Bab I Pendahuluan - lontar.ui.ac.id 27893-Budaya takut...1 Universitas Indonesia Bab I Pendahuluan...
Transcript of Bab I Pendahuluan - lontar.ui.ac.id 27893-Budaya takut...1 Universitas Indonesia Bab I Pendahuluan...
1
Universitas Indonesia
Bab I
Pendahuluan
I.1 Latar Belakang
” Aku sih takut salah tembak. Takut peluru nyasar. Tapi setelah itu sih gak takut.
Kita juga gak bisa berbuat apa-apa. Paling aku dapat kabar ya dari bapak…suamiku.
Terus pas sampe rumah kejadian sudah kelar. Tidak terlalu ganggu sekarang. Paling kita
diam dan gak langsung panik.Takut sih paling barang bukti dilempar ke rumah saya.
Dan di belakang itu kan kayak ada lorong, kalau ada yang kabur lewat situ buat jalan
gimana?” (sambil memberi tahu lorong antar rumah di belakang rumahnya)
KY, Pekerja,Perempuan,30 tahunan1
Suatu yang sulit dibayangkan bahwa dalam kehidupan di kota Jakarta kriminalitas
berupa tindak kekerasan nihil sama sekali dari ruang masyarakat. Bahkan bila kita
melihat tumpukan lembaran bergambar grafik atau data yang tertera di papan ruangan
kantor-kantor milik aparat keamanan, di tiap sudut kota Jakarta maka akan terlihat oleh
kita, bagaimana tingkat kriminalitas begitu tampak nyata hadir dalam kontrasnya
kehidupan masyarakat kota metropolitan ini. Jakarta dengan lima wilayah kotamadya
yang dinaunginya, yakni Jakarta Timur, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Barat dan
Jakarta Utara. Dari data statistik tahun 2000 milik pihak Polda Metro Jaya dalam buku
Wilayah Kekerasan Di Jakarta oleh Jerome Tadie (2006) diketahui bahwa pada tahun
1999 Jakarta Timur memperoleh peringkat paling atas didalam tindak pidana sementara
Jakarta Pusat dinilai wilayah paling rawan dipandang dari jenis kriminalitas apapun
karena pada siang hari jumlah penduduknya meningkat oleh sebab lalu lalangnya warga
kota Jakarta dalam melakukan aktivitas perdagangan, terminal bus atau perkantoran.2
1 Fieldnotes Rike 10 September 2009
2 Jerome Tadie. Wilayah Kekerasan di Jakarta. (Jakarta: Forum Jakarta Paris Masup, 2009) :56.
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
2
Universitas Indonesia
Seperti Michel Faucault, seorang ahli sosiologi mengatakan bahwa “No crime
mean no police”.3 Saya memaknainya bahwa aparat keamanan tidak dapat melakukan
tindakan tanpa hadirnya bentuk kriminalitas di masyarakat maupun sebaliknya. Tanpa
adanya tindakan kriminalitas tidak akan hadir sosok aparat keamanan. Keduanya saling
membutuhkan kehadiran satu dan yang lain, tetapi juga saling bertolak belakang
berlawanan. Lalu bagaimanakah mungkin mewujudkan tindak kriminalitas yang sama
sekali bersih di lingkungan masyarakat, bila dalam artikel pemberitaan dan televisi masih
tersiar kabar setiap hari tentang krimalitas yang berbahaya di sisi lain yang digambarkan
oleh media, selain gambaran indah kota Jakarta dalam iklan-iklan bidang property yang
hampir setiap akhir pekan muncul. Menurut H.Arendt dalam Haryatmoko (2010) dengan
jernih mengatakan bahwa kekerasan adalah ‘komunikasi bisu paling nyata’. Sementara
ketiadaan komunikasilah yang membuat rentannya kekerasan. Dan komunikasi yang
dimanipulasi adalah awal kekerasan.4
Belum lagi pembicaraan antar warga di lingkungan sebuah pemukiman yang
saling menyampaikan berita satu sama lain secara langsung baik rumor maupun gossip.
Bagi Bordieu komunikasi merupakan pertukaran bahasa yang berlangsung sebagai
hubungan kekuasaan simbolis di mana terwujud hubungan kekuatan antara pembicara
dan mitra atau lawan bicara dalam suatu komunitas (Bourdieu,1982:14). Dan hubungan
sosial adalah hubungan dominasi yang ditandai oleh interaksi simbolis. Serta dalam
interaksi mengunakan komunikasi, yang didalamnya melibatkan pengetahuan dan
kekuasaan.5 Lalu bagaimana dengan aparat keamanan yang terus terlihat beroperasi
dengan mobil atau motor di jalanan hampir setiap jam? Bagaimana masyarakat
memaknai ini semua? Michel Faucault sendiri meragukan adanya keadaan lingkungan
3 Michel Faucault.Power/Knowledge: selected interviews and other writings 1972-1977.(New York: Pantheon
Books,1980):47.
4 Haryatmoko.Dominasi Penuh Muslihat: Akar Kekerasan dan Diskriminasi. (Jakarta: Gramedia,2010): Prakata
5 (Haryatmoko 2010,9)
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
3
Universitas Indonesia
yang benar-benar bersih dari kriminalitas di ruang masyarakat.6 Sedangkan disisi lain
hidup bebas dan nyaman di lingkungannya juga merupakan kebutuhan dari manusia.7
Pemalakan, perkelahian, penyiksaan, penghakiman warga oleh tetangga sendiri,
kekerasan yang dipicu oleh pengunaan narkotika dan obat terlarang, tindakan sewenang-
wenang aparat keamanan yang terjadi di sekitar lingkungan kita adalah juga tindakan
kekerasan yang dapat membawa dampak pada tiap-tiap pribadi. Yang kemudian
peristiwa-peristiwa itu tersimpan dalam ingatan masing-masing orang, lalu menimbulkan
pemaknaan tersendiri sehingga hubungan antar sesama manusia menjadi berubah dari
keadaan yang tertata sebelumnya.
Menemui KY di rumahnya di Jalan Safir usai Magrib. Sesudah KY pulang
bekerja. Pada bulan September tanggal 10 tahun 2009. KY tinggal di Kompleks Permata
sejak tahun 2001. KY tinggal di kompleks dengan keluarga kecilnya; suami, anak
perempuan usia TK dan ibunya, yang mengurus anak perempuannya itu sewaktu KY
bekerja. KY bekerja di administrasi bagian teknik sebuah perusahaan real estate mewah
yang jaraknya tidak jauh dari lokasi kompleks Permata di Jakarta Barat.
KY mengutarakan bahwa tinggal di lokasi kompleks Permata adalah lokasi yang
tepat, lantaran ia hanya membutuhkan beberapa menit mencapai kantornya di pagi hari.
Namun ia juga khawatir dengan maraknya peredaran narkotika dan obat terlarang di
lingkungannya. Ia merasa ngeri dengan masa depan generasi muda kompleksnya bila
terus menerus seperti itu. Belum lagi ketakutannya akan peluru yang dapat menyasar
siapapun, ketika terjadi razia penangkapan oleh aparat keamanan di rumah-rumah warga
kompleksnya. Ditambah lagi, ia khawatir, bila rumahnya turut dipergunakan oleh para
pelaku transaksi narkoba dengan dilemparnya barang bukti ke arah lorong rumahnya itu.
Sementara SO, perempuan 60 tahunan, keturunan Ambon juga tidak ingin ikut
campur dalam keterlibatan tetangganya yang terlibat narkoba dan memilih bersikap untuk
diam saja. Apalagi semenjak SO mempunyai pengalaman bermasalah menampung salah
6 (Faucault 1980,47)
7 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi. (Jakarta: Penerbit Aksara Baru,1980):126-129.
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
4
Universitas Indonesia
satu anggota keluarga dari bandar narkoba di kompleksnya yang membutuhkan
pertolongan, namun keluarga bandar narkoba malah menyalahkan dirinya. Sikap diam
saja ini ternyata juga didukung oleh suaminya.
SO, sendiri bukanlah termasuk warga lama di perumahan itu, ia baru masuk
bermukim disana sejak 1983 sebagai pendatang bersama keluarganya, sementara
kompleks perumahan tersebut telah lebih dulu ada yakni di tahun 1973. Sebelumnya ia
tinggal tidak jauh dari kompleks Permata. Setelah mendapatkan tempat yang cocok di
sekitar jalan Mirah, ia kemudian menempatinya bersama suami, anak laki-laki dan
keponakannya. Setelah anaknya berumah tangga kini hanya ia, suami dan keponakannya
laki-lakinya itulah yang tinggal di rumahnya.
SO menyadari bahwa dimasa ia tinggal di kompleks banyak sudah suka duka yang ia
rasakan. Termasuk perkelahian pemuda di tahun 80-90an. Dan ketika marak narkoba di
tempat tinggalnya itu, awalnya ia merasa takut, seingatnya hari itu adalah hari ABRI 15
Oktober, juga pernah ia mendengar suara-suara tembakan namun lama kelamaan ia
merasa terbiasa dengan pengerebekan atau penangkapan terhadap pengedar narkoba di
sekitar rumahnya. Namun SO juga mengatakan bahwa:
“Sejak masuknya Narkoba ke kompleks, lingkungan sini jadi aman”
SO disisi lain khawatir terhadap anak-anak yang memakai narkoba sehingga
akhirnya banyak anak muda di tempat ia tinggal itu yang meninggal karena over dosis.
Menurutnya penyebab pemuda di kompleksnya memakai obat terlarang dan narkotika
adalah karena permasalahan ekonomi, dimana banyak pengangguran yang tidak
mendapatkan pekerjaan8.Atau istri BUD yang tinggal di jalan yang sama dengan SO,
seorang perempuan keturunan Tionghoa berusia pertengahan 40an, korban pemalakan
oleh warga setempat ini, sejak seringnya mendapat perlakuan pemalakan oleh warga, istri
BUD memilih bersikap untuk sendiri-sendiri saja terhadap orang-orang di
lingkungannya. Dalam wawancara informal di rumahnya bahkan BUD dan istrinya ini
menceritakan bagaimana ketika terjadi sebuah kejadian kejahilan warga seperti
pemutusan hubungan listrik ke rumahnya yang menurutnya dilakukan oleh warga sekitar
8 Fieldnotes Rike 11 Agustus 2009
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
5
Universitas Indonesia
karena BUD menolak pemalakan yang dilakukan oleh tetangga warga kompleksnya
sendiri9.
Kompleks Permata adalah tempat tinggal KY, SO dan istri BUD, merupakan salah
satu dari banyak perumahan yang ada di kota Jakarta, Indonesia. Kompleks ini berada di
wilayah RW.07 Kelurahan Kedaung Kaliangke Kecamatan Cengkareng Kotamadya
Jakarta Barat, dimana kompleks terbagi lagi menjadi 7 wilayah RT yakni RT.01 sampai
RT.07. Lokasi kompleks Permata tidak jauh dari bandara Soekarno Hatta Cengkareng
dan terminal bus antar kota antar propinsi, Kalideres. di tahun 1973 perumahan kompleks
dibangun oleh pemerintah DKI Jakarta yang dihuni oleh warga pindahan dari gedung
STOVIA di kawasan Kwitang, beberapa diantaranya adalah Eks anggota TNI batalyon X
Siliwangi atau ada juga yang mengatakan bahwa mereka adalah Eks-anggota tentara
KNIL 10, yang mayoritas keturunan etnis suku Ambon Maluku. Tercatat jumlah KK saat
itu 196 KK yang pindah dari gedung Stovia ke Kampung Ambon Kompleks Permata
menurut penuturan warga yang ikut berperan serta membantu kepindahan warga
kompleks ketika berhadapan dengan gubernur Ali Sadikin11. Di tahun-tahun berikutnya
terjadi penambahan jumlah rumah dan warga yang tinggal di sekitar kompleks awal, yang
kemudian dihuni bukan hanya dari warga etnis suku Ambon, tapi juga dari mereka yang
beretnis suku lain seperti dari Jawa, Sunda, Cina, Padang, Batak, Palembang, Manado,
dan lainnya.
Lingkungan sekitar dalam kompleks pada umumnya berupa rumah permanen,
bangunan-bangunannya nampak seperti perumahan kelas menengah dengan pagar dan
pekarangan kecil ditumbuhi tanaman hias serta pohon. Beberapa diantaranya memiliki
kendaraan bermotor dan mobil. Banyak juga diantara warga yang memiliki peliharaan
seperti anjing atau kucing, yang banyak berkeliaran di sekitar rumahnya dan leluasa
masuk keluar rumah mereka.
9 Fieldnotes Rike 12 Agustus 2009
10 KNIL: Koninklijk Nederlands Indisch Leger
11 Dari pernyataan DAN,tokoh setempat, tanggal 20 Juli 2009
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
6
Universitas Indonesia
Sejak lama diketahui, bahkan oleh lurah setempat yang sempat menjadi ketua
lingkungan kompleks Permata, beberapa warga kompleks dikenal suka mengambil milik
orang lain seperti mencuri hasil panen warga lain, terjadi pemalakan pada warga dan
tindak kekerasan lainnya (akan saya jelaskan pada bab berikutnya).
Pada periode tahun 2000-an di lingkungan ini marak dengan peredaran transaksi
narkoba, selain tersiar kabar bahwa terjadi juga perjudian (sabung ayam, pekyu, liong fu
dan tasio12). Dari pemberitaan di media massa mengatakan bahwa polisi berhasil
menemukan beberapa jenis narkoba di kompleks ini, barang buktinya berupa ganja,
shabu-shabu, putau, ekstasi, dan minuman keras13.
Maraknya penjualan narkoba ini juga membuat pihak aparat keamanan mempunyai
pandangan khusus kepada kompleks perumahan ini. Misalnya terlihat dari pernyataan
jajaran aparat keamanan terhadap wilayah kompleks melalui media:
“ ... Padahal, pemukiman ini telah dikategorikan sebagai daerah Merah. Jaringan
di sini sudah sangat kuat," ujar Brigjen Pol Indradi Thanos, Direktur Narkoba
Bareskrim Mabes Polri.."
dari artikel Tumpas Kampung Ambon yang Bocor oleh Mangontang Silitonga,
Selasa, 08 Juli 200814
Atau:
“Penetapan sasaran Kampung Ambon karena di wilayah tersebut masuk
kategori rawan peredaran narkoba," kata Kepala Kepolisian Daerah
Metropolitan Jakarta Raya Inspektur Jenderal Adang Firman
dari artikel Pemberantasan Narkoba Setelah Kebon Pala, Sekarang Giliran
Kampung Ambon oleh Hermas E Prabowo15
12
Gerebek Markas Judi Polisi Disambut Golok, oleh warto/C7/ird/B, Gerebek Markas Judi Polisi Disambut Golok,
http://www.poskota.co.id/news_baca.asp?id=33474&ik=2,(2007) Pos Kota Online, Ambon.ambon.com yahoogroups.
