BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang back to nature...

24
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang kaya akan berbagai macam tumbuhan yang diantaranya mempunyai potensi yang cukup besar untuk dikembangkan menjadi obat. Perubahan pola pikir masyarakat dengan sikap back to nature membuat perkembangan dan pemanfaatan tanaman obat di Indonesia semakin meningkat, apalagi dengan adanya program saintifikasi jamu yang merupakan suatu program dari Kementerian Kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan penggunaan jamu di kalangan medis terutama dokter (Pramono, 2011). Hal ini memacu banyaknya bahan tanaman yang digunakan dalam pengobatan untuk berbagai macam penyakit diantaranya hiperlipidemia. Hiperlipidemia adalah suatu keadaan yang disebabkan karena adanya kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan kadar trigliserida dan kolesterol di dalam darah (Velayutham et al., 2008). Kondisi hiperlipidemia yang berkelanjutan memicu terbentuknya arterosklerosis yang menjadi faktor resiko terjadinya penyakit jantung koroner yang merupakan salah satu penyebab kematian utama di Negara maju dan berkembang (Departemen Farmakologi dan Teraupetik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007). Dari sekian banyak tanaman anti hiperlipidemia yang ada di Indonesia, kita bisa menggunakan ramuan jamu dari campuran akar kelembak, daun kemuning, daun jati belanda, herba meniran, rimpang kunyit dan rimpang

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang back to nature...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara yang kaya akan berbagai macam tumbuhan

yang diantaranya mempunyai potensi yang cukup besar untuk dikembangkan

menjadi obat. Perubahan pola pikir masyarakat dengan sikap back to nature

membuat perkembangan dan pemanfaatan tanaman obat di Indonesia semakin

meningkat, apalagi dengan adanya program saintifikasi jamu yang merupakan

suatu program dari Kementerian Kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan

penggunaan jamu di kalangan medis terutama dokter (Pramono, 2011). Hal ini

memacu banyaknya bahan tanaman yang digunakan dalam pengobatan untuk

berbagai macam penyakit diantaranya hiperlipidemia.

Hiperlipidemia adalah suatu keadaan yang disebabkan karena adanya

kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan kadar trigliserida

dan kolesterol di dalam darah (Velayutham et al., 2008). Kondisi hiperlipidemia

yang berkelanjutan memicu terbentuknya arterosklerosis yang menjadi faktor

resiko terjadinya penyakit jantung koroner yang merupakan salah satu penyebab

kematian utama di Negara maju dan berkembang (Departemen Farmakologi dan

Teraupetik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007).

Dari sekian banyak tanaman anti hiperlipidemia yang ada di Indonesia,

kita bisa menggunakan ramuan jamu dari campuran akar kelembak, daun

kemuning, daun jati belanda, herba meniran, rimpang kunyit dan rimpang

2

temulawak untuk digunakan dalam pengobatan hiperlipidemia. Pengobatan

dengan ramuan ini mempunyai parameter yang berkaitan dengan pendekatan

holistik untuk efek promotif dan preventif serta parameter yang terkait dengan

efek kuratif ramuan (Pramono, 2011).

Tanaman tersebut masing-masing mempunyai berbagai khasiat dan

kandungan senyawa aktif yang berbeda-beda, namun tetap saling mendukung dan

berkaitan. Akar kelembak mengandung antrakinon rhein dan turunannya yang

memiliki efek laksatif sehingga kesempatan absorpsi lemak dan kolesterol

menjadi kecil. Namun demikian, kelembak juga mengandung tanin yang berefek

anti peristaltik usus sehingga bersifat kontraindikasi dengan efek laksatif.

Penggunaan yang dominan untuk kedua senyawa tersebut tergantung pada kondisi

pasien itu sendiri, apakah pasien cenderung mudah buang air besar atau justru

sebaliknya mengalami kesulitan untuk buang air besar. Daun kemuning telah

terbukti menghambat kenaikan berat badan tikus percobaan, namun mekanisme

serta zat aktif yang bertanggung jawab terhadap efeknya belum diketahui. Daun

jati belanda mengandung polisakarida berupa lendir atau musilago yang dapat

mengembang di rongga perut sehingga dapat menekan rasa lapar. Selain itu,

alkaloid yang terkandung di dalamnya dapat menghambat aktivitas enzim lipase

di saluran pencernaan sehingga lemak yang dikonsumsi tidak terhidrolisis dan

tidak diabsorpsi oleh fili-fili usus. Sedangkan untuk herba meniran, rimpang

temulawak dan rimpang kunyit berperan dalam menjaga kebugaran tubuh karena

berhubungan langsung dengan efek herba meniran sebagai peningkat daya tahan

3

tubuh, efek rimpang kunyit sebagai pelancar pencernaan dan pereda nyeri dan

efek rimpang temulawak sebagai penyegar (Pramono, 2011).

