BAB I PENDAHULUAN A. LATAR...

18
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kemerdekaan bangsa Indonesia yang di Proklamasikan pada tanggal 17 agustus 1945 tidak dapat dilepaskan dari cita-cita pembaharuan hukum. Dalam pernyataan kemerdekaan Bangsa Indonesia itu sekaligus juga terkandung pernyataan untuk merdeka dan bebas dari belenggu penjajahan hukum kolonial. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa pernyataan kemerdekaan Bangsa Indonesia disamping merupakan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa juga didorong oleh keinginan luhur Bangsa Indonesia untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas. Keinginan luhur untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas itu ingin dicapai dengan membentuk pemerintahan Negara Indonesia disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar 1945. 1 Ini berarti, kemerdekaan dan kebebasan yang ingin dicapai adalah kebebasan berkehidupan sebagai bangsa yang bebas dalam keteraturan atau dalam arti berkehidupan yang bebas dalam suatu tertib/tatanan hukum. Tujuan dan cita-cita dari Bangsa Indonesia yang ingin diwujudkan dari kemerdekaan dapat dilihat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat yaitu: melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, berdasarkan Pancasila. 2 Tujuan pembangunan nasional yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 itu semata- mata demi terciptanya kesejahteraan bagi Bangsa Indonesia dan untuk mencapai semuanya itu maka dilakukan pembangunan. Adapun pembangunan yang dilakukan tidak 1 Barda Nawawi Arief ,2010, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, cetakan keempat, Genta Publishing, Yogyakarta, hal. 1. 2 Kabinet indonesia Bersatu Jilid 2 UUD 1945 dan Perubahannya, 2011, Mata Elang Media, Jakarta, hal. 8.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. LATAR...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGeprints.umm.ac.id/36258/2/jiptummpp-gdl-luqmanwahy-48124-2-babi.pdfBangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kemerdekaan bangsa Indonesia yang di Proklamasikan pada tanggal 17 agustus

1945 tidak dapat dilepaskan dari cita-cita pembaharuan hukum. Dalam pernyataan

kemerdekaan Bangsa Indonesia itu sekaligus juga terkandung pernyataan untuk merdeka

dan bebas dari belenggu penjajahan hukum kolonial. Pembukaan Undang-Undang Dasar

1945 menegaskan bahwa pernyataan kemerdekaan Bangsa Indonesia disamping

merupakan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa juga didorong oleh keinginan luhur Bangsa

Indonesia untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas. Keinginan luhur untuk

berkehidupan kebangsaan yang bebas itu ingin dicapai dengan membentuk pemerintahan

Negara Indonesia disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar 1945.1 Ini berarti,

kemerdekaan dan kebebasan yang ingin dicapai adalah kebebasan berkehidupan sebagai

bangsa yang bebas dalam keteraturan atau dalam arti berkehidupan yang bebas dalam

suatu tertib/tatanan hukum.

Tujuan dan cita-cita dari Bangsa Indonesia yang ingin diwujudkan dari kemerdekaan

dapat dilihat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat yaitu: melindungi segenap

Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, berdasarkan Pancasila.2

Tujuan pembangunan nasional yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 itu semata-

mata demi terciptanya kesejahteraan bagi Bangsa Indonesia dan untuk mencapai

semuanya itu maka dilakukan pembangunan. Adapun pembangunan yang dilakukan tidak

1 Barda Nawawi Arief ,2010, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara,

cetakan keempat, Genta Publishing, Yogyakarta, hal. 1. 2 Kabinet indonesia Bersatu Jilid 2 UUD 1945 dan Perubahannya, 2011, Mata Elang Media, Jakarta, hal. 8.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGeprints.umm.ac.id/36258/2/jiptummpp-gdl-luqmanwahy-48124-2-babi.pdfBangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,

2

hanya pada satu sisi kehidupan saja akan tetapi pada semua sisi kehidupan berbangsa dan

bernegara termasuk didalamnya pembangunan hukum.

Seiring dengan laju perkembangan pembangunan hukum di Indonesia, berkembang

pula bentuk-bentuk kejahatan di tengah-tengah masyarakat. Dalam upaya menanggulangi

kejahatan-kejahatan tersebut dilakukan suatu kebijakan kriminal (Criminal Policy),

kebijakan itu meliputi secara terpadu upaya penal dan non penal. Untuk merumuskan atau

membuat hukum pidana lebih baik, tentunya bukanlah suatu pekerjaan yang sangat

mudah, apalagi ilmu hukum pidana sendiri merupakan bagian dari ilmu pengetahuan

sosial yang senantiasa terus berkembang bahkan berubah mengikuti perkembangan dan

kondisi zaman. Hukum itu sendiri pada kenyataannya memang merupakan suatu gejala

sosial budaya yang berfungsi untuk menerapkan kaidah-kaidah dan pola prilaku tertentu

terhadap individu-individu di dalam masyarakat.

