Bab i Pendahuluan

17
1 Ver. 13 Mei 09 BAB I : PENDAHULUAN : 1. HUKUM LAUT, HUKUM MARITIM DAN HUKUM ANGKUTAN LAUT. Laut, yang lebih dari 60% dari permukaan bumi, sudah sejak lama menjadi ajang kiprah manusia ( yang secara alami adalah “makhluk “ darat ). Kiprah itu dimulai sejak abad pertengahan saat peradaban manusia menemukan alat untuk mengarungi laut luas yang namanya kapal laut. Saat kemudian ditemukan layar dan angin sebagai penggerak kapal, menggantikan dayung, maka teknologi perkapalan bergerak sangat pesat. Kapal layar itu pula membuka dunia baru bagi manusia yang semula hanya berkutat di daratan . Layar itu pula yang mendorong manusia Eropa, dengan peradaban yang “lebih maju”, mencari dan kemudian menemukan “dunia-dunia baru”. Sejak itu, peradaban melaju dengan kencang kearah modernisasi. Seiring dengan berkembangnya kemampuan manusia mengarungi laut luas, maka berkembang pula ambisi untuk menguasai wilayah laut sebagaimana manusia menguasai wilayah daratan. Itulah yang melahirkan doktrin-doktrin tentang kedaulatan atau penguasaan wilayah laut di abad pertengahan di Eropa, dimana peradaban paling maju saat itu. Ada Hugo Grotius dan lawannya yang mempertentangkan Mare Clausum dengan Mare Liberum. Ada Spanyol yang “seenaknya” menarik garis batas wilayah lautnya dan sebagainya. Dari peristiwa-peristiwa diatas, dunia sepakat menyimpulkan: Perlu Hukum yang baku untuk mengatur wilayah laut. Disisi lain tetapi pada saat yang sama, kemampuan mengarungi laut telah membuka cakrawala baru bagi dunia perdagangan. Itulah perdagangan internasional dengan kapal laut sebagai sarananya. Semakin hebat kemampuan angkut kapal laut, semakin luas dan marak perdagangan. Di dunia “baru” di luar Eropa yang mereka temukan adalah barang dagangan yang jauh lebih menggiurkan dari yang ada di Eropa: Emas, Perak, Rempah- rempah, Sutra dan kemudian komoditi pertanian. Karena situasi dan kondisi di laut yang sangat berbeda dengan perdagangan di darat, maka dunia dihadapkan pada satu kebutuhan yang sama: Perlunya Hukum yang mengatur tentang perniagaan di laut ( lebih tepatnya dengan kapal laut sebagai sarananya ). Dari kedua alur sejarah tetapi terjadi pada saat yang hampir sama tersebut diatas, peradaban manusia kemudian melahirkan karya agungnya: HUKUM LAUT. Hukum Laut ( dalam arti luas ) mencakup dua cabang besar, yakni Hukum Laut Publik ( dunia menyebutnya Law of the Sea ) dan Hukum Laut Perdata ( Maritime Law atau Law of Admiralty ). Perbedaan

Transcript of Bab i Pendahuluan

1

Ver. 13 Mei 09

BAB I : PENDAHULUAN :

1. HUKUM LAUT, HUKUM MARITIM DAN HUKUM ANGKUTAN LAUT.

Laut, yang lebih dari 60% dari permukaan bumi, sudah sejak lama menjadi ajang kiprah manusia ( yang secara alami adalah “makhluk “ darat ). Kiprah itu dimulai sejak abad pertengahan saat peradaban manusia menemukan alat untuk mengarungi laut luas yang namanya kapal laut. Saat kemudian ditemukan layar dan angin sebagai penggerak kapal, menggantikan dayung, maka teknologi perkapalan bergerak sangat pesat. Kapal layar itu pula membuka dunia baru bagi manusia yang semula hanya berkutat di daratan . Layar itu pula yang mendorong manusia Eropa, dengan peradaban yang “lebih maju”, mencari dan kemudian menemukan “dunia-dunia baru”. Sejak itu, peradaban melaju dengan kencang kearah modernisasi. Seiring dengan berkembangnya kemampuan manusia mengarungi laut luas, maka berkembang pula ambisi untuk menguasai wilayah laut sebagaimana manusia menguasai wilayah daratan. Itulah yang melahirkan doktrin-doktrin tentang kedaulatan atau penguasaan wilayah laut di abad pertengahan di Eropa, dimana peradaban paling maju saat itu. Ada Hugo Grotius dan lawannya yang mempertentangkan Mare Clausum dengan Mare Liberum. Ada Spanyol yang “seenaknya” menarik garis batas wilayah lautnya dan sebagainya. Dari peristiwa-peristiwa diatas, dunia sepakat menyimpulkan: Perlu Hukum yang baku untuk mengatur wilayah laut. Disisi lain tetapi pada saat yang sama, kemampuan mengarungi laut telah membuka cakrawala baru bagi dunia perdagangan. Itulah perdagangan internasional dengan kapal laut sebagai sarananya. Semakin hebat kemampuan angkut kapal laut, semakin luas dan marak perdagangan. Di dunia “baru” di luar Eropa yang mereka temukan adalah barang dagangan yang jauh lebih menggiurkan dari yang ada di Eropa: Emas, Perak, Rempah-rempah, Sutra dan kemudian komoditi pertanian. Karena situasi dan kondisi di laut yang sangat berbeda dengan perdagangan di darat, maka dunia dihadapkan pada satu kebutuhan yang sama: Perlunya Hukum yang mengatur tentang perniagaan di laut ( lebih tepatnya dengan kapal laut sebagai sarananya ). Dari kedua alur sejarah tetapi terjadi pada saat yang hampir sama tersebut diatas, peradaban manusia kemudian melahirkan karya agungnya: HUKUM LAUT. Hukum Laut ( dalam arti luas ) mencakup dua cabang besar, yakni Hukum Laut Publik ( dunia menyebutnya Law of the Sea ) dan Hukum Laut Perdata ( Maritime Law atau Law of Admiralty ). Perbedaan

