BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.unj.ac.id/9292/2/BAB 1.pdf · berbeda di...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.unj.ac.id/9292/2/BAB 1.pdf · berbeda di...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan salah satu aspek kehidupan yang sangat penting.
Siapapun dapat mempelajari bahasa selain bahasa Ibu yang digunakan
sehari-hari karena banyak negara telah menyadari pentingnya
pengguunaan bahasa di era globalisasi seperti saat ini. Pada era globalisasi
bahasa diperlukan untuk berkomunikasi antarnegara di dunia. Komunikasi
yang dibutuhkan untuk bekerja sama, menambah koneksi perkenalan, dan
juga partner dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Sehingga
hubungan yang terjalin sudah dalam lingkup yang lebih luas yaitu secara
internasional.
Jika ditinjau menurut pendapat para ahli linguistik, bahasa
memiliki kedudukan sebagai berikut. Menurut Wibowo (2001:3), “bahasa
adalah sistem simbol bunyi yang bermakna dan berartikulasi (dihasilkan
oleh alat ucap) yang bersifat arbitrer dan konvensional, yang dipakai
sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan
perasaan dan pikiran”. Sama halnya dengan Wibowo menurut Gorys Keraf
(1997:1), “bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat
berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia.”
Berdasarkan pendapat kedua ahli tersebut dapat diambil kesimpulan
bahwa bahasa merupakan alat komunikasi yang memiliki sistem. Sistem
ini dihasilkan oleh alat ucap dan menghasilkan simbol bunyi yang
2
memiliki berbagai makna untuk menyampaikan pemikiran, juga perasaan
diantara anggota masyarakat. Maka dari itu, bahasa menjadi sangat
penting. Berangsur-angsur, semakin banyak orang juga yang
mempelajarinya. Tanpa adanya bahasa manusia tidak dapat berkomunikasi
dengan baik untuk saling bertukar pemikiran dan juga gagasan akan suatu
hal. Sehingga tidak terjadi komunikasi yang diharapkan dari kedua belah
pihak. Hal ini merupakan refleksi pengertian bahasa menurut KBBI yang
menyebutkan bahwa “Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang
arbriter, dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk
bekerjasama, berinteraksi dan mengidentifikasi diri” (Depdikbud, 1999).
Bahasa Jepang sendiri beberapa waktu belakangan ini merupakan
bahasa yang sangat diminati di berbagai negara. Tingkat perkembangan
bahasa Jepang di Indonesia juga termasuk sangat pesat. Sebagaimana
seperti yang tertera pada tabel hasil survei yang dilakukan oleh Japan
Foundation terkait klasifikasi jumlah pelajar dan pembelajar bahasa
Jepang di dunia pada tahun 2015. Pada hasil survei tersebut tercatat bahwa
di Indonesia terdapat sebanyak 2.496 lembaga pendidikan bahasa Jepang
dengan jumlah tenaga pengajar sebanyak 4.540 orang dan pembelajar
bahasa Jepang sebanyak 745.125 orang. Berdasarkan data survei tersebut
menjadikan Indonesia sebagai negara yang menduduki peringkat pertama
untuk pengajar dan pembelajar bahasa Jepang terbanyak di Asia Tenggara.
Selain itu disebutkan juga bahwa 「世界第 2 位の学習者数を抱えるイ
ン ド ネ シ ア 」 . Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dikatakan
3
Indonesia memiliki jumlah pembelajar bahasa Jepang terbanyak ke-2 di
dunia.
Meskipun rasio jumlah pengajar bahasa Jepang di Indonesia tinggi,
keterserapan pembelajaran masih belum optimal dan menemui banyak
kendala. Kendala pada saat mempelajari bahasa meliputi empat
keterampilan yakni membaca, menulis, mendengarkan, dan berbicara.
Keempat aspek keterampilan berbahasa ini saling berhubungan dan harus
dikuasai seseorang agar dapat berkomunikasi dengan baik. Namun, karena
perbedaan budaya, keempat aspek tersebut memiliki komponen yang
berbeda di dalamnya. Seperti kosa kata, pola kalimat, huruf dan cara baca.
