BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.ums.ac.id/25993/2/BAB_I.pdf · A. Latar Belakang ......
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.ums.ac.id/25993/2/BAB_I.pdf · A. Latar Belakang ......
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada zaman otoriter pers dikekang oleh pemerintah, karena pada saat
itu jurnalisdipaksa patuh dan tidak boleh mengkritisi apa yang menjadi
kebijakannya. Media diwajibkan mendukung keputusan tersebut dengan cara
mensosialisasikan ke publik.
Media yang membantah otomatis akan dicabut izin pernerbitannya.
Bukan hanya itu, wartawan yang melakukan peliputan yang merugikan
pemerintah akan dijebloskan ke penjara. Indonesia mengalami sistem pers
jenis ini saat pemerintahan Rezim Soeharto. Saat itu semua kegiatan Pers
diatur oleh pemerintah dan mereka juga harus mendukung apa yang
dikehendaki. Bahkan, bukan hanya pers umum saja, sampai pers mahasiswa
saat itu juga terkena imbasnya.
Namun, Seiring perkembangan zaman dan kemajuan teknologi pers
tidak dikekang lagi karena mereka sudah melewati beberapa zaman
diantaranya adalah pers bebas, pers bertanggung jawab sosial, dan masih ada
beberapa zaman lagi (Kusumaningrat dan Kusumaningrat 2006: 19).
Pengertian pers dibagi menjadi dua yaitu luas dan sempit. Pers dalam
arti sempit adalah yang menyangkut kegiatan komunikasi dengan perantara
barang cetakan. Pers dalam arti luas adalah yang menyangkut kegiatan
2
komunikasi baik yang dilakukan dengan media cetak maupun media
elektronik.
Sebelum menjadi sebuah produk, perusahaan pers perlu mencari
bahan-bahan dan melewati beberapa proses produksi. Insan pers akan
melewati beberapa tahapa seperti Biaya produksi, Sumber Daya,
Pemerintahan, dan Iklan.Sumber daya mencakup dua hal yaitu Sumber Daya
Manusia (SDM) dan teknologi. Biaya produksi terkait dengan besarnya
pengeluaran seperti gaji wartawan, biaya cetak, biaya promosi.
Pemerintah berhubungan dengan kebijakan yang dikeluarkan tentang
peraturan pers. Iklan berpengaruh terhadap besarnya biaya produksi karena
suntikan dana yang diperoleh media kebanyakan dari iklan.
Media massa hadir sebagai bisnis demi mendapatkan keuntungan dari
khalayak dan pengiklan. Laba yang diperoleh tersebut tidak hanya digunakan
untuk biaya produksi saja. Pemilik media yang terlindungi dari persaingan
bisa memilih membelanjakan, atau tidak, bunga ekonominya pada proyek
yang kurang menguntungkan, seperti propaganda politik (WBI 2006 : 215).
Bukan jadi rahasia lagi sekarang ini banyak pemilik media yang terjun
dalam bidang politik. Di Indonesia sendiri ada contoh yang mencolok,
misalnya Aburizal bakrie dengan medianya ANTV, Tv one, Viva News. Di
pihak lain ada Surya paloh dengan medianya Metro tv dan Media Indonesia.
Abu Rizal Bakrie mengikuti partai Golkar dan Surya Paloh menggawangi
Nasional Demokrat.
3
Sebelumnya, Demsetz (1989) dan Lehn (1985) membuat hipotesis
bahwa “amenity potential” yang dikenal sebagai keuntungan pribadi yang
diperoleh dari pengawasan (Grossman dan Hart 1988). Artinya, Manfaat
nonfinansial seperti nama dan pengaruh dari kepemilikan surat kabar atau
televisi lebih tinggi dari pada pemilik perusahaan tutup botol (WBI 2006 :
179).
Pembentukan pendapat atau perang kata-kata sudah ada sejak zaman
dahulu, dimana saat perang dunia pertama teknik propaganda ini dianggap
paling mampu menguasai peperangan. Bahkan, setelah Amerika menerbitkan
buku berjudul Words That Won the War (Kata-Kata yang Memenangkan
Perang) tidak mengherankan orang-orang begitu peduli pada teknik ini
menjelang perang dunia ke dua.
Propaganda dalam artian paling luas adalah teknik mempengaruhi
tindakan manusia dengan memanipulasi reprentasi (penyajian) . Representasi
bisa berbentuk lisan maupun tulisan, gambar atau musik (Lasswell) dalam
teori komunikasi Werner J Severin dan James W. Tankard, Jr (2011: 128).
Lasswell menjelaskan salah satu teknik paling efektif untuk mencapai
satu diantara empat tujuan utama propaganda adalah menumbuhkan kebencian
terhadap musuh.Pada tahap selanjutnya, produksi memerlukan skala dan
investasi modal yang besar. Banyak sajian hiburan gagal menarik minat
masyarakat, dan karena itu media memerlukan bermacam jenis kepemilikan
untuk mengantisipasi risiko yang harus ditanggungya.
4
Selain itu, dalam dunia penerbitan surat kabar, peran editor sangat
penting. Seleksi atau editing sajian kemasan adalah fungsi yang krusial dalam
setiap media massa. Dari puluhan ribu pesan yang berebut perhatian dan uang
dari publik, hanya beberapa yang berhasil secara finansial.
Graeme Burton menjelaskan jika proses produksi media merupakan
suatu proses yang merujuk pada bisnis produksi atau rangkaian peristiwa yang
berakumulasi pada penerimaan audiens. Ia juga mengkaitkan proses produksi
dengan konsep-konsep komodifikasi, praktik kebudayaan dan sosial, serta
ideologi. Selain itu ada tiga aspek produksi media diantaranya adalah
Imperatif-Imperatif produksi, Praktik-praktik produksi, konteks produksi
(Burton 2008 : 95).
Imperatif-Imperatif produksi berpandangan media adalah sebagai
bisnis dan produksi adalah proses kolaboratif, menggunakan kecakapan orang.
Bagi media dan masyarakat, hubungan sosial dan hubungan ekonomi terjalin
satu sama lain. Imperatif-Imperatif produksi media adalah Kebutuhan,
kekuatan kompetisi, dan Jatah tayang. Kebutuhan untuk menutupi investasi :
ketika industri surat kabar menginvestasikan jutaan dollar dalam pembuatan
komposisi baru dan teknologi produksi sejak 1980-an, maka industri surat
kabar tersebut perlu menghasilkan sesuatu yang laku terjual.
Praktik-Praktik Produksi, dibagi menjadi empat yaitu Materi genre,
rutinitas produksi, interaksi media, dan pemasaran. Hal ini menanyakan
bagaimana media dapat mempengaruhi audiens. Selanjutnya, Konteks
5
Produksi, Produksi media beroprasi dalam pelbagai macam lingkungan
komersial.
Pasar adalah bagian dari lingkungan, yang membentuk bagaimana dan
mengapa produk-produk seperti acara dibuat dan diarahkan pada audiens
tertentu. Tetapi lebih dari itu, terdapat beberapa faktor lain yang
mempengaruhi cara oprasi institusi-institusi media. Hal-hal yang
mempengaruhi diantaranya Polarisasi, Ceruk Pasar, Peningkatan biaya.
Ideologi, Media juga mengkomunikasikan ideologi pada audiensnya,
maka berita sebagai oprasi khusus dalam media adalah pembawa yang ampuh
terhadap ideologi ini. Hal ini karena berita diduga termasuk dalam sesuatu
yang disebut fakta.
