BAB I PENDAHULUAN A. LATAR...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. LATAR...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kemerdekaan bangsa Indonesia yang di Proklamasikan pada tanggal 17 agustus
1945 tidak dapat dilepaskan dari cita-cita pembaharuan hukum. Dalam pernyataan
kemerdekaan Bangsa Indonesia itu sekaligus juga terkandung pernyataan untuk merdeka
dan bebas dari belenggu penjajahan hukum kolonial. Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 menegaskan bahwa pernyataan kemerdekaan Bangsa Indonesia disamping
merupakan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa juga didorong oleh keinginan luhur Bangsa
Indonesia untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas. Keinginan luhur untuk
berkehidupan kebangsaan yang bebas itu ingin dicapai dengan membentuk pemerintahan
Negara Indonesia disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar 1945.1 Ini berarti,
kemerdekaan dan kebebasan yang ingin dicapai adalah kebebasan berkehidupan sebagai
bangsa yang bebas dalam keteraturan atau dalam arti berkehidupan yang bebas dalam
suatu tertib/tatanan hukum.
Tujuan dan cita-cita dari Bangsa Indonesia yang ingin diwujudkan dari kemerdekaan
dapat dilihat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat yaitu: melindungi segenap
Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, berdasarkan Pancasila.2
Tujuan pembangunan nasional yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 itu semata-
mata demi terciptanya kesejahteraan bagi Bangsa Indonesia dan untuk mencapai
semuanya itu maka dilakukan pembangunan. Adapun pembangunan yang dilakukan tidak
1 Barda Nawawi Arief ,2010, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara,
cetakan keempat, Genta Publishing, Yogyakarta, hal. 1. 2 Kabinet indonesia Bersatu Jilid 2 UUD 1945 dan Perubahannya, 2011, Mata Elang Media, Jakarta, hal. 8.
2
hanya pada satu sisi kehidupan saja akan tetapi pada semua sisi kehidupan berbangsa dan
bernegara termasuk didalamnya pembangunan hukum.
Seiring dengan laju perkembangan pembangunan hukum di Indonesia, berkembang
pula bentuk-bentuk kejahatan di tengah-tengah masyarakat. Dalam upaya menanggulangi
kejahatan-kejahatan tersebut dilakukan suatu kebijakan kriminal (Criminal Policy),
kebijakan itu meliputi secara terpadu upaya penal dan non penal. Untuk merumuskan atau
membuat hukum pidana lebih baik, tentunya bukanlah suatu pekerjaan yang sangat
mudah, apalagi ilmu hukum pidana sendiri merupakan bagian dari ilmu pengetahuan
sosial yang senantiasa terus berkembang bahkan berubah mengikuti perkembangan dan
kondisi zaman. Hukum itu sendiri pada kenyataannya memang merupakan suatu gejala
sosial budaya yang berfungsi untuk menerapkan kaidah-kaidah dan pola prilaku tertentu
terhadap individu-individu di dalam masyarakat.
Ilmu hukum mempelajari gejala-gejala sosial budaya serta menerangkan arti dan
maksud kaidah-kaidah itu. Oleh karenanya pembaharuan hukum pidana sangat penting
untuk mengatasi segala persoalan seiring dengan perkembangan zaman, selain itu
pembaharuan hukum yang dilakukan juga semata-mata demi tercapainya perlindungan
masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut
di atas Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa3;
Sasaran atau tujuan akhir dari kebijakan kriminal (Politik Kriminal) adalah
perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Kebijakan atau
upaya penanggulangan kejahatan merupakan bagian integral dari upaya
perlindungan masyarakat (Social Defence) dan untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat (Social Welfare).
3 Barda Nawawi Arief, Op Cit, hal. 4.
3
Hal ini berarti, dengan semakin majunya perkembangan masyarakat maka akan
terjadi pula pergeseran nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang berimplikasi pada
terjadinya perubahan tatanan sosial itu sendiri sehingga menuntut terjadinya perubahan
norma hukum disatu sisi dan perubahan cara pandang terhadap perbuatan-perbuatan
tertentu yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan tercela dan merugikan masyarakat.
Sehingga dalam melaksanakan hukum pidana berarti mewujudkan peraturan-peraturan
perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu
dan untuk masa-masa yang akan datang.