Namun kendala secara umumnya di masyarakat adalah pengobatan dengan

ramuan tersebut menimbulkan rasa yang sangat pahit sehingga penggunaannya

tidak terlalu digemari di masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan

penelitian mengenai formulasi baru sediaan infusa menjadi sediaan dalam bentuk

lain yang berfungsi untuk menurunkan lipid plasma yang sama dalam

penggunaannya sebagai anti hiperlipidemia, sehingga kandungan bahan dari

sediaan itu sendiri tidak berkurang.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah perubahan bentuk sediaan infusa menjadi ekstrak kering dalam

ramuan anti hiperlipidemia tidak mempengaruhi kandungan zat aktif tanaman

yang digunakan sebagai penurun lipid plasma?

2. Berapakah penambahan bahan pengering yang tepat dalam pembuatan ekstrak

kering dari campuran ekstrak tanaman yang digunakan dalam ramuan anti

hiperlipidemia?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk merubah suatu sediaan rebusan anti

hiperlipidemia dalam bentuk infusa ke ekstrak kering tanpa mengurangi

kandungan dari bahan yang digunakan dalam ramuan tersebut.

4

D. Tinjauan Pustaka

1. Kelembak (Rheum officinale Baill.)

Klasifikasi tanaman kelembak adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Polygonales

Famili : Polygonaceae

Genus : Rheum

Spesies : Rheum officinale Baill.

(Backer & Bakhuizen, 1965)

a. Morfologi

Kelembak termasuk tanaman perdu atau terna, yang tumbuh kadang-

kadang memanjat, jarang yang berupa pohon, tidak berduri, tanpa getah lateks.

Daunnya tersusun spiral, kadang-kadang berhadapan atau melingkar, umumnya

ada seludang daun atau upih. Bunganya hermafrodit, jarang berumah 1 atau 2,

muncul di ketiak daun atau di ujung ranting; aktinomorf, ada kelopak tetapi tidak

ada mahkota. Tepala 4-6, benang sari 4-9. Bakal buahnya menumpang, pipih atau

berbentuk segitiga, beruang 1, isi 1 bakal biji. Buahnya kering tidak terbelah dan

bijinya tidak bersayap (Sutrisno, 1998).

5

Kelembak mempunyai akar berupa potongan padat, keras, berat,

bentuknya hampir silindrik, serupa kerucut atau berbentuk kubus cekung, pipih

atau tidak beraturan. Kadang berlubang dengan panjang 5 cm sampai 15 cm,

lebarnya 3 cm sampai 10 cm, permukaannya yang terkupas agak tersudut-sudut,

umumnya diliputi serbuk berwarna kuning kecoklatan terang, bagian dalamnya

berwarna putih keabuan dengan garis-garis coklat kemerahan. Pada pengamatan

dengan kaca pembesar terhadap bidang melintang terlihat garis-garis tersebut pada

beberapa tempat merupakan bentuk bintang. Patahan melintang tidak rata,

berbutir-butir putih kelabu, merah muda sampai coklat merah (Departemen

Kesehatan Republik Indonesia, 1995).

b. Kandungan Kimia

Kelembak mempunyai kandungan antranoid, khusunya glikosida

antrakinon seperti rhein (semosida A dan B), aloe-emodin, physcion. Juga

mengandung asam oksalat, tanin yaitu gallotanin, katekin dan prosianidin.

Sedangkan kandungannya yang lain adalah pektin, asam fenolat (Newall et al,

1996; Bradley, 1992; Chirikdjan et al, 1983).

c. Efek Farmakologis

Pada pengujian terhadap tikus, ditemukan bahwa kandungan rhein pada

kelembak dengan dosis 100 mg/kg bb per hari, mampu mereduksi lemak pada

db/db mencit. Menggunakan diet-induced obese (DIO) C57BL/6 (db/db) mencit,

didapatkan hasil bahwa rhein dapat memblok kadar lemak yang tinggi pada hewan

uji yang mengalami obesitas, diukur berdasarkan massa lemak dan ukuran dari

adiposit putih dan coklat serta penurunan serum kolesterol, LDL kolesterol dan

6

kadar glukosa darah puasa pada mencit. Berdasarkan penggunaan metode analisis

ekspresi gen dan reporter assay ditemukan bahwa rhein menginhibisi

transaktivitas peroxisome proliferator-activated receptor γ (PPARγ) dan ekspresi

dari target gen, menunjukkan bahwa rhein bisa berfungsi sebagai antagonis dari

PPARγ (Zhang et al., 2012).

2. Kemuning (Murraya paniculata (L.) Jack.)

Klasifikasi tanaman kemuning adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Sapindales

Famili : Rutaceae

Genus : Murraya

Spesies : Murraya paniculata (L.) Jack.

