BAB I Pendahuluan

52
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana yang terlibat. (1) Abses leher dalam merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa akibat komplikasi-komplikasinya yang serius seperti obstruksi jalan napas, kelumpuhan saraf kranial, mediastinitis, dan kompresi hingga ruptur arteri karotis interna. Lokasinya terletak di dasar mulut dan dapat menjadi ancaman yang sangat serius. Etiologi infeksi di daerah leher dapat bermacam-macam. Kuman penyebab abses leher dalam biasanya terdiri dari campuran kuman aerob, anaerob maupun fakultatif anaerob. Asmar dikutip Murray dkk, mendapatkan kultur dari abses retrofaring 90 % mengandung kuman aerob, dan 50% pasien ditemukan kuman anaerob. (2) 1

description

bab 1

Transcript of BAB I Pendahuluan

Page 1: BAB I Pendahuluan

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah

Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher

dalam sebagai akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut,

tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana yang

terlibat. (1)

Abses leher dalam merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa akibat

komplikasi-komplikasinya yang serius seperti obstruksi jalan napas, kelumpuhan

saraf kranial, mediastinitis, dan kompresi hingga ruptur arteri karotis interna.

Lokasinya terletak di dasar mulut dan dapat menjadi ancaman yang sangat serius.

Etiologi infeksi di daerah leher dapat bermacam-macam. Kuman penyebab abses

leher dalam biasanya terdiri dari campuran kuman aerob, anaerob maupun fakultatif

anaerob. Asmar dikutip Murray dkk, mendapatkan kultur dari abses retrofaring 90 %

mengandung kuman aerob, dan 50% pasien ditemukan kuman anaerob.(2)

Infeksi kepala dan leher yang mengancam jiwa ini sudah jarang terjadi sejak

diperkenalkannya antibiotik dan angka kematiannya menjadi lebih rendah. Disamping

itu higiene mulut yang meningkat juga berperan dalam hal ini. Sebelum era

antibiotik, 70 % infeksi leher dalam berasal dari penyebaran infeksi di faring dan

tonsil ke parafaring.(3)

Disamping drainase abses yang optimal, pemberian antibiotik diperlukan

untuk terapi yang adekuat. Untuk mendapatkan antibiotik yang efektif terhadap

pasien, diperlukan pemeriksaan kultur kuman dan uji kepekaan antibiotik terhadap

kuman. Namun ini memerlukan waktu yang cukup lama, sehingga diperlukan

1

Page 2: BAB I Pendahuluan

pemberian antibiotik secara empiris. Berbagai kepustakaan melaporkan pemberian

terapi antibiotik spektrum luas secara kombinasi. Kombinasi yang diberikan pun

bervariasi.(4)

Meluasnya penggunaan antibiotik tidak hanya menurunkan angka kejadian

infeksi yang mengancam jiwa, tetapi juga mengubah gambaran klinis penyakit ini.

Hal ini ditambah juga dengan semakin meningkatnya jumlah pasien dengan status

immunosupresi berat, menjadi tantangan bagi para dokter untuk memahami gambaran

klinis penyakit ini yang dapat memicu terjadinya komplikasi yang mengancam jiwa.

Pengetahuan anatomi fasia dan ruang-ruang potensial leher secara baik, serta

penyebab abses leher dalam mutlak diperlukan untuk dapat memperkirakan

perjalanan penyebaran infeksi dan penatalaksanaan yang adekuat.

I.2. Tujuan

Tujuan penulisan referat ini adalah antara lain sebagai berikut.

1. Mengenali gejala-gejala dan tanda-tanda masing-masing jenis abses leher

dalam berdasarkan kekhasan anatomi dari masing-masing jenisnya.

2. Mengetahui penatalaksanaan abses leher dalam, baik secara pembedahan

maupun farmakoterapi, dengan penekanan pada pemberian antibiotik

berdasarkan jenis kuman yang sering ditemukan.

2

Page 3: BAB I Pendahuluan

BAB II

ANATOMI

II.1. Anatomi Ruang Potensial Leher

Pada daerah leher terdapat beberapa ruang potensial yang dibatasi oleh fasia servikal. Fasia servikal dibagi menjadi dua yaitu fasia superfisial dan fasia profunda. Kedua fasia ini dipisahkan oleh otot platisma yang tipis dan meluas ke anterior leher. Otot platisma sebelah inferior berasal dari fasia servikal profunda dan klavikula serta meluas ke superior untuk berinsersi di bagian inferior mandibula.(5)

Gambar 1. Potongan aksial leher setinggi orofaring (5)

3

Page 4: BAB I Pendahuluan

Gambar 2. Potongan oblik leher (5)

Fasia superfisial terletak dibawah dermis. Ini termasuk sistem

muskuloapenouretik, yang meluas mulai dari epikranium sampai ke aksila dan dada,

dan tidak termasuk bagian dari daerah leher dalam. Fasia profunda mengelilingi

daerah leher dalam dan terdiri dari 3 lapisan, yaitu: (5)

- lapisan superfisial

- lapisan tengah

- lapisan dalam.

4

Page 5: BAB I Pendahuluan

Ruang potensial leher dalam dibagi menjadi ruang yang melibatkan daerah

sepanjang leher, ruang suprahioid dan ruang infrahioid.(5)

1. Ruang yang melibatkan sepanjang leher terdiri dari:

ruang retrofaring

ruang bahaya (danger space)

ruang prevertebra.

2. Ruang suprahioid terdiri dari:

ruang submandibula

ruang parafaring

ruang parotis

ruang mastikor

ruang peritonsil

ruang temporalis

3. Ruang infrahioid:

ruang pretrakeal

5

Page 6: BAB I Pendahuluan

Gambar 3. Potongan Sagital Leher (5)

6

Page 7: BAB I Pendahuluan

Gambar 4. Potongan axial kepala (11)

II. 1. Ruang Retrofaring

Ruang retrofaring terdapat pada bagian posterior dari faring, yang dibatasi

oleh (8)

anterior : fasia bukkofaringeal ( divisi viscera lapisan media fasia servikalis

profunda) yang mengelilingi faring, trakea, esofagus dan tiroid

posterior : divisi alar lapisan profunda fasia servikalis profunda

lateral : selubung karotis ( carotid sheath ) dan daerah parafaring

Daerah ini meluas mulai dari dasar tengkorak sampai ke mediastinum setinggi

bifurkasio trakea (vertebra torakal I atau II ) dimana divisi viscera dan alar bersatu.