Usaha pembaharuan hukum pidana di Indonesia tentunya tidak terlepas dari politik
hukum yang bertugas untuk meneliti perubahan-perubahan yang perlu diadakan terhadap
hukum yang ada agar supaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru di dalam masyarakat.
Politik hukum tersebut meneruskan arah perkembangan tertib hukum, dari “Ius
Constitutum” yang bertumpu pada kerangka landasan hukum yang terdahulu menuju pada
penyusunan “Ius Constituendum” atau hukum pada masa yang akan datang. Hukum pada
dasarnya berangkat dari dua asumsi dasar : pertama, hukum adalah untuk manusia bukan
sebaliknya. Maka kehadiran hukum bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu
yang lebih luas dan besar. Jika terjadi permasalahan di dalam hukum, maka hukumlah
yang harus ditinjau dan di perbaiki, bukan manusia yang dipaksa-paksa ke dalam skema
hukum. Kedua, hukum bukan merupakan institusi yang mutlak dan final, karena hukum
selalu berada pada proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making).4
Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya mengandung makna, suatu upaya
untuk melakukan peninjauan dan penilaian kembali sesuai dengan nilai-nilai sentral
sosio-politik, sosio-filosofi dan sosio-kultural masyarakat indonesia yang melandasi
4 Yudi kristiana, 2010, menuju Kejaksaan Progresif, Masyarakat Transparansi Indonesia, Jakarta. Hal. 13
4
kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. 5
Upaya pembaharuan hukum pidana Indonesia mempunyai suatu makna yaitu
menciptakan suatu kodifikasi hukum pidana nasional untuk menggantikan kodifikasi
hukum pidana yang merupakan warisan kolonial yakni Wetboek van Strafrecht Voor
Nederlands Indie 1915, yang merupakan turunan dari Wetboek van Strafrecht Negeri
Belanda tahun 1886.6 Meskipun dalam KUHP sekarang ini telah dilakukan tambal sulam,
namun jiwanya tetap tidak berubah, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana “Wetboek van
Strafrecht atau yang disingkat W.v.S atau KUHP yang sehari-hari digunakan oleh para
praktisi hukum Indonesia telah berusia lebih dari 66 tahun. Selama itu ia mengalami
penambahan, pengurangan atau perubahan, namun jiwanya tidak berubah”.
Dari hal tersebut di atas, terkandung tekat dari bangsa Indonesia untuk mewujudkan
suatu pembaharuan hukum pidana yang dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk
melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral
sosio-politik, sosio-filosofi dan sosio-kultural yang melandasi dan memberi sisi terhadap
muatan normatif dan substansi hukum pidana yang dicita-citakan.7 Dalam pembaharuan
hukum pidana di Indonesia, terlebih dahulu haruslah diketahui permasalahan pokok
dalam hukum pidana. Hal tersebut demikian penting, karena hukum pidana merupakan
cerminan suatu masyarakat yang merefleksi nilai-nilai yang menjadi dasar masyarakat itu.
Bila nilai-nilai itu berubah, maka hukum pidana juga haruslah berubah.8 Menurut Barda
Nawawi Arief, makna dan hakikat dari pembaharuan hukum pidana sebagai berikut :
a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidanapada
hakekatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial
5 Barda Nawawi Arief, 2010, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cetakakan kedua, PT. Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, hal 30. 6 Muladi, 2005, Lembaga Pidana Bersyarat, cetakan ketiga, Alumni, Bandung, hal 4.
7 Barda Nawawi Arief, op cit, hal 29.
8 A.Z. Abidin, tanpa tahun, Bunga Rampai Hukum Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta, hal iii.
5
(termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai atau menunjang tujuan
nasional (kesejahteraan masyarakat).
b. Sebagai bagian dari kebijakan nasional, pembaharuan hukum pidana pada
hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya
penanggulangan kejahatan).
c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana
pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbarui substansi hukum (legal
subtance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.9
Pembaharuan hukum pidana tersebut akan mencakup beberapa permasalahan di
dalam hukum pidana itu sendiri, yaitu masalah tindak pidana (merupakan perbuatan apa
yang sepatutnya dipidana), kesalahan (syarat apa yang seharusnya dipenuhi untuk
menyalahkan/mempertanggungjawabkan seseorang yang melakukan perbuatan itu),
pidana ( sanksi apa yang yang sepatutnya dikenakan kepada orang yang disangka
melakukan perbuatan pidana). Masalah pidana dewasa ini terdapat masalah secara
universal yang terus dicarikan pemecahannya. Masalah tersebut karena ketidakpuasan
masyarakat terhadap lembaga peradilan dalam memberikan keadilan terhadap
masyarakat. Di Indonesia hari ini terus dicarikan pemecahan terhadap masalah tersebut,
antara lain peningkatan pemidanaan yang lebih berperikemanusiaan.
