BAB I Pendahuluan

11
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bendungan besar menurut kriteria International Commission on Large Dams (ICOLD) adalah bendungan dengan tinggi tanggul 15 m dan tampungan minimal 500.000 m 3 , atau tinggi tanggul hanya <15 m tetapi mampu menampung >1 juta m³ air. Pada abad ke-20, tercatat ada 45.000 bendungan besar yang telah dibangun di seluruh dunia dengan total investasi sekitar US$ 2 triliun. Sampai saat ini di Indonesia tercatat sekitar 236 bendungan besar. Distribusi bendungan besar di beberapa negara disajikan pada Gambar 1. Berdasarkan data dari seluruh bendungan di dunia (dari catatan sekitar 36.700 bendungan), 19% bendungan berfungsi untuk pembangkit listrik dan pada 63 negara menjadi sumber energi 50% dari total kebutuhan listriknya, 30% - 40% bendungan berfungsi untuk irigasi dan sebanyak 12-16% dari produksi pangan dunia dihasilkan dari irigasi dengan bendungan, 12% bendungan untuk suplai air baku dan terdapat 75 negara yang mempunyai bendungan untuk pengendalian banjir. Gambar 1. Distribusi bendungan besar di dunia (Icold 2005). Kebutuhan pembangunan bendungan terus meningkat antara lain karena bendungan berperan besar dalam mengatasi masalah-masalah penyediaan air baku untuk berbagai kebutuhan yang meningkat terutama karena pertumbuhan penduduk, kekurangan air minum dan kekurangan sumber daya energi. Disamping itu terdapat kompetisi untuk mendapatkan air yang meningkat, ekosistem perairan yang menurun kualitasnya dan hilangnya tanah rawa yang mengakibatkan terjadinya banjir serta peningkatan kebutuhan pangan yang

description

as

Transcript of BAB I Pendahuluan

Page 1: BAB I Pendahuluan

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Bendungan besar menurut kriteria International Commission on Large

Dams (ICOLD) adalah bendungan dengan tinggi tanggul ≥15 m dan tampungan

minimal 500.000 m3, atau tinggi tanggul hanya <15 m tetapi mampu menampung

>1 juta m³ air. Pada abad ke-20, tercatat ada 45.000 bendungan besar yang

telah dibangun di seluruh dunia dengan total investasi sekitar US$ 2 triliun.

Sampai saat ini di Indonesia tercatat sekitar 236 bendungan besar. Distribusi

bendungan besar di beberapa negara disajikan pada Gambar 1. Berdasarkan

data dari seluruh bendungan di dunia (dari catatan sekitar 36.700 bendungan),

19% bendungan berfungsi untuk pembangkit listrik dan pada 63 negara menjadi

sumber energi 50% dari total kebutuhan listriknya, 30% - 40% bendungan

berfungsi untuk irigasi dan sebanyak 12-16% dari produksi pangan dunia

dihasilkan dari irigasi dengan bendungan, 12% bendungan untuk suplai air baku

dan terdapat 75 negara yang mempunyai bendungan untuk pengendalian banjir.

Gambar 1. Distribusi bendungan besar di dunia (Icold 2005).

Kebutuhan pembangunan bendungan terus meningkat antara lain karena

bendungan berperan besar dalam mengatasi masalah-masalah penyediaan air

baku untuk berbagai kebutuhan yang meningkat terutama karena pertumbuhan

penduduk, kekurangan air minum dan kekurangan sumber daya energi.

Disamping itu terdapat kompetisi untuk mendapatkan air yang meningkat,

ekosistem perairan yang menurun kualitasnya dan hilangnya tanah rawa yang

mengakibatkan terjadinya banjir serta peningkatan kebutuhan pangan yang

Page 2: BAB I Pendahuluan

2

menuntut peningkatan produksi pangan. Pembangunan bendungan di berbagai

kawasan di dunia selalu mengundang kontroversi mengingat banyaknya hal yang

harus dikorbankan. Pengorbanan mulai dari pembebasan tanah dan relokasi

penduduk, penebangan dan hilangnya kawasan hutan, terganggunya kawasan

budaya serta situs-situs purbakala, juga terganggunya habitat hewan-hewan di

kawasan genangan, bahkan mungkin terjadi longsoran atau gerakan tanah akibat

pembukaan/galian daerah konstruksi serta polusi udara selama pembangunan.