2

mendasar dari keduanya adalah: Hukum Laut Publik ( disamping sifat aturan hukumnya yang memaksa sebagaimana laiknya Hukum Publik) obyek pengaturannya adalah Wilayah Laut dan Kedaulatan atas wilayah tersebut.. Oleh sebab itu, aturannya mencakup pengaturan Laut Teritorial, Laut Bebas, Zona Ekonomi Eksklusif , dan sebagainya. Sedangkan Hukum Laut Perdata ( selanjutnya Penulis sebut saja Hukum Maritim ) obyeknya adalah Hubungan Keperdataan yang lahir dari kegiatan perniagaan dengan kapal laut sebagai sarananya. Lahirnya Negara-negara baru setelah Perang Dunia II menimbulkan klaim-klaim kewilayahan, termasuk wilayah laut. Disamping itu, berkembangnya teknologi dan semakin langkanya sumber alam di darat mendorong Negara-negara lebih mengekplorasi wilayah laut, termasuk pertambangan di dasar laut dalam, yang beberapa waktu sebelumnya tidak terbayangkan. Kedua aspek inilah yang mendorong perkembangan Hukum Laut secara pesat pada paruh kedua Abad XX. Puncaknya adalah lahirnya Konvensi Hukum Laut Internasional yang diprakarsai PBB pada tahun 1982 ( United Nations Convention on the Law of the Sea atau disingkat UNCLOS ). Di Konvensi inilah Indonesia menunjukkan eksistensinya dengan menjadi pemimpin kelompok yang memperjuangkan dimasukkannya Rejim Hukum Negara Kepulauan ( the Legal Regime of Archipelagic States ) dalam Konvensi. Perjuangan tersebut berhasil dengan adanya Chapter khusus tentang Archipelagic States di UNCLOS. Tanpa adanya ketentuan khusus tersebut, negara kepulauan seperti Indonesia akan terpecah-pecah menjadi beberapa kelompok kepulauan yang dipisahkan oleh Laut Internasional. Dengan adanya ketentuan yang khusus tersebut, maka seluruh wilayah laut “didalam” batas kepulauan menjadi Laut Teritorial, tidak perduli berapa lebarnya, yang berarti dalam kedaulatan negara kepulauan tersebut ( sebagai catatan: Lebar Laut Teritorial normal adalah 12 mil laut, sedangkan jarak antar pulau di kepulauan Indonesia banyak yang lebih dari 24 mil laut ). Atas dasar Konvensi itu juga Indonesia memberi andil dalam penerapannya, dengan berbagai Perjanjian Bilateral dengan para tetangganya. Yang paling phenomenal tentunya adalah Perjanjian Bilateral dengan Australia dalam Pengelolaan Celah Timor ( Timor Gap ), dimana terdapat sumber minyak yang berlimpah. Sayang, dengan terlepasnya Timor Timur terlepas pula jejak sejarah itu. Tidak kalah dengan saudaranya, pada saat dan aspek yang hampir sama Hukum Maritim juga mengalami perkembangan pesat. Saat ini mempunyai 3 ranting, yakni: Hukum Perkapalan ( yang mengatur pengusahaan kapal laut, misalnya saja registrasi kapal, kepemilikan kapal, hubungan kerja pengusaha kapal dengan Nakhoda dan Anak Buah Kapal, dan sebagainya ); Hukum Asuransi Laut ( mengatur pertanggungan atas bahaya-bahaya di laut baik terkait dengan kapal, muatan atau uang-tambangnya ) dan; Hukum Angkutan Laut ( mengatur hubungan antara penjual jasa dan pemakai jasa angkutan laut ). Sebenarnya masih ada “area abu-abu” diantara Hukum Laut

3

Publik dan Perdata, dimana aturan hukumnya lebih bersifat publik (memaksa), namun obyeknya bukan wilayah laut. Para ahli sering menyebut Hukum untuk area ini dengan Public Maritime Law dan mengatur diantaranya tentang Navigasi, Keselamatan Pelayaran , Kepelabuhanan dan Pencemaran. 1.1. SEJARAH. Sejarah Hukum Maritim modern telah dimulai sejak masa kejayaan Kerajaan di Kepulauan Rhodes ( sebelah timur Laut Mediterania ) sekitar Abad X sebelum Masehi. Sebagai negara kepulauan, ekonomi kerajaan bertumpu pada pada perdagangan, khususnya melalui laut. Hukum yang mengaturnya disebut Rhodian Law dan salah satu bagiannya, yakni yang mengatur tentang General Average, sempat dipakai rujukan dalam Justinian’s Digest yang terbit di masa Romawi. Hukum ini kemudian menjadi embrio dari the York-Antwerp Rules yang mengatur General Average di jaman modern. Kawasan Laut Tengah masih menjadi pusat kegiatan perdagangan dunia pada jaman Imperium Romawi maupun jaman Negara-Negara Kota di Italia. Pada masa itu kota-kota pelabuhan berkembang pesat di sepanjang tepinya dan disitu biasanya berdiri pula Lembaga-Lembaga Peradilan ( Tribunals ) untuk menyelesaikan sengketa-sengketa perdagangan, khususnya perdagangan dengan kapal laut sebagai sarananya. Didorong kebutuhan akan pedoman penyelesaian sengketa, mulailah para praktisi hukum mencatat norma-norma kebiasaan yang tumbuh dan hidup di dunia perdagangan, serta menyusun kodifikasinya. Kodifikasi-Kodifikasi itulah yang kemudian menjelma menjadi Hukum Kebiasaan ( Customary Law ) yang sangat berpengaruh terutama terhadap Common Law ( hukum yang bertumpu pada keputusan-keputusan pengadilan / Yurisprudensi ) yang berkembang di negara-negara Anglo-Saxon. Sebagian melahirkan Hukum Dagang dan sebagian lain menjadi akar Hukum Maritim. Dua kodifikasi yang banyak menjadi rujukan adalah Tablet of Amalfi ( Amalfi adalah kota didekat Naples, Italia ) dan Libre del Consolat de Mar ( dari daerah dekat Barcelona, Spanyol ). Dengan surutnya Romawi dan Negara Kota di Italia, pusat perdagangan di Abad sesudahnya bergeser ke utara, yakni kawasan Laut Baltik dan Atlantik. Sekarang Inggris dan negara-negara Skandinavia sebagai motor penggeraknya. Karenanya, kodifikasi yang lahir saat itu muncul dari kawasan itu, antara lain: The Laws of Wisby ( dari daerah Gotland di Laut Baltik ), The Hansa Towns dan The Rules of Oleron ( yang disusun atas perintah Raja Inggris yang terkenal: Richards the Lion Heart ). Pada masa itulah, dengan ditemukannya teknologi baru yang memungkinkan kapal dibuat lebih besar, lebih cepat dan mampu berlayar lebih jauh, perdagangan internasional ( dan diikuti dengan kolonialisme sebagai produk sampingannya ) menyebar dari Eropa Barat ke seluruh dunia. Melalui kolonialisme itulah sistim hukum Eropa sampai ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Kitab Undang-Undang

4

Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Republik Indonesia yang sampai saat ini masih berlaku adalah “copy” dari kitab serupa di Negeri Belanda ( bahkan dari Edisi tahun 1924 ). Penulis tidak tahu harus merasa seperti apa, setelah lebih 60 tahun merdeka kita masih memakai Kitab Hukum yang bahkan di Negeri Belanda sudah lama diganti.

1.2. PENGARUH HUKUM INGGRIS. Semakin mendunianya perdagangan memang membuat semakin banyak pelaku dan tidak hanya didominasi oleh Inggris maupun negara-negara Eropa Barat lainnya. Namun ada satu yang tak tertandingi: Perkembangan sistim hukum dan peradilan Maritim di Inggris yang sangat pesat dan dinamis. Mereka telah memiliki Merchant Shipping Act sejak tahun 1894 , Bills of Lading Act tahun 1855, Marine Insurance Act tahun 1901 dan Carriage of Goods by Sea Act ( adopsi dari The Hague Rules 1924 ) pada tahun 1924. Inggris pula yang mempelopori peradilan khusus untuk kasus-kasus sengketa maritim, seperti Admiralty Court atau divisi-divisi khusus di King’s Bench maupun Queen’s Bench Division. Seakan belum cukup, sejak awal sistim jurisdiksi mereka begitu terbuka, sehingga banyak pihak diseluruh dunia memilih hukum dan yurisdiksi Inggris untuk penyelesaian sengketanya. Kombinasi dari semuanya tak pelak telah memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap Hukum Maritim modern. Hukum yang komplit dan peradilan yang “mumpuni” membuat hukum dan peradilan Inggris menjadi pilihan yang favorit para pelaku Bisnis Maritim. Tidak perlu heran apabila dalam Perjanjian-Perjanjian Internasional , bahkan antara para Pihak yang tidak berdomisili di Inggris, mereka menundukkan diri pada hukum dan yurisdiksi peradilan Inggris. Disamping itu, Hukum Inggris juga banyak diadopsi oleh Negara-Negara bekas jajahan Inggris ( yang sebagian sekarang menjadi negara yang berpengaruh pada perdagangan internasional, seperti Amerika Serikat, Singapura, Malaysia dan Hongkong ). Bahkan untuk yang bukan bekas jajahannya, pengaruh itu tetap ada ( Lihat mengapa mobil kita setir kanan seperti Inggris, bukan setir kiri seperti Belanda ? ). Atas dasar itu pula, buku ini sangat banyak mengacu pada sistim Hukum Inggris dalam bahasannya, agar dengan demikian pembaca tidak lagi “kaget” manakala memasuki dunia yang sesungguhnya.