Pembaharuan hukum pidana yang menyangkut masalah utama di dalam hukum
pidana tidak akan terlepas dari pengaruh perkembangan teori-teori tentang tujuan
pemidanaan beserta aliran-aliran dalam hukum pidana yang mendasari perkembangan
teori tersebut. Perumusan teori tentang tujuan pemidanaan akan bermanfaat untuk
menguji seberapa jauh suatu pidana mempunyai daya guna dalam memberikan keadilan
9 Barda Nawawi Arief, log cit. hal 29
6
terhadap masyarat sebagai pelaku tindak pidana maupun sebagai korban dari tindak
pidana itu sendiri.
Berkaitan dengan sanksi pidana, maka jenis pidana perampasan kemerdekaan berupa
pidana penjara merupakan jenis pidana yang kerap dikenakan terhadap pelaku tindak
pidana oleh hakim. Proses hukum harusnya berdasarkan pada nilai-nilai atau jiwa bangsa,
sehingga tidak begitu saja menerima konsep hukum yang berasal dari luar. Jati diri
bangsa inilah yang merupakan filter masuknya nilai-nilai dari luar. Kebijakan hukum
pidana akan terus berkembang dinamis seiring perkembangan masyarakat.10
Perkembangan hukum pidana semakin banyak digunakan dan diandalkan untuk mengatur
dan menertibkan masyarakat melalui peraturan perundang-undangan. Setiap peraturan
hukum mengandung sebuah statemen mengenai konsekuwensi-konsekuwensi hukum.
Konsekuwensi ini merupakan sanksi hukum. Sanksi hukum adalah cara-cara menerapkan
suatu norma atau peraturan yang digariskan atau diotorisasi oleh hukum.
Dalam perjalanannya, sehubungan dengan perkembangan tujuan pemidanaan yang
tidak lagi hanya terfokus pada upaya untuk menderitakan atau pembalasan, akan tetapi
sudah mengarah pada upaya-upaya perbaikan ke arah yang lebih manusiawi, maka pidana
penjara merupakan jenis sanksi dalam hukum pidana yang paling sering digunakan mulai
menimbulkan kritikan dari banyak pihak terutama masalah efektivitas dan adanya
dampak negatif yang ditimbulkan dengan penerapan pidana tersebut. Barda Nawawi
Arief mengemukakan bahwa pidana penjara saat ini sedang mengalami “masa krisis”
karena termasuk salah satu jenis pidana yang “kurang disukai”, sehingga banyak kritik
tajam ditujukan terhadap jenis pidana perampasan kemerdekaan ini, baik dilihat dari
10
Teguh prasetyo, 2010, Kriminalisasi dalam hukum Pidana, Penerbit Nusa Media, Bandung,
7
sudut efektivitasnya maupun dilihat dari akibat-akibat negatif lainnya yang menyertai
atau berhubungan dengan dirampasnya kemerdekaan seseorang.11
“Sorotan dan kritik-kritik tajam terhadap pidana penjara itu tidak hanya
dikemukakan oleh para ahli secara perseorangan, tetapi juga oleh masyarakat bangsa-
bangsa di dunia melalui beberapa kongres internasional. Dalam Kongres PBB kelima
tahun 1975 di Geneva mengenai Prevention of Crime and the Treatment of Offenders,
antara lain dikemukakan, bahwa di banyak negara terdapat krisis kepercayaan terhadap
efektivitas pidana penjara dan ada kecenderungan untuk mengabaikan kemampuan
lembaga-lembaga kepenjaraan dalam menunjang usaha pengendalian kejahatan.” 12
Bangsa Indonesia yang merupakan bagian dari peradaban masyarakat dunia, dengan
memperhatikan dinamika yang terjadi, tentunya diharapkan dapat senantiasa mengikuti
dan mengadopsi hal-hal yang positif dan bermanfaat bagi kepentingan untuk semakin
meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan seluruh masyarakatnya dengan tetap
berpijak pada nilai-nilai kepribadian bangsa. Hal tersebut dapat dilakukan dengan
mengadopsi adanya perkembangan pemikiran tentang cara yang lebih tepat dan
manusiawi dalam memperlakukan para pelaku kejahatan.