Hal tersebut yang terkadang menjadi kendala pembelajar bahasa. Menurut
Sutedi (2011:45) keterampilan berbicara menjadi sulit karena pada saat
menerapkannya, pengucapan huruf, daya tangkap bunyi bahasa, dan juga
penggunaan aksen bahasa Jepang merupakan beberapa faktor yang juga
harus diperhatikan dan sampai saat ini menjadi kesulitan pembelajar
bahasa Jepang. Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan dapat
dipahami bahwa keterampilan berbicara merupakan output dari proses
pembelajaran mahasiwa yang telah dipelajarinya selama ini. Maka dari itu,
tidak mudah menerapkan keterampilan berbicara karena pembelajar harus
memiliki pemahaman yang cukup terlebih dahulu sehingga dapat
menerapkannya secara baik dan benar. Pada saat berbicarapun pembelajar
dituntut berpikir secara cepat dan tepat saat menerapkan berbagai macam
4
aspek yang mempengaruhi keterampilan berbicara seperti volume,
pelafalan, aksen, jeda juga intonasi.
Berdasarkan survei yang telah dilakukan di Program Studi
Pendidikan bahasa Jepang UNJ, dari keempat keterampilan berbahasa
tersebut keterampilan berbicara merupakan yang tersulit untuk dikuasai
sampel. Faktor kesulitan pembelajar bahasa Jepang dalam berbicara
banyak diantaranya merupakan kesulitan dalam penguasaan Hatsuon.
Hatsuon sendiri merupakan pelafalan/ pengucapan yang tepat dan
berterima dalam bahasa Jepang. Kedudukan Hatsuon dalam ilmu bahasa
dirasa sangat penting. Seperti halnya yang telah diungkapkan oleh Lado
dalam Endang (2000:2) bahwa “pesan dalam komunikasi akan diterima
baik oleh komunikan apabila mempertimbangkan kaidah bahasa yang
benar misalnya seperti kaidah pelafalan, pembentukan kata, dan struktur
kalimat”.
Mendukung teori sebelumnya, berdasarkan pemahaman peneliti
menurut teori Kazuhiro (2014:4-5) tentang studi kasus urgensi hatsuon
dalam bahasa Jepang, dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat beberapa
kelemahan jika seseorang tidak memiliki kemampuan hatsuon yang baik.
Pertama, pembelajar bahasa Jepang tidak memiliki nilai lebih saat
berbicara khususnya pada saat wawancara dalam bahasa Jepang. Kedua,
pada saat berbicara di depan banyak orang pembelajar tidak dapat
membuat audience tertarik untuk mendengarkan secara rinci dan
mendetail topik pembicaraan. Hal ini dapat menyebabkan audience merasa
5
lelah saat mendengarkan. Ketiga, pendengar sulit menangkap dan
menyimpulkan informasi secara detail. Hal ini mengakibatkan informasi
yang ingin disampaikan tidak dapat dimaknai secara benar dan akan terjadi
miscommunication karena memiliki makna yang bias atau salah.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pelafalan (hatsuon)
memegang peranan penting dalam kelancaran berkomunikasi. Ditambah
lagi, menurut Najoan pada artikel yang berjudul “Pengajaran Lafal Bahasa
Jepang di Indonesia dan Permasalahannya” (2014: Vol.5, No.1. Hal 2-3)
menjelaskan bahwa “rata-rata pengajar tidak mengadakan pembelajaran
lafal dengan alasan yang subjektif, sehingga pelafalan pembelajar bahasa
Jepang masih kurang baik.”. Berdasarkan teori tersebut dapat dipahami
bahwa pembelajaran hatsuon di Indonesia masih belum terealisasikan
dengan baik pada proses pembelajaran bahasa Jepang.