(Backer & Bakhuizen, 1965)

a. Morfologi

Kemuning merupakan semak atau pohon rendah, tidak berduri, tajuk

membulat, tidak rapat, tingginya 3-7 m. Kemuning mempunyai batang pokok

bengkok, permukaan batangnya beralur-alur, kulit kehitaman, rantingnya kecil,

abu-abu muda, berambut halus dan gundul. Kemuning mempunyai daun dengan

duduk daun tersebar, majemuk menyirip gasal, anak daun 2-8, kebanyakan 4-7,

7

remasan tidak berbau busuk, anak daunnya berbentuk elip memanjang atau bulat

telur terbalik, ujung meruncing pendek, pangkal runcing, miring, tepi rata atau

beringgit tidak jelas, 3-10 x 1,5-5 cm. Kemuning mempunyai bunga tunggal atau

susunan bunga majemuk cymes, berbilangan 5, 1-8. Kelopak bunganya 5, dengan

tinggi 2-2,5 mm. Bunga kemuning mempunyai mahkota dengan panjang daun

mahkota 6-27 x 4-10 mm, bentuknya memanjang bulat telur terbalik, runcing, tua

berwarna putih. Bunga ini mempunyai benang sari berjumlah 10, mengelilingi

cincin yang lebih panjang atau pendek, ukurannya tidak sama, tangkai sarinya

gundul, berbentuk paku, kepala sari subbasifixed, elip dan tumpul. Mempunyai

putik dengan bakal buah 2 ruang, 1-2 bakal biji, tangkai putiknya panjang, mudah

gugur dan kepala putiknya bentuk kepala. Mempunyai buah buni, membulat, bulat

telur sampai bulat memanjang, gundul, merah mengkilat. Bijinya berjumlah 1-2,

gundul atau berambut tipe tomentos (Backer & Bakhuizen, 1965).

b. Kandungan Kimia

Daun kemuning mengandung senyawa golongan triterpenoid, kumarin

(isomeranzin, muranganon asetat, murayatin, murangatin, meranzin hidrat,

febalosin dan muranganon) dan metil kafeat. Senyawa kumarin lainnya yaitu

murmeranzin dan muralonginal. Minyak atsiri dari daun kemuning mengandung

£-siklositral, metil salisilat, trans-nerolidol, £-cubeben, (-)-kubenol dan

isogermakren (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).

c. Efek Farmakologis

Pemberian secara oral ekstrak kemuning dengan dosis 100, 200 dan 400

mg/kg bb selama 14 hari bisa mereduksi level glukosa darah, kolesterol dan

8

trigliserida serta kadar lemak secara signifikan (Gautam et al., 2012). Pada

pemberian ekstrak etanolik daun kemuning dengan dosis 315 mg/kg BB tikus

setelah pemberian selama 15, 45 dan 90 hari, mampu menurunkan kadar

kolesterol darah tikus sebesar 15,34-25,75%. Aorta tikus juga mengalami

penurunan timbunan lemak setelah pemberian ekstrak etanolik daun kemuning

pada hari ke 90 (Pramono et al, 2004).

Infusa daun kemuning dengan dosis 30 mg/10 g bb mencit albino pada

percobaan analgesik mempunyai potensi analgesik mendekati asetosal 52 mg/kg

bb. Ekstrak etanol 80% daun kemuning dosis 500 mg per oral dapat menghambat

66,67% intensitas geliat pada mencit yang diinduksi nyeri menggunakan asam

asetat 0,7% (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).

3. Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.)

Klasifikasi tanaman jati belanda adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotiledonae

Ordo : Malvales

Family : Sterculiaceae

Genus : Guazuma

Species : Guazuma ulmifolia Lamk.

(Backer & Bakhuizen, 1965)

9

a. Morfologi

Tanaman jati belanda merupakan tanaman yang termasuk golongan semak

atau pohon dengan tinggi 10 m sampai 20 m, dengan percabangan ramping.

Bentuk daun bundar telur sampai lanset, panjang helai daun 4 cm sampai 22,5 cm,

lebar 2 cm sampai 10 cm, pangkal menyerong berbentuk jantung, bagian ujung

tajam, permukaan daun bagian atas berambut jarang, permukaan bagian bawah

berambut rapat. Panjang tangkai daun 5 mm sampai 25 mm, mempunyai daun

penumpu berbentuk lanset atau berbentuk paku, panjang 3 mm sampai 6 mm.

Perbungaan berupa mayang, panjang 2 cm sampai 4 cm, berbunga banyak, bentuk

bunga agak ramping dan berbau wangi, panjang gagang bunga lebih kurang 5

mm. Kelopak bunga lebih kurang 3 mm, dengan mahkota yang berwarna kuning,

panjang 3 mm sampai 4 mm. Tajuk terdiri dari 2 bagian, berwarna ungu tua

kadang-kadang kuning tua, panjang 3 mm sampai 4 mm. Bagian bawahnya

berbentuk garis, panjang 2 mm sampai 2,5 mm, tabung benang sari berbentuk

mangkuk, dengan bakal buah berambut dan panjang buah 2 cm sampai 3,5 cm.