Sejauh ini terdapat dua model alternatif yang dipilih masyarakat yaitu main hakim
sendiri ataupun melalui perdamaian. Secara umum masyarakat sendiri menilai bahwa
model penyelesaian main hakim sendiri dipandang negatif, akan tetapi pilihan kedua yaitu
melauli upaya perdamaian seharusnya merupakan alternatif yang positif.13
Berdasarkan
pendapat diatas banyak alternatif perubahan yang di tawarkan dan kemudian berkembang
menjadi sebuah faham atau teori dalam hukum pidana itu sendiri. Berkaitan dengan
pemberian sanksi pidana yang tidak hanya sebagai unsur pembalasan bagi pelaku tindak
11
Barda Nawawi Arief, 2010, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cetakakan kedua, PT. Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, hal 207. 12
Ibid, hal 206. 13
Eva Achjani Zulfa, 2010, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Lubuk Agung, Bandung. Hal 2.
8
pidana. Namun pidana itu juga harus memuat unsur pencegahan, rehabilitasi, usaha yang
ditujukan untuk menghilangkan rasa bersalah pelaku dan stigma negatif yang timbul pada
diri pelaku, serta membangun pengertian antar sesama anggota masyarakat dan
mendorong hubungan yang harmonis antar warga masyarakat.
Pidana bersyarat merupakan salah satu bentuk penerapan sanksi pidana yang diatur
dalam pasal 14a sampai dengan 14f KUHP. Pidana bersyarat baru dimasukkan ke dalam
WvS Hindia Belanda dengan Staatsblad 1926 No. 251 jo. 486 dan mulai berlaku pada
tanggal 1 Januari 1927.14
Pidana bersyarat ini dapat dilihat sebagai suatu kebijakan untuk
memperlunak penetapan jenis pidana oleh hakim. Dengan adanya ketentuan ini
diharapkan dapat mengurangi sifat kaku dari sistem perumusan tunggal yang merupakan
warisan dari aliran klasik. Artinya, apabila hakim dalam menghadapi perumusan tunggal
memandang tidak perlu menjatuhkan pidana penjara, maka ada jalan keluarnya yaitu
dengan menjatuhkan pidana bersyarat sebagai mana diatur dalam pasal 14a sampai
dengan 14f KUHP.
Namun adanya ketentuan pidana bersyarat di KUHP Indonesia hari ini masih
merupakan suatu masalah, karena ketentuan pidana bersyarat yang selama ini ada dan
diharapkan mengurangi sifat kaku dari sistem pidana penjara masih berlaku tidak
maksimal. Artinya, apakah ketentuan ini dapat mengurangi penerapan pidana penjara
yang hari ini sudah mengalami banyak krisis ketidakpercayaan terhadap pidana penjara.
Mengingat hari ini pidana bersyarat merupakan jenis penerapan pidana yang sangat
jarang digunakan, karena Pidana bersyarat bukan merupakan jenis pidana pokok
sebagaimana tercantum dalam pasal 10 KUHP. Jenis pidana yang sekarang sering
digunakan oleh lembaga peradilan kita masih jenis pidana perampasan kemerdekaan
(pidana penjara).
14
Barda Nawawi Arief, 2010, log cit, hal. 172
9
Ketentuan pidana bersyarat selama ini tidak banyak pengaruhnya terhadap
kemungkinan banyaknya pidana penjara yang dijatuhkan oleh hakim. Karena masih
banyak kelemahan tentang adanya penerapan dari pidana bersyarat. Seperti telah
disampaikan diatas bahwa pidana bersyarat bukan merupakan jenis pidana pokok yang
ada dalam KUHP Indonesia. Karena jika kita melihat ketentuan dalam KUHP, pidana
bersyarat bukanlah jenis pidana yang berdiri sendiri, tetapi melekat pada sistem pidana
penjara. Jadi, pidana bersyarat bukan merupakan jenis altenatif dari sanksi pidana penjara.
