BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang · 2020. 8. 31. · Page 1 of 87 BAB I PENDAHULUAN A. Latar...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang · 2020. 8. 31. · Page 1 of 87 BAB I PENDAHULUAN A. Latar...
-
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017
Page 1 of 87
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri
(UU Hublu) merupakan peraturan perundangan yang mengkodifikasi
praktik penyelenggaraan hubungan luar negeri yang telah dilaksanakan
oleh Pemerintah Republik Indonesia (Pemerintah RI). Undang-Undang
tersebut juga menetapkan norma dan kaidah penyelenggaraan hubungan
luar negeri sebagai implementasi dari ketentuan-ketentuan dasar yang
tercantum dalam Pembukaan maupun Batang Tubuh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) dan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berkenaan dengan
hubungan luar negeri.
Seiring dengan perkembangan domestik di Indonesia dan
perkembangan dunia internasional, disadari bahwa berbagai perkembangan
tersebut menuntut perlunya perubahan terhadap UU Hublu yang sudah
disahkan hampir dua dekade yang lalu. Perkembangan domestik yang
menjadi perhatian antara lain proses reformasi yang melahirkan
pemerintahan yang semakin demokratis, amandemen terhadap UUD NRI
1945, pengesahan berbagai peraturan perundang-undangan nasional
termasuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil
Negara, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan dan
lain-lain, meningkatnya peran pemerintah daerah dan civil society, serta
munculnya kebebasan individu dalam iklim demokrasi. Sedangkan di
tingkat Internasional, peran non-state actors global, perkembangan
teknologi informasi yang sangat pesat yang mengaburkan batas-batas
antar-negara dalam pergaulan internasional, dan kepentingan nasional
yang akan berhadapan dengan regionalisme kiranya perlu pula
mendapatkan perhatian dalam rangka perubahan undang-undang tersebut.
-
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017
Page 2 of 87
Urgensi atas perubahan terhadap UU Hublu dimaksudkan sebagai
upaya untuk semakin menyempurnakan undang-undang tersebut agar
dapat mengantisipasi dan mengakomodasikan berbagai perkembangan yang
terjadi, khususnya untuk melengkapi kodifikasi praktik penyelenggaraan
hubungan luar negeri oleh Pemerintah RI yang belum termuat dalam
undang-undang sebelumnya, serta menetapkan dan mengatur kaidah
hukum baru dalam hubungan luar negeri. Sementara itu ketentuan-
ketentuan yang masih relevan dalam UU Hublu akan tetap dipertahankan,
dan apabila perlu diperkuat.
Revisi UU Hublu diharapkan akan menghasilkan peraturan
perundang-undangan yang implementatif sebagai pedoman bagi Pemerintah
RI dalam menyelenggarakan hubungan luar negeri. Karena itu, pasal-pasal
dalam UU Hublu yang baru diharapkan dapat dioperasionalisasikan di
lapangan. Untuk pasal-pasal yang memuat kaidah atau norma hukum,
ataupun pasal-pasal yang mengatur prinsip dasar dan bersifat umum, perlu
ditindaklanjuti dengan pembentukan peraturan perundang-undangan
dibawahnya. Selain itu, UU Hublu yang baru juga harus dapat memperkuat
dasar dan pedoman penyusunan kebijakan di bidang hubungan luar negeri.
Hubungan luar negeri saat ini mengalami dinamika yang semakin
pesat. Pada saat ini, hampir semua kementerian/lembaga dan pemerintah
daerah juga melaksanakan hubungan luar negeri, dengan tujuan antara
lain untuk mendorong perkembangan dan pembangunan ekonomi. Selain
itu, kompleksitas hubungan luar negeri juga dipengaruhi oleh proliferasi
aturan hukum dan perundang-undangan yang bersinggungan dengan
hubungan luar negeri termasuk sengketa yang lahir dari pelaksanaan
aturan hukum dan perundang-undangan tersebut. Sementara itu,
kemajuan teknologi informasi dan komunikasi memberikan kemudahan
berbagai pihak dalam pelaksanaan hubungan luar negeri. Kondisi ini
mensyaratkan perlunya pengaturan tentang peran Kementerian Luar Negeri
sebagai koordinator hubungan luar negeri. Untuk itu diperlukan penguatan
-
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017
Page 3 of 87
kelembagaan maupun aparatur Kementerian Luar Negeri dalam rangka
koordinasi penyelenggaraan hubungan luar negeri.
Perubahan terhadap UU Hublu juga dimaksudkan untuk menyusun
peraturan perundang-undangan yang terpadu guna memperkuat upaya
memperjuangkan kepentingan nasional sebagaimana diamanatkan
pembukaan UUD NRI 1945 antara lain ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Paparan singkat di atas menegaskan perlunya melakukan Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar
Negeri. Dapat dicatat bahwa Rancangan Undang-Undang tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan
Luar Negeri sudah masuk dalam Daftar Perubahan Program Legislasi
Nasional Rancangan Undang-Undang Tahun 2015-2019 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia Nomor 4/DPR/III/2015-2019 tanggal 26 Januari 2016
dan menjadi prakarsa Pemerintah. Selain itu, Perubahan UU Hublu juga
sudah masuk dalam daftar Rancangan Undang-Undang Usulan Pemerintah
untuk tahun 2017 dalam pembahasan dengan Badan Legislasi DPR pada
bulan November 2016.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, beberapa permasalahan yang
dapat diidentifikasikan, antara lain:
1. Permasalahan apa yang dihadapi dalam pelaksanaan UU Hublu
bagi kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat serta
bagaimana permasalahan tersebut dapat diatasi?
2. Mengapa perlu dilakukan penggantian UU Hublu?
3. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis,
yuridis pembentukan RUU Hubungan Luar Negeri?
-
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017
Page 4 of 87
4. Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan,
jangkauan , dan arah pengaturan RUU Hubungan Luar Negeri?
C. Tujuan dan Kegunaan
Sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan
Naskah Akademik (NA) ini adalah sebagai berikut:
1. Merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan UU
Hublu bagi kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat
serta cara-cara mengatasi permasalahan tersebut.
2. Merumuskan urgensi penggantian UU Hublu tentang Hubungan
Luar Negeri sebagai dasar hukum penyelesaian atau solusi
permasalahan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan
bermasyarakat.
3. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis,
yuridis pembentukan Rancangan Undang-Undang Hubungan Luar
Negeri.
4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup
pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan
Undang-Undang Hubungan Luar Negeri.
Adapun kegunaan dari NA ini adalah sebagai acuan atau referensi
dalam menyusun dan membahas RUU tentang Perubahan atas Undang-
Undang Hubungan Luar Negeri. Perubahan Undang-Undang Hubungan
Luar Negeri ini akan menjadi landasan hukum yang kuat dan menjadi
pedoman untuk menyelenggarakan hubungan luar negeri yang lebih
responsif dalam mengemban tugas sesuai dengan tuntutan kondisi yang
ada, serta menyelaraskan berbagai kegiatan hubungan luar negeri yang
telah diselenggarakan oleh berbagai instansi dan lembaga pemerintah.
D. Metode Penelitian
-
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017
Page 5 of 87
1. Jenis Penelitian
Penyusunan NA revisi UU Hublu pada dasarnya merupakan suatu
kegiatan penelitian sehingga digunakan metode penyusunan Naskah
Akademik yang berbasiskan metode penelitian hukum atau penelitian lain.
Penelitian hukum dapat dilakukan melalui metode yuridis normatif dan
metode yuridis empiris. Metode yuridis empiris dikenal juga dengan
penelitian sosiolegal. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi
pustaka yang menelaah (terutama) data sekunder yang berupa Peraturan
Perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian, kontrak, atau
dokumen hukum lainnya, serta hasil penelitian, hasil pengkajian, dan
referensi lainnya. Metode yuridis normatif dapat dilengkapi dengan
wawancara, diskusi (focus group discussion) dan rapat dengar pendapat.
Metode yuridis empiris atau sosiolegal adalah penelitian yang diawali
dengan penelitian normatif atau penelaahan terhadap peraturan
perundang-undangan (normatif) yang dilanjutkan dengan observasi yang
mendalam serta penyebarluasan kuesioner untuk mendapatkan data faktor
non-hukum yang terkait dan yang berpengaruh terhadap peraturan
perundang-undangan yang diteliti.
2. Teknik Pengumpulan Data dan Sumber Data
Penelitian yuridis normatif merupakan suatu penelitian kepustakaan
yang dilakukan dengan meneliti data atau dokumen. Penelitian yuridis
normatif dilakukan dengan meneliti ketentuan-ketentuan yang ada di
dalam peraturan perundang-undangan, konvensi internasional, dan
literatur terkait.
Penelitian empiris menggunakan data atau dokumen yang bersifat
primer. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari
penelitian lapangan atau narasumber. Data primer diperoleh melalui
berbagai kegiatan focus group discussion yang membahas secara mendalam
-
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017
Page 6 of 87
berbagai topik yang telah dipersiapkan sebelumnya dengan mengundang
beberapa narasumber, yaitu akademisi, praktisi, dan mantan duta besar.
3. Waktu dan Lokasi Penelitian
Waktu penelitian dilakukan sejak tahun 2013 hingga 2016, dengan
berbagai lokasi di Indonesia apabila berhubungan dengan kerja sama
internasional yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Selain itu, dilakukan
juga pengamatan selama melakukan perundingan-perundingan
internasional, termasuk pengamatan intensitas beban kerja pada
Perwakilan Republik Indonesia (Perwakilan) yang menangani perlindungan
Warga Negara Indonesia (dengan jumlah Tenaga Kerja Indonesia banyak)
dan melakukan perbandingan dengan Perwakilan lainnya yang memiliki
beban kerja yang berbeda.
4. Teknik Penyajian dan Analisis Data
Hasil penelitian dijabarkan secara deskriptif analitis dan preskriptif.
Analitis deskriptif, yaitu mendeskripsikan fakta-fakta yang ada, kemudian
dilakukan analisis berdasarkan hukum positif maupun teori-teori yang ada.
Analisis deskriptif tertuju pada pemecahan masalah yang ada. Pelaksanaan
metode deskriptif ini tidak terbatas hanya sampai pada tahap pengumpulan
dan penyusunan data tetapi meliputi analisis dan interpretasi tentang arti
data itu sendiri.1 Sifat preskriptif bahwa penelitian mengemukakan
rumusan regulasi yang diharapkan untuk menjadi alternatif
penyempurnaan norma-norma serta sistem pengaturannya di masa yang
akan datang.
1 Soejono dan Abdurrahman, Metode Penelitian Hukum, cetakan kedua (Jakarta:
Rineka Cipta, 2003), hlm 22.
-
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017
Page 7 of 87
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. Kajian Teoritis
Hubungan luar negeri merupakan gabungan implementasi dari
beragam disiplin ilmu yang dipraktikkan dalam hubungan antarnegara atau
masyarakat dalam panggung internasional. Hubungan luar negeri pada
dasarnya merupakan interaksi keseharian atau dinamika masyarakat tetapi
dengan cakupan yang lebih universal.