Buah yang telah masak berwarna hitam (Departemen Kesehatan Republik

Indonesia, 1978).

b. Kandungan Kimia

Bunga segar jati belanda mengandung 0,2% flavonoid berupa kamferetin,

kuersetin dan kaemferol, daunnya mengandung 0,09-0,14% alkaloid, lendir,

damar, flavonoid, saponin, dan tanin. Hasil analisa GC/MS minyak atsiri daun

menunjukkan adanya komponen utama prekosen I (56,0%), β-kariofilen (13,7%)

dan (2Z,6E)-farnesol (6,6%) (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).

10

c. Efek Farmakologis

Ekstrak etanol daun jati belanda dengan konsentrasi 10, 20 dan 30 %

sebanyak 0,5 mL/200 g bb/hari yang diberikan pada tikus putih jantan secara per

oral sekali sehari selama 30 hari dengan pembanding orlistat 2,16 mg/200 g

bb/hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun jati belanda 10,

20 dan 30 % serta orlistat mampu menurunkan aktivitas lipase pankreas secara

nyata, berturut-turut sebesar 8,33 ± 9,27; 9,33 ± 6,34; 15,33 ± 7,61; dan 13,33 ±

7,33 IU/L. Pada kelompok kontrol negatif justru terjadi peningkatan aktivitas

enzim lipase sebesar 15,17 ± 14,79 IU/L. Penghambatan enzim lipase pankreas

dan gaster (orlistat) dapat menutup absorpsi lemak dan meningkatkan ekskresi

lemak lewat feses sehingga dapat digunakan untuk mengatasi obesitas

(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Selain itu juga ada

kandungan tanin yang mampu mengurangi penyerapan makanan dengan cara

mengendapkan mukosa protein yang ada di dalam permukaan usus, sementara

musilago yang berbentuk lendir bersifat sebagai pelicin, sehingga juga bisa

berperan sebagai anti obesitas (Pramono et al., 2000).

4. Meniran (Phyllanthus niruri Linn.)

Klasifikasi dari tanaman meniran adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

11

Ordo : Geraniles

Famili : Euphorbiaceae

Genus : Phyllanthus

Spesies : Phyllanthus niruri Linn.

(Backer & Bakhuizen, 1965)

a. Morfologi

Perawakan terna 1 tahun tumbuh tegak, tinggi dapat mencapai 0,8 m,

berwarna hijau pucat, letak cabang tersebar. Daun tunggal, letak berseling pada

ujung cabang dengan posisi mendatar terhadap batang pokok. Helaian daun

berbentuk elip pendek sampai lonjong, panjang 0,5-2 cm, lebar 0,25-0,5 cm,

pangkal membulat sampai tumpul, ujung membulat, tumpul atau runcing, warna

hijau pucat. Bunga tunggal, bunga betina di ketiak daun ujung, kadang dengan

beberapa bunga jantan, letak bunga di sisi bawah ketiak daun, 2-3 bunga jantan di

sekitar pangkal cabang, panjang tangkai bunga 0,5-1 mm. Mahkota bunga

berbentuk bulat telur terbalik (sungsang), panjang 0,75-1 mm, warna hijau muda

bergaris merah. Bunga betina tunggal, di ketiak daun bagian ujung (atas) cabang,

tangkai bunga 1,25-1,5 mm. Ukuran buah lebih dari 1,75 mm, berbentuk genta,

buah licin, garis tengah 2-2,5 mm, panjang tangkai buah 1,5-2 mm (Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia, 2010).

b. Kandungan Kimia

Akar dan daun meniran kaya akan senyawa lignan antara lain filantin,

hipofilantin; senyawa flavonoid: kuersetin, isokuersetin, astragalin dan rutin.

Minyak dari biji mengandung beberapa asam lemak yaitu asam risinoleat, asam

12

linoleat dan asam linolenat. Kandungan senyawa lain pada herba meniran

diantaranya nirantin, nirtetralin, nirurin, nirurinetin, norsekurinin, filantenol,

filanteol, filnirurin dan filterin. Selain itu juga mengandung kalium, damar dan

tanin (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).

