BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul 1....

29
1 BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul 1. Aktualitas Kemiskinan menjadi isu penting dalam pembangunan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Selama ini, berbagai strategi pembangunan digalakkan untuk mengentaskan isu kemiskinan tersebut. Hal yang menjadi indikator kesuksesan negara di dalam melaksanakan pembangunan adalah pertumbuhan (growth). Semakin tinggi tingkat pertumbuhan sebuah negara maka negara tersebut dianggap sukses melaksanakan pembangunan. Paradigma pembangunan pada awalnya cenderung diarahkan dari atas ke bawah (top-down) dimana pertumbuhan di dalam sebuah negara akan mengalir dari lapisan atas ke lapisan bawah. Di dalam paradigma pembangunan top down masyarakat tidak pernah dilibatkan secara langsung (berpartisipasi) dalam proses pembangunan, mulai dari perencanaan sampai evaluasi. Meskipun dilibatkan, seringkali hanya dalam proses pelaksanaan, itu pun hanya terbatas pada elit lokal (tokoh-tokoh setempat) atau masyarakat tertentu. Proses pembangunan lebih melibatkan pihak yang “berkepentingan” (pemerintah dan lembaga lain) dan mengabaikan kebutuhan masyarakat sasaran. Masyarakat hanya dijadikan objek pembangunan, tetapi tidak diberi kesempatan untuk memberdayakan atau mengembangkan kapasitas mereka.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul 1....

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Alasan Pemilihan Judul

1. Aktualitas

Kemiskinan menjadi isu penting dalam pembangunan di negara-negara

berkembang termasuk Indonesia. Selama ini, berbagai strategi pembangunan

digalakkan untuk mengentaskan isu kemiskinan tersebut. Hal yang menjadi indikator

kesuksesan negara di dalam melaksanakan pembangunan adalah pertumbuhan

(growth). Semakin tinggi tingkat pertumbuhan sebuah negara maka negara tersebut

dianggap sukses melaksanakan pembangunan. Paradigma pembangunan pada

awalnya cenderung diarahkan dari atas ke bawah (top-down) dimana pertumbuhan di

dalam sebuah negara akan mengalir dari lapisan atas ke lapisan bawah.

Di dalam paradigma pembangunan top down masyarakat tidak pernah

dilibatkan secara langsung (berpartisipasi) dalam proses pembangunan, mulai dari

perencanaan sampai evaluasi. Meskipun dilibatkan, seringkali hanya dalam proses

pelaksanaan, itu pun hanya terbatas pada elit lokal (tokoh-tokoh setempat) atau

masyarakat tertentu. Proses pembangunan lebih melibatkan pihak yang

“berkepentingan” (pemerintah dan lembaga lain) dan mengabaikan kebutuhan

masyarakat sasaran. Masyarakat hanya dijadikan objek pembangunan, tetapi tidak

diberi kesempatan untuk memberdayakan atau mengembangkan kapasitas mereka.

2

Dalam pernyataan di atas tersirat bahwa pembangunan hanyalah semata

mengenai pemenuhan sarana-prasarana, tetapi tidak pernah membangun manusianya.

Ketergantungan dengan pihak luar (Dunia Pertama) adalah implikasi dari luputnya

esensi pembangunan manusia yang sesungguhnya. Hal inilah yang mendorong

lahirnya paradigma baru sebagai antitesis dari paradigma pembangunan yang

dianggap gagal sebelumnya. Pembangunan tidak lagi digerakkan atas dasar

pertumbuhan ekonomi semata, namun lebih cenderung kepada pemberdayaan

masyarakat (community empowerment). Dalam paradigma tersebut terdapat asumsi

bahwa ketika masyarakat berdaya sebagai subyek pembangunan maka pada akhirnya

mereka akan berdaya secara ekonomi.

Asumsi tersebut juga didukung adanya pembangunan berkelanjutan

(sustainable development) sehingga masyarakat dapat lepas dari belenggu

ketergantungan. Salah satu implementasi pembangunan berkelanjutan adalah adanya

Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan atau P2KP yang merupakan cikal

bakal Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat atau PNPM. P2KP menyiapkan

lembaga yang benar-benar mampu menjadi wadah perjuangan kaum miskin, yang

mandiri dan berkelanjutan dalam menyuarakan aspirasi serta kebutuhan mereka.

Lembaga kepemimpinan masyarakat tersebut adalah Badan Keswadayaan

Masyarakat (BKM).

BKM adalah salah satu program untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat perdesaan dengan cara memperkuat institusi lokal. Program

3

ini mengusung sistem pembangunan bottom up, program pembangunan yang

mengedepankan masyarakat sebagai pemeran utama pada setiap tahap, tercakup di

dalamnya proses perencanaan, pelaksanaan dan juga evaluasi pembangunan.

Program tersebut memiliki acuan untuk mencapai masyarakat yang berdaya.

Kondisi yang diharapkan tersebut tidak lantas mudah didapatkan, perlu sebuah

proses/tahapan dan waktu yang cukup panjang untuk mewujudkannya. Diawali

dengan pembelajaran masyarakat melalui identifikasi masalah, perumusan

pemecahan masalah dan pelaksanaan kegiatan. Proses tersebutlah yang digunakan

untuk mencapai masyarakat yang berdaya

Program BKM ini menarik untuk diteliti, karena BKM merupakan salah satu

program pembangunan dari PNPM Mandiri yang hingga saat ini masih berjalan di

Indonesia. BKM merupakan salah satu implementasi dari strategi pembangunan yang

berbasis pada pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan peran serta aktif dari

masyarakat. BKM adalah salah satu program yang tidak lagi menggunakan strategi

top down melainkan menggunakan strategi botom up yang saat ini sedang menjadi

mainstream pembangunan di Indonesia.

2. Orisinalitas

Penelitian yang membahas mengenai pemberdayaan masyarakat dalam

kaitannya dengan BKM belum pernah dilakukan di Desa Sukorejo. Namun sebagai

4

acuan telah ada pihak yang sebelumnya melakukan kajian yang berkaitan dengan

program Pemerintah khususnya pemberdayaan melalui PNPM, diantaranya yaitu:

Pemberdayaan Industri Kecil (Studi Kasus di Sentra Kerajinan Mebel Bambu

Sendari, Desa Tirtoadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman ). Disusun oleh Betiana

Dwi Saraswati mahasiswa Ilmu Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada, yang

dilakukan tahun 2006. Menjelaskan tentang kebijakan yang ditetapkan oleh

pemerintah terhadap pemberdayaan sektor industri kecil.