Beberapa kajian seperti Morgenthau dengan bukunya Politik Antar
Bangsa2, adalah salah satu contoh analisa spesifik terkait politik
internasional dan hubungan luar negeri. Demikian juga dengan Holsti
dengan bukunya, The State, War and the State of War3. Dua contoh tersebut
merupakan beberapa kajian yang membahas persoalan hubungan luar
negeri dilihat dari kaca mata aliran Realisme. Beberapa kajian lainnya
dilakukan dengan menggunakan paradigma atau aliran berbeda seperti
Keohane4 dan Ruggie5 dengan pandangan Liberalismenya, atau Alexander
Wendt dengan pandangan Konstruktivismenya6.
Grotian atau Rasionalis menggambarkan sistem internasional sebagai
hubungan kerja sama antarnegara. Meskipun dipersepsikan bahwa dunia
2 Morgenthau, Hans J., Politik Antar Bangsa, terjemahan S. Maimoen, (Jakarta: YOI,
1990). 3 Kalevi J. Holsti., The State, war, and the State of War, (Cambridge: CUP, 1996). 4 salah satu tulisan Keohane adalah (bersama) Joseph S. Nye Jr., “Power and Interdependence in the Information Age”, Foreign Affairs, Vol.77/5, (September/October 1998). 5 John G. Ruggie., Multilateralism: The anatomy of Institutions, International Organization, Vol. 46, No. 3 (Summer, 1992).
6 beberapa pandangan konstruktivisme Wendt dapat ditelusuri dalam beberapa karyanya, seperti: Alexander Wendt. Constructing International Politics, International Security, Vol.20. No.1, (Summer 1995); Social Theory of International Politics, (Cambridge: Cambridge University Press, 1999); “The Agent – Structure Problem in International Reklations Theory”, International Organization, Vol.41/3, (Summer, 1987)
-
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017
Page 8 of 87
ini anarkis dan penuh konflik, tetapi masyarakat internasional masih bisa
ditata melalui berbagai kesepakatan. Pemikiran ini menitikberatkan pada
kerja sama, hukum, diplomasi, atau institusi internasional. Oleh sebab itu
sistem internasional tidak bebas dari nilai dan moral. Setiap negara diikat
oleh etika pergaulan agar negara-negara tersebut tetap dihormati oleh
negara lain. Pemikiran ini memandang pentingnya law and order dan juga
ethics. Para ahli yang termasuk dalam kelompok pemikiran ini adalah
Locke, Burke, Castlereagh, Gladstone, Roosevelt, dan Churchill yang
mempelopori berdirinya Liga Bangsa-Bangsa.
Berbeda dengan Realisme, baik Pluralisme, Grotian, maupun
Rasionalisme tidak melihat negara sebagai satu-satunya aktor dalam
panggung politik internasional. Aktor lain yang juga memiliki peran penting
dan signifikan, meskipun tidak sekuat negara, adalah NGO internasional,
perusahaan multinasional, organisasi antarnegara, dan lain-lain. Pemikiran
ini juga tidak menjadikan keamanan sebagai isu utama melainkan pada
ekonomi yang memungkinkan negara-negara lebih mudah untuk
melakukan kerjasama daripada isu keamanan militer yang cenderung kaku.
Untuk membantah asumsi Realis yang cenderung tidak mempercayai
adanya saling kejujuran antarnegara dalam bekerjasama yang berakibat
pada minimnya hasil, atau bahkan nihil, pemikiran ini berasumsi bahwa
berbagai kecurangan tersebut dapat diantisipasi dengan adanya manajemen
dan distribusi informasi serta ditegakkannya monitoring yang bisa
memberikan sanksi bagi para pelaku curang. Kerjasama tersebut tidaklah
harus selalu membuahkan hasil optimal karena hasil bukan merupakan
satu-satunya keinginan yang hendak diraih, tetapi proses kerjasama itulah
yang lebih penting.
Kantian atau Revolusionalis menolak pandangan Machiavelian dan
Grotian. Bagi pengikut Kantian, sistem internasional tidak hanya
dimonopoli oleh interaksi negara saja sebagai aktornya tetapi juga
dilakukan oleh masyarakat sebagai salah satu unsur pembentuk negara.
Pada akhirnya masyarakat internasional yang menentukan arah interaksi
-
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017
Page 9 of 87
dalam sistem internasional ini. Meskipun sependapat dengan pandangan
moralitas internasional, konsepsi mereka berbeda dengan Grotian yang
mengharuskan negara untuk berperilaku baik sebagai anggota sistem
internasional. Kantian menekankan pada imperatif revolusioner yang
memaksa setiap manusia untuk bekerja demi persaudaraan bersama.
Realisme dan pluralisme mewarnai perdebatan teori hubungan
internasional pada 1970-an. Oleh sebab itu, dibandingkan keduanya,
globalisme relatif baru serta memiliki pemikiran yang berbeda. Meskipun
pemikiran ini menghadirkan harapan titik temu diantara perbedaan
pandangan, namun tetap tidak memiliki preskripsi yang lengkap untuk
menjawab berbagai persoalan ketimpangan masyarakat internasional,
pemikiran ini sampai saat ini kurang menjadi rujukan utama dalam
analisis internasional.
Realisme Pluralisme Globalisme
Unit
Analisa
Negara Negara dan
bukan negara
Kelas, negara,
masyarakat dan aktor
bukan negara
merupakan bagian
dari sistem kapitalis
dunia
Aktor Negara Negara yang
kemudian
tersebar pada
berbagai
komponen dan
aktivitasnya
bisa berskup
transnasional
Hubungan
internasional dilihat
dari perspektif
sejarah, khususnya
mengenai kontinuitas
pembangunan
kapitalisme dunia
Dinamika
Behavioral
Negara
merupakan
Proses
pembuatan
Difokuskan pada pola
dominasi yang terjadi
-
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017
Page 10 of 87
aktor rasional
yang selalu
berupaya
memaksimalkan
pencapaian
kepentingan
nasionalnya
yang melalui
kebijakan luar
negerinya
kebijakan luar
negeri dan
transnasional
yang meliputi
konflik,
bargaining,
koalisi dan
kompromi
tidak harus
selalu
membuahkan
hasil yang
optimal.
dalam masyarakat
Isu Keamanan
nasional
Multiple agenda
dimana
kesejahteraan
atau
sosioekonomi
merupakan isu
yang lebih
penting
daripada
keamanan
nasional
Faktor-faktor
ekonomi merupakan
isu yang paling
penting
Tabel Asumsi Utama Pemikiran Internasional
Sumber: Paul R. Viotti and Mark V. Kauppi. International Relations
Theory; Realism, Pluralism, Globalism, Second Edition, (Massachusetts:
Allyn and Bacon, 1993), hal.10
Kemudian terdapat sebuah pendekatan atau aliran yang relatif baru
yaitu konstruktivisme. Konstruktivisme pada dasarnya lahir sebagai kritik
atas pemikiran neo-Realis yang sangat strukturalis. Disamping itu juga,
-
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017
Page 11 of 87
Konstruktivisme memiliki kritikan terhadap paradigma neo-Liberalis.
Perdebatan berfokus pada siapa yang sesungguhnya memiliki peranan
paling dominan dalam mengkreasi sistem internasional.
Pada awalnya, Konstruktivis tidak menjadikan dan mengakui negara
sebagai unit analisa dan aktor sebagaimana halnya Globalisme atau
Strukturalisme. Bagi Konstruktivis, aktor utama adalah individu yang
memiliki kekuatan untuk mengendalikan atau mempengaruhi perspektif
internasional. Pada tahap selanjutnya, setelah menghadapi berbagai kritik
luas dan evaluasi ulang terhadap hal tersebut, para pemikir Kontruktivis
mengakui posisi negara baik sebagai aktor maupun unit analisa dengan
catatan bahwa itu terjadi setelah berbagai permasalahan yang terjadi di
bawah negara telah selesai
B. Kajian Terhadap Asas/Prinsip Yang Terkait Dengan Penyusunan Norma
Pelaksanaan hubungan luar negeri Indonesia diselenggarakan
berdasarkan Konstitusi khususnya yang termaktub dalam Pembukaan UUD
1945 yang didasari juga oleh asas dan prinsip dalam teori hubungan
maupun hukum internasional. Hubungan luar negeri dimaksud
diselenggarakan sesuai dengan politik luar negeri, peraturan perundang-
undangan nasional, dan hukum serta kebiasaan internasional.
Pada dasarnya prinsip dan asas tersebut secara umum telah
digambarkan dalam UU Hublu. Namun demikian, perkembangan konstelasi
politik, ekonomi, sosial-budaya, serta pertahanan dan keamanan dunia
berkembang dengan cepat. Situasi ini memberikan dampak terhadap
pelaksanaan hubungan luar negeri antara Indonesia dengan negara mitra
maupun aktor lainnya dalam hubungan internasional.
Perkembangan ini perlu ditanggapi secara strategis dan konstruktif
untuk terlibat dalam upaya mewujudkan amanat Konstitusi. Hal ini
-
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017
Page 12 of 87
menjadi dasar untuk memperkuat UU Hublu sehingga pelaksanaan
hubungan luar negeri Indonesia dapat terselenggara dengan lebih efektif.
Penguatan UU Hublu ini dilakukan untuk mencakup secara komprehensif
sektor-sektor substantif yang spesifik, hubungan kelembagaan, dan
pengaturan aparatur penyelenggara hubungan luar negeri.
Sehubungan dengan hal tersebut, penyempurnaan dan penguatan
asas serta prinsip bagi penyelenggaraan hubungan luar negeri baik dari
kaca mata hubungan internasional maupun hukum internasional dalam
penguatan UU ini adalah sebagai berikut:
1. Prinsip Kebijakan Luar Negeri Yang Bebas Aktif Dalam
Memperjuangan Kepentingan Nasional.
Penggunaan istilah “politik luar negeri” setelah dilakukan pengkajian
tidak tepat karena memberikan kesan bahwa arah kebijakan luar negeri
hanya dibidang politik saja. Dalam prakteknya nuansa politis muncul pada
saat, antara lain: (1) menentukan perlu tidaknya membuka atau menutup
suatu hubungan diplomatik dengan negara lain; (2) keputusan untuk
masuk atau keluar dari suatu organisasi internasional; (3) pembuatan
perjanjian dengan negara lain atau organisasi internasional; (4) keputusan
untuk turut serta dalam suatu traktat atau konvensi atau persetujuan
internasional dalam bidang-bidang tertentu; dan (5) pembukaan kantor
perwakilan asing atau organisasi internasional di Indonesia.
Dalam perkembangan globalisasi saat ini, hubungan luar negeri
mencakup berbagai aspek mulai dari politik, ekonomi, keamanan,
pertahanan hingga peningkatan people-to-people contact.
