BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang · 2020. 8. 31. · Page 1 of 87 BAB I PENDAHULUAN A. Latar...

87
HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017 Page 1 of 87 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (UU Hublu) merupakan peraturan perundangan yang mengkodifikasi praktik penyelenggaraan hubungan luar negeri yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah Republik Indonesia (Pemerintah RI). Undang-Undang tersebut juga menetapkan norma dan kaidah penyelenggaraan hubungan luar negeri sebagai implementasi dari ketentuan-ketentuan dasar yang tercantum dalam Pembukaan maupun Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berkenaan dengan hubungan luar negeri. Seiring dengan perkembangan domestik di Indonesia dan perkembangan dunia internasional, disadari bahwa berbagai perkembangan tersebut menuntut perlunya perubahan terhadap UU Hublu yang sudah disahkan hampir dua dekade yang lalu. Perkembangan domestik yang menjadi perhatian antara lain proses reformasi yang melahirkan pemerintahan yang semakin demokratis, amandemen terhadap UUD NRI 1945, pengesahan berbagai peraturan perundang-undangan nasional termasuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan dan lain-lain, meningkatnya peran pemerintah daerah dan civil society, serta munculnya kebebasan individu dalam iklim demokrasi. Sedangkan di tingkat Internasional, peran non-state actors global, perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat yang mengaburkan batas-batas antar-negara dalam pergaulan internasional, dan kepentingan nasional yang akan berhadapan dengan regionalisme kiranya perlu pula mendapatkan perhatian dalam rangka perubahan undang-undang tersebut.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang · 2020. 8. 31. · Page 1 of 87 BAB I PENDAHULUAN A. Latar...

  • HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017

    Page 1 of 87

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri

    (UU Hublu) merupakan peraturan perundangan yang mengkodifikasi

    praktik penyelenggaraan hubungan luar negeri yang telah dilaksanakan

    oleh Pemerintah Republik Indonesia (Pemerintah RI). Undang-Undang

    tersebut juga menetapkan norma dan kaidah penyelenggaraan hubungan

    luar negeri sebagai implementasi dari ketentuan-ketentuan dasar yang

    tercantum dalam Pembukaan maupun Batang Tubuh Undang-Undang

    Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) dan

    Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berkenaan dengan

    hubungan luar negeri.

    Seiring dengan perkembangan domestik di Indonesia dan

    perkembangan dunia internasional, disadari bahwa berbagai perkembangan

    tersebut menuntut perlunya perubahan terhadap UU Hublu yang sudah

    disahkan hampir dua dekade yang lalu. Perkembangan domestik yang

    menjadi perhatian antara lain proses reformasi yang melahirkan

    pemerintahan yang semakin demokratis, amandemen terhadap UUD NRI

    1945, pengesahan berbagai peraturan perundang-undangan nasional

    termasuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil

    Negara, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan

    Daerah, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan dan

    lain-lain, meningkatnya peran pemerintah daerah dan civil society, serta

    munculnya kebebasan individu dalam iklim demokrasi. Sedangkan di

    tingkat Internasional, peran non-state actors global, perkembangan

    teknologi informasi yang sangat pesat yang mengaburkan batas-batas

    antar-negara dalam pergaulan internasional, dan kepentingan nasional

    yang akan berhadapan dengan regionalisme kiranya perlu pula

    mendapatkan perhatian dalam rangka perubahan undang-undang tersebut.

  • HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017

    Page 2 of 87

    Urgensi atas perubahan terhadap UU Hublu dimaksudkan sebagai

    upaya untuk semakin menyempurnakan undang-undang tersebut agar

    dapat mengantisipasi dan mengakomodasikan berbagai perkembangan yang

    terjadi, khususnya untuk melengkapi kodifikasi praktik penyelenggaraan

    hubungan luar negeri oleh Pemerintah RI yang belum termuat dalam

    undang-undang sebelumnya, serta menetapkan dan mengatur kaidah

    hukum baru dalam hubungan luar negeri. Sementara itu ketentuan-

    ketentuan yang masih relevan dalam UU Hublu akan tetap dipertahankan,

    dan apabila perlu diperkuat.

    Revisi UU Hublu diharapkan akan menghasilkan peraturan

    perundang-undangan yang implementatif sebagai pedoman bagi Pemerintah

    RI dalam menyelenggarakan hubungan luar negeri. Karena itu, pasal-pasal

    dalam UU Hublu yang baru diharapkan dapat dioperasionalisasikan di

    lapangan. Untuk pasal-pasal yang memuat kaidah atau norma hukum,

    ataupun pasal-pasal yang mengatur prinsip dasar dan bersifat umum, perlu

    ditindaklanjuti dengan pembentukan peraturan perundang-undangan

    dibawahnya. Selain itu, UU Hublu yang baru juga harus dapat memperkuat

    dasar dan pedoman penyusunan kebijakan di bidang hubungan luar negeri.

    Hubungan luar negeri saat ini mengalami dinamika yang semakin

    pesat. Pada saat ini, hampir semua kementerian/lembaga dan pemerintah

    daerah juga melaksanakan hubungan luar negeri, dengan tujuan antara

    lain untuk mendorong perkembangan dan pembangunan ekonomi. Selain

    itu, kompleksitas hubungan luar negeri juga dipengaruhi oleh proliferasi

    aturan hukum dan perundang-undangan yang bersinggungan dengan

    hubungan luar negeri termasuk sengketa yang lahir dari pelaksanaan

    aturan hukum dan perundang-undangan tersebut. Sementara itu,

    kemajuan teknologi informasi dan komunikasi memberikan kemudahan

    berbagai pihak dalam pelaksanaan hubungan luar negeri. Kondisi ini

    mensyaratkan perlunya pengaturan tentang peran Kementerian Luar Negeri

    sebagai koordinator hubungan luar negeri. Untuk itu diperlukan penguatan

  • HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017

    Page 3 of 87

    kelembagaan maupun aparatur Kementerian Luar Negeri dalam rangka

    koordinasi penyelenggaraan hubungan luar negeri.

    Perubahan terhadap UU Hublu juga dimaksudkan untuk menyusun

    peraturan perundang-undangan yang terpadu guna memperkuat upaya

    memperjuangkan kepentingan nasional sebagaimana diamanatkan

    pembukaan UUD NRI 1945 antara lain ikut melaksanakan ketertiban dunia

    yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

    Paparan singkat di atas menegaskan perlunya melakukan Perubahan

    atas Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar

    Negeri. Dapat dicatat bahwa Rancangan Undang-Undang tentang

    Perubahan atas Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan

    Luar Negeri sudah masuk dalam Daftar Perubahan Program Legislasi

    Nasional Rancangan Undang-Undang Tahun 2015-2019 sebagaimana

    tercantum dalam Lampiran II Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat

    Republik Indonesia Nomor 4/DPR/III/2015-2019 tanggal 26 Januari 2016

    dan menjadi prakarsa Pemerintah. Selain itu, Perubahan UU Hublu juga

    sudah masuk dalam daftar Rancangan Undang-Undang Usulan Pemerintah

    untuk tahun 2017 dalam pembahasan dengan Badan Legislasi DPR pada

    bulan November 2016.

    B. Identifikasi Masalah

    Berdasarkan uraian pada latar belakang, beberapa permasalahan yang

    dapat diidentifikasikan, antara lain:

    1. Permasalahan apa yang dihadapi dalam pelaksanaan UU Hublu

    bagi kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat serta

    bagaimana permasalahan tersebut dapat diatasi?

    2. Mengapa perlu dilakukan penggantian UU Hublu?

    3. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis,

    yuridis pembentukan RUU Hubungan Luar Negeri?

  • HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017

    Page 4 of 87

    4. Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan,

    jangkauan , dan arah pengaturan RUU Hubungan Luar Negeri?

    C. Tujuan dan Kegunaan

    Sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan

    Naskah Akademik (NA) ini adalah sebagai berikut:

    1. Merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan UU

    Hublu bagi kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat

    serta cara-cara mengatasi permasalahan tersebut.

    2. Merumuskan urgensi penggantian UU Hublu tentang Hubungan

    Luar Negeri sebagai dasar hukum penyelesaian atau solusi

    permasalahan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan

    bermasyarakat.

    3. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis,

    yuridis pembentukan Rancangan Undang-Undang Hubungan Luar

    Negeri.

    4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup

    pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan

    Undang-Undang Hubungan Luar Negeri.

    Adapun kegunaan dari NA ini adalah sebagai acuan atau referensi

    dalam menyusun dan membahas RUU tentang Perubahan atas Undang-

    Undang Hubungan Luar Negeri. Perubahan Undang-Undang Hubungan

    Luar Negeri ini akan menjadi landasan hukum yang kuat dan menjadi

    pedoman untuk menyelenggarakan hubungan luar negeri yang lebih

    responsif dalam mengemban tugas sesuai dengan tuntutan kondisi yang

    ada, serta menyelaraskan berbagai kegiatan hubungan luar negeri yang

    telah diselenggarakan oleh berbagai instansi dan lembaga pemerintah.

    D. Metode Penelitian

  • HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017

    Page 5 of 87

    1. Jenis Penelitian

    Penyusunan NA revisi UU Hublu pada dasarnya merupakan suatu

    kegiatan penelitian sehingga digunakan metode penyusunan Naskah

    Akademik yang berbasiskan metode penelitian hukum atau penelitian lain.

    Penelitian hukum dapat dilakukan melalui metode yuridis normatif dan

    metode yuridis empiris. Metode yuridis empiris dikenal juga dengan

    penelitian sosiolegal. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi

    pustaka yang menelaah (terutama) data sekunder yang berupa Peraturan

    Perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian, kontrak, atau

    dokumen hukum lainnya, serta hasil penelitian, hasil pengkajian, dan

    referensi lainnya. Metode yuridis normatif dapat dilengkapi dengan

    wawancara, diskusi (focus group discussion) dan rapat dengar pendapat.

    Metode yuridis empiris atau sosiolegal adalah penelitian yang diawali

    dengan penelitian normatif atau penelaahan terhadap peraturan

    perundang-undangan (normatif) yang dilanjutkan dengan observasi yang

    mendalam serta penyebarluasan kuesioner untuk mendapatkan data faktor

    non-hukum yang terkait dan yang berpengaruh terhadap peraturan

    perundang-undangan yang diteliti.

    2. Teknik Pengumpulan Data dan Sumber Data

    Penelitian yuridis normatif merupakan suatu penelitian kepustakaan

    yang dilakukan dengan meneliti data atau dokumen. Penelitian yuridis

    normatif dilakukan dengan meneliti ketentuan-ketentuan yang ada di

    dalam peraturan perundang-undangan, konvensi internasional, dan

    literatur terkait.

    Penelitian empiris menggunakan data atau dokumen yang bersifat

    primer. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari

    penelitian lapangan atau narasumber. Data primer diperoleh melalui

    berbagai kegiatan focus group discussion yang membahas secara mendalam

  • HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017

    Page 6 of 87

    berbagai topik yang telah dipersiapkan sebelumnya dengan mengundang

    beberapa narasumber, yaitu akademisi, praktisi, dan mantan duta besar.

    3. Waktu dan Lokasi Penelitian

    Waktu penelitian dilakukan sejak tahun 2013 hingga 2016, dengan

    berbagai lokasi di Indonesia apabila berhubungan dengan kerja sama

    internasional yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Selain itu, dilakukan

    juga pengamatan selama melakukan perundingan-perundingan

    internasional, termasuk pengamatan intensitas beban kerja pada

    Perwakilan Republik Indonesia (Perwakilan) yang menangani perlindungan

    Warga Negara Indonesia (dengan jumlah Tenaga Kerja Indonesia banyak)

    dan melakukan perbandingan dengan Perwakilan lainnya yang memiliki

    beban kerja yang berbeda.