Berdasarkan beberapa alasan tersebut, peneliti melakukan
penelitian tentang pelafalan (hatsuon). Adapun pelafalan (hatsuon)
merupakan penelitian yang terdapat dalam bidang fonetik. Karena
penelitian fonetik merupakan tema yang sangat jarang diteliti dan menjadi
fokus pada sebuah penelitian. Penelitian tentang fonetik yakni penelitian
yang berhubungan langsung dengan bunyi bahasa dan pelafalan pada saat
berkomunikasi. Hal ini sejalan dengan penjelasan fonetik menurut
Sudarjanto dalam Marsono (2018:1) mengatakan bahwa fonetik
menyelidiki bunyi bahasa dari sudut tuturan atau ujaran (parole). Pada
penjelasan tersebut dapat dikatakan semua hal yang berkaitan untuk
6
meneliti ujaran kata merupakan ranah fonetik. Kajian fonetik dibagi
kedalam beberapa jenis lagi. Namun yang akan ditekankan dalam
penelitian ini yaitu kajian fonetik artikulatoris yang akan dianalisis dari
segi bunyi segmental (bunyi) dan suprasegmental (aksen). Fonetik
artikulatoris dapat dikatakan kajian sistematis bagaimana cara pengucapan
dan pelafalan sebuah kata dengan artikulasinya. Ranah fonetik yang diteliti
adalah analisis kesalahan mahasiswa dalam pelafalan bunyi bahasa yang
sering terjadi kesalahan. Karena sebelum meningkatkan kemampuan
pelafalan, penting bagi seorang pengajar untuk mengetahui dan
memperbaiki kesalahan pembelajar sebagai bahan evaluasi sehingga
kemapuan pembelajar dapat ditingkatikan.
Sebelumnya, penelitian tentang pelafalan bunyi telah dilakukan
oleh Astiya Handayani berjudul “analisis kesalahan pelafalan bunyi bahasa
Jepang oleh penutur bahasa sunda” pada tahun 2014, hasil pada tesis
tersebut menjelaskan kesalahan bunyi yang dikategorikan berdasarkan
struktur penyusunannya yakni bunyi vokal, bunyi konsonan-vokal, dan
bunyi konsonan-semivokal-vokal. Namun untuk bunyi “n” belum
dilakukan penelitian secara khusus. Sehingga atas saran tersebut peneliti
akan memfokuskan untuk meneliti lebih rinci lagi tentang kesalahan
berbahasa khususnya mengenai pelafalan dan aksen yang ada pada kata
berbunyi “n” dalam bahasa Jepang.
Pada penerapannya bunyi “n” merupakan bunyi khusus yang cukup
sulit diucapkan dalam bahasa Jepang. Hal ini disebabkan bunyi “n” dalam
7
bahasa Jepang merupakan satu-satunya bunyi tunggal konsonan yang tidak
diikuti bunyi vokal setelahnya. Sehingga pembelajar sulit melafalan
menggunakan alat ucap. Berikut tabel perbandingan bunyi “n” yang ada
pada bahasa Jepang dan Indonesia.
Tabel 1. 1
Perbandingan Bunyi "n" (Bahasa Indonesia-Bahasa Jepang)
Bil
abia
l
Lab
iod
enta
l
Alv
eola
r
Po
stA
lveo
lar
Pal
atal
Vel
ar
Uv
ula
r
Glo
tal
Nasal
[m] [n] [ɲ] [ŋ]
Bahasa
Indonesia
[m] [n] [ɲ] [ŋ] [N]
Bahasa
Jepang
Pada tabel (1.1) dapat dilihat perbedaan bunyi “n” dari kedua
bahasa. Namun dalam bahasa Jepang bunyi “n” memiliki satu lambang
bunyi lagi. Lambang bunyi ini disebut dengan vowel nasalization. Bunyi
ini terjadi jika bunyi “n” bergabung dengan bunyi vokal, semi vokal, atau
bunyi frikatif ([s], dan [h]). Bunyi ini dilafalkan dengan cara membentuk
mulut seperti melafalkan bunyi vokal namun bunyi yang dikeluarkan
sambil menutup rongga hidung sehingga menjadi vokal dengung.