13 http://sensorutama.blogspot.com/2008/07/tumpas-kampung-ambon-yang-bocor.html, 15.05wib, 3 februari 2010; Jelang
Ramadan, Polisi Gerebek Kampung Ambon, Nala Edwin – detikNews,http://m.detik.com, 3 februari2010, 4:33wib,
Pemberantasan Narkoba :Setelah Kebon Pala, Sekarang Giliran Kampung Ambon, Hermas E Prabowo, Kompas...; Digerebek
Sarang Narkoba Kampung Ambon,oleh owy, http://www.hupelita.com/baca.php?id=36803
14 http://sensorutama.blogspot.com/2008/07/tumpas-kampung-ambon-yang-bocor.html, 15.05wib, 3 februari 2010.
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
7
Universitas Indonesia
Atau Kapolsek Metro Cengkareng mengatakan bahwa:
”Kampung Ambon menurut keterangan beberapa anggota, semula dicap sebagai
tempat tinggal para pelaku criminal kelas berat, seperti pembunuhan,
perampokan, pemerasan, pemerkosaan dan sebagainya. Cap negative bagi
kampung Ambon tersebut sampai saat ini masih berlangsung, sehingga sebagian
warga sekitar cukup ngeri bila mendengar nama kampung Ambon disebut” 16
Razia penangkapan penjual narkoba dan perjudian kemudian dilaksanakan di
kompleks ini. Razia tersebut terjadi tidak hanya sekali-duakali namun berkali-kali dan
aparat keamanan pernah datang membawa banyak personilnya hingga ratusan bahkan
ribuan17. Razia besar-besaran ini juga didukung oleh media yang berperan untuk
memberitakan apa yang terjadi di lapangan. Sampai akhirnya pihak aparat keamanan
bersama beberapa instansi pemerintah merasa perlu mendirikan pos terpadu di
lingkungan tersebut, yang didalamnya terdapat ruang aula, pos polisi, lapangan basket
dan taman, yang dibangun oleh Badan Narkotika Kotamadya (BNK) dan pihak Walikota
Madya Jakarta Barat untuk membina masyarakat sehingga terjauh dari peredaran
narkoba18
Menurut beberapa orang warga media menurunkan berita tidak berimbang dengan
pendapat warga akan kompleks perumahan tempat tinggal mereka. Seolah media
sepanjang periode razia itu lebih memperlihatkan sisi bahwa lingkungan kompleks
tempat mereka tinggal benar sarang narkoba. Dan kemunculan berita baik cetak, online
15
www.kompas.com tahun…
16 Diambil dari Thesis Bambang Soetjahjo dari Pascasarjana Kajian ilmu kepolisian FHUI(2001) berjudul: Polisi Dalam Penegakan
Hukum Perjudian Sabung Ayam (Kasus di Kampung Ambon) . Jakarta hal.64-65.
17http://sensorutama.blogspot.com/2008/07/tumpas-kampung-ambon-yang-bocor.html, 15.05wib, 3 februari 2010; Hari
Narkotika, Polisi Razia Narkoba di Kampung Ambon Oleh : Gordon Naibaho | 28-Jun-2008, 23:28:47 WIB, http://www.pewarta-
kabarindonesia.blogspot.com/;Gerebek Markas Judi Polisi Disambut Golok, oleh warto/C7/ird/B,
http://www.poskota.co.id/news_baca.asp?id=33474&ik=2,© 2007 Pos Kota Online, Ambon.ambon.com yahoogroups;
18 Wagub Resmikan Pos BNK Kampung Ambon,oleh Purwoko,
http://www.beritajakarta.com/V_Ind/berita_detail.asp?idwil=0&nNewsId=34102;
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
8
Universitas Indonesia
maupun melalui media siar tersebut namun tidak semua mengekspos sisi kehidupan
mereka yang tinggal di dalam kompleks, sehingga banyak mereka yang berada di luar
kompleks mendapatkan image yang makin kurang baik mengenai kompleks Permata.
Itulah sebab KY mengambarkan apa yang ia takutkan pada saya. Dalam keadaan
razia besar-besaran yang melibatkan banyak pasukan, bisa saja aparat bersenjata melepas
tembakannya ke arah yang salah. Tetapi selain tindakan aparat dan media yang
dikhawatirkan warga baik KY dan lainnya, kebanyakan mereka yang saya wawancarai
dan temui di rumahnya merasa kompleksnya itu tidak senyaman ketika pertama kali
mereka pindah ke kompleks tersebut.
Kebanyakan dari mereka pun masih menyimpan ingatan tentang kekerasan yang
terjadi di kompleksnya. Dari mulai perselisihan kecil yang berakibat panjang melibatkan
keluarga besar atau mungkin penganiayaan pada mereka yang ketahuan terlibat dekat
dengan aparat keamanan. Karena para pelaku yang notabene adalah tetangganya sendiri,
khawatir informasinya terutama terkait dengan perdagangan narkoba, tersebar kepada
aparat.
Dari hasil temuan di lapangan yang saya temui, ternyata masyarakat yang berada
di dalam situasi takut yang telah membudaya di lingkungannya tersebut, kebanyakan
melakukan beragam bentuk resistensi. Dan diantaranya juga ada yang mengalami
kekerasan simbolik dengan akhirnya menyetujui kehadiran kekerasan dari aparat
keamanan di lingkungannya. Yang untuk lebih jauhnya dapat diketahui dalam beberapa
bab pembahasan dalam tesis ini.
I.2 Perumusan Masalah
Dari pertemuan, percakapan dan wawancara dengan warga sekitar, banyak warga
yang masih menyimpan ingatannya terhadap peristiwa yang selama ini terjadi itu, yang
kemudian saya rasakan seperti membentuk jarak diantara mereka sehingga tidak semua
warga bisa saling berinteraksi dengan nyaman, seperti yang dilakukan di lingkungan lain
yang tidak bersinggungan langsung dengan narkoba dan tindak kekerasan lain. Ada
semacam rasa serba salah, rasa takut dan curiga bila ingin berinteraksi dengan tetangga
lainnya, dengan aparat kepolisian di posko terpadu bahkan juga kepada orang luar yang
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
9
Universitas Indonesia
datang ke kompleks mereka. Walaupun ada diantara mereka juga yang mengatakan
bahwa semenjak adanya narkoba masuk ke dalam kompleks, lingkungannya menjadi
aman.19
Meski demikian, bahwa narkoba juga memberi efek aman menurut sebagian
orang warga tetapi yang ingin diketahui dalam penelitian ini adalah bagaimana
memahami budaya takut yang terjadi dalam kehidupan bertetangga dalam ingatan yang
tersisa oleh peristiwa kekerasan, yang pernah dialami warga penghuni kompleks Permata
dan bagaimana warga memaknai peristiwa tersebut hingga saat ini. Dengan mencoba
mengambarkan dan menginterpretasikan fokus permasalahan tersebut dalam penelitian
ini.
Lewis and Salem (1986) dan Skogan (1986) membahas studi tentang fear of crime
di lingkungan tempat tinggal, keduanya menemukan bahwa konsekuensi dari adanya rasa
takut terhadap kriminalitas di lingkungan sekitar tempat tinggal, khususnya di area urban,
menurunkan rasa kepemilikan perasaan tradisional pada komunitas, menurunkan ikatan
sosial pada komunitas dan mengancam kemampuan perekonomian dari seluruh
lingkungan tempat tinggal.20 Efek lainnya adalah ketakutan akan kriminalitas juga
membuat orang yang tinggal dalam komunitas tersebut ingin pindah keluar dari tempat
tersebut (Morenoff and Sampson 1997).21
Sementara Resick (2001) mengatakan bahwa pemicu stress bisa dikatakan akut
bila yang terjadi adalah seperti kecelakaan fisik, pindah ke lingkungan yang baru atau
dikatakan kronik misalnya tinggal di lingkungan yang berbahaya dan miskin.22 Taylor,
Peplau dan Sears (2009) stress kronis juga dapat mempengaruhi kesehatan misalnya
19
Fieldnotes Rike 11 Agustus 2009
20 Steven E. Barkan.Criminology: A sociological Understanding.(Upper Sadle River New Jersey: Pearson-Prentice Hall, 2006):47.
21 (Barkan, 48)
22 Patricia A. Resick.Stress and Trauma, (United Kingdom: Psychology Press Ltd.,2001):3.
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
10
Universitas Indonesia
tinggal di lingkungan yang berisik, penuh kejahatan, tidak hanya membuat hari-hari
menjadi stress tetapi menimbulkan efek buruk kumulatif terhadap kesehatan.23
Boardman, Finch, Ellison, Williams dan Jackson (2001) melakukan penelitiannya
di Detroit dan sekitarnya, April-Oktober 1995, terhadap orang dewasa 18 tahun keatas,
dengan teknik survey, mengungkapkan adanya relasi diantara tempat tinggal yang tidak
mempunyai peran bermanfaat bagi penghuninya dengan kebiasaan mengunakan narkoba.
Secara tidak langsung juga menaikkan stressor sosial di level psychological distress di
antara mereka yang tinggal di lingkungan tersebut. Dan banyak ditemukan di lingkungan
dengan pendapatan rendah. Boardman dan kawan-kawan juga membahas studi lain
berkaitan dengan lingkungan yang tidak bermanfaat dengan narkoba, misalnya (Fang et
al, 1998; Massey&Shibuya,1995; Krivo&Peterson,1996) mengatakan bahwa ada kaitan
event yang membuat stress (misalnya kematian orang yang disayangi, perubahan
pekerjaan, korban dari kriminalitas dan fear of crime) yang berkembang di lingkungan
tempat tinggal urban; (Kisherman&Neckerman,1991) menemukan bahwa ada kaitan
pemberi pekerjaan yang tinggal di area Chicago mendiskriminasikan para pelamar
dengan tempat tinggal yang diketahui tinggal di lingkungan dengan cap buruk dan para
pelamar ini sedikit yang ditawarkan pekerjaan yang berhubungan dan produktif yang juga
mirip dengan pendapat beberapa warga di kompleks Permata tentang banyak
pengangguran di tempat mereka dikarenakan ditolak pekerjaannya karena mengetahui
alamat rumah mereka.
Menurut Anderson (1990) lingkungan yang tidak mempunyai manfaat dapat
meningkatkan tekanan sosial melalui tingginya tingkat surveillance yang dilakukan polisi
dan perlakuan polisi yang menganggu warga; lalu Wilson (1996) yang menemukan
hubungan antara lingkungan yang tidak bermanfaat dengan sumber daya psychological
masing-masing pribadi; Sampson, Raudenburgh & Earls (1997), Boardman&Robert
(2000) menemukan lingkungan yang tidak bermanfaat menurut mereka berkaitan dengan
kekuatan pemahaman yang rendah dan level SES individu; Areshensel&Sucoff (1996)
23
Shelley E. Taylor, Et al.Psikologi Sosial. (Jakarta:Penerbit Kencana Prenada Media, 2009):548.
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
11
Universitas Indonesia
yang mengungkapkan bahwa terdapat peningkatan level psychological distress di Los
Angeles dimana anak-anak yang tinggal di lingkungan tersebut memiliki multi problem
dalam memahami suasana beresiko misalnya kriminalitas, kekerasan, gangguan fasilitas,
infrastruktur yang sudah tua dan graffiti yang mempunyai relasi pada kesehatan jiwa
yang memprihatinkan sebagai outcomes; dan Crum, Lilie-Blanton, & Anthony (1996)
yang menyatakan bahwa warga yang tinggal di lingkungan yang ekstrem tidak
bermanfaat juga memberikan kontribusi kepada pengunaan narkoba dikarenakan narkoba
lebih mungkin digunakan dalam konteks tersebut.
Ford & Beveridge (2006) juga meneliti tentang lingkungan tempat tinggal yang
tidak memberi manfaat berkaitan dengan rasial, golongan penyewa yang diperkerjakan,
dan kepadatan populasi dengan pengunaan narkoba, kehadiran penjual narkoba yang
tidak terlihat yang mengarahkan kepada 3 tipe tingkat kriminalitas: penyerangan,
perampokan dan pencurian. Mereka menemukan bahwa perampokan, lingkungan yang
tidak bermanfaat, kehadiran penjual narkoba dan pengunaan narkoba berelasi pada
pengorbanan orang lain atau victimization.
Curtis (1998) menemukan bahwa dampak ekonomi global berpengaruh pada
revitalisasi ekonomi Amerika tahun 1990-an di kota New York, dimana ternyata tidak
membawa kemakmuran, keamanan dan pergerakan yang maju, malah menimbulkan
banyak pengganguran dan pegawai bergaji rendah, disertai juga kurangnya dukungan dari
pemerintah lokal dan pusat untuk menanggani kemiskinan. Kemiskinan di perkotaan
inilah yang memberi peluang bagi mereka, warga dalam kota untuk melakukan pekerjaan
di dunia narkoba, dengan mendapatkan fast money atau uang yang diperoleh secara cepat.
Sementara Maher dan Hudson (2007) juga melakukan penelitian terhadap
perempuan dengan melakukan metasintesis dengan mempelajari literature riset terhadap
36 studi tentang women in the illicit drug economy. Keduanya menemukan bahwa
terdapat stratifikasi gender pada pasar buruh dan perempuan termasuk dalam range of
economic dan sumber daya sosial termasuk diantaranya perempuan-perempuan tersebut
bekerja untuk pekerja seks, keluarga dan komunitasnya. Lalu penelitian milik Kyle C.
Longest dan Stephen Vaisey (2008) mencoba mengetahui pengaruh dari ukuran
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
12
Universitas Indonesia
tradisional control sosial, religious sosial control, dan ukuran terbaru dari probabilitas
tingkat pemuda penguna marijuana pertama. Hasilnya memperlihatkan bahwa tingkat
kereligiousan lebih dapat diprediksi dalam inisiasi ini dibandingkan ukuran keikutsertaan
dalam organisasi religius dan beberapa indikator control sosial. Ditemukan juga adanya
substansi interaksi beberapa bentuk dari religiusitas. Robert W. Fairlie (2002) meneliti
tentang kemampuan entraprenurship yang ada pada pemuda penjual narkoba dengan
mengunakan dua metode, baik kualitatif maupun kuantitatif, hasilnya menyatakan bahwa
11%-12% penjual narkoba lebih memilki kemampuan berwirausaha dengan
mempekerjakan diri sendiri dibandingkan non-penjual narkoba.
Penelitian lain yang dilakukan di luar Amerika Serikat misalnya oleh Airi-Alina
Allaste & Mikko Lagerspetz (2005) yang dilakukan selama April – Juni 2000 di Narva,
sebuah kota industry di perbatasan Northeastern Estonia. Dimana di kota ini banyak
beredar obat baik legal maupun illegal yang digunakan oleh penguna di sekolah
menengah dan para dropout, sementara baik orangtua maupun pihak sekolah tidak dapat
bertindak banyak, didukung juga dengan sikap orang dewasa di komunitasnya yang
nampaknya menerima saja masuknya barang illegal dan legal ke lingkungannya. Dari
hasil yang ditemukan bahwa sikap pemerintah memberikan hanya sedikit perhatian
terhadap masyarakat ternyata mempunyai pengaruh sehingga Narva menjadi kota
industry yang kabur batasnya antara sesuatu yang legal dan illegal. Selain di Estonia,
Philip A. Dennis (2003) meneliti kaitan antara narkoba dengan perkembangan
pembangunan di wilayah pantai Nicaragua. Denis menemukan dukungan dari penguasa
setempat maupun lingkungan agamais yang juga berperan atas terjadinya transaksi
narkoba. Narkoba juga memberi pengaruh bagi perkembangan perekonomian di wilayah
tersebut ini terlihat dari perubahan yang terjadi di sisi perumahan masyarakat yang lebih
modern dibangun atas biaya narkoba.