Hal tersebut dikarenakan berita meliputi aktivitas politik, peristiwa-
peristiwa ekonomi, dan prilaku sosial. Secara umum berita menyokong ide-ide
seperti aturan hukum melalui lembaga peradilan, keutamaan alami keluarga
sebagai unit sosial, dan pelbagai definisi tentang teroris seperti yang
diuangkapkan oleh pemerintah.
Tahap-tahap yang mempengaruhi proses media tersebut tentunya
dialami oleh semua media di dunia termasuk Indonesia. Ada beragam jenis
media yang lahir di Tanah Air, media nasional misalnya Kompas, Media
Indonesia, Jawa Pos, Republika, dan masih banyak lagi. Media lokal Solo
sendiri ada SOLOPOS, Radar Solo (Grup Jawa Pos), JogloSemar, Tribun
(Grup Kompas).
6
Nama-nama media tersebut adalah bukti bagaimana suburnya
pertumbuhan media di Soloraya. Penulis tidak akan mengulas semua media
diatas, namun memfokuskan pada surat kabar SOLOPOS. Penulis memilih
SOLOPOS karena surat kabar ini adalah yang tertua dan terbesar di Solo.
Selain itu, Ia adalah media lokal murni bukan gabungan media nasional.
Media ini lahir pada tahun 1997 dan terbit 24 halaman. berbagai
konten diantaranya Headline (HL), Umum, Jateng DIY, Gagasan, Inspirasi,
Pendidikan, Ekonomi Bisnis, Internasional, Pergelaran, Olahraga (2
Halaman), Sepak Bola, Soloraya, kota Solo, Wonogiri, Sukoharjo, Klaten,
Sragen, Boyolali & karanganyar, Cesspleng (Iklan 3 Halaman), Satelit Solo.
Harian SOLOPOS menyuguhkan beragam jenis konten dan
pemberitaan, misalnya saja Solo Raya, pemberitaan yang dibahas seputar kota
solo, wonogiri, dan berbagai daerah lainnya. Namun, dari berbagai konten dan
pemberitaan yang sudah dimuat oleh media yang memiliki jargon
Meningkatkan Dinamika Masyarakat ini, penulis tertarik untuk mengulas
proses produksi berita rekonsiliasi Keraton Surakarta Hadiningrat.
Penulis memilih pemberitaan tentang Kraton Surakarta Hadiningrat
karena Ia termasuk dalam khazanah budaya. Selain itu, keberadaan kraton
untuk masyarakat solo sangat penting dibuktikan dengan banyaknya acara
kraton yang masih intens di ikuti masyarakat Solo seperti event gunungan,
skatenan.
Selain itu, kraton Surakarta juga termasuk salah satu budaya yang
sudah sangat lama ada dan berpengaruh di Indonesia. Bahkan permasalahan
7
keretakan kraton Surakarta yang memiliki raja kembar juga sampai menjadi
perbincangan Nasional. Saat penandatanganan rekonsilisasi beberapa waktu
lalu beberapa menteri sampai turun dan ikut menyaksikan.
SOLOPOS termasuk media yang intens dan konsisten dalam
mengikuti dan mengulas pemberitaan Keraton Surakarta Hadiningrat. Hal itu
dibuktikan dengan terbitnya buku Di Balik Suksesi Keraton Surakarta
Hadiningrat yang diterbitkan oleh PT. Aksara SOLOPOS. Buku itu berisi
tentang sejarah dan awal mula konflik keraton sampai akhirnya lahirlah dua
raja yang dijuluki Raja kembar.
Dalam buku itu disebutkan awal mula konflik keraton adalah saat
mangkatnya Paku Buwono XII, Raja Keraton Kasunanan yang telah bertahta
selama 60 tahun. Konflik keraton mulai tercium saat pihak intern keraton
bingung memikirkan siapa penerus tahta selanjutnya.
Putra dan putri keraton menyebutkan telah ada wasiat dari Paku
Buwono XII di tawangmangu. Pergantian tahta di keraton akan mengacu pada
naluri dan angger-angger (konvensi adat keraton), berarti penerus raja adalah
putra tertua dari isteri permaisuri, namun jika tidak mempunyai istri
permaisuri, maka putera tertua dari istri selir yang akan menggantikannya.
Lantaran tidak semua putra dan putri Paku Buwno XII melihatnya dan
mengaku tidak tahu-menahu prihal wasiat tersebut. Mencuatlah perbedaan
pandangan siapa yang akan menggantikan raja. Rentetan konflik prihal calon
raja baru tersebut memang panjang, namun akhirnya ada dua orang yang
8
menjadi pilihan yaitu Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hangaberhi dan
KGPH Tedjowulan.
Ketika muncul penolakan kerabat dan sentana dari Jakarta, persoalan
suksesi keraton semakin memuncak. Sentana yang selama ini merasa
memberikan sumbangsih terhadap keberlangsungan keraton mendesak kepada
tiga pengageng untuk segera mengeluarkan pernyataan sampai kemudian pada
tanggal 3 agustus 2004, dari hasil rapat putera putri dalem beserta sentana
yang diadakan di kediaman BRAy Mooryati Soedibyo di Jakarta, ketiga
pengageng keraton akhirnya secara resmi menolak rencana Jumenengan
KGPH Hangabehi menjadi raja pada yang akan berlangsung pada 10
September 2004.
Sama-sama mempunyai pendukung dipihak masing-masing akhirnya
lahirlah raja kembar di Surakarta. KGPH Tedjowulan dikukuhkan sebagai
pengganti Paku Buwono XII pada 27 Agustus 2004 oleh tiga pengageng
keraton dan selasa pagi, 31 Agustus 2004 bertempat di Dalem Purnama,
Badran, Laweyan, Solo, KGPH Tedjowulan dinobatkan menjadi “Raja
Rakyat” oleh pendukungnya yang ditandai dengan pengalungan janur oleh
rakyat.
KGPH Hangabehi dinobatkan pada 10 Sepetember di Krobongan
Dalem Prabasuyasa. Suasana penobatan KGPH Hangabehi menggunakan
Bedaya Ketawang yang sakral. Acara diawali dengan pengucapan sumpah
KGPH Hangabehi atas nama Tuhan dan leluhur di dalam krobongan Dalem
Ageng Prabasuyasa.
9
Pemimpin Umum Harian SOLOPOS, Sukamdani Sahid Gitosardjono
dalam buku Di Balik Suksesi Keraton Surakarta Hadiningrat mengatakan :
“Buku ini merupakan bukti nyata partisipasi Harian Umum SOLOPOS
dalam perannya ikut melestarikan budaya, karena setidaknya selama
kehadirannya dikota Solo Harian Umum SOLOPOS telah mencatat berbagai
peristiwa sejarah, juga termasuk yang menyangkut Kasunanan Surakarta
Hadiningrat. Pencatatan itu direkam melalui berbagai peristiwa liputan yang
tentunya digunakan sebagai pelengkap data dalam penulisan buku ini”
(Mulyanto dkk, 2004: iii).
Menurut William S. Maulsby (Getting the News)dalam Suryawati,
Berita didefinisikan sebagai suatu penuturan secara benar dan tidak memihak
dari fakta-fakta yang mempunyai arti penting dan baru terjadi, serta dapat
menarik perhatian pembaca surat kabar yang memuat berita tersebut
(Suryawati, 2011: 68).