Daerah retrofaring terbagi menjadi 2 daerah yang terpisah di bagian lateral oleh

midline raphe . Tiap – tiap bagian mengandung 2 – 5 buah kelenjar limfe retrofaring

yang biasanya menghilang setelah berumur 4 – 5 tahun. Kelenjar ini menampung

aliran limfe dari rongga hidung, sinus paranasal, nasofaring, faring, tuba eustachius

dan telinga tengah. Daerah ini disebut juga dengan ruang retroviscera, retroesofagus

dan ruang viscera posterior.

II. 2. Ruang Parafaring

Ruang ini berbentuk kerucut dengan dasarnya yang terletak pada dasar

tengkorak dekat foramen jugularis dan puncaknya pada kornu mayus os. Hioid.

Ruang ini dibatasi di bagian dalam oleh m. Konstriktor faring superior, batas luarnya

adalah ramus asenden mandibula yang melekat dengan m. Pterigoid interna dan

bagian posterior kelenjar parotis.

Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang sama besarnya oleh os stiloid dengan

otot yang melekat padanya. Bagian anterior (presteloid) adalah bagian yang lebih luas

7

Page 8: BAB I Pendahuluan

dan dapat mengalami proses supuratif sebagai akibat tonsil yang meradang, beberapa

bentuk mastoiditis atau petrositis, atau dari karies dentis. (6)

Bagian yang lebih sempit di bagian posterior (post stiloid) berisi a. Karotis

interna, v. Jugularis interna, n. Vagus, yang dibungkus dalam satu sarung yang

disebut selubung karotis (carotid sheath). Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring

oleh suatu lapisan fasia yang tipis.(6)

II. 3. Ruang Submandibula

Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila. Ruang

sublingual dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot milohioid. Ruang submaksila

selanjutnya dibagi lagi atas ruang submental dan ruang submaksila (lateral) oleh otot

digastrikus anterior. Ruang mandibular dibatasi pada bagian lateral oleh garis inferior

dari badan mandibula, medial oleh perut anterior musculus digastricus, posterior oleh

ligament stylohyoid dan perut posterior dari musculus digastricus, superior oleh

musculus mylohyoid dan hyoglossus, dan inferior oleh lapisan superficial dari deep

servikal fascia. Ruang ini mengandung glandula saliva sub mandibular dan sub

mandibular lymphanodes. (7)

Namun ada pembagian lain yang tidak menyertakan ruang submandibula dan

membagi ruang submandibula atas ruang submental dan ruang submaksila saja.

Abses dapat terbentuk di ruang submandibula atau salah satu komponennya sebagai

kelanjutan infeksi dari daerah kepala leher.

Ruang submandibula berhubungan dengan beberapa struktur di dekatnya

(gambar 5), oleh karena itu abses submandibula dapat menyebar ke struktur

didekatnya.

8

Page 9: BAB I Pendahuluan

Gambar 5. Ruang potensial leher dalam (A) Potongan aksial, (B) potongan sagital.Ket : SMS: submandibular space; SLS: sublingual space; PPS: parapharyngeal space; CS: carotid space; MS: masticatory space. SMG: submandibular gland; GGM: genioglossus muscle; MHM: mylohyoid muscle; MM: masseter muscle; MPM: medial pterygoid muscle; LPM: lateral pterygoid muscle; TM: temporal muscle. (12)

9

Page 10: BAB I Pendahuluan

Gambar 6. Ruang submandibular terletak antara m. mylohyoid, fascia

dan kulit. Ruang submandibular terinfeksi langsung oleh molar kedua

dan ketiga.

10

Page 11: BAB I Pendahuluan

BAB III

ABSES LEHER DALAM

III. 1. Definisi

Abses leher dalam adalah abses yang terbentuk di dalam ruang potensial di

antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber ,

seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. (9)

Abses adalah kumpulan pus yang dapat terletak pada bagian mana pun dari

tubuh yang pada banyak kasus menyebabkan pembengkakan dan inflamasi di sekitar

nya.(10)

Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan

membuka mulut dan leher, harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher

dalam. (9)

III. 2. Epidemiologi

Tidak ada estimasi yang akurat mengenai frekuensi abses leher dalam di

seluruh dunia. Namun dapat diasumsikan bahwa insiden abses leher dalam di negara

maju secara signifikan lebih rendah dari negara-negara yang tidak didukung oleh

fasilitas kesehatan yang adekuat.

Di Bagian THT-KL Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang selama 1 tahun

terakhir (Oktober 2009 sampai September 2010) didapatkan abses leher dalam

sebanyak 33 orang, abses peritonsil 11 (32%) kasus, abses submandibula 9 (26%)

kasus, abses parafaring 6 (18%) kasus, abses retrofaring 4 (12%) kasus, abses

mastikator 3(9%) kasus, abses pretrakeal 1 (3%) kasus. (4)

11

Page 12: BAB I Pendahuluan

III. 3. Etiologi dan Patogenesis

Pembentukan abses merupakan hasil perkembangan dari flora normal dalam

tubuh. Flora normal dapat tumbuh dan mencapai daerah steril dari tubuh baik secara

perluasan langsung maupun melalui laserasi atau perforasi. Berdasarkan kekhasan

flora normal yang ada di bagian tubuh tertentu, maka kuman dari abses yang

terbentuk dapat diprediksi berdasar lokasinya. Sebagian besar abses leher dalam

disebabkan oleh campuran berbagai kuman, baik kuman aerob, anaerob, maupun

fakultatif anaerob.