Biasanya bunyi jenis ini dilambangkan dengan lambang bunyi (ũ/ĩ).
Bunyi “n” dalam bahasa Jepang juga memiliki keistimewaan
yakni dapat berubah bunyi sesuai dengan fonem pasangan minimal
8
setelahnya. Berikut distribusi lambang bunyi dan pasangan minimal
sebuah kata.
Tabel 1. 2
Aturan Perubahan Bunyi "n" dalam Bahasa Jepang
[N] [m] [n] [ɲ] [ŋ] ũ/ĩ
Bunyi “n”
terletak
diakhir kata /
kalimat
n+p n+t n+ni n+k n+w
n+b n+d n+ch n+g n+y
n+m n+n n+j n+s
n+r n+h
n+z n+huruf vokal
Berdasarkan tabel (1.2) dapat diketahui jenis dan kategori
pasangan minimal sebuah fonem dan tipe perubahan bunyi yang
dilafalkan. Contoh perubahan bunyi “n” dapat dilihat melalui contoh kata
berikut ini :
Bunyi “n” mengalami perubahan bunyi karena diikuti oleh bunyi
“k” setelahnya. Sehingga pelafalan menjadi bunyi “ng” disertai letupan
setelahnya. Contoh : Kankaku [kaŋkakɯ]. Perubahan bunyi “n” juga tidak
hanya terjadi dalam internal sebuah kata. Pada penerapannya untuk bunyi
“n” pada akhir kata namun terdapat pada tengah kalimat bunyi “n”
berubah mengikuti perubahan huruf setelahnya. Contoh : “Nihon mo....”
pada contoh penggalan kalimat diatas bunyi “n” tidak langsung diucapkan
“ng” secara jelas karena akhir kata, namun berubah mengikuti bunyi
setelahnya menjadi “nihom mo...” . Perubahan bunyi ini yang hanya
dimiliki oleh bunyi “n” dalam bahasa Jepang tidak dimiliki oleh bunyi
9
yang lain. Pada penerapannya, bunyi “n” juga dapat mengubah makna kata
jika penutur tidak melafalkannya dengan benar. Contohnya adalah pada
kata 「お電話」“Odenwa”. Saat “n” dilafalkan menjadi bunyi “ng” maka
pendengar dapat salah menangkap arti kata tersebut. Bukan telephone tapi
bisa saja pendengar berpikir bahwa yang dimaksud adalah makanan khas
jepang yaitu “oden”. Maka dari itu pelafalan pada bunyi “n” menjadi
penting untuk dikuasai oleh pembelajar bahasa Jepang agar makna yang
ada dalam kalimat dapat tersampaikan dengan baik dan tidak memiliki
bermakna ganda atau bias.
Selain pelafalan secara segmental, bunyi “n” juga memiliki
keistimewaan lain yakni dalam bunyi suprasegmentalnya. Bunyi ini
meliputi bunyi aksen yang terdapat didalamnya. Karena bunyi “n” berdiri
sendiri sehingga letak aksen dapat keliru saat dilafalkan. Keistimewaan
bunyi “n” dirasa sulit dalam penerapannya, terkadang kesalahan tidak
terlalu disadari oleh pembelajar bahasa Jepang. Melalui penelitian ini
diharapkan dapat mengidentifikasi kesalahan berbahasa mahasiswa
pendidikan bahasa Jepang dari segi segmental dan suprasegmental yang
terdapat dalam sebuah kata. Supaya dapat menjadi evaluasi kedepannya.
Materi bunyi “n” yang akan diujikan diambil dari kalimat dajare.
Dajare merupakan salah satu permainan kata dalam bahasa Jepang. Kata-
kata yang muncul merupakan kata yang dibuat berima yang dirangkai
menjadi sebuah kalimat. Dajare juga merupakan jenis permainan kata
yang sudah lama ada di Jepang yang digunakan sebagai lelucon Jepang.