1.3. SUMBER-SUMBER HUKUM. Sebagaimana lajimnya cabang hukum lainnya, salah satu sumber hukum utama dari Hukum Maritim adalah peraturan perundangan yang ada dalam sistim hukum nasional suatu negara. Tentunya kelengkapan dan kerincian antara negara yang satu dan lainnya berbeda. Negara dengan tradisi kelautan yang tua seperti Inggris tentunya memiliki peraturan perundangan yang sangat komprehensif. Belum lagi didukung dengan praktik umum dan yurisprudensi yang membentuk Cases Law . Sedangkan negara lain, khususnya yang baru lahir setelah Perang Dunia II, biasanya belum begitu komprehensif ( kecuali negara-negara persemakmuran yang sempat

5

mengadopsi hukum Inggris ). Indonesia, walaupun selalu mengaku sebagai Negara Maritim, soal peraturan perundangan di bidang Maritim termasuk “payah”. Sebagian besar masih memakai KUHD-RI dan Ordonansi peninggalan Belanda. Yang relatif baru hanya Undang-Undang no.21 tahun 1992 tentang Pelayaran dan isinya hanya mengatur tentang Hukum Maritim aspek Publik saja. Salah satu sifat yang khas dalam Hukum Maritim adalah sifat internasionalnya yang sangat menonjol. Artinya, hukum nasional suatu negara biasanya mengacu atau bahkan mengadopsi suatu peraturan hukum yang sifatnya antar negara. Hal ini sudah sewajarnya mengingat sebagian besar kegiatan pelayaran adalah antar negara dan sebagai bagian dari perdagangan internasional.. Pada mulanya, acuan dimaksud berupa Aturan-Aturan (Rules) yang disusun oleh sekelompok orang atau organisasi yang memang memerlukan atutan-aturan itu. Contohnya: The Hague Rules 1924 yang kemudian diperbaharui menjadi The Hague-Visby Rules 1968 yang dibuat oleh komunitas pelayaran, melalui Committee Maritime International ( CMI ) untuk mengatur tentang angkutan barang dengan Bills of Lading. Demikian juga The York-Antwerp Rules yang mengatur tentang General Average. Namun, dengan semakin efektifnya Persatuan Bangsa-Bangsa, maka Aturan-Aturan yang lahir kemudian lebih banyak atas prakarsa PBB. Beberapa berbentuk Konvensi yang lebih mengikat bagi negara anggotanya. Contohnya: The Hamburg Rules 1974 ( yang dimaksudkan sebagai pengganti The Hague Rules ) dan SOLAS Convention ( Safety of Life at Sea ), yang diratifikasi Indonesia sebagai UU no.203 Tahun 1966. Demikianlah, dari laut telah lahir kekayaan, yang tidak hanya berupa ikan dan bahan tambang di dasar laut, tetapi juga khasanah hukum, yang semakin hari semakin berkembang dan memperkaya peradaban manusia. Kitapun berhak untuk menikmati kekayaan itu dan, apabila mampu, lebih memperkaya lagi.

2. ANGKUTAN DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL.

Sebenarnya perdagangan mencakup kegiatan yang lebih luas bukan hanya transaksi jual-beli. Disitu ada imbal-beli, imbal-dagang dan sebagainya. Namun, sejak awal peradaban modern transaksi jual-beli telah mendominasi dunia perdagangan, khususnya perdagangan internasional. Oleh sebab itu, bahasan dalam tulisan ini akan lebih fokus pada transaksi jual-beli.

Jual beli Internasional adalah jual beli yang terjadi antara dua pihak yakni Penjual dan Pembeli yang berdomisili di negara-negara yang berbeda. Kegiatan ini sangat menarik karena dari hal tersebut lahir suatu rangkaian kegiatan yang sangat kompleks, yakni mencakup kegiatan jual beli itu sendiri, angkutan, asuransi, perjanjian kerja dan lain-lain. Disamping itu akan lebih menarik lagi apabila dilihat besarnya volume dan nilai barang yang diperjualbelikan, banyaknya perusahaan, pihak-pihak, maupun tenaga kerja

6

yang terlibat di dalamnya beserta kepentingan masing-masing yang berbeda-beda.

Mengingat hubungannya yang sangat erat dengan kegiatan pengangkutan laut dan asuransi laut, maka tidak dapat dihindarkan keharusan bagi setiap orang yang ingin mempelajari aspek hukum dari salah satu kegiatan-kegiatan tersebut untuk mempelajari pula aspek hukum dan praktek dari kegiatan lainnya. Jadi adalah tidak mungkin bagi mahasiswa yang mempelajari Hukum Angkutan Laut untuk dapat memahami hukum tersebut dengan baik tanpa ia memahami pokok-pokok perdagangan atau jual beli internasional.

2.1. PROBLEMATIKA.

Pada hakekatnya transaksi jual beli internasional adalah seperti jual beli barang pada umumnya dengan segala masalah hukum dan bisnisnya. Kekhususannya terletak pada fakta yang sederhana saja, yakni Penjual dan Pembelinya berdomisili di negara-negara yang berbeda. Tetapi fakta yang “sederhana” ini melahirkan dampak yang luas, yang pada akhirnya memaksa kedua belah pihak membuat ketentuan-ketentuan khusus dalam kontrak jual belinya maupun dalam pelaksanaannya. Dibandingkan transaksi domestik, transaksi internasional jauh lebih rumit dan bersegi banyak. Dua hal penting yang lahir dari fakta tersebut dan yang besar pengaruhnya adalah jarak dan perbedaan negara.

Jarak yang biasanya cukup jauh yang memisahkan kedua belah pihak mengakibatkan adanya tenggang dimana baik Penjual maupun Pembeli harus melepaskan penguasaan fisik atas barang yang bersangkutan, yakni selama transit dan pengangkutan dari tempat Penjual ke tempat Pembeli. Dalam tenggang ini yang sering memakan waktu beberapa hari/minggu, bahkan mungkin sebulan lebih, Penjual tentunya enggan melepaskan penguasaan barang sebelum menerima pembayaran tanpa jaminan. Di lain pihak Pembeli pun enggan membayar sebelum menerima barangnya, kecuali hukum memberinya hak tertentu atas barang tersebut. Dalam hal inilah Bank dan Pengusaha Angkutan Laut berperan sebagai jembatan antara Penjual dan Pembeli masing-masing dalam memberikan jaminan terlaksananya pembayaran harga barang dengan baik dan peralihan pemilikan/penguasaan atas barang dengan lancar.

