BAB I PENDAHULUAN - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/10438/4/bab 1.pdf · 1 BAB I...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/10438/4/bab 1.pdf · 1 BAB I...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perguruan tinggi dan pesantren adalah dua lembaga pendidikan yang
mempunyai banyak perbedaan. Perguruan tinggi mempunyai keunggulan dari
sisi rasionalitas dan eksperimentasi. Sedangkan pesantren menurut Azyumardi
Azra adalah dunia tradisional Islam yaitu dunia yang mewarisi dan memelihara
kontinuitas tradisi Islam yang dikembangkan ulama dari masa ke masa, tidak
terbatas pada periode tertentu dalam sejarah Islam.1 Fungsi dan tujuan
pendidikan tinggi menurut PP No. 17 Tahun 2010 pasal 84 yaitu;
(1) Pendidikan tinggi berfungsi mengembangkan atau membentuk
kemampuan, watak, dan kepribadian manusia melalui pelaksanaan: a.
dharma pendidikan untuk menguasai, menerapkan, dan menyebar-
luaskan nilai-nilai luhur, ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan
olahraga; b. dharma penelitian untuk menemukan, mengembangkan,
mengadopsi, dan/atau mengadaptasi nilai-nilai luhur, ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, dan olahraga; dan c. dharma pengabdian kepada
masyarakat untuk menerapkan nilai-nilai luhur, ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, dan olahraga dalam rangka pemberdayaan masyarakat.
(2) Pendidikan Tinggi bertujuan: a. membentuk insan yang: 1. beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dan
berkepribadian luhur; 2. sehat, berilmu, dan cakap; 3. kritis, kreatif,
inovatif, mandiri, percaya diri dan berjiwa wirausaha; serta 4. toleran,
peka sosial dan lingkungan, demokratis, dan bertanggung jawab. b.
menghasilkan produk-produk ilmu pengetahuan, teknologi, seni, atau
olahraga yang memberikan kemaslahatan bagi masyarakat, bangsa,
negara, umat manusia, dan lingkungan.2
1 Pengertian pesantren ini berbeda dengan pengertian salaf dalam konteks kaum salafi, di mana
definisi kaum salafi adalah mereka yang memegang paham tentang Islam pada masa awal, yaitu
periode sahabat dan tabi’in besar, yang belum dipengaruhi bid’ah dan khurafat. Karena itulah
kaum salafi di Indonesia sering menjadikan pesantren dan dunia Islam tradisional lainnya sebagai
sasaran kritik keras mereka; setidaknya karena keterkaitan lingkungan pesantren atau kyai dengan
tasawuf atau tarekat. Baca Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi menuju
Milenium Baru (Jakarta: Logos, 2002), 107. 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan, www.djpp.depkumham.go.id, 62, diakses tanggal 11 Maret 2012.
2
Fungsi dan tujuan pendidikan tinggi tersebut sejalan dengan misi
universitas yang dirumuskan oleh Ortega y Gasset seperti dikutip oleh Tilaar,
yaitu mengajar, riset, dan pengabdian masyarakat di dalam bentuk
pengembangan profesionalisme. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan
yang pesat serta terbukanya hidup bersama manusia, maka tanggung jawab
seorang ilmuwan akan mempunyai dimensi baru yaitu pengabdiannya pada
seluruh umat manusia. Sehingga universitas masa depan haruslah menjalin
“network” dengan lembaga pendidikan tinggi regional dan internasional bukan
saja karena ilmu pengetahuan yang bersifat universal, tetapi karena lapangan
kerja para ilmuwan yang bersifat global.3
Secara historis, pesantren tidak saja mengandung makna keislaman,
tetapi juga keaslian Indonesia. Seperti diungkapkan Nurcholish Madjid,
pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang memiliki watak
indigenous yang ada sejak kekuasaan Hindu-Budha dan formulasinya dapat
diketahui ketika Islam berusaha mengadaptasikan (mengislamkan)-nya.4
Sementara Zamakhsyari Dhofier5, Martin van Bruinessen
6, dan Hanun
7
3 H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21
(Magelang: Tera Indonesia, 1998), 226-227. 4 Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Mizan Paramadina,
1988), 25. Walaupun pesantren telah diakui sebagai sistem yang indigenous, asli Indonesia,
ternyata ada kemiripan dengan sistem gurukulla di India. Pada dasarnya gurukulla juga memakai
sistem pemondokan (boarding school). Gurukulla juga menjadi tempat pembelajaran kitab-kitab
suci umat Hindu sebagaimana pesantren sebagai tempat pembelajaran agama Islam. Dengan
demikian wajar bila, muncul anggapan bahwa secara historis pesantren adalah hasil rekayasa umat
Islam yang mengembangkannya dari sistem agama Jawa. Lihat Mastuhu, Dinamika Sistem
Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS, 1994), 3, lihat juga Manfred Ziemek, Pesantren dalam
Perubahan Sosial, terj. Butche B. Sundojo (Jakarta: P3M, 1986), 2. 5 Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES,
1982). 6 Martin van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat (Bandug: Pustaka, 1995), 4.
7Hanun Asrohah mengatakan bahwa sistem pendidikan pesantren memiliki ciri-ciri yang sama
dengan sistem madrasah, zawiyah dan halaqah di Timur Tengah. Baca Hanun Asrohah,
3
mengatakan bahwa pesantren merupakan model pendidikan Islam yang
diadopsi dari sistem pendidikan di Timur Tengah. Menurut Abdurrahman
Wahid, bentuk dan sifat pesantren pada waktu itu, adalah sebagai lembaga
pendidikan agama (tafaqquh fi> al-di>n), sosial keagamaan, dan penyiaran
agama, dengan corak ajarannya yang fiqih-sufistik lengkap dengan orientasi
ukhrawinya.8
Dari sini dapat disimpulkan bahwa pesantren sebagai model
pendidikan merupakan “proses adopsi” sistem pendidikan Islam di Timur
Tengah dan sekolah Hindu-Budha di Jawa. Sistem pendidikan pesantren di
samping menyerap elemen-elemen yang ada pada sistem pendidikan Islam
Timur Tengah, juga menyerap elemen-elemen sistem pendidikan dan
keagamaan Hindu-Budha. Manifestasi corak ajaran yang fiqih-sufistik
tersebut, membawa santri berprilaku sakral pada kehidupan sehari-hari dan
kepekaan yang luar biasa terhadap kejadian-kejadian yang berkaitan dengan
hukum agama yaitu halal-haram, pahala-dosa dan sebagainya, sehingga
menimbulkan pribadi yang peka terhadap hal-hal yang bersifat ukhrawi, dan
kurang peka terhadap hal-hal-yang bersifat duniawi. Misalnya, santri lebih
peka terhadap “duri yang melintang di jalan” daripada sebuah “tanah yang
longsor” yang langsung menyangkut hajat hidup orang banyak meski sikap
tersebut tidak keliru.9
Kelembagaan Pesantren Asal-Usul dan Perkembangan Pesantren di Jawa (Jakarta: Bagian
Proyek Peningkatan Informasi Penelitian dan Diklat Keagamaan, 2004), 153. 8 Abdurrahman Wahid, “Asal Usul Tradisi Keilmuan di Pesantren”, Jurnal Pesantren (Oktober-
Desember 1984), 7. 9 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS, 1994), 148-149.
4
Zamakhsyari Dhofier melukiskan gambaran peran kunci pesantren
dalam penyebaran Islam dan proses pendidikannya sebagai berikut.
Lembaga-lembaga pesantren itulah yang paling menentukan watak
keislaman dari kerajaan-kerajaan Islam, dan yang memegang peranan
paling penting bagi penyebaran Islam sampai ke pelosok-pelososk.
Dari lembaga pesantren itulah asal-usul sejumlah manuskrip tentang
pengajaran Islam di Asia Tenggara. Untuk dapat memahami sejarah
Islamisasi di wilayah ini, kita harus mempelajari lembaga-lembaga
pesantren tersebut, karena lembaga inilah yang menjadi anak panah
penyebaran Islam di wilayah ini.10
Menurut Dhofier, karena tradisi itulah pesantren memiliki langkah-
langkah positif dalam melakukan transformasi sosial budaya di tingkat dasar.11
Sejalan dengan Dhofier, Nurcholish Madjid mengatakan bahwa pesantren
memiliki ciri tersendiri yang spesifik, baik dari kyai sebagai sentral figurnya,
santri sebagai muridnya, kurikulum, tradisi, maupun masjid sebagai pusat
kegiatannya. Berbagai ciri khas inilah yang menjadikannya mampu bertahan
hingga kini, dan menjadikan diri pesantren sebagai agen of change bagi
masyarakat, walaupun banyak pendidikan formal dengan berbagai polanya
tumbuh berkembang di negeri ini.12
Pengembangan perguruan tinggi Islam pada mulanya didorong oleh
beberapa tujuan, yaitu: (1) untuk melaksanakan pengkajian dan
pengembangan ilmu-ilmu agama Islam pada tingkat yang lebih tinggi secara
sistematis dan terarah; (2) untuk melaksanakan pengembangan dan
10
Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren..., 17-18. 11
Ibid., 30. 12
Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren.....,27. Gus Dur menambahkan bahwa tiga unsur
pokok yang membangun sub kultur pesantren; pola kepemimpinan, literatur universal yang
dipelihara beberapa abad dan sistem nilainya, lihat Abdur Rahman Wahid. Bungai Rampai
Pesantren. Tt. ttp: CV. Darma Bhakti. 9.