Dinamika PNPM Mandiri dalam Pengembangan Industri Kecil Kerajinan

Gerabah di Desa Melikan, Klaten. Disusun oleh Agus Cahyo Pamungkas, 2012,

Yogyakarta. Jurusan Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fakultas ISIPOL,

Universitas Gadjah Mada. Menjelaskan bahwa Program PNPM Mandiri memegang

peranan penting dalam pemberdayaan kelompok gerabah, namun pada kenyataannya

program ini mengalami beberapa hambatan dan belum berjalan efektif.

Pemberdayaan Perempuan Melalui Usaha Produktif (Studi mengenai Program

Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan di Dusun Pelemadu, Desa

Sriharjo, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul Tahun 2010). Disusun oleh

Sulistiyani, seorang mahasiswa Jurusan Pembangunan Soaial dan Kesejahteraan,

Fakultas ISIPOL, Universitas Gadjah Mada. Menjelaskan mengenai seberapa jauh

partisipasi perempuan kelompok Sekar Melati dalam proses pemberdayaan melalui

kegiatan Simpan Pinjam untuk Perempuan PNPM Mandiri Perdesaan dan untuk

mengetahui dampak atas adanya kegiatan Simpan Pinjam untuk Perempuan PNPM

5

Mandiri Perdesaan terhadap pemberdayaan usaha perempuan kelompok Sekar Melati

Dusun Pelemadu, Desa Sriharjo Imogiri.

Ketiga penelitian diatas memiliki fokus penelitian terhadap dampak pemberdayaan

secara umum kepada masyarakat. Sedangkan di dalam penelitian ini lebih fokus pada

proses pemberdayaan dan kegiatan yang dilakukan oleh BKM.

3. Relevansi dengan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

Topik ini diajukan karena ada kaitan antara objek studi yang peneliti pelajari

selama menempuh pendidikan di Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan. Ilmu

yang telah dikembangkan dalam Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan,

mencakup tiga konsentrasi yaitu Kebijakan Sosial, Tanggungjawab Sosial Korporasi

dan Pemberdayaan Masyarakat (Materi Kuliah Pengantar Pembangunan Sosial dan

Kesejahteraan, 2011).

Penelitian yang akan dilakukan ini mengkaji tentang pembangunan

masyarakat yang berbasis pada proses pemberdayaan masyarakat, sehingga penelitian

ini memiliki relevansi dengan fokus dalam kajian ilmu pembangunan kesejahteraan

terutama pada bidang community empowerment. Pemberdayaan masyarakat disini

adalah pemberdayaan masyarakat melalui program-program yang dilakukan oleh

BKM. Masyarakat dilibatkan langsung melalui pembentukan Kelompok Swadaya

Masyarakat (KSM) yang diharapkan sebagai wujud nyata proses pemberdayaan

6

masyarakat yang langsung menjadikan masyarakat lapisan akar rumput sebagai

sasarannya.

B. Latar Belakang Masalah

Kemiskinan merupakan permasalahan kompleks yang bersifat

multidimensional, tidak hanya bersifat individual yang melihat kemiskinan sebatas

ketidakmampuan individu atau rumah tangga dalam memenuhi kebutuhannya, namun

terkait sejumlah faktor sehingga membutuhkan penanganan yang serius. Di Indonesia

upaya penanggulangan kemiskinan telah menjadi prioritas utama sejak awal

pembangunan dilaksanakan.

Industrialisasi menjadi salah satu strategi pembangunan yang diterapkan

untuk menanggulangi isu kemiskinan yang terjadi di Indonesia. Ahmad Erani dalam

bukunya berjudul Industrialisasi Pinggiran (2000: 60-61), mengungkapkan

industrialisasi yang dianggap dapat meningkatkan kondisi perekonomian rakyat ini

kemudian diadopsi oleh negara-negara dunia ketiga. Indonesia sebagai salah satu

negara yang sedang membangun atau sedang berkembang juga mengadopsi strategi

industrialisasi tersebut. Semenjak pembangunan ekonomi dimulai secara terencana

pada tahun 1969, sesungguhnya strategi yang digunakan Indonesia adalah strategi

industrialisasi.

Pada Era Orde Baru dampak dari dominasi Industrialisasi sangat terasa bagi

pembangunan di Indonesia. Proses pembangunan dititikberatkan pada pengembangan

7

sektor industri, sedangkan strategi pembangunan yang diterapkan oleh pemerintah

pada saat itu adalah strategi top down. Penerapan strategi pembangunan ini cenderung

didorong oleh kepentingan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dan pendapatan

yang setinggi tingginya namun agaknya telah mengabaikan kehidupan sosial

masyarakat.

Pendekatan top down banyak mendapatkan kritik karena mematikan inisiatif

dan kreatif masyarakat. Bentuk penyeragaman kegiatan melalui pendekatan

pembangunan ini juga menimbulkan banyak masalah. Cara pandang yang kaku telah

mengakibatkan kekhususan wilayah dan masyarakat. Dengan demikian pendekatan

ini tidak memperhatikan aspek sosial budaya, pendekatan potensi wilayah,

kemampuan sumberdaya manusia, sehingga program pembangunan sampai dengan

bentuk kegiatan dibuat seragam atau sama untuk semua wilayah. Akibatnya

pembangunan kurang mencapai sasaran, dan tidak efektif dan kadang-kadang produk-

produk pembangunan tidak bermanfaat bagi masyarakat (Teguh, 2004).

Pasca runtuhnya orde baru, strategi pembangunan mulai beralih pada

pembangunan yang mengedepankan pada sektor sumber daya manusia. Pembangunan

SDM diperoleh melalui proses pembangunan yang kita kenal dengan pemberdayaan.