    4. Teknik Penyajian dan Analisis Data

    Hasil penelitian dijabarkan secara deskriptif analitis dan preskriptif.

    Analitis deskriptif, yaitu mendeskripsikan fakta-fakta yang ada, kemudian

    dilakukan analisis berdasarkan hukum positif maupun teori-teori yang ada.

    Analisis deskriptif tertuju pada pemecahan masalah yang ada. Pelaksanaan

    metode deskriptif ini tidak terbatas hanya sampai pada tahap pengumpulan

    dan penyusunan data tetapi meliputi analisis dan interpretasi tentang arti

    data itu sendiri.1 Sifat preskriptif bahwa penelitian mengemukakan

    rumusan regulasi yang diharapkan untuk menjadi alternatif

    penyempurnaan norma-norma serta sistem pengaturannya di masa yang

    akan datang.

    1 Soejono dan Abdurrahman, Metode Penelitian Hukum, cetakan kedua (Jakarta:

    Rineka Cipta, 2003), hlm 22.

  • HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017

    Page 7 of 87

    BAB II

    KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

    A. Kajian Teoritis

    Hubungan luar negeri merupakan gabungan implementasi dari

    beragam disiplin ilmu yang dipraktikkan dalam hubungan antarnegara atau

    masyarakat dalam panggung internasional. Hubungan luar negeri pada

    dasarnya merupakan interaksi keseharian atau dinamika masyarakat tetapi

    dengan cakupan yang lebih universal.

    Beberapa kajian seperti Morgenthau dengan bukunya Politik Antar

    Bangsa2, adalah salah satu contoh analisa spesifik terkait politik

    internasional dan hubungan luar negeri. Demikian juga dengan Holsti

    dengan bukunya, The State, War and the State of War3. Dua contoh tersebut

    merupakan beberapa kajian yang membahas persoalan hubungan luar

    negeri dilihat dari kaca mata aliran Realisme. Beberapa kajian lainnya

    dilakukan dengan menggunakan paradigma atau aliran berbeda seperti

    Keohane4 dan Ruggie5 dengan pandangan Liberalismenya, atau Alexander

    Wendt dengan pandangan Konstruktivismenya6.

    Grotian atau Rasionalis menggambarkan sistem internasional sebagai

    hubungan kerja sama antarnegara. Meskipun dipersepsikan bahwa dunia

    2 Morgenthau, Hans J., Politik Antar Bangsa, terjemahan S. Maimoen, (Jakarta: YOI,

    1990). 3 Kalevi J. Holsti., The State, war, and the State of War, (Cambridge: CUP, 1996). 4 salah satu tulisan Keohane adalah (bersama) Joseph S. Nye Jr., “Power and Interdependence in the Information Age”, Foreign Affairs, Vol.77/5, (September/October 1998). 5 John G. Ruggie., Multilateralism: The anatomy of Institutions, International Organization, Vol. 46, No. 3 (Summer, 1992).

    6 beberapa pandangan konstruktivisme Wendt dapat ditelusuri dalam beberapa karyanya, seperti: Alexander Wendt. Constructing International Politics, International Security, Vol.20. No.1, (Summer 1995); Social Theory of International Politics, (Cambridge: Cambridge University Press, 1999); “The Agent – Structure Problem in International Reklations Theory”, International Organization, Vol.41/3, (Summer, 1987)

  • HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017

    Page 8 of 87

    ini anarkis dan penuh konflik, tetapi masyarakat internasional masih bisa

    ditata melalui berbagai kesepakatan. Pemikiran ini menitikberatkan pada

    kerja sama, hukum, diplomasi, atau institusi internasional. Oleh sebab itu

    sistem internasional tidak bebas dari nilai dan moral. Setiap negara diikat

    oleh etika pergaulan agar negara-negara tersebut tetap dihormati oleh

    negara lain. Pemikiran ini memandang pentingnya law and order dan juga

    ethics. Para ahli yang termasuk dalam kelompok pemikiran ini adalah

    Locke, Burke, Castlereagh, Gladstone, Roosevelt, dan Churchill yang

    mempelopori berdirinya Liga Bangsa-Bangsa.

    Berbeda dengan Realisme, baik Pluralisme, Grotian, maupun

    Rasionalisme tidak melihat negara sebagai satu-satunya aktor dalam

    panggung politik internasional. Aktor lain yang juga memiliki peran penting

    dan signifikan, meskipun tidak sekuat negara, adalah NGO internasional,

    perusahaan multinasional, organisasi antarnegara, dan lain-lain. Pemikiran

    ini juga tidak menjadikan keamanan sebagai isu utama melainkan pada

    ekonomi yang memungkinkan negara-negara lebih mudah untuk

    melakukan kerjasama daripada isu keamanan militer yang cenderung kaku.

    Untuk membantah asumsi Realis yang cenderung tidak mempercayai

    adanya saling kejujuran antarnegara dalam bekerjasama yang berakibat

    pada minimnya hasil, atau bahkan nihil, pemikiran ini berasumsi bahwa

    berbagai kecurangan tersebut dapat diantisipasi dengan adanya manajemen

    dan distribusi informasi serta ditegakkannya monitoring yang bisa

    memberikan sanksi bagi para pelaku curang. Kerjasama tersebut tidaklah

    harus selalu membuahkan hasil optimal karena hasil bukan merupakan

    satu-satunya keinginan yang hendak diraih, tetapi proses kerjasama itulah

    yang lebih penting.

    Kantian atau Revolusionalis menolak pandangan Machiavelian dan

    Grotian. Bagi pengikut Kantian, sistem internasional tidak hanya

    dimonopoli oleh interaksi negara saja sebagai aktornya tetapi juga

    dilakukan oleh masyarakat sebagai salah satu unsur pembentuk negara.

    Pada akhirnya masyarakat internasional yang menentukan arah interaksi

  • HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017

    Page 9 of 87

    dalam sistem internasional ini. Meskipun sependapat dengan pandangan

    moralitas internasional, konsepsi mereka berbeda dengan Grotian yang

    mengharuskan negara untuk berperilaku baik sebagai anggota sistem

    internasional. Kantian menekankan pada imperatif revolusioner yang

    memaksa setiap manusia untuk bekerja demi persaudaraan bersama.

    Realisme dan pluralisme mewarnai perdebatan teori hubungan

    internasional pada 1970-an. Oleh sebab itu, dibandingkan keduanya,

    globalisme relatif baru serta memiliki pemikiran yang berbeda. Meskipun

    pemikiran ini menghadirkan harapan titik temu diantara perbedaan

    pandangan, namun tetap tidak memiliki preskripsi yang lengkap untuk

    menjawab berbagai persoalan ketimpangan masyarakat internasional,

    pemikiran ini sampai saat ini kurang menjadi rujukan utama dalam

    analisis internasional.

    Realisme Pluralisme Globalisme

    Unit

    Analisa

    Negara Negara dan

    bukan negara

    Kelas, negara,

    masyarakat dan aktor

    bukan negara

    merupakan bagian

    dari sistem kapitalis

    dunia

    Aktor Negara Negara yang

    kemudian

    tersebar pada

    berbagai

    komponen dan

    aktivitasnya

    bisa berskup

    transnasional

    Hubungan

    internasional dilihat

    dari perspektif

    sejarah, khususnya

    mengenai kontinuitas

    pembangunan

    kapitalisme dunia

    Dinamika

    Behavioral

    Negara

    merupakan

    Proses

    pembuatan

    Difokuskan pada pola

    dominasi yang terjadi

  • HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017

    Page 10 of 87

    aktor rasional

    yang selalu

    berupaya

    memaksimalkan

    pencapaian

    kepentingan

    nasionalnya

    yang melalui

    kebijakan luar

    negerinya

    kebijakan luar

    negeri dan

    transnasional

    yang meliputi

    konflik,

    bargaining,

    koalisi dan

    kompromi

    tidak harus

    selalu

    membuahkan

    hasil yang

    optimal.

    dalam masyarakat

    Isu Keamanan

    nasional

    Multiple agenda

    dimana

    kesejahteraan

    atau

    sosioekonomi

    merupakan isu

    yang lebih

    penting

    daripada

    keamanan

    nasional

    Faktor-faktor

    ekonomi merupakan

    isu yang paling

    penting

    Tabel Asumsi Utama Pemikiran Internasional

    Sumber: Paul R. Viotti and Mark V. Kauppi. International Relations

    Theory; Realism, Pluralism, Globalism, Second Edition, (Massachusetts:

    Allyn and Bacon, 1993), hal.10

    Kemudian terdapat sebuah pendekatan atau aliran yang relatif baru

    yaitu konstruktivisme. Konstruktivisme pada dasarnya lahir sebagai kritik

    atas pemikiran neo-Realis yang sangat strukturalis. Disamping itu juga,

  • HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017

    Page 11 of 87

    Konstruktivisme memiliki kritikan terhadap paradigma neo-Liberalis.

    Perdebatan berfokus pada siapa yang sesungguhnya memiliki peranan

    paling dominan dalam mengkreasi sistem internasional.

    Pada awalnya, Konstruktivis tidak menjadikan dan mengakui negara

    sebagai unit analisa dan aktor sebagaimana halnya Globalisme atau

    Strukturalisme. Bagi Konstruktivis, aktor utama adalah individu yang

    memiliki kekuatan untuk mengendalikan atau mempengaruhi perspektif

    internasional. Pada tahap selanjutnya, setelah menghadapi berbagai kritik

    luas dan evaluasi ulang terhadap hal tersebut, para pemikir Kontruktivis

    mengakui posisi negara baik sebagai aktor maupun unit analisa dengan

    catatan bahwa itu terjadi setelah berbagai permasalahan yang terjadi di

    bawah negara telah selesai

    B. Kajian Terhadap Asas/Prinsip Yang Terkait Dengan Penyusunan Norma

    Pelaksanaan hubungan luar negeri Indonesia diselenggarakan

    berdasarkan Konstitusi khususnya yang termaktub dalam Pembukaan UUD

    1945 yang didasari juga oleh asas dan prinsip dalam teori hubungan

    maupun hukum internasional. Hubungan luar negeri dimaksud

    diselenggarakan sesuai dengan politik luar negeri, peraturan perundang-

    undangan nasional, dan hukum serta kebiasaan internasional.

    Pada dasarnya prinsip dan asas tersebut secara umum telah

    digambarkan dalam UU Hublu. Namun demikian, perkembangan konstelasi

    politik, ekonomi, sosial-budaya, serta pertahanan dan keamanan dunia

    berkembang dengan cepat. Situasi ini memberikan dampak terhadap

    pelaksanaan hubungan luar negeri antara Indonesia dengan negara mitra

    maupun aktor lainnya dalam hubungan internasional.

    Perkembangan ini perlu ditanggapi secara strategis dan konstruktif

    untuk terlibat dalam upaya mewujudkan amanat Konstitusi. Hal ini

  • HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017

    Page 12 of 87

    menjadi dasar untuk memperkuat UU Hublu sehingga pelaksanaan

    hubungan luar negeri Indonesia dapat terselenggara dengan lebih efektif.

    Penguatan UU Hublu ini dilakukan untuk mencakup secara komprehensif

    sektor-sektor substantif yang spesifik, hubungan kelembagaan, dan

    pengaturan aparatur penyelenggara hubungan luar negeri.