5
peningkatan dakwah Islamiyah, dan (3) untuk melakukan reproduksi dan
kaderisasi ulama dan fungsionaris keagamaan, baik pada kalangan birokrasi
negara maupun swasta, serta lembaga-lembaga sosial, dakwah, pendidikan dan
lain sebagainya.13
Jika dilihat dari kacamata historis ini, pesantren merupakan
suatu yang urgen untuk mewujudkan kaderisasi ulama di perguruan tinggi
Islam.
Malik Fajar menggambarkan adanya perbedaan antara tradisi
pendidikan di pesantren dan perguruan tinggi, ia mengatakan bahwa pesantren
mempunyai keunggulan dari segi moralitas tetapi minus tradisi rasionalitas,
meskipun mampu melahirkan pribadi yang tangguh secara moral, tetapi lemah
secara intelektual. Sebaliknya, perguruan tinggi mempunyai keunggulan dari
sisi rasionalitas dan ditambah pengayaan di bidang skill, tetapi minus
pengayaan moral. Dalam kenyataannya pendidikan tinggi hanya menghasilkan
manusia yang cerdas tetapi kurang mempunyai kepekaan etika dan moral.14
Dengan memperhatikan implikasi dari tradisi pendidikan tersebut, maka sudah
saatnya dicarikan usaha untuk mengintegrasikana antara pesantren dan
perguruan tinggi sehingga tercipta satu kesatuan antara moralitas-rasionalitas.
Menurut Imam Suprayogo, perguruan tinggi dan pesantren sebenarnya
memiliki akar budaya yang sama, yaitu sebagai lembaga pendidikan, hanya
berbeda dalam lingkungannya. Jika perguruan tinggi dan pesantren dapat
diintegrasikan dalam konteks yang integral, maka model atau sistem
13
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi.., 170. 14
Berbicara tentang sisi kelebihan pesantren, teringat dengan pemikiran dr.Sutomo tentang
anjurannya agar asas-asas sistem pendidikan pesantren digunakan sebagai dasar pembangunan
pendidikan nasional di Indonesia. Lihat, Ahmad Barizi (ed.), Holistik Pemikiran Pendidikan A.
Malik Fadjar (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), 219-220.
6
pendidikannya akan menjadi alternatif pengembangan pendidikan tinggi di
Indonesia.15
Kemudian muncul pertanyaan, nilai-nilai apa saja yang dapat
diambil dari pesantren, kemudian dibumikan dalam tradisi pendidikan di
pergurauan tinggi?
Dalam hal ini, lembaga pesantren difungsikan untuk membangun
tradisi yang kokoh. Tradisi yang dimaksudkan disini adalah kebiasaan dan
adat istiadat yang bernuansa Islam. Misalnya, kebiasaan melakukan salat
berjama’ah, tadarrus al-Qur’an, salat malam, menghargai waktu, disiplin,
menghormati sesama kolega, menghargai ilmu sampai pada karakter atau
watak dalam melakukan pilihan-pilihan teknologi dan managemen modern
sebagai produk ilmu pengetahuan.
Berkaitan dengan hal tersebut, Bilgrami menawarkan konsep
Universitas Islam. Dia mengatakan, tujuan universitas Islam bukan sekedar
menyelenggarakan “pendidikan tinggi”, tetapi universitas Islam harus
mencetak sarjana-sarjana di bidang ilmu-ilmu keislaman dan bersedia
menyebarkan ilmu tersebut ke dalam ilmu pengetahuan modern. Di samping
itu, juga mencetak orang-orang yang mendalami ilmunya dalam berbagai
cabang ilmu pengetahuan, yaitu teknik, sosial dan budaya, serta sains.16
Pola
ini sebagai upaya untuk mengintegrasikan perguruan tinggi dengan pesantren,
sebagaimana dapat dipahami dari sejarah berdirinya Universitas Islam Al-
Azhar di Mesir yang berawal dari masjid jami’Al-Azhar. Kemudian
15
Imam Suprayogo, Hubungan antara Perguruan Tinggi dan Pesantren (Malang: Malang Press,
2007), 45. 16
Hamid Hasan Bilgrami dan Sayid Ali Asyraf, Konsep Universitas Islam, terj. Mahnun Husein
(Yogya: Tiara Wacana, t.t), 60.
7
menjelang akhir abad ke-18, masjid Al-Azhar telah berubah menjadi
universitas hebat di Mesir, karena telah memiliki staf pengajar yang terdiri
dari 50 orang guru besar. 17
Hasil penelitian Djubaidi tentang madrasah dan pesantren menemukan
bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang inklusif, sehingga
memungkinkan dirinya untuk membuka madrasah atau sekolah-sekolah
lainnya. Dengan demikian, dunia pesantren sudah tidak lagi eksklusif dan
dianggap pinggiran, tetapi justru dianggap sebagai salah satu alternatif bagi
pengembangan perguruan tinggi di masa mendatang.18
Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa, pondok pesantren merupakan
dasar dan sumber pendidikan Nasional karena sesuai dan selaras dengan jiwa
dan kepribadian bangsa Indonesia. Pada gilirannya, pesantren juga mendirikan
madrasah-madrasah. Pendirian madrasah di pesantren semakin menemukan
momentumnya semenjak KH. Ahmad Wahid Hasyim menjabat sebagai
Menteri Agama. Ia melakukan pembaharuan pendidikan Islam melalui
peraturan Menteri Agama nomor 3 tahun 1950, yang menginstruksikan
pemberian pelajaran umum di madrasah dan memberikan pelajaran agama di
sekolah negeri dan swasta.
Pesantren tidak hanya mengadopsi madrasah, tetapi juga mendirikan
sekolah-sekolah umum. Pesantren lebih membuka kelembagaan dan fasilitas-
17
Al-Azhar didirikan oleh Jendral Jauhar dari dinasti Daulah Fathimiyah di Kairo. Semua lembaga
pendidikan Islam pada saat itu, ia ditempatkan di masjid. Masjid ini diberi nama julukan salah
seorang putri Nabi, Fatimah az-Zahra. Lembaga pendidikan tersebut untuk mendidik orang-orang
yang akan menyiarkan aliran Syiah Fathimiyah, maka ia berkembang menjadi satu sistem terpadu
untuk mendidik calon-calon muballig. Baca Bilgrami, Konsep Universitas Islam......., 39-40. 18
Djubaidi dalam Marzuqi Wahid, Pesantren Masa Depan Wacana Pemberdayaan dan
Trasnformas Pesantren (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), 56.
8
fasilitas pendidikannya bagi kepentingan pendidikan umum.19
Pesantren yang
pertama mendirikan SMP dan SMA adalah pesantren Tebu Ireng Jombang.
Langkah ini kemudian diikuti oleh pesantren-pesantren lain, bahkan
belakangan pesantren berlomba-lomba mendirikan sekolah-sekolah umum
maupun perguruan tinggi untuk mengikuti tuntutan masyarakat agar santri
bisa belajar pengetahuan agama dan menguasai pengetahuan umum seperti
murid-murid di sekolah umum yang lain.20
Sebagaimana diketahui, dewasa ini hampir di setiap pesantren terdapat
jenis-jenis pendidikan: (1) pesantren yang hanya mempelajari agama dengan
kitab-kitab keagamaan klasik atau “kitab kuning” dan berbentuk non formal,
(2) madrasah, (3) sekolah umum, (4) perguruan tinggi, baik agama maupun
umum. Tiga jenis pendidikan yang terakhir ini berbentuk formal, tetapi
keempatnya hidup dalam satu kampus pesantren.
Namun pada tahun 1992-an yang terjadi sebaliknya, ada beberapa
perguruan tinggi yang mendirikan pesantren. Misalnya, Pesantren Mahasiswa
Al-Hikam Malang berdiri pada tanggal 21 Maret 1992 bertujuan
menggabungkan sisi positif perguruan tinggi dan pesantren untuk
mewujudkan generasi yang menguasai IPTEK, berbudi pekerti luhur dan
berkepribadian Indonesia.21
Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)
mendirikan pesantren mahasiswa. Program ini dilaksanakan selama 1 tahun
setiap angkatannya untuk Program Reguler, 3 tahun bagi mahasiswa Program
Double Degree, dan selama studi bagi mahasiswa kelas internasional. Materi
19
Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), 55. 20
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren......., 150. 21
http://www.al-hikam.or.id/, diakses tanggal, 12 Pebruari 2011.