Sementara studi penelitian yang dilakukan di Indonesia berkaitan dengan narkoba
dan masyarakat antara lain oleh Edi H. Napitupulu dari UI yang dilakukan wilayah Pulo
Gadung yang lingkungannya pada saat itu tinggi tingkat peredaran narkobanya, penelitian
ini yang berkaitan dengan kebijakan Kapolda DKI Jakarta saat itu, Noegroho
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
13
Universitas Indonesia
Djayoesman bersama gubernur Jakarta, Sutiyoso saat itu untuk memberantas narkoba
dengan jalan apapun bersama warga misalnya dengan melakukan aksi tindakan langsung
menangkap di tempat para pengedar atau penguna narkoba dan Napitupulu
mengambarkan proses kerjasama aksi warga dengan aparat di lingkungan tersebut dalam
thesisnya. Sedangkan penelitian lain yang sudah pernah dilakukan di Kampung Ambon
Kompleks Permata, adalah penelitian milik Bambang Soetjahjo (2001) dari Kajian Ilmu
Kepolisian FH UI yang meneliti tentang perjudian sabung ayam di RT.05 wilayah ini
yang melibatkan warga dan menjadikannya sebagai mata pencaharian warga setempat
yang para peserta permainan judi sabung ayam-nya ini datang dari beragam kalangan,
bahkan kalangan militer.
Sementara penelitian ingatan kolektif dan budaya takut di lingkungan rawan
peredaran narkoba belum dilakukan di wilayah ini. Maka itu penelitian ini diharapkan
dapat memberikan gambaran tentang kehidupan di sekitar lingkungan dengan masalah
narkoba di DKI Jakarta, Indonesia pada tahun 2009-2010.
I.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana memahami budaya takut yang terjadi dalam kehidupan bertetangga dalam
ingatan yang tersisa dari peristiwa kekerasan yang pernah dialami warga penghuni
kompleks Permata dan bagaimana warga memaknainya?
I.4 Tujuan/Manfaat Penelitian
Mengapa penelitian ini mengangkat permasalahan tentang budaya takut dan
kekerasan yang terjadi di lingkungan kompleks Permata. Berdasarkan beberapa riset yang
saya temukan, kebanyakan para peneliti membahas tentang hubungan narkoba dengan
bermuara pada bidang perekonomian masyarakat, sosiologi, kajian kepolisian dan cukup
jarang yang menyinggung tentang peristiwa kekerasan yang terjadi di lingkungan
peredaran narkoba.
Jadi tujuan dari penelitian ethnography ini adalah untuk mengetahui gambaran
dari budaya takut yang terjadi dalam kehidupan bertetangga di kompleks Permata dan
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
14
Universitas Indonesia
pemaknaan oleh warga terhadap peristiwa kekerasan yang pernah mereka alami.
Kehidupan bertetangga ini baik berupa interaksi, sikap warga dan tanggapan terhadap
kehidupan bertetangga setelah terjadinya peristiwa kekerasan dalam kondisi lingkungan
tempat tinggalnya.
Manfaat penelitian ini selain secara akademis diharapkan berguna bagi mereka
yang berusaha mempelajari studi permasalahan dalam lingkungan pemukiman dan
wilayah perkotaan, juga secara praktis dapat berguna bagi badan pemerintah yang
bergerak menangani terutama permasalahan dalam lingkungan permukiman dan narkoba,
baik BNN, Departemen tertentu maupun pihak kepolisian
I.5 Kerangka Konsep
Takut dan Kekerasan
Peristiwa kekerasan seringkali menjadi pemicu dari lahirnya rasa takut. Karena
rasa takut, cemas dan insomnia menjadi hal yang biasa terjadi setelah suatu peristiwa
traumatik. Peristiwa traumatik itu sendiri dapat berupa perang, pemerkosaan, penyiksaan,
bencana alam, meninggalnya seseorang yang kita sayang dengan tiba-tiba atau serangan
teroris24. Sedangkan menurut DSM IV, sebuah buku manual tentang gangguan psikologis
yang dikeluarkan oleh American Psychiatric Association, trauma adalah
“Sebuah kejadian atau serangkaian kejadian yang mengancam atau menimbulkan
kematian atau luka yang berbahaya, atau sebuah ancaman terhadap integritas
psikologis seseorang”.25
Trauma juga didefinisikan sebagai menghadapi atau merasakan sebuah kejadian atau
serangkaian kejadian yang berbahaya baik bagi fisik maupun bagi psikologis seseorang,
yang membuatnya tidak lagi merasa aman, menjadikannya merasa tak berdaya dan peka
dalam menghadapi bahaya. Atau sebagai kejadian yang sangat luar biasa yang melebihi
24
Carole Wade & Carol Tavris. Psikologi .edisi 9. (Jakarta:Penerbit Erlangga, 2007):331.
25 Achmanto Mendatu. Pemulihan Trauma: Strategi Penyembuhan Trauma untuk Diri Sendiri, Anak, dan Orang Lain di Sekitar
Anda. (Yogyakarta: Penerbit Panduan, 2010) :16.
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
15
Universitas Indonesia
batas daya tahan psikologis kita untuk menanggungnya.26Dan peristiwa traumatik ini bisa
mengenai kepada berbagai jenis manusia dari beragam latar belakang. Dari bayi hingga
orang dewasa; berbagai orientasi seksual termasuk perempuan, laki-laki, gay, lesbi, dan
transeksual; semua kelas sosial dari kaya hingga yang miskin; semua ukuran dari yang
kurus sampai yang gemuk, semua ras, suku bangsa dan agama.27
Pada peristiwa trauma, terutama peristiwa trauma interpersonal selain juga
melibatkan seorang individu tetapi juga dengan orang-orang di dekatnya sebagai korban
atau saksi matanya. Contohnya: sakit atau cedera yang membahayakan atau kronis
misalnya diri sendiri atau orang dekat terkena kanker, patah tulang, dan sebagainya;
kekerasan dengan segala ragam bentuknya misalnya pemukulan, terror, penyiksaan,
ancaman, intimidasi, huru-hara; kekerasan seksual misalnya pemerkosaan, inses,
pelecehan; kehilangan atau kematian orang dekat; dikhianati oleh orang-orang yang
pernah dipercayai; perang, pelanggaran hak asasi dan kekerasan politik (pemaksaan oleh
pihak yang lebih berkuasa) contohnya berperang, diculik, dipenjara tanpa alasan,
diintimidasi oleh pihak yang berkuasa; kriminalitas misalnya perampokan dan
pencurian.28
Dari peristiwa trauma yang kemudian disosialisasikan dengan cara tertentu baik
oleh orang tua, guru, teman maupun tetangga di lingkungan sekitar, kelak menjadi bagian
dalam diri seseorang. Karena dengan sosialisasi pengalaman kita secara terus menerus,
frekuensi pengalaman inilah pada akhirnya akan menjadikan pengalaman itu
diinternalisasikan sebagai aspek penting dari konsep diri.29 Sedangkan sosialisasi
pengalaman, dapat diawali dengan percakapan sebagai aspek penting dalam interaksi lalu
melakukan pengungkapan diri, pengungkapan diri adalah tipe khusus dari percakapan
dimana kita berbagi informasi dan perasaan pribadi dengan orang lain (Canary, Cody, &
26
(Mendatu 2010, 16)
27 (Mendatu 2010, 20)
28 (Mendatu 2010, 22-25)
29 (Taylor et al 2009,121-122)
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
16
Universitas Indonesia
Manusov, 2003:Dindia,2002). Dalam pengungkapan diri dapat juga disertai oleh
pendeskripsian diri kita, pengungkapan opini pribadi dan perasaan terdalam—perasaan
kita pada orang lain, kesalahan kita, atau betapa bencinya kita pada pekerjaan kita. Ini
dinamakan “pengungkapan evaluative” karena berisi penilaian personal terhadap orang
lain atau situasi. Dan orang pada umumnya membuka informasi dengan tujuan antara lain
agar mendapat penerimaan sosial dan disukai orang lain, mengembangkan hubungan,
mengekspresikan diri, melakukan klarifikasi diri atau sebagai alat control sosial.30
Dalam ilmu sosiologi dikenal teori pertukaran behaviorisme, dimana sosiolog
perilaku yang memusatkan perhatian pada hubungan antara pengaruh perilaku seorang
aktor terhadap lingkungan dan dampak lingkungan terhadap perilaku aktor. Hubungan ini
adalah dasar untuk pengondisian operan (operant conditioning) atau proses belajar yang
melaluinya”perilaku diubah oleh konsekuensinya”(Baldwin dan Baldwin,1986:b). Orang
mungkin mengira perilaku berawal di masa kanak-kanak, sebagai perilaku acak.
Lingkungan tempat munculnya perilaku, entah itu berupa sosial atau fisik, dipengaruhi
oleh perilaku dan selanjutnya “bertindak” kembali dalam berbagai cara. Reaksi ini, entah
positif, negative, atau netral, mempengaruhi perilaku aktor berikutnya. Bila reaksi telah
menguntungkan aktor, perilaku yang sama mungkin akan diulang di masa depan dalam
situasi serupa. Bila reaksi menyakitkan atau menyiksa aktor maka perilaku itu kecil
kemungkinannya terjadi di masa depan. Sosiolog perilaku memusatkan perhatian pada
hubungan antara sejarah reaksi lingkungan atau akibat dan sifat perilaku kini. Mereka
mengatakan bahwa akibat masa lalu perilaku tertentu menentukan perilaku masa kini.31
Takut dalam definisi saya, yang saya dengar,rasa dan lihat dari tempat penelitian
saya adalah dimana orang-orang merasakan adanya rasa cemas terhadap lingkungannya
yang baik terlihat secara langsung maupun yang tidak terlihat secara langsung baik
melalui pernyataan akan rasa takut dengan kata-kata yang digunakan oleh informan saya
maupun dalam tindakan, seperti bahasa tubuh dan tingkah laku keseharian. Rasa cemas 30
( Taylor et al 2009,334)
31 George Ritzer, Douglas J. Goodman.Teori Sosiologi Modern. Edisi ke 6.( Jakarta: Penerbit Kencana Prenada
Media, 2007):356.
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
17
Universitas Indonesia
oleh karena takut ini berasal dari tidak hanya trauma akan peristiwa kekerasan dari
tindakan aparat yang berlaku sewenang-wenang namun juga datang dari pihak yang
terlibat dengan narkotika dan obat terlarang serta mereka yang melakukan tindakan
pemalakan.
Culture of fear atau budaya takut menurut Glassner (2009) dirasakan di Amerika
sejak naiknya angka kriminalitas yang terjadi di Amerika tahun 1990-an, pengunaan obat
bius dan marijuana yang juga naik dikalangan anak muda, angka pengangguran yang
tinggi, banyaknya penderita penyakit berbahaya seperti sakit jantung dan kanker,
ketakutan akan bakteri yang berlebihan dan peristiwa-peristiwa lainnya yang
memungkinkan warga semakin merasa takut termasuk yang didapat dari siaran berita di
media dan kebijakan dari penguasa. Bagaimana warga negara Amerika mendapat terpaan
rasa takut dari media yang datang muncul bertubi-tubi di layar televisi juga diakui oleh
Lorna Ann Knox (2004) seorang guru dan perawat ,sehingga rasa takut mempengaruhi
masyarakatnya baik pada keselamatan, kesehatan mental, emosi dan fisik manusia. Rasa
takut membentuk keputusan-keputusan dan turut menentukan kehidupan masyarakat
terutama Knox menyasar fokusnya terhadap anak-anak yang mengalami terpaan dari
berita-berita mengerikan di media tersebut.32
Ekspektasi kehidupan di Amerika yang tinggi menuntut warganya untuk
melakukan lebih banyak terhadap kehidupannya termasuk membelanjakan uang untuk
kesia-siaan demi membayar kepanikan mereka. Glassner memberi jawaban bahwa rasa
takut yang menghantui warga Amerika dan mengapa seringnya mereka menempatkan
rasa takut pada tempat yang salah, menurutnya bahwa para ahli dan jurnalis sepakat
bahwa premillenial tensions (tekanan sebelum satu abad) sebagai penyebabnya. Dimana
akhir tahun dari sebuah millennium dan awal tahun dari millennium baru memprovokasi
timbulnya kecemasan massa dan alasan yang tidak masuk akal. Premillenial tensions
kemungkinan membantu menjelaskan dari irasional koletif yang terjadi.
32
Lorna Ann Knox.Scary News: 12 Cara Membesarkan Anak yang Bahagia di Tengah Gencarnya Berita-Berita yang
Menakutkan, (Jakarta:Elex Media Komputindo, ,2004):viii-ix.
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
18
Universitas Indonesia
Beberapa bukti sejarah juga memberi bukti mendukung bahwa banyak orang
merasakan kepanikan selama berabad-abad millennium ini. Saksi dari terror kepanikan di
eropa sekitar tahun 1000 masehi hingga para penyihir yang memburu Salem di tahun
1690an. Sementara para sejarahwan Amerika memaknainya juga bahwa panik yang
setara atau besar intensitasnya terjadi pada masa lalu, seperti yang terdemontrasikan
dalam histeria anti-indian pada pertengahan tahun 1700an dan Mc Carthyism pada tahun
1950an.
Selain itu Glassner menjelaskan bahwa penjelasan yang umum terhadap hadirnya
rasa takut dimasyarakat adalah juga berdasarkan teori efek media, dan bahwa manipulasi
kata oleh media juga dapat membuat budaya takut di masyarakat, hal ini lebih mudah
alasannya dibandingkan dengan alasan hipotesa tentang millennium yang berisikan
tentang benih kebenaran. Dimana salah satunya, ketika media berperan dalam
menciptakan ketakutan dalam diri warga kota New York seperti penelitian dari Professor
Esther Madriz, dan menemukan bahwa kebanyakan responden menjawab bahwa kata ”I
saw it in the news”, banyak dijawab oleh respondennya ketika ditanyakan mengenai
ketakutan akan kriminalitas.33Dalam artikel lain, Glassner dari Departemen Sosiologi
Universitas of Southern California, Los Angeles ini menjelaskan dengan singkat tentang
rasa takut, dimana rasa takut adalah sesuatu yang dikonstruksi, misalnya melalui berita
media dan diterima oleh pembaca atau pemirsa yang mendapat terpaan dari berita media
tersebut, melalui upaya melakukan proteksi berusaha melawan pemberitaan yang hadir di
masyarakat itu.34
Glassner juga membahas bahwa pemerintah di negaranya mempunyai kendali atas
penciptaan rasa takut, ia memberi contoh ketika pemerintahan presiden Bush berlangsung
dimana pada tahun 2002 membentuk Departemen of Homeland Security (DHS) yang
menempatkan beberapa agensi federal dalam satu atap yang diciptakan untuk ”to secure
33
Barry Glassner.The Culture of Fear: Why Americans Are Afraid of The Wrong Things, (New York: Basic Books,
2009):xxi-xxviii.