Sebelum suatu surat kabar mengeluarkan berita ada beberapa proses
produksi yang akan dilewati. Jabatan tertinggi adalah Pemimpin Umum (PU),
selanjutnya pemimpin redaksi dimana pemimpin redaksi tersebut bertanggung
jawab atas operasi keredaksian secara keseluruhan.
Dibawahnya ada Redaktur pelaksana atau biasa disebut sebagai tangan
kanan pemimpin redaksi. Ia bertanggung jawab pelaksanaan peliputan berita
yang seimbang. Redaktur pelaksana selain bertanggung jawab mengawasi
jalannya pelaksanaan dalam dapur redaksinya, ia juga bertanggung jawab
kepada pemimpin redaksi.
10
Redaktur daerah adalah orang yang bertanggung jawab atau
mengaturdesk yang nantinya bertanggung jawab atas peliputan di wilayahnya
masing – masing. Misalnya redaktur kota Ia bertanggung jawab untuk berita
kota, redaktur olahraga bertanggung jawab tentang pemberitaan di rubrik
olahraga. Namun, biasanya setiap surat kabar memiliki jumlah redaktur
berbeda-beda sesuai kebutuhan media mereka.
Reporter adalah strata terbawah. Mereka yang mengeksekusi hasil
rapat dan arahan redaktur. Dilapangan para kuli tinta sudah ditempatkan di
beat atau wilayah hunting masing-masing. Selain itu, wartawan biasanya juga
mencari berita bersama rekan satu beat.
Dari pemaparan diatas, Peneliti tertarik untuk meneliti tentang
produksi teks berita yang dilakukan SOLOPOS dalam berita rekonsiliasi
Keraton Surakarta Hadiningrat di harian umum SOLOPOS bulan mei-juni
2012.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana Produksi teks yang dilakukan Harian Umum SOLOPOS
saat Rekonsiliasi Keraton Kasunanan Surakarta Berlangsung?
C. Tujuan Penelitian
Mengetahui Bagaimana Produksi Pesan yang Dilakukan Harian
Umum SOLOPOS Saat Rekonsiliasi Keraton Kasunanan Surakarta
Berlangsung.
11
D. Manfaat Penelitian
a) Secara Teoritis-akademis, penelitian ini ingin mengetahui bagaimana
Produksi Pesan yang dilakukan Harian Umum SOLOPOS Saat
Rekonsiliasi Keraton Kasunanan Surakarta Berlangsung.
b) Secara Peraktis, Penelitian ini dapat berfungsi bagi para wartawan untuk
menjadi refrensi produksi pesan.
E. Signifikansi
Penelitian terdahulu tentang produksi teks berita sudah pernah
dilakukan oleh Agus Triyono, Mahasiswa Universitas Indonesia Fakultas
Sosial dan Ilmu Politik Program Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi Jakarta pada
tahun 2012. Beliau meneliti tentang REPRESENTASI DAN PRODUKSI
KONFLIK KEAGAMAAN DI MEDIA MASSA (Studi Ekonomi Politik Kritis
Insiden Ahmadiyah di Cikeusik padaHarian Republika).
Penelitian tersebut berkesimpulan jika dalam pemberitaannya republika
mencoba bersifat independen. Namun, ada beberapa hal yang menjadi dasar
pemberitaan dan dapat mempengaruhi pemberitaan republika, hal tersebut
adalah ideologi Islam. Selain itu, Sumber Daya Manusia (SDM) di Republika
semuanya mendukung dan mumpuni dalam mencari, membuat berita menjadi
sudut pandang Islam.
Dari sisi ekonomi, isu Ahmadiyah termasuk marketable untuk
diberitakan Republika karena sebagian besar pembacanya adalah umat islam.
Selain itu republika juga menjadi media rujukan dan terpercaya bagi umat
12
islam. Hal ini berarti sebagai media islam republika juga memilah berita yang
mempunyai nilai jual untuk kelangsungan hidup medianya.
Penelitian tentang Proses Produksi Media pada Kasus Berita
Rekonsiliasi Keraton Surakarta Hadiningrat di Harian Umum SOLOPOSyang
peneliti lakukan, kurang lebih ingin mencari tahu hal yang sama dengan
penelitian sebelumnya. Perbedaanya adalah Agus juga meneliti tentang konflik
keagamaan, namun disini peneliti ingin melihat konflik budaya.
Selain itu, media yang ditelitipun berbeda, Republika adalah media
nasional sedangkan SOLOPOS adalah media lokal Solo. Peneliti berharap
dengan adanya penelitian terdahulu yang sudah dilakukan oleh Agus Triyono
Peneliti bisa mendapatkan hasil yang lebih baik dan mampu menemukan
sesuatu yang baru.
F. Tinjauan Pustaka
1. Media Massa dan Industri
Media massa adalah alat atau sarana yang digunakan dalam
penyampaian pesan dari sumber (komunikator) kepada khalayak
(komunikan/penerima) dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis,
seperti surat kabar, radio, televisi, Film, dan Internet (Suryawati 2011 : 37).
McQuail dalam (1989) dalam suryawati, menyatakan ada enam
perspektif tentang peran media massa dalam konteks masyarakat modern,
yaitu :
13
a. Media massa sebagai sarana belajar untuk mengetahui berbagai
informasi dan peristiwa. Ia ibarat “jendela” untuk melihat apa yang
terjadi diluar kehidupan.
b. Media massa adalah refleksi fakta, terlepas dari rasa suka atau tidak
suka. Ia ibarat “cermin” peristiwa yang ada dan terjadi di masyarakat
ataupun dunia.
c. Media massa sebagai filter yang menyeleksi berbagai informasi dan
issue yang layak mendapat perhatian atau tidak.
d. Media massa sebagai penunjuk arah berbagai ketidakpastian atau
alternative yang beragam.
e. Media massa sebagai sarana untuk mensosialisasikan bernagai
informasi atau ide kepada publik untuk memperoleh tanggapan/ umpan
balik.
f. Media massa sebagai interkulator, tidak sekadar “lalu lalang” informasi,
tetapi memungkinkan terjadinya komunikasi yang interaktif.
Berbicara media massa tidak akan ada habisnya, banyak hal yang
mempengaruhi proses pembuatannya. Dalam buku Media dan Budaya
Populer, dijelaskan beberapa topik tentang bagaimana insitusi, kekuasaan,
dan Kontrol di media massa.
Sering diasumsikan bahwa kekuasaan media terdapat langsung atau
tidak langsung dalam institusi-institusi media. Namun, jika kita mengamati
proses interaksi antara media dan audiens, maka dapat diketahui bahwa
kekuasaan dapat diterapkan dalam banyak titik dari proses tersebut:
14
a. Apakah kekuasaan terletak pada pemilik media atau kekuatan pasar
yang 'harus dipatuhi' oleh sang pemilik?
b. Apakah kekuasaan benar-benar diterapkan oleh produser (atau mungkin
editor) bukannya oleh pemilik/ketua/dewan direksi?
c. Perlukah kita berbicara tentang kekuasaan teks, pembangunan pengaruh
ke dalam materi media?
d. Apakah setidaknya ada semacam kekuasaan yang terdapat pada
audiens? Terdapat kekuasaan untuk tidak membeli, atau bahkan
kekuasaan untuk menolak ide-ide, seperti halnya dengan 'pembacaan-
pembacaan oposisional Hall' oleh para audiens di mana audiens tidak
menggunakan makna-makna yang jelas diharapkan oleh teks yang
mereka gunakan.