Ilmu hukum mempelajari gejala-gejala sosial budaya serta menerangkan arti dan

maksud kaidah-kaidah itu. Oleh karenanya pembaharuan hukum pidana sangat penting

untuk mengatasi segala persoalan seiring dengan perkembangan zaman, selain itu

pembaharuan hukum yang dilakukan juga semata-mata demi tercapainya perlindungan

masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut

di atas Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa3;

Sasaran atau tujuan akhir dari kebijakan kriminal (Politik Kriminal) adalah

perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Kebijakan atau

upaya penanggulangan kejahatan merupakan bagian integral dari upaya

perlindungan masyarakat (Social Defence) dan untuk mencapai kesejahteraan

masyarakat (Social Welfare).

3 Barda Nawawi Arief, Op Cit, hal. 4.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGeprints.umm.ac.id/36258/2/jiptummpp-gdl-luqmanwahy-48124-2-babi.pdfBangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,

3

Hal ini berarti, dengan semakin majunya perkembangan masyarakat maka akan

terjadi pula pergeseran nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang berimplikasi pada

terjadinya perubahan tatanan sosial itu sendiri sehingga menuntut terjadinya perubahan

norma hukum disatu sisi dan perubahan cara pandang terhadap perbuatan-perbuatan

tertentu yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan tercela dan merugikan masyarakat.

Sehingga dalam melaksanakan hukum pidana berarti mewujudkan peraturan-peraturan

perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu

dan untuk masa-masa yang akan datang.

Usaha pembaharuan hukum pidana di Indonesia tentunya tidak terlepas dari politik

hukum yang bertugas untuk meneliti perubahan-perubahan yang perlu diadakan terhadap

hukum yang ada agar supaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru di dalam masyarakat.

Politik hukum tersebut meneruskan arah perkembangan tertib hukum, dari “Ius

Constitutum” yang bertumpu pada kerangka landasan hukum yang terdahulu menuju pada

penyusunan “Ius Constituendum” atau hukum pada masa yang akan datang. Hukum pada

dasarnya berangkat dari dua asumsi dasar : pertama, hukum adalah untuk manusia bukan

sebaliknya. Maka kehadiran hukum bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu

yang lebih luas dan besar. Jika terjadi permasalahan di dalam hukum, maka hukumlah

yang harus ditinjau dan di perbaiki, bukan manusia yang dipaksa-paksa ke dalam skema

hukum. Kedua, hukum bukan merupakan institusi yang mutlak dan final, karena hukum

selalu berada pada proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making).4

Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya mengandung makna, suatu upaya

untuk melakukan peninjauan dan penilaian kembali sesuai dengan nilai-nilai sentral

sosio-politik, sosio-filosofi dan sosio-kultural masyarakat indonesia yang melandasi

4 Yudi kristiana, 2010, menuju Kejaksaan Progresif, Masyarakat Transparansi Indonesia, Jakarta. Hal. 13

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGeprints.umm.ac.id/36258/2/jiptummpp-gdl-luqmanwahy-48124-2-babi.pdfBangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,

4

kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. 5

Upaya pembaharuan hukum pidana Indonesia mempunyai suatu makna yaitu

menciptakan suatu kodifikasi hukum pidana nasional untuk menggantikan kodifikasi

hukum pidana yang merupakan warisan kolonial yakni Wetboek van Strafrecht Voor

Nederlands Indie 1915, yang merupakan turunan dari Wetboek van Strafrecht Negeri

Belanda tahun 1886.6 Meskipun dalam KUHP sekarang ini telah dilakukan tambal sulam,

namun jiwanya tetap tidak berubah, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana “Wetboek van

Strafrecht atau yang disingkat W.v.S atau KUHP yang sehari-hari digunakan oleh para

praktisi hukum Indonesia telah berusia lebih dari 66 tahun. Selama itu ia mengalami

penambahan, pengurangan atau perubahan, namun jiwanya tidak berubah”.

Dari hal tersebut di atas, terkandung tekat dari bangsa Indonesia untuk mewujudkan

suatu pembaharuan hukum pidana yang dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk

melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral

sosio-politik, sosio-filosofi dan sosio-kultural yang melandasi dan memberi sisi terhadap

muatan normatif dan substansi hukum pidana yang dicita-citakan.7 Dalam pembaharuan

hukum pidana di Indonesia, terlebih dahulu haruslah diketahui permasalahan pokok

dalam hukum pidana. Hal tersebut demikian penting, karena hukum pidana merupakan

cerminan suatu masyarakat yang merefleksi nilai-nilai yang menjadi dasar masyarakat itu.