Manfaat bendungan tidak dapat dipungkiri dapat meningkatkan produksi

pangan dan ketahanan pangan yang merupakan unsur utama ketahanan

nasional, meningkatkan pendapatan masyarakat, mengatasi masalah krisis air

baku, mengendalikan terjadinya banjir, meningkatkan produksi listrik yang

dibangkitkan dari tenaga air yang sekaligus mengurangi konsumsi bahan bakar

karbon (minyak bumi). Waduk juga dapat dimanfaatkan sebagai kawasan

konservasi, antara lain melalui gerakan penghijauan di hulu bendungan yang

juga dapat berfungsi sebagai kawasan wisata alam baru yang menyenangkan.

Disamping manfaat positifnya, terdapat pula dampak pembangunan

bendungan yang berpotensi menimbulkan konflik, mulai dari tahapan sebelum

pembangunan, sampai bendungan selesai dan dimanfaatkan. Sketsa potensi

masalah dalam pembangunan bendungan disajikan pada Gambar 2.

Penelitian terhadap perencanaan pembangunan bendungan menjadi

penting karena adanya fakta-fakta berikut yang terjadi dalam perencanaan

pembangunan bendungan: (i) perencanaan yang dibuat belum komprehensif dan

aplikatif, sehingga timbul konflik dan masalah sosial yang dapat menghambat

pelaksanaan pembangunan, (ii) perencanaan yang disusun belum mewujudkan

fungsi bendungan yang optimal, dan (iii) pada saat ini dibutuhkan suatu model

perencanaan pembangunan bendungan untuk mencapai pelaksanaan

pembangunan yang minim konflik sosial dan mencapai fungsi bendungan yang

optimal. Penelitian terhadap ketiga hal terkait diharapkan dapat disusun dalam

model perencanaan pembangunan yang memenuhi aspek-aspek keberlanjutan.

Perencanaan pembangunan bendungan yang ada selama ini belum

sepenuhnya komprehensif dan aplikatif. Hal ini diindikasikan dengan berbagai

masalah yang muncul saat pembangunan bendungan dilaksanakan. Berbagai

kasus terjadi dalam pelaksanaan pembangunan beberapa bendungan di

Indonesia seperti Bendungan Kedung Ombo dan Bendungan Nipah.

Page 3: BAB I Pendahuluan

3

Gambar 2. Sketsa permasalahan pada bendungan besar (Icold 2005).

Makna perencanaan sangat tergantung pada paradigma yang dianut.

Menurut Davidoff (1965), perspektif paradigma rasional memberikan batasan

tentang perencanaan sebagai suatu proses untuk menentukan masa depan

melalui suatu urutan pilihan. Sementara itu menurut Dror (1964) perencanaan

merupakan suatu proses yang mempersiapkan seperangkat keputusan untuk

melakukan tindakan dimasa depan. Friedman (1986) menyimpulkan bahwa

perencanaan merupakan suatu strategi untuk pengambilan keputusan, atau

sebagai suatu aktivitas tentang keputusan dan implementasi. Berdasarkan

definisi tersebut nampak bahwa perencanaan dapat dilihat sebagai bentuk

strategi yang bisa diterapkan untuk organisasi publik maupun privat.

sedimentasi suplai air baku

emisi GRK (dari vegetasi yang

tergenang)