2. Prinsip Koordinasi Kepada Menteri Yang Menangani Urusan Luar
Negeri
-
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017
Page 13 of 87
Berdasarkan UUD NRI 1945, Presiden sebagai penentu kebijakan
hubungan luar negeri (foreign policy and foreign relations) memberikan
mandat kepada Menteri Luar Negeri sebagai koordinator. Berdasarkan hal
tersebut, seluruh penyelenggaraan hubungan dan kerja sama luar negeri
yang dilaksanakan oleh unsur Pemerintah Pusat dan Daerah harus
dikonsultasikan kepada Menteri Luar Negeri.
Dalam kerangka perlindungan WNI dan BHI di luar negeri, Bab V UU
Hublu menjabarkan kewajiban Perwakilan RI untuk memberikan
perlindungan kepada warga Negara Indonesia di luar negeri, baik pada
kondisi normal/umum (Pasal 19) maupun pada kondisi khusus adanya
ancaman nyata (Pasal 21). Pada praktik yang ditemui di lapangan,
pemberian perlindungan kepada WNI seringkali tidak dapat dilakukan
sendiri oleh Perwakilan RI, melainkan memerlukan bantuan dan peran
serta dari Kementerian dan Lembaga terkait di Indonesia. Sebagai contoh,
(1) dalam penanganan perdagangan manusia, WNI yang teridentifikasi oleh
Perwakilan RI sebagai korban perlu mendapatkan fasilitasi lanjutan dari
instansi terkait di Indonesia, antara lain: perlindungan di dalam negeri dari
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, serta kelanjutan proses hukum
dari Kepolisian dan Kejaksaan RI; (2) Dalam penanganan bencana alam,
perang atau konflik politik di negara lain, pemulangan WNI dari wilayah
tersebut oleh Perwakilan RI juga memerlukan fasilitasi dari instansi terkait
di Indonesia, seperti: Badan Nasional Penanggulangan Bencana, TNI, dan
Kepolisian RI.
Bantuan dan peran serta Kementerian dan Lembaga terkait di
Indonesia dirasakan sangat penting dalam mendukung tugas perlindungan
yang dijalankan oleh Perwakilan RI di luar negeri. Namun demikian, guna
memastikan tugas perlindungan tersebut dapat dilaksanakan dengan
lancar, efektif, dan sejalan dengan kepentingan nasional Indonesia, maka
revisi UU Hublu yang dilakukan kiranya dapat menekankan bahwa seluruh
upaya perlindungan WNI di luar negeri dikomandoi oleh Menteri yang
-
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017
Page 14 of 87
dilimpahkan wewenang penyelenggaraan hubungan luar negeri dan politik
luar negeri, dalam hal ini Menteri Luar Negeri.
3. Prinsip Kebijakan Satu Pintu Di Perwakilan Republik Indonesia Di
Luar Negeri
Perwakilan Republik Indonesia (Perwakilan RI) di luar negeri
merupakan perpanjangan tangan Presiden dalam meningkatkan kerja sama
luar negeri untuk sebesar-besarnya kemakmuran Rakyat. Untuk
memastikan pelaksanaan hubungan luar negeri yang selaras dengan fungsi
tersebut, maka sangatlah penting agar seluruh urusan hubungan luar
negeri di bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, serta pertahanan dan
keamanan, dilakukan melalui kebijakan satu pintu, yaitu melalui
Perwakilan RI di luar negeri.
4. Prinsip Satu Anggaran (Unified Budget).
Penyelenggaraan administrasi negara yang efektif merupakan tujuan
utama dari prinsip satu anggaran ini. Hal ini untuk memastikan tata kelola
pemerintahan yang efektif, akuntabel dan transparan. Dengan demikian,
prinsip tanggung-jawab tunggal dalam hal manajemen, keuangan, dan
pelaporan seluruh unsur perwakilan RI di luar negeri harus dilaksanakan
melalui mekanisme satu pintu.
5. Prinsip Non-Diskriminasi Dalam Memberikan Perlindungan Kepada
WNI Di Luar Negeri.
Pemberian perlindungan WNI di luar negeri sebaiknya tidak
membedakan status, apakah WNI tersebut merupakan TKI ataupun non-
TKI. Keberadaan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri
terkesan menimbulkan dualisme dan pembedaan dalam pemberian
perlindungan kepada WNI di luar negeri, khususnya kepada TKI.
-
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017
Page 15 of 87
Perlindungan kepada TKI sebaiknya hanya pada masa pra-penempatan dan
pasca-penempatan, sedangkan pada masa penempatan di luar negeri, rezim
yang berlaku sebaiknya hanya UU Hublu atau UU nasional yang terkait
dengan WNI (antara lain UU Kewarganegaraan, UU Administrasi
Kependudukan, dan UU Hak Asasi Manusia).
Selain itu, perlu ada pembatasan sampai sejauh mana perlindungan
dapat diberikan kepada WNI khususnya terkait masalah TKI yang terancam
hukuman mati di Arab Saudi. Jika yang bersangkutan memang terbukti
bersalah melakukan tindak pidana, apakah dapat dibebaskan dengan
memberikan uang jaminan/diyat dengan menggunakan anggaran
perlindungan. Hal ini perlu dibahas lebih lanjut dan diatur dalam revisi UU
Hublu.
6. Asas Timbal Balik
Dalam hubungan internasional dikenal asas resiprositas atau asas
timbal balik, yaitu adanya hubungan timbal balik yang saling
menguntungkan antar negara yang mengadakan hubungan. Dalam
prakteknya, asas ini selain diterapkan dalam pemberian fasilitas
diplomatik, juga diterapkan dalam diplomasi seperti pada pembukaan
perwakilan diplomatik/konsuler dan penempatan Home staff di negara
penerima.
7. Prinsip Selektif, Biaya dan Manfaat (Cost and Benefit)
Prinsip ini diterapkan sebagai bahan pertimbangan untuk masuk
atau keluarnya Indonesia dalam suatu organisasi internasional.
C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi Yang Ada, Serta Permasalahan Yang Dihadapi Masyarakat
A. Aspek Kelembagaan Kondisi Saat Ini (Das Sein)
Perwakilan RI adalah lembaga pemerintah yang memiliki tugas untuk
memperjuangkan kepentingan bangsa, negara dan pemerintah pada
-
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017
Page 16 of 87
negara/wilayah akreditasi dan/atau organisasi internasional. Sesuai
dengan Pasal 7 UU Hublu dan Pasal 51 Peraturan Presiden Nomor 56
Tahun 2015 tentang Kementerian Luar Negeri, pelaksanaan tugas dan
fungsi Perwakilan RI berada di bawah koordinasi Kementerian Luar Negeri
sebagai koordinator penyelenggaraan hubungan luar negeri dan
pelaksanaan politik luar negeri.
Struktur organisasi di Perwakilan RI terdiri dari unsur Home Staff
dan Pegawai Setempat (Local Staff). Adapun unsur Home Staff adalah
sebagai berikut:
a. Unsur Pimpinan (Kepala Perwakilan dan Wakil Kepala Perwakilan)
b. Unsur Pelaksana Utama (Pejabat Fungsional Diplomat dari unsur
Kementerian Luar Negeri) dan Unsur Pelaksana Tambahan (Atase
Pertahanan/Atase Teknis/Staf Teknis/Pejabat Teknis lainnya dari
unsur K/L teknis)
c. Unsur Penunjang yaitu Penata Kanselerai yang berasal dari Jabatan
Fungsional Penata Kanselerai dan Petugas Komunikasi yang berasal
dari Jabatan Fungsional Pengelola Teknologi Informasi dan Komunikasi
Diplomatik atau Jabatan Fungsional Sandiman.
Pelaksanaan tugas dan fungsi operasional di Perwakilan RI dilakukan
oleh Unsur Pelaksana. Pendekatan yang dilakukan dalam pelaksanaan
tugas dan fungsinya adalah functional base. Sementara unsur yang
memberikan support administrasi adalah Unsur Penunjang. Pendekatan
functional base mengandung makna bahwa pelaksanaan tugas oleh Unsur
Pelaksana dilakukan berdasarkan Fungsi. Pembagian Fungsi didasarkan
pada sektor kerja sama antara Indonesia dengan negara akreditasi atau
penanganan isu-isu yang dikelompokkan menjadi 4 (empat) besaran, yaitu
Fungsi Politik (kecuali di Perwakilan Konsuler), Fungsi Ekonomi, Fungsi
Sosial dan Budaya, dan Fungsi Protokol dan Konsuler.
Sesuai dengan core tugas Perwakilan RI, maka Unsur Pelaksana
Utama dalam pelaksanaan operasional Perwakilan adalah Pejabat
-
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017
Page 17 of 87
Fungsional Diplomat yang berasal dari unsur Kementerian Luar Negeri.
Pejabat Fungsional Diplomat adalah Jabatan Fungsional Tertentu dimana
Kementerian Luar Negeri merupakan instansi pembinanya. Core tugas
jabatan dari Jabatan Fungsional Diplomat adalah melaksanakan diplomasi
guna memperjuangkan kepentingan bangsa, negara, dan pemerintah
Indonesia dengan negara-negara mitra dan/atau organisasi internasional
melalui representing, negotiating, promoting, reporting, protecting, dan
managing.
Dalam kondisi tertentu, Menteri dapat mengangkat pejabat dari K/L
teknis untuk mengemban tugas sebagai Unsur Pelaksana Tambahan pada
Perwakilan RI dengan jabatan Atase Pertahanan/Atase Teknis/Staf
Teknis/Pejabat Teknis. Tugas dari Atase Pertahanan/Atase Teknis/Staf
Teknis/Pejabat Teknis adalah membantu Unsur Pelaksana Utama (Pejabat
Fungsional Diplomat) dalam melaksanakan tugas Perwakilan RI yang
bersifat teknis-sektoral dan berkesinambungan sehingga memerlukan
keahlian pejabat dengan kompetensi teknis tertentu bagi penanganannya.