    Sehubungan dengan hal tersebut, penyempurnaan dan penguatan

    asas serta prinsip bagi penyelenggaraan hubungan luar negeri baik dari

    kaca mata hubungan internasional maupun hukum internasional dalam

    penguatan UU ini adalah sebagai berikut:

    1. Prinsip Kebijakan Luar Negeri Yang Bebas Aktif Dalam

    Memperjuangan Kepentingan Nasional.

    Penggunaan istilah “politik luar negeri” setelah dilakukan pengkajian

    tidak tepat karena memberikan kesan bahwa arah kebijakan luar negeri

    hanya dibidang politik saja. Dalam prakteknya nuansa politis muncul pada

    saat, antara lain: (1) menentukan perlu tidaknya membuka atau menutup

    suatu hubungan diplomatik dengan negara lain; (2) keputusan untuk

    masuk atau keluar dari suatu organisasi internasional; (3) pembuatan

    perjanjian dengan negara lain atau organisasi internasional; (4) keputusan

    untuk turut serta dalam suatu traktat atau konvensi atau persetujuan

    internasional dalam bidang-bidang tertentu; dan (5) pembukaan kantor

    perwakilan asing atau organisasi internasional di Indonesia.

    Dalam perkembangan globalisasi saat ini, hubungan luar negeri

    mencakup berbagai aspek mulai dari politik, ekonomi, keamanan,

    pertahanan hingga peningkatan people-to-people contact.

    2. Prinsip Koordinasi Kepada Menteri Yang Menangani Urusan Luar

    Negeri

  • HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017

    Page 13 of 87

    Berdasarkan UUD NRI 1945, Presiden sebagai penentu kebijakan

    hubungan luar negeri (foreign policy and foreign relations) memberikan

    mandat kepada Menteri Luar Negeri sebagai koordinator. Berdasarkan hal

    tersebut, seluruh penyelenggaraan hubungan dan kerja sama luar negeri

    yang dilaksanakan oleh unsur Pemerintah Pusat dan Daerah harus

    dikonsultasikan kepada Menteri Luar Negeri.

    Dalam kerangka perlindungan WNI dan BHI di luar negeri, Bab V UU

    Hublu menjabarkan kewajiban Perwakilan RI untuk memberikan

    perlindungan kepada warga Negara Indonesia di luar negeri, baik pada

    kondisi normal/umum (Pasal 19) maupun pada kondisi khusus adanya

    ancaman nyata (Pasal 21). Pada praktik yang ditemui di lapangan,

    pemberian perlindungan kepada WNI seringkali tidak dapat dilakukan

    sendiri oleh Perwakilan RI, melainkan memerlukan bantuan dan peran

    serta dari Kementerian dan Lembaga terkait di Indonesia. Sebagai contoh,

    (1) dalam penanganan perdagangan manusia, WNI yang teridentifikasi oleh

    Perwakilan RI sebagai korban perlu mendapatkan fasilitasi lanjutan dari

    instansi terkait di Indonesia, antara lain: perlindungan di dalam negeri dari

    Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, serta kelanjutan proses hukum

    dari Kepolisian dan Kejaksaan RI; (2) Dalam penanganan bencana alam,

    perang atau konflik politik di negara lain, pemulangan WNI dari wilayah

    tersebut oleh Perwakilan RI juga memerlukan fasilitasi dari instansi terkait

    di Indonesia, seperti: Badan Nasional Penanggulangan Bencana, TNI, dan

    Kepolisian RI.

    Bantuan dan peran serta Kementerian dan Lembaga terkait di

    Indonesia dirasakan sangat penting dalam mendukung tugas perlindungan

    yang dijalankan oleh Perwakilan RI di luar negeri. Namun demikian, guna

    memastikan tugas perlindungan tersebut dapat dilaksanakan dengan

    lancar, efektif, dan sejalan dengan kepentingan nasional Indonesia, maka

    revisi UU Hublu yang dilakukan kiranya dapat menekankan bahwa seluruh

    upaya perlindungan WNI di luar negeri dikomandoi oleh Menteri yang

  • HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017

    Page 14 of 87

    dilimpahkan wewenang penyelenggaraan hubungan luar negeri dan politik

    luar negeri, dalam hal ini Menteri Luar Negeri.

    3. Prinsip Kebijakan Satu Pintu Di Perwakilan Republik Indonesia Di

    Luar Negeri

    Perwakilan Republik Indonesia (Perwakilan RI) di luar negeri

    merupakan perpanjangan tangan Presiden dalam meningkatkan kerja sama

    luar negeri untuk sebesar-besarnya kemakmuran Rakyat. Untuk

    memastikan pelaksanaan hubungan luar negeri yang selaras dengan fungsi

    tersebut, maka sangatlah penting agar seluruh urusan hubungan luar

    negeri di bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, serta pertahanan dan

    keamanan, dilakukan melalui kebijakan satu pintu, yaitu melalui

    Perwakilan RI di luar negeri.

    4. Prinsip Satu Anggaran (Unified Budget).

    Penyelenggaraan administrasi negara yang efektif merupakan tujuan

    utama dari prinsip satu anggaran ini. Hal ini untuk memastikan tata kelola

    pemerintahan yang efektif, akuntabel dan transparan. Dengan demikian,

    prinsip tanggung-jawab tunggal dalam hal manajemen, keuangan, dan

    pelaporan seluruh unsur perwakilan RI di luar negeri harus dilaksanakan

    melalui mekanisme satu pintu.

    5. Prinsip Non-Diskriminasi Dalam Memberikan Perlindungan Kepada

    WNI Di Luar Negeri.

    Pemberian perlindungan WNI di luar negeri sebaiknya tidak

    membedakan status, apakah WNI tersebut merupakan TKI ataupun non-

    TKI. Keberadaan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang

    Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri

    terkesan menimbulkan dualisme dan pembedaan dalam pemberian

    perlindungan kepada WNI di luar negeri, khususnya kepada TKI.

  • HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017

    Page 15 of 87

    Perlindungan kepada TKI sebaiknya hanya pada masa pra-penempatan dan

    pasca-penempatan, sedangkan pada masa penempatan di luar negeri, rezim

    yang berlaku sebaiknya hanya UU Hublu atau UU nasional yang terkait

    dengan WNI (antara lain UU Kewarganegaraan, UU Administrasi

    Kependudukan, dan UU Hak Asasi Manusia).

    Selain itu, perlu ada pembatasan sampai sejauh mana perlindungan

    dapat diberikan kepada WNI khususnya terkait masalah TKI yang terancam

    hukuman mati di Arab Saudi. Jika yang bersangkutan memang terbukti

    bersalah melakukan tindak pidana, apakah dapat dibebaskan dengan

    memberikan uang jaminan/diyat dengan menggunakan anggaran

    perlindungan. Hal ini perlu dibahas lebih lanjut dan diatur dalam revisi UU

    Hublu.

    6. Asas Timbal Balik

    Dalam hubungan internasional dikenal asas resiprositas atau asas

    timbal balik, yaitu adanya hubungan timbal balik yang saling

    menguntungkan antar negara yang mengadakan hubungan. Dalam

    prakteknya, asas ini selain diterapkan dalam pemberian fasilitas

    diplomatik, juga diterapkan dalam diplomasi seperti pada pembukaan

    perwakilan diplomatik/konsuler dan penempatan Home staff di negara

    penerima.

    7. Prinsip Selektif, Biaya dan Manfaat (Cost and Benefit)

    Prinsip ini diterapkan sebagai bahan pertimbangan untuk masuk

    atau keluarnya Indonesia dalam suatu organisasi internasional.

    C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi Yang Ada, Serta Permasalahan Yang Dihadapi Masyarakat

    A. Aspek Kelembagaan Kondisi Saat Ini (Das Sein)

    Perwakilan RI adalah lembaga pemerintah yang memiliki tugas untuk

    memperjuangkan kepentingan bangsa, negara dan pemerintah pada

  • HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017

    Page 16 of 87

    negara/wilayah akreditasi dan/atau organisasi internasional. Sesuai

    dengan Pasal 7 UU Hublu dan Pasal 51 Peraturan Presiden Nomor 56

    Tahun 2015 tentang Kementerian Luar Negeri, pelaksanaan tugas dan

    fungsi Perwakilan RI berada di bawah koordinasi Kementerian Luar Negeri

    sebagai koordinator penyelenggaraan hubungan luar negeri dan

    pelaksanaan politik luar negeri.

    Struktur organisasi di Perwakilan RI terdiri dari unsur Home Staff

    dan Pegawai Setempat (Local Staff). Adapun unsur Home Staff adalah

    sebagai berikut:

    a. Unsur Pimpinan (Kepala Perwakilan dan Wakil Kepala Perwakilan)

    b. Unsur Pelaksana Utama (Pejabat Fungsional Diplomat dari unsur

    Kementerian Luar Negeri) dan Unsur Pelaksana Tambahan (Atase

    Pertahanan/Atase Teknis/Staf Teknis/Pejabat Teknis lainnya dari

    unsur K/L teknis)

    c. Unsur Penunjang yaitu Penata Kanselerai yang berasal dari Jabatan

    Fungsional Penata Kanselerai dan Petugas Komunikasi yang berasal

    dari Jabatan Fungsional Pengelola Teknologi Informasi dan Komunikasi

    Diplomatik atau Jabatan Fungsional Sandiman.

    Pelaksanaan tugas dan fungsi operasional di Perwakilan RI dilakukan

    oleh Unsur Pelaksana. Pendekatan yang dilakukan dalam pelaksanaan

    tugas dan fungsinya adalah functional base. Sementara unsur yang

    memberikan support administrasi adalah Unsur Penunjang. Pendekatan

    functional base mengandung makna bahwa pelaksanaan tugas oleh Unsur

    Pelaksana dilakukan berdasarkan Fungsi. Pembagian Fungsi didasarkan

    pada sektor kerja sama antara Indonesia dengan negara akreditasi atau

    penanganan isu-isu yang dikelompokkan menjadi 4 (empat) besaran, yaitu

    Fungsi Politik (kecuali di Perwakilan Konsuler), Fungsi Ekonomi, Fungsi

    Sosial dan Budaya, dan Fungsi Protokol dan Konsuler.

    Sesuai dengan core tugas Perwakilan RI, maka Unsur Pelaksana

    Utama dalam pelaksanaan operasional Perwakilan adalah Pejabat

  • HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017

    Page 17 of 87

    Fungsional Diplomat yang berasal dari unsur Kementerian Luar Negeri.

    Pejabat Fungsional Diplomat adalah Jabatan Fungsional Tertentu dimana

    Kementerian Luar Negeri merupakan instansi pembinanya. Core tugas

    jabatan dari Jabatan Fungsional Diplomat adalah melaksanakan diplomasi

    guna memperjuangkan kepentingan bangsa, negara, dan pemerintah

    Indonesia dengan negara-negara mitra dan/atau organisasi internasional

    melalui representing, negotiating, promoting, reporting, protecting, dan

    managing.

    Dalam kondisi tertentu, Menteri dapat mengangkat pejabat dari K/L

    teknis untuk mengemban tugas sebagai Unsur Pelaksana Tambahan pada

    Perwakilan RI dengan jabatan Atase Pertahanan/Atase Teknis/Staf

    Teknis/Pejabat Teknis. Tugas dari Atase Pertahanan/Atase Teknis/Staf

    Teknis/Pejabat Teknis adalah membantu Unsur Pelaksana Utama (Pejabat

    Fungsional Diplomat) dalam melaksanakan tugas Perwakilan RI yang

    bersifat teknis-sektoral dan berkesinambungan sehingga memerlukan

    keahlian pejabat dengan kompetensi teknis tertentu bagi penanganannya.