Bakteriologi dari daerah gigi, oro-fasial, dan abses leher, kuman yang paling

dominan adalah kuman anaerob yaitu, Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium

spp, dan Peptostreptococcus spp. Bakteri aerob dan fakultatif adalah Streptococcus

pyogenic dan Stapylococcus aureus. (4)

Sumber infeksi paling sering pada abses leher dalam berasal dari infeksi

tonsil dan gigi. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal. Penyebaran infeksi

dapat meluas melalui foramen apikal gigi ke daerah sekitarnya. Apeks gigi molar I

yang berada di atas mylohyoid menyebabkan penjalaran infeksi akan masuk terlebih

dahulu ke daerah sublingual, sedangkan molar II dan III apeknya berada di bawah

mylohyoid sehingga infeksi akan lebih cepat ke daerah submaksila.

Parhischar dkk mendapatkan, dari 210 abses leher dalam, 175 (83,3%) dapat

diidentifikasi penyebabnya (tabel 1). Penyebab terbanyak infeksi gigi 43%. Tujuh

puluh enam persen Ludwig’s angina disebabkan infeksi gigi, abses submandibula

61% disebabkan oleh infeksi gigi.

12

Page 13: BAB I Pendahuluan

Tabel 1. Sumber infeksi penyebab abses leher dalam (4)

Penyebab Jumlah %

Gigi

Penyalahgunaan obat suntik

Faringotonsilitis

Fraktur mandibula

Infeksi kulit

Tuberculosis

Benda asing

Peritonsil abses

Trauma

Sialolitiasis

Parotis

Lain-lain

Tidak diketahui

77

21

12

10

9

9

7

6

6

5

3

10

35

43

12

6,7

5,6

5,1

5,1

3,9

3,4

3,4

2,8

1,7

5,6

Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus,

kuman anaerob Bacterioides atau kuman campuran.

13

Page 14: BAB I Pendahuluan

III. 4. Jenis-Jenis Abses Leher Dalam

Abses leher dalam dapat berupa abses peritonsil, abses retrofaring, abses

parafaring, abses submandibula, dan angina ludovici (Ludwig’s angina). (9)

III.4.1 Abses Peritonsil (Quinsy)

III.4.1.1. Definisi

Abses peritonsil adalah abses pada ruang peritonsil. Ruang peritonsil terletak di

antara kapsul tonsil palatina dan m. pharyngeal.

III.4.1.2. Etiologi

Abses peritonsil merupakan proses kelanjutan dari infeksi tonsil.(13) Selain itu

infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil dapat

menyebabkan abses peritonsil. Biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab

tonsillitis, dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob. (9)

III.4.1.3. Patologi

Infiltrasi supurasi terjadi paling sering di fosa supratonsil (70%). (13) Hal ini

disebabkan karena daerah superior dan lateral fosa tonsilaris adalah jaringan ikat

longgar. (9) Palatum mole pada sisi yang terkena menjadi oedem dan mendorong

uvula ke arah kontralateral. Peradangan meluas ke jaringan lunak sekitarnya dan

menyebabkan rasa nyeri menelan dan trismus. Trismus disebabkan oleh iritasi pada

m. pterigoid interna.

III.4.1.4 Manifestasi Klinis

Terdapat gejala odinofagia (nyeri menelan) yang hebat, nyeri alih ke telinga

pada sisi yang terkena, hipersalivasi, dan trismus. Pembengkakan menyebabkan

gangguan pada artikulasi suara sehingga bicara menjadi seperti bergumam (hot potato

voice). Mungkin terdapat muntah, demam dan mulut berbau serta pembengkakan 14

Page 15: BAB I Pendahuluan

kelenjar submandibula disertai nyeri tekan. Palatum mole tampak membengkak dan

menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Uvula terdorong ke sisi kontralateral.

Tonsil bengkak, hiperemis, dan terdorong ke medial.

Gambar 7. Abses peritonsil

III.4.1.5. Terapi

Antibiotika golongan penisilin atau klindamisin, dan obat simtomatik

diberikan pada stadium infiltrasi.

15

Page 16: BAB I Pendahuluan

Tabel 2 . Bakteri Patogen yang Mungkin Dengan Pilihan Antimikroba Pada

Pasien dengan Abses Peritonsil (13)

ETIOLOGI ANTIBIOTIK

Streptokokus Penisilin

Bakteriodes Sefalosporin

Hemofilus Klindamisin

Fusobakterium

Staphylococcus aureus

Peptokokus

Jika sudah terbentuk abses maka dilakukan pungsi pada daerah abses,

kemudian diinsisi untuk mengeluarkan abses.(9) Tempat insisi ialah di daerah yang

paling menonjol atau lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar

uvula dengan geraham atas terakhir pada sisi yang sakit.

Setelah proses drenase abses, pasien dianjurkan untuk operasi tonsilektomi.

Bila dilakukan bersama-sama dengan tindakan drenase abses, disebut tonsilektomi

a’chaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3 – 4 hari sesudah drenase abses, disebut

tonsilektomi a’ tiede, dan bila tonsilektomi 4 -6 minggu sesudah drenase abses,

disebut tonsilektomi a’froid.

Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2 – 3 minggu

sesudah drenase abses. (9)

16

Page 17: BAB I Pendahuluan

Apabila terdapat kesulitan untuk memastikan apakah selulitis akut atau abses yang

terbentuk, maka dapat dimasukkan jarum ukuran 17 ke dalam tiga lokasi yang

tampaknya paling mungkin untuk menghasilkan aspirasi pus. Jika tidak ditemukan

pus maka tampaknya masih berhubungan dengan selulitis dibandingkan abses. (13)

Tabel 3. Indikasi-Indikasi untuk Tonsilektomi Segera pada Abses Peritonsil

Obstruksi jalan napas atas

Sepsis dengan adenitis servikalis atau abses

leher dalam

Riwayat abses peritonsil sebelumnya

Riwayat faringitis eksudatif yang berulang

III.4.1.6. Komplikasi

Abses dapat pecah spontan dan menyebabkan perdarahan, aspirasi paru, atau

piemia. Infeksi dan abses dapat menjalar ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses

parafaring. Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum, sehingga terjadi

mediastinitis. Penjalaran infeksi ke daerah intracranial dapat mengakibatkan

thrombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak.