rekreasi

rumah dan situs yang tergenang

energi alternatif

Protes OTD PLTA

Operasi dan pemeliharaan

Kebutuhan debit lingkungan

Isu perijinan Salinitas dan

water logging

Pangan dari irigasi

Kehilangan aquifer

hilir

Erosi tebing hilir

Kehilangan nafkah dari perikanan

Kompetisi mendapatkan

air

Page 4: BAB I Pendahuluan

4

Teori-teori perencanaan yang dominan sekarang ini sedang mengalami

krisis. Menurut Friedman (1986) salah satu sebab dari kondisi ini adalah tidak

adanya keterkaitan antara pengetahuan (knowledge) dan penerapan atau

implementasi (action). Artinya, terdapat krisis pemahaman tentang masyarakat

dan kondisi sebenarnya. Ketidakberhasilan memahami kebutuhan masyarakat

merupakan pertanda krisisnya suatu teori perencanaan. Kondisi demikian lebih

nampak di negara-negara berkembang, dimana perencana mengambil begitu

saja teori-teori perencanaan dari negara maju. Banyak kebijakan, program dan

proyek telah diterapkan. Namun demikian kebutuhan yang esensial dari

masyarakat miskin masih belum tersentuh. Hal ini karena kebijakan, program dan

proyek tidak mampu menerjemahkan kepentingan, aspirasi dan kebutuhan

masyarakat. Teori perencanaan yang ideal adalah yang tidak hanya mampu

mengakomodasi kepentingan dan kebutuhan masyarakat tetapi juga yang

memadukan berbagai nilai dari berbagai kepentingan yang terlibat.

Perencanaan pembangunan bendungan membutuhkan kajian berbagai

sektor, baik teknis maupun non teknis. Secara umum perencanaan tersebut

mengejar sasaran agar pelaksanaan pembangunan dapat berjalan lancar

sehingga bendungan dapat diwujudkan, memenuhi aspek keamanan bendungan

dengan dampak pembangunan yang minimal. Implementasi kebijakan-kebijakan

serta kerjasama kelembagaan institusi yang terlibat dalam pembangunan

bendungan sangat menentukan dinamika pelaksanaan pembangunan.

Minimalisasi dampak dalam pelaksanaan pembangunan, pembebasan tanah,

penggantian tanah kehutanan, relokasi penduduk terkena dampak dan

pemindahan situs budaya menjadi faktor yang dominan dalam tahapan

perencanaan pelaksanaan pembangunan.

Bendungan Jatigede mulai dibangun sejak Tahun Anggaran 2008. Ide

pembangunan sudah ada sejak tahun 1963, tetapi baru ditindaklanjuti dengan

detail desain pada tahun 1986 dan di-review desain pada tahun 2004 hingga

2006. Pembebasan tanah sudah dimulai sejak awal tahun 1980-an. Kondisi

Daerah Aliran Sungai yang menjadi daerah tangkapan air Waduk Jatigede

termasuk kategori kritis karena perbandingan debit maksimum dan debit

minimum sebesar 251 dan laju sedimentasi lebih dari 5 mm/tahun.

Pembangunan Bendung Leuwigoong pada tahun 2010 mengakibatkan terjadinya

perubahan alokasi inflow ke Waduk Jatigede sehingga berpotensi mengganggu

keseimbangan air yang sudah direncanakan terdahulu. Masalah timbul dalam

Page 5: BAB I Pendahuluan

5

pengadaan tanah, kondisi DAS yang kritis serta potensi gangguan dalam

keseimbangan air, menjadi alasan untuk menjadikan Bendungan Jatigede

menjadi daerah penelitian.

Berbagai kejadian dalam pelaksanaan pembangunan bendungan yang

disebabkan oleh perencanaan pembangunan bendungan yang belum baik,

tergambarkan dari kasus-kasus bendungan/waduk yang pernah terjadi di

Indonesia. Dalam kasus yang terjadi pada saat Pra Konstruksi (kasus Waduk

Kedung Ombo), pemindahan penduduk dari daerah genangan waduk dan lokasi

Bendungan Kedungombo merupakan isu besar dalam pembangunan waduk ini.

Kasus berlarut-larutnya penyelesaian ganti rugi Waduk Kedungombo diliput

secara luas oleh media massa nasional dan internasional. Pelaksanaan ganti

rugi merupakan masalah paling rumit, karena waktu pelaksanaannya sangat

lama, sekitar 11 tahun (1981 – 1991), bahkan belum tuntas. Hal-hal yang

menyulitkan pemindahan adalah beberapa isu, antara lain adanya pemotongan

yang tidak resmi oleh oknum pamong desa, lamanya periode ganti rugi

mengakibatkan adanya perhitungan ulang yang menimbulkan perbedaan harga

penetapan ganti rugi dan adanya keterikatan terhadap tanah leluhur, mangan ora

mangan kumpul, sedumuk bathuk senyari bumi (makan atau tidak asal

kumpul/berdekatan, dan mereka pertahankan tanah leluhur sekuat mereka bisa).