Curran dan Seaton (1997) dalam (Burton,66) mengemukakan bahwa
terdapat dua tradisi yang perlu diperhatikan:
a. Pandangan pluralis, yang berargumen bahwa tekanan-tekanan sosial
yang sangat beraneka ragam terhadap audiens berarti bahwa media
tidak memiliki efek yang signifikan terhadap audiens tersebut.
b. Pandangan determinis,yang berargumen bahwa media dapat memiliki
efek tersebut, dan bahwa hubungan media dengan kelas yang berkuasa
adalah yang paling signifikan dalam hal ini.
Mereka berargumen bahwa sejauh ini, tidak ada kosakata yang tetap
untuk mendeskripsikan hubungan antara media, individu, dan masyarakat.
15
Ralph Negrine (1996) dalam Burton (2008, 68) menyatakan bahwa
kepemilikan pers memang mendandung potensi untuk control langsung dan
tidak langsung. Pemilik memang biasanya menunjuk para editor dan
menggunakannya sebagai sumber daya. Negrine juga menjelaskan pada
akhirnya pemilik media akan menuruti hukum pasar dan apapun yang akan
menjual surat kabar mereka.
McQuail (1983) dalam Burton (2008, 66) mengemukakan bahwa
terdapat tiga pertanyaan utama tentang kekuasaan media:
a. Keefektifan media sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan
kekuasaan yang ada?
b. Pertanyaan tentang kepentingan kekuasaan siapa yang diterapkan
(kepentingan kekuasaan kelas sosial, masyarakat, atau individu-
individu?
c. Apakah media menambah, mempertahankan, atau mengurangi
ketidaksetaraan kekuasaan yang ada dalam masyarakat?
Dia berargumen bahwasanya bukti yang ada menunjukkan bahwa
dalam batas-batas yang cukup besar, media memang memiliki kekuasaan
untuk mencapai beberapa efek. Dia mengemukakan bahwa karena pelbagai
alasan (melalui tindakan atau penghilangan) media memang melindungi
atau mengemukakan kepentingan orang-orang yang memiliki kekuasaan
ekonomi atau politik yang lebih besar dalam masyarakat-masyarakat
mereka sendiri.
16
2. Proses Produksi Media
Shoemaker dan reese (1996) dalam Tryssa (2011, 36) menjelaskan
dalam menyusun sebuah realitas, maka seorang wartawan dihadapkan
dengan beberapa faktor. Pertama, adalah faktor individual yaitu wartawan.
Media mengkontruksi berita melalui wartawan sebagai agen utamanya
dengan cara meliput peristiwa yang ada dilapangan. Adapun faktor yang
mempengaruhi wartawan dilapangan adalah prinsip dan
profesionalitasannya.
Kedua, Faktor rutinitas media, faktor ini terkait dengan bagaimana
mekanisme di media massa. Mekanisme media tersebut menyangkut
bagaimana proses pencarian berita dan dilanjutkan dengan bagaimana
redaksi masing-masing menyikapi pemberitaan tersebut.
Dalam hal ini biasanya terjadi proses pengeditan dari editor dan
pembuatan angel berita. Namun, perlu diketahui jika dalam hal ini setiap
media memiliki kebijakan dan cirikhas tersendiri untuk membedakan
dirinya dengan media lain. Hambatan yang ada yang ada biasanya adalah
pada waktu dan halaman koran tersebut.
Ketiga, Faktor organisasi media, faktor ini terdiri dari dalam
kelembagaan media itu sendiri misalnya struktur organisasi, sistem
organisasi yang sudah ditetapkan oleh redaksi sendiri. Bicara masalah
struktur organisasi, dalam redaksi khususnya ada hal lain yang mampu
mempengaruhi pemberitaan diantaranya adalah sirkulasi iklan.
17
Keempat, Faktor Ekstra ini adalah pengaruh yang ada diluar media
massa. Shoemaker & Reese membagi pengaruh ini menjadi tiga hal yaitu
narasumber, instansi pemerintahaan, sumber penghasilan media. Ketiga hal
tersebut juga bisa mempengaruhi kebijakan internal media massa.
Kelima, faktor ideologi, yang seringkali diartikan dengan kerangka
referensi yang ada di dalam masing-masing individu tersebut dalam melihat
suatu realitas dan bagaimana individu-individu tersebut menyikapi realitas
tersebut.
Dari kelima faktor diatas bisa kita lihat bagaimana media
mengambil keputusannya. Selain itu, pendapat dari Shoemaker & Reese ini
bisa menjadi kerangka untuk mengetahui bagaimana sikap media dan
pengambilan keputusan yang diambil apakah mementingkan publik atau
pengiklan.
Gambar 1. Model Hirarki Faktor-faktor yang Mempengaruhi Isi Media
(Shoemaker & Reese, 1996) Dalam Tryssa (2011, 36)
Faktor
individual
Rutinitas Media
Organisasional
Ekstra media
Ideologi
18
Pada waktu yang bersamaan, setiap organisasi berita harus
mengorientasikan dirinya juga pada kompetitor yang berada pada arena
yang sama. Agen politik seperti pembuat kebijakan adalah mereka yang
membuat kerangka kerja secara umum mengenai bagaimana sebuah media
berita harus beroperasi dengan berbagai kepentingan. Agen narasumber
merepresentasikan pemberi informasi bagi berita dan karenanya hubungan
dengan narasumber ini dipelihara untuk memastikan peliputan yang
berkelanjutan dari sektor-sektor sosial utama.
Pemerintah mempengaruhi media bukan hanya melalui tekanan
ekonomi, melainkan juga monopoli terhadap informasi yang resmi, nara
sumber pemerintah adalah contoh yang paling nyata. Jenis monopoli ini
memberikan pada pemerintah yang memiliki otoritas kekuasaan untuk
memanipulasi berita atau memilih sumber-sumber berita tertentu untuk
mendapatkan berita yang eksklusif.
Khalayak juga dilihat sebagai pasar atau konsumen yang juga harus
dipahami dan dalam kerangka yang luas, khalayak dari sebuah organisasi
berita terdiri dari konstitusi yang heterogen, mulai dari jurnalis lain sampai
pada publik umum yang akan memberikan label dan memuat peringkat
media berita dalam hubungannya dengan yang lain. News organization
atau media lain juga berandil dalam menentukan suatu isi media.
Jurnalis dalam upaya mendapatkan eksklusifitas pada sisi lain
mengarahkannya pada uniformitas. Mereka mendapatkan tekanan untuk
memperoleh berita dari kejadian-kejadian yang tidak biasa. Dalam
19
persaingan dengan media lain, wartawan kemudian berlomba-lomba lebih
cepat dalam mendapatkan dan menyajikan berita. Hasilnya adalah
banyaknya wartawan yang saling mengkopi isi media dan semuanya
berupaya mengejar berita yang sama dalam sektor ekonomi dan politik,
media massa mampu menyebarkan dan memperkuat sistem ekonomi dan
politik tertentu dan tidak jarang melakukan negasi atas sistem ekonomi dan
politik yang lain.