Istilah pidana bersyarat itu “membingungkan” dan “kurang tepat”, karena tidak
menentukan syarat untuk penjatuhan pidana, tetapi hanya sekedar menetapkan syarat
untuk tidak dilaksanakannya pidana, misal penjara yang sudah dijatuhkan oleh hakim.15
Pidana bersyarat menurut KUHP pasal 14a hanya dapat diberikan kepada orang yang
dijatuhi pidana penjara tidak lebih dari satu tahun, itupun hanya bersifat fakultatif. Tidak
ada ketentuan atau pedoman yang mengharuskan hakim menjatuhkan pidana bersyarat
dalam hal-hal tertentu.
Berdasarkan hal-hal tersebut pemberlakuan pidana bersyarat selama ini perlu
ditinjau kembali. Untuk memperlunak atau mengimbangi sistem perumusan pidana
penjara yang bersifat imperatif, maka harus ada ketentuan yang memungkinkan pidana
bersyarat dijatuhkan secara imperatif dalam hal-hal tertentu. Berdasarkan uraian terkait
dengan sanksi pidana tersebut, dengan adanya pidana bersyarat yang diharapkan mampu
mengurangi sifat kaku dari pidana penjara selama ini meski dalam pemberlakuan pidana
bersyarat tersebut masih mengandung banyak masalah dalam penerapannya.
Perkembangan orientasi pemidanan dengan adanya pidana bersyarat tersebut dimana
sanksi pidana haruslah seimbang dengan dengan kesalahan dari pelaku. Perkembangan
tersebut muncul untuk melindungi pelaku tindak pidana dari kesewenang-wenangan
15
Ibid
10
hukum dengan orientasi dari pemidanaan sebagai perlindungan Hak Asasi Manusia
(HAM) terhadap pelaku. Sistem pemidanaan yang berorentasi pada perlindungan HAM
dapat dilihat sebagai sistem pemidanaan yang humanistis atau sistem pemidanaan yang
berorentasi pada ide individualisasi pidana, karena HAM berkaitan dengan nilai-nilai
kemanusiaan.
Perkembangan paradigma pemidanaan dalam hukum pidana di Indonesia hingga
hari ini masih berorentasi terhadan pelaku tindak pidana (Individualisasi pidana). Hal itu
terlihat sejak diundangkannya Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), perhatian terhadap kedudukan pelaku kejahatan
sebagai individu yang mempunyai hak asasi manusia semakin memperoleh perhatian
utama. Ide tersebut muncul karena di masa lalu berbagai kritikan terhadap proses
pemeriksaan pelaku kejahatan dianggap banyak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
Ironisnya, banyaknya materi KUHAP yang mengatur tentang perlindungan pelaku
kejahatan tidak diimbangi dengan porsi perlindungan yang diberikan kepada korban
kejahatan. Sejatinya perlindungan yang diberikan kepada korban kejahatan dan pelaku
kejahatan haruslah seimbang dan tidak dapat dibeda-bedakan.
Pergerakan orientasi pemidanaan selanjutnya haruslah mengarah kepada korban
kejahatan dan masyarakat tidak hanya sebatas perlindungan terhadap pelaku kejahatan
saja. Penyelesaian perkara pidana juga harus memperhatikan korban dan masyarakat yang
dirugikan akibat adanya tindak pidana tersebut. Mengingat bahwa korban dalam hukum
pidana berada dalam posisi sentral, karena korban adalah orang yang paling dirugikan
dengan adanya tindak pidana tersebut. Sehingga sudah seharusnya posisi korban dan
masyarakat dalam hukum pidana kita haruslah berada dalam sistem dan juga menjadi
tujuan dari pemidanaan untuk dilibatkan dalam proses penyelesaian perkara pidana.
11
Penyelesaian perkara pidana diharapkan menguntungkan bagi semua pihak antara
pelaku, korban, dan masyarakatpun menjadi wacana yang menarik dalam hukum pidana
di Indonesia. Keadilan restoratif (Restoratif Justice) ditawarkan sebagai suatu pendekatan
yang dianggap dapat memenuhi tuntutan tersebut. Keadilan restoratif adalah konsep
pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan
menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan korban dan masyarakat yang dirasa tersisihkan
dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada saat ini.16
Keadilan restoratif merupakan konsep yang akan diaplikasikan melalui proses nyata.