10
Dajare masih tetap ada sampai sekarang dan semakin berkembang dari
bentuk kata, kalimat, bahkan makna yang terkandung di dalamnya pun
semakin beragam. Biasanya dajare dibuat untuk membuat percakapan
terasa lebih menyenangkan dan tidak terlalu serius. Namun, setelah
melakukan wawancara terkait dajare kepada mahasiswa Universitas
Negeri Jakarta hasil yang didapat yakni masih banyak pembelajar yang
belum mengetahui dajare. Dajare memiliki karakteristik yaitu dalam satu
kalimat terdapat kata dengan bunyi bahasa yang mirip jika diucapkan
secara lisan. Sehingga sebagai sebuah permainan kata dajare dirasa dapat
digunakan sebagai instrumen tes untuk mengukur letak kesalahan
pelafalan dan aksen mahasiswa. Contoh analisis pelafalan dalam kalimat
dajare yakni sebagai berikut:
Contoh analisis kesalahan Aksen dan Pelafalan bunyi nasal “n”
kata homonim / near homonim. Sampel diambil di Universitas Darma
Persada pada tanggal 25 Juli 2019. Berikut soal dajare yang diberikan
kepada mahasiswa :
Soal Tes : 解凍時間を書いとう?次官?
Gambar 1. 1
Contoh Grafik Aksen pada Soal Dajare
11
Pada gambar (1.1) aksen audio OJAD menunjukkan bahwa aksen
時間(1A) yang diucapkan adalah jenis odakagata yakni diucapkan datar
dari awal sampai akhir suku kata. Sehingga menurut gambar aksen nada
yang dihasilkan tinggi hingga akhir kata atau “HHH\” penurunan terjadi
pada akhir silabel. Namun menurut teori aksen, pada suku kata pertama
dapat dilafalkan dengan pitch rendah sehingga kode aksen menjadi
“LHH\”. Pelafalan bunyi “n” berada pada akhir kata. Namun, karena
diikuti bunyi lain yaitu bunyi “w” pada partikel “wo ”setelahnya. Maka
bunyi dengan lambang bunyi “N” yang termasuk kedalam bunyi uvular
nasal berubah menjadi kategori bunyi vowel nasalization dengan lambang
bunyi “ũ”.
Selanjutnya, kata 次官(1B) memilki jenis aksen atamadakagata
yaitu aksen yang tinggi di awal suku kata dan menurun pada suku kata
kedua. Nada yang dihasilkan menjadi “HLL”. Namun pada kalimat dajare
ini nada pada akhir kata menaik karena dipengaruhi oleh intonasi dari
kalimat. Pelafalan bunyi “n” tidak mengalami perubahan karena bunyi “n”
berada pada akhir kalimat. Bunyi tetap dilafalkan uvular nasal.
Berdasarkan hasil dari data tes rekaman dajare yang dilaksanakan pada
bulan Juli 2019 di Universitas Darma Parsada. Peneliti mendapatkan lima
rekaman yang telah diujikan pada mahasiswa semester lima. Berikut
beberapa tabel analisis yang didapatkan dari para mahasiswa :
12
Tabel 1. 3
Contoh Klasifikasi Kesalahan Bunyi
Merujuk pada tabel 1.3 mengenai klasifikasi kesalahan pelafalan
bunyi “n” pada kata 時間 (1A) memiliki persentase kesalahan sebesar 60%.
Kesalahan perubahan bunyi yang salah yakni tetap diucapkan [ʥikaN].
Jika setelah bunyi “N” tidak ada bunyi lain hal tersebut benar akan tetapi
karena diikuti partikel “wo” bunyi yang semula [N] berubah menjadi
bunyi vowel nasalization [ũ]. Sehingga banyak mahasiswa yang terkecoh
dan tetap melafalkannya menjadi bunyi [N] atau “ng” secara jelas.
Pada kata 次官(1B) Persentase kesalahannya yakni 0%. Hatsuon
yang dilafalkan tetap uvular nasal [ʥikaN]. Bunyi yang dilafalkan yakni
bunyi “ng” secara jelas tidak ada bunyi dengung. Sehingga semua bunyi
yang dilafalkan sampel dapat dikategorikan ke dalam pelafalan bunyi yang
tepat dan benar. Berikut yakni tabel analisis yang menunjukan kesalahan
yang terjadi pada soal nomor satu secara keseluruhan dapat dilihat pada
tabel 1.4.