9
pokoknya terdiri atas; Pendidikan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, Tahsin
al-Qur'an, Kepemimpinan, dan Soft Skills. Pembinaan aktivitas hidup meliputi
ibadah, muamalah, pembentukan kepribadian (akhlaq), dan penguasaan
ketrampilan berbahasa Arab dan Inggris.22
Tahun 1999 STAIN Malang, saat ini bernama Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim, mendirikan Ma’had Sunan Ampel Al-Aly
sebagai institusi penting di STAIN Malang. Mulai tahun 2000 STAIN
Malang mewajibkan mahasiswa semester pertama dan kedua atau satu tahun
penuh untuk belajar bahasa Arab dan Inggris intensif dari jam 14.00-20.00
WIB di Ma’had tersebut.23
Pada tahun 2005, IAIN Sunan Ampel Surabaya mendirikan Pesantren
Mahasiswa yang merupakan salah satu unit yang ada di lingkungan IAIN
Sunan Ampel. Visi pesantren ini yaitu melahirkan generasi yang Faqihu
Zama>nihi (ahli fiqh kontemporer). Program yang dikembangkan di pesantren
tersebut, yaitu memadukan sistem pendidikan yang ada di Universitas al-
Azhar Kairo Mesir dengan sistem pendidikan di Eropa.24
Universitas Maskumambang Gresik mendirikan Ma’had Aly di
lingkungan kampus pada tahun 2007, dengan mengintegrasikan antara
metode pembelajaran di ma’had dengan perguruan tinggi, bertujuan untuk
22
“Program Pesantren Mahasiswa (PESMA-UMS) (Khusus Mahasiswa Internasional)”,
http://pmb.ums.ac.id/?q=pesma, diakses tanggal 9 Maret 2011. 23
Ahmad Barizi, Holistika Pemikiran Pendidikan….., 224. 24
Profil Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2005, 4-5. Secara historis, embrio
pesantren mahasiswa telah muncul pada era 1980-an yang ditandai semangat keberagamaan
mahasiswa di beberapa kampus. Semangat religius ini dapat dipahami saat merujuk pada pengaruh
Revolusi Iran yang merasuk di beberapa negara (termasuk Indonesia). Akan tetapi, secara genetis,
embrio pesantren mahasiswa dapat ditelusuri saat pesantren mahasiswa Darul Falah di sekitar
kampus IPB Bandung pada dekade 1980-an. Rizal Mumazziq Z, “Pesantren Mahasiswa…..”,
Kompas (16-3-2006), D.
10
mencetak generasi muslim yang memiliki kompetensi dan komitmen terhadap
persoalan-persoalan umat Islam khususnya persoalan pendidikan.
Para pendiri PTAI tersebut di atas menilai bahwa lulusan PTAI adalah
calon-calon pemimpin masyarakat Indonesia ke depan dan menjadi panutan
masyarakat secara luas, utamanya di bidang keagamaan. Masyarakat tidak
akan bertanya "dia lulusan apa", tetapi yang dipahami masyarakat adalah dia
lulusan PTAI, yang notabennya ahli dalam bidang keagamaan, meskipun
sebenarnya dia sarjana biologi, matematika, dan sebagainya. Mengingat
masalah ini, maka para pendiri PTAI menilai bahwa lulusan PTAI harus
memiliki dua kemampuan yang seimbang, yaitu keagamaan dan keilmuan
professional. Untuk mematangkan aspek keilmuan dan profesionalitas,
biasanya perguruan tinggi membimbingnya lewat jalur perkuliahan di fakultas
masing-masing. Sedangkan untuk membimbing aspek keagamaan dan
spiritualitas, mereka tidak cukup waktu untuk melakukannya di bangku
kuliah. Karena itu menurut para pendiri PTAI, perlu ada sarana lain di luar
perkuliahan regular yang harus ditangani oleh PTAI untuk membimbing aspek
keagamaan dan spiritualitas mahasiswa, sehingga para pendiri PTAI
membangun Pesantren Mahasiswa/Pesantren Tinggi sebagai jalan keluarnya.
Mukti Ali menjelaskan bahwa ulama tidak pernah lahir dari lembaga
pendidikan selain pesantren. Ulama selalu lahir dari pesantren. Berangkat dari
pandangan ini, menurut Imam Suprayogo lembaga pendidikan tinggi Islam
harus diformat dalam bentuk integrasi antara perguruan tinggi dan pesantren.
11
Tradisi perguruan tinggi diharapkan bisa melahirkan sosok intelek, sedangkan
pesantren diharapkan bisa melahirkan sosok ulama.25
Menurut Abd A’la, pesantren adalah laboratorium yang berbasis
cultural, sehingga keberadaannya merupakan sesuatu keniscayaan, karena
belajar agama tanpa dibarengi dengan basis cultural itu, seperti belajar ilmu
eksak tanpa laboratorium, sehingga bagi PTAI, adanya pesantren adalah
sebuah keharusan.26
Melihat fenomena tersebut di atas, bagaimana cara
mengintegrasikan dua sistem pendidikan tersebut?
Universitas Islam Negeri Maliki Malang merupakan salah satu
Perguruan Tinggi Agama Islam yang menggunakan sistem penyelenggaraan
pendidikan tinggi integratif yaitu sistem pendidikan dan tradisi di Ma’had
Sunan Ampel Al-Aly diintegrasikan ke dalam sistem pendidikan di UIN
Maliki Malang.
UIN Malang memandang keberhasilan pendidikan mahasiswa, apabila
mereka memiliki identitas sebagai seseorang yang mempunyai: (1) ilmu
pengetahuan yang luas, (2) penglihatan yang tajam, (3) otak yang cerdas, (4)
hati yang lembut dan (5) semangat tinggi karena Allah. Untuk mencapai
keberhasilan tersebut, kegiatan kependidikan di UIN Malang, baik kurikuler,
ko-kurikuler maupun ekstra kurikuler--diintegrasikan dengan Ma’had Sunan
Ampel Al-Aly, serta diarahkan pada pemberdayaan potensi dan kegemaran
mahasiswa untuk mencapai target profil lulusan yang memiliki ciri-ciri: (1)
kemandirian, (2) siap berkompetisi dengan lulusan Perguruan Tinggi lain, (3)
25
Imam Suprayogo, Universitas Islam Unggul Refleksi Pemikiran Pengembangan Kelembagaan
dan Reformulasi Paradigma Keilmuan Islam (Malang: UIN-Malang Press, 2009), 190. 26
Abd A’la, Pembaruan Pesantren (Yogyakarta: LkiS, 2006), 15.
12
berwawasan akademik global, (4) kemampuan memimpin/sebagai penggerak
umat, (5) bertanggung jawab dalam mengembangkan agama Islam di tengah-
tengah masyarakat, (6) berjiwa besar, selalu peduli pada orang lain/gemar
berkorban untuk kemajuan bersama, dan (7) kemampuan menjadi tauladan
bagi masyarakat sekelilingnya, dan mewujudkan lembaga pendidikan tinggi
Islam yang ilmiah-religius, sekaligus sebagai bentuk penguatan terhadap
pembentukan lulusan yang “intelek-profesional yang ulama’ atau ulama’ yang
intelek-profesional”. 27
Menteri Agama RI, -pada saat itu- Maftuh Basyuni juga mengacungi
jempol terhadap UIN Malang. Ia mengatakan akan menerapkan program ke-
ma’had-an seperti yang ada di UIN Malang pada seluruh Perguruan Tinggi
Islam di Indonesia, sebagai pendukung pembelajaran mahasiswa yang berlatar
belakang Islam.28
Gaung UIN Malang memang tidak bisa dilepaskan dari
adanya Ma’had Aly, karena Ma’had Sunan Ampel Al-Aly UIN Malang yang
mempunyai lima gedung untuk mahasiswa yaitu gedung Ghazali, Farabi, Ibnu
Sina, Ibnu Khaldun dan Ibnu Ruysd, dan empat gedung untuk mahasiswi yaitu
gedung Khadijah Al-Kubra, Ummu Salamah, Asma’Binti Abubakar, dan
Fatimatuz Zahrah, dengan menerapkan program bilingual (Arab-Inggris) telah
banyak mendukung dan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap
27
Pedoman Pendidikan Universitas Islam Negeri (UIN) Malang Tahun Akademik 2006/2007,
144-145. 28
Disampaikan pada saat meresmikan Bisnis Center UIN Malang, sedangkan tahap I
pembangunan ma’had akan dilakukan pada 5 kota yaitu di UIN Jakarta, UINYogyakarta, IAIN
Surabaya, Makasar dan Medan. GEMA Media Informasi dan Kebijakan Kampus edisi 25
November- Desember 2006, hal. 7.
13
perkembangan UIN sebagai Pusat Peradaban Islam (center of Islamic
civilization) dan pusat keunggulan (center of excellence).
Berangkat dari latar belakang di atas, UIN Maliki Malang
mengintegrasikan sistem pendidikan pesantren dan perguruan tinggi menjadi
satu kesatuan, yang berbeda dengan beberapa lembaga pendidikan tinggi
lainnya, sehingga model integrasi di UIN Maliki Malang menarik untuk
diteliti dan dapat dijadikan salah satu alternatif bagi pengembangan perguruan
tinggi Islam lainnya. Sehingga bagaimana proses dan model integrasi yang
dikembangkan oleh UIN Maliki Malang dapat di publikasikan.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dalam konteks pendidikan, usaha integrasi ilmu agama dan ilmu
umum pernah dilakukan oleh M. Natsir. Dia mengatakan bahwa pendidikan
Islam yang integral tidak mengenal adanya pemisahan antara sains dan agama.