Bila nilai-nilai itu berubah, maka hukum pidana juga haruslah berubah.8 Menurut Barda

Nawawi Arief, makna dan hakikat dari pembaharuan hukum pidana sebagai berikut :

a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidanapada

hakekatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial

5 Barda Nawawi Arief, 2010, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cetakakan kedua, PT. Kencana Prenada

Media Group, Jakarta, hal 30. 6 Muladi, 2005, Lembaga Pidana Bersyarat, cetakan ketiga, Alumni, Bandung, hal 4.

7 Barda Nawawi Arief, op cit, hal 29.

8 A.Z. Abidin, tanpa tahun, Bunga Rampai Hukum Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta, hal iii.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGeprints.umm.ac.id/36258/2/jiptummpp-gdl-luqmanwahy-48124-2-babi.pdfBangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,

5

(termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai atau menunjang tujuan

nasional (kesejahteraan masyarakat).

b. Sebagai bagian dari kebijakan nasional, pembaharuan hukum pidana pada

hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya

penanggulangan kejahatan).

c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana

pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbarui substansi hukum (legal

subtance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.9

Pembaharuan hukum pidana tersebut akan mencakup beberapa permasalahan di

dalam hukum pidana itu sendiri, yaitu masalah tindak pidana (merupakan perbuatan apa

yang sepatutnya dipidana), kesalahan (syarat apa yang seharusnya dipenuhi untuk

menyalahkan/mempertanggungjawabkan seseorang yang melakukan perbuatan itu),

pidana ( sanksi apa yang yang sepatutnya dikenakan kepada orang yang disangka

melakukan perbuatan pidana). Masalah pidana dewasa ini terdapat masalah secara

universal yang terus dicarikan pemecahannya. Masalah tersebut karena ketidakpuasan

masyarakat terhadap lembaga peradilan dalam memberikan keadilan terhadap

masyarakat. Di Indonesia hari ini terus dicarikan pemecahan terhadap masalah tersebut,

antara lain peningkatan pemidanaan yang lebih berperikemanusiaan.

Pembaharuan hukum pidana yang menyangkut masalah utama di dalam hukum

pidana tidak akan terlepas dari pengaruh perkembangan teori-teori tentang tujuan

pemidanaan beserta aliran-aliran dalam hukum pidana yang mendasari perkembangan

teori tersebut. Perumusan teori tentang tujuan pemidanaan akan bermanfaat untuk

menguji seberapa jauh suatu pidana mempunyai daya guna dalam memberikan keadilan

9 Barda Nawawi Arief, log cit. hal 29

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGeprints.umm.ac.id/36258/2/jiptummpp-gdl-luqmanwahy-48124-2-babi.pdfBangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,

6

terhadap masyarat sebagai pelaku tindak pidana maupun sebagai korban dari tindak

pidana itu sendiri.

Berkaitan dengan sanksi pidana, maka jenis pidana perampasan kemerdekaan berupa

pidana penjara merupakan jenis pidana yang kerap dikenakan terhadap pelaku tindak

pidana oleh hakim. Proses hukum harusnya berdasarkan pada nilai-nilai atau jiwa bangsa,

sehingga tidak begitu saja menerima konsep hukum yang berasal dari luar. Jati diri

bangsa inilah yang merupakan filter masuknya nilai-nilai dari luar. Kebijakan hukum

pidana akan terus berkembang dinamis seiring perkembangan masyarakat.10

Perkembangan hukum pidana semakin banyak digunakan dan diandalkan untuk mengatur

dan menertibkan masyarakat melalui peraturan perundang-undangan. Setiap peraturan

hukum mengandung sebuah statemen mengenai konsekuwensi-konsekuwensi hukum.

Konsekuwensi ini merupakan sanksi hukum. Sanksi hukum adalah cara-cara menerapkan

suatu norma atau peraturan yang digariskan atau diotorisasi oleh hukum.

Dalam perjalanannya, sehubungan dengan perkembangan tujuan pemidanaan yang

tidak lagi hanya terfokus pada upaya untuk menderitakan atau pembalasan, akan tetapi

sudah mengarah pada upaya-upaya perbaikan ke arah yang lebih manusiawi, maka pidana

penjara merupakan jenis sanksi dalam hukum pidana yang paling sering digunakan mulai

menimbulkan kritikan dari banyak pihak terutama masalah efektivitas dan adanya

dampak negatif yang ditimbulkan dengan penerapan pidana tersebut. Barda Nawawi

Arief mengemukakan bahwa pidana penjara saat ini sedang mengalami “masa krisis”

karena termasuk salah satu jenis pidana yang “kurang disukai”, sehingga banyak kritik

tajam ditujukan terhadap jenis pidana perampasan kemerdekaan ini, baik dilihat dari

10

Teguh prasetyo, 2010, Kriminalisasi dalam hukum Pidana, Penerbit Nusa Media, Bandung,