Permohonan kebutuhan pembentukan formasi Atase
Pertahanan/Atase Teknis/Staf Teknis/Pejabat Teknis seharusnya diajukan
oleh Perwakilan RI dan bukan dari K/L teknis, karena yang mengetahui
kebutuhan nyata di lapangan adalah Perwakilan RI itu sendiri. Namun yang
seringkali terjadi justru sebaliknya. K/L Teknis yang mengajukan
pembentukan formasi Atase Pertahanan/Atase Teknis/Staf Teknis/Pejabat
Teknis di Perwakilan RI. Padahal sudah ada parameternya jika akan
membentuk formasi baru, antara lain:
a. Bobot Misi Perwakilan RI
Bobot misi Perwakilan adalah indikator yang menunjukkan prioritas
kepentingan nasional yang harus diperjuangkan oleh Perwakilan RI di
Negara Penerima. Pengkajian didasarkan pada bobot misi Perwakilan
RI yang mengacu pada beban masing-masing fungsi pada Perwakilan
RI sesuai dengan indeks masing-masing Perwakilan. Indeks Perwakilan
-
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017
Page 18 of 87
merupakan skala penilaian 1 sampai dengan 5 untuk menentukan
bobot misi, derajat hubungan, komposisi dan jumlah staf Perwakilan
dengan menggunakan tolok ukur kepentingan nasional.
b. Intensitas Derajat Hubungan
Derajat hubungan adalah tingkat intensitas hubungan dan kerja sama
antara Indonesia dengan Negara Penerima yang didasarkan pada
kepentingan nasional. Pengkajian dilakukan dengan melihat intensitas
kerja sama dengan Negara Penerima pada bidang yang diusulkan oleh
K/L termasuk potensi perkembangannya untuk saat ini dan proyeksi
ke depan.
c. Kebutuhan nyata
Pengkajian dititikberatkan pada sejauh mana kehadiran pejabat
tersebut memenuhi kebutuhan nyata Perwakilan, sesuai dengan
kondisi obyektif di lapangan, serta kebutuhan Perwakilan RI terhadap
technical/special expertise untuk penanganan bidang/isu tertentu
pada Perwakilan RI.
Pengkajian dilakukan untuk melihat kebutuhan nyata terhadap sejauh
mana technical/special expertise serta pelaksanaan tugas dan fungsi
yang diemban oleh Atase Pertahanan/Atase Teknis/Staf
Teknis/Pejabat Teknis bersifat rutin/permanen, sehingga
kehadirannya mutlak diperlukan guna menangani isu-isu terkait
secara berkesinambungan, terus-menerus, dan tidak tumpang tindih
atau duplikasi dengan pelaksanaan tugas dan fungsi Pejabat
Diplomatik dan Konsuler.
d. Asas manfaat
Asas manfaat merujuk kepada sejauhmana pelaksanaan tugas dan
fungsi yang dilakukan oleh pejabat yang bersangkutan memberikan
manfaat dan dampak yang nyata (outcome) bagi kepentingan nasional
serta mendukung visi dan misi Perwakilan RI.
-
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017
Page 19 of 87
e. Asas Timbal Balik
Pengkajian juga dilakukan dengan pertimbangan prinsip timbal balik
(resiprositas) penempatan Atase Pertahanan/Atase Teknis/Staf
Teknis/Pejabat Teknis lainnya di bidang yang sama oleh negara asing
di Indonesia.
f. Pertimbangan Komposisi Dan Jumlah Staf Perwakilan RI
Pejabat Diplomatik dan Konsuler merupakan pelaksana utama
kegiatan diplomatik di Perwakilan RI. Apabila dipandang perlu, dapat
dipertimbangkan untuk dibentuk Atase Pertahanan/Atase Teknis/Staf
Teknis/Pejabat Teknis lainnya sebagai unsur pelaksana. Terkait
dengan komposisi dan jumlah staf Perwakilan RI, Vienna Convention on
Diplomatic Relations 1961 mengatur jika tidak diperjanjikan
sebelumnya, maka Negara Penerima memiliki kewenangan untuk
mengatur jumlah komposisi perwakilan asing sesuai kewajaran,
bahkan Negara Penerima dapat menolak untuk menerima pejabat
dalam kategori tertentu.
g. Analisis Beban Kerja
Dalam kondisi tertentu, terkait dengan usulan pembukaan formasi
Atase Pertahanan/Atase Teknis/Staf Teknis/Pejabat Teknis, akan
dikaji pula beban kerja dari pejabat yang bersangkutan. Hal ini
bertujuan untuk melihat keperluan pembentukan formasi asisten
Atase Pertahanan/Atase Teknis/Staf Teknis, dan melihat sejauhmana
pemberian dukungan cukup dilakukan oleh Pegawai Setempat pada
Perwakilan RI.
Hal utama yang perlu dicatat adalah ketentuan Vienna Convention on
Diplomatic Relations Tahun 1961 yang mengatur bahwa kewenangan untuk
menyatakan persetujuan akhir adalah negara penerima/pemerintah
setempat. Dikatakan di dalam Vienna Convention on Diplomatic Relations
bahwa jika tidak diperjanjikan sebelumnya, maka Negara Penerima
-
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017
Page 20 of 87
memiliki kewenangan untuk mengatur jumlah komposisi perwakilan asing
sesuai kewajaran, bahkan Negara Penerima dapat menolak untuk
menerima pejabat dalam kategori tertentu.
Kondisi yang diharapkan (Das Sollen)
Atase Pertahanan/Atase Teknis/Staf Teknis/Pejabat Teknis, secara
administratif dan operasional merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Perwakilan RI. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, Atase
Pertahanan/Atase Teknis/Staf Teknis/Pejabat Teknis berada di bawah
koordinasi Fungsi terkait dan bertanggung jawab kepada Kepala Perwakilan
RI. Sebagai contoh: Atase Pertahanan berada di bawah koordinasi Fungsi
Politik; Atase Perdagangan berada di bawah koordinasi Fungsi Ekonomi;
Atase Imigrasi berada di bawah koordinasi Fungsi Protokol dan Konsuler;
Atase Pendidikan berada di bawah koordinasi Fungsi Sosial dan Budaya;
dan seterusnya.
Atase Pertahanan/Atase Teknis/Staf Teknis/Pejabat Teknis wajib
menyampaikan laporan rutin kepada Kepala Perwakilan RI dan
mengoordinasikannya dengan Fungsi terkait. Setiap bentuk laporan Atase
Pertahanan/Atase Teknis/Staf Teknis/Pejabat Teknis yang akan
disampaikan ke Pusat harus melalui legalisasi Kepala Perwakilan RI.
Laporan menggunakan format laporan berdasarkan standar yang telah
ditetapkan oleh Kementerian Luar Negeri. Laporan disampaikan oleh Kepala
Perwakilan RI kepada Menteri Luar Negeri dan kepada K/L teknis terkait.
Atase Pertahanan/Atase Teknis/Staf Teknis/Pejabat Teknis wajib
membuat Perjanjian Kinerja dengan Kepala Perwakilan RI mengenai target
misi yang ingin dicapai setiap tahunnya. Kepala Perwakilan RI wajib
menyampaikan hasil evaluasi kinerja tahunan Atase Pertahanan/Atase
Teknis/Staf Teknis/Pejabat Teknis kepada Menteri Luar Negeri dan K/L
teknis pejabat bersangkutan.
-
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017
Page 21 of 87
Formasi Atase Pertahanan/Atase Teknis/Staf Teknis/Pejabat Teknis
pada Perwakilan RI dapat dievaluasi sewaktu-waktu berdasarkan
assessment kebutuhan Perwakilan RI terkait. Evaluasi dilakukan oleh
Kementerian Luar Negeri melalui konsultasi dengan Kementerian PANRB
dan K/L pejabat bersangkutan.
Anggaran bagi pelaksanaan tugas dan fungsi Perwakilan RI beserta
seluruh unsur di dalamnya, termasuk Atase Pertahanan/Atase Teknis/Staf
Teknis/Pejabat Teknis, baik itu anggaran untuk Belanja Barang
Operasional (BBO) maupun Belanja Barang Non Operasional (BBNO) adalah
anggaran Perwakilan RI (single-budgeting policy). Pengalokasian dilakukan
di bawah koordinasi Kementerian Luar Negeri. Tata cara
penempatan/penarikan Home Staff Perwakilan RI diatur lebih lanjut di
dalam Peraturan Menteri Luar Negeri. Hal ini sejalan dengan kebijakan
money follow functions yang akan mengefisienkan pengalokasian anggatan
dan menghindari overlapping tugas/fungsi/kegiatan.
Saat ini Kementerian Luar Negeri tengah melakukan penataan
terhadap organisasi Perwakilan RI. Sesuai mandat Peraturan Presiden
Nomor 56 Tahun 2015, Kementerian Luar Negeri harus melakukan analisis
jabatan dan analisis beban kerja pada Perwakilan. Hal ini mengkondisikan
Kementerian Luar Negeri untuk meninjau kembali keorganisasian yang ada
di Perwakilan RI dengan segala unsur di dalamnya, termasuk unsur Atase.
Sesuai dengan mandat dari Kementerian PANRB, perlu dilakukan
reformasi birokrasi di Perwakilan RI dengan mengarahkan organisasi
Perwakilan menjadi organisasi yang ramping, tepat fungsi, dan tepat
ukuran, sehingga dapat berjalan efektif dan efisien. Postur kelembagaan
Perwakilan RI tidak harus selalu berkembang, namun harus didasarkan
kepada prinsip dynamic governance. Kementerian PANRB juga menekankan
-
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017
Page 22 of 87
agar Kemenlu dapat menyusun kriteria yang rinci dan rigid terhadap kapan
suatu Perwakilan membutuhkan Pejabat Teknis dan kapan tidak. Kapan
formasi dapat dibuka dan pada kondisi seperti apa maka formasi dapat
ditutup.
B. Praktik Perlindungan WNI/BHI
Kondisi saat ini (Das Sein)
Berdasarkan database e-perlindungan yang dimiliki oleh Kementerian
Luar Negeri, tercatat per Januari 2017 terdapat sebanyak 2.919.261 WNI
yang berada di luar negeri. Jumlah tersebut tidaklah bersifat mutlak
mengingat banyaknya WNI yang tidak melaporkan diri ke Perwakilan RI di
negara setempat. Besarnya jumlah WNI di luar negeri tentunya membawa
konsekuensi yang berbanding lurus dengan permasalahan WNI di luar
negeri.
Pada periode 20 Oktober 2015 hingga 20 Oktober 2016, setidaknya
terdapat 15.748 kasus WNI di luar negeri, yang meliputi; kasus pidana
(1.111 kasus), kasus perdata (27), kasus keimigrasian (10.414), kasus
ketenagakerjaan (2.344), dan kasus-kasus lainnya (1.851). Dari jumlah
tersebut, sebanyak 10.243 kasus (65%) dapat diselesaikan oleh
Kementerian Luar Negeri dan Perwakilan RI di luar negeri. Sementara,
5.505 (35%) kasus lainnya masih berjalan dan terus ditangani.
Dari jumlah tersebut di atas, terdapat beberapa kasus dengan
karakteristik khusus, seperti: permasalahan WNI ABK kapal penangkap
ikan di luar negeri, permasalahan terkait haji, umroh, dan ziarah
keagamaan lainnya, penyanderaan WNI, repatriasi, tindak pidana
perdagangan orang, terorisme, perang dan konflik politik, dan
permasalahan TKI.