Karena penyatuan antara sistem-sistem pendidikan Islam adalah tuntutan
aqidah Islam.
Usaha Natsir untuk mengintegrasikan sistem pendidikan Islam
direalisasikan dengan mendirikan lembaga pendidikan Islam, yang menyatukan
dua kurikulum yaitu antara kurikulum sekolah tradisional yang banyak memuat
pelajaran agama dan sekolah Barat yang memuat pelajaran umum.29
Begitu juga pembaharuan sistem pendidikan Islam yang dilakukan
oleh Mukti Ali dalam usahanya memformulasikan lembaga madarasah dan
pesantren dengan cara memasukkan materi pelajaran umum ke dalam lembaga-
29
Abuddin Nata, dkk., Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2005), 149.
14
lembaga yang pendiriannya diorientasikan untuk tafaqquh fi> al-di>n.
Sebagaimana gagasan Harun Nasution dalam upayanya menghilangkan
dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum di lembaga pendidikan
tinggi Islam, khususnya IAIN Jakarta dengan cara pendekatan kelembagaan
dan kurikulum. Pendekatan kelembagaan telah merubah status IAIN Jakarta
menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) yang berimplikasi pada
pengembangan kurikulum pendidikan.
Namun pembaharuan pendidikan dengan menggunakan model
pendekatan di atas mempunyai kelemahan, yaitu; pertama, akar keilmuan yang
berbeda antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Ilmu agama bersumber
dari wahyu dan berorientasi ketuhanan, sedangkan ilmu-ilmu umum bersumber
pada empirisme dan berorientasikan kemanusiaan. Kedua, modernisasi dan
Islamisasi ilmu pengetahuan melalui kurikulum dan kelembagaan, walaupun
dilakukan dengan tujuan terciptanya integralisme dan integrasi keilmuan Islam
dan umum, sampai kapanpun akan menyisakan dikotomi keilmuan.
Implementasi pembagian kurikulum dalam lembaga pendidikan yang
dinyatakan telah melaksanakan integralisasi misalnya UIN, yang tetap
mengelompokkan mata kuliah ilmu-ilmu agama dan mata kuliah ilmu-ilmu
umum “belum” bisa mewujudkan proses Islamisasi ilmu pengetahuan.
Integralisasi yang terjadi adalah proses Islamisasi kelembagaan dan proses
Islamisasi kurikulum.30
30
Ibid., 150.
15
Setelah permasalahan teridentifikasi, guna menghindari salah tafsir
dalam kajian ini, maka perlu dibatasi masalahnya sebagai berikut:
Kajian tentang integrasi pesantren ke dalam sistem pendidikan tinggi
Islam di UIN Maliki Malang, dibatasi pada dua aspek penting yaitu
menyangkut integrasi kelembagaan dan integrasi kurikulum pendidikan UIN
dan kurikulum ma’had. Karena Ma’had Sunan Ampel Al-Aly UIN Malang
bukan sekedar sebagai pengganti tempat kos mahasiswa, melainkan
difungsikan sebagai bagian penting dari proses pendidikan yang harus dilalui
oleh semua mahasiswa UIN Maliki Malang. Posisi ma’had sangat strategis dan
utama. Karena itulah, UIN Malang memiliki rukun universitas atau arka>n al-
ja>mi’ah yang berjumlah 9 (sembilan) dengan urutan sebagai berikut. 1) Dosen,
2) Masjid, 3) Ma’had, 4) Perpustakaan, 5) Laboratorium, 6) Ruang kuliah, 7)
Perkantoran sebagai sarana pelayanan mahasiswa, 8) Pusat pengembangan seni
dan olah raga, dan 9) Sumber pendanaan yang luas dan kuat.31
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah
pada penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana model integrasi Ma’had Sunan Ampel Al-Aly ke dalam sistem
pendidikan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang?
2. Apa yang melatar belakangi integrasi Ma’had Sunan Ampel Al-Aly ke
dalam sistem pendidikan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang?
31
Imam Suprayogo, Universitas Islam Unggul...., 194.
16
D.Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mendeskripsikan model integrasi Ma’had Sunan Ampel Al-Aly ke
dalam sistem pendidikan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
2. Untuk mengetahui latar belakang integrasi Ma’had Sunan Ampel Al-Aly
ke dalam sistem pendidikan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
E. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
tidak hanya dalam tataran teoritik, tetapi juga dapat memberikan kontribusi
yang aplikatif pada tataran praktis, atau dalam bahasa Worsley disebut dengan
kegunaan secara formal dan substantif.32
Kegunaan secara formal dalam
penelitian ini dimaksudkan untuk: a) mengembangkankan konsep Mastuhu,
bahwa integrasi pesantren tidak hanya berfungsi sebagai asrama (boarding
school), tetapi juga sebagai forum dialog untuk mengembangkan ilmu. b)
melanjutkan teori Bilgrami tentang konsep universitas Islam yaitu pertama,
memiliki konsep keilmuan yang integratif antara ilmu naqliyyah dan ilmu
aqliyyah; kedua, rekonstruksi kelembagaan, yaitu menjadikan lembaga studi
ilmu-ilmu naqliyah sebagai bagian dari universitas; ketiga, pengembangan
kepribadian individu.
Sedangkan sacara substantif diharapkan penelitian ini dapat
memberikan bahan masukan berharga bagi: a) para pengambil kebijakan,
misalnya Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Kementrian Agama RI yang
32
Peter Worsley, Introducing Sociology (England: Penguin Books, 1970), 50.
17
memandang bahwa pendirian Ma’had al-Ja>mi'ah dirasa urgen bagi upaya
merealisasikan program integral yang sistematis, sejalan dengan Sistem
Pendidikan Nasional dan visi-misi Kementrian Agama Republik Indonesia. b)
para penglola PTAI, sebagai dasar lokakarya dalam mengembangkan model
integrasi pesantren ke dalam sistem pendidikan tinggi Islam. c) peneliti-peneliti
berikutnya mengenai pelaksanaan integrasi pesantren dalam sistem pendidikan
tinggi Islam, dan sebagai tawaran pemikiran tentang strategi pengembangan
kelembagaan di bawah naungan Diktis Kementrian Agama RI.
F. Penjelasan Konsep
Penjelasan konsep-konsep yang dipakai dalam penelitian ini, sesuai
dengan judul penelitian yaitu "Integrasi Pesantren ke dalam Sistem Pendidikan
Perguruan Tinggi Agama Islam (Studi di Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim Malang )". Penjelasan konsep ini bertujuan untuk membatasi
dan menghindari timbulnya penafsiran makna lain. Berikut uraian penjelasan
konsep tersebut :
1. Integrasi Pesantren
Integrasi berasal dari bahasa Inggris "integration" yang berarti
kesempurnaan atau keseluruhan. Poerwadarminto mengartikan integrasi
adalah penyatuan supaya menjadi suatu kebulatan atau menjadi utuh.33
Dalam ilmu sosial, integrasi dimaknai sebagai proses penyesuaian di antara
unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga
menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memiliki keserasian
33
W.Y.S. Poerwadarminto, Konsorsium Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), 384.
18
fungsi.34 Misalnya integrasi orang Cina ke dalam tubuh bangsa Indonesia
tanpa kehilangan identitas dan tata kehidupannya yang serba eksklusif, dan
mereka merupakan suku baru yang setingkat dengan suku Jawa, Sunda, dan
sebagainya.35 Integrasi dapat terjadi pada bidang politik, budaya, maupun
pendidikan.
Ciri khas pesantren menurut Zamakhsyari Dhofier memiliki lima
komponen yaitu; (1) kyai yang mendidik dan mengajar, (2) santri yang
belajar, (3) masjid, (4) pondok atau asrama, dan (5) pengajian kitab
kuning.36
Kyai dan pengurus Ma’had Sunan Ampel Al-Aly UIN Maliki
Malang adalah dosen-dosen UIN yang memiliki pengetahuan dan
pemahaman tentang keislaman yang bagus dan diangkat oleh Rektor.
Sedangkan santri Ma’had Sunan Ampel Al-Aly adalah mahasiswa semester
I dan II UIN Maliki Malang. Kajian kitab kuning di Ma’had Sunan Ampel
al-Aly disebut Ta’li >m al-Afka>r dengan menggunakan kitab Qa>mi’ al-
Tughya>n dan al-Tadhhi>b, dan Ta’li >m al-Qur’a>n menggunakan kitab Tafsi>r
al-Afka>m.