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGeprints.umm.ac.id/36258/2/jiptummpp-gdl-luqmanwahy-48124-2-babi.pdfBangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,

7

sudut efektivitasnya maupun dilihat dari akibat-akibat negatif lainnya yang menyertai

atau berhubungan dengan dirampasnya kemerdekaan seseorang.11

“Sorotan dan kritik-kritik tajam terhadap pidana penjara itu tidak hanya

dikemukakan oleh para ahli secara perseorangan, tetapi juga oleh masyarakat bangsa-

bangsa di dunia melalui beberapa kongres internasional. Dalam Kongres PBB kelima

tahun 1975 di Geneva mengenai Prevention of Crime and the Treatment of Offenders,

antara lain dikemukakan, bahwa di banyak negara terdapat krisis kepercayaan terhadap

efektivitas pidana penjara dan ada kecenderungan untuk mengabaikan kemampuan

lembaga-lembaga kepenjaraan dalam menunjang usaha pengendalian kejahatan.” 12

Bangsa Indonesia yang merupakan bagian dari peradaban masyarakat dunia, dengan

memperhatikan dinamika yang terjadi, tentunya diharapkan dapat senantiasa mengikuti

dan mengadopsi hal-hal yang positif dan bermanfaat bagi kepentingan untuk semakin

meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan seluruh masyarakatnya dengan tetap

berpijak pada nilai-nilai kepribadian bangsa. Hal tersebut dapat dilakukan dengan

mengadopsi adanya perkembangan pemikiran tentang cara yang lebih tepat dan

manusiawi dalam memperlakukan para pelaku kejahatan.

Sejauh ini terdapat dua model alternatif yang dipilih masyarakat yaitu main hakim

sendiri ataupun melalui perdamaian. Secara umum masyarakat sendiri menilai bahwa

model penyelesaian main hakim sendiri dipandang negatif, akan tetapi pilihan kedua yaitu

melauli upaya perdamaian seharusnya merupakan alternatif yang positif.13

Berdasarkan

pendapat diatas banyak alternatif perubahan yang di tawarkan dan kemudian berkembang

menjadi sebuah faham atau teori dalam hukum pidana itu sendiri. Berkaitan dengan

pemberian sanksi pidana yang tidak hanya sebagai unsur pembalasan bagi pelaku tindak

11

Barda Nawawi Arief, 2010, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cetakakan kedua, PT. Kencana Prenada

Media Group, Jakarta, hal 207. 12

Ibid, hal 206. 13

Eva Achjani Zulfa, 2010, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Lubuk Agung, Bandung. Hal 2.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGeprints.umm.ac.id/36258/2/jiptummpp-gdl-luqmanwahy-48124-2-babi.pdfBangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,

8

pidana. Namun pidana itu juga harus memuat unsur pencegahan, rehabilitasi, usaha yang

ditujukan untuk menghilangkan rasa bersalah pelaku dan stigma negatif yang timbul pada

diri pelaku, serta membangun pengertian antar sesama anggota masyarakat dan

mendorong hubungan yang harmonis antar warga masyarakat.

Pidana bersyarat merupakan salah satu bentuk penerapan sanksi pidana yang diatur

dalam pasal 14a sampai dengan 14f KUHP. Pidana bersyarat baru dimasukkan ke dalam

WvS Hindia Belanda dengan Staatsblad 1926 No. 251 jo. 486 dan mulai berlaku pada

tanggal 1 Januari 1927.14

Pidana bersyarat ini dapat dilihat sebagai suatu kebijakan untuk

memperlunak penetapan jenis pidana oleh hakim. Dengan adanya ketentuan ini

diharapkan dapat mengurangi sifat kaku dari sistem perumusan tunggal yang merupakan

warisan dari aliran klasik. Artinya, apabila hakim dalam menghadapi perumusan tunggal

memandang tidak perlu menjatuhkan pidana penjara, maka ada jalan keluarnya yaitu

dengan menjatuhkan pidana bersyarat sebagai mana diatur dalam pasal 14a sampai

dengan 14f KUHP.

Namun adanya ketentuan pidana bersyarat di KUHP Indonesia hari ini masih

merupakan suatu masalah, karena ketentuan pidana bersyarat yang selama ini ada dan

diharapkan mengurangi sifat kaku dari sistem pidana penjara masih berlaku tidak

maksimal. Artinya, apakah ketentuan ini dapat mengurangi penerapan pidana penjara

yang hari ini sudah mengalami banyak krisis ketidakpercayaan terhadap pidana penjara.

Mengingat hari ini pidana bersyarat merupakan jenis penerapan pidana yang sangat

jarang digunakan, karena Pidana bersyarat bukan merupakan jenis pidana pokok

sebagaimana tercantum dalam pasal 10 KUHP. Jenis pidana yang sekarang sering

digunakan oleh lembaga peradilan kita masih jenis pidana perampasan kemerdekaan

(pidana penjara).