Pemberdayaan masyarakat sebagai suatu pendekatan dalam pembangunan tidak dapat

dilepaskan dari hadirnya paradigma baru pembangunan yang berpusat pada rakyat

(people centered development). Pendekatan ini menuntut untuk menempatkan

masyarakat sebagai sasaran sekaligus pelaku utama dalam pembangunan. Untuk itu

8

segala upaya pembangunan harus selalu diarahkan pada penciptaan kondisi dan

kesempatan yang memungkinkan masyarakat dapat ikut berpartisipasi aktif dalam

pembangunan.

Kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan dengan sumber daya manusia

yang sanggup untuk mengelola dan memberdayakan potensi yang ada sesuai dengan

kemampuan yang dimilikinya. Dalam proses pemberdayaan, masyarakat dituntut

untuk terlibat dalam segala proses pembangunan, baik dalam hal perencanaan sampai

pada tahap pengawasan. Masyarakat melakukan perannya sebagai partisipan aktif,

dikatakan partisipan aktif karena masyarakat merancang, menjalankan serta menjadi

pengawas dalam pembangunan. Inti dari pemberdayaan adalah pengembangan,

memperkuat potensi atau daya dan terciptanya kemandirian masyarakat.

Tujuan pemberdayaan masyarakat adalah untuk membentuk individu dan

masyarakat menjadi mandiri. Melalui pemberdayaan terjadi peningkatan kapasitas

masyarakat, dengan adanya peningkatan kapsitas masyarakat ini, maka salah satu

masalah utama pembangunan di Indonesia yang terletak pada lemahnya sumber daya

manusia dapat teratasi, sehingga melalui peningkatan kapasitas ini, maka akan

tercipta kemandiriaan masyarakat.

Salah satu program pembangunan dari pemerintah yang menggunakan proses

pemberdayaan dalam pelaksanaanya adalah Program Penanggulangan Kemiskinan

Perkotaan (P2KP) yang sekarang ini telah berganti nama menjadi Program Nasional

Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Pelaksanaan P2KP sebagai program

9

penanggulangan kemiskinan mempunyai sasaran perorangan ataupun keluarga miskin

yang berada dalam satu wilayah administrasi tertentu.

P2KP sangat memperhatikan proses perencanaan dari masyarakat atau yang

lebih dikenal sebagai mekanisme bottom up dibandingkan yang bersifat top down. Di

samping itu, P2KP juga memberikan perhatian bagi tumbuhnya institusi lokal yang

diharapkan dapat memfasilitasi mekanisme perencanaan dan pengelolaan oleh

masyarakat. Dengan tumbuhnya institusi lokal diharapkan keberlanjutan usaha

pengentasan kemiskinan pasca program dapat lebih dijamin (Soetomo, 2006)

P2KP menyiapkan lembaga yang benar-benar mampu menjadi wadah

perjuangan kaum miskin, yang mandiri dan berkelanjutan dalam menyuarakan

aspirasi serta kebutuhan mereka. Badan yang dibentuk ini adalah Badan

Keswadayaan Masyarakat (BKM) yang beranggotakan tokoh-tokoh masyarakat,

warga serta perwakilan kelompok swadaya masyarakat. BKM diharapkan bisa

mewakili proses pelayanan pemberdayaan yang ada dalam masyarakat untuk lebih

bisa maju dan berkembang.

Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) adalah sebuah nama generik atau

umum untuk suatu institusi/lembaga masyarakat dengan kedudukan sebagai pimpinan

kolektif dari suatu organisasi masyarakat ditingkat desa. BKM ini merupakan suatu

kelembagaan yang dirancang untuk dapat menjadi penggerak pembangunan

masyarakat yang mandiri yang mampu mengatasi kemiskinannya. Lembaga ini

10

mengemban misi menumbuhkan kembali ikatan sosial sesama warga untuk

bekerjasama dalam rangka mencapai kebaikan bersama pula.

Desa Sukorejo, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang merupakan

salah satu wilayah yang menjadi sasaran program P2KP. Dalam pelaksanaan P2KP di

Desa Sukorejo dibentuk suatu badan sebagai kepanjangan tangan pemerintah, yang

bertugas memfasilitasi partisipasi masyarakat sehingga dalam program ini diharapkan

masyarakat miskin bisa berpartisipasi aktif dengan membentuk kelompok-kelompok

swadaya masyarakat. Badan yang dibentuk ini adalah Badan Keswadayaan

Masyarakat (BKM) Mandiri. BKM merupakan badan yang terdiri dari perwakilan

setiap pedukuhan dan mewakili setiap golongan yang ada. Dalam BKM tidak ada

ketua, yang ada adalah koordinator kolektif sehingga diharapkan keputusan yang

diambil adalah keputusan yang lebih mengedepankan nilai-nilai kebersamaan yang

tidak mengacu pada kepentingan seseorang ataupun kepentingan golongan tertentu.

Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) di Desa Sukorejo mempunyai nama

“Mandiri” yang mempunyai arti bahwa harus bisa membangun secara bersama-sama

guna meningkatkan kemajuan dan kesejahteraan masyarakat kearah masyarakat

Mandiri. Masyarakat di Desa Sukorejo menyambut baik keberadaan BKM Madiri ini.

BKM sendiri dibentuk melalui prosedur yang dilakukan secara demokratis. Hal ini

terlihat dari proses pemilihan langsung dalam pemilihan anggotanya. Asas dalam

pemilu seperti langsung, bebas, dan rahasia dijamin dalam setiap pelaksanaan

pemilihan. BKM beranggotakan kumpulan dari perwakilan masyarakat yang dibentuk

11

dan dipilih oleh warga masyarakat. Latar belakang perwakilan dari masyarakat ini

beragam dari berbagai kalangan dan tentunya harus mengetahui potensi yang dimiliki

masyarakat dan memiliki komitmen yang kuat untuk memajukan masyarakat.