34 Barry Glassner.The Construction of Fear, Qualitative Sociology Vol. 22, No. 4, (Human Sciences Press Inc.,
1999):1.
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
19
Universitas Indonesia
our country against those who would disrupt the American way of life.” Missi yang
diemban oleh DHS adalah untuk menjaga dan merespon kepada serangan teroris di
Amerika Serikat, karena menurut data yang Glassner dapat dari DHS bahwa,” today’s
terrorists can strike at any place, at any time and with virtually any weapon”. Dan oleh
DHS diciptakan grafik batangan pertama tentang code warna pemberitahuan terror yang
memberikan petunjuk kepada warga negara atas derajat resiko bahaya, yang pada saat
kapanpun dapat terjadi. Ini merupakan mekanisme yang tidak jenius, karena selain
semakin menakutkan warga negaranya, mereka selalu merasa dalam bahaya. Berdasarkan
penuturan Tom Ridge, Direktur dari DHS, setelah masa pemerintahan Bush berakhir,
menyatakan bahwa anggota senior dari administrasi telah menekannya supaya
menumbuhkan ancaman terorisme hingga ke level momen utama selama kampanye
pemilihan kembali presiden Bush.35
Namun buku Glassner mengenai Culture of Fear ini juga mendapat kritik salah
satunya oleh James E. Jasper, dalam review essaynya di jurnal Qualitative Sociology
karena dianggap riset yang dilakukan oleh Glassner bukanlah sebuah laporan penelitian
sosial walaupun memang cukup nyaman dibaca untuk khalayak pembacanya. Oleh
Jasper, buku ini dianggap terlalu naïf dengan berasumsi menyoroti media masyarakat
Amerika sebagai penyebab rasa takut, sementara Jasper melihat bahwa rasa takut yang
hadir di masyarakat tidak hanya tentang apa yang terlihat dan terdengar di media, karena
dari beberapa dekade penelitian telah diketahui pesan di media memang sudah difilter
oleh pemimpin opini local dan media memang mempunyai kemampuan untuk
menjadikan dirinya sebagai perhatian masyarakat namun tidak selamanya.
Bahwa rasa takut yang ada dalam masyarakat tidaklah sejelas apa yang
digambarkan Glassner dalam buku Culture of Fear. Ancaman ketakutan yang hilang dari
pandangan Glassner, menurut Jasper bahwa bahaya yang sebenarnya adalah apa yang
terdapat pada symbol dan perintah moral, bukan kehidupan dan cabang-cabangnya.
Jasper mengandaikan dengan gangster dan pendeta yang menderita pedofilia sebagai
35
(Glassner2009,237)
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
20
Universitas Indonesia
ancaman bagi sebagian orang di masyarakat namun tidak semua mengalami hal yang
sama. Maka itu Jasper menyarankan agar Glassner memberikan criteria yang jelas dengan
masalah takut.Namun Jasper mengakui juga bahwa Glassner memiliki kekuatan dalam
bukunya. Jasper melihat bahwa Glassner, melihat adanya penyebab structural yang lebih
dalam dari masalah yang besar dan melatih kita dengan apa yang harus kita setujui di
dalamnya.36
Berkait dengan peristiwa kekerasan yang juga ada dalam kehidupan bertetangga
di kompleks ini, menurut Mulkan dalam Suryawan (2010) kekerasan berasal dari kata
violentia yang berarti force, kekerasan. Menurut sejarahnya, kata itu berasal dari suatu
peristiwa pemukulan terhadap seorang pendeta di tahun 1303.37 Littre dalam Tadie
(2009) kekerasan didefinisikannya sebagai pengunaan kekuatan terhadap seseorang,
hukum atau terhadap kebebasan publik. Kekerasan berwujud sebagai hantaman fisik,
psikologis, pada integritas seseorang atau suatu kelompok.38 Fisher dkk (2000)
menyatakan bahwa kekerasan dapat berupa tindakan, perkataan, sikap, berbagai struktur
atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, sosial atau lingkungan,
dan/ atau menghalangi seseorang untuk meraih potensinya secara penuh.39Sedangkan
Bordieu menganggap bahwa kekerasan juga berarti berupa kekerasan simbolik yang
dilakukan melalui pengunaan bahasa, makna, system symbol mereka yang berkuasa dan
ini dipaksakan terhadap masyarakat yang ditundukkannya. Hal ini digunakan untuk
membantu menopang posisi penguasa, antara lain dengan mengaburkan apa yang mereka
kerjakan dari pandangan anggota masyarakat yang dikuasainya (Swartz: 1997:89).40
36
James E. Jasper.Fear. Qualitative Sociology,(Human Sciences Press Inc., 2000):241-244.
37I Ngurah Suryawan.Bara di Bali Utara: Genealogy Kekerasan dan Pergolakan Subaltern.(Jakarta: Penerbit Prenada Media
Group, 2000):17.
38 (Tadie 2009, 12)
39 Simon Fisher, Et al. Mengelola Konflik: Ketrampilan Strategi Untuk Bertindak, (London Zed Books British Council,
2000):4.
40 (Ritzer, Goodman2007, 526)
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
21
Universitas Indonesia
Lebih jelas lagi menurut Suryawan, secara sistematis teori kekerasan simbolik
yang diperkenalkan oleh Bourdieu terdapat dalam bagian buku Reproduction in
Education, Society and Culture(1970). Kekerasan simbolik menurut Bourdieu adalah
pemaksaan system simbolisme dan makna (misalnya kebudayaan) terhadap kelompok
atau kelas sedemikian rupa sehingga hal itu dialami sebagai sesuatu yang sah.
Legitimasinya meneguhkan relasi kekuasaan yang menyebabkan pemaksaan tersebut
berhasil. Sendirinya melalui relasi kekuasaan tersebut, memberikan kontribusi kepada
reproduksi sistematis mereka (Jenkins,2004:157).41
Bourdieu menemukan adanya semacam aturan yang tidak terucapkan dalam
setiap ranah. Aturan yang bekerja sebagai modus dari apa yang disebut Bordieu sebagai
kekerasan simbolik. Dengan konsep ini, Bourdieu ingin memperlihatkan bentuk yang
tersembunyi dalam kegiatan sehari-hari. Kekerasan simbolik adalah kekerasan dalam
bentuknya yang sangat halus, kekerasan yang dikenakan pada agen-agen sosial tanpa
mengundang resistensi; sebaliknya, malah mengundang konformitas sebab sudah
mendapat legitimasi sosial karena bentuknya yang sangat halus. Bahasa, makna dan
system simbolik para pemilik kekuasaan ditanamkan dalam benak individu lewat
mekanisme yang tersembunyi dari kesadaran (Takwin dalam Harker et al,2005:xxi-
xxii).42
Menurut Tadie (2009) konsep kekerasan bergantung secara langsung pada ruang
penerapannya yang memperlihatkan hakikat tindak kekerasan terjadi. Kekerasan tidak
dapat dipisahkan dengan sasarannya. Kekerasan terungkap sekaligus pada saat
mengambil individu atau kelompok sebagai objeknya—dalam penodongan misalnya—
dan ketika terjadi di kawasan atau daerah sesuai dengan berbagai pola pemangsaan.43
Colombijn (2005:282-283) dalam Suryawan(2010) bahwa budaya praktik kekerasan
dikategorikan menjadi 4 bagian yakni kekerasan oleh negara atau lembaga negara
41
(Suryawan2010,136)
42 (Suryawan 2010,136-137)
43 (Tadie2009,12)
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
22
Universitas Indonesia
(termasuk tentara); kekerasan oleh kelompok masyarakat (ditentukan oleh garis batas
antar desa); kekerasan oleh kelompok jagoan dan milisi; dan kekerasan oleh perorangan
yang berkumpul sementara dalam kerumunan (misalnya, penonton pertandingan
sepakbola, atau kerumunan yang mengeroyok seseorang).44
Dalam penelitian tentang kota Jakarta, Tadie (2009) mengatakan bahwa kekerasan
membentuk berbagai wilayah kekuasaan dalam kota yang dinamis sepanjang wilayah itu
dibentuk oleh ketegangan,rivalitas dan konflik. Melihat kekerasan dalam hubungan
dengan wilayah sama dengan mengakui kehadiran suatu kaitan erat antara berbagai gejala
tersebut dan struktur kota. Biasanya keadaan perang paling menonjolkan kaitan kuat itu,
ketika kota dipenuhi perseteruan antar kelompok atau rivalitas politis (B
Callas,1998;Perouse de Montclos,2000;Bulle,2001) tetapi pada masa damai pun
kaitannya sama, kekerasan juga menghasilkan dan membeberkan berbagai wilayah
perkotaan.45
Sedangkan Bourdieu menganggap lingkungan (field) sebagai suatu arena
pertarungan:”Lingkungan adalah juga lingkungan perjuangan.”(Bordieu dan
Wacquant,1992:101).Struktur lingkunganlah yang “menyiapkan dan membimbing
strategi yang digunakan penghuni posisi tertentu (secara individual atau kolektif) yang
mencoba melindungi atau meningkatkan posisi mereka untuk memaksakan prinsip
penjenjangan sosial yang paling menguntungkan bagi produk mereka sendiri” (Bourdieu,
dikutip Wacquant:1989:40). Lingkungan adalah sejenis pasar kompetisi di mana berbagai
jenis modal (ekonomi,kultur,sosial,simbolik) digunakan dan disebarkan. Lingkungan juga
adalah lingkungan politik (kekuasaan) yang sangat penting; hirarki hubungan kekuasaan
di dalam lingkungan politik membantu menata semua lingkungan yang lain.
Bourdieu menyusun tiga langkah proses untuk menganalisis lingkungan. Langkah
pertama, menggambarkan keutamaan lingkungan kekuasaan (politik) untuk menemukan
hubungan setiap lingkungan khusus dengan lingkungan politik. Langkah kedua,
44
(Suryawan 2010,16-17)
45 (Tadie 2009, 13)
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
23
Universitas Indonesia
mengambarkan struktur objektif hubungan antar berbagai posisi di dalam lingkungan
tertentu. Ketiga, analis harus mencoba menentukan ciri-ciri kebiasan agen yang
menempati berbagai tipe posisi di dalam lingkungan.
Posisi berbagai agen dalam lingkungan ditentukan oleh jumlah dan bobot relative
dari modal yang mereka miliki (Anheir,Gerhards dan Romo,1995). Bourdieu bahkan
menggunakan perbandingan kekuatan militer untuk melukiskan lingkungan,
menyebutkan sebuah arena “benteng stategis untuk dipertahankan dan diperebutkan
dalam lingkungan perjuangan”(1984a:244). Kapitallah yang memungkinkan orang untuk
mengendalikan nasibnya sendiri maupun nasib orang lain (aspek negative dari capital,
lihat Portes dan Landolt,1996). Bourdieu membahas empat tipe capital (bahasan tentang
rumusan tipe modal yang agak berbeda, yang diterapkan terhadap asal-usul negara(lihat
Bourdieu 1994). Gagasannya berasal dari lingkungan ekonomi (Guillory,2000:32) dan
arti modal ekonomi sudah jelas, modal cultural meliputi berbagai pengetahuan yang sah,
modal sosial terdiri dari hubungan sosial yang bernilai antara individu dan modal
simbolik berasal dari kehormatan dan prestise seseorang.46
Habitus dalam pemaknaan Bourdieu, adalah” struktur mental atau kognitif” yang
digunakan actor untuk menghadapi kehidupan sosial. Aktor dibekali serangkaian skema
atau pola yang diinternalisasikan yang mereka gunakan untuk merasakan, memahami,
menyadari dan menilai dunia sosial. Melalui pola-pola itulah actor memproduksi
tindakan mereka dan juga menilainya. Secara dialektika habitus adalah “Produk
internalisasi struktur” dunia sosial”.(Bourdieu, 1989:18).Habitus mencerminkan
pembagian objektif dalam struktur kelas seperti menurut umur, jenis kelamin, kelompok
dan kelas sosial. Habitus diperoleh sebagai akibat dari lamanya posisi dalam kehidupan
sosial diduduki. Jadi habitus akan berbeda-beda, tergantung pada wujud posisi seseorang
dalam kehidupan sosial; tak setiap orang sama kebiasaannya; orang yang menduduki
posisi yang sama dalam kehidupan sosial, cenderung mempunyai kebiasaan yang sama.
Dalam pengertian ini habitus dapat pula menjadi fenomena kolektif. Habitus
46
(Ritzer,Goodman 2007, 525-526)
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
24
Universitas Indonesia
memungkinkan orang memahami dunia sosial, tetapi dengan adanya banyak habitus
berarti kehidupan sosial dan strukturnya tak dapat dipaksakan seragam kepada seluruh
actor.
Habitus yang ada pada waktu tertentu merupakan hasil ciptaan kehidupan kolektif
yang berlangsung selama periode historis yang relatif panjang:”habitus, yang merupakan
produk historis, menciptakan tindakan individu dan kolektif dan karenanya sesuai dengan
pola yang ditimbulkan oleh sejarah”(Bourdieu,1977:82). Kebiasaan individu tertentu
diperoleh melalui pengalaman hidupnya dan mempunyai fungsi tertentu dalam sejarah
dunia sosial di mana kebiasaan itu terjadi. Habitus dapat bertahan lama dan dapat pula
berubah dalam arti dapat dialihkan dari satu bidang ke bidang yang lain. Tetapi, ada
kemungkinan bagi seseorang mempunyai habitus yang tak pantas, dan menderita apa
yang disebut Bourdieu sebagai hysteresis. Contohnya orang yang tidak lagi bekerja di
dalam sector agraris masyarakat prakapitalis-kapitalis tetapi bekerja di bursa efek Jakarta.
Karena kebiasaan mereka yang bekerja di sector agraris dalam masyarakat prakapitalis
tak akan mampu mengatasi dengan baik kehidupan di bursa efek.
Habitus menghasilkan, dan dihasilkan oleh, kehidupan sosial. Di satu pihak,
habitus adalah “struktur yang menstruktur” (structuring structure); artinya, habitus
adalah sebuah struktur yang menstruktur kehidupan sosial. Di lain pihak, habitus adalah
“struktur yang terstruktur”(structured structured); yakni, ia adalah struktur yang
distrukturisasi oleh dunia sosial. Dengan kata lain, Bourdieu melukiskan habitus sebagai
“dialektika internalisasi dari eksternalitas dan eskternalisasi dari internalisasi” (1977:72).
Tindakanlah yang mengantarai habitus dan kehidupan sosial. Di satu pihak
habitus diciptakan melalui praktik (tindakan); di pihak lain, habitus adalah hasil tindakan
yang diciptakan kehidupan sosial. Bourdieu mengungkapkan fungsi perantara tindakan
ketika ia mendefinisikan habitus sebagai “ sistem yang tertata dan menata kecenderungan
yang ditimbulkan oleh tindakan dan terus menerus tertuju pada…fungsi praktis”(dikutip
dalam Wacquant,1989:42; lihat juga Bourdieu,1977:72). Sementara tindakan atau praktik
cenderung membentuk habitus, habitus pada gilirannya, berfungsi sebagai penyatu dan
menghasilkan praktik/tindakan.