Dalam kasus yang terjadi pada saat pembangunan (kasus Waduk Nipah), proses

pengisian Waduk Nipah terganjal adanya pemukiman penduduk yang masih

belum bersedia pindah dari daerah genangan.

Kegagalan dalam membuat perencanaan pembangunan yang

komprehensif dan aplikatif akan meningkatkan biaya pembangunan (cost)

sehingga menurunkan kelayakan ekonomi. Lebih lanjut juga dapat menurunkan

kelayakan sosial budaya dan kelayakan ekologi sehingga menyebabkan

kebijakan pembangunan menjadi tidak layak dilanjutkan. Hal ini harus dihindari

dalam perencanaan pembangunan bendungan.

Banyak perencanaan pembangunan bendungan selain belum

komprehensif dan aplikatif, juga belum mewujudkan fungsi bendungan yang

optimal. Pembangunan bendungan dilaksanakan untuk dapat melayani fungsi-

fungsi selama umur layanan bendungan yang sudah dicanangkan dalam tahap

perencanaan seperti untuk mengairi daerah irigasi, mengendalikan banjir,

mensuplai air baku, membangkitkan listrik tenaga air, perikanan, pariwisata dan

konservasi. Dalam kenyataannya fungsi-fungsi bendungan tersebut banyak yang

Page 6: BAB I Pendahuluan

6

mengalami permasalahan sehingga tidak tercapai secara optimal. Masalah

keberlanjutan dalam kuantitas sumber air dan pengendalian sedimentasi

merupakan faktor dominan yang menentukan tercapai tidaknya fungsi

bendungan secara optimal. Curah hujan, konservasi DAS hulu, sedimentasi dan

polusi air menjadi hal-hal yang perlu dikaji lebih dalam. Kasus-kasus yang terjadi

di bawah ini menggambarkan bagaimana fungsi bendungan tidak tercapai secara

optimal.

DAS Citarum yang merupakan DAS Waduk Jatiluhur mengalami kerusakan

akibat perubahan tata guna lahan di daerah hulu. Berdasarkan data antara tahun

1984 – 1996, luasan hutan berkurang 21%, lahan pertanian menurun 44%, lahan

pemukiman dan industri meningkat 149% dan beban air meningkat 995%.

Indikasi kerusakan DAS Citarum ditunjukkan oleh hasil pengamatan debit di

Ngajum (Wangsaatmaja 2007), yaitu penurunan debit ekstrem minimum dari 6,36

m³/det (tahun 1951) menjadi 5,7 m³/det (tahun1998), peningkatan debit ekstrem

maksimum dari 217 m³/det (tahun 1951) menjadi 265,8 m³/det (tahun1998).

Tahun 1997 terjadi kemarau panjang sehingga air yang masuk Waduk Jatiluhur

hanya 3,6 miliar m³ (aliran tahunan 5,5 miliar m³). Kendala tahun kering ini diatasi

dengan pembuatan hujan buatan (harga hujan buatan Rp.1/ m³ pada tahun

1982). Terkait dengan ketersediaan air, di Waduk Bening, Jawa Timur, karena

keterbatasan jumlah air yang masuk ke waduk Bening, maka pengoperasian

PLTM tidak dapat berjalan sesuai rencana.

Di waduk Saguling terjadi alih fungsi lahan dari hutan produksi menjadi

hutan industri, lalu berubah menjadi perkebunan, kemudian persawahan dan

perladangan yang mengakibatkan kelongsoran terutama di bagian yang

berlereng tajam. Terjadi sedimentasi 12 kali lebih besar (laju erosi 3,14 mm/th)

dari yang direncanakan dengan laju erosi 0,25 mm/th di Waduk Karang Kates.