c. Efek Farmakologis

Hasil uji praklinik menunjukkan bahwa ekstrak meniran dapat memodulasi

sistem imun lewat proliferasi dan aktivasi limfosit T dan B, sekresi beberapa

sitokin spesifik seperti interferon-γ, tumor necrosis factor α dan beberapa

interleukin. Limfosit T dan B bekerja ketika perlawanan system imun alami kita

tidak mencukupi. Limfosit T dan B bekerja menurut jenis serangan virus dan

bakteri yang terjadi. Selain itu, meniran juga mengaktivasi sistem komplemen,

aktivasi sel fagositik seperti makrofag dan monosit, juga meningkatkan jumlah

sel NK (natural killer). Sel NK adalah sel limfosit yang dapat membunuh sel yang

dihuni virus atau sel tumor. Dari hasil ini dapat diduga bahwa ekstrak meniran

dapat digunakan sebagai terapi tambahan untuk penyakit infeksi akut dan kronis,

seperti TBC, hepatitis, ISPA dan herpes zoster. Ekstrak meniran dengan dosis 45,

90 dan 180 mg/kg bb dapat berkhasiat sebagai anti hepatotoksik pada tikus putih

yang telah diinduksi parasetamol dengan parameter yang diamati adalah aktivitas

enzim SGOT dan SGPT hewan uji. Ekstrak air meniran dapat menghambat DNA

polimerase endogen virus hepatitis Woodchuck pada Cavia cobaya dan ikatan

pada WhsAg secara in vitro (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).

Uji klinis meniran menunjukkan aktivitas sebagai imunomodulator,

berperan membuat sistem tubuh lebih aktif menjalankan tugasnya sekaligus

13

meningkatkan sistem imun tubuh, sehingga meningkatkan kekebalan atau daya

tahan tubuh terhadap serangan virus, bakteri atau mikroba (Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia, 2010).

5. Kunyit (Curcuma domestica Val)

Klasifikasi dari tanaman kunyit adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledonae

Ordo : Zingiberales

Famili : Zingiberaceae

Genus : Curcuma

Spesies : Curcuma domestica Val

(Backer & Bakhuizen, 1965)

a. Morfologi

Kunyit mempunyai perawakan terna berbatang semu, tersusun atas

pelepah-pelepah daun, warna hijau agak kekuningan, rimpang bercabang-cabang,

berwarna jingga. Daun tunggal, letak daun berseling, setiap tanaman memiliki 3-8

daun, daun bertangkai, panjang tangkai beserta pelepah daun lebih dari 73 cm,

helaian daun berbentuk bulat memanjang sampai lanset, panjang 2,5-5 kali lebar,

ujung daun runcing sampai meruncing, keseluruhannya berwarna hijau atau hanya

bagian atas dekat tulang utama berwarna agak keunguan, panjang 28-85 cm, lebar

14

10-25 cm. Perbungaan berupa bunga majemuk tandan di ujung batang semu,

tangkai karangan berambut sampai bersisik, panjang tangkai 16-40 cm. Daun

pelindung, panjang 10-19 cm, lebar 5-10 cm. Daun kelopak berambut, berbentuk

lanset, panjang 4-8 cm, lebar 2-3,5 cm, daun kelopak yang paling bawah berwarna

hijau, bentuk bulat telur, makin ke atas makin menyempit serta memanjang, warna

putih atau putih keunguan, kelopak berbentuk tabung, panjang 9-13 mm, bergigi 3

dan tipis seperti selaput. Mahkota bunga bagian bawah berbentuk tabung, panjang

lebih kurang 20 mm, berwarna coklat muda, bagian dalam tabung berambut,

mahkota bagian ujung terbelah, warna putih atau merah jambu, panjang 10-15

mm, lebar 11-14 mm. Benang sari 6, 5 benang sari menjadi lembaran seperti bibir

berbentuk bulat telur, panjang 16-20 mm, lebar 15-18 mm, warna jingga atau

kuning keemasan dengan pinggir berwarna coklat dan ditengahnya berwarna

kemerahan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).

b. Kandungan Kimia

Kunyit mempunyai kandungan kurkuminoid terutama kurkumin,

desmetoksikurkumin, bisdesmetoksikurkumin, juga terdapat kandungan resin,

minyak atsiri dengan komponen utama α dan β turmeron, ar-turmeron, α dan β

atlanton, kurlon, zingiberen dan kurkumol (Kementerian Kesehatan Republik

Indonesia, 2010).

c. Efek Farmakologis

Rimpang kunyit menunjukkan aktivitas hepatoprotektor secara in vitro

maupun in vivo pada hewan percobaan yang diinduksi dengan karbon tetraklorida,

aflatoksin B1, parasetamol, besi dan siklofosfamid pada mencit. Pemberian 30

15

mg/kg kurkumin/hari selama 10 hari efektif sebagai hepatoprotektor pada mencit.

Pemberian kunyit 80% dan kurkumin pada konsentrasi 2 µg dapat menghambat

induksi mutagen yaitu aflatoksin B1 pada percobaan pembiakan Salmonella

thyphimurium Strain TA98 dan TA100. Pemberian kunyit 5% dan 10%

merangsang enzim-enzim (arilhidrokarbon hidroksilase, UDP glukoronil

transferase, glutathione-S-transferase) yang memetabolisme senobiotik. Kurkumin

merupakan penghambat yang kuat dari sitokrom 450 IA pada hati, yang

merupakan suatu isoenzim yang terlibat dengan beberapa toksin, termasuk

benzo(a)piren (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).