14

Barda Nawawi Arief, 2010, log cit, hal. 172

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGeprints.umm.ac.id/36258/2/jiptummpp-gdl-luqmanwahy-48124-2-babi.pdfBangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,

9

Ketentuan pidana bersyarat selama ini tidak banyak pengaruhnya terhadap

kemungkinan banyaknya pidana penjara yang dijatuhkan oleh hakim. Karena masih

banyak kelemahan tentang adanya penerapan dari pidana bersyarat. Seperti telah

disampaikan diatas bahwa pidana bersyarat bukan merupakan jenis pidana pokok yang

ada dalam KUHP Indonesia. Karena jika kita melihat ketentuan dalam KUHP, pidana

bersyarat bukanlah jenis pidana yang berdiri sendiri, tetapi melekat pada sistem pidana

penjara. Jadi, pidana bersyarat bukan merupakan jenis altenatif dari sanksi pidana penjara.

Istilah pidana bersyarat itu “membingungkan” dan “kurang tepat”, karena tidak

menentukan syarat untuk penjatuhan pidana, tetapi hanya sekedar menetapkan syarat

untuk tidak dilaksanakannya pidana, misal penjara yang sudah dijatuhkan oleh hakim.15

Pidana bersyarat menurut KUHP pasal 14a hanya dapat diberikan kepada orang yang

dijatuhi pidana penjara tidak lebih dari satu tahun, itupun hanya bersifat fakultatif. Tidak

ada ketentuan atau pedoman yang mengharuskan hakim menjatuhkan pidana bersyarat

dalam hal-hal tertentu.

Berdasarkan hal-hal tersebut pemberlakuan pidana bersyarat selama ini perlu

ditinjau kembali. Untuk memperlunak atau mengimbangi sistem perumusan pidana

penjara yang bersifat imperatif, maka harus ada ketentuan yang memungkinkan pidana

bersyarat dijatuhkan secara imperatif dalam hal-hal tertentu. Berdasarkan uraian terkait

dengan sanksi pidana tersebut, dengan adanya pidana bersyarat yang diharapkan mampu

mengurangi sifat kaku dari pidana penjara selama ini meski dalam pemberlakuan pidana

bersyarat tersebut masih mengandung banyak masalah dalam penerapannya.

Perkembangan orientasi pemidanan dengan adanya pidana bersyarat tersebut dimana

sanksi pidana haruslah seimbang dengan dengan kesalahan dari pelaku. Perkembangan

tersebut muncul untuk melindungi pelaku tindak pidana dari kesewenang-wenangan

15

Ibid

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGeprints.umm.ac.id/36258/2/jiptummpp-gdl-luqmanwahy-48124-2-babi.pdfBangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,

10

hukum dengan orientasi dari pemidanaan sebagai perlindungan Hak Asasi Manusia

(HAM) terhadap pelaku. Sistem pemidanaan yang berorentasi pada perlindungan HAM

dapat dilihat sebagai sistem pemidanaan yang humanistis atau sistem pemidanaan yang

berorentasi pada ide individualisasi pidana, karena HAM berkaitan dengan nilai-nilai

kemanusiaan.

Perkembangan paradigma pemidanaan dalam hukum pidana di Indonesia hingga

hari ini masih berorentasi terhadan pelaku tindak pidana (Individualisasi pidana). Hal itu

terlihat sejak diundangkannya Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), perhatian terhadap kedudukan pelaku kejahatan

sebagai individu yang mempunyai hak asasi manusia semakin memperoleh perhatian

utama. Ide tersebut muncul karena di masa lalu berbagai kritikan terhadap proses

pemeriksaan pelaku kejahatan dianggap banyak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).

Ironisnya, banyaknya materi KUHAP yang mengatur tentang perlindungan pelaku

kejahatan tidak diimbangi dengan porsi perlindungan yang diberikan kepada korban

kejahatan. Sejatinya perlindungan yang diberikan kepada korban kejahatan dan pelaku

kejahatan haruslah seimbang dan tidak dapat dibeda-bedakan.

Pergerakan orientasi pemidanaan selanjutnya haruslah mengarah kepada korban

kejahatan dan masyarakat tidak hanya sebatas perlindungan terhadap pelaku kejahatan

saja. Penyelesaian perkara pidana juga harus memperhatikan korban dan masyarakat yang

dirugikan akibat adanya tindak pidana tersebut. Mengingat bahwa korban dalam hukum

pidana berada dalam posisi sentral, karena korban adalah orang yang paling dirugikan

dengan adanya tindak pidana tersebut. Sehingga sudah seharusnya posisi korban dan

masyarakat dalam hukum pidana kita haruslah berada dalam sistem dan juga menjadi

tujuan dari pemidanaan untuk dilibatkan dalam proses penyelesaian perkara pidana.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGeprints.umm.ac.id/36258/2/jiptummpp-gdl-luqmanwahy-48124-2-babi.pdfBangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,