Kode
Soal Kata
Pelafalan
yang Benar
Pelafalan Sampel
yang Salah Jumlah
Persentase
(%)
1A Jikan + (wo) [ʥikaũ] [ʥikaN] 3 60
Total 3 60
1B Jikan [ʥikaN] - 0 0
Total 0 0
13
Tabel 1. 4
Contoh Rekapitulasi Kesalahan Bunyi
No. Pelafalan Kesalahan
Bunyi Jumlah
Persentase
(%)
1. [ʥikaN] [N] 3 30
Total kesalahan 3 30
Menurut data pada tabel 1.4 dapat diketahui bahwa secara
kesuluruhan kesalahan yang terjadi hanya satu kategori kesalahan bunyi.
Pelafalan sampel tidak diubah dan tetap dilafalkan uvular nasal [ʥikaN]
meskipun bunyi ditempatkan pada pertengahan kalimat. Seharusnya bunyi
dilafalkan menjadi vowel nasalization [ʥikaũ]. Sehingga pelafalan yang
diterapkan menjadi kurang tepat. Kesalahan ini hanya terjadi pada soal 1A
sebesar 30% atau sebanyak tiga bunyi salah dilafalkan oleh sampel.
Setelah analisis pelafalan secara bunyi segmental, selanjutnya adalah
analisis bunyi suprasegmental (aksen) pada kata berbunyi “n”.
Tabel 1. 5
Contoh Klasifikasi Kesalahan Aksen
Kode
Soal Kata Jenis Aksen
Kode
Grafik
Aksen
Kesalahan
Pelafalan Aksen Jumlah
Persentase
(%)
1A Jikan Odakagata HHH\
HLL
(Atamadakagata) 1 20
HHL
(Nakadakagata) 1 20
Total 2 40
1B Jikan Atamadakagata HLL
HHH atau LLL
(Heiban‟gata) 2 40
LLH
(+) 1 20
HLH
(+) 1 20
Total 4 80
14
Berdasarkan tabel 1.5 tentang klasifikasi kesalahan aksen, dapat
disimpulkan bahwa pada kata pertama yaitu 時間(1A) memiliki persentase
kesalahan sebesar 40%. Kesalahan terjadi karena kesalahan formasi aksen
dari yang telah ditentukan. Kesalahan aksen yang dilafalkan yang pertama
adalah perubahan aksen menjadi jenis Nakadakagata (gambar 1.2). Jenis
aksen ini diucapkan menaik pada awal sampai tengah kata lalu menurun
pada suku kata terakhir aksennya menjadi “LHL”. Selain itu ada juga
sampel yang mengubah aksen menjadi jenis aksen Atamadakagata
(gambar 1.3) atau aksen naik pada suku kata pertama dan mulai menurun
sampai akhir. Aksen yang diucapkan menjadi “HLL”.
Gambar 1. 2 Contoh Kesalahan Formasi 1
Gambar 1. 3 Contoh Kesalahan Formasi 2
15
Pada kata 次官 (1B) kesalahan sebesar 80%. Dua kesalahan
termasuk ke dalam kesalahan formasi aksen dan dua kesalahan lainnya
tidak dapat dikategorikan ke dalam jenis aksen bahasa Jepang. Satu
sampel diantaranya dikategorikan dalam kesalahan penambahan pitch dan
satu sampel lainnya dikategorikan dalam kesalahan pengurangan pitch
aksen. Kesalahan formasi yang terjadi adalah mengubah aksen kedalam
jenis heiban‟gata (gambar 1.4) atau aksen datar. Kesalahan ini paling
banyak ditemukan karena sampel tidak terbiasa dengan bunyi naik pada
awal kalimat. Kesalahan pengurangan pitch terjadi pada suku kata kedua
sehingga aksen menjadi “HLH” (gambar 1.5). Hal ini disebabkan karena
penekanan yang jelas pada suku kata kedua karena memberikan jeda pada
tengah kata sehingga nada mengalami penurunan tiba-tiba. Kesalahan
penambahan pitch terjadi pada akhir kata menjadi “LLH” (gambar 1.6).