Sehingga untuk dapat menyatakan proses pendekatan restoratif, maka hal-hal dibawah ini
adalah ciri dari proses yang menggunakan pendekatan restoratif. Pemberian sanksi pidana
yang tidak hanya sebagai unsur pembalasan bagi pelaku tindak pidana. Namun pidana itu
juga harus memuat unsur pencegahan, rehabilitasi, usaha yang ditujukan untuk
menghilangkan rasa bersalah pelaku dan stigma negatif yang timbul pada diri pelaku,
serta membangun pengertian antar sesama anggota masyarakat dan mendorong hubungan
yang harmonis antar warga masyarakat.
Salah satu yang menarik dalam penelitian ini, apakah keadilan restoratif yang
digunakan dalam penyelesaian perkara pidana merupakan salah satu teori pemidanaan
ataukah hanya khasanah baru yang memperkaya teori pemidanaan yang telah ada?.
Prinsip dasar penyelesaian perkara menggunakan keadilan restoratif pada dasarnya
terfokus pada upaya mentransformasikan kesalahan yang dilakukan pelaku dengan upaya
perbaikan. Dari uraian tersebut pendekatan keadilan reatoratif setidaknya juga
tergambarkan dalam konsep pidana bersyarat yang diatur KUHP pasal 14a sampai dengan
pasal 14f sebagai upaya untuk menguangi sifat kaku dari pidana penjara, selain itu juga
memiliki tujuan memberi kesempatan terhadap terpidana untuk memperbaiki dirinya di
16
Eva Achjani Zulfa, op cit, Hal 65.
12
masyarakat dan pihak korban untuk mendapatkan ganti kerugian atasa terjadinya
perbuatan pidana. Pidana bersyarat juga memungkinkan terpidana untuk melanjutkan
kehidupannya sehari-hari sebagai manusia yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada
dimasyarakat. Dalam hal pemberian pidana bersyarat juga mempertimbangkan seberapa
jauh unsur-unsur pokok kehidupan masyarakat memperoleh manfaat dari pemberian
pidana bersyarat tersebut.
Peningkatan pemidanaan yang tidak hanya memuat unsur pembalasan namun
menggunakan pendekatan restoratif setidaknya juga ada dalam bentuk pidana bersyarat
yang sudah tertuang dalam KUHP kita yang merupakan bentuk penerapan dari pidana
sebagai alternatif pemidanaan terhadap jenis pidana yang hanya sebagai unsur
pembalasan dan paksaan terhadap pelaku tindak pidana dalam rangka mengeliminir
dampak negatif yang ditimbulkan oleh pidana itu sendiri. Pembaharuan hukum pidana
yang menyangkut salah satu masalah utama di dalam hukum pidana berupa lembaga ini,
tidak terlepas dari pengaruh perkembangan teori-teori tentang tujuan pemidanaan.
Disamping itu, perlu kiranya adanya pemikiran tentang tujuan pemidanaan di Indonesia
yang sesuai dengan filsafat kehidupan bangsa Indonesia yang bersendikan pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945.
Pidana bersyarat merupakan faktor yang mempengaruhi proses hukum pidana
berperikemanusiaan dengan pendekatan keadilan restorarif. Dalam ketentuan Pasal 14 a
KUHP secara garis besar menyebutkan, bahwa terhadap terpidana yang akan dijatuhi
pidana penjara kurang dari 1 (satu) tahun, kurungan bukan pengganti denda dan denda
yang tidak dapat dibayar oleh terpidana dapat diganti dengan pidana bersyarat. Dengan
demikian terhadap pelaku tindak pidana/terdakwa telah ada penjatuhan pidana secara
pasti, yang pelaksanaannya ditunda dengan bersyarat. Selain itu di dalam pasal 14c
KUHP ditentukan bahwa disamping syarat umum terpidana tidak akan melakukan
13
perbuatan pidana, hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu
yang lebih pendek dari masa percobaan, harus mengganti segalan kerusakan atau
kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan pidananya. Syarat-syarat tersebut tidak boleh
mengurangi kemerdekaan agama atau kemerdekaan politik bagi terpidana.17
persoalan pemidanaan atau penjatuhan pidana terhadap pelaku kejahatan bukanlah
sekedar proses memasukkan pelaku ke penjara atau hanya sebagai pembalasan dengan
paksaan terhadap pelaku tindak pidana tersebut. Hukum pidana yang baik tidak lepas dari
usaha penanggulangan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat
sebagai upaya mempositifkan nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat, sehingga
tidak hanya berpegang pada pandangan yuridis belaka namun juga secara fungsional.