III.4.2 Abses Retrofaring

III.4.2.1. Definisi

Abses retrofaring adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus

pada daerah retrofaring. Pada umumnya sumber infeksi pada ruang retrofaring berasal

dari proses infeksi di hidung, adenoid, nasofaring dan sinus paranasal, yang menyebar

ke kelenjar limfe retrofaring. Oleh karena kelenjar ini biasanya atrofi pada umur 4 – 5

17

Page 18: BAB I Pendahuluan

tahun, maka sebagian besar abses retrofaring terjadi pada anak-anak dan relatif jarang

pada orang dewasa .(14)

III.4.2.2 Epidemiologi

Penelitian selama 35 tahun terhadap anak-anak yang diterapi di Children’s

Hospital, Los Angeles dijumpai sebanyak 50% kasus berusia kurang dari 3 tahun dan

71% kasus berusia kurang dari 6 tahun. Sedangkan di Sydney, Australia didapati

sebanyak 55% kasus berusia kurang dari 1 tahun dimana 10% diantaranya dijumpai

pada periode neonatus.

Kusuma H ( 1995 ) dalam suatu penelitiannya selama 3 tahun ( Januari 1992 –

Desember 1994 ) di RSUD Dr. Soetomo Surabaya didapati sebanyak 57 kasus infeksi

leher bagian dalam dimana sebanyak 3 orang ( 5,26 % ) menderita abses retrofaring.(15)

III.4.2.3 Etiologi

Penyebab abses retrofating dapat berupa kuman aerob yaitu, Streptococcus

beta –hemolyticus group A ( paling sering ), Streptococcus pneumoniae,

Streptococcus non – hemolyticus, Staphylococcus aureus , Haemophilus sp dan

kuman anaerob yaitu, Bacteroides sp, Veillonella, Peptostreptococcus, dan

Fusobacteria

Ada beberapa keadaan yang dapat menyebabkan terbentuknya abses

retrofaring, antara lain infeksi saluran napas atas yang menyebabkan limfadenitis

retrofaring, trauma dinding belakang faring oleh benda asing, seperti tulang ikan atau

tindakan medis, intubasi, dan endoskopi. Selain itu dapat juga disebabkan oleh

Tuberkulosis vertebra servikalis bagian atas (abses dingin) dimana pus secara

langsung menyebar melalui ligamentum longitudinal anterior. Selain itu abses dapat

terjadi akibat infeksi TBC pada kelenjar limfe retrofaring yang menyebar dari

18

Page 19: BAB I Pendahuluan

kelenjar limfe servikal. Dengan perbedaan penyebab ini maka abses retrofaring dapat

dibagi menjadi dua, yaitu abses retrofaring akut dan kronis. (15)

III.4.2.4. Manifestasi Klinis

Gejala utama abses retrofaring adalah rasa nyeri dan sukar menelan. Pada

anak kecil, rasa nyeri akan menyebabkan anak menangis terus dan tidak mau makan

atau minum. Dapat juga terdapat demam, suara sengau, dan sesak napas. Suara

sengau terjadi karena sumbatan oleh abses dapat menganggu resonansi suara. Sesak

napas terjadi karena sumbatan jalan napas. Bila proses peradangan berlanjut meluas

ke laring maka dapat terjadi stridor . Selain itu dapat terjadi kekakuan otot leher

( neck stiffness ) disertai nyeri pada pergerakan , air liur menetes

( drooling). Pada dinding belakang faring tampak benjolan, biasanya unilateral.

Mukosa terlihat bengkak dan hiperemis. Pada bentuk kronis, perjalanan penyakit

lambat dan tidak begitu khas sampai terjadi pembengkakan yang besar dan

menyumbat hidung serta saluran nafas.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, berupa riwayat infeksi saluran

napas bagian atas atau trauma, gejala dan tanda klinik, serta pemeriksaan penunjang

foto Rontgen jaringan lunak leher lateral.

Pada foto Rontgen akan tampak pelebaran ruang retrofaring lebih dari 7 mm

pada anak dan dewasa serta pelebaran retrotrakeal lebih dari 14 mm pada anak dan

lebih dari 22 mm pada orang dewasa. Selain itu juga dapat terlihat berkurangnya

lordosis vertebra servikal. (9) Diagnosis banding dari abses retrofaring dapat berupa

adenoiditis, tumor, dan aneurisma aorta.

III.4.2.5. Terapi

Terapi abses retrofaring ialah medikamentosa dan bedah. Sebagai

medikamentosa dapat diberikan antibiotik. Pemberian antibiotik secara parenteral

sebaiknya diberikan secepatnya tanpa menunggu hasil kultur pus. Antibiotik yang 19

Page 20: BAB I Pendahuluan

diberikan harus mencakup terhadap kuman aerob dan anaerob, Gram positif dan

Gram negatif. Dahulu diberikan kombinasi Penisilin G dan Metronidazole sebagai

terapi utama, tetapi sejak dijumpainya peningkatan kuman yang menghasilkan B –

laktamase kombinasi obat ini sudah banyak ditinggalkan. Pilihan utama adalah

Clindamycin yang dapat diberikan tersendiri atau dikombinasikan dengan

sefalosporin generasi kedua ( seperti Cefuroxime ).Pemberian antibiotik biasanya

dilakukan selama lebih kurang 10 hari.Selain antibiotik, juga diberikan obat

simptomatik, suportif dan pengobatan TBC jika ada indikasi.

Sebagai terapi bedah dapat dilakukan pungsi dan insisi abses melalui

laringoskopi langsung dalam posisi pasien baring Trendelnburg, yaitu dimana leher

dalam keadaan hiperekstensi dan kepala lebih rendah dari bahu. Hal ini dimaksudkan

agar tidak terjadi aspirasi. Tindakan dapat dilakukan dalam analgesia local dan

anestesia umum. Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda.