Pemberian ekstrak kunyit 200 mg/kg bobot badan tikus menunjukkan

aktivitas sebagai anti hiperkolesterol serta dapat menurunkan LDL tanpa

mempengaruhi HDL. Ekstrak etanol rimpang kering kunyit dosis 30 mg/kg bb,

diberikan kepada tikus secara intragastrik setiap 6 jam selama 48 jam, memiliki

aktivitas anti hiperkolesterolemia (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,

2010).

6. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb)

Klasifikasi dari tanaman temulawak adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledonae

Ordo : Zingiberales

16

Famili : Zingiberaceae

Genus : Curcuma

Spesies : Curcuma xanthorrhiza Roxb

(Backer & Bakhuizen, 1965)

a. Morfologi

Temulawak merupakan terna berbatang semu setinggi kurang lebih 2 m,

berwarna hijau atau coklat gelap, akar rimpang terbentuk dengan sempurna,

bercabang-cabang kuat, berwarna hijau gelap. Tiap tanaman mempunyai daun 2

helai sampai 9 helai, berbentuk bundar memanjang sampai bangun lanset,

berwarna hijau atau coklat keunguan terang sampai gelap, panjang tangkai daun

(termasuk helaian) 4-80 cm lebih. Perbungaan lateral, tangkai ramping, berbentuk

garis, berambut halus, panjang 4-12 cm, lebar 2-3 cm. Berbentuk bulir bulat

memanjang, panjang 9-23 cm, lebar 4-6 cm, berdaun pelindung banyak,

panjangnya melebihi atau sebanding dengan mahkota bunga, berbentuk bulat telur

sungsang sampai bangun jorong, berwarna merah, ungu atau putih dengan

sebagian dari ujungnya berwarna ungu, bagian bawah berwarna hijau muda atau

keputihan, panjang 3-8 cm, lebar 1,5-3,5 cm. Kelopak bunga berwarna putih

berambut, panjang 8-1 mm. mahkota bunga berbentuk tabung dengan panjang 2-

2,5 cm, helaian bunga berbentuk bundar telur atau bundar memanjang, berwarna

putih dengan ujung yang berwarna merah dadu atau merah, panjang 1,25-2 cm,

lebar 1 cm. Bibir berbentuk bundar atau telur sungsang, berwarna jingga dan

kadang-kadang tepinya berwarna merah, panjang 14-18 cm, lebar 14-20 mm,

benang sari berwarna kuning muda, panjang 12-16 mm, lebar 10-15 mm, tangkai

17

sari panjangnya 3-4,5 mm, lebar 2,5-4,5 mm. Kepala sari berwarna putih, panjang

6 mm, tangkai putik panjang 3-7 mm, buah berbulu 2 cm panjangnya

(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1979).

b. Kandungan Kimia

Rimpang temulawak mengandung kurkuminoid, xhantorizol, minyak atsiri

dengan komponen α-kurkumen, germakran, ar-turmeron, β-atlantanton, d-kamfor

(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).

c. Efek Farmakologis

Kurkuminoid temulawak dapat menurunkan kadar kolesterol total dan

trigliserida darah kelinci dalam keadaan hiperlipidemia. Peningkatan kadar HDL

kolesterol hanya terjadi pada pemberian 20 mg kurkuminoid. Pemberian

kurkuminoid temulawak pada kelinci berbobot 1,5-2,5 kg, dengan dosis 5, 10, 15,

20 dan 25 mg/ekor secara per oral setiap hari selama 42 hari, pada semua dosis,

kurkuminoid dapat menurunkan kadar kolesterol total serta menaikkan kadar asam

empedu darah kelinci (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).

Selain itu, infusa rimpang temulawak 5, 10 dan 20% dapat meningkatkan

daya regenerasi sel hati secara nyata dibanding kontrol pada tikus putih jantan

yang dirusak sel hatinya dengan 1,25 ml karbon tetraklorida/kg bb, per oral.

Ekstrak air temulawak 10% dengan dosis 6,8 dan 10 ml/hari dapat menurunkan

kadar SGOT dan SGPT darah kelinci yang terinfeksi virus hepatitis B

(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).

18

7. Dislipidemia

Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan

peningkatan maupun penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid

yang paling utama adalah peningkatan kadar kolesterol total, kolesterol LDL,

trigliserida serta penurunan kadar kolesterol HDL (Desiana, 2011).

Lipid diangkut dalam plasma sebagai komponen dari lipoprotein

kompleks. Terdapat beberapa jenis lipoprotein berdasarkan densitas, komposisi,

ukuran dan mobilitas elektroforesisnya yang diklasifikasikan menjadi :

1) Kilomikron : Lipoprotein yang membawa trigliserida yang berasal dari

makanan ke jaringan lemak dan otot rangka, juga membawa kolesterol

makanan ke hati.