11

Penyelesaian perkara pidana diharapkan menguntungkan bagi semua pihak antara

pelaku, korban, dan masyarakatpun menjadi wacana yang menarik dalam hukum pidana

di Indonesia. Keadilan restoratif (Restoratif Justice) ditawarkan sebagai suatu pendekatan

yang dianggap dapat memenuhi tuntutan tersebut. Keadilan restoratif adalah konsep

pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan

menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan korban dan masyarakat yang dirasa tersisihkan

dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada saat ini.16

Keadilan restoratif merupakan konsep yang akan diaplikasikan melalui proses nyata.

Sehingga untuk dapat menyatakan proses pendekatan restoratif, maka hal-hal dibawah ini

adalah ciri dari proses yang menggunakan pendekatan restoratif. Pemberian sanksi pidana

yang tidak hanya sebagai unsur pembalasan bagi pelaku tindak pidana. Namun pidana itu

juga harus memuat unsur pencegahan, rehabilitasi, usaha yang ditujukan untuk

menghilangkan rasa bersalah pelaku dan stigma negatif yang timbul pada diri pelaku,

serta membangun pengertian antar sesama anggota masyarakat dan mendorong hubungan

yang harmonis antar warga masyarakat.

Salah satu yang menarik dalam penelitian ini, apakah keadilan restoratif yang

digunakan dalam penyelesaian perkara pidana merupakan salah satu teori pemidanaan

ataukah hanya khasanah baru yang memperkaya teori pemidanaan yang telah ada?.

Prinsip dasar penyelesaian perkara menggunakan keadilan restoratif pada dasarnya

terfokus pada upaya mentransformasikan kesalahan yang dilakukan pelaku dengan upaya

perbaikan. Dari uraian tersebut pendekatan keadilan reatoratif setidaknya juga

tergambarkan dalam konsep pidana bersyarat yang diatur KUHP pasal 14a sampai dengan

pasal 14f sebagai upaya untuk menguangi sifat kaku dari pidana penjara, selain itu juga

memiliki tujuan memberi kesempatan terhadap terpidana untuk memperbaiki dirinya di

16

Eva Achjani Zulfa, op cit, Hal 65.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGeprints.umm.ac.id/36258/2/jiptummpp-gdl-luqmanwahy-48124-2-babi.pdfBangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,

12

masyarakat dan pihak korban untuk mendapatkan ganti kerugian atasa terjadinya

perbuatan pidana. Pidana bersyarat juga memungkinkan terpidana untuk melanjutkan

kehidupannya sehari-hari sebagai manusia yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada

dimasyarakat. Dalam hal pemberian pidana bersyarat juga mempertimbangkan seberapa

jauh unsur-unsur pokok kehidupan masyarakat memperoleh manfaat dari pemberian

pidana bersyarat tersebut.

Peningkatan pemidanaan yang tidak hanya memuat unsur pembalasan namun

menggunakan pendekatan restoratif setidaknya juga ada dalam bentuk pidana bersyarat

yang sudah tertuang dalam KUHP kita yang merupakan bentuk penerapan dari pidana

sebagai alternatif pemidanaan terhadap jenis pidana yang hanya sebagai unsur

pembalasan dan paksaan terhadap pelaku tindak pidana dalam rangka mengeliminir

dampak negatif yang ditimbulkan oleh pidana itu sendiri. Pembaharuan hukum pidana

yang menyangkut salah satu masalah utama di dalam hukum pidana berupa lembaga ini,

tidak terlepas dari pengaruh perkembangan teori-teori tentang tujuan pemidanaan.

Disamping itu, perlu kiranya adanya pemikiran tentang tujuan pemidanaan di Indonesia

yang sesuai dengan filsafat kehidupan bangsa Indonesia yang bersendikan pancasila dan

Undang-undang Dasar 1945.

Pidana bersyarat merupakan faktor yang mempengaruhi proses hukum pidana

berperikemanusiaan dengan pendekatan keadilan restorarif. Dalam ketentuan Pasal 14 a

KUHP secara garis besar menyebutkan, bahwa terhadap terpidana yang akan dijatuhi

pidana penjara kurang dari 1 (satu) tahun, kurungan bukan pengganti denda dan denda

yang tidak dapat dibayar oleh terpidana dapat diganti dengan pidana bersyarat. Dengan

demikian terhadap pelaku tindak pidana/terdakwa telah ada penjatuhan pidana secara

pasti, yang pelaksanaannya ditunda dengan bersyarat. Selain itu di dalam pasal 14c

KUHP ditentukan bahwa disamping syarat umum terpidana tidak akan melakukan

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGeprints.umm.ac.id/36258/2/jiptummpp-gdl-luqmanwahy-48124-2-babi.pdfBangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,