Meskipun demikian, satu hal yang tidak bisa kita abaikan adalah
bahwa media massa secara tidak langung menjalankan fungsi ideologis
tertentu seperti yang dianut oleh pemilik media. Berdasarkan hal tersebut,
upaya melihat media secara integratif tidak bisa hanya dilakukan dengan
pendekatan ekonomi semata, akan tetapi juga melibatkan pendekatan
politik. Untuk itulah, kemudian, kajian ekonomi politik tentang produsi
budaya (teks) menjadi suatu kajian yang penting.
20
Gambar 2. Pengaruh dalam Produksi Berita (Camelia, 2007, 22) dalam
Agus Triyono (2012, 22)
3. Pembagian Model Pers
Media memiliki potensi untuk mengkontruksi fakta yang
didapatnya, kemudian berita-berita yang terbit dan dibaca oleh khalayak
akan memiliki efek tersendiri. Stanley (2003, 5) dalam artikel yang berjudul
Jurnalisme Patriotis: Solusi atau Kemunduran?! Membagi posisi media
menjadi tiga bagian saat memberitakan. Pertama adalah issue
intensifier,dimana media memunculkan dan mempertontonkan isu secara
terus menerus dan mengulasnya secara tajam.
Kedua, conflict diminisher, Media secara sengaja menenggelamkan
isu dan tidak terlalu banyak menghiasi halaman koran yang akan
Goverment investor Sources Audien
s Other
media
Advertise
r
Owners
Other
Social
institutio
ns
Agency News
Production
News
Selektion
Framing
Field :
Dominant
Agent
Other Journalist
journalist
News
organization A Editor
News
Prepare
d News
21
diterbitkan, terlepas dari pemberitaan itu penting atau tidak penting.
Pemberitaan seperti ini biasanya terkait dengan ideologi atau menyangkut
hal-hal yang pragmatis.
Ketiga, conflict resolution, Posisi media dalam hal ini adalah
sebagai mediator dengan menampilkan isu dari berbagai sudut pandang.
Hal ini dimaksudkan kedua belah pihak yang bertikai dapat memahami
sikap atau pendapat lawan sehingga pemberitaan dicondongkan untuk
menyelesaikan konflik.
Pers tidak hanya harus punya cita-cita ideal. Pers sendiri harus
punya kekuatan serta keseimbangan. Kekuatan untuk mencapai cita-cita,
dan keseimbangan dalam mempertahankan nilai-nilai profesi yang
diyakininya. Agar mendapat kekuatan, maka pers harus berorientasi kepada
kepentingan komersial. Bagaimanapun pers bukanlah lembaga satuan
sosial. Seperti nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.
Sebagai lembaga ekonomi, penerbitan pers harus dijalankan dengan
merujuk pada pendekatan dan kaidah ekonomi, efisiensi dan efektivitas.
Secara manajerial perusahaan pers harus memetik untung dan sejauh
mungkin menghindari kerugian. Dalam kerangka ini, apapun sajian pers tak
bisa dilepaskan dari muatan nilai bisnis komersial sesuai dengan
pertimbangan dan tuntutan pasar. Hanya dengan berpijak pada nilai-nilai
komersial, penerbitan pers bisa mencapai cita-citanya yang ideal. Tegasnya,
idealisme tanpa komersial hanyalah sebuah ilusi.
22
Selain pembahasan fungsi diatas, penulis juga ingin mengulas
sedikit tentang empat teori pers yaitu Teori Pers Otoriter, Teori Pers Bebas,
Teori Pers Bertanggung Jawab Sosial, dan Teori Pers komunis Soviet
(Kusumaningrat dan Kusumaningrat 2006: 19).
a. Authoitarian Theory (Teori Pers Otoriter)
Teori pers ini menurut Siebert dkk adalah teori pers yang paling
tua, berasal dari abad ke-16. Teori ini berasal dari falsafah kenegaraan
yang membela kekuasaan absolute. Penetapan hal- hal yang benar
dipercayakan pada segelintir orang yang bijaksana. Jadi, Pada dasarnya
pendekatan dilakukan dari aras kebawah.
Teori ini berpandangan bahwa negara memiliki kedudukan lebih
tinggi dari pada Individu dalam skala kehidupan sosial. Bagi seorang
Individu, hanya dengan menempatkan diri di bawah kekuasaan negara,
maka individu yang bersangkutan bisa mencapai cita-citanya dan memiliki
atribusi sebagai orang yang beradab.
b. Libertarian Theory (Teori Pers Bebas)
Teori Pers Bebas ini mencapai puncaknya pada abad ke-19. Dalam
teori ini manusia dipandang sebagai makhluk rasional yang dapat
membedakan antara yang benar dan tidak benar. Pers harus menjadi mitra
dalam upaya pencarian kebenaran, dan bukan menjadi alat pemerintah.
Jadi, tuntutan bahwa pers mengawasi pemerintah berkembang berdasarkan
teori ini.
23
Sebutan terhadap pers sebagai pilar demokrasi kekuasaan keempat
setelah kekuasaan eksekutif, yudikatif, dan legislative pun menjadi umum
diterima dalam teori pers libertarian. Oleh karenanya, pers harus bebas
dari dari pengaruh dan kendali pemerintah. Dalam upaya pencarian
kebenaran, semua gagasan harus memiliki kesempatan yang sama untuk
dikembangkan sehingga yang benar dan dapat dipercaya akan bertahan,
sedangkan yang sebaliknya akan lenyap.
Gagasan John Milton tentang “Self-Righting process” (proses
menemukan sendiri kebenaran) dan tentang “Free market of ideas”
(Kebebasan menjual gagasan) menjadi sentral dalam teori pers bebas ini.
Berdasarkan gagasan tersebut, dalam sistem ini pers dikontrol oleh “Self-
Righting process of truth”, lalu oleh adanya “Free market of ideas”, dan
oleh pengadilan Imlikasi dari Self-Righting process” adalah bahwa semua
gagasan harus memiliki kesempatan yang sama ke semua saluran
komunikasi dan setiap orang punya akses yang sama pula ke sana.
c. Social Responsibility Theory (Teori Pers Bertanggung Jawab Sosial) dan
Soviet Communist Theory (Teori Pers komunis Soviet)
Kedua Teori ini dipandang sebagai modifikasi dari kedua teori
sebelumnya Sosial Social Responsibility Theory (Teori Pers Bertanggung
Jawab Sosial) dijabarkan berdasarkan asumsi bahwa prinsip-prinsip teori
pers libertarian terlalu menyederhanakan persoalan. Dalam Pers
Libertarian, para pemilik dan para operator perslah yang terutama
24
menentukan fakta-fakta apa saja yang terutama menentukan fakta-fakta
apa saja yang boleh disiarkan kepada publik dan dalam versi apa.
Teori pers libertarian tidak berhasil memahami masalah-masalah
seperti proses kebebasan internal pers dan proses konsentrasi pers. Teori
pers bertanggung jawab sosial yang ingin mengatasi kontradiksi antara
kebebasan media massa dan tanggung jawab sosialnya ini diformulasikan
secara jelas sekali pada tahun 1949 dalam laporan “Commission on the
freedom of the press” yang diketuai oleh Robert Hutchins
(Kusumaningrat dan Kusumaningrat 2006 : 22).