2) VLDL (Very Low Density Lipoprotein) : Lipoprotein yang disekresi oleh hati

untuk mengangkut trigliserida ke jaringan perifer.

3) IDL (Intermediate Desity Lipoprotein) : Lipoprotein yang merupakan zat

perantara yang terjadi sewaktu VLDL dikatabolisme menjadi LDL.

4) LDL (Low Density Lipoprotein) : Lipoprotein yang mengangkut kolesterol

pada sel hepar dan jaringan perifer, sehingga kolesterol dapat digunakan untuk

kepentingan sel-sel tersebut.

5) HDL (High Density Lipoprotein) : Lipoprotein yang mengangkut kolesterol

dari jaringan perifer untuk dimetabolisasi di hati (Departemen Farmakologi

dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007).

Terdapat 2 jalur utama yang bertanggung jawab mengangkut lipid plasma

di dalam tubuh, yaitu :

19

1) Jalur Eksogen

Lipid yang berasal dari makanan mengalami proses pencernaan dan

penyerapan, kemudian diangkut dalam bentuk kilomikron dalam sel-sel epitel

usus halus. Kilomikron masuk ke dalam darah melalui pembuluh limfa usus.

Didalam pembuluh darah, trigiserida dalam kilomikron akan mengalami hidrolisis

oleh enzim lipoprotein lipase (LPL) yang berasal dari endothel menjadi asam

lemak bebas. Asam lemak bebas dapat disimpan sebagai trigliserid kembali di

jaringan lemak (adiposa), tetapi bila terdapat dalam jumlah yang banyak sebagian

akan diambil oleh hati menjadi bahan untuk pembentukan trigliserid hati.

Kilomikron yang sudah kehilangan sebagian besar trigliserid akan menjadi

kilomikron remnant yang mengandung kolesterol ester dan akan dibawa ke hepar

(Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia, 2007).

2) Jalur Endogen

Trigliserid dan kolesterol yang disintesis di hepar akan diekskresikan ke

dalam sirkulasi sebagai VLDL. Dalam sirkulasi, VLDL akan mengalami hidrolisis

oleh enzim lipoprotein lipase ( LPL) menjadi asam lemak dan gliserol, kemudian

VLDL menjadi IDL ( Intermediate Density Lipoprotein), suatu lipoprotein yang

lebih kecil dan lebih padat. Sebagian dari IDL akan kembali ke hepar ditangkap

oleh reseptor LDL, partikel IDL yang lainnya dihidrolisis menjadi LDL. Sebagian

dari kolesterol di LDL akan dibawa ke hepar dan jaringan steroidogenik lainnya

seperti kelenjar adrenal, testis, dan ovarium yang mempunyai reseptor LDL juga.

20

LDL merupakan pembawa utama kolesterol dalam sirkulasi tubuh (Departemen

Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007).

8. Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan zat yang dapat larut dari bahan yang

tidak dapat larut dengan pelarut cair. Simplisia yang disari, mengandung zat aktif

yang dapat larut dan zat aktif yang tidak dapat larut seperti serat, karbohidrat,

protein dan lain-lain (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986).

a. Cairan penyari

Cairan penyari atau pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut

yang baik (optimal) untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau zat aktif,

dengan demikian senyawa tersebut dapat terpisahkan dari bahan dan dari senyawa

kandungan lainnya, serta ekstrak hanya mengandung sebagian besar senyawa

kandungan yang diinginkan. Dalam hal ekstrak total, maka cairan penyari dipilih

yang melarutkan hampir semua metabolit sekunder yang terkandung. Sampai saat

ini berlaku aturan bahwa pelarut yang diperbolehkan untuk mengekstraksi adalah

alkohol dan air serta campurannya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,

2000).

b. Metode penyarian

Metode penyarian mempengaruhi jumlah dan jenis senyawa berpindah yang

ada di cairan pelarut. Pemilihan metode dilakukan berdasakan beberapa faktor

seperti jenis dan sifat bahan aktif yang terkandung dalam bahan yang digunakan.

Metode penyarian yang digunakan adalah infundasi, yaitu ekstraksi yang

21

menggunakan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup

dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-980C) selama waktu tertentu

(15-20 menit) (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000). Proses

penyarian ini akan menghasilkan ekstrak air atau infus air yang mengandung

berbagai zat yang terlarut dalam air. Penyarian dapat dilakukan dengan

penambahan bahan tertentu untuk optimasi proses penyarian (Agoes, 2007).

c. Ekstrak

Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi

senyawa aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai,

kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang

tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan.

Sebagian besar ekstrak dibuat dengan mengekstraksi bahan baku obat secara

perkolasi. Seluruh perkolat biasanya dipekatkan secara destilasi dengan

pengurangan tekanan, agar bahan sesedikit mungkin terkena panas (Departemen

Kesehatan Republik Indonesia, 1995).

