BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahdigilib.uinsgd.ac.id/11240/4/4_bab1.pdf... atau...

13
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi total pada seluruh bidang kehidupan bangsa Indonesia karena krisis ekonomi yang pernah terjadi pada tahun 1998, selain memberikan dampak negatif, juga memberikan dampak positif dan manfaat bagi seluruh kegiatan kehidupan rakyat Indonesia, khususnya bagi pemerintah daerah. Setelah krisis ekonomi terjadi, dengan alasan bahwa kurangnya kemampuan dan efektivitas pemerintah daerah dalam mendorong proses pembangunan nasional dikarenakan besarnya kewenangan dan juga kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah pusat dimasa yang lalu dan dengan adanya tuntutan dari daerah kepada pemerintah pusat untuk memberikan otonomi daerah maka pemerintah pusat memutuskan untuk mengganti sistem penyelenggaraan pemerintahan dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi. Desentralisasi menurut Utang Rosidin (2015:23) merupakan : “Pembagian wewenang pusat pada badan tertentu untuk menjalankan fungsi pemerintahan tertentu (desentralisasi fungsional) atau penyerahan wewenang secara vertikal pada daerah yang dilakukan oleh pemerintah pusat untuk menjalankan urusan pemerintahan tertentu yang ditetapkan sebagai urusan rumah tangga daerah (desentralisasi teritorial)”. Mardiasmo (2002:25) menjelaskan bahwa “Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dapat dipandang sebagai suatu strategi yang memiliki tujuan ganda”. Pertama pemberian otonomi daerah merupakan strategi

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahdigilib.uinsgd.ac.id/11240/4/4_bab1.pdf... atau...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Reformasi total pada seluruh bidang kehidupan bangsa Indonesia

karena krisis ekonomi yang pernah terjadi pada tahun 1998, selain

memberikan dampak negatif, juga memberikan dampak positif dan manfaat

bagi seluruh kegiatan kehidupan rakyat Indonesia, khususnya bagi

pemerintah daerah. Setelah krisis ekonomi terjadi, dengan alasan bahwa

kurangnya kemampuan dan efektivitas pemerintah daerah dalam

mendorong proses pembangunan nasional dikarenakan besarnya

kewenangan dan juga kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah pusat

dimasa yang lalu dan dengan adanya tuntutan dari daerah kepada

pemerintah pusat untuk memberikan otonomi daerah maka pemerintah pusat

memutuskan untuk mengganti sistem penyelenggaraan pemerintahan dari

sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi.

Desentralisasi menurut Utang Rosidin (2015:23) merupakan :

“Pembagian wewenang pusat pada badan tertentu untuk

menjalankan fungsi pemerintahan tertentu (desentralisasi

fungsional) atau penyerahan wewenang secara vertikal pada

daerah yang dilakukan oleh pemerintah pusat untuk

menjalankan urusan pemerintahan tertentu yang ditetapkan

sebagai urusan rumah tangga daerah (desentralisasi

teritorial)”.

Mardiasmo (2002:25) menjelaskan bahwa “Pelaksanaan otonomi

daerah di Indonesia dapat dipandang sebagai suatu strategi yang memiliki

tujuan ganda”. Pertama pemberian otonomi daerah merupakan strategi

2

untuk merespon tuntutan masyarakat daerah terhadap tiga permasalahan

utama, yaitu sharing of power, distribution of income, dan kemandirian

sistem manajemen di daerah. Kedua, otonomi daerah dimaksudkan sebagai

strategi untuk memperkuat perekonomian daerah dalam rangka

memeperkokoh perekonomian nasional untuk menghadapi era perdagangan

bebas.

Menghadapi sistem baru tersebut, tentunya dibutuhkan strategi yang

baru pula, maka dari itu sebelumnya pemerintah telah membuat keputusan

yang terdapat pada TAP MPR Nomor XV/MPR/1998 yang salah satunya

mencakup tentang “Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan,

Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional, Perimbangan

Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik

Indonesia”. Dan dengan adanya TAP MPR tersebut maka keluarlah UU No

22 tahun 1999 yang telah diganti dengan UU No 9 tahun 2015 tentang

Pemerintahan Daerah dan juga UU NO 33 tahun 2004 tentang Perimbangan

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan UU tersebut, maka

membawa perubahan mendasar pada pola hubungan antara pemerintahan

dan keuangan antara pusat dan daerah.