Hal kedua, yakni negara yang berbeda dan oleh karenanya berbeda sistim hukun dan yuridiksi (lingkup kewenangan suatu peradilan). Perbedaan tersebut akan menimbulkan permasalahan dalam penyelesaian perselisihan yang mungkin timbul di kemudian hari. Sehingga masing-masing pihak cenderung menginginkan kontrak tunduk pada yuridiksi pengadilan dimana ia tinggal, yang ia lebih familiar sistemnya. Bagi Penjual, yang paling penting adalah terlaksananya pembayaran, untuk itu biasanya ia menerapkan suatu sistem pembayaran yang aman baginya dan dapat ditarik di bank di tempat domisilinya. Kedua hal tersebut memberi warna yang dominan terhadap wujud transaksi jual beli internasional.

7

Dari banyak faktor dalam transaksi jual beli internasional, ada satu faktor yang paling dominan yaitu ANGKUTAN, sebagai sarana untuk melaksanakan penyampaian barang kepada Pembeli. Berbeda dengan jual beli domestik yang hanya kadang-kadang memerlukan angkutan, faktor angkutan dalam jual beli internasional begitu pentingnya sehingga bentuk kontrak jual beli sangat dipengaruhi oleh jenis angkutan yang dipakai. Sedangkan pilihan atas jenis angkutan yang akan dipakai ditentukan oleh banyak faktor, diantaranya ; sifat barang (berat/ringan, berharga mahal, mudah pecah dsb), urgensi (mendesak atau tidak), jenis alat angkut yang tersedia beserta tarifnya.

Yang erat pula hubungannya dengan angkutan barang adalah ASURANSI. Karena jarak yang jauh dan kemungkinan harus berganti alat angkut beberapa kali, maka besar risikonya akan rusak, hilang atau kurang. Untuk itu baik Penjual maupun Pembeli biasanya membutuhkan jasa asuransi untuk melindunginya dari kemungkinan kerugian akibat rusak, hilang atau kurangnya barang selama pengangkutan.

Akibat dari problematika-problematika yang timbul tersebut, suatu kontrak jual beli internasional akan melahirkan kontrak-kontrak lain yang melibatkan pihak-pihak lain di luar Penjual dan Pembeli; yakni Bank sebagai penjamin keuangannya, Pengangkut yang melaksanakan penyampaian barang dan Maskapai Asuransi yang melindungi mereka dari kemungkinan kerugian. Belum lagi keterlibatan pihak lain yang berupa perantara, INSURANCE BROKERS, SELLING AGENTS, FORWARDING AGENTS, LOADING BROKERS dan sebagainya.

Fungsi dan sifat hubungan keagenan-keagenan tersebut kadang-kadang sangat berpengaruh pada kontrak jual beli yang dibuat. Jadi pada akhirnya yang ada tidak hanya kontrak jual beli saja, tetapi sekelompok kontrak dengan kontrak jual beli sebagai pusatnya. Masing-masing kontrak dalam kelompok tersebut menyangkut bentuk atau penerbitan dokumen-dokumen tertentu, misalnya Bills of Lading (Konosemen), Polis Asuransi, Invoice dan sebagainya, yang masing-masing mempunyai sifat dan ciri-ciri yang berbeda-beda.

Aspek lain yang tersangkut dalam transaksi jual beli internasional diluar lingkup kontrak-kontrak di atas adalah aspek Hukum Perdata Internasional atau dalam istilah internasional dikenal sebagai CONFLICT OF LAWS atau PRIVATE INTERNATIONAL LAW. Aspek ini penting dalam hal terjadinya sengketa hukum antara para pihak dan dalam kontrak tidak diatur dengan tegas hukum negara mana yang diberlakukan dan yuridiksi pengadilan mana yang dipilih untuk tempat penyelesaian sengketa (atau Badan Arbitrasi mana).

2.2. PERJANJIAN JUAL BELI.

Seperti umumnya pada kontak jual beli, pihak-pihak yang utama adalah Penjual (Sellers) dan Pembeli (Buyers). Seperti telah disebut sebelumnya dalam banyak hal transaksi dilakukan melalui AGEN-AGEN. Seorang

8

Produsen barang (dalam hal komoditi pertanian misalnya petani atau perusahaan perkebunan) dapat saja menjual langsung barang produksinya ke luar negeri (sepanjang ketentuan perdagangan di negaranya memperkenankan hal itu). Tetapi seluk beluk ekspor adalah sesuatu yang sangat komplek dan memerlukan keahlian khusus untuk dapat menanganinya dengan baik, misalnya saja mencakup spesialisasi di bidang pemasaran, keuangan, angkutan, asuransi dan lain-lain. Oleh sebab itu kecuali beberapa perusahaan besar tertentu, kebanyakan Produsen memilih memasarkan produksinya ke luar negeri melalui eksportir-eksportir yang memang mengkhususkan diri pada kegiatan ekspor hasil-hasil produksi tertentu. Di dunia perdagangan internasional perusahaan-perusahaan tersebut dikenal sebagai EXPORT HOUSES atau CONFIRMING HOUSES (C/H).

Ada beberapa cara yang dapat digunakan oleh C/H dalam memasarkan hasil produksi dari Produsen tersebut, yakni :

a. Hanya sebagai AGEN saja

Sebagaimana layaknya agen, disini ia hanya mempertemukan penawaran dari Produsen Penjual dengan permintaan dari Pembeli dan kontrak jual beli dibuat langsung antar mereka

b. Membeli dan menjual kembali

Dalam hal ini ia tidak hanya sekedar agen, tetapi ia membeli dari Produsen di negaranya dan menjualnya kembali kepada Pembeli di luar negeri. Jadi dalam hal ini ia adalah pihak utama dalam kedua kontrak, tidak hanya sekedar agen.

c. Membeli “atas perintah”

Pertama ia menerima perintah dari seorang calon pembli di luar negeri untuk membeli barang dari seorang produsen dengan memakai nama C/H tersebut sebagai Pembeli. Kemudian Pembeli (yang sebenarnya) mengganti harga barang beserta komisinya kepada C/H yang bersangkutan. Dengan demikian C/H menjalankan FUNGSI GANDA, yakni terhadap Produsen Penjual sebagai Pembeli, sedangkan terhadap Pembeli di luar negeri sebagai Agen; dengan lingkup tanggung jawabnya masing-masing.

d. Membeli “atas nama”

Disini Pembeli di luar negeri memerintahkan C/H untuk membeli barang atas nama pembeli tersebut dan “mengkonfirmasikan” si Produsen Penjual bahwa ia (C/H) yang akan menyelesaikan segala urusan kontrak jual belinya. Seperti pada cara sebelumnya, disini C/H juga berfungsi ganda, hanya perbedaan pokoknya ialah disini antara Produsen Penjual dengan Pembeli di luar negeri ada hubungan langsung sehingga mereka dapat saling melakukan tindakan hukum apabila timbul sengketa.

9

2.3. INCOTERMS :

Karena perbedaan sistim hukum dan mungkin juga perbedaan praktek atau kebiasaan di masing-masing negara, maka seringkali terjadi perselisihan ( Disputes ) dalam pelaksanaan suatu kontrak jual-beli. Usaha-usaha sudah banyak dilakukan untuk mengurangi potensi perselisihan tersebut diatas, diantaranya melalui standarisasi istilah atau terminologi dagang yang memang sudah banyak dipakai di dunia perdagangan ( tetapi pengertian atau penafsirannya berbeda-beda ). Dalam hal standarisasi istilah/terminologi dagang yang paling populer adalah yang dihasilkan oleh INTERNASIONAL CHAMBER OF COMMERCE ( ICC ) atau Kamar Dagang Internasional yang berkedudukan di Paris dalam bentuk INCOTERMS. Sesuai tuntutan jaman edisi dari INCOTERMS tersebut telah beberapa kali diperbaiki/direvisi sejak terbit pertama tahun 1936 . Edisi yang terbaru diterbitkan tahun 2000. Aturan ini juga telah disahkan oleh Badan Dunia dibawah PBB yang mengurusi perdagangan, yakni UN Commission on International Trade Law ( UNCITRAL ).

