BAB I PENDAHULUAN 1981, yang mulai berlaku sejak tanggal ...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1981, yang mulai berlaku sejak tanggal ...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum acara pidana di Indonesia saat ini telah diatur dalam satu
undang- undang yang dikenal dengan Kitab Undang- Undang Hukum Acara
Pidana (selanjutnya disebut KUHAP), yakni undang- undang No 8 tahun
1981, yang mulai berlaku sejak tanggal 31 desember 1981, KUHAP,
merupakan hukum acara pidana bagi tindak pidana umum, terkodifikasi dan
unifikasi.1
Salah satu point penting dalam KUHAP sebagai pengganti Hierziene
inlands reglement (selanjutnya disebut HIR) yang sebelumnya berlaku adalah
diakuinya hak hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana disemua
tingkatan yang ditandai dengan bergantinya sistem inquisatoir menjadi
accusatoir. Beberapa lembaga dibentuk didalam sistem peradilan pidana versi
KUHAP semakin menunjukan komitmen pemerintah menjamin tercapainya
tujuan hukum acara pidana yaitu mencari kebenaran materiil dengan
kesetaraan kedudukan antar keseluruan subyek hukum didalamnya.
Dalam konteks penghargaan terhadap hak-hak dasar warga negara,
praperadilan adalah salah satu lembaga penting dimaksud dalam KUHAP
Indonesia. Sebagai mekanisme komplain yang bertujuan untuk mengawasi
dan mengontrol aparat penegak hukum dalam menerapkan upaya paksa,
praperadilan menjadi salah satu pembeda antara KUHAP dengan HIR.
1Darwan Prints, S.H., “Hukum Acara Pidana Dalam Praktik”( edisi revisi tahun 2002), Jakarta: Karya Unipress, 2002, halaman 4.
2
Masuknya materi praperadilan dalam KUHAP juga menjadi salah satu alasan
munculnya kepercayaan di masyarakat dalam menyambut pengesahan
KUHAP pada saat itu.
Terdapat berbagai ketentuan-ketentuanbaru di dalam KUHAP yang
sebelumnya tidak diatur di dalam HIR seperti, pengaturan mengenai hak-hak
tersangka atau terdakwa, adanya bantuan hukum pada semua tingkat
pemeriksaan, penggabungan perkara perdata pada perkara pidana dalam hal
ganti rugi, wewenang hakim pada pemeriksaan pendahuluan, dan bentuk
pengawasan terhadap pelaksanaan putusan. Ketentuan ini harus sejalan
dengan tujuan dari hukum acara pidana, yaitu untuk mencari dan
mendapatkan kebenaran materiil atau kebenaran yang sebesar besarnya,
memberi suatu putusan hakim, dan melaksanakan putusan hakim.2
Dengan adanya ketentuan baru didalam KUHAP, mengisyaratkan
bahwa adanya upaya untuk lebih memperhatikan hak-hak asasi manusia.
Upaya ini sesuai dengan amanat UUD NRI 1945 yang menyatakan setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum3. Berdasarkan pasal
tersebut, maka apabila seseorang diduga telah melakukan suatu tindak pidana
(strafbaarfeit) tidak boleh diperlakukan seperti orang yang bersalah sebelum
adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap (in krachtvan gewijsde).
Dengan kata lain, aparat penegak hukum dalam menjalankan atau
2Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Kedua), Jakarta: Sinar Grafika, 2010,
hlm 187
3Vide Pasal 28D UUD 1945
3
melaksanakan tugasnya harus berdasarkan asas hukum acara pidana yaitu
asas praduga tak bersalah (Presumption of Innocence).
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 KUHAP dapat diketahui
bahwa salah satu tujuan dibuatnya KUHAP tidak lain adalah untuk
memberikan perlindungan kepada tersangka, sehingga dapat terhindar dari
tindakan kesewenang-wenangan aparat penegak hukum khususnya pada
tingkat penyidikan maupun penuntutan, pelecehan terhadap harkat dan
martabat manusia sejauh mungkin dapat dihindari seperti salah tangkap, salah
tahan, dan lain sebagainya. Tujuan tersebut dimaksudkan untuk menjunjung
tinggi asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) serta
penjaminan hak asasi dihadapan hukum sebagaimana diatur dalam pasal 8
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
menyatakan bahwa setiap orang yang disangka, ditahan, dituntut, dan/atau
dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada
putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Praperadilan sebagaimana dimaksud pasal 77 KUHAP mempunyai
beberapa kewenangan diantaranya :
1. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan
atau penghentian penuntutan;
2. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara
pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
4
Selain kewenangan diatas terdapat tiga kewenangan baru yang dimiliki
lembaga praperadilan akibat putusan MK nomor 21/PUU-XII/2014 yaitu
mengenai sah tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitiaan.
Khusus wewenang sah tidaknya penetapan tersangka terlebih dulu timbul
akibat putusan hakim Sarpin pada praperadilan atas perkara komisaris jendral
Budi Gunawan.
Fungsi pengawasan yang dilakukan oleh lembaga praperadilan pada
dasarnya terinspirasi dengan lembaga Rechter Commissaris di Negeri
Belanda maupun lembaga Judge d’Instruction yang terdapat di Perancis.