34
Dalam hal ini, bentuk integrasi sosial ada dua, yaitu assimilasi dan akulturasi. Assimilasi adalah
pembauran kebudayaan yang disertai dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli, contoh etnis
keturunan Tionghoa yang berada di Indonesia. Mereka datang sejak masa penjajahan Belanda di
Indonesia. Para etnis keturunan Tionghoa ini menjadi penguasa lahan ekonomi di Indonesia,
hampir semua lahan ekonomi, sebelum tahun 1998, dikuasai oleh mereka. Tapi mereka kurang
melebur dengan masyarakat asli pribumi Indonesia, akhirnya pada kerusuhan 1998, merekalah
yang menjadi sasaran utama. Setelah itu, para imigran Tionghoa ini memahami pentingnya
integrasi budaya. http://lowongankerjabaru.net/search/contoh+asimilasi+kebudayaan. Sedangkan
akulturasi yaitu penerimaan sebagian unsur-usur asing tanpa menghilangkan kebudayaan asli,
misalnya, adat Sekaten yang merupakan percampuran antara budaya Islam dengan budaya Jawa di
mana struktur dari keduanya masih dapat terlihat walaupun sudah bercampur. Lihat, Tim
Penyusun, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 7 (Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1989),189. 35
Yayasan Tunas Bangsa, Lahirnya Konsep Assimilasi (Jakarta: Gramedia, 1977), 14. 36
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren......, 82.
19
Asrama di UIN Maliki Malang disebut Ma’had Aly bukan pondok
pesantren dengan alasan agar memberi kesan bahwa lokasi itu benar-benar
dimaksudkan sebagai tempat yang memiliki nuansa pendidikan Islam bagi
mahasiswa. Penyebutan nama ma’had dan bukan asrama atau bukan pondok
pesantren memiliki maksud tersendiri. Jika disebut asrama, dikhawatirkan
melahirkan kesan bahwa bangunan itu hanya semata-mata dijadikan tempat
tinggal sebagai pengganti rumah kos mahasiswa. Juga tidak disebut pondok
pesantren, melainkan disebut Ma’had Aly. 37
Sedangkan maksud integrasi pesantren dalam penelitian ini adalah
mengintegrasikan beberapa komponen di Ma’had Sunan Ampel Al-Aly
seperti program peningkatan kompetensi akademik meliputi Ta’li>m al-
Afka>r dan Ta’li >m al-Qur’a>n sebagai prasarat untuk mengambil mata kuliah
Studi Keislaman dan prasyarat ujian komprehensif di UIN Maliki Malang,
khatm al-Qur’a>n, dan hifz} al-Qur’a>n. Program peningkatan kompetensi
kebahasaan misalnya, S}aba>h} al-Lughah sebagai pengayaan kompetensi
bahasa Arab dan Inggris bagi mahasiswa UIN Maliki Malang. Program
peningkatan kompetensi ketrampilan, dan program peningkatan kualitas dan
kuantitas ibadah seperti salat berjamaah, puasa sunnah Senin dan Kamis.
Oleh karena itu, keberadaan Ma’had Sunan Ampel Al-Aly dapat digunakan
sebagai sarana untuk mengembangkan kultur Islami di UIN Maliki Malang.
Dan secara kelembagaan maksud integrasi disini adalah memadukan
37
Tim Penyusun, Panduan Ma’had Sunan Ampel Al-Aly UIN Malik Ibrahim Malang, 2006, 5.
20
lembaga-lembaga studi naqliyyah seperti LKQS, HTQ, PKSI, dll. dalam
sistem pendidikan UIN Maliki Malang.
2. Sistem Pendidikan UIN Maliki Malang
Sistem pendidikan adalah totalitas interaksi dari seperangkat unsur-
unsur pendidikan yang bekerjasama secara terpadu dan saling melengkapi
satu sama lain menuju tercapainya tujuan pendidikan yang dicita-citakan
bersama. UIN Maliki Malang memiliki ciri khusus sebagai implikasi dari
model pengembangan keilmuannya adalah keharusan seluruh anggota
civitas akademika menguasai bahasa Arab dan bahasa Inggris. Melalui
bahasa Arab, diharapkan mereka mampu melakukan kajian Islam melalui
sumber aslinya yaitu al-Qur’an dan Hadith dan melalui bahasa Inggris
mereka diharapkan mampu mengkaji ilmu-ilmu umum dan modern, selain
sebagai piranti komunikasi global. Karena itu pula, universitas ini disebut
bilingual university. Untuk mencapai maksud tersebut, dikembangkan
ma’had di mana seluruh mahasiswa tahun pertama harus tinggal di ma’had.
Karena itu, sistem pendidikan di UIN Malang merupakan integrasi antara
tradisi universitas dan ma’had.
G. State of the Arts Kajian Terkait
Penelitian tentang pesantren, sistem pendidikan Islam, dan integrasi
sudah banyak dilakukan oleh para peneliti. Namun demikian, dari beberapa
penelitian yang dilakukan masih ada beberapa persoalan yang belum terungkap
dalam melihat persoalan yang terkait dengan integrasi pesantren dalam sistem
pendidikan tinggi Islam, misalnya belum diungkap mengenai latar belakang
21
adanya integrasi pesantren dalam sistem pendidikan tinggi Islam dan model
integrasi pesantren dalam sistem pendidikan tinggi Islam. Oleh karena itu,
penelitian yang hendak dilakukan di sini berusaha mengungkap masalah-
masalah baru yang belum diteliti dan berusaha mencari celah beberapa
penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya. Atau, kalaupun
ada sebagian yang sama, penelitian ini berusaha mengembangkan dan
memperdalam temuan lebih lanjut.
1. Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang pesantren sudah banyak mendapat perhatian dari
para ahli dengan menggunakan berbagai pendekatan. Kajian Zamakhsyari
Dhofier mengenai Tradisi Pesantren, Studi Kasus tentang Pandangan Hidup
Kyai yang mengambil obyek penelitian di pondok pesantren Tebuireng dan
pesantren kecil Tegalsari di kota Salatiga. Dengan menggunakan pendekatan
historis dan etnografis, Dhofier menjelaskan tentang tradisi pesantren, seperti
metode pembelajaran di pesantren, kitab-kitab yang dianggap mu’tabar di
pesantren, hubungan pesantren dan tarekat serta geneologi kyai dan jaringan
intelektualnya. Dhofier tidak sependapat dengan pendekatan dikotomi
tradisional modernisme yang digunakan oleh Geertz dan Deliar Noer dalam
mengkaji Islam di Jawa. Oleh karena itu, dia mempelajari pesantren dari
sudut “continuity and change” atau pola kesinambungan dan perubahan-
perubahan yang dialami oleh pondok pesantren. Temuan dalam penelitian ini
adalah para kyai mengambil sikap yang arif dalam menyelenggarakan
modernisasi lembaga-lembaga pesantren di tengah-tengah perubahan
22
masyarakat Jawa, tanpa meninggalkan aspek-aspek positif daripada sistem
pendidikan Islam tradisional.38
Karel A. Steenbrink menulis Pesantren, Madrasah, Sekolah:
Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. Penelitian kualitatif tentang pondok
pesantren, madrasah, sekolah dengan pendekatan historis ini, meninjau
perkembangan pondok pesantren dari zaman Kolonial Belanda hingga zaman
Kemerdekaan Indonesia, yaitu dari pondok pesantren murni hingga
didirikannya madrasah dan sekolah di pondok pesantren. Penelitian
Steenbrink menekankan pada proses perkembangan pembaharuan pendidikan
Islam, dengan dimasukkannya mata pelajaran umum ke dalam madrasah dan
didirikannya sekolah umum di pondok pesantren, sehingga Steenbrink
berpendapat telah terjadi dualisme dalam pendidikan Islam.39
Manfred Ziemeck menulis buku berjudul Pesantren Islamische
Building in Sozialen Wandel yang merupakan disertasinya di Universitas
Frankfrut, Jerman Barat, 1983, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dengan judul Pesantren dalam Perubahan Sosial. Buku ini tidak
hanya menguraikan pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam an
sich, tetapi juga pada peninjauan analitis tentang peran dan fungsi pondok
pesantren bagi proses pengembangan desa.40
Martin van Bruinessen menulis buku berjudul Kitab Kuning,
Pesantren dan Tarekat. Dengan menggunakan pendekatan historis, Martin
38
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Kasus tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta:
LP3ES, 1982). 39
Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern
(Jakarta: LP3ES, 1986). 40
Manfred Ziemeck, Pesantren dalam Perubahan Sosial (Jakarta: P3M, 1986).
23
mengungkapkan pesantren sebagai tempat pengajaran agama Islam,
khususnya di Jawa. Ia mengatakan bahwa munculnya pesantren ini untuk
mentransmisikan Islam tradisional, sebagaimana terdapat pada kitab-kitab
klasik yang ditulis berabad-abad yang lalu. Keilmuan Islam tradisional
sebagaimana yang dilihat Martin berkisar pada paham aqidah al-Asy’ari,
madhhab fiqh al-Syafi’i, dan ajaran akhlak tasawuf al-Ghazali. Sebagian besar
kitab yang dipelajari di pondok pesantren tradisional adalah ilmu-ilmu alat
yang berupa gramatika bahasa Arab. Dalam pembahasan lain, ia
mengungkapkan bahwa tradisi pesantren bernafaskan sufistik, karenanya
tarekat dapat hidup dan berkembang di pesantren.41
Sabarudin, meneliti tentang: Pesantren Menjawab Realitas Sosial
(Studi Liberasi Pendidikan di Ma’had Aly PP Salafiyah Syafi’iyah Situbondo).