Seperti diketahui, ada dua unsur utama dalam suatu transaksi jual-beli, yakni Penyerahan barang ( Delivery ) dan Pembayaran ( Payment ). Oleh sebab itu, para pelaku perdagangan biasanya membedakan jenis atau kondisi/syarat jual beli berdasarkan tempat atau waktu atau cara terjadinya dua unsur utama tersebut. Untuk memudahkan biasanya dipakai terminologi dagang tertentu seperti FOB,C&F,Franco, dan seterusnya. Dengan pendekatan yang sama, ICC menyusun Incoterms. Salah satu yang membuat Incoterms menjadi populer adalah sistimatikanya yang sederhana dan mudah dipahami oleh pemula sekalipun. Pada pokoknya, aturan dikelompokkan dalam 4 (empat) Group berdasarkan kriteria tempat dimana penyerahan ( Delivery ) barang dagangan terjadi. Disitu termasuk pengaturan tentang pengangkutan, tanggung-jawab pengurusan dokumen-dokumen kepabeanan ( Custom Clearence ), siapa membayar apa ( tanggung-jawab atas biaya-biaya) dan siapa yang harus menanggung resiko atas barang selama proses pengangkutan. Kelompok pertama disebut Group E yang hanya berisi satu sub-grup, yakni EXW, Kelompok kedua Group F ( FCA,FAS,FOB), ketiga Group C (CFR ,CIF,CPT,CIP) ,terakhir Group D ( DAF,DES,DEQ,DDU,DDP). a. GROUP E: Pada Group E penyerahan barang terjadi di tempat si Penjual ( Pabrik,Gudang) oleh sebab itu disebut Ex Works ( disingkat EXW ) dan selalu disebut tempat atau lokasi dimana pabrik atau gudang Penjual berada. Dengan demikian, seluruh biaya, pengurusan kepabeanan dan resiko selama pengangkutan berada pada Pembeli. Hal ini untuk kebanyakan Pembeli cukup menyulitkan dan oleh sebab itu kondisi EXW tidak begitu populer di dunia perdagangan internasional. b. GROUP F: Berbeda dengan Group E, pada Group F titik penyerahan barang bergeser ke saat dimana barang diserahkan kepada Pengangkut ( Carriers ). Kondisi pertama dalam kelompok ini disebut Free Carriers ( FCA plus nama tempat ),

10

dimana peralihan resiko dan biaya terjadi saat Penjual menyerahkan barang ke tangan Pengangkut yang pertama ( atau yang paling “ujung” / berhubungan langsung dengan Penjual). Oleh sebab itu, titik peralihan disini sangat fleksibel: Bisa di muka gudang/pabrik penjual, di depo kontainer, dan sebagainya. Walaupun demikian, pengurusan dokumen kepabeanan ekspor tetap merupakan tanggung-jawab penjual. Kondisi ini banyak dipakai dalam pengangkutan barang dengan Kontainer yang lajimnya merupakan Combined Transport atau Multimodal Transport (angkutan yang menggunakan berbagai moda angkutan dalam satu kesatuan, misalnya truk-kapal laut-truk). Khusus untuk angkutan melalui udara, istilah FCA sama dengan FOB . Anggota kedua dari grup F adalah Free Alongside Ship ( FAS plus nama pelabuhan muat ).Disini Penjual harus harus membayar ongkos angkut sampai di pelabuhan pemuatan. Selanjutnya Pembeli menanggung biaya pemuatan, asuransi, menunjuk pengangkut dan menanggung seluruh biaya pengangkutan dan biaya-biaya lain setelah titik itu . Resiko atas barang juga beralih saat barang tiba (diatas alat angkut darat, truk atau kereta api) di dermaga pelabuhan muat. Tanggung-jawab kepengurusan dokumen ekspor ada pada Penjual. Mungkin Kondisi jual-beli yang paling populer dari kelompok F adalah Free on Board ( FOB plus nama pelabuhan muat. Contoh: FOB Belawan, FOB Dumai ). Namun karena populernya, banyak pihak memakai istilah ini untuk suatu kegiatan yang sebenarnya tidak sesuai dengan yang ada dalam Incoterms. Sejatinya, Kondisi FOB hanya pergeseran titik biaya dimana dalam FAS ada di atas alat angkut darat di dermaga, menjadi diatas kapal di pelabuhan muat. Dengan demikian Penjual yang menanggung biaya pemuatan. Sedangkan resiko atas barang beralih saat barang melalui Ship’s Rail ( pagar kapal). Diluar itu sama dengan FAS. Dengan ketentuan peralihan resiko seperti itu maka sebenarnya FOB hanya cocok untuk angkutan konvensional, tidak untuk angkutan dengan Kontainer. Mengapa? Karena biasanya dalam angkutan kombinasi dengan kontainer, resiko atas barang beralih saat barang tersebut dimasukkan ke dalam kontainer ( Stuffing ). Kegiatan ini biasanya terjadi jauh dari dermaga pelabuhan ( misalnya di gudang penjual atau di depo kontainer ). Hal inipun sebenarnya juga sudah dipertegas dalam Incoterms dimana dikatakan bahwa untuk yang tidak menginginkan peralihan resiko di pagar kapal, dianjurkan tidak memakai FOB. Bahkan sejak Edisi 1990 sudah ditegaskan bahwa untuk angkutan dengan Kontainer Kondisi FCA lebih cocok dipakai sebagai pengganti FOB. Toh sampai saat ini para pelaku bisnis perdagangan internasional ( termasuk ekspor komoditi oleh beberapa Divre Perum BULOG ) masih memakai istilah FOB, padahal pengangkutannya dengan Kontainer. c. GROUP C: Kelompok ketiga dalam keluarga Incoterms adalah Group C dan anggota pertama dan paling populer adalah Kondisi Cost and Freight ( CFR plus nama pelabuhan tujuan, yang pada Edisi sebelumnya disebut C&F ). Manakala dalam Perjanjian Jual-Beli disebutkan harga barang CFR, maka berarti Penjual