Komisi selanjutnya terkenal dengan sebutan Hutchins
Commission ini mengajukan 5 prasyarat sebagai syarat bagi pers yang
bertanggung jawab kepada masyarakat. Lima prasyarat tersebut adalah :
1) Media harus menyajikan berita-berita peristiwa sehari-hari yang dapat
dipercaya, lengkap, dan cerdas dalam konteks yang memberikannya
makna. (Media harus akurat; mereka tidak boleh berbohong, harus
memisahkan antara fakta dan opini, harus melaporkan dengan cara
yang memberikan arti secara internasional, dan harus lebih dalam dari
sekadar menyajikan fakta-fakta dan harus melaporkan kebenaran).
2) Media Harus Berfungsi sebagai forum untuk pertukaran komentar dan
kritik. (Media harus menjadi sarana umum; harus memuat gagasan-
gagasan yang bertentangan dengan gagasas-gagasan mereka sendiri, “
Semia dasar pelaporan yang objektif”; semua “pandangan dan
kepentingan yang penting” dalam masyarakat harus diwakili; media
25
harus mengidentifikasi sumber informasi mereka dalam hal ini “perlu
bagi sebuah masyarakat bebas,”
3) Media harus memproyeksikan gambaran yang benar-benar mewakili
dari kelompok-kelompok konstituen dalam masyarakat. (Ketika
gambaran-gambaran yang disajikan media gagal menyajikan suatu
kelompok sosial dengan benar, maka pendapat disesatkan; kebenaran
tentang kelompok mana pun harus benar-benar mewakili Ia harus
mencakup nilai-nilai dan aspirasi-aspirasi kelompok, tetapi ia tidak
boleh mengecualikan kelemahan-kelemahan dan sifat-sifat buruk
kelompok).
4) Media harus menyajikan dan menjelaskan tujuan-tujuan dan nilai-
nilai masyarakat. (Media adalah instrument pendidikan, meraka harus
memikul suatu tanggungjawab untuk menyatakan dan menjelaskan
cita-cita yang diperjuangkan oleh masyarakat).
5) Media harus menyediakan akses penuh terhadap informasi. Informasi
yang tersembunyi pada suatu saat. (Ada kebutuhan untuk
“Pendistribusian berita dan opini secara luas”).
Berbeda dengan Siebert dkk, Altschull (1995) dalam Buku Teori
Komunikasi membagi pers menjadi 3 model yaitu Model Pasar, Model
Komunis, Model Negara Maju (Werner & James 2011 : 384). Altschull
berkesimpulan :
1) Dalam Semua Sistem Pers, Media Berita mewakili pihak yang
menjalankan kekuasaan politik dan ekonomi. Surat kabar, majalah, dan
26
outlet penyiaran bukanlah actor independen, meski mereka mempunyai
potensi untuk menjalankan kekuasaan independen.
2) Isi berita selalu menunjukan kepentingan dari orang yang membiayai
pers.
3) Semua sistem pers didasarkan pada kepercayaan ekspresi bebas,
walaupun ekspresi bebas tersebut didefinisikan dengan cara yang
berbeda
4) Semua sistem pers menyokong doktrin tanggung jawab sosial,
menyatakan bahwa mereka melayani kebutuhan dan minat
masyarakat, dan menyatakan kemauan mereka untuk menyediakan
akses bagi masyarakat.
5) Masing-masing model menganggap bahwa pers model lain
menyimpang.
6) Sekolah-sekolah jurnalis mengedarkan ideology dan system nilai
masyarakat dimana mereka berada dan secara tidak sadar membantu
kekuatan masyarakat dalam mencapai control pada media berita.
7) Dalam Praktiknya, Pers selalu berbeda dengan teori.
Dalam edisi pertamanya, Altschull (1984) menyimpulkan
pandangannya :
Sejarah pers menunjukan bahwa surat kabar dan variasi model cenderung
mementingkan kepentingan pemilik, sedangkan pada saat yang sama
melanggengkan kesan bahwa pers adalah untuk melayani kepentingan
27
pengguna berita. Terlalu berangan-angan bila berharap bahwa media berita
akan berbelok dan mencemoohkan keinginan pemilik.
Tabel 1.1 Pasal Prinsip Dasar
Negara Pasar Negara Komunis Negara Maju
Pers bebas dari pengaruh
luar
Pers mengubah dan
mendidik Rakyat agar
menyadari golongan dan
budayannya.
Pers merupakan alat
pemersatu bukan alat
pemecah belah
Pers memenuhi Hak
Publik untuk
memperoleh informasi
Pers memenuhi
kebutuhan objektif rakyat
Pers merupakan
penggagas perubahan
sosial yang
menguntungkan
Pers Melaporkan dengan
adil dan objektif
Pers melaporkan secara
objektif tentang realitas
pengalaman
Pers merupakan wadah
yang saling menjembatani
antara jurnalis dan
pembaca
Sumber: J.H. Altschull, Agents of power : The Media and public policy, edisi ke-2
(Ehite Plains, N.Y. : Longman, 1995), hlm 427. Dicetak ulang seizing Longman
Tabel 1.2 Tujuan Jurnalisme
Negara Pasar Negara Komunis Negara Maju
Mengupayakan
kebenaran
Mencari kebenaran Menyajikan kebenaran
Memenuhi tanggung
jawab sosial
Memenuhi tanggung
jawab sosial
Memenuhi tanggung
jawab sosial
Memberi informasi (atau
mendidik) namun tidak
secara politis atau budaya
Mendidik rakyat dan
membantu sekutu secara
politis dan budaya
Mendidik secara politis
dan budaya
Melayani masyarakat
tanpa pandang bulu :
Mendukung doktrin
kapitalis
Melayani rakyat dengan
imbalan dukungan
doktrin yang benar
Melayani masyarakat
dengan, bersama
pemerintah, menggagas
perubahan sosial yang
menguntungkan
Bertindak sebagai anjing
penjaga pemerintah
Membentuk pandangan
dan prilaku
Sebagai instrument
perdamaian
Sumber: J.H. Altschull, Agents of power : The Media and public policy, edisi ke-2
(Ehite Plains, N.Y. : Longman, 1995), hlm 429. Dicetak ulang seizing Longman
Tabel 1.3 Pandangan terhadap kebebasan Pers
Negara Pasar Negara Komunis Negara Maju
Pers bebas berarti bahwa
jurnalis bebas dari
Pers bebas berarti bahwa
seluruh opini disajikan
Pers bebas berarti
kebebasan mengikuti kata
28
Negara Pasar Negara Komunis Negara Maju
kontrol luar mana pun tidak hanya opini kaum
kaya atau penguasa
hati bagi jurnalis
Pers bebas merupakan
pers yang tidak tunduk
pada penguasa dan tidak
dimanipulasi oleh
penguasa
Pers bebas diperlukan
untuk melawan
penindasan dari
komunitas yang mapan
Kebebasan pers kurang
penting disbanding
kelangsungan hidup
bangsa
Tidak diperlukan
kebijakan pers untuk
menjamin kebebasan pers
Diperlukan kebijakan
pers untuk memastikan
bahwa pers bebas berada
dalam bentuk yang benar
Diperlukan kebijakan
pers untuk melindungi
kebebasan
Sumber: J.H. Altschull, Agents of power : The Media and public policy, edisi ke-2
(Ehite Plains, N.Y. : Longman, 1995), hlm 435. Dicetak ulang seizing Longman
4. Media Dalam Konflik
Ashadi Siregar (2001) dalam makalahnya yang berjudul Resolusi
Konflik Melalui Jurnalisme Damai menjelaskan, Konflik menjadi sesuatu
yang penting karena ia adalah penggalan suatu proses sosial. Konflik akan
menjadi bernilai jika berada dalam lingkungan yang tenang.