BKM sebenarnya adalah wadah strategis bagi masyarakat untuk belajar

bersama dalam mengatasi masalah bersama, karena BKM ini adalah wujud demokrasi

dalam pengelolaan P2KP dan sebagai wadah pemberdayaan masyarakat tingkat

paling bawah. BKM dipercaya dalam mengelola dana P2KP secara partisipatif,

transparan dan akuntabel. BKM yang dibangun dari, oleh dan untuk masyarakat

dapat menjadi sarana bagi masyarakat untuk mengorganisir dan mensinergikan

potensi demi kepentingan dan kebutuhan bersama, serta akhirnya akan memperkuat

kemandirian masyarakat (Yuwono, 2006: 47)

Dengan adanya BKM diharapkan bisa mewadahi proses pelayanan

pemberdayaan yang ada dalam masyarakat merupakan peluang bagi masyarakat atau

KSM untuk lebih bisa maju dan berkembang sesuai dengan fungsi BKM yang

tertuang dalam Anggaran Dasar yaitu sebagai pusat penggerak tumbuhnya kesadaran

kritis dan kebutuhan bersinergi masyarakat untuk mengorganisir diri dan menggalang

berbagai potensi serta kekuatan masyarakat agar mampu mengatasi berbagai

permasalahan yang dihadapi di wilayahnya secara mandiri.

Lembaga lokal kemasyarakatan sebenarnya menjadi pilihan yang cukup

kredibel sebagai agen pembangunan. Hanya saja, ada persoalan umum dimana

keberadaan BKM ini atas dasar inisiatif pemerintah, sehingga tidak murni ide dari

masyarakat itu sendiri. Meskipun BKM ini dapat mendorong aktivitas lokal, namun

12

disadari bahwa pelaksanaan program ini merupakan hal yang tidak mudah. Untuk

menjadi lembaga yang mampu menjadi motor penggerak masyarakat agar dapat

berdaya diperlukan sebuah pendekatan proses. Urgensi keberadaan lembaga

kemasyarakatan disini diharapkan akan menjadi wadah sekaligus agen penggerak

dalam pemberdayaan masyarakat, sehingga lembaga ini harus mampu mengakar,

representative dan dapat dipercaya oleh masyarakat.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka peneliti

membuat suatu rumusan masalah yang juga merupakan fokus penelitian yang

nantinya akan digunakan oleh peneliti untuk memandu dalam melakukan penelitian.

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

Bagaimana peran Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Mandiri dalam

kegiatan pemberdayaan masyarakat di wilayah Desa Sukorejo?

D. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian

a. Penelitian ini ditujukan untuk menganalisis proses dan kegiatan

pemberdayaan oleh Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Mandiri,

serta sejauh mana peran BKM dalam memenuhi tujuannya untuk

memberdayaakan masyarakat.

13

b. Untuk mengetahui sejauh mana kegiatan tersebut mampu memberikan

dampak bagi masyarakat Desa Sukorejo.

2. Manfaat penelitian

a. Manfaat Praktis

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi solusi serta kontribusi

informasi bagi pihak yang terkait, khususnya BKM Mandiri sehingga

diharapkan melalui hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan yang

positif untuk dapat tercapainya tujuan BKM yakni memberdayakan

masyarakat.

b. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat dijadikan literatur pendukung karena menyajikan

sebuah kerangka penelitian mengenai Badan Keswadayaan Masyarakat

(BKM) dan pemberdayaan masyarakat. Selain itu, penelitian ini juga

diharapkan dapat menjadi tambahan ilmu yang berharga bagi peneliti

E. Tinjauan Pustaka

1. Organisasi Masyarakat Lokal sebagai Agen Perubahan Sosial

Soekanto (1982) mengartikan lembaga masyarakat sebagai suatu sistem tata

kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas untuk memenuhi

kompleksitas kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Kelembagaan

berisikan dua aspek penting yaitu; “aspek kelembagaan” dan “aspek keorganisasian”.

Aspek kelembagaan meliputi perilaku atau perilaku social dimana inti kajiannya

adalah tentang nilai (value), norma (norm), custom, mores, folkways, usage,

14

kepercayaan, gagasan, doktrin, keinginan, kebutuhan, orientasi dan lain-lain.

Sementara dalam aspek keorganisasian meliputi struktur atau struktur social dengan

inti kajiannya terletak pada aspek peran (role) (Materi Kuliah Institusi Sosial, 2009)

Mubyarto (1997: 249) menyatakan bahwa jika lembaga adalah aturan main,

maka organisasi adalah pemain, yaitu kelompok-kelompok masyarakat dan

perorangan warga masyarakat yang terikat dalam kebersamaan untuk mencapai

tujuan bersama. Secara sederhana Supardi (2002: 4) mendefinisikan organisasi

sebagai tata hubungan antara orang-orang untuk dapat memungkinkan tercapainya

tujuan bersama dengan adanya pembagian tugas dan tanggung jawab. Slamet (2003)

menyatakan bahwa organisasi terbentuk atau terdiri atas beberapa kelompok dimana

terjadi proses interaksi di antara mereka yang mengikuti suatu struktur tertentu dalam

rangka mencapai tujuan bersama.

Timbulnya organisasi atau institusi lokal menurut Cheema (dikutip

Musrifah,2009: 62), ada yang karena diprakarsai atau disponsori oleh pemerintah

dengan tujuan yang sudah dirumuskan secara jelas, dan ada pula institusi atau

organisasi yang murni inisiatif masyarakat dengan tujuan yang biasanya bersifat

dinamis dan tidak tersusun secara jelas, tapi lebih bersifat evolutif sesuai dengan

perkembangan institusi yang bersangkutan. Sedangkan organisasi lokal oleh Korten

(1993) diartikan sebagai suatu organisasi rakyat yaitu suatu organisasi yang muncul

dari rakyat, yang dikelola oleh rakyat dan untuk kepentingan rakyat itu sendiri.

15

Eksistensi dan peran lembaga lokal sangat erat kaitannya dengan upaya

pemberdayaan dan pengembangan masyarakat agar lepas dari kungkungan

kemiskinan dan ketidakberdayaan. Dengan adanya organisasi lokal, masyarakat

mampu membentuk kekuatan sehingga memungkinkan untuk melakukan kegiatan

yang lebih terorganisir dan berhasil dengan baik (Kartasasmita; Materi Kuliah Insitusi

Sosial 2009). Melalui organisasi lokal dapat dirumuskan kembali mekanisme upaya

program-program pembangunan yang melibatkan unsur masyarakat.