    Permohonan kebutuhan pembentukan formasi Atase

    Pertahanan/Atase Teknis/Staf Teknis/Pejabat Teknis seharusnya diajukan

    oleh Perwakilan RI dan bukan dari K/L teknis, karena yang mengetahui

    kebutuhan nyata di lapangan adalah Perwakilan RI itu sendiri. Namun yang

    seringkali terjadi justru sebaliknya. K/L Teknis yang mengajukan

    pembentukan formasi Atase Pertahanan/Atase Teknis/Staf Teknis/Pejabat

    Teknis di Perwakilan RI. Padahal sudah ada parameternya jika akan

    membentuk formasi baru, antara lain:

    a. Bobot Misi Perwakilan RI

    Bobot misi Perwakilan adalah indikator yang menunjukkan prioritas

    kepentingan nasional yang harus diperjuangkan oleh Perwakilan RI di

    Negara Penerima. Pengkajian didasarkan pada bobot misi Perwakilan

    RI yang mengacu pada beban masing-masing fungsi pada Perwakilan

    RI sesuai dengan indeks masing-masing Perwakilan. Indeks Perwakilan

  • HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017

    Page 18 of 87

    merupakan skala penilaian 1 sampai dengan 5 untuk menentukan

    bobot misi, derajat hubungan, komposisi dan jumlah staf Perwakilan

    dengan menggunakan tolok ukur kepentingan nasional.

    b. Intensitas Derajat Hubungan

    Derajat hubungan adalah tingkat intensitas hubungan dan kerja sama

    antara Indonesia dengan Negara Penerima yang didasarkan pada

    kepentingan nasional. Pengkajian dilakukan dengan melihat intensitas

    kerja sama dengan Negara Penerima pada bidang yang diusulkan oleh

    K/L termasuk potensi perkembangannya untuk saat ini dan proyeksi

    ke depan.

    c. Kebutuhan nyata

    Pengkajian dititikberatkan pada sejauh mana kehadiran pejabat

    tersebut memenuhi kebutuhan nyata Perwakilan, sesuai dengan

    kondisi obyektif di lapangan, serta kebutuhan Perwakilan RI terhadap

    technical/special expertise untuk penanganan bidang/isu tertentu

    pada Perwakilan RI.

    Pengkajian dilakukan untuk melihat kebutuhan nyata terhadap sejauh

    mana technical/special expertise serta pelaksanaan tugas dan fungsi

    yang diemban oleh Atase Pertahanan/Atase Teknis/Staf

    Teknis/Pejabat Teknis bersifat rutin/permanen, sehingga

    kehadirannya mutlak diperlukan guna menangani isu-isu terkait

    secara berkesinambungan, terus-menerus, dan tidak tumpang tindih

    atau duplikasi dengan pelaksanaan tugas dan fungsi Pejabat

    Diplomatik dan Konsuler.

    d. Asas manfaat

    Asas manfaat merujuk kepada sejauhmana pelaksanaan tugas dan

    fungsi yang dilakukan oleh pejabat yang bersangkutan memberikan

    manfaat dan dampak yang nyata (outcome) bagi kepentingan nasional

    serta mendukung visi dan misi Perwakilan RI.

  • HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017

    Page 19 of 87

    e. Asas Timbal Balik

    Pengkajian juga dilakukan dengan pertimbangan prinsip timbal balik

    (resiprositas) penempatan Atase Pertahanan/Atase Teknis/Staf

    Teknis/Pejabat Teknis lainnya di bidang yang sama oleh negara asing

    di Indonesia.

    f. Pertimbangan Komposisi Dan Jumlah Staf Perwakilan RI

    Pejabat Diplomatik dan Konsuler merupakan pelaksana utama

    kegiatan diplomatik di Perwakilan RI. Apabila dipandang perlu, dapat

    dipertimbangkan untuk dibentuk Atase Pertahanan/Atase Teknis/Staf

    Teknis/Pejabat Teknis lainnya sebagai unsur pelaksana. Terkait

    dengan komposisi dan jumlah staf Perwakilan RI, Vienna Convention on

    Diplomatic Relations 1961 mengatur jika tidak diperjanjikan

    sebelumnya, maka Negara Penerima memiliki kewenangan untuk

    mengatur jumlah komposisi perwakilan asing sesuai kewajaran,

    bahkan Negara Penerima dapat menolak untuk menerima pejabat

    dalam kategori tertentu.

    g. Analisis Beban Kerja

    Dalam kondisi tertentu, terkait dengan usulan pembukaan formasi

    Atase Pertahanan/Atase Teknis/Staf Teknis/Pejabat Teknis, akan

    dikaji pula beban kerja dari pejabat yang bersangkutan. Hal ini

    bertujuan untuk melihat keperluan pembentukan formasi asisten

    Atase Pertahanan/Atase Teknis/Staf Teknis, dan melihat sejauhmana

    pemberian dukungan cukup dilakukan oleh Pegawai Setempat pada

    Perwakilan RI.

    Hal utama yang perlu dicatat adalah ketentuan Vienna Convention on

    Diplomatic Relations Tahun 1961 yang mengatur bahwa kewenangan untuk

    menyatakan persetujuan akhir adalah negara penerima/pemerintah

    setempat. Dikatakan di dalam Vienna Convention on Diplomatic Relations

    bahwa jika tidak diperjanjikan sebelumnya, maka Negara Penerima

  • HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017

    Page 20 of 87

    memiliki kewenangan untuk mengatur jumlah komposisi perwakilan asing

    sesuai kewajaran, bahkan Negara Penerima dapat menolak untuk

    menerima pejabat dalam kategori tertentu.

    Kondisi yang diharapkan (Das Sollen)

    Atase Pertahanan/Atase Teknis/Staf Teknis/Pejabat Teknis, secara

    administratif dan operasional merupakan bagian yang tidak terpisahkan

    dari Perwakilan RI. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, Atase

    Pertahanan/Atase Teknis/Staf Teknis/Pejabat Teknis berada di bawah

    koordinasi Fungsi terkait dan bertanggung jawab kepada Kepala Perwakilan

    RI. Sebagai contoh: Atase Pertahanan berada di bawah koordinasi Fungsi

    Politik; Atase Perdagangan berada di bawah koordinasi Fungsi Ekonomi;

    Atase Imigrasi berada di bawah koordinasi Fungsi Protokol dan Konsuler;

    Atase Pendidikan berada di bawah koordinasi Fungsi Sosial dan Budaya;

    dan seterusnya.

    Atase Pertahanan/Atase Teknis/Staf Teknis/Pejabat Teknis wajib

    menyampaikan laporan rutin kepada Kepala Perwakilan RI dan

    mengoordinasikannya dengan Fungsi terkait. Setiap bentuk laporan Atase

    Pertahanan/Atase Teknis/Staf Teknis/Pejabat Teknis yang akan

    disampaikan ke Pusat harus melalui legalisasi Kepala Perwakilan RI.

    Laporan menggunakan format laporan berdasarkan standar yang telah

    ditetapkan oleh Kementerian Luar Negeri. Laporan disampaikan oleh Kepala

    Perwakilan RI kepada Menteri Luar Negeri dan kepada K/L teknis terkait.

    Atase Pertahanan/Atase Teknis/Staf Teknis/Pejabat Teknis wajib

    membuat Perjanjian Kinerja dengan Kepala Perwakilan RI mengenai target

    misi yang ingin dicapai setiap tahunnya. Kepala Perwakilan RI wajib

    menyampaikan hasil evaluasi kinerja tahunan Atase Pertahanan/Atase

    Teknis/Staf Teknis/Pejabat Teknis kepada Menteri Luar Negeri dan K/L

    teknis pejabat bersangkutan.

  • HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017

    Page 21 of 87

    Formasi Atase Pertahanan/Atase Teknis/Staf Teknis/Pejabat Teknis

    pada Perwakilan RI dapat dievaluasi sewaktu-waktu berdasarkan

    assessment kebutuhan Perwakilan RI terkait. Evaluasi dilakukan oleh

    Kementerian Luar Negeri melalui konsultasi dengan Kementerian PANRB

    dan K/L pejabat bersangkutan.

    Anggaran bagi pelaksanaan tugas dan fungsi Perwakilan RI beserta

    seluruh unsur di dalamnya, termasuk Atase Pertahanan/Atase Teknis/Staf

    Teknis/Pejabat Teknis, baik itu anggaran untuk Belanja Barang

    Operasional (BBO) maupun Belanja Barang Non Operasional (BBNO) adalah

    anggaran Perwakilan RI (single-budgeting policy). Pengalokasian dilakukan

    di bawah koordinasi Kementerian Luar Negeri. Tata cara

    penempatan/penarikan Home Staff Perwakilan RI diatur lebih lanjut di

    dalam Peraturan Menteri Luar Negeri. Hal ini sejalan dengan kebijakan

    money follow functions yang akan mengefisienkan pengalokasian anggatan

    dan menghindari overlapping tugas/fungsi/kegiatan.

    Saat ini Kementerian Luar Negeri tengah melakukan penataan

    terhadap organisasi Perwakilan RI. Sesuai mandat Peraturan Presiden

    Nomor 56 Tahun 2015, Kementerian Luar Negeri harus melakukan analisis

    jabatan dan analisis beban kerja pada Perwakilan. Hal ini mengkondisikan

    Kementerian Luar Negeri untuk meninjau kembali keorganisasian yang ada

    di Perwakilan RI dengan segala unsur di dalamnya, termasuk unsur Atase.

    Sesuai dengan mandat dari Kementerian PANRB, perlu dilakukan

    reformasi birokrasi di Perwakilan RI dengan mengarahkan organisasi

    Perwakilan menjadi organisasi yang ramping, tepat fungsi, dan tepat

    ukuran, sehingga dapat berjalan efektif dan efisien. Postur kelembagaan

    Perwakilan RI tidak harus selalu berkembang, namun harus didasarkan

    kepada prinsip dynamic governance. Kementerian PANRB juga menekankan

  • HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017

    Page 22 of 87

    agar Kemenlu dapat menyusun kriteria yang rinci dan rigid terhadap kapan

    suatu Perwakilan membutuhkan Pejabat Teknis dan kapan tidak. Kapan

    formasi dapat dibuka dan pada kondisi seperti apa maka formasi dapat

    ditutup.

    B. Praktik Perlindungan WNI/BHI

    Kondisi saat ini (Das Sein)

    Berdasarkan database e-perlindungan yang dimiliki oleh Kementerian

    Luar Negeri, tercatat per Januari 2017 terdapat sebanyak 2.919.261 WNI

    yang berada di luar negeri. Jumlah tersebut tidaklah bersifat mutlak

    mengingat banyaknya WNI yang tidak melaporkan diri ke Perwakilan RI di

    negara setempat. Besarnya jumlah WNI di luar negeri tentunya membawa

    konsekuensi yang berbanding lurus dengan permasalahan WNI di luar

    negeri.

    Pada periode 20 Oktober 2015 hingga 20 Oktober 2016, setidaknya

    terdapat 15.748 kasus WNI di luar negeri, yang meliputi; kasus pidana

    (1.111 kasus), kasus perdata (27), kasus keimigrasian (10.414), kasus

    ketenagakerjaan (2.344), dan kasus-kasus lainnya (1.851). Dari jumlah

    tersebut, sebanyak 10.243 kasus (65%) dapat diselesaikan oleh

    Kementerian Luar Negeri dan Perwakilan RI di luar negeri. Sementara,

    5.505 (35%) kasus lainnya masih berjalan dan terus ditangani.