Berdasarka hal tersebut hakim dituntut untuk dapat mengambil keputusan secara tepat
dan memenuhi rasa keadilan, baik bagi masyarakat maupun diri terdakwa. Penggunaan
sanksi pidana bersyarat terhadap pelaku tindak pidana yank tidak bersifat jahat atau bagi
tindak pidana ringan, akan menunjang pelaksanaan hukum pidana berperikemanusiaan,
karena sanksi pidana tidak hanya melindungi masyarakat, tetapi harus pula membina si
pelanggar. Berdasarkan dasar pemikiran yang telah diuraikan diatas, maka penulis
mencoba mencari solusi dari permasalahan di atas dalam proses pembaharuan hukum
pidana di Indonesia dalam rangka pentusunan Tugas Akhir ini dengan judul :
“Reorientasi Dan Reformulasi Pidana Bersyarat Dalam Sistem Pemidanaan Di
Indonesia Sebagai Upaya Mewujudkan Nilai-Nilai Keadilan Restoratif Menuju
Paradigma Pemidanaan Yang Berperikemanusiaan”
17
Ibid. Hal. 7
14
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pada pemikiran dan uraian di atas, maka dirumuskan permasalahan
sebagai berikut :
1. Bagaiman Reorentasi pidana bersyarat dalam hukum pidana di Indonesia berdasarkan
perkembangan paradigma pemidanaan yang berperikemanusiaan?
2. Sejauhmana pidana bersyarat mewujudkan nilai-nilai keadilan restoratif dalam
perkembangan paradigma pemidanaan yang berperikemanusiaan ?
3. Bagaimana prospek pengaturan pidana bersyarat dalam hukum pidana di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui urgensi Reorentasi pidana bersyarat dalam hukum pidana di
Indonesia berdasarkan perkembangan paradigma pemidanaan yang
berperikemanusiaan.
2. Untuk mengetahui sejauh mana Pidana Bersyarat dalam mewujudkan nilai-nilai
keadilan restoratif dalam perkembangan paradigma pemidanaan yang
berperikemanusiaan.
3. Untuk mengetahui prospek pengaturan pidana bersyarat dalam hukum pidana di
Indonesia di masa depan.
D. Manfaat Penulisan
Berdasarkan tujuan penulisan hukum diatas, maka penulis mengklasifikasikan
manfaat penelitian sebagai berikut :
D. 1. Secara Teoretis
Sebagai usaha untuk menambah dan memperluas pengetahuan dalam hal pidana
bersyarat dalam mewujudkan nilai-nilai keadilan restoratif, khususnya terkait dengan
15
perkembangan paradigma pemidanaan yang berperikemanusiaan melalui konsep pidana
bersyarat dan keadilan restoratif dimana dalam penelitian ini mencoba untuk memadukan
antara dua konsep yang ada dalam KUHP yaitu pidana bersyarat dan konsep terkait
dengan perkembangan pemikiran baru dalam hukum pidana berupa keadilan restoratif.
D. 2. Secara Praktis
a. bagi masyarakat, sebagai proses transformasi kepada masyarakat untuk
mengetahui pidana bersyarat dalam mewujudkan nilai-nilai keadilan restoratif
menuju paradigma pemidanaan yang berperikemanusiaan. Dengan ide itu juga
mencoba untuk menggambarkan bahwa pidana tidak semata-mata sebagai
pembalasan terhadap pelaku tindak pidana.
b. bagi pemerintah, DPR RI, dan lembaga-lembaga penegakan hukum, sebagai
masukan bagi masing-masing lembaga tersebut agar mampu merumuskan dan
menjalankan peraturan tersebut serta mampu memberikan solusi terkait masalah
pemidanaan agar tidak hanya semata-mata sebagai alat pembalasan, namun
pemidanaan yang berperikemanusiaan.
c. bagi penulis, yaitu untuk menambah pembendaharaan keilmuan penulis terkait
dengan pidana bersyarat dan keadilan restoratif dalam menuju paradigma
pemidanaan yang berperikemanusiaan, secara khusus penulisan ini untuk
menyelesaikan syarat kelulusan studi strata satu sarjana hukum di Universitas
Muhammadiyah Malang.