-
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017
Page 23 of 87
Terkait permasalahan WNI ABK, pada umumnya kasus-kasus yang
ditangani meliputi: sengketa upah, perlakuan tidak manusiawi dan kondisi
kerja yang tidak baik, tindak pidana dan dokumentasi, sengketa kontrak
kerja atau perjanjian kerja laut, kompetensi dan pengetahuan yang tidak
memadai, asuransi dan permasalahan administrasi. Setidaknya, dalam
kurun waktu 20 Oktober 2015 hingga 20 Oktober 2016, terdapat 441 kasus
WNI ABK, dimana 210 kasus diantaranya (48%) berhasil diselesaikan,
sementara sisanya masih terus ditindaklanjuti.
Permasalahan terkait haji, umroh dan ziarah keagamaan lainnya
merupakan permasalahan WNI di luar negeri yang cukup unik dan
membutuhkan penanganan khusus. Pada pertengahan Agustus 2016,
masyarakat dikejutkan oleh pencekalan 177 WNI calon haji dan penahanan
106 WNI jamaah haji pengguna paspor Filipina pada periode 22-29
September 2016, oleh Otoritas Imigrasi Filipina. Tidak berhenti di situ, pada
tanggal 8 September 2016 juga terjadi penangkapan 229 WNI yang hendak
menunaikan ibadah haji di daerah Aziziyah, Mekkah terkait dengan
pelanggaran keimigrasian. Seluruhnya berhasil ditangani dengan baik oleh
Kementerian Luar Negeri dan Perwakilan RI di Arab Saudi, seluruh WNI
bisa dipulangkan kembali ke Indonesia, tanpa perlu menghadapi tuntutan
hukum dari otoritas di Filipina maupun Arab Saudi. Padahal jelas yang
dilakukan oleh para WNI tersebut adalah pelanggaran hukum negara
setempat.
Penyanderaan WNI juga menjadi salah satu fenomena baru dalam
dinamika perlindungan WNI di luar negeri. Sepanjang tahun 2016, dan
dalam kurun waktu lima bulan (Maret-Agustus), telah terjadi lima kali
insiden penyanderaan terhadap total 32 orang WNI ABK di Filipina Selatan.
Selain penyanderaan WNI di Filipina, Pemerintah Indonesia juga menangani
penyanderaan WNI ABK Kapal Naham 3 oleh perompak di Somalia yang
telah berlangsung sejak Maret 2012.
-
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017
Page 24 of 87
Program repatriasi, atau yang sering disebut dengan pemulangan,
WNI overstayers (WNIO) atau TKI undocumented (TKIU) juga dicanangkan
oleh Presiden Joko Widodo pada 17 Desember 2014. Program tersebut
dimaksudkan untuk memulangkan secara bertahap sekitar 1,8 juta
WNIO/TKIU yang tersebar di berbagai negara, terutama di Malaysia, Arab
Saudi dan Timur Tengah, kembali ke Indonesia.
Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di luar negeri
juga tidak luput dari perhatian Kementerian Luar Negeri dan Perwakilan RI
di luar negeri. Selama periode 2012 sampai dengan 12 Juni 2016, sebanyak
2.118 WNI korban TPPO telah dipulangkan dan mendapatkan penanganan
di Indonesia.
Dinamika keamanan global juga turut mempengaruhi kerja
perlindungan WNI di luar negeri. Sepanjang tahun 2016, intensitas
serangan teror yang terjadi di seluruh penjuru dunia semakin meningkat.
Aksi keji para teroris terjadi di berbagai penjuru dunia; seperti Paris,
Istanbul, Brussels hingga Orlando. Hal ini tentunya berimbas pada
keselamatan WNI, dan bahkan dalam banyak kasus terdapat indikasi
keterlibatan WNI sebagai bagian dari kelompok teror.
Turbulensi politik di berbagai penjuru dunia masih menjadi salah
satu faktor yang mengancam keselamatan dan keamanan WNI di luar
negeri. Beberapa negara di Timur Tengah seperti Yaman, Suriah, Libya, Irak
dan Sudan masih terus bergejolak. Konflik politik yang berkepanjangan
kemudian melahirkan perang saudara, kerusuhan horizontal hingga aksi
terorisme. Padahal masih cukup banyak WNI yang berada di wilayah Timur
Tengah, baik sebagai TKI maupun pelajar/mahasiswa.
-
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017
Page 25 of 87
Berbagai macam kejadian buruk menimpa para WNI di luar negeri.
Meskipun mayoritas kasus WNI di luar negeri masih didominasi oleh kasus
TKI, khususnya mereka yang bekerja di sektor domestik, namun beberapa
kasus WNI non-TKI juga dapat dijadikan pelajaran tersendiri dalam
khazanah perlindungan WNI di luar negeri. Pemerintah dituntut bukan
hanya dapat memberikan perlindungan kepada WNI yang menjadi korban
tindak kejahatan, tapi juga memastikan proses hukum yang adil dan non-
diskriminatif kepada WNI yang menjadi pelaku tindak kejahatan.
Bentuk perlindungan yang dilakukan sangat beragam, mulai dari
pelayanan kekonsuleran (pembuatan paspor, visa, legalisasi dokumen, dan
lain sebagainya), pendampingan hukum, hingga mengambil alih tanggung
jawab yang seharusnya menjadi beban pemberi kerja/penyalur atau
WNI/TKI itu sendiri; membiayai pemulangan, biaya pengobatan, hingga
biaya pengacara. Berbagai bentuk perlindungan tersebut, yang bahkan
banyak diantaranya dilakukan beyond state responsibility, tentunya
menjadi beban tersendiri, tidak hanya pada anggaran negara, namun juga
mereka yang melakukan perlindungan WNI di luar negeri, baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Kondisi yang diharapkan (Das Sollen)
a. Batasan Perlindungan
Tekanan media yang begitu tinggi diiringi dengan desakan
masyarakat menciptakan persepsi akan adanya kewajiban Pemerintah
untuk memberikan perlindungan tanpa batas. Sementara itu, ketentuan
hukum yang ada baik pada tataran internasional maupun nasional juga
tidak menyediakan panduan yang jelas mengenai upaya-upaya apa saja
yang wajib dilakukan Pemerintah dalam memberikan perlindungan
terhadap warga negaranya di luar negeri. Padahal, perlu dipahami bahwa
perlindungan yang diberikan tentunya berdasarkan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku baik berdasarkan hukum nasional, hukum
setempat, maupun hukum internasional. Artinya, dalam upaya pemberian
-
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017
Page 26 of 87
perlindungan terhadap warga negaranya di luar negeri, Pemerintah tidak
dapat mengintervensi hukum negara lain, dan begitu pula sebaliknya.
Praktik pemberian perlindungan berbeda-beda di setiap negara,
tergantung ketentuan nasional masing-masing negara, serta tunduk pada
pembatasan yang diberikan oleh hukum internasional. Indonesia, meskipun
belum memiliki panduan jelas mengenai pemberian perlindungan, pada
praktiknya selama ini telah memberikan perlindungan secara lebih luas,
jika dibandingkan dengan praktik negara-negara lain, khususnya negara-
negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris atau Australia. Pemberian
perlindungan secara lebih luas ini mempertimbangkan antara lain
perbedaan karakteristik WNI di luar negeri dengan warga negara asing lain.
WNI di luar negeri mayoritas berasal dari kalangan menengah ke bawah,
bergender perempuan dan memiliki tingkat pendidikan yang relatif rendah.
Hal ini berbeda dengan karakteristik warga negara lain yang mayoritas
berasal dari kalangan menengah ke atas, dan memiliki tingkat pendidikan
relatif lebih tinggi.
Atas pertimbangan tersebut, dipandang perlu untuk menciptakan
suatu batasan perlindungan sebagai pedoman Pemerintah dalam
memberikan perlindungan kepada WNI di luar negeri. Batasan ini tentu
tidak harus sama seperti batasan yang dibuat oleh negara lain, namun
menyesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia, serta
menerjemahkan keinginan umum yang timbul di masyarakat tentang
bagaimana seharusnya praktik perlindungan warga negara oleh Pemerintah
dilakukan. Namun demikian, batasan ini juga seyogyanya dapat dibuat
dengan memperhatikan prinsip dasar perlindungan warga negara, dimana
Pemerintah tidak mengambil alih tanggung jawab pidana atau perdata WNI.
Batasan ini sekaligus untuk mengedukasi masyarakat bahwa WNI
bertanggung jawab atas setiap tindakan yang diperbuatnya. Artinya, tidak
setiap akibat tindakannya dapat dialihkan kepada orang lain apalagi
Pemerintah. Prinsip ini sesuai dengan amanat UUD NRI 1945 yang
-
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017
Page 27 of 87
menyatakan bahwa Pemerintah melindungi segenap bangsa Indonesia,
namun juga memiliki kewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
b. Perlindungan WNI dalam Kondisi Khusus (Bencana Alam, Perang dan Konflik)
Berbeda dengan penanganan kondisi darurat di dalam negeri yang
memiliki prosedur penanganan secara teknis dan terlembaga dengan baik,
pengaturan penanganan WNI di luar negeri yang menghadapi kondisi
darurat, seperti bencana alam, perang ataupun konflik, belum memiliki
pengaturan secara jelas. Padahal hal ini telah menjadi kebutuhan nyata
yang harus segera diatur. Pengaturan ini mutlak dibutuhkan sebagai
pedoman dan juga pertanggungjawaban perlindungan yang diberikan oleh
Pemerintah Indonesia kepada WNI di luar negeri yang menghadapi kondisi
darurat.
c. Pemisahan Isu Perlindungan WNI dengan Isu Perlindungan BHI
Selain melindungi kepentingan WNI, Pemerintah juga memiliki
kewajiban untuk melindungi kepentingan Badan Hukum Indonesia (BHI) di
luar negeri. Kewajiban ini pada tingkat nasional diatur dalam Pasal 18 UU
Hublu, dan pada tingkat internasional tercantum dalam Pasal 5 butir (a)
Konvensi Vienna 1963 tentang Hubungan Konsuler.
Meskipun kewajiban perlindungan terhadap WNI dan BHI
disejajarkan dalam pengaturan yang sama, sifat dan praktik pemberian
perlindungan WNI dan BHI merupakan dua hal yang berbeda. Pemberian
perlindungan terhadap WNI pada prinsipnya adalah upaya guna menjamin
pemenuhan hak individu tersebut oleh negara tujuan, yang dilaksanakan
dalam berbagai bentuk, antara lain: pemberian bantuan kekonsuleran dan
pemberian pendampingan serta bantuan hukum. Di lain pihak, pemberian
perlindungan terhadap BHI lebih menekankan pada aspek promosi dan
kemudahan berusaha, yang dilaksanakan dalam bentuk: penyediaan
-
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017
Page 28 of 87
informasi pasar (market intelligence), fasilitasi kemudahan perizinan, atau
fasilitasi guna mempertemukan business demand di negara tujuan dengan
business supply yang tersedia di Indonesia.
Atas pertimbangan tersebut, perlindungan terhadap BHI dinilai perlu
untuk diatur secara terpisah dari bab perlindungan terhadap WNI, guna
dapat mengoptimalkan pemberian perlindungan terhadap BHI.