    Dari jumlah tersebut di atas, terdapat beberapa kasus dengan

    karakteristik khusus, seperti: permasalahan WNI ABK kapal penangkap

    ikan di luar negeri, permasalahan terkait haji, umroh, dan ziarah

    keagamaan lainnya, penyanderaan WNI, repatriasi, tindak pidana

    perdagangan orang, terorisme, perang dan konflik politik, dan

    permasalahan TKI.

  • HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017

    Page 23 of 87

    Terkait permasalahan WNI ABK, pada umumnya kasus-kasus yang

    ditangani meliputi: sengketa upah, perlakuan tidak manusiawi dan kondisi

    kerja yang tidak baik, tindak pidana dan dokumentasi, sengketa kontrak

    kerja atau perjanjian kerja laut, kompetensi dan pengetahuan yang tidak

    memadai, asuransi dan permasalahan administrasi. Setidaknya, dalam

    kurun waktu 20 Oktober 2015 hingga 20 Oktober 2016, terdapat 441 kasus

    WNI ABK, dimana 210 kasus diantaranya (48%) berhasil diselesaikan,

    sementara sisanya masih terus ditindaklanjuti.

    Permasalahan terkait haji, umroh dan ziarah keagamaan lainnya

    merupakan permasalahan WNI di luar negeri yang cukup unik dan

    membutuhkan penanganan khusus. Pada pertengahan Agustus 2016,

    masyarakat dikejutkan oleh pencekalan 177 WNI calon haji dan penahanan

    106 WNI jamaah haji pengguna paspor Filipina pada periode 22-29

    September 2016, oleh Otoritas Imigrasi Filipina. Tidak berhenti di situ, pada

    tanggal 8 September 2016 juga terjadi penangkapan 229 WNI yang hendak

    menunaikan ibadah haji di daerah Aziziyah, Mekkah terkait dengan

    pelanggaran keimigrasian. Seluruhnya berhasil ditangani dengan baik oleh

    Kementerian Luar Negeri dan Perwakilan RI di Arab Saudi, seluruh WNI

    bisa dipulangkan kembali ke Indonesia, tanpa perlu menghadapi tuntutan

    hukum dari otoritas di Filipina maupun Arab Saudi. Padahal jelas yang

    dilakukan oleh para WNI tersebut adalah pelanggaran hukum negara

    setempat.

    Penyanderaan WNI juga menjadi salah satu fenomena baru dalam

    dinamika perlindungan WNI di luar negeri. Sepanjang tahun 2016, dan

    dalam kurun waktu lima bulan (Maret-Agustus), telah terjadi lima kali

    insiden penyanderaan terhadap total 32 orang WNI ABK di Filipina Selatan.

    Selain penyanderaan WNI di Filipina, Pemerintah Indonesia juga menangani

    penyanderaan WNI ABK Kapal Naham 3 oleh perompak di Somalia yang

    telah berlangsung sejak Maret 2012.

  • HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017

    Page 24 of 87

    Program repatriasi, atau yang sering disebut dengan pemulangan,

    WNI overstayers (WNIO) atau TKI undocumented (TKIU) juga dicanangkan

    oleh Presiden Joko Widodo pada 17 Desember 2014. Program tersebut

    dimaksudkan untuk memulangkan secara bertahap sekitar 1,8 juta

    WNIO/TKIU yang tersebar di berbagai negara, terutama di Malaysia, Arab

    Saudi dan Timur Tengah, kembali ke Indonesia.

    Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di luar negeri

    juga tidak luput dari perhatian Kementerian Luar Negeri dan Perwakilan RI

    di luar negeri. Selama periode 2012 sampai dengan 12 Juni 2016, sebanyak

    2.118 WNI korban TPPO telah dipulangkan dan mendapatkan penanganan

    di Indonesia.

    Dinamika keamanan global juga turut mempengaruhi kerja

    perlindungan WNI di luar negeri. Sepanjang tahun 2016, intensitas

    serangan teror yang terjadi di seluruh penjuru dunia semakin meningkat.

    Aksi keji para teroris terjadi di berbagai penjuru dunia; seperti Paris,

    Istanbul, Brussels hingga Orlando. Hal ini tentunya berimbas pada

    keselamatan WNI, dan bahkan dalam banyak kasus terdapat indikasi

    keterlibatan WNI sebagai bagian dari kelompok teror.

    Turbulensi politik di berbagai penjuru dunia masih menjadi salah

    satu faktor yang mengancam keselamatan dan keamanan WNI di luar

    negeri. Beberapa negara di Timur Tengah seperti Yaman, Suriah, Libya, Irak

    dan Sudan masih terus bergejolak. Konflik politik yang berkepanjangan

    kemudian melahirkan perang saudara, kerusuhan horizontal hingga aksi

    terorisme. Padahal masih cukup banyak WNI yang berada di wilayah Timur

    Tengah, baik sebagai TKI maupun pelajar/mahasiswa.

  • HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017

    Page 25 of 87

    Berbagai macam kejadian buruk menimpa para WNI di luar negeri.

    Meskipun mayoritas kasus WNI di luar negeri masih didominasi oleh kasus

    TKI, khususnya mereka yang bekerja di sektor domestik, namun beberapa

    kasus WNI non-TKI juga dapat dijadikan pelajaran tersendiri dalam

    khazanah perlindungan WNI di luar negeri. Pemerintah dituntut bukan

    hanya dapat memberikan perlindungan kepada WNI yang menjadi korban

    tindak kejahatan, tapi juga memastikan proses hukum yang adil dan non-

    diskriminatif kepada WNI yang menjadi pelaku tindak kejahatan.

    Bentuk perlindungan yang dilakukan sangat beragam, mulai dari

    pelayanan kekonsuleran (pembuatan paspor, visa, legalisasi dokumen, dan

    lain sebagainya), pendampingan hukum, hingga mengambil alih tanggung

    jawab yang seharusnya menjadi beban pemberi kerja/penyalur atau

    WNI/TKI itu sendiri; membiayai pemulangan, biaya pengobatan, hingga

    biaya pengacara. Berbagai bentuk perlindungan tersebut, yang bahkan

    banyak diantaranya dilakukan beyond state responsibility, tentunya

    menjadi beban tersendiri, tidak hanya pada anggaran negara, namun juga

    mereka yang melakukan perlindungan WNI di luar negeri, baik secara

    langsung maupun tidak langsung.

    Kondisi yang diharapkan (Das Sollen)

    a. Batasan Perlindungan

    Tekanan media yang begitu tinggi diiringi dengan desakan

    masyarakat menciptakan persepsi akan adanya kewajiban Pemerintah

    untuk memberikan perlindungan tanpa batas. Sementara itu, ketentuan

    hukum yang ada baik pada tataran internasional maupun nasional juga

    tidak menyediakan panduan yang jelas mengenai upaya-upaya apa saja

    yang wajib dilakukan Pemerintah dalam memberikan perlindungan

    terhadap warga negaranya di luar negeri. Padahal, perlu dipahami bahwa

    perlindungan yang diberikan tentunya berdasarkan ketentuan perundang-

    undangan yang berlaku baik berdasarkan hukum nasional, hukum

    setempat, maupun hukum internasional. Artinya, dalam upaya pemberian

  • HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017

    Page 26 of 87

    perlindungan terhadap warga negaranya di luar negeri, Pemerintah tidak

    dapat mengintervensi hukum negara lain, dan begitu pula sebaliknya.

    Praktik pemberian perlindungan berbeda-beda di setiap negara,

    tergantung ketentuan nasional masing-masing negara, serta tunduk pada

    pembatasan yang diberikan oleh hukum internasional. Indonesia, meskipun

    belum memiliki panduan jelas mengenai pemberian perlindungan, pada

    praktiknya selama ini telah memberikan perlindungan secara lebih luas,

    jika dibandingkan dengan praktik negara-negara lain, khususnya negara-

    negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris atau Australia. Pemberian

    perlindungan secara lebih luas ini mempertimbangkan antara lain

    perbedaan karakteristik WNI di luar negeri dengan warga negara asing lain.

    WNI di luar negeri mayoritas berasal dari kalangan menengah ke bawah,

    bergender perempuan dan memiliki tingkat pendidikan yang relatif rendah.

    Hal ini berbeda dengan karakteristik warga negara lain yang mayoritas

    berasal dari kalangan menengah ke atas, dan memiliki tingkat pendidikan

    relatif lebih tinggi.

    Atas pertimbangan tersebut, dipandang perlu untuk menciptakan

    suatu batasan perlindungan sebagai pedoman Pemerintah dalam

    memberikan perlindungan kepada WNI di luar negeri. Batasan ini tentu

    tidak harus sama seperti batasan yang dibuat oleh negara lain, namun

    menyesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia, serta

    menerjemahkan keinginan umum yang timbul di masyarakat tentang

    bagaimana seharusnya praktik perlindungan warga negara oleh Pemerintah

    dilakukan. Namun demikian, batasan ini juga seyogyanya dapat dibuat

    dengan memperhatikan prinsip dasar perlindungan warga negara, dimana

    Pemerintah tidak mengambil alih tanggung jawab pidana atau perdata WNI.

    Batasan ini sekaligus untuk mengedukasi masyarakat bahwa WNI

    bertanggung jawab atas setiap tindakan yang diperbuatnya. Artinya, tidak

    setiap akibat tindakannya dapat dialihkan kepada orang lain apalagi

    Pemerintah. Prinsip ini sesuai dengan amanat UUD NRI 1945 yang

  • HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017

    Page 27 of 87

    menyatakan bahwa Pemerintah melindungi segenap bangsa Indonesia,

    namun juga memiliki kewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

    b. Perlindungan WNI dalam Kondisi Khusus (Bencana Alam, Perang dan Konflik)

    Berbeda dengan penanganan kondisi darurat di dalam negeri yang

    memiliki prosedur penanganan secara teknis dan terlembaga dengan baik,

    pengaturan penanganan WNI di luar negeri yang menghadapi kondisi

    darurat, seperti bencana alam, perang ataupun konflik, belum memiliki

    pengaturan secara jelas. Padahal hal ini telah menjadi kebutuhan nyata

    yang harus segera diatur. Pengaturan ini mutlak dibutuhkan sebagai

    pedoman dan juga pertanggungjawaban perlindungan yang diberikan oleh

    Pemerintah Indonesia kepada WNI di luar negeri yang menghadapi kondisi

    darurat.

    c. Pemisahan Isu Perlindungan WNI dengan Isu Perlindungan BHI

    Selain melindungi kepentingan WNI, Pemerintah juga memiliki

    kewajiban untuk melindungi kepentingan Badan Hukum Indonesia (BHI) di

    luar negeri. Kewajiban ini pada tingkat nasional diatur dalam Pasal 18 UU

    Hublu, dan pada tingkat internasional tercantum dalam Pasal 5 butir (a)

    Konvensi Vienna 1963 tentang Hubungan Konsuler.

    Meskipun kewajiban perlindungan terhadap WNI dan BHI

    disejajarkan dalam pengaturan yang sama, sifat dan praktik pemberian

    perlindungan WNI dan BHI merupakan dua hal yang berbeda. Pemberian

    perlindungan terhadap WNI pada prinsipnya adalah upaya guna menjamin

    pemenuhan hak individu tersebut oleh negara tujuan, yang dilaksanakan

    dalam berbagai bentuk, antara lain: pemberian bantuan kekonsuleran dan

    pemberian pendampingan serta bantuan hukum. Di lain pihak, pemberian

    perlindungan terhadap BHI lebih menekankan pada aspek promosi dan

    kemudahan berusaha, yang dilaksanakan dalam bentuk: penyediaan

  • HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017

    Page 28 of 87

    informasi pasar (market intelligence), fasilitasi kemudahan perizinan, atau

    fasilitasi guna mempertemukan business demand di negara tujuan dengan

    business supply yang tersedia di Indonesia.