Dia mengatakan bahwa dunia pesantren yang selama ini dianggap sebagai
dunia yang tradisional ternyata tidak seluruhnya benar. Misalnya proses
pembelajaran di Ma’had Aly PP Salafiyah Syafi’iyah Situbondo lebih
menekankan pada pemikiran kritis mahasiswanya dengan kombinasi antara
pendekatan ta’aqquli > dan ta’abbudi >, sehingga mahasiswa lebih berani dan
kontekstual dalam merespon berbagai isu-isu aktual dan kontemporer. Ada
tiga pendekatan yang digunakan dalam pembelajarannya, yaitu; pertama,
pendekatan tekstual, untuk memahami beberapa teks secara lughawiyah,
h}arfiyah, dan takbiriyah. Kedua, pendekatan kontekstual, untuk memahami
beberapa teks secara cermat dan kritis dan dititikberatkan pada maqa>s}id al-
41
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat (Bandung: Pustaka, 1995).
24
shar’iyyah. Ketiga, pendekatan kritis, melatih diri untuk melihat beberapa
karya para imam mujtahid dengan komparasi kitab-kitab klasik dan referensi
kontemporer. Sedangkan metode pembelajaran yang digunakan adalah;
diskusi, munadlarah, penugasan, dan kajian kitab.42
Marzuki Wahid, meneliti tentang Ma’had Aly: Nestapa
Tradisionalisme dan Tradisi Akademik yang Hilang. Dia mengatakan bahwa
kemunculan ma’had aly merupakan barang langka, karena tidak semua
pondok pesantren mampu membuka dan menyelenggarakan pendidikan
ma’had aly. Dia mengklasifikasikan pengertian ma’had aly menjadi dua, yaitu
pengertian institusional dan substansial. Ma’had aly institusional disebut
apabila secara kelembagaan organisasional dan administratif memang
terdapat suatu penyelenggaraan pendidikan tingkat tinggi yang berbasis pada
tradisi intelektual dan keilmuan pesantren, seperti ma’had aly Salafiyyah
Syafiiyah Situbondo, ma’had aly al-Hikmah Sirampog Brebes, dll. Kemudian
apabila tidak ditemukan kerangka kelembagaan dan organisasi-adminiatratif
yang secara khusus menangani sistem penyelengaraan ini, sebagaimana
umumnya pondok pesantren, tetapi dalam praktek terus menerus dilaksanakan
dan terselenggarakan, bahkan menjadi denyut nadi perkembangan
pendidikannya, disebut ma’had aly substansial, seperti pondok pesantren
Lirboyo, Kediri, pondok pesanren Maslakul Huda Kajen Pati, pondok
pesantren Sidogiri Pasuruan, dll.43
42
Sabaruddin, “Pesantren Menjawab Realitas Sosial (Studi Liberasi Pendidikan di Ma’had Ali PP
Salafiyah Syafi’iyah Situbondo)”, Jurnal Aplikasia, Vol. VII. No. 1 (Juni 2006), 70-87. 43
Marzuki Wahid, “ Ma’had Aly: Nestapa Tradisionalisme dan Tradisi Akademik yang Hilang”,
Jurnal Istiqro’, Vol. 04, No. 01 (2006), 96-107.
25
Mastuhu menulis Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu
Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren. Ia menyatakan
bahwa pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan Islam di Indonesia
yang bersifat tradisional untuk mendalami ilmu agama Islam dan
mengamalkannya, atau sering disebut tafaqquh fi > al-di>n. Penelitian kualitatif
yang menggunakan metode grounded research ini menyimpulkan adanya
beberapa butir positif, butir negatif dan butir plus-minus dari sistem
pendidikan pesantren. Menurut Mastuhu yang termasuk butir positif dari
sistem pesantren yang perlu dikembangkan, antara lain; 1) tugas pendidikan
adalah untuk mengembangkan daya-daya posistif dan mencegah timbulnya
daya-daya negatif; 2) lembaga pendidikan pesantren di pandang sebagai
tempat mencari ilmu dan mengabdi, bukan tempat mencari kelas dan ijazah.
Butir-butir negatif pesantren yang tidak perlu dikembangkan antara lain; 1)
pandangan bahwa ilmu adalah sudah mapan dan dapat diperoleh melalui
berkah kyai; 2) apa-apa yang diajarkan oleh kyai, ustadh, kitab-kitab agama
diterima sebagai kebenaran. Sedangkan butir-butir plus-minus adalah butir-
butir yang perlu dikembangkan dari sistem pendidikan pesantren tradisional,
tetapi perlu penyempurnaan, seperti; 1) sistem asrama, yang harus bisa
berfungsi sebagai forum dialog untuk mengembangkan ilmu; 2) metode
halaqah dikembangkan menjadi sarana untuk mengembangkan kepribadian
intelektual, bukan hanya untuk menghafal; 3) jenis kepemimpinan kharismatik
26
perlu dilengkapi dengan kepemimpinan rasional agar lebih mampu
menghadapi zaman.44
Ridlwan Nasir menulis Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal
Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan, mengkaji dinamika sistem
pendidikan meliputi: model pendidikan pesantren, model pendidikan
madrasah, dan model pendidikan sekolah umum, dan mengambil obyek
penelitian pada beberapa pondok pesantren di kabupaten Jombang Jawa
Timur. Kemudian ketiga model tersebut dibandingkan, dan Ridlwan Nasir
telah menemukan format atau model pendidikan pesantren yang ideal untuk
membentuk kepribadian santri.45
Sembodo Ardi Widodo meneliti tentang Pendidikan Islam Pesantren
(Studi Komparatif Struktur Keilmuan Kitab Kuning dan Implementasinya di
Pondok Pesantren Tebuireng Jombang dan Mualimin Muhammadiyah
Yogyakarta), menggunakan teori strukturalisme Piaget dan teori al-Jabiri yaitu
episteme baya>ni>, irfa>ni> dan burha>ni>. Dia mengungkapkan jaringan sistem
nalar atau struktur keilmuan yang ada dalam kitab kuning yang diajarkan di
kedua pesantren tersebut. Dia menyimpulkan bahwa metode pengajaran kitab
kuning di Tebuireng bersifat operatif, metode yang digunakan yaitu ceramah,
tanya jawab dan hafalan di madrasah; bandongan dan sorogan dalam
pengajian-pengajian kitab; dan diskusi. Sementara metode pengajaran di
Muallimin hanya satu jalur yaitu pengajaran di kelas yaitu metode ceramah,
44
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem
Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS, 1994). 45
Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal Pondok Pesantren di Tengah Arus
Perubahan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005).
27
tanya jawab dan hafalan, dan tidak ada jalur pengembangan pengajian kitab
muqarra >r, sehingga pengajarannya cenderung bersifat figuratif.46
H. A. Masjkur Anhari mengkaji Integrasi Sekolah ke dalam Sistem
Pendidikan Pesantren (Studi Kasus di Pesantren Darul Ulmum Jombang
Jawa Timur). Dia menyatakan bahwa integrasi dilakukan sebagai upaya
perubahan atau pembaruan, agar pesantren tetap eksis dalam menghadapi
dunia modern dan khususnya menampung dinamika umat Islam. Pelaksanaan
integrasi ada tiga macam yaitu: 1) integrasi kelembagaan, 2) integrasi pelaku
pendidikan, dan 3) integrasi pelaksanaan pembelajaran. Sedangkan integrasi
sekolah ke dalam sistem pendidikan pesantren di pesantren Darul Ulum
Jombang dilaksanakan dalam dua bentuk yaitu bentuk pendidikan formal di
sekolah mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi, dan bentuk non formal
yaitu pengajian dan belajar bersama di bawah pengawasan guru di asrama.47
Rasmiyanto mengkaji Pembaharuan Pendidikan Tinggi Islam (Studi
Tentang Perubahan Konsep, Institusi dan Budaya Pendidikan di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan UIN Malang), menggunakan metode deskriptif
kualitatif. Penelitian tersebut difokuskan pada perubahan IAIN/STAIN
menjadi UIN dalam perspektif perubahan konseptual, perubahan institusional,
dan perubahan budaya pendidikan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan: 1)
perubahan konsep menjadi UIN untuk mewujudkan integrasi ilmu agama dan
ilmu umum. UIN Jakarta menggunakan paradigma integrasi dari Ian G.