III.4.2.6. Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi dari abses retrofaring adalah didasari dari

arah penjalarannya. Penjalaran dapat terjadi ke ruang parafaring, ruang vaskuler

visera, mediastinum dimana menyebabkan mediastinitis. Selain itu dapat

menyebabkan komplikasi berupa sumbatan jalan napas sampai asfiksia dan bila pecah

spontan dapat menyebabkan pneumonia aspirasi dan abses paru.

III.4.3. Abses Parafaring

III.4.3.1 DEFINISI

Abses parafaring adalah peradangan yang disertai pembentukan pus pada

ruang parafaring.

III.4.3.2. Epidemiologi

20

Page 21: BAB I Pendahuluan

Di Bagian THT-KL Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang selama 1 tahun

terakhir (Oktober 2009 sampai September 2010) didapatkan abses parafaring

menduduki peringkat ketiga setelah abses peritonsil dan abses submandibula. (4)

III.4.3.3. Etiologi

Berdasarkan bakteri penyebab sebagian besar abses leher dalam disebabkan

oleh campuran berbagai jenis kuman baik aerob maupun anaerob. Golongan

aerob penyebabterbanyak adalah kuman Streptokokus, Staphycoccus.

Golongan anaerob penyebab tersering adalah

Bakteroides, Peptostreptokokus Eubakterium, Fusobakterium dan Pseudomonas.

Ruang parafaring dapat mengalami infeksi secara  langsung akibat

tusukan saat tonsilektomi, limfogen dan hematogen. Pada tonsilektomi tanpa

analgesia, ujung jarum suntik yang telah terkontaminasi kuman dapat menembus

lapisan otot tipis (m. konstriktor faring superior) yang memisahkan ruang parafaring

dari fosa tonsilaris sehingga peradangan terjadi.

Pada penyebaran secara limfogen, supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam,

gigi, tonsil, faring, hidung, sinus paranasal, mastoid, dan vertebra servikal dapat

merupakan sumber infeksi untuk terjadinya abses parafaring. (9)

Penjalaran infeksi juga dapat menyebar secara langsung dari ruang peritonsil,

retrofaring, atau submandibula.

III.4.3.4 Manifestasi Klinis

Gejala dan tanda yang utama adalah trismus, indurasi, atau pembengkakan di

sekitar angulus mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring,

sehingga menonjol ke arah medial. (9)

III.4.3.5. Diagnosis

21

Page 22: BAB I Pendahuluan

Diagnosis abses parafaring ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

fisik dan pemeriksaan penunjang. Gejala klinis berupa demam, nyeri pembengkakan

di sekitar angu lus mand ibu l a ,pembengkakan  d ind ing   l a t e r a l f a r i ng

h ingga  menon jo l   ke   a r ah medial.

Pemeriksaan penunjang berupa foto polos jaringan lunak leher dan

Foto jaringan lunak leher antero-posterior

dan lateral merupakan prosedur diagnostik yang penting. Pada

pemeriksaan foto jaringan lunak leher pada kedua posisi tersebut dapat

diperoleh gambaran deviasi trakea, udara di daerah subkutis, cairandi dalam jaringan

lunak dan pembengkakan daerah jaringan lunak leher.

Ke t e rba t a san  pemer ika saan   fo to  po lo s   l ehe r   ada l ah   t i dak

dapa t membedakan antara selulitis dan pembentukan abses.

III.4.3.6. Terapi

Secara umum terapi abses leher dalam terdiri dari medikamentosa dan

drainase. Untuk terapi antibiotic diberi antibiotika dosis tinggi secara parenteral

terhadap kuman aerob dan anaerob. Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak

ada perbaikan dengan antibiotik dalam 24-48 jam dengan cara eksplorasi dan

narkosis.(9) Caranya melalui insisi dari luar dan intra oral.

Insisi dari luar dilakukan 2 ½ jari di bawah dan sejajar mandibula. Secara tumpul

eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior m. sternokleidomastoideus kea rah atas

belakang menyusuri bagian medial mandibula dan m. pterigoid interna, mencapai

ruang parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat di dalam

selubung karotis, insisi dilanjutkan vertical dari pertengahan insisi horizontal ke

bawah di depan m. sternokleidomastoideus.

22

Page 23: BAB I Pendahuluan

Insisi intraoral dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan memakai klem arteri

eksplorasi dilakukan dengan menembus m. konstriktor faring superior ke dalam ruang

parafaring anterior.

Insisi intraoral dilakukan bila perlu dan sebagai terapi tambahan terhadap insisi

eksternal. (9) Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda.

III.4.3.7. Komplikasi

Komplikasi yang paling berbahaya dari abses parafaring adalah terkenanya

pembuluh darah di sekitarnya. Dapat terjadi tromboflebitis septic vena jugularis. Juga

dapat terjadi perdarahan masif yang tiba-tiba akibat dari erosi arteri karotis interna. (13)

Komplikasi lainnya adalah penjalaran proses peradangan baik secara

hematogen, limfogen, atau perkontinuitatum, ke daerah sekitarnya sehingga dapat

menyebabkan infeksi intrakranial dan mesdiatinum.

III.4.4. Abses Submandibula

III.4.4.1. Definisi

Abses submandibula adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus

pada daerah submandibula (16) Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada leher

bagian dalam (deep neck infection). Pada umumnya sumber infeksi pada ruang

submandibula berasal dari proses infeksi dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe

submandibula. Mungkin juga kelanjutan infeksi dari ruang leher dalam lain.(9)

III.4.4.2 Epidemiologi

Di Bagian THT-KL Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang selama periode

Oktober 2009 sampai September 2010 didapatkan abses leher dalam sebanyak 33

orang. Abses submandibula (26%) merupakan kasus kedua terbanyak setelah abses

23

Page 24: BAB I Pendahuluan

peritonsil (32%), diikuti abses parafaring (18%), abses retrofaring (12%), abses

mastikator (9%), dan abses pretrakeal (3%). (4)

III.4.4.3. Etiologi

Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe

submandibula. Mungkin juga kelanjutan infeksi dari ruang leher dalam lain. Sebanyak

61% kasus abses submandibula disebabkan oleh infeksi gigi. (7)

Infeksi pada ruang ini berasal dari gigi molar kedua dan ketiga dari

mandibula, jika apeksnya ditemukan di bawah perlekatan dari musculus mylohyoid.

infeksi dari gigi dapat menyebar ke ruang submandibula melalui beberapa jalan yaitu

secara langsung melalui pinggir myolohioid, posterior dari ruang sublingual,

periostitis dan melalui ruang mastikor.

Sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh campuran berbagai kuman,

baik kuman aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob. Kuman aerob yang sering

ditemukan adalah Stafilokokus, Streptococcus sp, Haemofilus influenza,

Streptococcus Pneumonia, Moraxtella catarrhalis, Klebsiell sp, Neisseria sp. Kuman

anaerob yang sering ditemukan pada abses leher dalam adalah kelompok batang gram

negatif, seperti Bacteroides, Prevotella, maupun Fusobacterium.Tabel 4. Hasil kultur abses leher dalam Bagian THT-KL dr. M.Djamil Padang periode April 2010-Oktober 2010 (6)

Jenis Kuman Jumlah %

Streptocccus α haemoliticus

Klepsiella sp

Enterobacter sp

Staphylococcus aureus

Staphilococcus epidermidis

E. Coli

Proteus vulgaris

6

4

3

2

1

1

1

37

25

19

12,5

6

6

6

24

Page 25: BAB I Pendahuluan

III.4.4.4. Manifestasi Klinis

Pasien biasanya akan mengeluhkan demam, air liur yang banyak, trismus

akibat keterlibatan musculus pterygoid, disfagia dan sesak nafas akibat sumbatan

jalan nafas oleh lidah yang terangkat ke atas dan terdorong ke belakang. Pada

pemeriksaan fisik didapatkan adanya pembengkakan di daerah submandibula

(gambar 8), fluktuatif, dan nyeri tekan. Pada insisi didapatkan material yang bernanah

atau purulent. Angulus mandibula dapat diraba. Lidah terangkat ke atas dan terdorong

ke belakang. (18)

25

Page 26: BAB I Pendahuluan

Gambar 8. Abses submandibula(19)

III.4.4.5 Terapi

Terapi yang diberikan pada abses submandibula adalah :

1. Antibiotik (parenteral)

Untuk mendapatkan jenis antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebab, uji

kepekaan perlu dilakukan. Namun, pemberian antibiotik secara parenteral

sebaiknya diberikan secepatnya tanpa menunggu hasil kultur pus. Antibiotik

kombinasi (mencakup terhadap kuman aerob dan anaerob, gram positip dan

gram negatif) adalah pilihan terbaik mengingat kuman penyebabnya adalah

campuran dari berbagai kuman. Secara empiris kombinasi ceftriaxone dengan

metronidazole masih cukup baik. Setelah hasil uji sensistivitas kultur pus telah

didapat pemberian antibiotik dapat disesuaikan.

Berdasarkan uji kepekaaan, kuman aerob memiliki angka sensitifitas tinggi

terhadap terhadap ceforazone sulbactam, moxyfloxacine, ceforazone,

ceftriaxone, yaitu lebih dari 70%. Metronidazole dan klindamisin angka

sensitifitasnya masih tinggi terutama untuk kuman anaerob gram negatif.

Antibiotik biasanya dilakukan selama lebih kurang 10 hari.

2. Bila abses telah terbentuk, maka evakuasi abses dapat dilakukan. Evakuasi

abses dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang dangkal dan 26

Page 27: BAB I Pendahuluan

terlokalisasi atau eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan luas.

Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hioid,

tergantung letak dan luas abses.2 Bila abses belum terbentuk, dilakukan

panatalaksaan secara konservatif dengan antibiotik IV, setelah abses terbentuk

(biasanya dalam 48-72 jam) maka evakuasi abses dapat dilakukan.(18)

3. Mengingat adanya kemungkinan sumbatan jalan nafas, maka tindakan

trakeostomi perlu dipertimbangkan.

Gambar 9. Insisi abses submandibula (19)

4. Pasien dirawat inap 1-2 hari hingga gejala dan tanda infeksi reda.

III.4.4.6. Komplikasi

Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung

(perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Infeksi dari submandibula paling sering

meluas ke ruang parafaring karena pembatas antara ruangan ini cukup tipis. (18)

Perluasan ini dapat secara langsung atau melalui ruang mastikor melewati musculus

pterygoid medial kemudian ke parafaring. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke

daerah potensial lainnya.

27

Page 28: BAB I Pendahuluan

Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah

menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum menyebabkan medistinitis. Abses

juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila pembuluh karotis

mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur, sehimgga terjadi perdarahan hebat, bila

terjadi periflebitis atau endoflebitis, dapat timbul tromboflebitis dan septikemia.

III.4.5 ANGINA LUDOVICI

III.4.5.1. Definisi

Angina Ludovici ialah infeksi ruang submandibula berupa selulitis dengan

tanda khas berupa pembengkakan seluruh ruang submandibula, tidak membentuk

abses, sehingga keras pada perabaan submandibula. (9)

Penyakit ini termasuk dalam grup penyakit infeksi odontogen, di mana infeksi

bakteri berasal dari rongga mulut seperti gigi, lidah, gusi, tenggorokan, dan leher.

Karakter spesifik yang membedakan angina Ludwig dari infeksi oral lainnya ialah

infeksi ini harus melibatkan dasar mulut serta kedua ruang submandibularis

(sublingualis dan submaksilaris) pada kedua sisi (bilateral).

III.4.5.2. Etiologi

Dilaporkan sekitar 90% kasus angina Ludwig disebabkan oleh odontogen baik

melalui infeksi dental primer, postekstraksi gigi maupun oral hygiene yang kurang.