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
25
Universitas Indonesia
Walau habitus adalah sebuah struktur yang diinternalisasikan, yang
mengendalikan pikiran dan pilihan tindakan, namun habitus tidak menentukannya
(Myles,1999). Menurut Bourdieu, habitus semata-mata “mengusulkan” apa yang
dilakukan. Dalam menentukan pilihan, aktor menggunakan pertimbangan mendalam
berdasarkan kesadaran, meski proses pembuatan keputusan ini mencerminkan
berperannya habitus. Habitus menyediakan prinsip-prinsip yang digunakan dalam
kehidupan sosial.
Habitus berfungsi “di bawah tingkat kesadaran dan bahasa, di luar jangkuan
pengamatan dan pengendalian oleh kemauan” (Bourdieu,1984:466). Meski tak disadari
habitus ini dan cara bekerjanya, namun ia mewujudkan dirinya sendiri dalam aktivitas
kita yang sangat praktis seperti cara makan, berjalan, berbicara, dan bahkan dalam cara
membuang ingus. Kebiasaan atau habitus ini berperan sebagai struktur, tetapi orang tak
memberikan tanggapan terhadapnya atau terhadap struktur eksternal yang memengaruhi
secara mekanis. Jadi, dalam pendekatan Bourdieu, kita menghindari keeksterman sesuatu
yang baru yang tak teramalkan dan determinisme total.47
Berkaitan dengan habitus, penghuni dalam lingkungan mengunakan berbagai
strategi dan menurut Bourdieu aktor mempunyai derajat kebebasan tertentu: “Habitus tak
meniadakan peluang untuk membuat perhitungan strategis di pihak agen”(1993:5).
Tetapi, strategi tak mengacu pada “tujuan dan rencana untuk mengejar tujuan yang sudah
diperhitungkan…Tetapi mengacu pada perkembangan aktif ‘garis tindakan’ yang
diarahkan secara objektif yang menaaati aturan dan membentuk pola yang koheren dan
secara sosial dapat dipahami, meskipun tak mengikuti aturan yang ditetapkan secara
sadar atau tertuju pada tujuan yang diterapkan sebelumnya oleh seorang penyusun
strategi” (Wacquant,1999:25). Melalui strategi itulah “penghuni posisi itu berupaya
secara individual atau kolektif melindungi atau meningkatkan posisi mereka dan
berupaya memaksakan prinsip perjenjangan yang paling menguntungkan terhadap produk
47
( Ritzer, Goodman 2007, 522-524)
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
26
Universitas Indonesia
mereka sendiri. Strategi agen tergantung pada posisi mereka dalam lingkungan”
(Bourdieu dan Wacquant,1992:101).48
Dalam menekankan pentingnya habitus dan lingkungan, Bourdieu menolak untuk
memisahkan antara metodologi individualis dan metodologi menyeluruh, dan menerima
pendirian yang akhir-akhir ini disebut “relasionisme metodologis” (Ritzer dan
Gindoff,1992). Yakni, Bourdieu memusatkan perhatian pada hubungan antara habitus
dan lingkungan. Hubungan ini berperan dalam dua cara. Di satu pihak, lingkungan
mengondisikan habitus; di pihak lain, habitus menyusun lingkungan, sebagai sesuatu
yang bermakna, yang mempunyai arti dan nilai.
Bagi Bourdieu hubungan dialektika antara habitus dan lingkungan, adalah jauh
lebih penting dibandingkan keduanya. Karena habitus dan lingkungan saling menentukan
satu sama lain.
Habitus yang mantap hanya terbentuk, hanya berfungsi dan hanya sah dalam
sebuah lingkungan, dalam hubungannya dengan suatu lingkungan…habitus itu
sendiri adalah “lingkungan dari kekuatan yang ada”, sebuah situasi dinamis
dimana kekuatan hanya terjelma dalam hubungan dengan kecenderungan
tertentu. Inilah yang menyebabkan mengapa habitus yang sama mendapat makna
dan nilai yang berlawanan dalam lingkungan yang berlainan, dalam konfigurasi
yang berbeda atau dalam sector yang berlawanan dari lingkungan yang sama
(Bordieu,1984a:94)
Atau seperti yang dikatakan Bourdieu secara lebih umum:”terdapat hubungan erat
antara posisi sosial dan kecenderungan agen yang menempati posisi itu”(1984a:110). Hal
ini diluar hubungan antara habitus dan lingkungan dimana praktik, khususnya praktik
cultural, dibangun.49
Bourdieu juga menghubungkan selera dengan habitus. Selera dibentuk oleh
habitus yang berlangsung lama; bukan dibentuk oleh opini dangkal dan retorika.
48
(Ritzer, Goodman 2007,526)
49 (Ritzer, Goodman 2007,526-529)
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
27
Universitas Indonesia
Preferensi orang terhadap aspek keduniawian kultur seperti pakaian, perabot rumah
tangga atau masakan pun dibentuk oleh habitus. Bahkan habitus ini cenderung
“menempa kesatuan kelas tanpa sengaja” (Bourdieu:1984a:77). Bourdieu selanjutnya
menyatakan “selera adalah ‘tukang pencari jodoh’…dengan selera, habitus tertentu
memperkuat afinitasnya dengan habitus lain”(1984a:243). Secara dialektika jelas struktur
kelaslah yang membentuk habitus.
Perubahan selera (Bourdieu menganggap semua bidang secara temporer) adalah
akibat dari pertarungan antara kekuatan yang berlawanan, baik dalam lingkungan cultural
(misalnya pendukung mode lama versus mode baru) maupun dalam arena kelas (antara
fraksi yang dominan versus yang didominasi di dalam kelas dominan). Tetapi, inti
pertarungan terletak dalam sistem kelas dan pertarungan cultural. Misalnya, antara
seniman dan intelektual adalah cerminan pertarungan tak berkesudahan antara fraksi yang
berbeda dari kelas dominan untuk menentukan kultur seluruh dunia sosial. Pertentangan
dalam struktur kelas mengondisikan pertentangan selera dan kebiasaan. Meski Bourdieu
memberikan peran besar pada kelas sosial, ia menolak untuk mereduksi kelas sosial
semata-mata sebagai persoalan ekonomi atau hubungan produksi, tetapi memandang
kelas sosial juga ditentukan oleh habitus.50
Emosi
Bila telah dibahas sebelumnya tentang budaya takut dan kekerasan sebagai
pencetus rasa takut, maka rasa takut juga merupakan salah satu dari beberapa bentuk
emosi yang dimiliki oleh manusia, situasi dapat menimbulkan emosi yang bersifat umum
di seluruh dunia, menurut Scherer rasa takut akan mengikuti persepsi ancaman atau
disakiti.51 Dalam Wade dan Tavris (2007), emosi-emosi yang bersifat prototipe
ditunjukkan oleh kata-kata mengenai emosi yang dipelajari dengan cepat oleh anak-anak:
senang, sedih, marah dan takut. Sejalan dengan perkembangan anak, mereka memahami
perbedaan-perbedaan emosional yang bukan merupakan emosi prototype, serta bersifat
50
(Ritzer, Goodman 2007, 530)
51 (Wade, Tavris 2007,107)
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
28
Universitas Indonesia
lebih spesifik pada bahasa dan budaya mereka, seperti suka cita, depresi, bermusuhan dan
cemas. Melalui cara ini, mereka akan mengalami gradasi dan nuansa perasaan emosional
sesuai dengan yang ditekankan oleh budaya mereka.52
Antropolog, Michelle Zimbalist Rosaldo yang pernah melakukan penelitian di
Philipina terhadap headhunter suku Ilongot yang berada di wilayah yang tidak jauh dari
kota Manila. Ia berpendapat bahwa:
“ Emotions are thought somehow ‘felt’ in flushes, pulses.’Movement’ of our
livers, minds, hearts,stomachs,skin. They are embodied thoughts, thoughts seeped
with the apprehension that’I am involded’.Thought/affect thus bespeaks the
difference between a mere hearing of a child’s cry and a hearing felt-as when one
realizes that danger is involded or that the child is one’s own”53
Dalam Charon (2004) bahwa emosi berperan dalam tindakan yang diambil oleh
manusia. Menurutnya ahli sosiologi mengenali emosi sebagai suatu tindakan sosial
manusia yang penting dan telah lama diabaikan. Emosi oleh sebagian orang diperlakukan
menurutnya, sama dengan sikap kelakuan, motif dan masa lalu kita sebagai suatu sumber
dari tindakan. Konsep umum dari emosi adalah sebagai respon internal yang dimiliki
kecil atau tanpa dasar kontrol oleh pribadi dan mengarahkan kepada respon terbuka.
Walaupun emosi mempunyai elemen diatas control dan kadangkala mengarahkan
langsung kepada tindakan, emosi lebih penting mengatur dalam tindakan manusia54.
Disatu sisi emosi menurut Charon, adalah sesuatu yang biological seperti degup
jantung yang cepat contohnya, namun disisi lain emosi juga dimaknai sebagai isolasi oleh
kita, kita berikan nama padanya, kita pandu, dan kita gunakan. Manusia tidak hanya
52
(Wade, Tavris 2007, 129)
53 Michelle Z. Rosaldo.Culture Theory: Essays on Mind, Self and Emotion. Edited by Richard A Schweder and Robert A.
Levine.(Cambrige: Cambridge University Press, ,1984) :143.
54 Joel M. Charon.Symbolic Interactionism: An Introduction, An Interpretation, An Integration, ( Upper Sadle River New
Jersey:Pearson Prentice Hall, 2004) :134.
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
29
Universitas Indonesia
merespon kepada lingkungan mereka karena respon emosi internal namun juga
merasakan respon emosional.55
Diakhir bukunya Charon menyimpulkan bahwa:
“ Emotions are therefore social objects, used in situations by the active, problem
solving human being. And because they are social objects, they too are learned in
interaction with others. We learn to isolate physical changes within us, to label
them, to judge them, to manage them, to repress them, to express them, and even
to produce them.” They are learned in social relationships, initially in the
primary group of the family”( Denzin,1984,p.52). We are taught to be polite in
expressing our emotions:”I’m sorry’, ‘Thank you’,’I feel bad about your
misfortune.”Emotions “are embodied ‘self feelings’ of people,” learned from
culture (Power,1985,p.215). Emotions, motives, past, future, significant others,
reference groups, knowledge, symbols and self—all of these are social objects,
shared in interaction, used in situations by the actor to guide decision making and
action”56
Sementara itu Jerome Brunner seorang psychologist, mengatakan mengenai adanya
hubungan antara budaya dengan tindakan bahwa:
“…I am proposing is that it is culture, not biology, that shapes human life and
human mind,that gives meaning to action by situating its underlying states in an
interpretive system”57
“ … Human action or ‘agentivity’ – action directed toward goals controlled by
agents.”58
Ingatan Kolektif
55
(Charon 2004, 137)
56 (Charon 2004, 136)
57 Jerome Brunner. Act of Meaning.( Harvard University Press ):34.
58 (Brunner, 77)
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
30
Universitas Indonesia
Untuk menganalisa budaya takut yang terjadi di kompleks Permata ini saya
mengunakan ingatan kolektif milik warga yang masih teringat oleh mereka tentang apa
yang mereka rasakan dan terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di lingkungannya itu,
terutama yang terkait dengan kekerasan. Ingatan kolektif diperkenalkan oleh Maurice
Halbawach. Ia berpendapat bahwa semua memori bergantung, satu sisi dengan kelompok
dimana mereka tinggal tetapi disisi lain dengan status dalam kelompok tersebut. Untuk
mengingatnya maka diperlukan penyesuaian diri seseorang dengan pemikiran kolektif
yang berlaku. Sebagai hasilnya, Halbawach menyimpulkan bahwa tidak ada memori
individu yang murni, termasuk diantaranya memori yang hanya milik seorang individu
dan dimana individu menjadi sumber yang unik. Bagaimanapun kita seorang bukanlah
yang memberikan suatu bukti atribusi autentik pada memori milik bersama tersebut.59
Memory juga membutuhkan kehadiran orang lain bagi Ricouer. Mengikuti jejak
Halbawach, lebih jauh Ricouer berpendapat bahwa kelompok (peers) dapat membantu
individu bekerja dalam mengingat apa yang terjadi. Ricouer mengambarkan
kesimpulannya bahwa proses memori membutuhkan seorang individu dan kelompoknya.
Ricouer kemudian membagi atribusi memori dalam tiga bagian kutub yakni: bahwa hal
tersebut memang eksis, berada diantara bagian kutub memori individu dan memori
kolektif dan pada zona intermediate dimana berada pada pertukaran antara memori yang
hidup individu dengan memori public dari komunitas milik mereka. Sedangkan Candau
mengklaim bahwa memori kolektif hanya dapat hadir ketika memori individu saling
berinteraksi dan bahwa proses tak terhindarkan ini mengarahkan homogenisasi parsial
dari representasi masa lalu. Dari pandangan ini dapat dilihat bahwa memori kolektif
dapat dilihat sebagai struktur regulative dari memori individual. Mayer dan Roussiau
menambahkan, mereka menitikberatkan bahwa individu mengadopsi memori dari group
yang mana mereka tinggal di dalamnya, dimana memori individu personal akan selalu
berkaitan dengan memori impersonal dari group, memori telah melekat terbagikan dan
59
François-Xavier Lavenne, Virginie Renard, François Tollet. Fiction, Between Inner Life and Collective Memory:A Methodological
Reflection, (Belgium:The Catholic University of Louvain):2.
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
31
Universitas Indonesia
hal itu sebagai karakter sosialnya. Dan memori kolektif yang fungsinya sebagai sebuah
framework dengannya memori individu di bangun dan distrukturkan.60
Goerge Gerbner, seorang ahli komunikasi juga menunjukkan bahwa manusia juga
merupakan mahluk yang dapat menceritakan berbagai cerita dan hidup seperti cerita yang
mereka ceritakan. Pandangan yang menyatakan manusia sebagai “hewan yang bercerita”
memiliki dampak yang besar pada psikologi kognitif. Narasi yang disusun untuk
menyederhanakan kehidupan manusia dan membuat kehidupan menjadi lebih masuk
akal, memiliki pengaruh kuat terhadap rencana-rencana, memori-memori, hubungan
cinta, kebencian, ambisi dan mimpi-mimpi yang manusia miliki. Namun narasi-narasi
tersebut sangat bergantung pada memori, dan karena memori merupakan sesuatu yang
direkonstruksi dan mengalami pengeseran terus menerus sesuai tuntutan keadaan,
keyakinan dan pengalaman, apa yang kita ceritakan juga merupakan hasil interpretasi dan
imajinasi kita sendiri. Memori pada orang dewasa menunjukkan berbagai hal pada masa
kini, sebagaimana memori tersebut juga menunjukkan berbagai hal pada masa lalu.61
I.6 Metodologi Penelitian
Bentuk studi kualitatif biasanya dipergunakan untuk penelitian dikarenakan
permasalahan atau isu yang diangkat oleh peneliti butuh untuk dieksplorasi, dan
kebutuhan eksplorasi ini membutuhkan studi terhadap sekelompok orang atau populasi,
identifikasi variable yang dapat diukur dan mendengarkan suara yang tidak terdengar ke
permukaan62. Pengunaan kualitatif juga dikarenakan kebutuhan akan pemahaman akan
isu yang mendetail. Detail tersebut hanya dapat terbangun dengan cara: berbicara secara
langsung, pergi ke rumah mereka atau tempat mereka kerja dan membiarkan mereka
untuk mengatakan tentang cerita yang membebani mereka yang diharapkan oleh kita
60
(Lavenne, Virginie Renard, François Tollet, 2-3)
61 (Wade,Tavris 2007,95)
62 John W. Cresswell.Qualitative Inquiry And Research Design: Choosing Among Five Approaches, (Sage Publication , 2007):39-
40.