46
Sembodo Ardi Widodo, “Pendidikan Islam Pesantren (Studi Komparatif Struktur Keilmuan
Kitab Kuning dan Implementasinya di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang dan Mualimin
Muhammadiyah Yogyakarta)” (Disertasi-- UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2005) 47
H.A.Masjkur Anhari, “Integrasi Sekolah ke Dalam Sistem Pendidikan Pesantren (Studi Kasus di
Pesantren Darul Ulmum Jombang Jawa Timur)” (Disertasi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2007)
28
Barbour, sementara UIN Malang menggunakan pendekatan Imam Ghazali
yang mengklasifikasikan ilmu menjadi fard }u `ain dan kifa>yah dengan metode
“takwil” yang diambil dari ilmu-ilmu sosial. 2) konsep institusi harus berubah
dari institut atau sekolah tinggi menjadi universitas untuk menampung
universalitas ilmu dalam Islam yang tidak mengenal dikhotomi ilmu. 3)
budaya pendidikan yang dikembangkan juga disesuaikan dengan budaya
universitas, baik melalui riset-riset, publikasi hasil penelitian dan lain-lain.48
Moh. Padil mengkaji Tarbiyah Uli al-Ba>b: Ideologi Pendidikan Islam
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, menggunakan
metode deskriptif kualitatif. Penelitian tersebut difokuskan pada pembentukan
Tarbiyah Uli al-Ba>b sebagai ideologi pendidikan di UIN Maliki Malang. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan: Pertama, gerakan Tarbiyah Uli al-Ba>b di
UIN Maliki Malang sebagai model pengembangan Perguruan Tinggi Islam
telah membawa perubahan signifikan yaitu 1) alih status dari STAIN menjadi
UIN; 2) terbentuknya landasan manajemen pengelolaan universitas yang
disebut Arka>n al-Ja>mi’ah; 3) sistem Perguruan Tinggi Islam integratif antara
sistem pendidikan ma’had dan sistem pendidikan UIN; 4) lahirnya
kepemimpinan Tarbiyah Uli al-Ba>b. Kedua, Tarbiyah Uli al-Ba>b sebagai
ideologi pendidikan Islam di UIN Maliki Malang mempunyai tujuh langkah,
berbeda dengan langkah pembentukan sebuah ideologi pada umumnya.49
48
Rasmiyanto, “Pembaharuan Pendidikan Tinggi Islam (Studi Tentang Perubahan Konsep,
Institusi dan Budaya Pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan UIN Malang)” (Disertasi-
-IAIN Sunan Ampel Surabaya, Surabaya, 2009). 49
Moh. Padil, ”Tarbiyah Uli Al-Bab: Ideologi Pendidikan Islam Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim Malang” (Disertasi--Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2011).
29
Penelitian Muhammad In’am Esha tentang PTAIN di Tengah Pusaran
Perubahan Analisis Kebijakan Publik tentang Perubahan Kelembagaan dari
Perspektif Filsafat Nilai Studi Kasus di UIN Malang, menggunakan metode
deskriptif kualitiatif dengan pendekatan filosofis-sosiologis. Hasil penelitian
pertama, transformasi kelembagaan di UIN Malang didasarkan atas pemikiran
untuk mewujudkan nilai-nilai universalitas Islam di era modern. Kedua, upaya
melakukan pembaharuan untuk mewujudkan idealisme Islam di-
implementasikan dengan gerakan transformasi kelembagaan dari STAIN
Malang menjadi UIN Malang. Bentuk universitaslah yang dapat mewadahi
dan mewujudkan universalitas ajaran Islam dalam ranah pendidikan. Ketiga,
perubahan kelembagaan dari STAIN Malang menjadi UIN Malang adalah
pijakan awal untuk mengimplementasikan paradigma integrasi yang selama
ini idealkan.50
2. Posisi dan keaslian penelitian
Dari beberapa penelitian di atas masih ada beberapa persoalan yang
belum terungkap dalam melihat persoalan yang terkait dengan integrasi
pesantren dengan perguruan tinggi, misalnya belum diungkap mengenai latar
belakang adanya integrasi sistem pendidikan pesantren ke dalam sistem
pendidikan tinggi, model-model integrasi pesantren ke dalam sistem
pendidikan tinggi Islam, yang terjadi di UIN Maliki Malang.
50
Muhammad In’am Esha, “PTAIN di Tengah Pusaran Perubahan Analisis Kebijakan Publik
tentang Perubahan Kelembagaan dari Perspektif Filsafat Nilai Studi Kasus di UIN Malang”
(Disertasi—Universitas Brawijaya, Malang, 2012).
30
Dari sini akan ditelusuri nilai-nilai pesantren apa saja yang akan
dibumikan dalam sistem pendidikan tinggi. Di samping itu, telah
berkembangnya fungsi pesantren, selain berfungsi sebagai tafaqquh fi> al-di>n
dan penciptaan suasana religius, pesantren juga berfungsi untuk mem-back-up
kuliah bahasa Arab dan Inggris, sehingga mahasiswa mampu berkomunikasi
dengan menggunakan ke dua bahasa asing tersebut. Sedangkan maksud
ma’had aly dalam disertasi ini, adalah pesantren tinggi, sehingga tidak
termasuk klasifikasi ma’had aly sebagaimana yang dibuat oleh Marzuki
Wahid. Penelitian ini diharapkan menjadi varian lain kajian tentang integrasi
pesantren ke dalam sistem pendidikan tinggi.
Tabel berikut memaparkan posisi penelitian ini dalam deretan
penelitian-penelitian sejenisnya.
Tabel 1.1
Kajian dengan muatan Pesantren, Ma’had Aly dan Integrasi
No Peneliti dan
Tahun Terbit
Tema
Penelitian
Pendekatan
dan
Lingkup
Penelitian
Temuan Penelitian
1 Zamakhsyari
Dhofier 1981
Tradisi
Pesantren,
Studi Kasus
tentang
Pandangan
Hidup Kyai
Kualitatif/
Deskriptif
analitis
Para kyai mengambil sikap
yang lapang dalam menye-
lenggarakan modernisasi
lembaga-lembaga pesantren di
tengah-tengah perubahan
masyarakat Jawa, tanpa
meninggalkan aspek-aspek
positif daripada sistem
pendidikan Islam tradisional.
Dhofier mempelajari pesantren
dari sudut “continuity and
change”
2 Karel A.
Steenbrink
1986
Pesantren,
Madrasah,
Sekolah:
Kualitatif/
analitis
histories
Proses perkembangan pem-
baharuan pendidikan Islam
dilakukan dengan memasukkan
31
Pendidikan
Islam dalam
Kurun
Modern
mata pelajaran umum ke
dalam madrasah dan
didirikannya sekolah umum di
pondok pesantren.
3 Manfred
Ziemeck
1983
Pesantren
Islamische
Building in
Sozialen
Wandel
Kualitatif/
Deskriptif
analitis
Pondok pesantren tidak hanya
berfungsi sebagai lembaga
pendidikan Islam an sich,
tetapi juga sebagai proses
pengembangan desa.
4 Martin van
Bruinessen
Kitab
Kuning,
Pesantren
dan
Tarekat.
Kualitatif/
analitis
histories
Pesantren sebagai tempat
pengajaran agama Islam,
khususnya di Jawa, digunakan
untuk mentransmisikan Islam
tradisional sebagaimana
terdapat pada kitab-kitab
klasik yang ditulis berabad-
abad yang lalu. Di samping itu,
tradisi pesantren bernafaskan
sufistik, karenanya tarekat
dapat hidup dan berkem-bang
di pesantren.
5 Sabarudin
2005
Pesantren
Menjawab
Realitas
Sosial (Studi
Liberasi
Pendidikan
di Ma’had Ali
PP Salafiyah
Syafi’iyah
Situbondo)
Kualitatif/
Deskriptif
analitis
Proses pembelajaran di Ma’had Ali
PP Salafiyah Syafi’iyah Situbondo
me-nekankan pada pemikiran kritis
dengan kombinasi antara
pendekatan ta’aqquli> dan ta’abbudi>. Ada tiga pendekatan yang
digunakan dalam pembelajarannya,
yaitu; pendekatan tekstual,
pendekatan kontekstual, dan
pendekatan kritis.
6 Marzuki
Wahid
2005
Ma’had Aly:
Nestapa
Tradisionali
sme dan
Tradisi
Akademik
yang Hilang
Kualitatif/
Deskriptif
analitis
Dia mengklasifikasikan pengertian
ma’had aly menjadi dua yaitu
pengertian institusional dan
substansial. Ma’had aly institusional
yaitu secara kelembagaan
organisasional dan administratif
terdapat suatu penyelenggaraan
pendidikan tingkat tinggi yang
berbasis pada tradisi intelektual dan
keilmuan pesantren. Ma’had aly
substansial apabila tidak ditemukan
kerangka kelembagaan dan
organisasi-adminiatratif yang secara
khusus menangani sistem ini.
7 Mastuhu Dinamika Kualitatif/ Terdapat beberapa butir positif,
32
1994 Sistem
Pendidikan
Pesantren:
Suatu
Kajian
tentang
Unsur dan
Nilai Sistem
Pendidikan
Pesantren
metode
grounded
research
negatif dan plus-minus dalam sistem
pen-didikan pesantren. Butir-butir
plus-minus adalah butir-butir yang
perlu dikembangkan dari sistem
pendidikan pesantren tradisional,
tetapi perlu penyempurnaan, seperti;
1) sistem asrama, bisa berfungsi
sebagai forum dialog untuk
mengembangkan ilmu; 2) metode
halaqah dikem-bangkan menjadi
sarana untuk mengembangkan ke-
pribadian intelektual; 3) jenis
kepemimpinan kharis-matik perlu
dilengkapi dengan kepemimpinan
rasional untuk menghadapi zaman.