Peningkatan laju erosi ini disebabkan oleh penggundulan hutan, perubahan pola

tanam yang kurang memperhatikan kaidah-kaidah konservasi serta

perkembangan pemukiman dan industri. Sedimentasi yang terjadi di Waduk

Selorejo mencapai 10 kali lipat dari yang direncanakan. Laju erosi direncanakan

0,33 mm/th, kenyataan yang terjadi 3,33 mm/th. Penanganan sedimen dilakukan

dengan pengerukan waduk secara periodik pada daerah hulu perairan waduk

atau muara sungai yang mengalami pendangkalan tinggi. Di Waduk Wonogiri,

masalah erosi dan sedimentasi tidak hanya diakibatkan oleh faktor fisik namun

juga faktor sosial masyarakat. Kesalahan cara bercocok tanam dan kepadatan

Page 7: BAB I Pendahuluan

7

penduduk yang memaksa perubahan fungsi lahan di DAS hulu Wonogiri

merupakan salah satu penyebab tingginya erosi sedimentasi. Semula petani

hanya sekedar menanam sayur, kemudian berubah menjadi pertanian yang

intensif. Semula orang hanya mencari kayu rencek, kemudian menjadi penebang

kayu sehingga terjadi penjarahan hutan. Sedangkan di Waduk Kedung Ombo,

hasil pengukuran sedimen pada akhir tahun 2000 di Waduk Kedungombo

mencapai 84.407 ton/ha/th, laju sedimentasi ini berarti dua kali lebih besar dari

yang direncanakan sebesar 40.000 ton/ha/th.

Sedimentasi dari gunung berapi terjadi di Waduk Wlingi, di mana

sedimentasi berasal dari pasir letusan Gunung Kelud dan ini dikeruk secara

rutin dari waduk Wlingi. Permasalahan yang timbul adalah kesulitan penyediaan

lahan spoil bank untuk menampung hasil pengerukan. Pernah diupayakan

pemanfaatan pasir untuk dijual sebagai bahan bangunan, dengan harapan lahan

spoil bank dapat digunakan berkali-kali, tetapi upaya ini kurang berhasil karena

kualitas pasir hasil kerukan kurang baik untuk bahan bangunan (banyak

campuran tanah). Di Waduk Sengguruh, terjadi sedimentasi yang tinggi berasal

dari erosi daerah hulu Kali Brantas dan pasir sisa letusan Gunung Semeru.

Penanganan sedimen dilakukan dengan tindakan pengerukan waduk secara

rutin setiap tahun, sehingga PLTA tetap beroperasi secara normal. Kendala yang

dihadapi dalam kegiatan pengerukan ini adalah terbatasnya lahan spoil bank

yang tersedia di sekitar waduk (sudah penuh). Sampah domestik dari kota Batu,

Malang, Kepanjen dan desa-desa sepanjang Kali Brantas dan anak-anak

sungainya mengumpul di waduk Sengguruh, terutama sampah plastik yang

sangat mengganggu operasional PLTA. 

Kegagalan dalam membuat perencanaan pencapaian fungsi optimal

pembangunan bendungan akan menurunkan tingkat keuntungan (benefit) seperti

berkurangnya umur bendungan karena sedimentasi atau menurunnya

ketersediaan air karena kerusakan Daerah Aliran Sungai, yang selanjutnya dapat

meningkatkan biaya operasi dan pemeliharaan bendungan. Hal-hal tersebut

menyebabkan penurunan keuntungan yang diperoleh dari pembangunan

bendungan. Jika pembangunan dengan investasi yang besar telah dilaksanakan

namun terjadi peningkatan biaya dan penurunan keuntungan maka kelayakan

ekonomi yang telah dinilai layak akan menurun.

Page 8: BAB I Pendahuluan

8

1.2. Kerangka Pemikiran Penelitian Paradigma perencanaan pembangunan bendungan yang berkelanjutan

terdiri dari: (i) perencanaan pengendalian masalah konflik secara berkelanjutan

dan (ii) perencanaan pencapaian fungsi optimal bendungan yang berkelanjutan.

Aspek teknis pembangunan bendungan yang terkait dengan ilmu teknik sipil dan

geologi tidak akan dikaji dalam penelitian ini. Demikian juga dengan masalah

kualitas air serta ekonomi-finansial tidak masuk kajian dalam penelitian ini (lihat

Gambar 3).