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
32
Universitas Indonesia
atau apa yang kita baca dari literature.63 Dalam studi kualitatif, bentuk studi
observasional dapat juga disebut studi lapangan/fieldstudies64.
Bogdan dan Taylor (dalam Moleong,2000; Kuswarno,2008) penelitian
berparadigma kualitatif merupakan pendekatan kelimuan yang diarahkan pada latar dan
individu secara holistik dan utuh. Jadi dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu
atau organisasi ke dalam variable atau hipotesis, tetapi perlu untuk memandangnya
sebagai bagian dari suatu keutuhan. Moleong kemudian melengkapi penjelasannya
mengenai metode penelitian kualitatif melalui definisi penelitian kualitatif dari Kirk dan
Miller, yang menyebutkan bahwa sebagai tradisi tertentu dalam ilmu sosial metode
penelitian kualitatif secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam
kawasannya sendiri, dan berhubungan dengan orang-orang tersebut, baik dalam
bahasannya maupun dalam peristilahannya.65
Sementara mengumpulkan informasi dimana sekelompok orang bekerja dan
tinggal ini disebut fieldwork (Wolcott,1999)66. Dan dalam studi ethnographic,
investigator mengumpulkan data gambaran dari perilaku melalui observasi, wawancara,
dokumen-dokumen dan artefak-artefak (Hammersley&Atkinson,1995;Spradley,1980)
dan melalui pengamatan dan wawancara sebagai bentuk koleksi data yang popular dalam
ethnographic.67 Menurut Creswell, dalam kualitatif dikenal 5 pendekatan antara lain:
Narative Research, Phenomenology, Grounded Theory, Etnography dan Case Study.68
63
(Cresswell 2007,40)
64 (Barkan 2006, 20)
65 Engkus Kuswarno.Etnografi Komunikasi: Suatu Pengantar dan Contoh Penelitiannya, (Bandung:Widya
Padjajaran, 2008):30-31.
66 (Cresswell 2007, 71)
67 (Cresswell2007, 131)
68 (Cresswell 2007, 78-80)
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
33
Universitas Indonesia
Berikut karakteristik penelitian kualitatif :69
1. Alamiah
Penelitian kualitatif melakukan penelitian pada latar alamiah atau suatu
konteks keutuhan. Penelitian kualitatif memfokuskan pada eksplorasi
mendalam dalam rangka menyajikan data secara detail, banyak serta
penjabaran menyeluruh, oleh karena itu sample skala kecil menjadi norma
dari penelitian ini.
Seringkali peneliti kualitatif pergi ke site penelitiannya baik ke rumah maupun
kantor dari si partisipan untuk melaksanakan penelitian. Dengan melakukan
hal tersebut untuk membangun tingkat dari detail mengenai seorang individu
atau sebuah tempat dan menjadi lebih terlibat dalam pengalaman yang actual
dari partisipan kita.70
2. Manusia sebagai alat atau instrument
Dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain
merupakan alat pengumpul data utama. Dalam pengumpulan data, peneliti
berperan serta pada situs penelitian dan mengikuti secara aktif kegiatan
kemasyarakatan. Instrument penting dalam penelitian kualitatif adalah
keterlibatan peneliti dengan objek yang diteliti.71
3. Metode kualitatif
69
Diambil dari Tesis Riezka Novia Bewinda, Strategi Public Relations Bank Pembangunan Daerah Dalam Upaya
Pembentukan Citra di Tengah Persaingan Antar Bank ( Studi Kasus PT. Bank DKI), UI 2007 hal.49-52 dan John W.
Creswell.Research Design: Qualitative, Quantitative and Mixed Methods Approaches.( Sage Publications,
2003):181-183.
70 (Cresswell 2003, 181-183)
71 Christine Daymon, Immy Holloway. Qualitative Research Methods inPublic Relations and Marketing
Communications. (Bournemouth,2001) :6.
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
34
Universitas Indonesia
Penelitian kualitatif mengunakan metode kualitatif yaitu pengamatan,
wawancara atau penelaahan dokumen. Metode kualitatif ini digunakan karena
beberapa pertimbangan. Pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih
mudah apabila berhadapan dengan kenyataan jamak. Kedua, metode ini
menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden.
Ketiga, metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan
banyak penajaman pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.
4. Analisis data secara induktif
Penelitian kualitatif menggunakan analisis data secara induktif. Alasan
pertama adalah proses induktif lebih dapat menemukan kenyataan jamak yang
terdapat dari data. Kedua, analisis induktif membuat hubungan antara peneliti
dan responden menjadi eksplisit,akuntabel. Ketiga, analisis dapat
menguraikan latar belakang secara penuh. Keempat, analisis lebih dapat
menemukan pengaruh bersama yang mempertajam hubungan-hubungan.
5. Teori dari dasar (grounded theory)
Penelitian kualitatif lebih menghendaki arah bimbingan penyusunan teori
substanstif yang berasal dari data. Penyusunan teori berasal dari bawah ke atas
yaitu sejumlah data yang banyak dikumpulkan dan yang saling berhubungan.
Analisis bukan dimaksudkan untuk menguji hipotesis namun analisis lebih
merupakan pembentukan abstraksi berdasarkan bagian-bagian yang telah
dikumpulkan, kemudian dikelompok-kelompokkan.72
6. Deskriptif
Data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-
angka. Hal itu disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif. Penelitian
72
Prof.DR. Lexy J. Moleong.Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi (Bandung: Rosdakarya, 2007):9-10.
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
35
Universitas Indonesia
kualitatif memfokuskan pada kata-kata dibanding pada angka-angka walaupun
angka-angka tersebut digunakan untuk menunjukkan frekuensi.73
7. Lebih mementingkan proses daripada hasil
Penelitian kualitatif lebih banyak mementingkan segi proses daripada hasil.
Hal ini disebabkan oleh hubungan bagian-bagian yang sedang diteliti akan
jauh lebih jelas apabila diamati dalam proses.
8. Ada batas yang ditentukan sebagai focus
Penelitian kualitatif menghendaki ditetapkan adanya batas penelitian atas
dasar focus yang timbul dalam masalah dalam penelitian. Penelitian kualitatif
berorientasi pada hubungan kegiatan, pengalaman, kepercayaan, serta nilai-
nilai dalam konteks situasi penelitian. Penelitian kualitatif menitikberatkan
pada tujuan untuk mengekplorasi berbagai macam subject dari sudut pandang
partisipan. Namun demikian adanya fokus sebagai pokok masalah penelitian
penting artinya dalam usaha menemukan batas penelitian.
9. Adanya criteria khusus untuk keabsahan data
Penelitian kualitatif mendefinisikan validitas, reliabilitas dan objektivitas
dalam versi lain dibandingkan dengan yang lazim digunakan dalam penelitian
klasik.
10. Desain yang bersifat sementara
Penelitian kualitatif menyusun desain yang secara terus menerus disesuaikan
dengan kenyataan di lapangan. Walaupun penelitian telah menetapkan topic
dan agenda, peneliti seringkali berkomitmen pada suatu topic dan seringkali
menemukan hal baru dalam penelitian.
73
(Daymon 2001,5)
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
36
Universitas Indonesia
Penelitian kualitatif dapat mengunakan berbagai multi metode yang interaktif
dan humanistic. Metode dari data dapat berkembang seiring dengan
perkembangan keterlibatan aktif oleh partisipan dan kepekaan dari partisipan
dalam studi. Peneliti kualitatif mencari keterlibatan partisipan dalam koleksi
data dan membangun rapor dan kredibilitas dengan individu dalam studi. 74
11. Hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama
Penelitian kualitatif lebih menghendaki agar pengertian dan hasil interpretasi
yang diperoleh dirundingkan dan disepakati oleh manusia yang dijadikan
sebagai sumber data.75
1. Setting dan Waktu Penelitian
Penelitian ini diawali dengan data yang didapat dari lapangan terlebih dahulu,
diambil pada bulan Juni-November 2009 bersamaan dengan penelitian Participatory
Action Research yang dilakukan guna pendekatan terhadap warga kompleks Permata
yang diselenggarakan atas kerjasama antara UI dan BNN. Kompleks Permata berada di
wilayah Kelurahan Kedaung Kaliangke, Kecamatan Cengkareng, Kotamadya Jakarta
Barat. Termasuk wilayah RW 07 dan kompleks ini terbagi dalam beberapa RT
(selanjutnya akan saya bahas dalam bab II).
Selama waktu tersebut tim UI melaksanakan observasi partisipasi dengan tinggal di
pemukiman warga setempat guna mengamati dan memahami kehidupan warga sehari-
hari, kemudian dituliskan kedalam catatan lapangan. Selain waktu Juni sampai November
2009, saya juga menyempatkan diri beberapa kali kembali ke lapangan selama awal
hingga tengah tahun 2010, untuk melakukan pemotretan lokasi dan menemui orang
warga, lurah serta kapolsek setempat.
74
(Cresswell 2003,181)
75 (Moleong 2007, 12-13)
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
37
Universitas Indonesia
Fieldwork (bekerja penelitian di lapangan) menurut Fetterman (1989) diandaikannya
sebagai jantung-nya dari research design ethnography. Di lapanganlah konsep dasar
Antropologi, metode pengumpulan data dan tekniknya, dan analisa adalah elemen
fundamental dari kegiatan ethnography. Pemilihan terhadap beberapa variasi jenis
potongan dari perlengkapan termasuk instrument manusia yang memfasilitasi pekerjaan.
Proses ini menjadi produk melalui analisa dari beberapa variasi tingkat dalam kerja
ethnography—dalam fieldnotes (catatan lapangan), memoranda, dan laporan internal,
namun kebanyakan secara dramatis dibentuk dalam laporan terbitan, artikel atau buku.76
Memulai penelitian dengan seleksi permasalahan atau topic dari yang dianggapnya
menarik maka seorang etnographer akan memilihnya lalu kemudian menjadikannya
sebagai pemandu untuk penelitiannya.77 Ketika seorang etnographer memulai
penelitiannya untuk melaksanakan fieldwork, maka ia akan melakukan survey periode
awal untuk mempelajari dari dasar kebutuhannya dari mulai mempelajari bahasa
setempat, ikatan kekerabatan, informasi sensus, data sejarah, dan struktur fungsi dasar
dari budaya yang akan dipelajarinya di lapangan.78
Untuk menciptakan fieldwork yang efektif, maka partisipasi observasi adalah
dikarakterisasikan sebagai bagian dari kebanyakan penelitian ethnography dan menjadi
hal yang krusial. Partisipasi observasi mengkombinasikan hadirnya partisipasi peneliti
dalam kehidupan masyarakat yang akan dipelajari dengan perlakuan dari jarak
professional yang memperkenankan hadirnya observasi dan perekaman data di
lapangan.79
76
David M.Fetterman.Etnography step by step, (Sage Publication,1989):12.
77 (Fetterman 1989,13)
78 (Fetterman 1989,18)
79 (Fetterman 1989,45)
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
38
Universitas Indonesia
Partisipasi observasi sama artinya dengan melakukan penyelaman di samudera
kebudayaan. Secara ideal, etnographer tinggal dan bekerja di dalam komunitas selama 6
bulan sampai setahun atau lebih, mempelajari bahasa dan melihat pola-pola kebiasaan
selama dari waktu ke waktu. Tinggal dalam jangka waktu lama membantu peneliti
menginternalisasikan kepercayaan dasar, ketakutan, harapan dan ekspektasi dari
masyarakat yang kita pelajari. Dari hal biasa, seperti berbelanja ke pasar dan mengambil
air di pancuran mengajarkan orang untuk mempergunakan waktu dan ruang, bagaimana
mereka mendeterminasikan apa yang berharga, sakral dan profan.
Prosesnya mungkin akan tidak sistematis di awal dan kadangkala tidak terkendali.
Namun, dalam masa awal tingkat dari fieldwork, biasanya etnographer mencari
pengalaman dan acara dimana mereka menjadi pusat perhatian. Partisipasi observasi
menciptakan tingkatan untuk mendapatkan teknik yang lebih baik termasuk teknik
proyektif dan pertanyaan dan menjadi semakin baik ketika pekerja lapangan mulai
memahaminya sendiri dan lebih paham lagi terhadap kebudayaan setempat. Ide dan
kebiasaan yang sebelumnya nampak kabur ketika memasuki komunitas menjadi lebih
tajam fokusnya. Partisipasi observasi juga dapat membantu mengklarifikasikan hasil yang
lebih baik instrument-instrumentnya dengan menyediakan garis dasar dari pemaknaan
dan jalan untuk masuk kembali untuk mengeksplorasi dari konteks untuk hasilnya yang
kadang tidak dapat diduga-duga.80
2. Subjek Penelitian
Sedangkan subjek dari penelitian ini adalah mereka, warga yang tinggal di
kompleks Permata. Yang kebanyakan datanya saya ambil dari warga yang tinggal di
RT.05 dan sisanya saya ambil dari beberapa orang yang tinggal di RT-RT yang lain yang
masih berada di sekitar kompleks Permata atau RW.07, juga beberapa narasumber yang
juga menangani kompleks Permata seperti tokoh-tokoh setempat, lurah Kedaung
Kaliangke dan Polsek Cengkareng.
80
(Fetterman 1989,45)
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
39
Universitas Indonesia
Untuk memasuki dunia dari subjek penelitian maka seorang ethnographer perlu
masuk kedalam seting sosial dan mengenal masyarakat serta bergabung di dalamnya.
Umumnya setingnya tidak langsung dikenali melalui jalan pendekatan yang intim.
Etnographer berpartisipasi dalam kegiatan rutinitas masyarakat yang menjadi setingnya,
mengembangkan hubungan didalam masyarakat tersebut, dan melakukan pengamatan
selama masa penelitian berlangsung. Kata partisipasi observasi seringkali dijadikan
karakteristik dari pendekatan penelitian dasar. Berikutnya etnographer menuliskan
jalannya sistematik dari apa yang ia observasi dan mempelajarinya ketika berpartisipasi
dalam kehidupan orang lain. Para peneliti selanjutnya mengakumulasikan catatan yang ia
rekam dari observasi dan pengalamannya.81
Menurut Fetterman (1989) ketika etnographer memasuki wilayah penelitian maka
ia akan melakukan beberapa hal berikut:
“ Etnographers are noted for their ability to keep an open mind about the group
or culture they are studying. However, this quality does not imply any lack of
rigor. The etnographer enters the field with open mind, not an empty head. Before
asking the first question in the field, the etnographer begins with a problem, a
theory or model, a research design, specific data collection techniques, tools for
analysis and a specific writing style.
The ethnographer also begins with biases and preconceived notions about how
people behave and what they think—as do researchers in every field. Indeed, the
choice of what problem, geographic area, or people to study is in itself biased.