Dalam sediaan farmasi seperti kapsul dan tablet, bahan baku yang digunakan

pada umumnya berbentuk ekstrak kering. Jika ekstrak masih kental, maka

penentuan dosis akan mengalami kesulitan karena bahan kurang homogen dan

masih lengket sehingga sulit pengambilannya. Pengolahan ekstrak kental menjadi

kering dapat dilakukan dengan cara penjemuran alami maupun menggunakan alat

pengering. Kelemahan dari cara penjemuran adalah memerlukan waktu yang lama

dan hasil yang diperoleh kurang higienis, sedangkan dengan alat pengering

memerlukan suhu yang tinggi. Untuk beberapa komoditas tanaman, suhu yang

22

tingi dapat merusak komponen bahan aktif karena sensitif terhadap panas. Dengan

demikian, untuk menjaga supaya komponen aktif yang terdapat dalam tanaman

tidak rusak serta mempercepat proses pengeringan, maka ditambahkan bahan

pengisi ke dalam ekstrak kental (Sembiring, 2009).

9. Laktosa

Laktosa adalah gula yang diperoleh dari gula susu dalam bentuk anhidrat

atau mengandung satu molekul air hidrat. Laktosa berupa serbuk atau massa

hablur, keras, putih atau putih krem. Tidak berbau dan rasa sedikit manis. Stabil di

udara, tetapi mudah menyerap bau. Laktosa mudah (dan pelan-pelan) larut dalam

air dan tidak larut di dalam kloroform dan dalam eter (Departemen Kesehatan

Republik Indonesia, 1995).

Laktosa atau gula susu merupakan bahan pengisi yang paling banyak

digunakan karena tidak bereaksi dengan hampir semua obat, baik yang digunakan

dalam bentuk hidrat atau anhidrat. Sediaan obat yang menggunakan laktosa

memberikan kecepatan pelepasan obat yang baik, granul yang terbentuk cepat

kering dan waktu hancur tidak terlalu peka terhadap perubahan (Banker dan

Anderson, 1986).

Laktosa mempunyai densitas 1,589 g/cm3 dan rumus empirisnya

C12H22O11 (Edge et al., 2006). Laktosa termasuk suatu disakarida dari glukosa dan

galaktosa dan diperoleh melalui kristalisasi, pemusingan dan pengeringan atau

melalui pengering sembur dari air susu (lebih banyak air susu perut binatang

menyusui dengan 5% laktosa). Dalam ketergantungannya dari konfigurasi bagian

23

glukosanya dipisahkan antara α-laktosa dan β-laktosa. Laktosa yang digunakan

dalam teknologi farmasi umumnya adalah α-laktosa monohidrat. Untuk kompresi

langsung cocok digunakan laktosa yang diperoleh melalui pengering sembur yang

memberikan tablet dengan kekompakan besar. Sifat yang sama diperoleh dengan

bahan yang dikeringkan pada silinder pejal (Voight, 1994).

E. Landasan Teori

Akar kelembak, daun kemuning, daun jati belanda, herba meniran,

rimpang kunyit dan rimpang temulawak sebagai ramuan tradisional anti

hiperkolesterol mempunyai parameter pengobatan yang berkaitan dengan

pendekatan holistik untuk efek promotif dan preventif dan parameter yang terkait

dengan efek kuratif ramuan (Pramono, 2011). Pengobatan dengan menggunakan

ramuan ini memiliki kendala umum di masyarakat, yaitu adanya rasa pahit yang

ditimbulkan dari bahan penyusun ramuan serta kurang praktis, sehingga

penggunaannya tidak terlalu digemari oleh masyarakat.

Dalam sediaan farmasi seperti kapsul dan tablet, bahan baku yang

digunakan pada umumnya berbentuk ekstrak kering. Jika ekstrak masih kental,

maka penentuan dosis akan mengalami kesulitan karena bahan kurang homogen

dan masih lengket sehingga sulit dalam pengambilannya. Pengolahan ekstrak

kental menjadi ekstrak kering dapat dilakukan dengan penambahan bahan

pengering. Penambahan bahan pengering ini menjaga supaya komponen aktif

yang terdapat dalam tanaman tidak rusak serta mempercepat proses pengeringan

(Sembiring, 2009).

24

Laktosa adalah gula yang diperoleh dari gula susu dalam bentuk anhidrat

atau mengandung satu molekul air hidrat (Departemen Kesehatan Republik

Indonesia, 1995). Laktosa atau gula susu merupakan bahan pengisi yang paling

banyak digunakan karena tidak bereaksi dengan hampir semua obat, baik yang

digunakan dalam bentuk hidrat ataupun anhidrat (Banker dan Anderson, 1986).

F. Hipotesis

Perubahan bentuk sediaan rebusan ramuan anti hiperlipidemia menjadi

ekstrak kering tidak mempengaruhi kandungan zat aktif baik secara kualitatif

maupun kuantitatif ramuan tersebut.