Kesalahan penaikan ini terjadi karena dipengaruhi oleh intonasi sehingga
sampel terlalu cepat menaikan aksen. Namun dari kedua kesalahan yang
terdeteksi pada kata 次官 (1B) memiliki kecenderungan mengucapkan
aksen heiban‟gata atau aksen datar.
Gambar 1. 4 Contoh Kesalahan Formasi 3
16
Gambar 1. 5 Contoh Kesalahan Unik 1
Gambar 1. 6 Contoh Kesalahan Unik 2
Berdasarkan contoh data yang telah dianalisis kata yang terdengar
sama namun memiliki arti yang berbeda di dalam kalimat ini adalah
“jikan”. Tahap pertama setiap kalimat dajare yang dijadikan materi
dimasukan ke dalam aplikasi bernama OJAD (Online Japanese Accent
Dictionary) untuk mendapatkan rekaman yang sesuai pelafalan dan aksen
yang tepat. Tahap kedua, peneliti merekam suara masing-masing
mahasiswa pada saat yang dijadikan sampel. Tahap ketiga, kedua rekaman
tersebut dibandingkan sehingga dapat diketahui letak perbedaan hatsuon.
Kesalahan pelafalan akan dikaji berdasarkan teori klasifikasi bunyi “n”
menurut pendapat Kazuhiro (2011:62-64) dan kesalahan aksen akan dikaji
menurut pendapat Kazuhiro (2011:89) yang terdapat dalam buku “Onsei o
Oshieru”. Ketika menganalisis peneliti menggunakan aplikasi Praat untuk
17
mengetahui kontur aksen dan letak kesalahannya. Hal ini dimaksudkan
agar data dapat dijelaskan secara lebih valid. Tahap keempat, data
kesalahan dijelaskan dalam bentuk narasi atau teknik penjelasan deskriptif
kualitatif. Tahap kelima hasil akhir semua data disatukan untuk diketahui
persentase tingkat kesalahan yang terjadi. Secara garis besar penelitian ini
dapat memetakan tingkat dan letak kesalahan hatsuon pada bunyi “n” baik
secara segmental maupun suprasegmental. Selain itu juga dapat diketahui
penyebab kesalahan yang terjadi. Sehingga hasil akhir pada penelitian ini
dapat bermanfaat bagi pengajar sebagai bahan evaluasi, pemetaan
kesalahan mahasiswa dan data pendukung rancangan pembelajaran.
B. Fokus dan Subfokus
Fokus utama pada penelitian ini yakni berupa kesalahan yang
termasuk ke dalam kategori error. Kesalahan ini difokuskan karena pada
penerapannya pembelajar tidak mengetahui bahwa kesalahan terjadi.
Untuk memperbaikinya pembelajar tidak bisa secara mandiri dan perlu
adanya bimbingan langsung oleh pengajar. Subfokus pada penelitian ini
adalah kesalahan pada bidang fonetik artikulatoris yaitu hatsuon yang
terdapat pada bunyi “n”. Hatsuon dibahas melalui dua pendekatan yaitu
secara segmental untuk mengetahui kesalahan pada pelafalan bunyi “n”
dan secara suprasegmental untuk mengetahui kesalahan pada jenis aksen
yang ada dalam kata berbunyi “n”. Peneliti memilih materi berupa kalimat
dajare yang ada dalam website khusus dajare bernama dajare.jp dan
18
dajarenavi.net. Adapun alasan pemilihan kedua website ini dikarenakan
website ini merupakan laman khusus kumpulan dajare terbesar di Jepang.