Pemerintah daerah dalam melaksanakan otonomi, dan dalam

membiayai penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pemerintahannya bersumber

dari APBD, oleh karena itu otomatis pemerintah daerah diberikan hak dalam

menentukan sekaligus mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

3

(APBD) secara efektif, efisien, akuntabel, dan transparan secara

berkesinambungan.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) itu sendiri

merupakan bentuk nyata dari suatu rencana keuangan daerah untuk satu

tahun kerja yang didalamnya terdapat rencana pendapatan atau pnerimaan

daerah serta pengeluaran atau belanja daerah untuk satu tahun tersebut, yang

berpedoman pada peraturan atau ketentuan ketentuan yang berlaku.

Pengelolaan anggaran keuangan daerah, hendaknya mengutamakan

kepentingan publik, jadi dalam rencana penganggaran idealnya pemerintah

daerah mengalokasikan pendapatan daerah lebih banyak ke sektor belanja

pembangunan dari pada belanja rutin atau belanja pegawai. Namun, kendati

demikian fenomena yang sering terjadi di pemerintahan daerah justru

sebaliknya, anggaran pendapatan seringkali tidak mementingkan

kepentingan publik, dan anggaran yang ada kebanyakan dialokasikan untuk

belanja pegawai yang nantinya hanya akan dirasakan oleh pegawai

pemerintahan daerah.

Pemerintah daerah diberikan hak untuk mengatur daerahnya sendiri,

maka pemerintah daerah harus mampu mengelola dan menggali sumber

sumber pendapatan dan potensi daerah otonomnya agar daerah tersebut

dapat maju, sejahtera, dan dapat dinilai mampu dalam menjalankan

tugasnya. Tetapi hal tersebut masih saja menjadi ekspektasi belaka,

dikarenakan masih banyak daerah yang belum mampu menghidupi daerah

otonomnya, hal ini dibuktikan bahwa masih banyaknya daerah yang

4

bergantung kepada pemberian dana dari pemerintah pusat dalam

menjalankan daerah otonomnya. Sehingga dengan fenomena yang seperti

itu, maka yang akan menjadi sorotan publik yaitu kinerja keuangan daerah

yang dibuat oleh aparatur pemerintah sebagai orang yang mempunyai tugas

untuk mengelola keuangan daerah, baik dana yang bersumber dari

masyarakat daerahnya sendiri maupun dari pemerintah pusat. Kinerja

keuangan daerah itu sendiri merupakan kondisi yang menggambarkan suatu

hasil yang di capai dengan penggunaan anggaran daerah pada periode

tertentu. Dikarenakan, kinerja keuangan daerah menjadi sorotan publik,

sementara masih banyak masyarakat yang kurang mampu memahami

laporan keuangan maka dari itu kinerja keuangan sangat penting untuk

dilihat dan diukur dengan hasil yang jelas dan dapat dipahami dengan

mudah. Pengukuran kinerja keuangan daerah menurut Jumingan (2006:

239) “bertujuan untuk, pertama mengetahui keberhasilan pengelolaan

keuangan, kedua untuk mengetahui kemampuan dalam mendayagunakan

semua aset”.

Pengukuran kinerja sendiri bisa dilakukan dengan cara menganalisis

kinerja keuangan daerah. Analisis kinerja keuangan daerah merupakan suatu

analisis yang dilakukan untuk melihat sejauhmana pemerintah daerah telah

menggunakan anggarannya secara baik dan benar. Salah satu cara dalam

mengukur kinerja keuangan pemerintah daerah bisa dilakukan dengan cara

menggunakan rasio keuangan. Dimana analisis kinerja keuangan dengan

menggunakan rasio keuangan dilakukan dengan cara membandingkan hasil

5

yang dicapai dari satu periode dengan periode sebelumnya sehingga dapat

diketahui bagaimana kecenderungan yang terjadi.