Ruang publik memiliki beberapa dimensi diantaranya adalah politik,
ekonomi, kultural. Ketiga hal tersebut adalah bahasan yang nantinya akan
menghiasi media, namun ada yang perlu diingat jika fakta itu berasal dari
ruang publik dengan nilai sosial dan memiliki makna kultural atau budaya.
Maka dari itu semua yang berhubungan dengan nilai-nilai tersebut
termasuk penting.
Beberapa jenis media seperti partisipan memiliki dua hal yang
nantinya akan dimuat dalam pemberitaanya. Pertama adalah pemberitaan
tentang apa yang menjadi hal yang dibelanya dan apa yang menjadi diluar
29
yang dibelanya. Maka dari itu media partisipan kadang condong pada apa
yang menjadi tujuannya atau apa yang dibelanya.
Walaupun sudah tidak ada campur tangan pemerintah dalam
mengatur media bukan berarti media sudah menemukan jati dirinya karena
mereka memiliki orientasi dan pendapat masing-masing. Dalam hal ini
penting diadakannya pendefisian ruang publik agar jelas arah beritanya.
Pers Indonesia memiliki tantangan kedepan karena tidak semua
masyarakat bisa memaknai pesan yang dibuat. Hal ini berpengaruh dalam
pemberitaan konflik yang sedang bertikai. Sebagai profesi, jurnalisme tidak
sekadar bagian dari proses manajemen, jurnalis memiliki dua ruang yang
menjadi bagian dari dirinya . pertama adalah sebagai wartawan secara
pribadi, kedua adalah sebagai buruh pekerja di industri media. Hal inilah
yang menjadikan wartawan akan susah memilih dalam memberitakan
konflik apakah konflik tersebut ada sangkut pautannya dengan pemilik
modal.
Dia dapat saja menjadi bagian dari manajemen sebagai pekerja,
buruh atau kuli (tinta), tetapi tidak kehilangan otonomi dan
independensinya sebagai pekerja kultural, sebagaimana seorang dokter
medis yang menjadi karyawan rumah sakit tetapi tidak boleh kehilangan
otonomi dan independensinya sebagai pengabdi kemanusiaan. Seorang
jurnalis merupakan pekerja kultural karena pada hakekatnya berurusan
dengan wacana.
30
Budaya wartawan ada dua dalam memberitakan konflik, dia bisa
menjadi pedagang jika mengurusi informasi sebagai komuditas politik.
Namun, sebagai pekerja dia harus bertanggung jawab pada tempatnya
bekerja. Kedua, dia terikat secara moral dalam akuntabilitas kepada publik.
Faktor moral inilah yang membedakan profesionalnya sebagai wartawan
dan pekerja.
Masalah inilah yang membuat pekerja jurnalisme merasa cukup
menjalankan tugas pada tataran teknis dan tidak berusaha untuk
menempatkan pada pengetahuan. Kesadaran bagaimana menumbuhkan
sikap kritis pada masyarakat atau budaya yang menciptakan masyarakat
yang cerdas dalam menyikapi permasalahan.
Jika kedua hal tersebut tidak menjadi basis bagi kehidupan warga,
ruang publik akan dijadikan perebutan dominasi bagi kekuatan sosial
berupa komunalisme baik atas dasar kelompok massa spontan (mob)
maupun berbasis agama dan suku. Basis komunalisme massa iniadalah
organisasi politik.
Maka dari itu pembahasan atau isu massa yang bisa dibuat adalah
agama dan suku dengan orientasi kekerasan fisik. Untuk memahami makna
konflik diruang publik melalui oposisi binarinya dapat dirangkum sebagai
berikut.
NEGATIF KONFLIK FAKTA DAMAI POSITIF
Sektarian
agama
? Toleran agama
Eksklusif suku ? Inklusif bangsa
Kekerasan
fisik
? Rasionalitas
31
Dari suatu fakta pilihan orientasi fakta dengan fokus pada konflik
atau damai. Orientasi konflik mengandung makna dari wacana sektarian
agama, eksklusifitas suku, atau kekerasan fisik. Maksud dari pemberitaan
bisa dilihat mengarah pada perdamaian atau berlanjutnya konflik. Hal ini
bisa dilihat melalui pemilihan narasumber dengan tingkat objektifitas atau
subjektifitas.
G. Metodologi
1. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif
menggunakan pendekatan fenomenologi. Fenomenologi adalah pandangan
dari Edmund Husserl yang meyakini bahwa dalam setiap hal, manusia
memiliki pemahaman dan penghayatan terhadap setiap fenomena yang
dilaluinya dan pemahaman serta penghayatannya tersebut sangat
berpengaruh terhadap prilakunya (Giorgi & Giorgi) dalam (Haris
Herdiansyah 2010 : 66)
Secara sederhana, feomenologi lebih mengfokuskan diri pada
konsep suatu fenomena tertentu dan bentuk dari studinya adalah untuk
melihat dan memahami arti dari suatu pengalaman unik, baik oleh seorang
individu yang berkaitan dengan suatu fenomena tertentu. Polkinghorne
(1989) mendifinisikan fenomenologi sebagai sebuah studi untuk
memberikan gambaran tentang arti dari pengalaman-pengalaman beberapa
individu mengenai suatu konsep (Haris Herdiansyah 2010 : 67).
32
Objek ilmu itu tidak terbatas pada hal-hal yang empiris atau
pengalaman yang sudah pernah dilakukan (terindra), tetapi juga mencakup
fenomena yang berada duluar itu, seperti persepsi, pemikiran, kemauan,
dan keyakinan subjek tentang “sesuatu” diluar dirinya.
Penelitian dengan berdasarkan fenomenologi melihat objek
penelitian dalam satu konteks naturalnya. Artinya peneliti melihat suatu
peristiwa tidak secara parsial atau berhubungan, lepas daru konteks
sosialnya karena satu fenomena yang sama dalam situasi yang berbeda
akan pula memiliki makna yang berbeda pula.
Creswell (1998) menyatakan bahwa dalam disiplin ilmu-ilmu
sosial, menyatakan bahwa dalam disiplin ilmu-ilmu sosial, model
fenomenologi lebih sesuai dengan ilmu psikologi atau pendekatan
psikologi yang memfokuskan pada arti dari pengalaman individual
walaupun ilmu sosial juga dapat menerapkan model fenomenologi dalam
konteks kelompok atau komunal (Herdiansyah 2010 : 68).
Peneliti meganggap penelitian ini paling sesuai jika menggunakan
pendekatan fenomenologi karena gagasan dalam fenomenologi termasuk
dekat dengan perkembangan ilmu sosial dan prilaku. Dengan, metode ini
peneliti bisa lebih menggali pengalaman-pengalaman objek penelitian,
sehingga dengan wawancara mendalam dapat diyakini sesuai untuk
penelitian ini.
Wawancara mendalam dilakukan dengan cara wawancara terbuka
atau tidak terstruktur. Pertanyaan-pertanyaan mengarah pada kedalaman
33
informasi guna menggali pandangan subjek yang diteliti tentang banyak
hal yang bermanfaat untuk menjadi dasar penelitian lebih jauh.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Harian Umum SOLOPOS.