Biases serve both positive and negative functions. Controlled,biases can focus
and limit the research effort. Uncontrolled, they can undermine the quality of
ethnographic research. To mitigate the negative influence of bias.
An open mind also allows the ethnographer to explore rich, untapped sources of
data not mapped out in the research design. The ethnographic study allows
multiple interpretations of reality and alternative interpretations of data
81
Robert M. Emerson, Rachel I.Fretz, Linda L.Shaw.Writing Ethnographic Fieldnotes.(University of Chicago Press,
1995):1.
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
40
Universitas Indonesia
throughtout the study. The ethnographer is both storyteller and scientist; the
closer the reader of an ethnography comes to understanding the native’s point of
view, the better the story and the better the science.”82
Pada pembahasan berikutnya Fetterman juga menyingung tentang bagaimana
seorang etnographer masuk ke lapangan. Menurut Fetterman, jalan terbaik masuk
kedalam masyarakat adalah dengan perkenalan oleh salah satu anggota masyarakat dari
komunitas mereka. Memasuki komunitas dengan pendekatan yang dingin akan
mendapatkan efek yang juga sama dinginnya dari penelitian etnografik. Anggota
komunitas akan tidak tertarik pada pribadi etnographer atau dalam pekerjaannya.
Fasilitator mungkin saja seorang kepala suku, kepala sekolah, direktur,guru,
gelandangan atau anggota gang, dan harus mempunyai beberapa kredibilitas dalam
kelompok dan diantara anggota atau teman yang berpengalaman atau asosiasi. Semakin
kuatnya ikatan diantaranya semakin baik. Kepercayaan akan kelompok menempatkan
etnographer dalam kelompoknya makin meningkat sehingga etnographer dapat memulai
penelitiannya. Etnographer akan mendapat keuntungan dari hallo effect bila mereka
diperkenalkan kepada orang yang tepat. Anggota dari kelompok akan memberikan
keuntungan dari keraguan tidak terlihat oleh kelompoknya. Selama etnographer
mendemonstrasikan bahwa mereka berhak mendapatkan kepercayaan dari kelompok.
Rekomendasi yang kuat dan perkenalan menguatkan kapasitas pekerja lapangan untuk
bekerja di komunitas dan hal ini dapat meningkatkan kualitas dari data.
Sayangnya tidak selalu seorang etnographer menemukan orang yang tepat untuk
mempekenalkan dirinya kepada masyarakat dan terpaksa harus menerima siapapun yang
bersedia membantunya. Pada kasus ini, peneliti harus memikirkan kembali bagaimana ia
masuk kedalam komunitas masyarakat tanpa asistensi misalnya berjalan diantara pasar di
lingkungan setempat, menghadiri ibadah di tempat ibadah umat beragama setempat,
menyumbangkan waktunya di sekolah, atau menampilkan hal-hal yang tidak mengancam
bagi masyarakat setempat. Bagaimanapun juga oleh Fetterman diakui bahwa keberadaan
82
(Fetterman 1989,12)
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
41
Universitas Indonesia
escort/pedamping. Bilapun terjadi tanpa pendampingan, seorang etnographer harus
menerima tantangan dari tawaran yang kurang menyenangkan dengan perkenalan yang
menyedihkan untuk masuk ke dalam komunitas tersebut.83
Bagi Fetterman menjadi etnographer berarti mencoba mempunyai perspektif yang
luas dan menyeluruh (holistic ).
“ Etnographer assume a holistic outlook in research to gain a comprehensive and
complete picture of a social group. Etnographers attempt to describe as much as
possible about culture or social group. This description might include the
group’s history, religion, politic, economy, and environment. No study can
capture an entire culture or group. The holistic orientation forces the fieldworker
to see beyond an immediate cultural scene or event in a classroom, hospital room,
city street or plush offices in Washington, D.C., New York, or Chicago. Each
scene exists within a multilayered and interrelated context.
A holistic orientation demands a great deal of time in the field to gather the many
kinds of data that together create a picture of social whole. It also requires
multiple methods and multiple hypotheses to ensure that the researcher covers all
angles. Ideally, this orientation can help the fieldworker discover the
interrelationships among the various systems and subsystems in a community or
program understudy—generally through an emphasis on the contextualization of
data”84
Dalam pencariannya, seorang etnographer mencari pola-pola dari pemikiran dan
kebiasaan dari masyarakat setempat dimana etnographer tinggal. Pola-pola adalah bentuk
dasar dari reliabitas dari ethnografik.
“ Etnographers see patterns of thought and action repeat in various situations
and with various players. Looking for patterns is a form of analisys. The
etnographer begins with a mass of undifferentiated ideas and behavior, and then
83
(Fettterman 1989,46)
84 (Fetterman 1989, 29)
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
42
Universitas Indonesia
collects pieces of information, comparing, contrasting and sorting gross
categories and minute until a discernible thought or behavior becomes
identifiable. Next the ethnographer must listen and observe, and then compare his
or her observations with this poorly defined model. Exceptions to the rule emerge,
variation on the theme are detectable. These variants help to circumscribe the
activity and clarify its meaning. The process requires further sifting and sorting to
make a match between categories. The theme or ritualistic activity finally
emerges, consisting of a collection of such matches between the model (abstracted
from reality) and the ongoing observed reality.”85
Bagi beberapa konsep etnographik mendorong penelitinya untuk melakukan
eksplorasi dalam petunjuk yang baru, dimana yang lain dapat menyakinkan bahwa data
yang didapat adalah valid dan untuk mencegah kontaminasi dari data. Orientasi non-
judgemental atau tidak menghakimi dapat membantu etnographer pada tiga tahap
terdepan. Kebanyakan, konsep ini mencegah etnographer dari membuat pandangan
terhadap nilai yang tidak biasa dan tidak sesuai dengan apa yang mereka observasi.
“ A non judgemental orientation requires the etnographer to suspend personal
valuantion of any given cultural practice. Maintaining a nonjudgemental
orientation is similar to suspending disbelief while one watches a movie or play,
or reads a book—one accepts what may be an obviously illogical or unbelievable
set of circumstances in order to allow the author to unravel a riveting story”86
Bagi Fetterman seorang etnographer seharusnya dapat memandang budaya lain
tanpa membuat penghakiman nilai tentang praktek yang tidak familiar, tetapi tidak
sepenuhnya netral. Dan kita semua adalah produk dari budaya kita sendiri. Kita memiliki
kepercayaan pribadi, bias-bias dan selera individu. Sosialisasi masuk kedalamnya.
Bagaimanapun juga seorang etnographer dapat menjaga dari apa yang menjadi bias
dengan membuat eksplisit dan mencoba memandang praktek budaya lain tanpa membagi-
85
(Fetterman 1989, 92)
86 ( Fetterman 1989,33)
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
43
Universitas Indonesia
baginya menjadi bagian-bagian. Perilaku etnosentris—dimana nilai suatu budaya dan
memiliki standard terhadap budaya lainnya, dengan asumsi bahwa yang satu lebih
superior terhadap yang lain—hal ini adalah kesalahan fatal dalam ethnography.87
3. Teknik Pengumpulan Data
Menurut Malinowski, sebagai pelopor metode etnografi mengemukakan bahwa
tujuan utama pengumpulan data dalam etnografi adalah untuk lebih mengerti masyarakat
yang sedang diteliti.88Ada beberapa cara teknik pengumpulan data dalam metode
kualitatif dapat dilakukan. Dalam Creswell (2003) disebutkan bahwa pengunaan teknik
pengumpulan data dapat dilakukan dengan:
“ Open ended observations, interviews and documents, now include a vast array
of materials, such as sounds, emails, scrapbooks, and other emerging forms…The
data collected involved text (or word) data and images (or picture) data.”89
Sedangkan menurut Lofland dan Lofland (Kuswarno, 2008) bahwa sumber data yang
utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data
tambahan, seperti dokumen dan lain-lain. Sehingga berbeda sekali dengan penelitian
kuantitatif yang datanya berupa angka-angka untuk kemudian diolah dengan statistik.90
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini mengunakan pendekatan
ethnography sehingga dapat tergambar komunitas warga Kompleks Permata melalui
pengambaran yang di ambil dari fieldnotes sayabeberapa anggota warga kompleks dalam
penelitian ini dan ditambah dengan beberapa wawancara dan penambahan dokumentasi
untuk memenuhi kebutuhan dan melengkapi apa yang saya teliti. Dokumentasi tersebut
baik berupa foto, peta, artikel berita dan lainnya.
87
(Fetterman 1989,33-34)
88 (Kuswarno 2008, 60)
89( Cresswell, 2003 hal. 181)
90 (Kuswarno 2008, 60)
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
44
Universitas Indonesia
Maksud dengan mengadakan wawancara informal saya lakukan di lapangan
seperti yang ditegaskan oleh Lincoln dan Guba (1985:266) antara lain guna wawancara
adalah: untuk mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, organisasi, perasaan, motivasi,
tuntutan, kepedulian dan lain-lain kebulatan, merekonstruksi kebulatan-kebulatan
demikian yang dialami masa lalu; memproyeksikan kebulatan-kebulatan yang diharapkan
untuk dialami pada masa yang akan datang; memverifikasi, mengubah dan memperluas
konstruksi yang dikembangkan oleh peneliti sebagai pengecekan anggota.91
Sedangkan dalam Dananjaya (2005) melakukan metode wawancara adalah
metode pengumpulan data dengan cara menanyakan sesuatu kepada responden. Caranya
adalah dengan bercakap-cakap secar tatap muka. Teknik bertanya dalam wawancara
dapat dikategorikan ke dalam dua golongan besar, yakni:
1. Wawancara berencana ( standardized interview)
Dimana sebelum terjun ke lapangan, harus menyusun dahulu suatu daftar
pertanyaan. Kepada semua responden yang telah dipilih untuk ditanya, akan
diajukan daftar pertanyaan yang seragam; dengan bahasa dan tata unit yang
seragam pula. Bila tidak demikian ada kemungkinan besar respons yang
diperoleh tidak mempunyai nilai seragam, sehingga sukar untuk
diperbandingkan satu sama lian. Wawancara berencana, dalam prakteknya,
sama dengan kuesioner yang diajukan kepada responden secara lisan.
Wawancara semacam ini banyak dipergunakan oleh peneliti psikologi.
Tujuannya adalah untuk mengukur pendapat umum. Atau peneliti sosiologi
yang mempunyai komparatif ( Koentjaraningrat,1977b:162-174). Data hasil
wawancara semacam ini termasuk metode kuantitatif.
2. Wawancara tanpa berencana ( unstandardized interview)
Seorang peneliti tidak perlu menyusun suatu daftar pertanyaan yang ketat.
Biarpun demikian, bukan berarti si peneliti tidak mempunyai pengetahuan
mengenai cara atau aturan wawancara tertentu. Bahkan ada suatu metode
91
(Moleong 2007,186)
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
45
Universitas Indonesia
wawancara tanpa rencana, yang mempunyai suatu struktur yang cukup rumit
seperti metode wawancara psikoanalisa atau wawancara untuk mengumpulkan
data pengalaman hidup individu (life history), atau metode wawancara tanpa
rencana ini dapat pula dikategorikan ke dalam dua sub golongan: (a) metode
wawancara berstruktur (structured interview atau active interview), dan (b)
metode wawancara tanpa struktur (unstructured interview) atau passive
interview (Koentjaraningrat 1977:1974).
Wawancara tanpa struktur dapat pula dibedakan secara lebih khusus lagi ke
dalam dua golongan, yakni: (1) wawancara berfokus (focused interview) dan
(2) wawancara bebas (free interview, unguided atau nondirective interview).
Wawancara yang berfokus biasanya terdiri dari pertanyaan yang tidak
mempunyai struktur tertentu. Sedangkan suatu wawancara bebas tidak
mempunyai pusat, sehingga pertanyaan dapat beralih-alih dari suatu
wawancara bebas dapat bersifat beraneka ragam (Koentjaraningrat
1977b:175).
Dari kedua golongan besar wawancara tersebut masih ada satu macam wawancara lagi
yaitu wawancara sambil lalu (casual interview). Wawancara sambil lalu ini sebenarnya
termasuk wawancara tanpa rencana tetapi bedanya ialah orang-orang yang diwawancarai
tidak diseleksi terlebih dahulu secara teliti.Mereka ditemukan secara kebetulan dan
sambil lalu di suatu tempat. Seperti di warung atau di gardu siskamling. Cara
wawancaranya dilakukan menurut keadaan, sehingga dapat berbentuk berstruktur,
berfokus maupun bebas.
Adapun dilihat dari sudut bentuk pertanyaannya, semua bentuk wawancara
tersebut di atas dapat dibagi lagi ke dalam dua golongan, ialah
1. Wawancara tertutup (Closed Interview)
Digunakan untuk menjawab dari responden dan informan yang amat terbatas
jumlahnya. Ada kalanya hanya menjawab yang berbentuk “ya” atau “tidak”
saja.
2. Wawancara terbuka ( Open Interview)
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
46
Universitas Indonesia
Sedangkan bentuk pertanyaan terbuka jawabannya tidak terbatas
(Koentjaraningrat,1977b:175-176).92
4. Metode Penelitian
Penelitian ini mengunakan pendekatan kualitatif dengan mengunakan
etnnography. Ethnography adalah suatu studi atau riset tentang perilaku masyarakat atau
konsumen yang dipelajari langsung dari habitatnya atau dari lingkungan naturalnya.93
Sedangkan oleh Koentjaraningrat, etnography berarti “pelukisan tentang bangsa-bangsa”.
Istilah ini dipakai umum di Eropa Barat untuk menyebut bahan keterangan yang
termaktub dalam karangan-karangan tentang masyarakat dan kebudayaan suku-suku
bangsa di luar Eropa, serta segala metode untuk mengumpulkan dan mengumumkan
bahan itu. Sampai sekarang istilah itu masih lazim dipakai untuk menyebut bagian dari
ilmu Antropologi yang bersifat deskritif.94 Sedangkan oleh Mulyana (2006) etnografi
sering dikaitkan dengan “hidup secara intim dan untuk waktu yang lama dengan suatu
komunitas pribumi yang diteliti yang bahasanya dikuasai peneliti”. Dari semua disiplin
yang kita kenal, antropologi-lah yang tampaknya paling sering mengunakan etnogragfi.
Beberarapa antropolog yang terkenal dengan etnografinya antara lain Bronislaw
Malinowski, Radcliffe Brown, Franz Boas, Margaret Mead dan Clifford Geertz. Tetapi
etnografer tidak mengingkari teknik penelitian kuantitatif, mereka juga sering
menggunakan hasil sensus dan prosedur statistic untuk menganalisis pola-pola atau
menentukan siapa yang menjadi sampel penelitian. Etnografer juga terkadang
menggunakan tes diagnostic, inventori kepribadian dan alat pengukuran lainnya.
92
James Dananjaya.Antropologi Psikologi: Kepribadian Individu dan Kolektif, ( Jakarta:LKBI,2005):95-96.