Selain itu, 95% kasus angina Ludwig melibatkan ruang submandibular bilateral dan

gangguan jalan nafas merupakan komplikasi paling berbahaya yang seringkali

merenggut nyawa. Rute infeksi pada kebanyakan kasus ialah dari terinfeksinya molar

ketiga rahang bawah atau dari perikoronitis, yang merupakan infeksi dari gusi sekitar

gigi molar ketiga yang erupsi sebagian. Hal ini mengakibatkan pentingnya

mendapatkan konsultasi gigi untuk molar bawah ketiga pada tanda pertama sakit,

28

Page 29: BAB I Pendahuluan

perdarahan dari gusi, kepekaan terhadap panas/dingin atau adanya bengkak di sudut

rahang.

Selain gigi molar ketiga, gigi molar kedua bawah juga menjadi penyebab

odontogenik dari angina Ludwig. Gigi-gigi ini mempunyai akar yang terletak pada

tingkat m. myohyloid, dan abses seperti perimandibular abses akan menyebar ke

ruang submandibular. Di samping itu, perawatan gigi terakhir juga dapat

menyebabkan angina Ludwig, antara lain: penyebaran organisme dari gangren pulpa

ke jaringan periapikal saat dilakukan terapi endodontik, serta inokulasi Streptococcus

yang berasal dari mulut dan tenggorokan ke lidah dan jaringan submandibular oleh

manipulasi instrumen saat perawatan gigi.

Ada juga penyebab lain yang sedikit dilaporkan antara lain adenitis kelenjar

submandibula, fraktur mandibula terbuka, infeksi sekunder akibat keganasan mulut,

abses peritonsilar, infeksi kista ductus thyroglossus, epiglotitis, injeksi obat intravena

melalui leher, trauma oleh karena bronkoskopi, intubasi endotrakeal, laserasi oral,

luka tembus di lidah, infeksi saluran pernafasan atas, dan trauma pada dasar mulut.

Organisme yang paling banyak ditemukan pada penderita angina Ludwig

melalui isolasi adalah Streptococcus viridians dan Staphylococcus aureus. Bakteri

anaerob yang diisolasi seringkali berupa bacteroides, peptostreptococci, dan

peptococci.

Bakteri gram positif yang telah diisolasi adalah Fusobacterium nucleatum,

Aerobacter aeruginosa, spirochetes, Veillonella, Candida, Eubacteria, dan spesies

Clostridium. Bakteri Gram negatif yang diisolasi antara lain spesies Neisseria,

Escherichia coli, spesies Pseudomonas, Haemophillus influenza dan spesies

Klebsiella.

III.4.5.3 Manifestasi Klinis

Gejala klinis umum angina Ludwig meliputi malaise, lemah, lesu, malnutrisi,

dan dalam kasus yang parah dapat menyebabkan stridor atau kesulitan bernapas.

29

Page 30: BAB I Pendahuluan

Gejala klinis ekstra oral meliputi eritema, pembengkakan, perabaan yang keras

seperti papan (board-like) serta peninggian suhu pada leher dan jaringan ruang

submandibula-sublingual yang terinfeksi, disfonia (hot potato voice) akibat edema

pada organ vokal. Gejala klinis intra oral meliputi pembengkakkan, nyeri dan

peninggian lidah, nyeri menelan (disfagia), hipersalivasi (drooling), kesulitan dalam

artikulasi bicara (disarthria).

Pemeriksaan fisik dapat memperlihatkan adanya demam dan takikardi dengan

karakteristik dasar mulut yang tegang dan keras. Karies pada gigi molar bawah dapat

dijumpai. Biasanya ditemui pula indurasi dan pembengkakkan ruang submandibular

yang dapat disertai dengan lidah yang terdorong ke atas. Trismus dapat terjadi dan

menunjukkan adanya iritasi pada m. masticator. Tanda-tanda penting seperti pasien

tidak mampu menelan air liurnya sendiri, dispneu, takipneu, stridor inspirasi dan

sianosis menunjukkan adanya hambatan pada jalan napas yang perlu mendapat

penanganan segera.

Gambar 10. Pembengkakkan berat dari submandibula bilateral dan regio

cervikal anterior pada anak usia 4 bulan dengan angina Ludwig

30

Page 31: BAB I Pendahuluan

Gambar 11. Edema dan indurasi dari dasar mulut mengakibatkan peninggian

lidah pada anak usia 5 tahun dengan angina Ludwig

III.4.5.4 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. Gejala awal biasanya berupa nyeri pada area gigi

yang terinfeksi. Dagu terasa tegang dan nyeri saat menggerakkan lidah.

Penderita mungkin akan mengalami kesulitan membuka mulut, berbicara, dan

menelan, yang mengakibatkan keluarnya air liur terus-menerus serta kesulitan

bernapas. Penderita juga dilaporkan mengalami kesulitan makan dan minum.

Dapat dijumpai demam dan rasa menggigil.

Dasar mulut akan terlihat merah dan membengkak. Saat infeksi

menyebar ke belakang mulut, peradangan pada dasar mulut akan

menyebabkan lidah terdorong ke atas-belakang sehingga menyumbat jalan

napas. Jika laring ikut membengkak, saat bernapas akan terdengar suara tinggi

(stridor). Biasanya penderita akan mengalami dehidrasi akibat kurangnya

cairan yang diminum maupun makanan yang dimakan. Demam tinggi

mungkin ditemui, yang mengindikasikan adanya infeksi sistemik.

Radiografi foto polos dari leher kurang berperan dalam mendiagnosis

atau menilai dalamnya abses leher, foto polos ini dapat menunjukkan luasnya

pembengkakkan jaringan lunak. Radiografi dada dapat menunjukkan

perluasan proses infeksi ke mediastinum dan paru-paru. Foto panoramik

rahang dapat membantu menentukan letak fokal infeksi atau abses, serta

31

Page 32: BAB I Pendahuluan

struktur tulang rahang yang terinfeksi. CT-scan merupakan metode pencitraan

terpilih karena dapat memberikan evaluasi radiologik terbaik pada abses leher

dalam. CT-scan dapat mendeteksi akumulasi cairan, penyebaran infeksi serta

derajat obstruksi jalan napas sehingga dapat sangat membantu dalam

memutuskan kapan dibutuhkannya pernapasan buatan.