11

menanggung angkutan darat sampai pelabuhan muat, biaya pemuatan dan uang tambang ( Freight ) sampai di pelabuhan bongkar/tujuan dan pengurusan dokumen kepabeanan ekspor. Untuk itu ia berkewajiban menunjuk pengangkut. Namun resiko atas barang tetap beralih saat barang melewati Ship’s Rail di pelabuhan muat, sama dengan Kondisi FOB. Ini yang awam juga sering salah mengartikan bahwa resiko selalu beriringan dengan biaya, padahal tidak selalu demikian. Apabila kewajiban menunjuk dan membayar premi asuransi ditambahkan sebagai beban Penjual, maka Kondisinya menjadi Cost, Insurance and Freight ( CIF ). Dan biasanya dalam Perjanjian ditegaskan Polis Asuransi jenis apa yang diwajibkan. Apakah ICC-A ( all-risk), ICC-B atau ICC-C yang paling murah. Kalau tidak diperjanjikan biasanya cukup asal ditutup ICC-C. Sama seperti FOB, CFR dan CIF sebenarnya hanya diperuntukkan bagi angkutan konvensional/ non-petikemas melalui laut/perairan pedalaman. Sedangkan untuk petikemas dibuatkan ketentuan khusus yang serupa yakni Carriage Paid To ( CPT ) dan Carriage and Insurance Paid to ( CIP ). Disini resiko atas barang sudah beralih sejak barang diserahkan kepada Pengangkut pertama yang menerima penyerahan barang dari Penjual ( misalnya saat pemasukan barang kedalam kontainer / Stuffing ). Sedangkan tentang biaya-biaya sama dengan CFR dan CIF. Selebihnya sama. d. GROUP D: Kelompok terakhir adalah Group D, dimana anggota pertamanya adalah Delivered at Frontier ( DAF plus nama tempat ). Kondisi ini biasa dipakai untuk angkutan darat ( dengan Kereta Api atau Truk) antar negara, dimana penyerahan barang terjadi di perbatasan negara penjual dan pembeli. Pembeli bertanggung-jawab mengurus kepabeanan dan resiko beralih di pos perbatasan tersebut. Berikutnya dari kelompok ini adalah Delivered Ex Ship ( DES plus nama pelabuhan tujuan). Ini sebenarnya sama dengan CIF, hanya resiko baru beralih kepada Pembeli saat kapal sampai ke pelabuhan tujuan, tetapi sebelum pembongkaran. Kalau resiko atas barang beralih setelah pembongkaran/di dermaga pelabuhan, istilah yang dipakai adalah Delivered Ex Quay ( DEQ plus nama pelabuhan tujuan ). Pengurusan dokumen kepabeanan imporuntuk DES dan DEQ ada pada Pembeli. Terakhir dari kelompok ini adalah Delivered Duty Unpaid ( DDU plus nama destinasi ) dan Delivered Duty Paid ( DDP plus nama destinasi ). Disini semua biaya dan resiko sampai barang diserahkan di tempat Pembeli ( di rumah atau gudang misalnya) menjadi tanggungan Penjual. Bedanya, untuk DDU beamasuk dan pajak-pajak impor, termasuk pengurusan dokumen kepabeanannya impor tetap tanggung-jawab Pembeli. Sedangkan untuk DDP semuanya tanggung-jawab Penjual.

2.4. STANDAR KONTRAK.

Disamping standarisasi pengertian terminologi dagang di atas saat ini di dunia perdagangan banyak dipakai berbagai macam standard kontrak jual beli yang dikeluarkan oleh asosiasi-asosiasi pedagang untuk jenis barang/komoditi

12

tertentu. Tujuannya jelas, menghindarkan sengketa yang tidak perlu dan memudahkan para pelaku usaha dalam melakukan transaksi dagang. Contohnya saja yang dikeluarkan oleh THE GRAIN AND FEED TRADE ASSOCIATION (biasanya terkenal dengan singkatan GAFTA) atau yang dari FEDERATION OF OILS, SEEDS AND FATS ASSOCIATION LIMITED (biasanya disingkat FOSTA). Keduanya untuk jenis komoditi kacang-kacangan dan pakan ternak. Sedangkan untuk kontrak CPO dipakai standard PORAM (THE PALM OIL REFINES ASSOCIATION OF MALAYSIA). Walaupun ada berbagai macam standar, namun umumnya kontrak jual-beli setidaknya memuat 5 klausula pokok, yakni yang mengatur tentang: Spesifikasi barang; Harga; Pengapalan; Pembayaran dan Penyelesaian sengketa.

2.5. PEMBAYARAN. Seperti telah disinggung diatas, corak pembayaran yang diterapkan dalam jual-beli internasional adalah cerminan keengganan dari masing-masing pihak untuk mengorbankan jaminan keamanan atas kepentingannya. Apabila kedua pihak telah merupakan rekanan atau bahkan Sister Company, mungkin pembayaran dengan Banker’s Draft atau Telegraphic Transfer sudah cukup memadai. Namun diluar itu lajimnya dipakai suatu instrumen pembiayaan yang disebut Documentary Credit atau lebih populer dengan nama Letter of Credit ( L/C ). L/C itu sendiri adalah suatu surat yang diterbitkan oleh suatu Bank Devisa, atas permintaan seorang Pembeli/Importir dan ditujukan kepada seorang Penjual/Eksportir rekan bisnisnya. Dalam surat tersebut Penjual/Eksportir diberi hak untuk menarik sejumlah uang atau wesel (surata pelunasan hutang) atas beban Pembeli/Importir.

Dengan bentuk seperti diatas, L/C tersebut merupakan solusi dari beberapa masalah yang melekat pada sektor bisnis ini. Pertama sebagai “jembatan” antara pihak Pembeli dan Penjual yang terpisah oleh jarak antar negara dalam penyelesaian pembayaran harga barang yang diperjual belikan. Kedua, bagi pembeli, dengan L/C dana untuk pemblian lebih aman dan terjamin selama proses jual beli (yang kadang-kadang makan waktu berbulan-bulan). Keuntungan lain ; dengan pembayaran melalaui bank dijamin dokumen-dokumen pengapalan (SHIPPING DOCUMENTS) diterima selengkapnya. Dengan demikian dapat segera dijual kembali, akalu memang tujuannya beitu, bahkan sebelum barangnya tiba. Dilain pihak, Penjual/Eksportir pun sangat diuntungkan, bahkan lebih dari Pembli/Importir. Keuntungan pertama : begitu L/C dibuka, ia terjamin pembayarannya. Kedua, pembeli tidak bisa meunda pembayaran dengan alasan barang tidak sesuai kontrak. Ketiga biaya selama tenggang pembayaran (sejak barang dikirim sampai diterima pembeli) ditanggung Pembeli. Hal-hal tersebut di atas yang membuat L/C menjadi sangat populer dalam dunia perdagangan modern.

Apabila antara Pembeli dan Penjual dalam suatu transaksi jual beli sepakat memakai instrumen L/C untuk pembayarannya, maka Pembeli/Importir akan

13

meminta banknya (harus Bank Devisa) untuk membuka L/C bagi si Penjual/Eksportir. Oleh sebab itu pembeli tersebut disebut OPENER atau APPLICANT. Bank Devisa itu sendiri disebut OPENING BANK atau ISSUING BANK. Issuing Bank sendiri kemudian membuka L/C bagi Penjual melalui suatu bank yang ada di negaranya si Penjual (atau di pelabuhan pemuatan). Bank ini disebut sebagai CORRESPONDENT BANK atau INTERMENDIARY BANK. Sering juga disebut ADVISING BANK kerena salah satu tuga awalnya adalah memberitahukan Penjual bahwa telah dibuka L/C untuknya. Penjual sendiri sebagai penerima L/C disebut BENEFICIARY.

Penjual dapat “menarik” atau “mencairkan” L/C tersebut apabila ia sudah mengapalkan barang sesuai yang disepakati dalam perjanjian jual beli. Sebagai bukti ia harus menyerahkan kepada bank tersebut sejumlah dokumen pengapalan (Shipping Documents). Penyerahan dokumen (diikuti dengan pencairan L/C setelah diperiksa dan beres) inilah yang dalam istilah bank disebut NEGOSIASI. Bank penerima dokumen disebut NEGOTIATING BANK. Tergantung persyaratan yang diminta oleh Applican, ada L/C yang membolehkan Beneficiary menegosiasikan Shipping Document tersebut di bank mana saja (OPEN L/C). Tetapi ada L/C yang membatasi pada bank tertentu saja (RESTRICTED L/C). Jadi jelas disini bahwa Negotiating Bank belum tentu Advising Bank.