13

perbuatan pidana, hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu

yang lebih pendek dari masa percobaan, harus mengganti segalan kerusakan atau

kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan pidananya. Syarat-syarat tersebut tidak boleh

mengurangi kemerdekaan agama atau kemerdekaan politik bagi terpidana.17

persoalan pemidanaan atau penjatuhan pidana terhadap pelaku kejahatan bukanlah

sekedar proses memasukkan pelaku ke penjara atau hanya sebagai pembalasan dengan

paksaan terhadap pelaku tindak pidana tersebut. Hukum pidana yang baik tidak lepas dari

usaha penanggulangan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat

sebagai upaya mempositifkan nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat, sehingga

tidak hanya berpegang pada pandangan yuridis belaka namun juga secara fungsional.

Berdasarka hal tersebut hakim dituntut untuk dapat mengambil keputusan secara tepat

dan memenuhi rasa keadilan, baik bagi masyarakat maupun diri terdakwa. Penggunaan

sanksi pidana bersyarat terhadap pelaku tindak pidana yank tidak bersifat jahat atau bagi

tindak pidana ringan, akan menunjang pelaksanaan hukum pidana berperikemanusiaan,

karena sanksi pidana tidak hanya melindungi masyarakat, tetapi harus pula membina si

pelanggar. Berdasarkan dasar pemikiran yang telah diuraikan diatas, maka penulis

mencoba mencari solusi dari permasalahan di atas dalam proses pembaharuan hukum

pidana di Indonesia dalam rangka pentusunan Tugas Akhir ini dengan judul :

“Reorientasi Dan Reformulasi Pidana Bersyarat Dalam Sistem Pemidanaan Di

Indonesia Sebagai Upaya Mewujudkan Nilai-Nilai Keadilan Restoratif Menuju

Paradigma Pemidanaan Yang Berperikemanusiaan”

17

Ibid. Hal. 7

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGeprints.umm.ac.id/36258/2/jiptummpp-gdl-luqmanwahy-48124-2-babi.pdfBangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,

14

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan pada pemikiran dan uraian di atas, maka dirumuskan permasalahan

sebagai berikut :

1. Bagaiman Reorentasi pidana bersyarat dalam hukum pidana di Indonesia berdasarkan

perkembangan paradigma pemidanaan yang berperikemanusiaan?

2. Sejauhmana pidana bersyarat mewujudkan nilai-nilai keadilan restoratif dalam

perkembangan paradigma pemidanaan yang berperikemanusiaan ?

3. Bagaimana prospek pengaturan pidana bersyarat dalam hukum pidana di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui urgensi Reorentasi pidana bersyarat dalam hukum pidana di

Indonesia berdasarkan perkembangan paradigma pemidanaan yang

berperikemanusiaan.

2. Untuk mengetahui sejauh mana Pidana Bersyarat dalam mewujudkan nilai-nilai

keadilan restoratif dalam perkembangan paradigma pemidanaan yang

berperikemanusiaan.

3. Untuk mengetahui prospek pengaturan pidana bersyarat dalam hukum pidana di

Indonesia di masa depan.

D. Manfaat Penulisan

Berdasarkan tujuan penulisan hukum diatas, maka penulis mengklasifikasikan

manfaat penelitian sebagai berikut :

D. 1. Secara Teoretis

Sebagai usaha untuk menambah dan memperluas pengetahuan dalam hal pidana

bersyarat dalam mewujudkan nilai-nilai keadilan restoratif, khususnya terkait dengan

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGeprints.umm.ac.id/36258/2/jiptummpp-gdl-luqmanwahy-48124-2-babi.pdfBangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,

15

perkembangan paradigma pemidanaan yang berperikemanusiaan melalui konsep pidana

bersyarat dan keadilan restoratif dimana dalam penelitian ini mencoba untuk memadukan

antara dua konsep yang ada dalam KUHP yaitu pidana bersyarat dan konsep terkait

dengan perkembangan pemikiran baru dalam hukum pidana berupa keadilan restoratif.

D. 2. Secara Praktis

a. bagi masyarakat, sebagai proses transformasi kepada masyarakat untuk

mengetahui pidana bersyarat dalam mewujudkan nilai-nilai keadilan restoratif

menuju paradigma pemidanaan yang berperikemanusiaan. Dengan ide itu juga

mencoba untuk menggambarkan bahwa pidana tidak semata-mata sebagai

pembalasan terhadap pelaku tindak pidana.

b. bagi pemerintah, DPR RI, dan lembaga-lembaga penegakan hukum, sebagai

masukan bagi masing-masing lembaga tersebut agar mampu merumuskan dan

menjalankan peraturan tersebut serta mampu memberikan solusi terkait masalah

pemidanaan agar tidak hanya semata-mata sebagai alat pembalasan, namun

pemidanaan yang berperikemanusiaan.

c. bagi penulis, yaitu untuk menambah pembendaharaan keilmuan penulis terkait

dengan pidana bersyarat dan keadilan restoratif dalam menuju paradigma

pemidanaan yang berperikemanusiaan, secara khusus penulisan ini untuk

menyelesaikan syarat kelulusan studi strata satu sarjana hukum di Universitas

Muhammadiyah Malang.