Rasio keuangan Menurut Sofyan Syafri (2001: 297) adalah :

“Rasio keuangan adalah angka yang diperoleh dari hasil

perbandingan dari satu pos laporan keuangan dengan pos

lainnya yang mempunyai hubungan yang relevan dan

signifikan (berarti). Rasio keuangan sangat penting dalam

melakukan analisa terhadap kondisi keuangan suatu

perusahaan atau instansi)”.

Salah satu pemerintah daerah yang telah menyelenggarakan otonomi

daerah diantaranya adalah Kota Tasikmalaya. Dalam pengelolaan

keuangannya, Kota Tasikmalaya dinilai masih kurang baik, dan ini terlihat

dari anggaran yang digelontorkan Pemerintah Kota Tasikmalaya untuk

belanja pegawai masih sangat tinggi. Berdasarkan Direktur Jenderal

Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Budiarso mengatakan

bahwa “Belanja pegawai daerah tidak boleh melebihi 50 persen dari

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)” (Sumber : Tempo, 7

Desember 2016-17:50 WIB), karena memang seharusnya anggaran yang

ada harus banyak dipakai untuk kemakmuran masyarakat lewat anggaran

pembangunan, dan sesuai dengan Undang-Undang No. 33 tahun 2004 pasal

66 ayat 1 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah, keuangan daerah harus dikelola secara tertib, taat pada

peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan

bertanggung jawab dengan memperhatikan keadilan, kepatuhan, dan

manfaat untuk masyarakat. Jika anggaran tersebut tidak memperhatikan

kepentingan publik, maka sangat tidak adil untuk masyarakat. Tetapi Kota

6

Tasikmalaya sendiri, dalam pengelolaan anggaran belanja pegawainya

masih jauh dari kata baik, dikarenakan anggaran belanja pegawainya

melebihi 50 persen, dan hal ini terbukti dari data yang telah diolah peneliti

berdasarkan data Laporan Realisasi Anggaran yang ada, untuk lebih

jelasnya, bisa dilihat dari tabel dibawah ini:

Tabel 1.1

Belanja Daerah Kota Tasikmalaya Tahun 2016

BELANJA DAERAH 1,766,515,827,845.60

Belanja Pegawai Tidak Langsung 802,394,935,423.00

Belanja Pegawai Langsung 152,117,379,592.60

Jumlah 954,512,315,015.6

Rasio Belanja Pegawai

=954,512,315,015.6

1,766,515,827,845.60× 100

= 54 %

Sumber : Hasil Analisis (diolah Peneliti) Tahun 2017

Berdasarkan Halim (2004: 189) pola hubungan dan tingkat

kemandirian suatu daerah dalam menjalankan otonomi daerah bisa dilihat

sebagai berikut :

Tabel 1.2

Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah

Kemandirian

Keuangan

Kemandirian (%) Pola Hubungan

Rendah Sekali 0% - 25% Instruktif

Rendah 25% - 50% Konsultatif

Sedang 50% - 75% Partisipatif

Tinggi 75% - 100% Delegatif

7

Berdasarkan hasil pengolahan data yang dilakukan oleh peneliti pada

data Laporan Realisasi Anggaran Kota Tasikmalaya tahun 2014-2016,

ternyata pendapatan asli daerah pemerintah kota Tasikmalaya pada tahun

anggaran 2014-2016 cenderung lebih kecil dibandingkan dengan

pendapatan transfer dari pemerintah pusatnya, sehingga tingkat kemandirian

kota Tasikmalaya pada tahun anggaran 2014-2016 berada pada tingkat

rendah sekali, yaitu 22.16%, 19.08%, dan 18.81%. Oleh karena itu, dapat

disimpulkan bahwa Kota Tasikmalaya pada tahun anggaran 2014-2016

dapat dikatakan tidak mampu dalam menjalakan otonomi daerahnya sendiri.

