaha lebih fokus untuk menemukan applied

teori baru yang belum ada dengan tujuan untuk merekonstruksi hukum formal

dalam rangka rekonstruksi hukum jasa konstruksi pembangunan fisik yang

berbasis mutupelayanan publik. Maka dengan demikian penelitian ini adalah

merupakan penelitian yang baru dan asli sesuai dengan asas-asas keilmuan,

yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka untuk dilakukan kritikan-

Page 76: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHrepository.unissula.ac.id/9873/5/BAB I_1.pdf · pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan

76

kritikan yang bersifat membangun dengan tema dan permasalahan dalam

penelitian ini.