E. Metode Penulisan
E.1. Metode Pendekatan
Dalam penulisan ini, penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif, yaitu
penelitian hukum yang objek kajiannya meliputi ketentuan-ketentuan perundan-undangan
serta literatur-literatur bacaan yang berhubungan dengan penulisan ini.
16
E. 2. Jenis atau Bahan Hukum
Data yang hendak didapatkan untuk menopang hasil penelitian ini adalah data
primer, sekunder, dan data tersier, yaitu:
a. Bahan-bahan Primer
Berupa bahan hukum primer yang didapatkan dari sumber perundang-undangan,
yaitu peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar bekerjanya jenis pidana
bersyarat khususnya pasal 14 huruf a sampai f KUHP.
b. Bahan-bahan Sekunder
Berupa bahan hukum yang bersumber dari buku-buku literatur yang berhubungan
baik langsung maupun tidak langsung dengan masalah yang diteliti. Bahan hukum ini
didapatkan melalui studi kepustakaan, dokumen, konsep rancangan undang-undang
khususnya Konsep KUHP Baru, pendapat para ahli hukum, hasil-hasil penelitian dan
kegiatan ilmiah lainnya yang berkaitan dengan masalah pidana bersyarat dan keadilan
restoratif serta pemidanaan yang berperikemanusiaan.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan
lain-lain.
E. 3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Pada penulisan ini yang digunakan adalah model studi kepustakaan (library
research), yang dimaksud dengan studi kepustakaan adalah pengkajian informasi tertulis
mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas serta
17
dibutuhkan dalam penelitian hukum normatif,18
yaitu penulisan yang didasarkan pada
data-data yang dijadikan objek penelitian, seperti buku-buku pustaka, majalah, artikel,
surat kabar, buletin, tentang segala hal yang sesuai dengan skripsi ini yang akan disusun
dan dikaji secara komprehensif.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan oleh penulis dalam skripsi ini terdiri dari 4
(empat) bab yang tersusun secara berurutan mulai dari Bab I sampai dengan Bab IV,
secara garis besar diuraikan sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Berisi tentang latar belakang, permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
metode penelitian dan sistematika penulisan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Berisi tentang tinjauan umum yang berkaitan dengan topik dari penelitian ini, yaitu
pidana bersyarat dalam mewujudkan keadilan restoratif dalam sistem pemidanaan di
Indonesia. Berkaitan dengan topik tersebut, pada awal bab akan diuraikan tentang Pidana
dan Pemidanaan, Selanjutnya dipaparkan tentang teori-teori yang berkaitan dengan tujuan
pemidanaan dan perkembangannya sampai saat ini serta teori-teori terkait dengan keadilan
restoratif. Sub bab berikutnya menjelaskan tentang pengertian dan ruang lingkup
kebijakan hukum pidana dilanjutkan sub bab yang menggambarkan urgensi mencari
alternatif pidana perampasan kemerdekaan yang di dalamnya juga dicantumkan adanya
kritik-kritik terhadap pidana penjara.
BAB III PEMBAHASAN
18
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Hal 81
18
1. Dalam bab ini akan diuraikan hasil pembahasan dari analisa data dengan
permasalahan : 1) Reorentasi pidana bersyarat dalam hukum pidana di Indonesia
berdasarkan perkembangan paradigma pemidanaan yang berperikemanusiaan? 2)
Sejauhmana Pidana Bersyarat mewujudkan nilai-nilai Keadilan Restoratif dalam
Perkembangan Paradigma Pemidanaan yang Berperikemanusiaan ? dan 3) Bagaimana
prospeksi pengaturan pidana bersyarat dalam hukum pidana di Indonesia?
BAB IV PENUTUP
Penelitian ini akan diakhiri dengan Bab IV yang merupakan Penutup yang di
dalamnya akan ditarik kesimpulan tentang permasalahan dalam penelitian ini dan
diberikan beberapa saran pemecahannya.