Pemilihan Harian Umum SOLOPOS karena ia termasuk media terbesar
dan berpengaruh di Solo. Selain itu, umur koran ini sekarang sudah
mencapai kurang lebih 16 tahun. Hal ini menandakan SOLOPOS termasuk
media yang eksis menginggat banyaknya Koran pendatang baru di Solo.
Beberapa penghargaan juga seudah pernah didapatkan Solopos.
Perusahaan Pers ini menyabet juara Gold winner The Best Java
Newspaper IPMA 2013. IPMA adalah ajang kompetisi media cetak se-
Nusantara yang digelar setiap tahun. Pesertanya adalah ratusan penerbit
media cetak, baik harian, mingguan, tabloid, dan majalah dari tingkat lokal
sampai nasional.
3. Sumber Data
Peneliti membagi menjadi dua sumber data yaitu Primer dan
Sekunder.
a. Primer
Subjek penelitian ini adalah informan yang memiliki informasi
memadai tentang proses produksi teks berita yang dilakukan
SOLOPOS saat rekonsiliasi Keraton Surakarta Hadiningrat. Menurut
Pawito sifat metode sampling dari penelitian kualitatif pada hakikatnya
34
adalah purposive sampling. Subjek atau sampel penelitian komunikasi
kualitatif cenderung bersifat “bias kaya informasi” karena informasi
(data) pada umumnya diperoleh dari orang-orang yang dapat diyakini
memang mengetahui persoalan yang diteliti, dan ini berarti adalah para
pemuka, pemimpin, atau tokoh-tokoh dari kelompok-kelompok
masyarakat yang diteliti yang notabene adalah orang-orang kaya
informasi berkenaan dengan persoalan-persoalan yang sedang diteliti
(Pawito 2008 : 88).
Peneliti pada hal ini mengacu pada Lindlof (1995)
menggunakan Convenience Sampling, yaitu peneliti mengambil
sampel untuk dijadikan wakil dari subjek penelitian, dan kemudian
mengamati atau mungkin mewawancarainya. Dalam hal ini peneliti
Redaktur, dan wartawan yang melakukan kegiatan saat rekonsiliasi
Keraton Surakarta Hadiningrat sedang berlangsung.
b. Sekunder
Data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen seperti buku-
buku, profil perusahaan SOLOPOS dan berita-berita tentang keraton
yang sudah pernah diterbitkan oleh harian ini.
4. Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dengan cara :
a. Wawancara
35
Menurut Moleong (2005), Wawancara adalah percakapan
dengan maksud tertentu. Percakapan dilakukan oleh dua pihak, yaitu
pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan
terwawancara (interviewe) yang memberikan jawaban atas pertanyaan
tersebut.
Wawancara akan dilakukan dengan Redaktur kota Solo dan
Wartawan yang melakukan peliputan tentang keraton. Redaktur Kota
Solo dipilih karena ia yang bertanggung jawab dengan rubrik terkait.
Dua narasumber yang dipilih sudah tepat karena redaktur adalah orang
yang bertanggung jawab atas angel dan control berita sebelum terbit.
b. Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi adalah salah satu metode pengumpulan data
kualitatif dengan melihat atau menganalisisis dokumen-dokumen yang
dibuat oleh subjek sendiri atau oleh orang lain tentang subjek
(Herdiansyah 2010 : 143).
5. Teknik Validitas
Teknik Validitas data yang peneliti gunakan adalah trianggulasi.
Triangulasi merupakan penggunaan dua atau lebih sumber untuk
mendapatkan gambaran yang menyeluruh tentang suatu fenomena yang
akan diteliti. Peneliti dalam hal ini menggunakan Data triangulation
(trianggulasi dalam hal metode pengumpulan data).
36
Menurut Denzin (1978) Data triangulation adalah penggunaan
lebih dari satu metode pengumpulan data dalam kasus tunggal. Metode
pengumpulan datanya dilakukan dalam penelitian kualitatif, yaitu
wawancara, observasi, FGD, dokumentasi. Dalam penelitian kualitatif
biasanya menggunakan metode pengumpulan data yang lebih dari satu
misalnya wawancara ditambah observasi, wawancara ditambah observasi
ditambah dokumentasi untuk meneliti kasus tunggal.
Triangulasi ini adalah cara terbaik untuk menghilangkan perbedaan
kontruksi kenyataan yang ada dalam konteks studi saat pengumpulan data
(Herdiansyah 2010 : 202).
6. Teknik Analisis Data
Analisis data yang akan peneliti gunakan adalah Model Interaktif
Miles dan Huberman. Mereka membagi tahapannya menjadi empat
komponen, yaitu Pengumpulan data, Reduksi data, Display, Penarikan
Kesimpulan (Herdiansyah 2010 : 164).
Pada tahap pengumpulan data, peneliti dilapangan mencari data
yang dibutuhkan, bisa berupa wawancara dan dokumentasi. Untuk,
penelitian tentang produksi teks berita Keraton Surakarta Hadiningrat ini,
Data yang peneliti gunakan adalah wawancara, namun tidak menutup
kemungkinan menggunakan dokumen dan data pendukung lainnya.
Setelah selesai mengumpulkan data peneliti akan melakukan
reduksi data, artinya peneliti akan memilah data yang didapatkan
37
kemudian dikelompokan. Reduksi data juga bisa diartikan sebagai
pengelompokan data, ada kemungkinan tidak semua data masuk dalam
analisis. Namun, data yang bersifat sama akan dijadikan satu.
Memasuki tahap selanjutnya adalah display data yaitu data yang
sudah selesai direduksi dapat diperlihatkan, bisa menggunakan abstraksi
atau inti dari apa yang didapat dari proses pemilahan tersebut. Setelah itu
peneliti bisa melakukan kesimpulan.
Komponen-komponen Analisis Data Model Interaktif Miles dan Huberman
dalam (Herdiansyah 2010 : 164)
Selain itu, khusus data wawancara, peneliti akan menambahkan
metode pengkodean yang melalui tiga tahap yaitu Open Coding, Axcial
Coding, Selective coding (Herdiansyah 2010 : 72)
Open Coding menurut Koentjoro (2006) dalam Herdiansyah adalah
kegiatan memberi nama, mengkategorisasikan fenomena yang diteliti
melalui proses penelaahan yang diteliti dan dilakukan secara mendetail
Pengumpulan Data
Kesimpulan/Verifik
asi
Display Reduksi
Data
38
dengan tujuan untuk menemukan kategorisasi fenomena yang diteliti,
intinya menemukan konsep dari wawancara yang dilakukan.
Axcial Coding, Susunan data yang dipresentasikan dengan
menggunakan paradigma Coding atau diagram logika yang
diidentifikasikan oleh peneliti sebagai central phenomenom, Intinya adalah
mencari kesimpulan dari open coding wawanara yang telah dilakukan.
Selective coding, digunakan untuk mengkoreksi wawancara yang
kita lakukan, misalnya dari open dan axcial coding masih ada beberapa
pertanyaan yang belum lengkap, berarti kita harus melakukan wawancara
tambahan untuk melengkapi wawancara sebelumnya.
7. Kerangka Berfikir
Peneliti menggambarkan deskripsi dari keseluruhan penelitian
dalam kerangka berfikir seperti berikut :
Kesimpulan/Verifikasi
Reduksi Data
SOLOPOS Proses Produksi Berita
Pengumpulan Data
Display