Selama ini program-program yang dicetuskan pemerintah sering

menempatkan masyarakat hanya sebagai obyek dari pembangunan. Masyarakat

dianggap tidak tahu sehingga bisa dikendalikan dan dikontrol tanpa mengindahkan

potensi masyarakat itu sendiri. Masyarakat sering kali diikutkan tanpa diberikan

pilihan dan kesempatan untuk memberi masukan. Masyarakat ditempatkan pada

posisi yang membutuhkan bantuan dari luar sehingga kurang bertanggungjawab

terhadap keberlanjutan program.

Program penanganan kemiskinan di Indonesia bukan hal baru yang mulai

dicanangkan, akan tetapi berbagai daya upaya telah dilakukan oleh berbagai pihak,

baik lembaga pemerintah, swasta, LSM dan bahkan individu-individu pemerhati

kemiskinan. Banyak program telah dilaksanakan untuk mencapai tujuan tersebut,

mulai Jaringan Pengaman Sosial (JPS), Program Padat Karya hingga Program

Pemulihan Masyarakat, dan program-program lainnya.

16

Berbagai program pengentasan kemiskinan dari pemerintah tersebut tak

ubahnya seperti ungkapan gugur asem. Gugur asem merupakan kata ungkapan

masyarakat Jawa yang ditujukan untuk menggambarkan sebuah aktivitas atau

kegiatan yang identic dengan gugurnya buah asem. Diawali dengan menggebu-gebu

namun setelah berjalan sekian waktu, semangat, minat, dan keberlanjutannya tidak

terlihat. Menjadi usang ditelan roda zaman, keadaan, dan berbagai kepentingan yang

mewarnainya (Nugroho, 2005: 31).

Segala bentuk program bantuan dari pemerintah tidak akan bermanfaat

apabila pihak pemerintah tidak memahami masyarakat, begitu juga masyarakat tidak

akan mendapatkan proses pembelajaran ketika masyarakat itu sendiri juga tidak

mengembangkan kapasitas dalam proses pembelajaran itu sendiri. Pemerintah

diharapkan untuk tidak memberikan bantuan yang hanya berupa penyaluran bantuan

social, bukan untuk memberdayakan sehingga memperburuk moral, menimbulkan

perilaku ketergantungan, serta korupsi dalam penyalurannya (Sriharni, 2007: 92).

Untuk menindaklanjuti program penanggulangan kemiskinan yang telah

berjalan maka berdasarkan Instruksi Presiden No. 21 tahun 1998 tentang Gerakan

Terpadu Pengentasan Kemiskinan, pada bulan Juli 1998 Pemerintah Indonesia

melalui Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) meluncurkan

Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) yang dirancang untuk

melakukan pemberdayaan masyarakat miskin. Proyek ini menganut pendekatan

17

pemberdayaan (empowerment) sebagai suatu syarat untuk menuju pembangunan yang

berkelanjutan (sustainable development).

Soetomo (2006: 218) menyatakan bahwa P2KP sangat memperhatikan proses

perencanaan dari masyarakat atau yang lebih dikenal sebagai mekanisme bottom up

dibandingkan yang bersifat top down. Di samping itu, P2KP juga memberikan

perhatian bagi tumbuhnya institusi lokal yang diharapkan dapat memfasilitasi

mekanisme perencanaan dan pengelolaan oleh masyarakat. Dengan tumbuhnya

institusi lokal diharapkan keberlanjutan usaha pengentasan kemiskinan pasca

program dapat lebih dijamin. Hal itu disebabkan oleh karena institusionalisasi

merupakan prasarat bagi usaha dan aktivitas yang berkelanjutan. Apabila proses

institusionalisasi telah terjadi, maka pola aktivitas dan mekanisme tersebut mampu

mendorong tindakan bersama, dan sebagai institusi yang sudah mengakar akan

mampu bertahan dalam jangka panjang sehingga lebih memungkinkan

kesinambungan dan kemandirian proses pengelolaan pembangunan.

Institusi yang dimaksud bukan hanya berupa kehadiran suatu organisasi atau

lembaga formal, melainkan lebih sebagai suatu pola aktivitas yang sudah menjadi

bagian integral dalam kehidupan masyarakat. Keberadaaan pola aktivitas bersama

yang teraktualisasi dalam mekanisme baru tentang proses pengambilan keputusan dan

pengelolaan pembangunan, agar cukup mapan dan mengakar membutuhkan proses

yang cukup panjang melalui institusionalisasi. Apabila proses institusionalisasi telah

terjadi, maka pola aktivitas dan mekanisme tersebut memiliki kapasitas untuk

mendorong tindakan bersama, dan sebagai institusi yang sudah mengakar akan

18

mampu bertahan dalam jangka panjang, sehingga lebih memungkinkan

kesinambungan dan kemandirian dalam proses pembangunan (Soetomo, 2004: 13).

Berdasarkan desain programnya, Soetomo (2006: 221) mengemukakan bahwa

visi P2KP adalah masyarakat yang mampu membangun sinergi dengan berbagai

pihak untuk menanggulangi kemiskinan secara mandiri, efektif, dan berkelanjutan.

Sementara untuk mewujudkan visi tersebut dirumuskan misi P2KP yaitu

memberdayakan masyarakat, terutama masyarakat miskin dalam upaya

penanggulangan kemiskinan, melalui pengembangan kapasitas, penyediaan sumber

daya, dan membudayakan kemitraan strategis antara masyarakat dan pelaku-pelaku

pembangunan lokal lainnya. Untuk mewujudkan visi misi tersebut, maka dalam

pelaksanaan P2KP dibentuk lembaga Badan Keswadayaan Masyarakat.

Badan Keswadayaan Masyarakat adalah sebuah nama umum untuk suatu

institusi/lembaga masyarakat dengan kedudukan sebagai pimpinan kolektif dari suatu

organisasi masyarakat ditingkat desa. Kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan

dengan sumber daya manusia yang sanggup untuk mengelola dan memberdayakan

potensi yang ada sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Pengertian tentang

BKM sebagaimana diuraikan dalam pedoman P2KP adalah dewan pimpinan kolektif

masyarakat warga penduduk kelurahan, dan sebagai lembaga BKM dapat bertindak

sebagai representasi masyarakat warga penduduk kelurahan.