3. Aspek Organisasi Internasional
Kondisi saat ini (Das Sein)
Pengaturan mengenai keanggotaan Indonesia pada Organisasi
Internasional secara komprehensif diatur oleh Keputusan Presiden Nomor
64 Tahun 1999 Tentang Keanggotaan Indonesia dan kontribusi Pemerintah
RI pada Organisasi-Organisasi Internasional.
Perlu menjadi catatan bahwa Keppres tersebut lahir pada saat krisis
ekonomi 1998 yang mana pada saat itu Pemerintah tidak dapat membayar
seluruh kontribusi pada OI karena hampir seluruh tagihan dalam mata
uang asing. Dengan adanya Keppres tersebut, pembayaran kontribusi Pemri
pada OI yang semula dilakukan oleh instansi penjuru, kini dilakukan satu
pintu oleh Kemenlu, agar pembayarannya dapat dilakukan berdasarkan
skala prioritas pemerintah. Keppres tersebut juga tidak berkaitan dengan
UU Hublu dan UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
karena kedua UU tersebut lahir setelah diterbitkannya Keputusan Presiden
Nomor 64 Tahun 1999.
Pada sisi lain, seiring dengan pemulihan ekonomi Indonesia,
perubahan kebijakan pemerintah seperti prinsip money follows programs,
serta terbitnya UU Hublu dan UU PI yang lebih tinggi hirarkis peraturan
perundang-undangannya, Keppres tersebut saat ini tengah mengalami
revisi khususnya pada definisi OI dan Kontribusi Pemri. Oleh karena itu,
sejalan dengan hal tersebut, revisi UU Hublu khususnya yang terkait
-
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017
Page 29 of 87
dengan norma keanggotaan Indonesia pada OI dapat dituangkan secara
umum, luwes, namun tetap dapat memberikan ruang untuk mengakomodir
prinsip-prinsip keanggotaan Indonesia dan kontribusi Pemerintah RI pada
OI antara lain keangotaan Indonesia dan kontribusi Pemerintah RI pada OI
dilakukan berdasarkan prinsip cost and benefit, mempertimbangkan
manfaat, efektivitas, besarnya kontribusi, kedudukan dan peranan
Indonesia dan kondisi keuangan negara
Kondisi yang diharapkan (Das Sollen)
Peran serta Indonesia dalam dunia internasional, termasuk
keanggotaan Indonesia pada OI, merupakan suatu keniscayaan. selain
karena merupakan amanat alinea keempat Pembukaan UUD NRI Tahun
1945, agar pemerintah RI ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, peran
serta Indonesia dalam dunia internasional merupakan salah satu upaya
untuk mencapai kepentingan nasional Indonesia di tengah semakin
kompleksnya kondisi dunia saat ini.
Khusus mengenai pengaturan keanggotaan Indonesia pada OI,
diharapkan agar keanggotaan Indonesia pada OI dapat dimanfaatkan
semaksimal mungkin untuk pencapaian kepentingan nasional antara lain
mencakup:
- Keanggotaan Indonesia pada OI dilakukan dengan mempertimbangkan
manfaat yang diperoleh serta dilakukan berdasarkan asas cost and
benefit.
- Instansi yang menjadi penjuru keanggotaan Indonesia pada OI dapat
didorong untuk melakukan optimalisasi keanggotaan Indonesia pada OI
yang diikuti.
Terkait revisi UU Hublu, terdapat dua hal yang diharapkan dapat
terakomodir dalam revisi UU Hublu, yaitu:
- Mempertahankan definisi OI sebagaimana UU Hublu yaitu ’organisasi
antar-pemerintah’. Hal ini sejalan dengan prinsip money follows
-
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017
Page 30 of 87
programs dan pengelolaan kontribusinya juga dibatasi menjadi
kontribusi keanggotaan saja.
- Merevisi Pasal 9 ayat (1) UU Hublu agar persetujuan masuknya
Indonesia pada OI oleh DPR dilakukan secara selektif dan hanya
dibatasi pada hal-hal yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi
harkat hidup rakyat seperti masalah politik, perdamaian, pertahanan
dan keamanan negara, perubahan wilayah atau penetapan batas
wilayah RI, kedaulatan, HAM, lingkungan hidup, pembentukan kaidah
hukum baru atau pinjaman/hibah luar negeri.
4. Aspek Kerja Sama Daerah
Kondisi saat ini (Das Sein)
Pada awalnya kerja sama internasional yang dijalani Pemerintah
Daerah (Pemda) lebih pada tataran bilateral (misalnya sister city dan sister
province, promosi perdagangan dan sebagainya). Pada perkembangannya
terdapat kecenderungan meluasnya cakupan dan intensitas kerja sama
Pemda ke tataran multilateral (misalnya pembentukan Mayor for Peace,
Global Covenant of Mayor for Climate and Energy, serta undangan
berpartisipasi pada konferensi internasional).
UU Hublu tidak memuat pengaturan mengenai kerja sama
internasional oleh daerah, namun hanya mengandung referensi singkat
mengenai “daerah” pada bagian Ketentuan Umum. Saat ini sedang dibahas
rancangan Peraturan Pemerintah mengenai teknis kerja sama internasional
yang dilakukan oleh Pemda.
Kondisi yang diharapkan (Das Sollen)
Mengingat hal-hal tersebut diatas kedepan diharapkan agar
ketentuan-ketentuan umum terkait penyelenggaraan kerja sama
internasional oleh daerah dapat menjadi pedoman dan penegasan peran
Kemlu terkait koordinasi dan konsultasi daerah dapat diatur dalam revisi
-
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017
Page 31 of 87
UU Hublu agar terdapat keselarasan kerja sama luar negeri oleh daerah
dengan Polugri RI
5. Aspek Kerja Sama Teknik
Kondisi Saat ini (Das Sollen)
Kerja Sama Teknik (KST) telah menjadi salah satu aset Polugri yang
penting. KST merupakan salah satu bentuk kontribusi nyata Indonesia bagi
masyarakat internasional antara lain melalui triangular coorperation dan
pengembangan kapasitas bagi negara kurang berkembang. Namun
demikian, pengaturan mengenai KST belum masuk dalam revisi UU Hublu.
Kondisi yang diharapkan (Das Sein)
Dalam rangka menegaskan peranan sentral Kemlu bahwa KST
merupakan salah satu bentuk perwujudan Polugri, perlu dipertimbangkan
untuk memasukkan ketentuan umum mengenai KST pada naskah revisi
UU Hublu.
1. Aspek Penjelasan Cakupan Hubungan Luar Negeri Dan Hubungan Dengan Organisasi Internasional
Kondisi saat ini (Das Sein)
Dalam UU Hublu tidak ada pengaturan jelas dan tegas mengenai
cakupan dari hubungan luar negeri. Hal tersebut pada gilirannya
menimbulkan ketidakjelasan ruang lingkup yang diatur dalam hubungan
luar negeri.
Selain itu, hubungan dengan organisasi internasional memiliki
praktik yang berbeda dengan hubungan bilateral dengan negara lain. Hal
tersebut belum secara jelas digambarkan dalam UU Hublu.
Kondisi yang diharapkan (Das Sollen)
-
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017
Page 32 of 87
Revisi UU Hublu perlu untuk mencakup hal-hal yang diatur dalam
berbagai UU lain yang terkait dengan hubungan luar negeri seperti
Perdagangan, Perindustrian, Keamanan Negara, dan lain-lain.
Terkait hubungan dengan organisasi internasional, diperlukan
pengaturan bahwa Kementerian Luar Negeri merupakan koordinator dalam
melakukan hubungan dengan organisasi-organisasi internasional.
2. Aspek Pemberian Fasilitas Diplomatik
Kondisi Saat ini (Das Sein)
Praktik pemberian fasilitas diplomatik pada saat ini didasarkan pada
hukum nasional masing-masing negara. Hal ini terutama terlihat jelas pada
pengenaan pajak kepada Perwakilan Negara Asing. Ketentuan bahwa negara
pengirim harus menghormati dan mematuhi peraturan negara penerima
ditetapkan dalam Pasal 41 Konvensi Wina tahun 1961. Sementara itu,
Pemerintah RI saat ini masih mengedepankan hukum internasional
sebagaimana diatur dalam Pasal 34 Konvensi Wina tahun 1961 dimana
Pemerintah RI selaku negara penerima memberikan fasilitas pembebasan
pajak.
Situasi demikian pada gilirannya menyebabkan ketidakseimbangan
pemberian fasilitas diplomatik antara Pemerintah RI dengan negara sahabat
yang memiliki Perwakilan di Indonesia. Ketidakseimbangan ini berpotensi
merugikan negara. Salah satu faktor yang mendukung terjadinya kondisi
demikian adalah lemahnya koordinasi antara K/L terkait dengan
Kementerian Luar Negeri yang memiliki data pemberian fasilitas diplomatik
yang diterima Perwakilan RI di negara sahabat.
Kondisi yang diharapkan (Das Sollen)
Untuk memastikan pemberian fasilitas diplomatik yang seimbang
dipandang perlu untuk menempatkan Kementerian Luar Negeri sebagai
koordinator dalam hal pemberian fasilitas diplomatik dan acuan
pengambilan keputusan bagi K/L terkait. Pemberian fasilitas diplomatik
-
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017
Page 33 of 87
yang melebihi standar umum kepada Perwakilan Negara Asing
dimungkinkan sepanjang dilakukan melalui Perjanjian Bilateral dan
berdasarkan asas timbal balik.
3. Aspek Perjanjian Internasional
Kondisi saat ini (Das Sein)
Kompleksitas hubungan luar negeri juga dipengaruhi oleh proliferasi
aturan hukum dan perundang-undangan nasional yang bersinggungan
dengan hubungan luar negeri termasuk sengketa yang lahir dari
pelaksanaan aturan hukum dan perundang-undangan tersebut. Misalnya
RUU Pertembakauan yang masuk prolegnas 2017 mengandung beberapa
ketentuan yang bertentangan dengan komitmen Indonesia di berbagai
instrumen hukum internasional di WTO.
Sebagai akibat dari dinamika ini, muncul berbagai sengketa antara
negara dengan non-state actor seperti MNCs. Hal ini tidak lepas dari fakta
bahwa pelaksanaan suatu perjanjian internasional terkadang terbentur
dengan aturan hukum nasional.
Selama ini belum ada rujukan dasar hukum yang mengatur siapa
yang menjadi koordinator apabila terjadi sengketa yang timbul dari suatu
perjanjian internasional (treaty based dispute). Praktik selama ini,
koordinator penyelesaian sengketa adalah K/L yang menangani perjanjian
internasional dimaksud. Di sisi lain, Kementerian Luar Negeri menurut
peraturan perundang-undangan memiliki satuan kerja setingkat eselon 1
yang mempunyai tugas dan fungsi untuk menangani penyelesaian sengketa
yang timbul dari suatu perjanjian internasional.