Gambar 3. Kerangka Pemikiran Penelitian

Perencanaan pengendalian konflik atau masalah sosial secara

berkelanjutan dipengaruhi oleh faktor-faktor proses penggunaan kawasan hutan,

pengadaan lahan pengganti /kompensasi kawasan hutan, pengadaan tanah milik

penduduk yang terpakai dalam pembangunan dan pemindahan orang terkena

dampak dari daerah genangan. Perencanaan pencapaian fungsi optimal

bendungan yang berkelanjutan dipengaruhi oleh faktor-faktor ketersediaan air,

  Proses Pengadaan Kawasan Hutan 

  Pengadaan lahan 

pengganti/ kompensasi  

  Pengadaan lahan milik penduduk   

 Relokasi Penduduk 

 Ketersediaan 

air 

 Kebutuhan air 

   Pengendalian 

laju sedimentasi 

    O p t im a l i s as i  P e n ga d a a n  

T a n a h   

 

O p t im a li s a s i  P e n ge l o l a a n  A ir  

Optim a lis a si  Pen ge lola a n  Daerah  A lira n  

Su ng a i 

  K e b ij a k a n  P e r en c a n a an  P e n g a d a an  T a n a h  

Kebijakan Perencanaan  Pengelolaan  

Keseimbangan AIr 

  Kebijakan Perencanaan Pengendalian Sedimentasi 

  D e s a i n  M o d e l   K e b i j a k a n  P e r e n c a n a a n    P e m b a n g u n a n   B e n d u n g a n   y a n g   B e r k e l a n j u t a n  

 

Paradigma Perencanaan Pembangunan Bendungan yang Berkelanjutan 

Perencanaan pengendalian konflik secara berkelanjutan (kegagalan meningkatkan biaya)

Perencanaan Pencapaian fungsi optimal bendungan secara berkelanjutan (kegagalan akan menurunkan manfaat)

Page 9: BAB I Pendahuluan

9

kebutuhan air, sedimentasi dan pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Berdasarkan

faktor-faktor yang mempengaruhinya disusun sub model sedimentasi, sub model

keseimbangan air (water balance) di DAS Jatigede serta kajian teknis pengadaan

tanah milik penduduk dan kawasan hutan. Selanjutnya pada tahap akhir

dilakukan penyusunan model perencanaan pembangunan bendungan yang

berkelanjutan yang bersifat lebih luas dengan mengintegrasikan hasil sub model

sedimentasi, sub model keseimbangan air dan kajian teknis pengadaan tanah.

1.3. Perumusan Masalah

Proses pembangunan bendungan sangat kompleks, mulai dari tahapan

studi kelayakan, amdal, investigasi, desain, pelaksanaan hingga operasi dan

pemeliharaan fungsi bendungan, karena melibatkan banyak pihak, multi disiplin

ilmu serta berbagai pemangku kepentingan. Masalah sosial, lingkungan dan

ekonomi merupakan pilar-pilar keberlanjutan pembangunan yang melekat erat

dalam proses pembangunan bendungan. Berdasarkan kompleksitas masalah,

maka dapat dirumuskan persoalan yang harus dicarikan jalan keluarnya, yaitu :

(i) proses pembebasan tanah serta peraturan pembebasan tanah kawasan hutan

dan tanah milik penduduk serta relokasi pemukiman yang menimbulkan konflik

dalam implementasinya, dan (ii) pencapaian fungsi optimal bendungan terancam

karena kondisi kritis DAS yang menjadi sumber air bendungan mengakibatkan

peningkatan sedimentasi dan gangguan keseimbangan air.

Lebih lanjut dapat disusun sejumlah pertanyaan penelitian yang dapat

dijadikan arahan pelaksanaan penelitian, yaitu :

1. Bagaimana model perencanaan yang harus ditempuh agar pembangunan

bendungan dapat berkelanjutan ?

2. Bagaimana cara mencapai daya dukung dan fungsi optimal bendungan

selama umur layanan ?

3. Bagaimana melaksanakan pengadaan tanah sehingga konflik dalam

pelaksanaan pembangunan bendungan dapat dikendalikan ?

4. Apa rekomendasi kebijakan yang dapat diberikan agar perencanaan

pembangunan bendungan dapat mencapai syarat berkelanjutan.