Tabel 1.3

Realisasi Pendapatan Asli Daerah dan

Pendapatan Transfer Kota Tasikmalaya TA. 2014-2016

Sumber : Hasil Analisis (diolah Peneliti), 2017

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti tertarik

untuk melakukan penelitian dengan menganalisis realisasi Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah. Oleh karena itu peneliti mengambil judul

“ANALISIS KINERJA KEUANGAN ANGGARAN PENDAPATAN

DAN BELANJA DAERAH (APBD) DITINJAU DARI RASIO

KEUANGAN (STUDI KASUS PADA PEMERINTAH KOTA

TASIKMALAYA TA. 2014-2016”.

Tahun

Total

Pendapatan

Asli Daerah

Total Pendapatan

Transfer %

2014 253.429.871.132 1,143,506,296,816.00 22.16 %

2015 242.979.820.517 1,273,121,125,809.00 19.08 %

2016 254.532.699.375 1,352,579,393,583.00 18.81 %

8

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka adapun identifikasi

masalahnya adalah sebagai berikut :

1. Anggaran belanja Kota Tasikmalaya yang digelontorkan oleh pemerintah

lebih banyak untuk belanja pegawai.

2. Realisasi Pendapatan asli daerah Kota Tasikmalaya pada TA. 2014-2016

lebih kecil dibandingkan dengan pendapatan transfer, sehingga dapat

disimpulkan bahwa daerah Kota Tasikmalaya pada TA. 2014-2016

memang tidak mampu menghidupi daerah otonomnya sendiri.

3. Para pengguna laporan keuangan kebanyakan kurang mampu memahami

laporan realisasi anggaran, sehingga perlu dilakukan analisis kinerja

keuangan yang dapat menjadi alat bantu untuk memudahkan para

pengguna laporan keuangan dalam memahami Laporan Realisasi

Anggaran.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang

dihasilkan yaitu : Bagaimana Kinerja Keuangan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah Kota Tasikmalaya ditinjau dari Rasio Keuangan pada Tahun

Anggaran 2014-2016?

9

D. Tujuan Penelitian

Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui

bagaimana kinerja keuangan anggaran pendapatan dan belanja daerah

ditinjau dari rasio keuangan kota Tasikmalaya tahun anggaran 2014 sampai

dengan tahun 2016.

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi sebagai acuan dalam

menilai Kinerja Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dalam

Laporan Realisasi Anggaran berdasarkan perhitungan analisis rasio.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Pemerintah

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan ukuran sejauh mana tingkat

kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kota Tasikmalaya dari waktu ke

waktu selama periode tiga tahun, sehingga pemerintah terpacu untuk

meningkatkan kualitas kinerjanya pada periode-periode berikutnya.

b. Bagi Masyarakat

Penelitan ini diharapkan dapat memberikan informasi secara transparan

kepada masyarakat mengenai laporan pertanggungjawaban APBD yang

dibuat oleh Pemerintah Daerah Kota Tasikmalaya.

c. Bagi Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah literature dan menjadi acuan

penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan Analisis Kinerja APBD.

10

d. Bagi Peneliti

Penelitian ini dapat membantu peneliti untuk memenuhi tugas akhir dan

memberikan pengetahuan bagaimana cara menghitung analisis kinerja

keuangan anggaran pendapatan dan belanja daerah pada laporan realisasi

anggaran, sehingga peneliti mengetahui bagaimana kinerja keuangan

Pemerintah Kota Tasikmalaya dalam mengelola keuangan darah dari tahun

ke tahun.

F. Kerangka Pemikiran

Pemerintah Kota Tasikmalaya dalam mempertanggungjawabkan

tugasnya baik kepada DPRD maupun kepada masyarakat, harus membuat

suatu laporan yang berbentuk laporan keuangan, salah satu bentuk laporan

keuangan ialah laporan realisasi anggaran yang didalamnya memuat

tentang Angggaran dan realisasi Pendapatan dan Belanja Daerah.