Dajare yang muncul pun beragam, dajare yang akan digunakan
merupakan kalimat dajare yang memiliki komponen fonem “n”. Sampel
pada penelitian ini adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa
Jepang Universitas Negeri Jakarta yang mengambil mata kuliah nihongo V
pada tahun akademik 2019/2020. Pemilihan sampel ini didasari bahwa
mahasiswa nihongo V merupakan pembelajar yang berada pada tingkat
tertinggi pembelajaran bahasa Jepang di Universitas Negeri Jakarta pada
periode tersebut. Selain itu juga termasuk ke dalam kategori advanced dan
sedang aktif menerapkan hatsuon pada proses pembelajaran.
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah kesalahan bunyi “n” yang dilafalkan oleh mahasiswa
Nihongo V?
2. Bagaimanakah kesalahan jenis aksen pada kata berbunyi “n” yang
dilafalkan mahasiswa Nihongo V?
3. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan kesalahan (error) pada aksen
dan pelafalan bunyi “n”?
19
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis pada penelitian ini bertujuan untuk menambah
suatu kajian atau khasanah tentang bidang ilmu yang diteliti.
Sebelumnya, penelitian terkait linguistik terapan dalam mengkaji
bidang fonetik bahasa Jepang belum banyak diteliti di Indonesia.
Selain itu materi hatsuon atau pelafalan belum dibahas secara khusus
dan lebih rinci pada saat proses pembelajaran. Sehingga diharapkan
penelitian ini dapat membantu memeperluas kajian dalam bidang
linguistik bahasa Jepang dari segi pembahasan fonetik artikulatoris.
Pada penelitian ini dapat diketahui seberapa fasih mahasiswa dalam
mengucapkan bunyi, mengetahui letak kesalahan juga penyebab
kesalahan baik dari segi segmental (pelafalan bunyi) maupun
suprasegmental (aksen) pada kata berbunyi “n”. Selain itu hasil pada
penelitian ini juga diharapkan dapat memperluas dan melengkapi hasil
penelitian dari beberapa penelitian yang relevan yang telah dilakukan
sebelumnya, sehingga hasil penelitian ini menjadi acuan kompetensi
dan kesalahan pada bidang fonoetik bahasa Jepang khususnya pada
subbab hatsuon.
2. Manfaat Praktis
Berikut adalah beberapa manfaat praktis yang terdapat pada
penelitian ini beserta contoh implementasinya pada bidang
pembelajaran bahasa Jepang.
20
1) Untuk Pengajar
a) Mengetahui kompetensi dan kemampuan pembelajar.
b) Memetakan tingkat, letak dan penyebab kesalahan pelafalan
bunyi “n” dan aksen di dalamnya.
c) Bahan evaluasi pembelajaran dan acuan membuat membuat
butir soal.
d) Acuan untuk pengajaran bahasa khususnya dalam bidang
linguistik bahasa Jepang khususnya hatsuon.
2) Untuk Pembelajar
a) Linguistik bahasa Jepang
Penelitian ini dapat membantu linguistik bahasa
Jepang khususnya pada ranah fonetik pada subbab pelafalan
(hatsuon) sebagai acuan dalam mempelajari bunyi “n” dan
aksen bahasa Jepang. Pembelajar dapat mengetahui daerah
rawan kesalahan, dapat mengetahui penerapan pelafalan
lambang bunyi dan aksen secara baik dan benar sehingga
meminimalisir kesalahan pada saat mengaplikasikannya
dengan alat ucap.
b) Choukai
Penelitian ini dapat membantu dalam menentukan
perbedaan pelafalan bunyi, aksen, atau silabel dalam bahasa
Jepang. Hal ini bermanfaat untuk melatih pembelajar dalam
21
membiasakan persepsi mengidentifikasi bunyi dan aksen
secara tepat.
c) Kaiwa
Untuk membiasakan pembelajar menggunakan
hatsuon (pelafalan secara fonetis dan aksen) sesuai dengan
aturannya yang tepat saat berbicara. Hal ini dapat
menigkatkan kemampuan hatsuon pembelajar supaya dapat
lebih luwes dan lebih mendekati pelafalan seorang native
bahasa Jepang.