    Atas pertimbangan tersebut, perlindungan terhadap BHI dinilai perlu

    untuk diatur secara terpisah dari bab perlindungan terhadap WNI, guna

    dapat mengoptimalkan pemberian perlindungan terhadap BHI.

    3. Aspek Organisasi Internasional

    Kondisi saat ini (Das Sein)

    Pengaturan mengenai keanggotaan Indonesia pada Organisasi

    Internasional secara komprehensif diatur oleh Keputusan Presiden Nomor

    64 Tahun 1999 Tentang Keanggotaan Indonesia dan kontribusi Pemerintah

    RI pada Organisasi-Organisasi Internasional.

    Perlu menjadi catatan bahwa Keppres tersebut lahir pada saat krisis

    ekonomi 1998 yang mana pada saat itu Pemerintah tidak dapat membayar

    seluruh kontribusi pada OI karena hampir seluruh tagihan dalam mata

    uang asing. Dengan adanya Keppres tersebut, pembayaran kontribusi Pemri

    pada OI yang semula dilakukan oleh instansi penjuru, kini dilakukan satu

    pintu oleh Kemenlu, agar pembayarannya dapat dilakukan berdasarkan

    skala prioritas pemerintah. Keppres tersebut juga tidak berkaitan dengan

    UU Hublu dan UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional

    karena kedua UU tersebut lahir setelah diterbitkannya Keputusan Presiden

    Nomor 64 Tahun 1999.

    Pada sisi lain, seiring dengan pemulihan ekonomi Indonesia,

    perubahan kebijakan pemerintah seperti prinsip money follows programs,

    serta terbitnya UU Hublu dan UU PI yang lebih tinggi hirarkis peraturan

    perundang-undangannya, Keppres tersebut saat ini tengah mengalami

    revisi khususnya pada definisi OI dan Kontribusi Pemri. Oleh karena itu,

    sejalan dengan hal tersebut, revisi UU Hublu khususnya yang terkait

  • HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017

    Page 29 of 87

    dengan norma keanggotaan Indonesia pada OI dapat dituangkan secara

    umum, luwes, namun tetap dapat memberikan ruang untuk mengakomodir

    prinsip-prinsip keanggotaan Indonesia dan kontribusi Pemerintah RI pada

    OI antara lain keangotaan Indonesia dan kontribusi Pemerintah RI pada OI

    dilakukan berdasarkan prinsip cost and benefit, mempertimbangkan

    manfaat, efektivitas, besarnya kontribusi, kedudukan dan peranan

    Indonesia dan kondisi keuangan negara

    Kondisi yang diharapkan (Das Sollen)

    Peran serta Indonesia dalam dunia internasional, termasuk

    keanggotaan Indonesia pada OI, merupakan suatu keniscayaan. selain

    karena merupakan amanat alinea keempat Pembukaan UUD NRI Tahun

    1945, agar pemerintah RI ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

    berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, peran

    serta Indonesia dalam dunia internasional merupakan salah satu upaya

    untuk mencapai kepentingan nasional Indonesia di tengah semakin

    kompleksnya kondisi dunia saat ini.

    Khusus mengenai pengaturan keanggotaan Indonesia pada OI,

    diharapkan agar keanggotaan Indonesia pada OI dapat dimanfaatkan

    semaksimal mungkin untuk pencapaian kepentingan nasional antara lain

    mencakup:

    - Keanggotaan Indonesia pada OI dilakukan dengan mempertimbangkan

    manfaat yang diperoleh serta dilakukan berdasarkan asas cost and

    benefit.

    - Instansi yang menjadi penjuru keanggotaan Indonesia pada OI dapat

    didorong untuk melakukan optimalisasi keanggotaan Indonesia pada OI

    yang diikuti.

    Terkait revisi UU Hublu, terdapat dua hal yang diharapkan dapat

    terakomodir dalam revisi UU Hublu, yaitu:

    - Mempertahankan definisi OI sebagaimana UU Hublu yaitu ’organisasi

    antar-pemerintah’. Hal ini sejalan dengan prinsip money follows

  • HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017

    Page 30 of 87

    programs dan pengelolaan kontribusinya juga dibatasi menjadi

    kontribusi keanggotaan saja.

    - Merevisi Pasal 9 ayat (1) UU Hublu agar persetujuan masuknya

    Indonesia pada OI oleh DPR dilakukan secara selektif dan hanya

    dibatasi pada hal-hal yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi

    harkat hidup rakyat seperti masalah politik, perdamaian, pertahanan

    dan keamanan negara, perubahan wilayah atau penetapan batas

    wilayah RI, kedaulatan, HAM, lingkungan hidup, pembentukan kaidah

    hukum baru atau pinjaman/hibah luar negeri.

    4. Aspek Kerja Sama Daerah

    Kondisi saat ini (Das Sein)

    Pada awalnya kerja sama internasional yang dijalani Pemerintah

    Daerah (Pemda) lebih pada tataran bilateral (misalnya sister city dan sister

    province, promosi perdagangan dan sebagainya). Pada perkembangannya

    terdapat kecenderungan meluasnya cakupan dan intensitas kerja sama

    Pemda ke tataran multilateral (misalnya pembentukan Mayor for Peace,

    Global Covenant of Mayor for Climate and Energy, serta undangan

    berpartisipasi pada konferensi internasional).

    UU Hublu tidak memuat pengaturan mengenai kerja sama

    internasional oleh daerah, namun hanya mengandung referensi singkat

    mengenai “daerah” pada bagian Ketentuan Umum. Saat ini sedang dibahas

    rancangan Peraturan Pemerintah mengenai teknis kerja sama internasional

    yang dilakukan oleh Pemda.

    Kondisi yang diharapkan (Das Sollen)

    Mengingat hal-hal tersebut diatas kedepan diharapkan agar

    ketentuan-ketentuan umum terkait penyelenggaraan kerja sama

    internasional oleh daerah dapat menjadi pedoman dan penegasan peran

    Kemlu terkait koordinasi dan konsultasi daerah dapat diatur dalam revisi

  • HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017

    Page 31 of 87

    UU Hublu agar terdapat keselarasan kerja sama luar negeri oleh daerah

    dengan Polugri RI

    5. Aspek Kerja Sama Teknik

    Kondisi Saat ini (Das Sollen)

    Kerja Sama Teknik (KST) telah menjadi salah satu aset Polugri yang

    penting. KST merupakan salah satu bentuk kontribusi nyata Indonesia bagi

    masyarakat internasional antara lain melalui triangular coorperation dan

    pengembangan kapasitas bagi negara kurang berkembang. Namun

    demikian, pengaturan mengenai KST belum masuk dalam revisi UU Hublu.

    Kondisi yang diharapkan (Das Sein)

    Dalam rangka menegaskan peranan sentral Kemlu bahwa KST

    merupakan salah satu bentuk perwujudan Polugri, perlu dipertimbangkan

    untuk memasukkan ketentuan umum mengenai KST pada naskah revisi

    UU Hublu.

    1. Aspek Penjelasan Cakupan Hubungan Luar Negeri Dan Hubungan Dengan Organisasi Internasional

    Kondisi saat ini (Das Sein)

    Dalam UU Hublu tidak ada pengaturan jelas dan tegas mengenai

    cakupan dari hubungan luar negeri. Hal tersebut pada gilirannya

    menimbulkan ketidakjelasan ruang lingkup yang diatur dalam hubungan

    luar negeri.

    Selain itu, hubungan dengan organisasi internasional memiliki

    praktik yang berbeda dengan hubungan bilateral dengan negara lain. Hal

    tersebut belum secara jelas digambarkan dalam UU Hublu.

    Kondisi yang diharapkan (Das Sollen)

  • HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017

    Page 32 of 87

    Revisi UU Hublu perlu untuk mencakup hal-hal yang diatur dalam

    berbagai UU lain yang terkait dengan hubungan luar negeri seperti

    Perdagangan, Perindustrian, Keamanan Negara, dan lain-lain.

    Terkait hubungan dengan organisasi internasional, diperlukan

    pengaturan bahwa Kementerian Luar Negeri merupakan koordinator dalam

    melakukan hubungan dengan organisasi-organisasi internasional.

    2. Aspek Pemberian Fasilitas Diplomatik

    Kondisi Saat ini (Das Sein)

    Praktik pemberian fasilitas diplomatik pada saat ini didasarkan pada

    hukum nasional masing-masing negara. Hal ini terutama terlihat jelas pada

    pengenaan pajak kepada Perwakilan Negara Asing. Ketentuan bahwa negara

    pengirim harus menghormati dan mematuhi peraturan negara penerima

    ditetapkan dalam Pasal 41 Konvensi Wina tahun 1961. Sementara itu,

    Pemerintah RI saat ini masih mengedepankan hukum internasional

    sebagaimana diatur dalam Pasal 34 Konvensi Wina tahun 1961 dimana

    Pemerintah RI selaku negara penerima memberikan fasilitas pembebasan

    pajak.

    Situasi demikian pada gilirannya menyebabkan ketidakseimbangan

    pemberian fasilitas diplomatik antara Pemerintah RI dengan negara sahabat

    yang memiliki Perwakilan di Indonesia. Ketidakseimbangan ini berpotensi

    merugikan negara. Salah satu faktor yang mendukung terjadinya kondisi

    demikian adalah lemahnya koordinasi antara K/L terkait dengan

    Kementerian Luar Negeri yang memiliki data pemberian fasilitas diplomatik

    yang diterima Perwakilan RI di negara sahabat.

    Kondisi yang diharapkan (Das Sollen)

    Untuk memastikan pemberian fasilitas diplomatik yang seimbang

    dipandang perlu untuk menempatkan Kementerian Luar Negeri sebagai

    koordinator dalam hal pemberian fasilitas diplomatik dan acuan

    pengambilan keputusan bagi K/L terkait. Pemberian fasilitas diplomatik

  • HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017

    Page 33 of 87

    yang melebihi standar umum kepada Perwakilan Negara Asing

    dimungkinkan sepanjang dilakukan melalui Perjanjian Bilateral dan

    berdasarkan asas timbal balik.

    3. Aspek Perjanjian Internasional

    Kondisi saat ini (Das Sein)

    Kompleksitas hubungan luar negeri juga dipengaruhi oleh proliferasi

    aturan hukum dan perundang-undangan nasional yang bersinggungan

    dengan hubungan luar negeri termasuk sengketa yang lahir dari

    pelaksanaan aturan hukum dan perundang-undangan tersebut. Misalnya

    RUU Pertembakauan yang masuk prolegnas 2017 mengandung beberapa

    ketentuan yang bertentangan dengan komitmen Indonesia di berbagai

    instrumen hukum internasional di WTO.

    Sebagai akibat dari dinamika ini, muncul berbagai sengketa antara

    negara dengan non-state actor seperti MNCs. Hal ini tidak lepas dari fakta

    bahwa pelaksanaan suatu perjanjian internasional terkadang terbentur

    dengan aturan hukum nasional.

    Selama ini belum ada rujukan dasar hukum yang mengatur siapa

    yang menjadi koordinator apabila terjadi sengketa yang timbul dari suatu

    perjanjian internasional (treaty based dispute). Praktik selama ini,

    koordinator penyelesaian sengketa adalah K/L yang menangani perjanjian

    internasional dimaksud. Di sisi lain, Kementerian Luar Negeri menurut

    peraturan perundang-undangan memiliki satuan kerja setingkat eselon 1

    yang mempunyai tugas dan fungsi untuk menangani penyelesaian sengketa

    yang timbul dari suatu perjanjian internasional.