Kondisi yang diharapkan (Das Sollen)
Kegiatan pembuatan, pengawasan, evaluasi, termasuk penyelesaian
sengketa yang bersumber dari perjanjian internasional tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Oleh karena itu, diperlukan suatu norma
-
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017
Page 34 of 87
hukum yang tegas mengenai hal ini. Pengaturan hal ini sebaiknya diatur
dalam revisi UU Hublu yang baru.
4. Aspek Aparatur Hubungan Luar Negeri
Kondisi Saat Ini (Das Sein)
Sesuai dengan core tugas Perwakilan RI, Unsur Pelaksana Utama
dalam pelaksanaan operasional Perwakilan adalah Pejabat Fungsional
Diplomat yang berasal dari unsur Kementerian Luar Negeri. Pejabat
Fungsional Diplomat adalah Jabatan Fungsional Tertentu dimana
Kementerian Luar Negeri merupakan instansi pembinanya. Core tugas
jabatan dari Jabatan Fungsional Diplomat adalah melaksanakan diplomasi
guna memperjuangkan kepentingan bangsa, negara, dan pemerintah
Indonesia dengan negara-negara mitra dan/atau organisasi internasional
melalui representing, negotiating, promoting, reporting, protecting, dan
managing.
Di dalam UU Hublu saat ini, terdapat istilah Pejabat Dinas Luar
Negeri (PDLN). Pasal 31 dan Pasal 32 UU Hublu sama-sama memberikan
definisi untuk istilah PDLN tersebut. Pasal 31 menyebutkan bahwa PDLN
adalah Pegawai Negeri Sipil yang telah mengikuti pendidikan dan latihan
khusus untuk bertugas di Departemen Luar Negeri dan Perwakilan RI.
Kemudian Pasal 32 menyebutkan bahwa PDLN adalah Pejabat Fungsional
Diplomat. Pejabat Fungsional Diplomat dapat memegang jabatan struktural
selain sebagai jabatan fungsional. Tahun 2014 lalu, telah diterbitkan UU
kepegawaian yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Menurut UU ASN, seorang PNS
tidak dapat memegang jabatan struktural dan jabatan fungsional pada saat
yang bersamaan. UU ASN tidak mengenal istilah PDLN dan praktek selama
ini di Kemlu dan Perwakilan RI dimana seorang Pejabat Fungsional
Diplomat dapat memegang jabatan struktural dan fungsional pada saat
yang bersamaan, tidak dapat diterima di dalam UU ASN.
-
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017
Page 35 of 87
Kondisi Yang Diharapkan (Das Sollen)
Jabatan Fungsional Diplomat memiliki karakter khusus karena
diadopsi dari sistem jenjang kepangkatan diplomatik yang berlaku di
seluruh dunia. Terdapat delapan jenjang kepangkatan mulai dari yang
terendah, Atase, hingga yang tertinggi, Duta Besar. Jenjang kepangkatan
diplomatik ini digunakan khususnya ketika seorang diplomat akan bertemu
dengan counterpart-nya dari negara sahabat. Ketika seorang Eselon II
melepas jenjang kepangkatan diplomatiknya, yang bersangkutan tidak
dapat bertemu dengan counterpart-nya padahal pertemuan dimaksud
membutuhkan pengambilan keputusan tingkat Eselon II. Karena
kekhususannya ini, sifat dari Jabatan Fungsional Diplomat harus tertutup.
Jabatan struktural di Kemlu juga tidak dapat dijabat oleh pejabat selain
Jabatan Fungsional Diplomat dikarenakan sifat Kemlu sebagai koordinator
hubungan luar negeri dan politik luar negeri. ASN dari K/L lain yang ingin
pindah ke Kemlu untuk menjabat dalam jabatan struktural, harus menjadi
pejabat fungsional diplomat terlebih dahulu.
D. Kajian Terhadap Implikasi Sistem Baru Yang Akan Diatur Dalam Undang-Undang Terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat Dan
Dampaknya Terhadap Aspek Beban Keuangan Negara
1. Aspek Kelembagaan
Sistem money follows function dan single budgeting policy di Perwakilan
akan membuat sistem anggaran menjadi lebih efektif dan efisien. Sistem
tersebut juga akan menciptakan suatu sistem yang lebih terkoordinir
dan terpadu.
2. Aspek Perlindungan WNI/BHI
Pembangunan sistem database yang terintegrasi dengan berbagai K/L.
Perlindungan WNI akan lebih ditekankan/difokuskan kepada warga
negara.
3. Aspek Organisasi Internasional
-
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017
Page 36 of 87
Dengan penerapan asas selektif, biaya dan manfaat (cost and benefit),
keikutsertaan Indonesia dalam suatu OI tidak hanya didasarkan pada
aspek politik namun pada manfaat yang akan diperoleh Indonesia dari
OI tersebut.
4. Aspek Kerja Sama Daerah
Penegasan bahwa daerah dapat melakukan kerja sama internasional
dengan pemerintah daerah/lembaga di luar negeri, namun bukan untuk
membuat suatu perjanjian internasional.
5. Aspek Kerja Sama Teknik
Peningkatan hubungan Indonesia dengan negara sahabat melalui
program-program Kerja Sama Teknik. Penegasan kedudukan
Kementerian Luar Negeri untuk mengkoordinasi kerja sama teknik
dengan negara lain. Terbentuknya suatu badan yang menangani kerja
sama teknik sebagai badan dari diplomasi Indonesia.
6. Aspek Pemberian Fasilitas Diplomatik
Terkoordinasinya pemberian fasilitas diplomatik di bawah kewenangan
Kementerian Luar Negeri sesuai kebiasaan dan hukum internasional
yang berlaku.
7. Aspek Perjanjian Internasional
Penegasan bahwa Menlu mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan yang
berhubungan dengan perundingan (negosiasi) dalam pembuatan norma
hukum dan perjanjian internasional, meliputi pembuatan perjanjian
internasional (penetapan posisi perundingan, surat kepercayaan dan
surat kuasa), monitoring pelaksanaan perjanjian internasional, evaluasi
pelaksanaan perjanjian internasional, dan penyelesaian sengketa yang
timbul dari perjanjian internasional dan hukum internasional lainnya.
-
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017
Page 37 of 87
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
TERKAIT
1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik beserta Protokol Opsionalnya
Mengenai Hak Memperoleh Kewarganegaraan (Vienna Convention on
Diplomatic Relations and Optional Protocol to the Vienna
Convention on Diplomatic Relations Concerning Acquisition of
Nationality), 1961 dan Pengesahan Konvensi Mengenai Hubungan
Konsuler beserta Protokol Opsionalnya Mengenai Hak Memperoleh
Kewarganegaraan (Vienna Convention on Consular Relations and
Optional Protocol to the Vienna Convention on Consular Relations
Concerning Acquisition of Nationality), 1963 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 2, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3211)
Konvensi yang mencerminkan pelaksanaan hubungan diplomatik
ini ditujukan untuk meningkatkan hubungan persahabatan antara
bangsa-bangsa di dunia tanpa membedakan ideologi ataupun sistem
politik. Konvensi ini menetapkan aturan, antara lain memberikan hak-
hak istimewa dan kekebalan diplomatik guna kelancaran pelaksanaan
fungsi perwakilan diplomatik sebagai wakil negara. Konvensi ini
mengatur mengenai hubungan konsuler, hak-hak istimewa, dan
kekebalan-kekebalannya.
Hak istimewa dan kekebalan tersebut diberikan guna menjamin
pelaksanaan fungsi perwakilan konsuler secara efisien. Konvensi ini
mengatur antara lain hubungan konsuler pada umumnya, fasilitas,
hak-hak istimewa, dan kekebalan kantor perwakilan konsuler, pejabat
-
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017
Page 38 of 87
konsuler, dan anggota perwakilan konsuler lainnya serta tentang
pejabat-pejabat konsul kehormatan dan konsulat-konsulat kehormatan.
Baik Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik, maupun
Konvensi Wina mengenai Hubungan Konsuler masing-masing dilengkapi
dengan Protokol Opsional mengenai Hak memperoleh kewarganegaraan
dan Protokol Opsional mengenai Penyelesaian Sengketa Secara Wajib.
Dalam hal ini, Indonesia telah menerima seluruh isi Konvensi Wina
mengenai Hubungan Diplomatik beserta Protokol Opsionalnya dan
Konvensi Wina mengenai Hubungan Konsuler beserta Protokol
Opsionalnya, kecuali Protokol Opsional mengenai Penyelesaian Sengketa
secara wajib. Pengecualian ini disebabkan karena Pemerintah RI lebih
mengutamakan penyelesaian sengketa melalui perundingan dan
konsultasi atau musyawarah antara negara-negara yang bersengketa.
Protokol Opsional mengenai Hak Memperoleh Kewarganegaraan
mengatur bahwa anggota-anggota perwakilan diplomatik dan
perwakilan konsuler yang bukan warga negara penerima dan
keluarganya tidak akan memperoleh kewarganegaraan negara penerima
tersebut semata-mata karena berlakunya hukum di negara penerima
tersebut.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, terkait dengan Ketentuan
Pasal 16 UU Hublu mengenai kekebalan diplomatik perlu diperjelas
pengaturan mengenai pemberian kekebalan, hak istimewa dan
pembebasan dari perwakilan asing dan para diplomatnya di Indonesia.
2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Misi Khusus (Convention on Special Missions), New York,
1969 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 3;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3212)
-
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017
Page 39 of 87
Undang Undang Nomor 2 Tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi
mengenai misi Khusus adalah salah satu dasar hukum atau pedoman
bagi Negara Indonesia dalam melaksanakan hubungan luar negeri.
Undang-undang ini adalah ratifikasi atau pengesahan atas Konvensi
Misi Khusus, New York 1969, yang telah diterima dan disahkan oleh
PBB pada tanggal 8 Desember 1969 di New York.
Konvensi ini menentukan aturan-aturan hukum yang berlaku untuk
pengiriman dan penerimaan misi khusus, yaitu misi ke negara lain
dengan persetujuan negara tersebut, dengan tujuan mengenai masalah
khusus atau menjalankan hal-hal yang berhubungan dengan tugas
khusus. Dalam konvensi ini juga terdapat protokol opsional mengenai
kewajiban untuk menyelesaikan pertikaian atau sengketa secara wajib.
Pokok-pokok materi yang diatur dalam Konvensi New York 1969
mengenai Misi Khusus adalah sebagai berikut:
a. Pengertian istilah-istilah yang dipergunakan dalam konvensi ini.
1) Misi Khusus (special mission) adalah suatu misi yang bersifat
sementara, mewakili negara, yang dikirim oleh suatu negara ke
negara lain atas persetujuan negara terakhir untuk tujuan
menyelesaikan persoalan khusus.