19

BKM sebagai organisasi lokal diharapkan mampu menjadi media penyuluhan

dan pemberdayaan, yang memfasilitasi dan mampu membangun pemahaman

terhadap pentingnya partisipasi aktif dalam pembangunan. Selanjutnya berdasarkan

pemahaman yang dimiliki tersebut diharapkan masyarakat dapat ditumbuh

kembangkan sehingga mereka bukan hanya sebagai obyek melainkan sebagai subyek

upaya penanggulangan kemiskinan. Dengan demikian kelembagaan lokal memiliki

pengaruh dalam proses perubahan perilaku masyarakat.

2. Pemberdayaan Masyarakat

Konsep pemberdayaan masyarakat pada hakekatnya menawarkan suatu proses

perencanaan pembangunan dengan memusatkan pada pasrtisipasi, kemampuan dan

masyarakat lokal. Dalam konteks ini, maka masyarakat perlu dilibatkan pada setiap

tahap pelaksanaan, dan evaluasi program yang mereka lakukan. Hal ini berarti,

menempatkan masyarakat sebagai actor (subyek) pembangunan dan tidak sekedar

menjadikan mereka sebagai penerima pasif pelayanan saja (Suparjan dan Hempri

Suyatna, 2003: 24).

Pemberdayaan secara subtansial merupakan proses memutus atau breakdown

dari hubungan antara subyek dan obyek. Proses ini mementingkan pengakuan subyek

akan kemampuan atau daya (power) yang dimiliki obyek. Secara garis besar, proses

ini melihat pentingnya mengalirnya daya dari subyek ke obyek. Hasil akhir dari

proses pemberdayaan adalah beralihnya fungsi individu yang semula obyek menjadi

20

subyek (yang baru) sehingga realisasi sosial yang ada nantinya hanya akan dicirikan

dengan realisasi antarsubyek dengan subyek yang lain (Vidhyandika 1996: 135).

Pemberdayaan pada intinya adalah pemanusiaan. Menurut Tjandraningsih(1996: 3),

pemberdayaan mengutamakan usaha sendiri dari orang yang diberdayakan untuk

meraih keberdayaannya.

Sumodinigrat (1999: 44) mengemukakan bahwa pemberdayaan masyarakat

merupakan upaya mempersiapkan masyarakat seiring dengan upaya memperkuat

kelembagaan masyarakat agar rakyat mampu mewujudkan kemajuan, kemandirian,

dan kesejahteraan dalam suasana keadilan sosial yang berkelanjutan Senada dengan

itu Margono (2000: 123) mengemukakan pemberdayaan masyarakat adalah

mengembangkan kondisi dan situasi sedemikian rupa hingga masyarakat memiliki

daya dan kesempatan untuk mengembangkan kehidupannya tanpa adanya kesan

bahwa perkembangan itu adalah hasil kekuatan eskternal, masyarakat harus dijadikan

subyek bukan obyek. Sedangkan menurut Sulistiyani (2004: 77) pemberdayaan dapat

dimaknai sebagai suatu proses menuju berdaya, atau proses untuk memperoleh daya

atau kekuatan atau kemampuan, dan atau proses pemberian daya/

kekuatan/kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang atau

belum berdaya.

Istilah pemberdayaan merupakan penerjemahan dari istilah empowerment

yang berasal dari kata dasar power. Korten (1987) merumuskan pengertian power

sebagai kemampuan untuk mengubah kondisi masa depan melalui tindakan dan

21

pengambilan keputusan. Dengan demikian, power dalam proses pembangunan dapat

diartikan sebagai penguasaan atau kontrol terhadap sumber daya, pengelolaan sumber

daya dan hasil serta manfaat yang diperoleh (Soetomo, 2006: 404).

Kutut Suwondo (2002: 74) mengemukakan bahwa dalam pemberdayaan atau

empowerment terdapat tujuan, yaitu: Pertama, meningkatkan kemampuan sumber

daya masyarakat dalam penguatan kelembagaan, organisasi sosial ekonomi melalui

sosialisasi, pembinaan, pelatihan keterampilan. Kedua, mewujudkan masyarakat

dengan peran keswadayaan dari masyarakat sebagai pelaku pembangunan. Ketiga,

meningkatkan kesejahteraan, mengurangi masyarakat miskin dengan

mengembangkan sistem perlindungan sosial dan dukungan bantuan sebagai upaya

stimulan

Sumodiningrat (1999) juga mengemukakan indikator keberhasilan yang dipakai

untuk mengukur pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat yang mencakup :

1. Berkurangnya jumlah penduduk miskin

2. Berkembangnya usaha peningkatan pendapatan yang dilakukan penduduk

miskin dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia

3. Meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap upaya peningkatan

kesejahteraan keluarga miskin dilingkungannya

4. Meningkatnya kemandirian kelompok yang ditandai dengan makin

berkembangnya usaha produktif anggota dan kelompok, makin kuatnya

permodalan kelompok, makin rapinya sistem administrasi kelompok, serta

makin luasnya interaksi sosial dengan kelompok lain Meningkatnya kapasitas

masyarakat dan pemerataan pendapatan yang ditandai dengan peningkatan

pendapatan keluarga miskin yang mampu memenuhi kebutuhan pokok dan

kebutuhan sosial dasarnya.

22

Inti dari pemberdayaan meliputi 3 hal yaitu pengembangan (enabling),

memperkuat potensi atau daya (empowerment), terciptanya kemandirian (Winarni,

1998: 75). Konsep ini mencerminkan proses paradigma baru pembangunan yang

bersifat people centered (terfokus pada tujuan kesejahteraan penduduk), participatory

(dukungan secara aktif dari masyarakat), empowering (pemberdayaan secara lebih

kontinyu) dan sustainanble (dilaksanakan secara berkelanjutan bukan temporer)

(Chambers, 1995). Disamping itu, pemberdayaan hendaknya jangan menjebak

masyarakat dalam perangkap ketergantungan (charity), pemberdayaan sebaiknya

harus mengantarkan pada proses kemandirian (Sulistiyani, 2004: 79).

Konsep pemberdayaan pada wacana pembangunan masyarakat selalu di

hubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan (Hikmat,

2001:3). Dalam pemberdayaan peningkatan partisipasi dan kapasitas dari masyarakat

sangat diperlukan dalam menentukan berjalannya proses pemberdayaan tersebut.