Hampir semua Bank di dunia saat ini menundukkan diri pada satu peraturan tentang L/C yang disebut UNIFORM CUSTOMS AND PRACTICE FOR DOCUMENTARY CREDIT (disingkat UCP). UCP ini disusun dan dipublikasikan oleh Persatuan Kamar Dagang Sedunia (International Chambers of Commerce – ICC). Bahannya bukan dari suatu hukum tertulis, melainkan dari kebiasaan dan praktek di dunia perbankan. UCP ini dari masa ke masa diubah/disempurnakan sesuai perkembangan jaman. Revisi terakhir diterbitkan tahun 2007 melalui Publikasi ICC No. 600. Oleh sebab itu untuk membedakan dengan edisi sebelumnya disebut UCP – 600.

Dalam UCP – 600 tersebut diatur detail mengenai L/C : prosedur, bentuk, nama/jenis, dan isi dokumen, pengertian-pengertian dll. Sebagai contoh adalah pengaturan tentang bentuk (FORM) dari L/C yang pada garis besarnya dibedakan atas REVOCABLE dan IRREVOCABLE L/C dan CONFIRMED / UNCONFIRMED L/C. suatu Irrevocable L/C lebih menguntungkan bagi Penjual karena tidak bisa dibatalkan oleh Applicant. Dengan demikian asalkan persyaratan dokumen memenuhi, L/C dijamin bisa ditarik. Sebaliknya suatu Revocable L/C setiap saat bisa dibatalkan atau diubah tanapa pemberitahuan kepada Penjual/Eksportir. Untuk Confirmed dan Unconfirmed L/C, perbedaannya terletak pada ada tidaknya jaminan kewajiban langsung (Direct Obligation) dari Bank bahwa pembayaran akan terlaksana. Dalam Comfirmed L/C jaminan itu ada sehingga lebih diminati oleh Penjual/Eksportir.

14

2.6 SHIPPING DOCUMENTS.

Di atas telah disinggung bahwa syarat pencairan L/C adalah penyerahan Shipping Documents dari Beneficiary (Penjual/Eksportir) kepada Negotiating Bank. Mengapa dokumen? Karena prinsip dasar operasi Bank adalah tidak berurusan dengan barang melainkan dengan dokumen. Oleh sebab itu Shipping documents yang paling utama adalah Bills of Lading (B/L), karena dokumen ini merupakan bukti pemilikan atas barang dan sekaligus bukti bahwa barang telah dikapalakan (SHIPPED B/L). Dengan perkembangan terbaru terutama semakin populernya Multimoda /Combined Transport (Darat-Laut-Darat), UCP – 600 memberi kemungkinan adanya dokumen lain selain B/L. dokumen pengapalan kedua yang juga penting adalah INVOICE (semacam kuitansi) yang dibuat oleh Beneficiary. Isinya adalah deskripsi lengkap dari barang (yang harus persis sesuai kontrak/persyaratan L/C, kecuali soal jumlah barang yang menurut UCP-600 boleh “more or less” 10%).

Dokumen lainnya adalah polis Asuransi (untuk kondisi CIF) serta dokumen lain yang beda transaksi/jenis barang, beda pula dokumennya. Untuk impor komoditi pangan misalnya diperlukan : Certificate of Origin, Certificate of Weight/Packing, Phytosanitary Certificate, dll).

Ada jenis L/C yang mengharuskan Beneficiary (Penjual/Eksportir) menerima wesel berjangka (USANCE L/C), disamping jenis yang biasa, yakni berupa wesel atas untuk (SIGHT L/C). Jenis lain mensyaratkan bahwa pembayaran baru bisa dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu ( 3 bulan misalnya) setelah nogosiasi dokumen (DEFERRED PAYMENT). Dalam dunia perdagangan sering terjadi bahwa siorang Penjual/Eksportir tidak mampu

memenuhi kewajibannya memasok barang. Untuk itu ia meminta kepada Penjual/Eksportir lain yang mampu untuk memenuhinya. Untuk pembayarannya, apabila L/C yang telah dibuka Pembeli /Importir adalah TRANSFERABLE L/C, maka ia tinggal mengalihkannya saja kepada “temannya” itu. Kalau tidak ia dapat menjaminkan L/C nya itu meminta pembukaan L/C baru bagi Penjual/Eksportir lain itu. Inilah yang disebut BACK TO BACK L/C.

2.7. KONTRAK ANGKUTAN.

a. ANGKUTAN LAUT

Walaupun dunia transportasi saat ini menawarkan kemungkinan/pilihan alat angkut yang bermacam-macam, tetapi dalam perdagangan internasional angkutan laut tetap merupakan pilihan utama. Berdasarkan perbandingan berat barang, 90% dari komoditi perdagangan internasional diangkut melalui laut. Yang paling menarik dalam kontrak angkutan laut (CONTRACT OF AFFREIGHTMENT atau CONTRACT OF CARRIAGE BY SEA) dalam transaksi jual beli internasional terletak pada kenyataan dimana selam transit barang yang diperjualbelikan ada dalam penguasaan Pengangkut, Agen maupun sub kontraktornya dan baik Penjual maupun Pembeli secara fisik lepas kontrol.

15

Pelayaran dapat memakan waktu beberapa minggu dan selama itu barang-barang terancam bahaya-bahaya yang biasanya terjadi di laut. Oleh sebab itu perlu diketahui sejauhmana pertanggungjawaban si Pengangkut terhadap Penjual atau Pembeli, atau dalam istilah yang lebih tepat bagi mereka dalam hubungan dengan kontrak angkutan, Pengirim (SHIPPER) atau Penerima (CONSIGNEE).

Dalam praktek yang umum jarang sekali Penjual membuat kontrak angkutan langsung dengan Pengangkut, biasanya ia menunjuk Forwarding Agent atau Freight Forwarder untuk mengurus pengapalannya. Demikian juga dari pihak pengangkut, biasanya menunjuk Loading Broker untuk mencarikan muatan bagi kapalnya. Bahkan ada kemungkinan suatu perusahaan yang sama bertindak sekaligus sebagai Forwarding Agent bagi Pengirim barang dan Loading Broker bagi Pengangkut. Praktek di tiap-tiap negara berbeda-beda, sesuai dengan ketentuan pemerintah setempat. Di Indonesia misalnya, dengan keluarnya INPRES No. 4/1984 maka pengaturan tata kerja ke pelabuhan yang semula didasarkan pada PP II/1969, telah atau diatur kembali. Hal ini berpengaruh pada praktek pengapalan barang seperti dimaksud di atas.

Agent dari pengangkut tersebut (kalau Pengangkut menunjuk agen) akan menandatangani (a/n Master) dan menyerahkan lpada pengirim baran/agennya suatu dokumen yang disebut BILLS OF LADING (disingkat B/L) atau yang di dalam KUHD disebut KONOSEMEN. Kalau barang diserahkan kepada Pengangkut tetapi belum dimuat ke kapal, maka B/L nya berupa “Received for Shipment” B/L atau “to be Shipped” B/L. Kalau sudah dimuat B/L nya berupa “Shipped” atau ON BOARD B/L.