    Kondisi yang diharapkan (Das Sollen)

    Kegiatan pembuatan, pengawasan, evaluasi, termasuk penyelesaian

    sengketa yang bersumber dari perjanjian internasional tidak dapat

    dipisahkan satu sama lain. Oleh karena itu, diperlukan suatu norma

  • HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017

    Page 34 of 87

    hukum yang tegas mengenai hal ini. Pengaturan hal ini sebaiknya diatur

    dalam revisi UU Hublu yang baru.

    4. Aspek Aparatur Hubungan Luar Negeri

    Kondisi Saat Ini (Das Sein)

    Sesuai dengan core tugas Perwakilan RI, Unsur Pelaksana Utama

    dalam pelaksanaan operasional Perwakilan adalah Pejabat Fungsional

    Diplomat yang berasal dari unsur Kementerian Luar Negeri. Pejabat

    Fungsional Diplomat adalah Jabatan Fungsional Tertentu dimana

    Kementerian Luar Negeri merupakan instansi pembinanya. Core tugas

    jabatan dari Jabatan Fungsional Diplomat adalah melaksanakan diplomasi

    guna memperjuangkan kepentingan bangsa, negara, dan pemerintah

    Indonesia dengan negara-negara mitra dan/atau organisasi internasional

    melalui representing, negotiating, promoting, reporting, protecting, dan

    managing.

    Di dalam UU Hublu saat ini, terdapat istilah Pejabat Dinas Luar

    Negeri (PDLN). Pasal 31 dan Pasal 32 UU Hublu sama-sama memberikan

    definisi untuk istilah PDLN tersebut. Pasal 31 menyebutkan bahwa PDLN

    adalah Pegawai Negeri Sipil yang telah mengikuti pendidikan dan latihan

    khusus untuk bertugas di Departemen Luar Negeri dan Perwakilan RI.

    Kemudian Pasal 32 menyebutkan bahwa PDLN adalah Pejabat Fungsional

    Diplomat. Pejabat Fungsional Diplomat dapat memegang jabatan struktural

    selain sebagai jabatan fungsional. Tahun 2014 lalu, telah diterbitkan UU

    kepegawaian yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014

    tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Menurut UU ASN, seorang PNS

    tidak dapat memegang jabatan struktural dan jabatan fungsional pada saat

    yang bersamaan. UU ASN tidak mengenal istilah PDLN dan praktek selama

    ini di Kemlu dan Perwakilan RI dimana seorang Pejabat Fungsional

    Diplomat dapat memegang jabatan struktural dan fungsional pada saat

    yang bersamaan, tidak dapat diterima di dalam UU ASN.

  • HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017

    Page 35 of 87

    Kondisi Yang Diharapkan (Das Sollen)

    Jabatan Fungsional Diplomat memiliki karakter khusus karena

    diadopsi dari sistem jenjang kepangkatan diplomatik yang berlaku di

    seluruh dunia. Terdapat delapan jenjang kepangkatan mulai dari yang

    terendah, Atase, hingga yang tertinggi, Duta Besar. Jenjang kepangkatan

    diplomatik ini digunakan khususnya ketika seorang diplomat akan bertemu

    dengan counterpart-nya dari negara sahabat. Ketika seorang Eselon II

    melepas jenjang kepangkatan diplomatiknya, yang bersangkutan tidak

    dapat bertemu dengan counterpart-nya padahal pertemuan dimaksud

    membutuhkan pengambilan keputusan tingkat Eselon II. Karena

    kekhususannya ini, sifat dari Jabatan Fungsional Diplomat harus tertutup.

    Jabatan struktural di Kemlu juga tidak dapat dijabat oleh pejabat selain

    Jabatan Fungsional Diplomat dikarenakan sifat Kemlu sebagai koordinator

    hubungan luar negeri dan politik luar negeri. ASN dari K/L lain yang ingin

    pindah ke Kemlu untuk menjabat dalam jabatan struktural, harus menjadi

    pejabat fungsional diplomat terlebih dahulu.

    D. Kajian Terhadap Implikasi Sistem Baru Yang Akan Diatur Dalam Undang-Undang Terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat Dan

    Dampaknya Terhadap Aspek Beban Keuangan Negara

    1. Aspek Kelembagaan

    Sistem money follows function dan single budgeting policy di Perwakilan

    akan membuat sistem anggaran menjadi lebih efektif dan efisien. Sistem

    tersebut juga akan menciptakan suatu sistem yang lebih terkoordinir

    dan terpadu.

    2. Aspek Perlindungan WNI/BHI

    Pembangunan sistem database yang terintegrasi dengan berbagai K/L.

    Perlindungan WNI akan lebih ditekankan/difokuskan kepada warga

    negara.

    3. Aspek Organisasi Internasional

  • HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017

    Page 36 of 87

    Dengan penerapan asas selektif, biaya dan manfaat (cost and benefit),

    keikutsertaan Indonesia dalam suatu OI tidak hanya didasarkan pada

    aspek politik namun pada manfaat yang akan diperoleh Indonesia dari

    OI tersebut.

    4. Aspek Kerja Sama Daerah

    Penegasan bahwa daerah dapat melakukan kerja sama internasional

    dengan pemerintah daerah/lembaga di luar negeri, namun bukan untuk

    membuat suatu perjanjian internasional.

    5. Aspek Kerja Sama Teknik

    Peningkatan hubungan Indonesia dengan negara sahabat melalui

    program-program Kerja Sama Teknik. Penegasan kedudukan

    Kementerian Luar Negeri untuk mengkoordinasi kerja sama teknik

    dengan negara lain. Terbentuknya suatu badan yang menangani kerja

    sama teknik sebagai badan dari diplomasi Indonesia.

    6. Aspek Pemberian Fasilitas Diplomatik

    Terkoordinasinya pemberian fasilitas diplomatik di bawah kewenangan

    Kementerian Luar Negeri sesuai kebiasaan dan hukum internasional

    yang berlaku.

    7. Aspek Perjanjian Internasional

    Penegasan bahwa Menlu mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan yang

    berhubungan dengan perundingan (negosiasi) dalam pembuatan norma

    hukum dan perjanjian internasional, meliputi pembuatan perjanjian

    internasional (penetapan posisi perundingan, surat kepercayaan dan

    surat kuasa), monitoring pelaksanaan perjanjian internasional, evaluasi

    pelaksanaan perjanjian internasional, dan penyelesaian sengketa yang

    timbul dari perjanjian internasional dan hukum internasional lainnya.

  • HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017

    Page 37 of 87

    BAB III

    EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

    TERKAIT

    1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik beserta Protokol Opsionalnya

    Mengenai Hak Memperoleh Kewarganegaraan (Vienna Convention on

    Diplomatic Relations and Optional Protocol to the Vienna

    Convention on Diplomatic Relations Concerning Acquisition of

    Nationality), 1961 dan Pengesahan Konvensi Mengenai Hubungan

    Konsuler beserta Protokol Opsionalnya Mengenai Hak Memperoleh

    Kewarganegaraan (Vienna Convention on Consular Relations and

    Optional Protocol to the Vienna Convention on Consular Relations

    Concerning Acquisition of Nationality), 1963 (Lembaran Negara

    Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 2, Tambahan Lembaran

    Negara Republik Indonesia Nomor 3211)

    Konvensi yang mencerminkan pelaksanaan hubungan diplomatik

    ini ditujukan untuk meningkatkan hubungan persahabatan antara

    bangsa-bangsa di dunia tanpa membedakan ideologi ataupun sistem

    politik. Konvensi ini menetapkan aturan, antara lain memberikan hak-

    hak istimewa dan kekebalan diplomatik guna kelancaran pelaksanaan

    fungsi perwakilan diplomatik sebagai wakil negara. Konvensi ini

    mengatur mengenai hubungan konsuler, hak-hak istimewa, dan

    kekebalan-kekebalannya.

    Hak istimewa dan kekebalan tersebut diberikan guna menjamin

    pelaksanaan fungsi perwakilan konsuler secara efisien. Konvensi ini

    mengatur antara lain hubungan konsuler pada umumnya, fasilitas,

    hak-hak istimewa, dan kekebalan kantor perwakilan konsuler, pejabat

  • HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017

    Page 38 of 87

    konsuler, dan anggota perwakilan konsuler lainnya serta tentang

    pejabat-pejabat konsul kehormatan dan konsulat-konsulat kehormatan.

    Baik Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik, maupun

    Konvensi Wina mengenai Hubungan Konsuler masing-masing dilengkapi

    dengan Protokol Opsional mengenai Hak memperoleh kewarganegaraan

    dan Protokol Opsional mengenai Penyelesaian Sengketa Secara Wajib.

    Dalam hal ini, Indonesia telah menerima seluruh isi Konvensi Wina

    mengenai Hubungan Diplomatik beserta Protokol Opsionalnya dan

    Konvensi Wina mengenai Hubungan Konsuler beserta Protokol

    Opsionalnya, kecuali Protokol Opsional mengenai Penyelesaian Sengketa

    secara wajib. Pengecualian ini disebabkan karena Pemerintah RI lebih

    mengutamakan penyelesaian sengketa melalui perundingan dan

    konsultasi atau musyawarah antara negara-negara yang bersengketa.

    Protokol Opsional mengenai Hak Memperoleh Kewarganegaraan

    mengatur bahwa anggota-anggota perwakilan diplomatik dan

    perwakilan konsuler yang bukan warga negara penerima dan

    keluarganya tidak akan memperoleh kewarganegaraan negara penerima

    tersebut semata-mata karena berlakunya hukum di negara penerima

    tersebut.

    Sehubungan dengan hal tersebut diatas, terkait dengan Ketentuan

    Pasal 16 UU Hublu mengenai kekebalan diplomatik perlu diperjelas

    pengaturan mengenai pemberian kekebalan, hak istimewa dan

    pembebasan dari perwakilan asing dan para diplomatnya di Indonesia.

    2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Misi Khusus (Convention on Special Missions), New York,

    1969 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 3;

    Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3212)

  • HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017

    Page 39 of 87

    Undang Undang Nomor 2 Tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi

    mengenai misi Khusus adalah salah satu dasar hukum atau pedoman

    bagi Negara Indonesia dalam melaksanakan hubungan luar negeri.

    Undang-undang ini adalah ratifikasi atau pengesahan atas Konvensi

    Misi Khusus, New York 1969, yang telah diterima dan disahkan oleh

    PBB pada tanggal 8 Desember 1969 di New York.

    Konvensi ini menentukan aturan-aturan hukum yang berlaku untuk

    pengiriman dan penerimaan misi khusus, yaitu misi ke negara lain

    dengan persetujuan negara tersebut, dengan tujuan mengenai masalah

    khusus atau menjalankan hal-hal yang berhubungan dengan tugas

    khusus. Dalam konvensi ini juga terdapat protokol opsional mengenai

    kewajiban untuk menyelesaikan pertikaian atau sengketa secara wajib.

    Pokok-pokok materi yang diatur dalam Konvensi New York 1969

    mengenai Misi Khusus adalah sebagai berikut:

    a. Pengertian istilah-istilah yang dipergunakan dalam konvensi ini.

    1) Misi Khusus (special mission) adalah suatu misi yang bersifat

    sementara, mewakili negara, yang dikirim oleh suatu negara ke

    negara lain atas persetujuan negara terakhir untuk tujuan

    menyelesaikan persoalan khusus.

    2) Misi Diplomatik Permanen (Permanent diplomatic mission) adalah

    suatu misi diplomatik dalam artian seperti yang tercantum pada

    konvensi Wina mengenai hubungan diplomatik.