Berjalannya proses pemberdayaan tersebut ditandai dengan peningkatan partisipasi

dan kapasitas yang dimiliki oleh masyarakat sehingga masyarakat dapat berkembang.

Lebih lanjut menurut Tjandraningsih (1996: 3), pemberdayaan mengutamakan usaha

sendiri dari orang yang diberdayakan untuk meraih keberdayaannya. Oleh karena itu

pemberdayaan sangat jauh dari konotasi ketergantungan.

Pemberdayaan masyarakat Desa Sukorejo melalui BKM juga meliputi

kegiatan penguatan kapasitas dari masyarakat itu sendiri. Pada pemberdayan terdapat

penguatan kapasitas masyarakat dimana penguatan kapasitas masyarakat menurut

23

Totok (2003: 88 ) didefinisikan sebagai proses peningkatan kemampuan individu,

kelompok, organisasi dan kelembagaan yang lain untuk memahami dan

melaksanakan pembangunan dalam arti luas secara berkelanjutan. Dari definisi

tersebut maka penguatan kapasitas memiliki keterkaitan dengan penambahan

kemampuan sumberdaya manusia. Penguatan kapasitas berfungsi sebagai

pembangunan yang membangun sumber daya manusianya. Penguatan kapasitas

dilakukan melalui pemberian pelatihan-pelatihan Dalam pemberdayaan masyarakat

Desa Sukorejo upaya peningkatan kapasitas dapat dilihat melalui kegiatan-kegiatan

pelatihan yang diberikan oleh BKM seperti pelatihan keterampilan, pelatihan

menjahit, pengelolan keuangan. Pelatihan-pelatihan peningkatan kapasitas yang di

berikan oleh BKM ini pun beragam, sesuai dengan kemampuan dan permintaan dari

masyarakat.

Pemberdayaan merupakan sebuah proses pembangunan, dalam melaksanakan

pembangunan tersebut, maka pembangunan melalui proses pemberdayaan memiliki

tahapan- tahapan dalam prosesnya. Tahapan-tahapan tersebut antara lain (Sulistyani,

2004:8) :

1. Tahapan penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan

peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri

2. Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, kecakapan ,

keterampilan agar terbuka wawasan dan memberikan keterampilan dasar

sehingga dapat mengambil peranan di dalam pembangunan.

24

3. Tahapan peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan-keterampilan

sehingga terbentuklah inisiatif dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan

pada kemandirian.

Tahapan pemberdayaan tersebut merupakan sebuah proses dimana proses

awal diawali oleh penyadaran pada potensi yang dimiliki oleh masyarakat yang dapat

dikembangkan, dan pada tahapan selanjutnya merupakan proses dimana masyarakat

belajar untuk mengembangkan potensi yang dimiliki melalui usaha mereka sendiri,

dan pada proses yang ketiga merupakan proses dimana masyarakat telah menyadari

dan mampu untuk mengembangkan potensi mereka sehingga mewujudkan

masyarakat yang mandiri. Dalam pelaksanaan pemberdayaan di Desa Sukorejo ini,

para stakeholder seharusnya melalui proses-proses dalam pemberdayaan seperti yang

di ungkapkan oleh Sulistyani tersebut. Tahapan dari proses pemberdayaan tersebut

penting karena dalam proses pemberdayaan, memaksimalkan potensi yang dimiliki

oleh masyarakat untuk menciptakan kesejateraan. Sehingga tahapan-tahapan

pemberdayaan tersebut penting untuk dilalui, agar masyarakat desa Sukorejo sadar

akan potensi yang mereka miliki, sehingga nantinya meraka dapat memaksimalkan

potensi yang mereka miliki dan mendapatkan output masyarakat yang berdaya.

Sumodiningrat (1999: 196) mengungkapkan beberapa strategi yang dapat

diambil dalam proses pemberdayaan masyarakat di daerah perdesaan yaitu, :

a. Peningkatan akses bantuan modal usaha bagi masyarakat di daerah perdesaan

secara menyeluruh. Adanya program pinjaman dana bergulir melalui BKM

Mandiri agaknya dapat merealisasikan aspek ini. Bantuan pinjaman modal

25

melalui dana bergulir ini dapat diakses oleh masyarakat lapisan bawah.

Program dana bergulir memberikan kemudahan di dalam mengajukan

pinjaman modal. Kemudahan ini ditunjukkan dengan tidak adanya jaminan

atau agunan.

b. Peningkatan akses pengembangan Sumber Daya Manusia bagi masyarakat

agar masyarakat dapat melaksanakan proses pembangunan yang bersumber

dari masyarakat sendiri, sementara bantuan pemerintah diarahkan ke stimulan.

Peningkatan kualitas SDM diimplementasikan BKM Mandiri melalui

pelatihan-pelatihan yang dapat menunjang kreatifitas masyarakat di dalam

mengembangkan usahanya.

c. Peningkatan akses ke sarana dan prasarana yang mendukung langsung sosial

ekonomi masyarakat lokal. Bantuan sarana dan prasarana dari BKM Mandiri

merupakan program yang sifatnya hibah, namun masyarakat tetap dilibatkan

dalam kegiatan ini dengan jalan dana swadaya masyarakat. Masyarakat dapat

menikmati kebermanfaatan sarana dan prasarana yang diberikan, serta dapat

ikut berpartisipasi dalam menjaga kelestariannya.

Dalam program pemberdayaan yang dijalankan, keseluruhan proses mulai dari

perencanaan hingga pelaksanaan tidak hanya dikontrol dan dimonopoli oleh pihak

BKM, namun partisipasi masyarakat lebih diutamakan dalam program pemberdayaan

ini. Bentuk partisipasi masyarakat ini bisa dilakukan dengan turut serta memberikan

masukan dan juga mengontrol progam bahkan turut serta mengevaluasi semua

26

kegiatan karena pada dasarnya BKM ini adalah pengejawantahan dari masyarakat itu

sendiri dan pada akhirnya masyarakatlah yang akan melanjutkan semua proses

pembangunan yang ada.