2) Misi Diplomatik Permanen (Permanent diplomatic mission) adalah
suatu misi diplomatik dalam artian seperti yang tercantum pada
konvensi Wina mengenai hubungan diplomatik.
3) Pos Konsuler (consular post) adalah suatu konsulat jenderal,
konsulat, wakil konsulat atau perwakilan konsulat.
4) Kepala Misi Khusus (head of a special mission) adalah orang yang
diberi kekuasaan oleh negara pengirim melakukan tugas untuk
bertindak dalam kapasitas itu.
5) Seorang wakil negara pengirim (representative of the sending
state in the special mission) dalam misi khusus adalah setiap
orang, yang oleh negara pengirim diberi tugas untuk bertindak
dalam kapasitas itu.
-
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017
Page 40 of 87
6) Anggota-anggota misi khusus (member of a special mission)
adalah kepala misi khusus, wakil-wakil negara pengirim di
dalam misi khusus, dan anggota-anggota staf misi khusus.
7) Anggota-anggota staf misi khusus (member of the staff of the
mission) adalah anggota-anggota staf diplomatik, staf
administrasi dan teknik serta staf pelayanan khusus.
8) Anggota-anggota staf diplomatik (members of the diplomatic staff)
adalah anggota-anggota staf misi khusus yang mempunyai
status diplomatik untuk keperluan misi khusus.
9) Anggota-anggota staf administrasi dan teknik (members of the
administrative and technical staff) adalah anggota-anggota staf
misi khusus yang dipekerjakan dalam pelayanan administrasi
dan teknik misi khusus.
10) Anggota-anggota staf pelayanan (members of the service staff)
adalah anggota-anggota staf misi khusus, yang dipekerjakan
sebagai pekerja rumah tangga atau tugas-tugas serupa.
11) Staf pribadi (private staff) adalah orang-orang yang dipekerjakan
khusus dalam pelayanan pribadi anggota-anggota misi khusus.
b. Tugas dan Fungsi Misi Khusus
1) Tugas misi khusus ini, sudah ditegaskan dalam Pasal 2
konvensi, bahwa tugas misi khusus ditentukan oleh persetujuan
bersama antara negara pengirim dan negara penerima.
2) Kepala misi khusus atau jika negara pengirim tidak mengangkat
seorang kepala, seorang wakil negara pengirim, yang oleh negara
itu ditunjuk berhak bertindak atas nama misi khusus dan untuk
menyampaikan komunikasi kepada negara penerima. Negara
penerima menyampaikan komunikasi yang menyangkut misi
khusus kepada kepala misi khusus atau jika tidak ada, kepala
utusan yang disebut di atas, baik secara langsung maupun lewat
misi diplomatik permanen.
3) Namun, seorang misi khusus dapat diberi kuasa oleh negara
pengirim, oleh kepala misi khusus atau wakil yang disebut di
-
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017
Page 41 of 87
atas, baik mengganti kepala misi atau wakil di atas atau
melakukan tindakan tertentu atas nama misi (Pasal 14).
Dalam UU Hublu pengaturan mengenai pembukaan kantor
perwakilan baik diplomatik, kantor konsulat maupun perwakilan tetap
di organisasi internasional hanya di atur dalam Pasal 9 ayat (2) UU
Hublu. Kedepannya perlu dikaji lagi dalam revisi UU Hublu, apakah
perlu ada pengaturan yang lebih spesifik.
3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (United
Nations Convention on the Law of the Sea), (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 76, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3319) (perlu dihapus)
Bagi bangsa Indonesia konvensi ini mempunyai arti penting karena
untuk pertama kali konsep Negara Kepulauan yang selama bertahun-
tahun diperjuangkan Indonesia telah berhasil memperoleh pengakuan
resmi masyarakat internasional. Pengakuan resmi konsep negara
kepulauan ini merupakan hal yang penting dalam rangka mewujudkan
satu kesatuan wilayah sesuai dengan Deklarasi Djuanda 13 Desember
1957 dan Wawasan Nusantara sebagaimana termaktub dalam
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang GBHN yang
menjadi dasar perwujudan bagi kepulauan Indonesia sebagai satu
kesatuan politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
Berdasarkan konvensi ini, Negara Kepulauan dapat menarik garis
dasar/pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar
pulau-pulau dan karang kering terluar kepulauan itu. Selain itu, Negara
Kepulauan wajib menetapkan garis-garis dasar/pangkal kepulauan
pada peta dengan skala yang cukup untuk menetapkan posisinya. Peta
atau daftar koordinat geografi tersebut harus diumumkan sebagaimana
-
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017
Page 42 of 87
mestinya dan satu salinan dari setiap peta atau daftar tersebut harus
didepositkan pada PBB.
Dengan diakuinya asas Negara Kepulauan maka perairan yang
dahulu merupakan bagian dari laut lepas kini menjadi perairan
kepulauan yang berarti menjadi wilayah perairan Indonesia. Dalam
perairan kepulauan berlaku hak lintas damai (right of Innocent passage)
bagi kapal-kapal negara lain, namun Negara Kepulauan dapat
menangguhkan untuk sementara waktu hak lintas damai pada bagian
tertentu apabila dianggap perlu untuk melindungi kepentingan
keamanannya. Kapal asing dan pesawat udara asing juga dapat
menikmati hak lintas alur laut kepulauan melalui alur laut dan rute
penerbangan tersebut untuk transit dari suatu bagian Laut Lepas atau
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) ke bagian lain dari Laut Lepas atau ZEE.
Meskipun kapal dan pesawat udara asing menikmati hak lintas alur
laut kepulauan melalui alur laut dan rute penerbangan tersebut, tapi di
bidang lain daripada pelayaran dan penerbangan tidak boleh
mengurangi kedaulatan Negara Kepulauan atas air serta ruang udara di
atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya, dan sumber kekayaan di
dalamnya. Dengan demikian hak lintas alur laut kepulauan melalui rute
penerbangan yang diatur dalam konvensi ini hanya mencakup hak
lintas penerbangan melewati udara di atas alur laut tanpa
mempengaruhi kedaulatan negara untuk mengatur penerbangan di atas
wilayahnya sesuai dengan Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan
Sipil atau kedaulatan Negara Kepulauan atas wilayah udara lainnya di
atas perairan nusantara.
Untuk menegaskan kepentingan Indonesia tidak hanya didaratan
namun juga di laut. Revisi UU Hublu perlu mengatur mengenai tugas
dan peran pemerintah dalam menjaga kedaulatan dan yurisdiksi di laut
serta memperjuangkan kepentingan Indonesia di laut lepas.
-
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017
Page 43 of 87
4) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4012)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional (UU Perjanjian Internasional) merupakan undang-undang
yang mengatur lebih lanjut ketentuan Pasal 11 UUD NRI Tahun 1945,
yang berbunyi:
1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan
perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat
yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan
undang-undang.
Selain itu UU Perjanjian Internasional juga merupakan undang-
undang yang melaksanakan perintah Pasal 15 UU Hublu, yang
menyatakan “Ketentuan mengenai pembuatan dan pengesahan
perjanjian internasional diatur dengan undang-undang tersendiri”.
UU Perjanjian Internasional mengatur materi-materi yang berkaitan
dengan perjanjian internasional antara lain definisi perjanjian
internasional, pembuatan perjanjian internasional, pengesahan
perjanjian internasional, pemberlakuan perjanjian internasional,
penyimpanan perjanjian internasional, dan pengakhiran perjanjian
internasional.
Pengaturan mengenai perjanjian internasional baik yang terdapat
dalam UU Perjanjian Internasional maupun UU Hublu selama ini sudah
-
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017
Page 44 of 87
harmonis walaupun khusus untuk definisi Perjanjian Internasional
sebagaimana terdapat dalam ketentuan Pasal 1 huruf a UU Perjanjian
Internasional sedikit berbeda dengan definisi Perjanjian Internasional
sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka 3 UU Hublu.
Definisi Perjanjian Internasional menurut ketentuan Pasal 1 angka
1 UU Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan
nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat
secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum
publik, sedangkan definisi Perjanjian Internasional menurut ketentuan
Pasal 1 angka 3 UU Hublu adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan
apapun, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara
tertulis oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih
negara, organisasi internasional atau subyek hukum internasional
lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah
Republik Indonesia yang bersifat hukum publik.
Sebagai RUU tentang Perubahan atas UU Hublu, khususnya yang
berkaitan dengan Perjanjian Internasional perlu juga diharmoniskan
pengaturannya dengan UU Perjanjian Internasional.
Pasal 13 UU Hublu tentang kewenangan lembaga negara membuat
perjanjian internasional tidak sejalan dengan pasal 11 UUD 45. Lebih
lanjut ada inkonsistensi antara Pasal 13 dengan Pasal 14 UU hublu
yang hanya mensyaratkan full power bagi pejabat pemerintah namun
tidak mensyaratkan full power bagi pejabat lembaga negara.
5) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4151) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2008 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 Tentang
-
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017
Page 45 of 87
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (perlu dihapus)
Dalam UU Hublu menyatakan bahwa: Hubungan luar negeri
adalah setiap kegiatan yang menyangkut aspek regional dan
internasional yang dilakukan oleh pemerintah di tingkat pusat dan
daerah, atau lembaga-lembaganya, lembaga negara, badan usaha,
organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat,
atau warga negara Indonesia.
Kemudian dalam Pasal 5 UU Hublu juga mencantumkan bahwa
“Hubungan Luar Negeri diselenggarakan sesuai dengan Politik Luar
Negeri, peraturan perundang-undangan nasional dan hukum serta
kebiasaan Internasional”.
Terkait dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (Undang-Undang Otsus Provinsi
Papua) dalam Pasal 4 menyatakan bahwa “Perjanjian Internasional yang
dibuat oleh Pemerintah yang hanya terkait dengan kepentingan Provinsi
Papua dilaksanakan setelah mendapat pertimbangan Gubernur dan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan". Kemudian
Provinsi Papua dapat mengadakan kerja sama yang saling
menguntungkan dengan lembaga atau badan di luar negeri yang diatur
dengan keputusan bersama sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Mengenai bantuan luar negeri terhadap Provinsi Papua juga diatur
dalam Pasal 35 Undang-Undang Otsus Provinsi Papua yang berbunyi
“Provinsi Papua dapat menerima bantuan luar negeri setelah
memberitahukannya kepada Pemerintah”. Kemudian Provinsi Papua
dapat melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri dan/atau luar
negeri untuk membiayai sebagian anggarannya. Adapun Pinjaman dari
sumber dalam negeri untuk Provinsi Papua harus mendapat
-
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017
Page 46 of 87
persetujuan dari DPRP. Selanjutnya Pinjaman dari sumber luar negeri
untuk Provinsi Papua harus mendapat pertimbangan dan persetujuan
DPRP dan Pemerintah dengan berpedoman pada ketentuan peraturan
perundang-undangan.
P