B/L sebagai dokumen yang sangat penting dalam transaksi jual beli internasional, mempunyai 3 fungsi yakni ; (1) Bukti tentang adanya kontrak angkutan; (2) Tanda terima barang ; dan (3) Tanda bukti pemilikan barang. Sebagai tanda bukti pemilikan, maka B/L adalah “surat berharga” yang dapat diperdagangkan/dipindahtangankan dengan cara penyerahan atau endorsemen disertai penyerahan (tergantung klausulanya, atas tunjuk atau atas nama). Dengan demikian berarti barang-barang muatan tersebut telah dapat diperjualbelikan lagi (oleh pembeli), walaupun masih dalam perjalanan/pelayaran. Jual beli serpeti ini dalam prakterk di Indonesia dikenal dengan nama AF DOCUMENT. B/L dapat juga dipakai sebagai jaminan pinjaman pada Bank. Dengan pemindahtanganan suatu B/L, makasipemegang B/L yang baru tidak saja menerima pemilikan atas barang, tetapi juga hak-haknya terhadap si pengangkut sebagaimana dimiliki oleh pemegang B/L yang pertama. B/L biasanya diterbitkan dalam beberapa lembar yang diberi nomor dan masing-masingdapat dipergunakan untuk menebus barang dari pengangkut. Dalam praktek kadang-kadang diterbitkan lembar-lembar tambahan yang hanya utnuk keperluan administrasi saja dan tidak dapat diperdagangkan. Lembar-lembar tambahan ini diberi tanda tertentu, misalnya dengan cap “NON NEGOTIABLE” atau tanda lain yang maksudnya serupa.

Kadang-kadang karena jumlah barang yang akan diangkut dari pengirim yang sama sangat banyak, pengirim dapat mencarter seluruh ruangan kapal, baik

16

untuk satu kali pelayaran saja (VOYAGE CHARTER) atau untuk jangka waktu tertentu (TIME CHARTER). Dalam hal ini pengirim bertindak sekaligus sebagai pencarter (CHARTERER) dan hubungan hukumnya dengan si pemilik kapal tunduk pada kontrak carter atau yang lazim dikenal sebagai CHARTER PARTY.

b. ANGKUTAN UDARA DAN DARAT.

Angkutan barang melalui udara dapat dilakukan juga oleh seorang penjual dengan melalui FORWARDING AGENT. Tetapi seringkali penjual berhubungan langsung dengan Perusahaan Penerbangan yang bersangkutan. Sebagai tanda terima barang ia akan menerima AIR WAY BILL atau AIR CONSIGMENT NOTE, berbeda dengan B/L angkutan laut, Air Way Bill ini bukan Bukti Pemilikan.

Angkutan darat dapat merupakan angkutan utama namun dapat juga hanya merupakan angkutan pelengkap dari angkutan utama. Dalam kontrak jual beli dengan kondisi FOB misalnya, dimana si Penjual berkewajiban menyampaikan barang di atas kapal, maka ia memerlukan angkutan darat sebagai pelengkap. Tetapi dalam hal ini tidak ada unsur internasional dalam angkutan darat tersebut. Dalam situasi tertentu, misalnya di Benua Eropa, Asia dan Amerika, angkutan darat antar negara biasa dilakukan.

Dokumen tanda terima barang untuk angkutan barang (dengan truk atau kereta api) adalah CONSIGMENT NOTES dan seperti dalam angkutan udara, dokumen ini bukan termasuk bukti pemilikian.

c. ANGKUTAN KOMBINASI (COMBINED TRANSPORT).

Jenis angkutan ini, yang kadang-kadang disebut juga sebagai angkutan Terusan (THROUGH CARRIAGE), INTERMODAL/MULTIMODAL TRANSPORT, berkembang seiring dengan pemakaian kontainer untuk pengiriman barang. Pada pokoknya dalam angkutan ini si pengirim barang hanya akan berurusan dengan satu orang Kontraktor Angkutan, yang akan mengurus baik angkuan darat, pemuatan ke kapal, membuat kontrak angkutan laut, dan sebagainya (cara ini sering disebut dengan From Inland to Inland Warehouses atau Door to Door Service).

Dokumen tanda terima barang, yang disebut COMBINED TRANSPORT DOCUMENT, dapat merupakan tanda bukti pemilikan atau bukan. Dalam perdagangan internasional cara angkutan ini menimbulkan berbagai masalah yang tadinya belum dikenal, (yang menyangkut pemeriksaan bea cukai misalnya) namun sekaligus memberi manfaat yang sangat besar (lebih efektif dan efisien).

2.8. KONTRAK ASURANSI.

Seperti telah disinggung di atas, selam adalam transit/dalam penguasaan pengangkut barang terancam resiko rusak, kurang bahkan musnah sama sekali. Dan perlu dicatat, dari berbagai penyebab tidak semua kerugian yang diderita

17

oleh Pemilik barang muatan merupakan tanggung jawab Pengangkut. Bahkan kalau merupakan tanggung jawab Pengangkut pun, berdasarkan ketentuan kontrak angkutan ia masih dapat dikecualikan ataupun dibatasi tanggung jawabnya dalam beberapa hal tertentu. Oleh sebab itu, hamlpir selalu barang yang dikirim ke lain negara diasuransikan baik oleh penjual maupun oleh pembeli, tergantung kondisi kontrak jual belinya. Dalam kontrak CIF misalnya, Penjual berkewajiban mengasuransikan barang. Dalam kondisi FAS, FOB dan CFR, pembelilah yang mengasuransikan.

Bentuk atau form dari Polis Asuransi untuk barang yang akan diangkut melalui laut adalah MARINE INSURANCE POLICY. Polis ini biasanya tidak hanya menjamin/mengcover barang selama transit dilaut saja, tetapi juga selama transit di darat, yakni sejak dari tempat si Penjual (digudang pedalaman atau pabrik misalnya) sampai di kapal di pelabuhan pemuatan dan dari kapal sampai gudang/tempat pembeli di pelabuhan tujuan. Bahkan ada yang ditambah selama beberapa hari penyimpanan.

Polis Asuransi barang ini dapat dipindahnamakan, sehingga penjual (apabila berdasarkan kontrak jual beli ia yang harus membuka polis) dapat saja membuka polis atas nama sendiri dan kemudian mengalihkannya kepada Pembeli (ASSIGNMENT), yang oleh karenanya Pembeli dapat mengklaim Asurador apbila terjadi kerugian-kerugian yang dijamin oleh polis tersebut.

Dalam hal ini Asurador (THE UNDERWRITER) berhak menerapkan semua hak-haknya terhadap pembeli, sebagai terjamin (THE ASSURED) pengganti, sebagaimana yang dimilikinya terhadap penjual, sebagai terjamin yang asli. Misalnya saja haknya untuk membatalkan kontrak asuransi apabila diketahuinya bahwa penjual telah mengemukakan suatu uraian tentang barang yang tidak sesuai dengan fakta (istilah dalam hukum asuransinya (REPRESENTATION).

Dalam transaksi jual beli internasional, dokumen asuransi yang diterbitkan umumnya adalah Polis, tetapi kadang-kadang juga diterbitkan Certificate Of Insurance yang dikeluarkan oleh Asurador, Broker atau Penjual. Dari banyak standar polis yang paling banyak dipergunakan adalah standar yang diterbitkan oleh The Institute Of London Underwriters yang bentuk/isinya bermacam-macam sesuai dengan obyek asuransinya (kapal, muatannya atau uang tambangnya) dan kondisi asurannya (All Risks, Free From Particular Average, With Average dan sebagainya). Sejak tahun 1982 standar polis tersebut diganti dengan yang baru yang dinamakan Institute Clauses. Biasanya standar tersebut dipakai bersamaan dengan Marine Policy dari LLOYD’S Underwriters di bursa asuransi London. Namun dalam prakteknya standar tersebut dipakai di hamper seluruh Negara termasuk Indonesia.