3. Partisipasi Masyarakat

Pembangunan yang baik merupakan pembangunan yang dapat menunjukkan

keterlibatan stakeholder dalam sebuah pembangunan. Selama ini persoalan partisipasi

sering dilupakan karena penguasa elit lebih mengidentifikasi bahwa persoalan

kemiskinan terutama di negara berkembang adalah persoalan mengenai ketidaktahuan

teknologi dan mengenai permasalahan sumber daya alam. Masyarakat dianggap tidak

tahu sehingga bisa dikendalikan dan dikontrol oleh para penguasa elit. Hubungan

antara penguasa elit dengan masyarakat lebih bersifat top down (atas bawah) tidak

saling memahami dan mendukung satu sama lain sehingga terjadi ketimpangan dalam

sebuah proses pembangunanan itu sendiri.

Dalam konteks pembangunan yang lebih mengedepankan nilai-nilai

kemasyarakatan inilah pendekatan partisipatif sangat penting untuk dijalankan.

Menurut Bintoro Tjokroamidjojo (Suparjan dan Hempri, 2003: 58) mengungkapan

kaitan partisipasi dengan sebuah proses pembangunan sebagai berikut:

a. Keterlibatan aktif atau partisipasi masyarakat tersebut dapat berarti

keterlibatan dalam proses penentuan arah, strategi, dan kebijaksanaan

pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Hal ini terutama

27

berlangsung dalam proses politik tetapi juga dalam proses social

hubungan antara kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat.

b. Keterlibatan aktif dalam memikul beban dan bertanggung jawab dalam

pelaksanaan pembangunan. Hal ini dapat berupa sumbangan dalam

mobilisasi sumber-sumber pembiayaan dalam pembangunan, kegiatan

produktif yang serasi, pengawasan social atas jalannya pembangunan dan

lain-lain.

c. Keterlibatan dalam memetik hasil dan manfaat pembangunan secara

berkeadilan. Bagian-bagian daerah ataupun golongan-golongan

masyarakat tertentu dapat ditingkatkan keterlibatannya dalam bentuk

kegiatan produktif mereka melalaui perluasan kesempatan-kesempatan

dan pembinaan tertentu.

Karena pembangunan semakin berkembang sehingga sangat mungkin terjadi

penafsiran yang berbeda tentang partisipasi. Hal ini juga dijelaskan oleh Ginanjar

Kartasasmita (dikutip Yuwono, 2006: 69) dimana partisipasi masyarakat disesuaikan

dengan kondisinya, yaitu bahwa partisipasi melibatkan warga masyarakat khususnya

kelompok sasaran dalam pengambilan keputusan sejak dari perencanaan,

pelaksanaan, pengendalian dan pemanfaatan hasil-hasilnya. Hal yang sama juga

dijelaskan oleh Slamet Margono (dikutip Yuwono, 2006:70) bahwa partisipasi

masyarakat dalam pembangunan dapat diartikan sebagai ikut sertanya masyarakat

dalam pembangunan, ikut dalam kegiatan-kegiatan pembangunan dan ikut serta

28

memanfaatkan serta menikmati hasil-hasil pembangunan. Partisipasi merupakan

suatu bentuk dari interaksi komunikasi yang berkaitan dengan pembagian wewenang,

tanggungjawab dan manfaat

Partisipasi masyarakat merupakan bentuk keberdayaan masyarakat yang

diwujudkan dalam keterlibatan mental dan emosional orang dalam situasi kelompok

yang mendorong mereka memberikan kontribusi pada pencapaian tujuan kelompok.

Mubyarto (1997: 35) mengartikan partisipasi sebagai ketersediaan membentuk

berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa mengorbankan

kepentingan diri sendiri. Partisipasi menurut Hoofsteede (dikutip Khairuddin,

2000:124) didefinisikan sebagai “The taking of part in one or more phases of the

process”.

Menurut Keith davis dalam Khairuddin (2000: 124) parisipasi erat kaitannya

dengan keterikatan antar anggota dalam sebuah kelompok terutama dalam mencapai

tujuan dari kelompok tersebut. Sehingga dalam sebuah kelompok persamaan tujuan

merupakan komponen dalam menentukan besarnya keterikatan antar anggota dalam

sebuah kelompok. Menurut Hoofsteede, dalam Kharuddin (2004: 125) partisipasi di

bagi dalam beberapa tingkatan :

a. Partisipasi inisiasi (Inisiation Participation) adalah partisipasi yang

mengundang inisiatif dari pemimpin desa, baik formal maupun informal,

ataupun dari anggota masyarakat mengenai suatu proyek yang nantinya

proyek tersebut merupakan kebutuhan dari masyarakat.

29

b. Partisipasi legitimasi (Legitimatian Participation) adalah partisipasi pada

tingkatan pembicaraan atau pembuatan keputusan tentang proyek tersebut.

c. Partisipasi eksekusi (Execution Participation) adalah partisipasi pada

tingkatan pelaksanaan.

Pada tingkatan tersebut tingkatan partisipasi tertinggi terletak pada partisipasi inisiasi,

dalam partisipasi tersebut masyarakat tidak hanya menjadi pelaksana pembangunan

saja, tetapi masyarakat juga mampu menjadi perencana dari pembangunan

Substansi mengenai partisipasi masyarakat juga merupakan hal yang

mendapat perhatian penuh dalam pemberdayaan. Pemberdayaan dan partisipasi

merupakan strategi yang sangat potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi,

sosial, dan transformasi budaya. Proses ini pada akhirnya akan dapat

menciptakan pembangunan yang bersifat pada rakyat (Hikmat, 2006: 4). Jamasy

(2004: 5) menyatakan bahwa pemberdayaan sarat dengan adanya keterlibatan aktif

(partisipasi aktif) dari masyarakat dan adanya pengakuan dari semua pemangku

kepentingan bahwa jikapun mereka miskin, sekecil apapun, akan tetapi mempunyai

potensi. Horton (1987) menyatakan pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi

yang sangat potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi, sosial, dan transformasi

budaya. Partisipasi masyarakat merupakan sarana yang efektif untuk menjangkau

masyarakat miskin melalui upaya pembangkitan semangat hidup untuk dapat

menolong diri sendiri.