    3) Pos Konsuler (consular post) adalah suatu konsulat jenderal,

    konsulat, wakil konsulat atau perwakilan konsulat.

    4) Kepala Misi Khusus (head of a special mission) adalah orang yang

    diberi kekuasaan oleh negara pengirim melakukan tugas untuk

    bertindak dalam kapasitas itu.

    5) Seorang wakil negara pengirim (representative of the sending

    state in the special mission) dalam misi khusus adalah setiap

    orang, yang oleh negara pengirim diberi tugas untuk bertindak

    dalam kapasitas itu.

  • HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017

    Page 40 of 87

    6) Anggota-anggota misi khusus (member of a special mission)

    adalah kepala misi khusus, wakil-wakil negara pengirim di

    dalam misi khusus, dan anggota-anggota staf misi khusus.

    7) Anggota-anggota staf misi khusus (member of the staff of the

    mission) adalah anggota-anggota staf diplomatik, staf

    administrasi dan teknik serta staf pelayanan khusus.

    8) Anggota-anggota staf diplomatik (members of the diplomatic staff)

    adalah anggota-anggota staf misi khusus yang mempunyai

    status diplomatik untuk keperluan misi khusus.

    9) Anggota-anggota staf administrasi dan teknik (members of the

    administrative and technical staff) adalah anggota-anggota staf

    misi khusus yang dipekerjakan dalam pelayanan administrasi

    dan teknik misi khusus.

    10) Anggota-anggota staf pelayanan (members of the service staff)

    adalah anggota-anggota staf misi khusus, yang dipekerjakan

    sebagai pekerja rumah tangga atau tugas-tugas serupa.

    11) Staf pribadi (private staff) adalah orang-orang yang dipekerjakan

    khusus dalam pelayanan pribadi anggota-anggota misi khusus.

    b. Tugas dan Fungsi Misi Khusus

    1) Tugas misi khusus ini, sudah ditegaskan dalam Pasal 2

    konvensi, bahwa tugas misi khusus ditentukan oleh persetujuan

    bersama antara negara pengirim dan negara penerima.

    2) Kepala misi khusus atau jika negara pengirim tidak mengangkat

    seorang kepala, seorang wakil negara pengirim, yang oleh negara

    itu ditunjuk berhak bertindak atas nama misi khusus dan untuk

    menyampaikan komunikasi kepada negara penerima. Negara

    penerima menyampaikan komunikasi yang menyangkut misi

    khusus kepada kepala misi khusus atau jika tidak ada, kepala

    utusan yang disebut di atas, baik secara langsung maupun lewat

    misi diplomatik permanen.

    3) Namun, seorang misi khusus dapat diberi kuasa oleh negara

    pengirim, oleh kepala misi khusus atau wakil yang disebut di

  • HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017

    Page 41 of 87

    atas, baik mengganti kepala misi atau wakil di atas atau

    melakukan tindakan tertentu atas nama misi (Pasal 14).

    Dalam UU Hublu pengaturan mengenai pembukaan kantor

    perwakilan baik diplomatik, kantor konsulat maupun perwakilan tetap

    di organisasi internasional hanya di atur dalam Pasal 9 ayat (2) UU

    Hublu. Kedepannya perlu dikaji lagi dalam revisi UU Hublu, apakah

    perlu ada pengaturan yang lebih spesifik.

    3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (United

    Nations Convention on the Law of the Sea), (Lembaran Negara

    Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 76, Tambahan Lembaran

    Negara Republik Indonesia Nomor 3319) (perlu dihapus)

    Bagi bangsa Indonesia konvensi ini mempunyai arti penting karena

    untuk pertama kali konsep Negara Kepulauan yang selama bertahun-

    tahun diperjuangkan Indonesia telah berhasil memperoleh pengakuan

    resmi masyarakat internasional. Pengakuan resmi konsep negara

    kepulauan ini merupakan hal yang penting dalam rangka mewujudkan

    satu kesatuan wilayah sesuai dengan Deklarasi Djuanda 13 Desember

    1957 dan Wawasan Nusantara sebagaimana termaktub dalam

    Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang GBHN yang

    menjadi dasar perwujudan bagi kepulauan Indonesia sebagai satu

    kesatuan politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.

    Berdasarkan konvensi ini, Negara Kepulauan dapat menarik garis

    dasar/pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar

    pulau-pulau dan karang kering terluar kepulauan itu. Selain itu, Negara

    Kepulauan wajib menetapkan garis-garis dasar/pangkal kepulauan

    pada peta dengan skala yang cukup untuk menetapkan posisinya. Peta

    atau daftar koordinat geografi tersebut harus diumumkan sebagaimana

  • HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017

    Page 42 of 87

    mestinya dan satu salinan dari setiap peta atau daftar tersebut harus

    didepositkan pada PBB.

    Dengan diakuinya asas Negara Kepulauan maka perairan yang

    dahulu merupakan bagian dari laut lepas kini menjadi perairan

    kepulauan yang berarti menjadi wilayah perairan Indonesia. Dalam

    perairan kepulauan berlaku hak lintas damai (right of Innocent passage)

    bagi kapal-kapal negara lain, namun Negara Kepulauan dapat

    menangguhkan untuk sementara waktu hak lintas damai pada bagian

    tertentu apabila dianggap perlu untuk melindungi kepentingan

    keamanannya. Kapal asing dan pesawat udara asing juga dapat

    menikmati hak lintas alur laut kepulauan melalui alur laut dan rute

    penerbangan tersebut untuk transit dari suatu bagian Laut Lepas atau

    Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) ke bagian lain dari Laut Lepas atau ZEE.

    Meskipun kapal dan pesawat udara asing menikmati hak lintas alur

    laut kepulauan melalui alur laut dan rute penerbangan tersebut, tapi di

    bidang lain daripada pelayaran dan penerbangan tidak boleh

    mengurangi kedaulatan Negara Kepulauan atas air serta ruang udara di

    atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya, dan sumber kekayaan di

    dalamnya. Dengan demikian hak lintas alur laut kepulauan melalui rute

    penerbangan yang diatur dalam konvensi ini hanya mencakup hak

    lintas penerbangan melewati udara di atas alur laut tanpa

    mempengaruhi kedaulatan negara untuk mengatur penerbangan di atas

    wilayahnya sesuai dengan Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan

    Sipil atau kedaulatan Negara Kepulauan atas wilayah udara lainnya di

    atas perairan nusantara.

    Untuk menegaskan kepentingan Indonesia tidak hanya didaratan

    namun juga di laut. Revisi UU Hublu perlu mengatur mengenai tugas

    dan peran pemerintah dalam menjaga kedaulatan dan yurisdiksi di laut

    serta memperjuangkan kepentingan Indonesia di laut lepas.

  • HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017

    Page 43 of 87

    4) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000

    Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

    4012)

    Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian

    Internasional (UU Perjanjian Internasional) merupakan undang-undang

    yang mengatur lebih lanjut ketentuan Pasal 11 UUD NRI Tahun 1945,

    yang berbunyi:

    1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan

    perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.

    2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang

    menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat

    yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau

    mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus

    dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

    3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan

    undang-undang.

    Selain itu UU Perjanjian Internasional juga merupakan undang-

    undang yang melaksanakan perintah Pasal 15 UU Hublu, yang

    menyatakan “Ketentuan mengenai pembuatan dan pengesahan

    perjanjian internasional diatur dengan undang-undang tersendiri”.

    UU Perjanjian Internasional mengatur materi-materi yang berkaitan

    dengan perjanjian internasional antara lain definisi perjanjian

    internasional, pembuatan perjanjian internasional, pengesahan

    perjanjian internasional, pemberlakuan perjanjian internasional,

    penyimpanan perjanjian internasional, dan pengakhiran perjanjian

    internasional.

    Pengaturan mengenai perjanjian internasional baik yang terdapat

    dalam UU Perjanjian Internasional maupun UU Hublu selama ini sudah

  • HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017

    Page 44 of 87

    harmonis walaupun khusus untuk definisi Perjanjian Internasional

    sebagaimana terdapat dalam ketentuan Pasal 1 huruf a UU Perjanjian

    Internasional sedikit berbeda dengan definisi Perjanjian Internasional

    sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka 3 UU Hublu.

    Definisi Perjanjian Internasional menurut ketentuan Pasal 1 angka

    1 UU Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan

    nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat

    secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum

    publik, sedangkan definisi Perjanjian Internasional menurut ketentuan

    Pasal 1 angka 3 UU Hublu adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan

    apapun, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara

    tertulis oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih

    negara, organisasi internasional atau subyek hukum internasional

    lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah

    Republik Indonesia yang bersifat hukum publik.

    Sebagai RUU tentang Perubahan atas UU Hublu, khususnya yang

    berkaitan dengan Perjanjian Internasional perlu juga diharmoniskan

    pengaturannya dengan UU Perjanjian Internasional.

    Pasal 13 UU Hublu tentang kewenangan lembaga negara membuat

    perjanjian internasional tidak sejalan dengan pasal 11 UUD 45. Lebih

    lanjut ada inkonsistensi antara Pasal 13 dengan Pasal 14 UU hublu

    yang hanya mensyaratkan full power bagi pejabat pemerintah namun

    tidak mensyaratkan full power bagi pejabat lembaga negara.

    5) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

    2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

    Nomor 4151) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

    Nomor 35 Tahun 2008 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

    Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 Tentang

  • HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017

    Page 45 of 87

    Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang

    Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (perlu dihapus)

    Dalam UU Hublu menyatakan bahwa: Hubungan luar negeri

    adalah setiap kegiatan yang menyangkut aspek regional dan

    internasional yang dilakukan oleh pemerintah di tingkat pusat dan

    daerah, atau lembaga-lembaganya, lembaga negara, badan usaha,

    organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat,

    atau warga negara Indonesia.

    Kemudian dalam Pasal 5 UU Hublu juga mencantumkan bahwa

    “Hubungan Luar Negeri diselenggarakan sesuai dengan Politik Luar

    Negeri, peraturan perundang-undangan nasional dan hukum serta

    kebiasaan Internasional”.

    Terkait dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang

    Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (Undang-Undang Otsus Provinsi

    Papua) dalam Pasal 4 menyatakan bahwa “Perjanjian Internasional yang

    dibuat oleh Pemerintah yang hanya terkait dengan kepentingan Provinsi

    Papua dilaksanakan setelah mendapat pertimbangan Gubernur dan

    sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan". Kemudian

    Provinsi Papua dapat mengadakan kerja sama yang saling

    menguntungkan dengan lembaga atau badan di luar negeri yang diatur

    dengan keputusan bersama sesuai dengan ketentuan peraturan

    perundang-undangan.

    Mengenai bantuan luar negeri terhadap Provinsi Papua juga diatur

    dalam Pasal 35 Undang-Undang Otsus Provinsi Papua yang berbunyi

    “Provinsi Papua dapat menerima bantuan luar negeri setelah

    memberitahukannya kepada Pemerintah”. Kemudian Provinsi Papua

    dapat melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri dan/atau luar

    negeri untuk membiayai sebagian anggarannya. Adapun Pinjaman dari

    sumber dalam negeri untuk Provinsi Papua harus mendapat

  • HPE Draft Naskah Akademik RUU Hublu Per 9 Maret 2017

    Page 46 of 87

    persetujuan dari DPRP. Selanjutnya Pinjaman dari sumber luar negeri

    untuk Provinsi Papua harus mendapat pertimbangan dan persetujuan

    DPRP dan Pemerintah dengan berpedoman pada ketentuan peraturan

    perundang-undangan.

    P