Anggaran pendapatan dan Belanja Daerah itu sendiri merupakan suatu

daftar yang memuat perincian sumber-sumber pendapatan daerah dan

jenis jenis pengeluaran daerah dalam jangka waktu satu tahun yang dibuat

secara bersama sama, berpedoman pada aturan yang ada serta berorientasi

kepada kepentingan publik/ masyarakat.

Menurut Moh. Mahsun dkk, (2011:81) Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah adalah :

“Daftar yang memuat rincian penerimaan daerah dan

pengeluaran/belanja daerah selama satu tahun yang

ditetapkan dengan peraturan daerah (Perda) untuk masa satu

tahun. Mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31

Desember”.

11

“Untuk melihat kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi

daerah, salah satunya bisa diukur melalui kinerja/kemampuan keuangan

daerah “(Halim 2004:24).

Menurut Nurlan Darise (2008:51) Kinerja Keuangan adalah

“realisasi pendapatan dan belanja yang disusun berdasarkan basis akrual”.

“Kinerja keuangan adalah suatu analisis yang dilakukan untuk melihat

sejauhmana suatu perusahaan telah melaksanakan dengan menggunakan

aturan-aturan pelaksanaan keuangan secara baik dan benar.” (Irham fahmi

2015: 239)

Dengan demikian, kinerja keuangan APBD dapat diartikan sebagai

gambaran tentang keadaan keuangan suatu daerah dalam kurun waktu atau

periode tertentu. Oleh karena itu Kinerja keuangan APBD berarti

menunjukkan realisasi pendapatan dan belanja suatu daerah dalam

penggunaan anggaran yang menunjukkan seberapa efektif dan efisiennya

daerah dalam mengelola keuangan daerahnya.

Untuk melihat dan mengukur kinerja APBD itu sendiri dapat

dilakukan dengan cara menganalisis Kinerja APBD. Analisis kinerja

APBD bertujuan untuk melihat sejauhmana pemerintah daerah dapat

menggali potensi daerah dan menggunakan dananya dengan efektif dan

efisien.

“Untuk menilai kinerja Pemerintah Daerah dalam mengelola

keuangan daerahnya, antara lain adalah dengan melakukan

analisis rasio keuangan terhadap laporan keuangan Pemda.

Hasil analisis rasio keuangan selanjutnya dipergunakan

sebagai tolak ukur dalam menilai.”(Abdul Halim 2007:230)

12

Dalam penelitian ini menggunakan beberapa rasio keuangan dari

Mahmudi (2007:140-147). Rasio keuangan tersebut diantaranya yaitu Rasio

Derajat Desentralisasi, Rasio Ketergantungan Daerah, Rasio Kemandirian

Keuangan Daerah, Analisis Belanja Operasi terhadap Belanja Daerah,

Analisis Belanja Modal terhadap Belanja Daerah, dan Analisis Efisiensi

Belanja Daerah. Dengan menggunakan beberapa rasio tersebut, maka dapat

diketahui kinerja keuangan Daerah Kota Tasikmalaya, jika semua kinerja

keuangan tersebut menunjukkan hasil angka yang sesuai dengan target dan

standar yang ada, maka dapat dikatakan bahwa kinerja keuangan APBD

tesebut adalah baik.

Gambar 1.1

Paradigma Penelitian

Pemerintah Kota Tasikmalaya

APBD Pemerintah Kota Tasikmalaya TA. 2014-2016

Analisis Kinerja APBD

Mahmudi (2007:140-147)

Analisis Kinerja Pendapatan

Daerah

1. Rasio Derajat Desentralisasi

2. Rasio Ketergantungan Daerah

3. Rasio Kemandirian Keuangan

Daerah

Kinerja Keuangan Pemerintah Kota Tasikmalaya TA.

2014-2016

Mahmudi (2007:140-147)

Analisis Kinerja Belanja Daerah

1. Analisis Keserasian Belanja

a. Analisis Belanja Operasi

terhadap Belanja Daerah

b. Analisis Belanja Modal

terhadap Belanja Daerah

2. Analisis Efisiensi Belanja

Daerah

13