E. Metode Penulisan

E.1. Metode Pendekatan

Dalam penulisan ini, penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif, yaitu

penelitian hukum yang objek kajiannya meliputi ketentuan-ketentuan perundan-undangan

serta literatur-literatur bacaan yang berhubungan dengan penulisan ini.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGeprints.umm.ac.id/36258/2/jiptummpp-gdl-luqmanwahy-48124-2-babi.pdfBangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,

16

E. 2. Jenis atau Bahan Hukum

Data yang hendak didapatkan untuk menopang hasil penelitian ini adalah data

primer, sekunder, dan data tersier, yaitu:

a. Bahan-bahan Primer

Berupa bahan hukum primer yang didapatkan dari sumber perundang-undangan,

yaitu peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar bekerjanya jenis pidana

bersyarat khususnya pasal 14 huruf a sampai f KUHP.

b. Bahan-bahan Sekunder

Berupa bahan hukum yang bersumber dari buku-buku literatur yang berhubungan

baik langsung maupun tidak langsung dengan masalah yang diteliti. Bahan hukum ini

didapatkan melalui studi kepustakaan, dokumen, konsep rancangan undang-undang

khususnya Konsep KUHP Baru, pendapat para ahli hukum, hasil-hasil penelitian dan

kegiatan ilmiah lainnya yang berkaitan dengan masalah pidana bersyarat dan keadilan

restoratif serta pemidanaan yang berperikemanusiaan.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau

penjelasan bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan

lain-lain.

E. 3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Pada penulisan ini yang digunakan adalah model studi kepustakaan (library

research), yang dimaksud dengan studi kepustakaan adalah pengkajian informasi tertulis

mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas serta

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGeprints.umm.ac.id/36258/2/jiptummpp-gdl-luqmanwahy-48124-2-babi.pdfBangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,

17

dibutuhkan dalam penelitian hukum normatif,18

yaitu penulisan yang didasarkan pada

data-data yang dijadikan objek penelitian, seperti buku-buku pustaka, majalah, artikel,

surat kabar, buletin, tentang segala hal yang sesuai dengan skripsi ini yang akan disusun

dan dikaji secara komprehensif.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang digunakan oleh penulis dalam skripsi ini terdiri dari 4

(empat) bab yang tersusun secara berurutan mulai dari Bab I sampai dengan Bab IV,

secara garis besar diuraikan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Berisi tentang latar belakang, permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

metode penelitian dan sistematika penulisan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Berisi tentang tinjauan umum yang berkaitan dengan topik dari penelitian ini, yaitu

pidana bersyarat dalam mewujudkan keadilan restoratif dalam sistem pemidanaan di

Indonesia. Berkaitan dengan topik tersebut, pada awal bab akan diuraikan tentang Pidana

dan Pemidanaan, Selanjutnya dipaparkan tentang teori-teori yang berkaitan dengan tujuan

pemidanaan dan perkembangannya sampai saat ini serta teori-teori terkait dengan keadilan

restoratif. Sub bab berikutnya menjelaskan tentang pengertian dan ruang lingkup

kebijakan hukum pidana dilanjutkan sub bab yang menggambarkan urgensi mencari

alternatif pidana perampasan kemerdekaan yang di dalamnya juga dicantumkan adanya

kritik-kritik terhadap pidana penjara.

BAB III PEMBAHASAN

18

Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Hal 81

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGeprints.umm.ac.id/36258/2/jiptummpp-gdl-luqmanwahy-48124-2-babi.pdfBangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,

18

1. Dalam bab ini akan diuraikan hasil pembahasan dari analisa data dengan

permasalahan : 1) Reorentasi pidana bersyarat dalam hukum pidana di Indonesia

berdasarkan perkembangan paradigma pemidanaan yang berperikemanusiaan? 2)

Sejauhmana Pidana Bersyarat mewujudkan nilai-nilai Keadilan Restoratif dalam

Perkembangan Paradigma Pemidanaan yang Berperikemanusiaan ? dan 3) Bagaimana

prospeksi pengaturan pidana bersyarat dalam hukum pidana di Indonesia?

BAB IV PENUTUP

Penelitian ini akan diakhiri dengan Bab IV yang merupakan Penutup yang di

dalamnya akan ditarik kesimpulan tentang permasalahan dalam penelitian ini dan

diberikan beberapa saran pemecahannya.