93 Amalia E. Maulana.Consumer Insights via Etnography.( Jakarta:Esensi,2009) :35.
94 (Koentjaraningrat 1980,22)
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
47
Universitas Indonesia
Pendeknya, etnografer akan memanfaatkan metode apapun yang membantu mereka
mencapai tujuan etnografi yang baik.95
Ciri khas penelitian lapangan etnografi adalah bersifat holistic, integrative, thick
description, dan analisis kualitatif untuk mendapatkan native’s point of view. Sehingga
teknik pengumpulan data yang utama adalah observasi partisipasi dan wawancara terbuka
serta mendalam, dalam jangka waktu yang relatif lama dan akan sangat berbeda dengan
penelitian survei.96
Oleh Emerson, Fretz dan Shaw (1995) dikatakan bahwa:
“ Etnographic field research involves the study of groups and people as they go
about their every day live.”97
Sedangkan bagi Fetterman (1989) Etnography adalah
“ The art and science of describing a group or culture. The description may be of
a small tribal group in some exotic land or a classroom in middle-class suburbia.
The task is much like the one taken on by an investigate reporter, who interviews
relevant people, reviews records, weighs the credibility of one person’s opinion
against another’s, looks for ties to special interests and organizations, and writes
the story for a corcerned public as well for professional colleagues. A key
difference between the investigate reporter and the ethnographer, however, is that
where the investigate reporter and the ethnographer, however, is that where the
journalist seeks out the unusual—the murder, the plane crash, the bank robbery—
the etnographer writes about the routine, daily lives of people. The more
predictable patterns of human thought and behavior are the focus of inquiry.”98
95
Dedy Mulyana.Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya,
(Bandung:Remaja Rosdakarya, 2006):162.
96 (Kuswarno 2008, 33)
97( Emerson,Fretz &Shaw 1995, 1)
98 (Fetterman 1989,1)
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
48
Universitas Indonesia
Ethnography dapat digunakan untuk mengambarkan bagaimana kelompok budaya
bekerja dan untuk mengeksplore kepercayaan, bahasa, kebiasaan dan isu-isu seperti
kekuasaan, perlawanan dan dominasi.99
Sedangkan menurut Spradley (2007) etnografi adalah pekerjaan mendeskripsikan
suatu kebudayaan, dengan tujuan utamanya adalah untuk memahami suatu pandangan
hidup dari sudut pandang penduduk asli, sebagaimana dikemukakan oleh Bronislaw
Malinowski, bahwa tujuan etnografi adalah “ memahami sudut pandang penduduk asli,
hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan pandangannya mengenai dunianya
(1922:25). Oleh karena itu, penelitian etnografi melibatkan aktivitas belajar mengenai
dunia orang yang telah belajar melihat, mendengar, berbicara, berpikir dan bertindak
dengan cara yang berbeda. Jadi etnografi tidak hanya mempelajari masyarakat,tetapi
lebih dari itu, etnografi belajar dari masyarakat.100
Inti dari etnografi adalah upaya untuk memperhatikan makna-makna tindakan dari
kejadian yang menimpa orang yang ingin kita pahami. Beberapa makna tersebut
terekspresikan secara langsung dalam bahasa; dan diantara makna yang diterima, banyak
yang disampaikan hanya secara tidak langsung melalui kata-kata dan perbuatan.
Sekalipun demikian, di dalam setiap masyarakat,orang tetap menggunakan system makna
yang kompleks ini untuk mengatur tingkah laku mereka, untuk memahami diri mereka
sendiri dan orang lain, serta untuk memahami dunia tempat mereka hidup. Sistem makna
ini merupakan kebudayaan mereks dan ethnography selalu mengimplikasikan teori
kebudayaan.101
Etnography dapat ditulis dalam banyak style dan banyak format. Sebuah
ethnography tipikal mengambarkan sejarah dari suatu kelompok, geografi dari suatu
wilayah, pola-pola kekerabatan, symbol-simbol, politik, system ekonomi, system edukasi
dan sosialisasinya, dan tingkat dari kontak antara target budaya dan budaya mainstream-
99
(Cresswell, 2007, Hal.70)
100 James E. Spradley.Metode Etnografi.( Jakarta: Penerbit Tiara Wacana,2007):4.
101( Spradley 2007,5)
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
49
Universitas Indonesia
nya. Etnography special mungkin fokus terhadap elemen yang spesifik dari pemuda atau
aturan yang orang penting seperti misalnya seorang kepala sekolah (Wolcott,1973).102
Ada banyak bentuk dari Etnography misalnya saja ethnography konvensional,
riwayat hidup, autoethnography, feminist ethnography, ethnographic novels, visual
ethnography baik photography maupun video dan media eletronik (Denzin, 1989a; Le
Compte, Millroy, & Preissle,1992; Pink,2001; Van Maanen,1988). 2 bentuk yang popular
dari ethnography adalah realist ethnography dan critical ethnography.103
Mengikuti penelitian ini, saya merasa perjalanan untuk bertemu dengan warga
kompleks Permata bukanlah hal yang mudah. Melalui pertemuan-pertemuan di malam
hari yang panjang dan melelahkan, diskusi yang cukup alot dengan beberapa tokoh warga
serta pihak-pihak LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang merasa khawatir dan
menolak dengan halus kehadiran tim UI di lapangan104, saya juga merasakan rasa
khawatir teman-teman UI tidak bisa hadir di lapangan, sebab memang proses penerimaan
warga terhadap tim UI juga memakan waktu yang cukup lama. Saya sendiri awalnya
sempat takut ketika membaca beberapa artikel-artikel media di internet. Gambaran
tentang kehidupan kriminalitas yang tinggi di Bronx, New York yang sering kali ada di
televisi begitu jelas terbayang di kepala. Namun inilah juga kesempatan saya untuk live in
berinteraksi dengan warga di tanah kelahiran saya Jakarta, hal itulah yang tidak
menyurutkan saya agar lekas padam menyerah menghadapi warga dengan label dari
kepolisian sebagai daerah rawan ini. Dan saya tidak ingin menyia-yiakan kesempatan ini.
Pertama kali tim UI datang ke Kompleks Permata Kedaung Kaliangke adalah di
tanggal 29 Juni 2009. Saat itu Posko Terpadu baru diresmikan oleh Bapak Prijanto,
Wakil Gubernur Jakarta. Disini saya pernah merasakan bagaimana reaksi warga atas
kedatangan orang luar disekitarnya. Setelah anak-anak perempuan menari lenso, saya
mengucapkan pada seorang ibu bahwa tariannya bagus tetapi wajah ibu tersebut tidak
102
(Fetterman 1989,22)
103 (Cresswell 2007, 69)
104 Fieldnotes Rike 13 Juli 2009
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
50
Universitas Indonesia
bergeming dan menjawab pertanyaan saya. Atau ketika seorang ibu yang berdiri
memperhatikan jalannya proses acara peresmian posko, ia menolak dikatakan sebagai
warga setempat dan mengatakan bahwa dirinya adalah warga dari kompleks luar.105 Pada
bulan juli tanggal 13, kami datang kembali ke kompleks Permata untuk menemui
beberapa tokoh warga terutama para RT setempat. Belum-belum masuk ke masyarakat,
oleh ketua RT 05 waktu itu kami ditolak secara halus namun oleh wakil ketua RW.07
bapak Jimmy Pasanea tim UI malah dipersilahkan untuk melakukan penelitian di wilayah
kompleksnya. Ada lagi yang merasa perlu adanya surat keterangan penelitian. Diskusi
berikutnya yang saya ikuti adalah di RT.05 tanggal 20 Juli 2009, dimana akhirnya kami
diperbolehkan menemui warganya. Namun terjadi lagi penolakan oleh warga, namun
diyakinkan oleh coordinator tim UI bapak Iwan Tjitradjaja, bahwa keinginan tim UI
adalah sebagai jembatan bagi warga dengan pemerintahan dalam hal ini BNN.
Akhirnya semua mencair, sedikit terbayar rasanya, ketika saya dan tim UI
diperbolehkan warga untuk tinggal di RT.05 kompleks Permata mulai malam 27 Juli
2009. Awal tinggal disana kami selalu mencoba melemparkan senyum pada warga yang
kami sapa namun didiamkan oleh warga, malah dibeberapa rumah harus kami datangi
terus menerus di kunci gembok, digongongi anjing peliharaannya, orangnya sulit ditemui
atau menolak sama sekali. Malah kami sempat juga dituduh oleh orang kurang waras
yang tinggal di kompleks sebagai pengossip. Padahal niat kami bertemu warga dan
bercakap-cakap di rumah mereka untuk tujuan mengetahui keinginan-keinginan warga.
Hampir setiap pagi saya dan rekan, Tina berkeliling untuk jalan pagi. Berkeliling
kompleks Permata. Barulah pada minggu berikutnya kami mendapatkan balasan yang
lebih ramah dari warga. Warga bisa menerima keberadaan Tim UI. Apalagi atas bantuan
tokoh-tokoh setempat dan anggota-anggota keluarga tempat kami tinggal yang memang
dikenal baik di wilayah ini.
Tetapi juga menemui warga, bukanlah hal mudah. Mereka yang terlibat dengan
narkoba menolak saya dan teman saya ketika bertamu ke rumahnya. Dengan mengatakan
105
Fieldnotes rike 29 Juni 2009
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
51
Universitas Indonesia
bahwa dirinya tidak punya permasalahan dan tidak perlu adanya kehadiran kami ke
rumahnya.
Saya sendiri sempat merasa tidak nyaman awalnya dirumah tempat saya tinggal
karena salah satu anggota keluarga rumah ini yang merokok setiap saya tidur, malam
hari. Sehingga saya yang allergi sering batuk-batuk asma malam hari. Selain itu
walaupun saya juga pernah mengalami hidup bersama anjing di rumah kakek saya, saya
senang bermain dengan anjing tetapi baru kali itu anjing masuk rumah terutama ke kamar
tidur dengan leluasa, sementara untuk sholat saya harus bersih dari anjing. Ketika posisi
peneliti di rumah penginapan lain kosong saya ikut tinggal disana, sementara untuk
meredakan asma batuk-batuk saya dan alih-alih juga bisa leluasa beribadah, sayangnya
pemilik rumah tersebut tidak setulus orang yang rumahnya saya tinggali sebelumnya,
menerima keberadaan saya ditempatnya.Walaupun si pemilik rumah adalah muslim
berpendidikan tinggi di jenjang S3, tetapi bagaimana ia bersikap membedakan saya yang
berasal dari etnis suku berbeda dengannya, apalagi ia merasa ia berasal dari kelas yang
berbeda dengan saya, serta keturunan kelas angkatan bersenjata, anak perempuan tidak
boleh pulang malam dan bagaimana ia memperlakukan saya, bahwa menurutnya peneliti
seperti saya bisa terkena toksoplasma karena sering berhadapan dengan anjing. Hal ini
membuat saya sedih, sebagai peneliti saya juga punya perasaan hati nurani. Esoknya
ketika ada kesempatan untuk pergi dari tempat itu, saya lalu kembali ke rumah
sebelumnya saja. Walau ia menyarankan saya tinggal dengan keluarga muslim, tetapi
pikir saya buat apa saya memilih-milih bila saya nantinya malah dibeda-bedakan lagi,
seperti kejadian waktu tinggal di rumahnya. Dari kejadian itu,saya melihat bahwa
tanggung jawab tugas peneliti tidak sekedar meneliti mengambil data lalu pergi, tapi
merasakan pengalaman warga di lapangan. Atau permasalahan yang harus saya hadapi
dipagi hari, ketika salah dua orang asisten peneliti diusir dari rumah penginapannya.
Terpaksa saya mendengarkan kemarahan pemilik rumah yang dicurahan kepada saya.
Selain permasalahan dengan warga semacam diatas, saya juga menghadapi
permasalahan dengan peneliti dan asisten peneliti yang berada di lapangan. Dari mulai
yang marah karena sebenarnya malu menyebut dirinya dilanda ketakutan di lingkungan
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
52
Universitas Indonesia
dengan tingkat peredaran narkoba yang tinggi, tidak memberi kesempatan saya
menjelaskan dari sudut pandang saya terhadap permasalahan yang terjadi di dalam
sebuah forum rapat hingga yang menuduh saya berat sebelah dengan maksud membela
kawannya. Buat saya dalam sebuah tim, sebelum turun ke lapangan memang
membutuhkan pelatihan manajemen konflik karena dilapanganlah muncul permasalahan
yang kadang tidak dapat diduga-duga. Bukan hanya dari masyarakat tetapi permasalahan
yang datang dari dalam tim sendiri.
Tapi saya bersyukur setelah melalui peristiwa-peristiwa di lapangan, warga
semakin bisa menerima keberadaan saya. Kami pun sempat mengadakan pesta
perpisahan kecil-kecilan di rumah tempat saya menginap. Beberapa kali datang ke lokasi
warga masih mengingat saya. Bahkan malam tahun baru 31 Desember 2009 pun saya
menginap di rumah penginapan saya ketika penelitian, dan menyaksikan kembang api
raksasa yang dibeli warga setempat yang begitu besar mekar diangkasa diantara riuh
dentuman kembang api dan music dari mulai suara Micheal Bolton hingga remix trance
untuk tripping. Saya menyaksikan juga di malam itulah biasanya hampir semua warga
berkeliling kompleksnya saling memberi selamat tahun baru baik, bahkan 2 orang warga
yang terlibat narkoba menyalami saya hari itu memberi selamat tahun baru. Pada malam
itu pemilik rumah saya juga teringat keadaan di tahun baru di masa lalu dimana setelah
selesai pesta tahun baru terjadi pengerebekan razia besar-besaran.
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
53
Universitas Indonesia
I.7 Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan
Bab ini mengambarkan latar belakang permasalahan yang saya angkat yakni tentang
budaya takut yang hadir dalam kehidupan bertetangga di lingkungan kompleks Permata
oleh ingatan yang masih tersisa dari peristiwa-peristiwa kekerasan dan transaksi narkoba.
Bab II Kompleks Permata
Bab ini mengambarkan lingkungan, riwayat pemukiman dan aktivitas tindak kekerasan,
perjudian dan transaksi narkoba di lingkungan ini.
Bab III Ingatan Warga Kompleks Permata Terhadap Kekerasan
Bab ini memberi penjelasan dan pengambaran terhadap peristiwa yang dialami warga
kompleks Permata terutama kekerasan yang pernah dialami warga kompleks Permata.
Bab IV Buah Ingatan Peristiwa Kekerasan Dalam Kehidupan Bertetangga Warga
Kompleks Permata
Bab ini mengambarkan keadaan saat penelitian berlangsung, dimana dampak dari
kekerasan yang masih membekas di hati warga kompleks Permata.
Bab V Kesimpulan
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.
Filename: chapter1.doc
Directory: F:\BUDAYA~1
Template: C:\Documents and Settings\T o m y\Application
Data\Microsoft\Templates\Normal.dotm
Title:
Subject:
Author: user
Keywords:
Comments:
Creation Date: 7/5/2010 5:25:00 PM
Change Number: 18
Last Saved On: 7/13/2010 8:04:00 AM
Last Saved By: user
Total Editing Time: 351 Minutes
Last Printed On: 7/13/2010 12:54:00 PM
As of Last Complete Printing
Number of Pages: 53
Number of Words: 15,707 (approx.)
Number of Characters: 89,533 (approx.)
Budaya takut..., Roirike Mardiana Bewinda, FISIP UI, 2010.