III.4.5.5 Terapi

Penatalaksaan angina Ludwig memerlukan tiga fokus utama, yaitu paling

utama, menjaga patensi jalan napas. Terapi antibiotik secara progesif, dibutuhkan

untuk mengobati dan membatasi penyebaran infeksi. Terakhir juga mugnkin

dibutuhkan dekompresi ruang submandibular, sublingual, dan submental.

Trakeostomi awalnya dilakukan pada kebanyakan pasien, namun dengan

adanya teknik intubasi serta penempatan fiber-optic Endotracheal Tube yang lebih

baik, maka kebutuhan akan trakeostomi berkurang. Intubasi dilakukan melalui hidung

dengan menggunakan teleskop yang fleksibel saat pasien masih sadar dan dalam

posisi tegak. Jika tidak memungkinkan, dapat dilakukan krikotiroidotomi atau

trakheotomi dengan anestesi lokal.(20)

Pemberian dexamethasone IV selama 48 jam, di samping terapi antibiotik dan

operasi dekompresi, dilaporkan dapat membantu proses intubasi dalam kondisi yang

lebih terkontrol, menghindari kebutuhan akan trakheotomi/krikotiroidotomi, serta

mengurangi waktu pemulihan di rumah sakit. Diawali dengan dosis 10mg, lalu diikuti

dengan pemberian dosis 4 mg tiap 6 jam selama 48 jam. (20)

Setelah patensi jalan napas telah teratasi maka antibiotik IV segera diberikan.

Awalnya pemberian Penicillin G dosis tinggi (2-4 juta unit IV terbagi setiap 4 jam)

merupakan lini pertama pengobatan angina Ludwig. Namun, dengan meningkatnya

prevalensi produksi beta-laktamase terutama pada Bacteroides sp, penambahan

32

Page 33: BAB I Pendahuluan

metronidazole, clindamycin, cefoxitin, piperacilin-tazobactam, amoxicillin-

clavulanate harus dipertimbangkan. Kultur darah dapat membantu mengoptimalkan

regimen terapi. (20)

Selain itu, dilakukan pula eksplorasi dengan tujuan dekompresi (mengurangi

ketegangan) dan evaluasi pus, di mana pada umumnya angina Ludwig jarang terdapat

pus atau jaringan nekrosis. Eksplorasi lebih dalam dapat dilakukan memakai cunam

tumpul. Jika terbentuk nanah, dilakukan insisi dan drainase. Insisi dilakukan di garis

tengah secara horisontal setinggi os hyoid (3-4 jari di bawah mandibula). Insisi

dilakukan di bawah dan paralel dengan corpus mandibula melalui fascia dalam

sampai kedalaman kelenjar submaksila. Insisi vertikal tambahan dapat dibuat di atas

os hyoid sampai batas bawah dagu. Jika gigi yang terinfeksi merupakan fokal infeksi

dari penyakit ini, maka gigi tersebut harus diekstraksi untuk mencegah kekambuhan.

Pasien di rawat inap sampai infeksi reda.

33

Page 34: BAB I Pendahuluan

Gambar 12. Kondisi pasien post-trakeostomi namun masih

membutuhkan drainase abses. Tampak depan dan samping

menunjukkan pembengkakkan submandibular dan sublingual.

Gambar 13. Kondisi pasien 3 hari post-operasi, memperlihatkan

drainase submandibula bilateral dan occluded tracheostomy tube.

III.4.5.6. Komplikasi

Angina Ludwig merupakan selulitis bilateral dari ruang submandibular yang

terdiri dari dua ruang yaitu ruang sublingual dan ruang submaksilar. Secara klinis,

kedua ruang ini berfungsi sebagai satu kesatuan karena adanya hubungan bebas serta

kesamaan dalam tanda dan gejala klinis. Celah buccopharingeal, yang dibentuk oleh

34

Page 35: BAB I Pendahuluan

m. styloglossus melalui m. constrictor media dan superior, merupakan penghubung

antara ruang submandibular dengan ruang pharingeal lateral. Infeksi angina Ludwig

dapat menyebar secara langsung melalui celah buccopharingeal ini ke ruang

pharingeal lateral, di mana selulitis akan dengan cepat menjadi berbahaya serta

menimbulkan obstruksi jalan napas yang berat. (20) Akibat barrier anatomik yang

tidak dibatasi, infeksi dapat menyebar secara mudah ke jaringan leher, ruang fascia

retropharingeal, bahkan hingga mediastinum dan ruang subphrenik. Selain gejala

obstruksi jalan napas yang dapat terjadi tiba-tiba, komplikasi dari angina Ludwig

dapat berupa trombosis sinus kavernosus, aspirasi dari sekret yang terinfeksi, dan

pembentukan abses subphrenik. Komplikasi lebih lanjut yang telah dilaporkan

meliputi sepsis, mediastinitis, efusi perikardial/pleura, empiema, infeksi dari carotid

sheath yang mengakibatkan ruptur a. carotis, dan thrombophlebitis supuratif dari v.

jugularis interna. (20)

35

Page 36: BAB I Pendahuluan

BAB IV

KESIMPULAN

Abses leher dalam adalah abses yang terbentuk dalam ruang potensial diantara

fasia leher dalam sebagai akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti

gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang

mana yang terlibat

Abses Leher dalam dapat dibagi menjadi abses peritonsil, abses retrofaring,

abses parafaring, abses submandibula, dan angina ludovici.

Abses leher dalam merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa akibat

komplikasi-komplikasinya yang serius seperti obstruksi jalan napas, kelumpuhan

saraf kranial, mediastinitis, dan kompresi hingga ruptur arteri karotis interna.

Lokasinya terletak di dasar mulut dan dapat menjadi ancaman yang sangat serius.

Oleh karena itu, penatalaksanaan abses leher dalam meliputi operasi untuk

evakuasi dan drainase abses, identifikasi kuman penyebab dan pemberian antibiotik.

Hal ini akan mengurangi komplikasi yang mengancam jiwa dan mempercepat

perbaikan.

36

Page 37: BAB I Pendahuluan

37