1.4. Tujuan Penelitian Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, perencanaan pembangunan

bendungan memainkan peran penting dalam memuluskan pelaksanaan

Page 10: BAB I Pendahuluan

10

pembangunan dan mencapai fungsi bendungan dalam umur layanannya.

Perencanaan pembangunan akan mempengaruhi pelaksanaan dan pemanfaatan

bendungan. Berkenaan dengan pentingnya perencanaan, maka dapat ditarik

beberapa hal yang menjadi tujuan dari penelitian. Tujuan utama penelitian ini adalah:

1. Menyusun model perencanaan pembangunan bendungan yang berkelanjutan.

Adapun tujuan khusus penelitian adalah sebagai berikut :

2. Mendesain sub model kajian umur layanan dan fungsi bendungan dengan

mempertimbangkan sedimentasi dan keseimbangan air DAS Waduk

Jatigede.

3. Melakukan kajian teknis pengadaan tanah dalam perencanaan

pembangunan bendungan.

4. Menyusun rekomendasi kebijakan perencanaan pembangunan bendungan

yang berkelanjutan.

1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai :

1. Dasar model perencanaan pembangunan bendungan yang berkelanjutan;

2. Landasan dalam pengambilan keputusan pembangunan bendungan yang

berkelanjutan di masa datang;

3. Dasar pengambilan kebijakan dalam memperbaiki kinerja pelaksanaan

pembangunan Jatigede di Sumedang, Jawa Barat.

1.6. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian dilakukan berdasarkan batasan ruang lingkup fisik lingkungan

Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk, khususnya yang menjadi daerah

tangkapan air untuk Waduk Jatigede. Daerah penelitian ini merupakan sumber

untuk mendapatkan data-data primer. Sedangkan data-data sekunder akan

dijaring dari sumber data pembangunan bendungan-bendungan besar lainnya,

baik di Indonesia maupun di negara lainnya. Oleh karena perencanaan

pembangunan bendungan mencakup bidang keilmuan yang beragam,

sedangkan tujuan utama penelitian ini adalah untuk menyusun model

perencanaan pembangunan bendungan yang berkelanjutan lebih menekankan

pada aspek-aspek yang terkait dengan pengendalian konflik selama pelaksanaan

konstruksi dan pencapaian fungsi optimal bendungan, maka aspek-aspek

Page 11: BAB I Pendahuluan

11

teknologi pembangunan bendungan tidak akan dikaji kecuali aspek-aspek

teknologi yang berkaitan dengan perencanaan pembangunan berkelanjutan.

Masalah kualitas air walaupun sangat terkait dengan perencanaan

pembangunan, namun dengan pertimbangan bahwa pada sebagian besar

pembangunan bendungan masalah kualitas air lebih banyak terkait dengan

peningkatan biaya operasional tetapi tidak menghilangkan potensi penyediaan air

baku, maka tidak akan dikaji dalam penelitian ini.

Kata ‘tanah’ dipakai dibanding ‘lahan’ dalam istilah pengadaan tanah

karena kebijakan atau peraturan-peraturan yang ada telah terbiasa

menggunakannya, walaupun kata ‘lahan’ sebenarnya lebih sesuai karena

mengandung pengertian ruang (spasial) sedangkan kata ‘tanah’ mengandung arti

fisik atau sifat-sifat tanah. Oleh karena itu dalam penelitian ini, kata ‘ tanah’ tetap

digunakan untuk istilah pengadaan tanah.

1.7. Kebaruan Penelitian (Novelty) Ada dua hal yang menjadi Novelty dari penelitian ini. Pertama, dari segi

metode, penelitian ini menggabungkan analisa yang bertumpu pada aspek teknis

lingkungan dalam rangka pencapaian fungsi bendungan optimal yang

berkelanjutan dengan analisa yang bertumpu pada aspek sosial dalam rangka

pengendalian masalah sosial yang berkelanjutan dalam pembangunan

bendungan. Kedua, kebaruan dicapai dari segi keluaran (output), yaitu

tersusunnya rekomendasi kebijakan yang dapat digunakan dalam perencanaan

pembangunan bendungan sehingga perencanaan pembangunan bendungan

tersebut memenuhi aspek-aspek keberlanjutan pembangunan dalam

pelaksanaan maupun dalam pemanfaatan bendungan.