7 Ridlwan Nasir
2005
Mencari
Tipologi
Format
Pendidikan
Ideal Pondok
Pesantren di
Tengah Arus
Perubahan
Komparatif Bentuk pondok pesantren
yang ideal adalah pondok
pesantren yang di dalamnya
terdapat berbagai macam
lembaga pendidikan dengan
memperhatikan kualitasnya
dan tidak menggeser ciri
khusus kepesantrenan yang
masih relevan dengan
perkembangan zaman.
8 Sembodo
Ardi Widodo
2005
Pendidikan
Islam
Pesantren
(Studi
Komparatif
Struktur
Keilmuan
Kitab Kuning
dan
Implementasi
nya di Pondok
Pesantren
Tebuireng
Jombang dan
Mualimin
Muhammadi
yah
Yogyakarta)
Komparatif/
teori
strukturalisme
Piaget dan teori
Aljabiri
Dia menyimpulkan bahwa metode
pengajaran kitab kuning di
Tebuireng bersifat operatif, metode
yang digunakan yaitu ceramah, tanya
jawab dan hafalan di madrasah;
bandongan dan sorogan dalam
pengajian-pengajian kitab; dan
diskusi. Sementara metode
pengajaran di Muallimin hanya satu
jalur yaitu pengajaran di kelas yaitu
metode ceramah, tanya jawab dan
hafalan, dan tidak ada jalur
pengembangan pengajian kitab
muqarrar sehingga pengajarannya
cenderung bersifat figuratif.
9 H.A.Masjkur
Anhari 2007
Integrasi
Sekolah ke
dalam
Deskriptif
kualitatif
Pelaksanaan integrasi ada tiga
macam yaitu 1) integrasi
kelembagaan, 2) integrasi pelaku
33
Sistem
Pendidikan
Pesantren
(Studi Kasus
di Pesantren
Darul
Ulmum
Jombang
Jawa Timur)
pendidikan, dan 3) integrasi
pelaksanaan pembelajaran. Integrasi
sekolah ke dalam sistem pendidikan
pesantren di pesantren Darul Ulum
Jombang dilaksanakan dalam dua
bentuk yaitu bentuk pendidikan
formal di sekolah mulai tingkat dasar
sampai perguruan tinggi, dan bentuk
non formal yaitu pengajian dan
belajar bersama di bawah
pengawasan guru di asrama.
10 Rasmiyanto
2009
Pembaharuan
Pendidikan
Tinggi Islam
(Studi
Tentang
Perubahan
Konsep,
Institusi dan
Budaya
Pendidikan
di UIN Syarif
Hidayatullah
Jakarta dan
UIN Malang)
Deskriptif
kualitatif
1) Perubahan konsep menjadi
UIN untuk mewu-judkan inegrasi
ilmu agama dan ilmu umum. UIN
Jakarta menggunakan paradigma
integrasi dari Ian G. Barbour, UIN
Malang menggunakan pendekatan
Imam Ghazali. 2) konsep institut atau
sekolah tinggi harus berubah menjadi
universitas untuk menampung
universalitas ilmu dalam Islam yang
tidak mengenal dikhotomi ilmu. 3)
budaya pendidikan yang
dikembangkan disesuaikan dengan
budaya universitas.
11 Moh. Padil
2011
Tarbiyah
Uli Al-Bab:
Ideologi
Pendidikan
Islam
Universitas
Islam
Negeri
Maulana
Malik
Ibrahim
Malang
Deskriptif
kualitatif
Pertama, gerakan Tarbiyah Uli Al-
Bab di UIN Maliki Malang telah
membawa perubahan signifikan
yaitu 1) alih status dari STAIN
menjadi UIN; 2) terbentuknya
landasan manajemen pengelolaan
universitas yang disebut Arka>n al-Ja>mi’ah; 3) sistem Perguruan Tinggi
Islam integratif antara sistem
pendidikan ma’had dan sistem
pendidikan UIN; 4) lahirnya
kepemimpinan Tarbiyah Uli Al-Bab.
Kedua, Tarbiyah Uli Al-Bab sebagai
ideologi pendidikan Islam di UIN
Malang mempunyai tujuh langkah.
12 Muhammad
In’am Esha
2012
PTAIN di
Tengah
Pusaran
Perubahan
Analisis
Kebijakan
Deskriptif
kualitatif
dengan
pendekatan
filosoif
sosiologis
Pertama, transformasi kelembagaan
di UIN Malang didasarkan atas
pemikiran untuk mewujudkan nilai-
nilai universalitas Islam di era
modern. Kedua, upaya untuk
melakukan pembaharuan untuk
34
Publik tentang
Perubahan
Kelembagaan
dari Perspektif
Filsafat Nilai
Studi Kasus di
UIN Malang
mewujudkan idealisme Islam
diimplementasikan dengan gerakan
transformasi kelembagaan dari
STAIN menjadi UIN Malang.
Ketiga, perubahan kelembagaan dari
STAIN Malang menjadi UIN
Malang adalah pijakan awal untuk
mengimplementasikan paradigma
integrasi yang selama ini idealkan.
Tabel 1.2
Posisi Penelitian Dan Temuan Terprakira
No Peneliti dan
Tahun
Terbit
Tema
Penelitian
Pendekatan
dan Lingkup
Penelitian
Temuan Penelitian
11 Husniyatus
Salamah
Zainiyati
(2012)
Integrasi
Pesantren
ke dalam
Sistem
Pendidikan
Tinggi Islam
(Studi di
Universitas
Islam
Negeri
Maliki
Malang)
Kualitatif/
deskriptif
analitis
Model integrasi pesantren
ke dalam sistem
pendidikan UIN Maliki
Malang dikategorikan
menjadi dua yaitu,
integrasi kelembagaan,
dan integrasi kurikulum.
Integrasi pesantren, secara
praktis untuk menciptakan
suasana kondusif bagi
pengembangan
kepribadian mahasiswa
dan pengembangan bahasa
Arab dan Inggris.
H. Sistematika Pembahasan
Hasil penelitian ini dipaparkan melalui enam bab. Bab pertama,
pendahuluan merupakan uraian tentang mengapa suatu penelitian dilakukan,
yang dinarasikan ke dalam beberapa sub bab; meliputi latar belakang masalah,
identifikasi dan batasan masalah, rumusan maslah, tujuan dan kegunaan
penelitian, penjelasan konsep, serta penelitian terdahulu. Sehingga model
35
integrasi pesantren ke dalam sistem pendidikan UIN Maliki Malang dan latar
belakang integrasi pesantren tersebut dapat didiskripsikan. Pada bagian akhir
bab ini diakhiri dengan sistematika pembahasan.
Bab dua, membahas kerangka teori tentang integrasi pesantren ke dalam
sistem pendidikan tinggi Islam. Sub bab pertama, menguraikan landasan
filosofis integrasi ilmu dan agama; landasan fondasional integrasi pesantren
dan PTAI; dan kerangka teori integrasi. Sub bab kedua menjelaskan sistem
pendidikan pesantren, meliputi; kategorisasi dan unsur-unsur pesantren;
kurikulum pesantren; sistem pendidikan pesantren; keunggulan sistem
pendidikan pesantren. Sub bab ketiga, menjelaskan sistem pendidikan tinggi
Islam, meliputi; sejarah PTAI; kurikulum perguruan tinggi Islam; serta tradisi
akademik pendidikan tinggi; dan implementasi kurikulum integratif di PTAI.
Bab tiga, berisi pendekatan dan metode penelitian. Pada bagian ini
dipaparkan lokasi penelitian, pendekatan yang digunakan, ruang lingkup
penelitian, informan penelitian, metode pengumpulan data, teknik analisa data
yang digunakan dalam penelitian. Sesuai dengan fokus penelitian ini yaitu UIN
Malang yang dinamis dan heterogen, maka untuk menganalisis data emik yang
bersifat subyektif-individual, dilakukan trianggulasi data.
Bab empat, paparan data lapangan. Secara garis besar pembahasan
dibagi dalam tiga sub pokok bahasan. Bahasan pertama meliputi diskripsi
tentang kondisi obyektif UIN Maliki Malang. Sub pokok bahasan kedua berisi
paparan data penelitian meliputi; model integrasi Ma’had Sunan Ampel Al-Aly
ke dalam sistem pendidikan UIN Malang, dan apa yang melatar belakangi
36
Ma’had Sunan Ampel Al-Aly diintegrasikan ke dalam sistem pendidikan UIN
Maliki Malang.
Bab lima, menguraikan analisis integrasi Ma’had Sunan Ampel Al-Aly
ke dalam sistem pendidikan UIN Malang. Selanjutnya, temuan-temuan tersebut
dianalisis dengan berbagai teori analisis yang digunakan dalam penelitian ini.
Bab enam, berisi penutup yang meliputi, kesimpulan berdasarkan atas
temuan di lapangan. Kemudian diuraikan rekomendasi, implikasi teoretik
untuk melihat posisi teori berdasarkan temuan penelitian. Pada bab terakhir ini
memuat jawaban masalah penelitian, diskusi teoretik dan keterbatasan dalam
penelitian.
37