Sedangkan dalam sistem peradilan Anglo Saxon, lembaga praperadilan yang
terdapat dalam KUHAP identik dengan lembaga pre trial yang terdapat di
Amerika Serikat yang menerapkan prinsip Habeas Corpus yang menjelaskan
bahwa di dalam masyarakat yang beradab pemerintah harus selalu menjamin
hak kemerdekaan seseorang. Meskipun setelah kita cermati kewenangan
praperadilan tidak seluas ketiga lembaga diatas, namun tujuan dibentuknya
ketiga lembaga tersebut sama, yaitu menjamin tidak adanya pelanggaran hak
asasi tersangka atau terduga maupun terdakwa dari tindakan sewenang-
wenang negara melalui aparaturnya dengan alasan penegakan hukum.
Seiring perkembangan zaman dan serta kuatnya arus gerakan hak
asasi manusia yang secara masif dan mendunia membawa implikasi pada
banyaknya kritik serta ketidakpuasan terhadap lembaga praperadilan.
Minimnya kewenangan lembaga praperadilan yang hanya mencakup
beberapa upaya paksa ditambah dengan permasalahan praktik yang ada
5
semakin membawa lembaga praperadilan pada “ambang batas”, sehingga
harus diganti dengan lembaga baru atau menambah kewenangannya agar
sesusai dengan tujuan awal dibentuknya. Beberapa kritik terhadap lembaga
praperadilan yaitu mengenai pemeriksaan sidang praperadilan, acara
pembuktian sidang praperadilan dan minimnya kewenagan lembaga
praperadilan dalam melindungi hak tersangka atau terdakwa.
Pada saat ini sudah tiga puluh tahun lebih perjalanan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana yang merupakan ciptaan bangsa Indonesia
menggantikan HIR ciptaan pemerintah kolonial. Dalam perjalanan lebih
sepertiga abad itu terjadi kemajuan teknologi terutama di bidang komunikasi
dan transpartasi yang membawa akibat di bidang sasial, ekonomi, dan hukum
termasuk hukum pidana.
Dunia terasa makin sempit dan globalisasi di bidang ekonomi,
keuangan, dan perdagangan memberi dampak pula di bidang hukum. Tidak
satu negara pun dapat menutup diri rapat-rapat dari perubahan tersebut.
Tercipta banyak konvensi intemasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia
seperti, United Nations Convention Against Corrruption. International
Convention Against Torture dan International Covenant on Civil and
Political Rights. Ikut pula hadir dalam penyusunan Intemational Criminal
Court. Semua konvensi tersebut lahir dan diratifikasi sesudah KUHAP dan
berkaitan langsung dengan hukum acara pidana.4
4Naskah akademik RUU KUHAP halaman 4
6
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah membuat
suatu RUU KUHAP untuk menjawab tantangan perkembangan zaman
tersebut. Salah satu point penting dalam pembaharuan hukum acara pidana
versi RUU KUHAP adalah dimasukannya lembaga Hakim Pemeriksa
Pendahuluan untuk menggantikan lembaga praperadilan yang secara positif
berlaku. Latar belakang yang mendasari munculnya Hakim Pemeriksa
Pendahuluan adalah untuk lebih melindungi jaminan hak asasi manusia dalam
proses pemidanaan dan menghindari tertundanya proses pemidanaan akibat
timbulnya selisih antara petugas penyidik dari instansi yang berbeda.
Peristiwa penangkapan dan penahanan yang tidak sah merupakan
pelanggaran serius terhadap hak asasi kemerdekaan dan kebebasan orang.
Penyitaan yang tidak sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak milik
orang, dan penggeledahan yang tidak sah merupakan pelanggaran terhadap
ketentraman rumah tempat kediaman orang5.
Kebijakan rekonstruksi pengaturan Hakim Pemeriksa Pendahuluan
sebagaimana termuat di dalam RUU KUHAP mempunyai kewenangan
eksekutif. Kebijakan rekonstruksi pengaturan Hakim Pemeriksa Pendahuluan
itu sendiri adalah sesuatu yang menjadi garis besar dan dasar rencana atau
arah tindakan yang memilki maksud dan tujuan yang ditetapakan oleh suatu
lembaga yang berwenang dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan
dalam pemerintahan serta dalam mengatasi suatu permasalahan atau suatu
perubahan atau pembaharuan di suatu negara. Selanjutnya kewenangan
5Dwi Nurahman, Kebijakan Rekonstruksi Pengaturan Hakim Pemeriksa Pendahuluan Dalam
KUHAP Tahun 2015, Jurnal Pranata Hukum Vol. 10 No. 2 Juli 2015, halaman 160
7
eksekutif dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan yaitu melakukan suatu
konsultasi-konsultasi hukum kepada penyidik dan penuntut umum dalam
melakukan upaya paksa pada penyidikan dan penuntutan.
Hakim pemeriksa pendahuluan dalam pasal 111 RUU KUHAP tahun
2012 memiliki kewenangan yang cukup luas meliputi : a) sah atau tidaknya
penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, atau penyadapan; b)
pembatalan atau penangguhan penahanan; c) bahwa keterangan yang dibuat
oleh tersangka atau terdakwa dengan melanggar hak untuk tidak
memberatkan diri sendiri; d) alat bukti atau pernyataan yang diperoleh secara
tidak sah tidak dapat dijadikan alat bukti; e) ganti kerugian dan/atau
rehabilitasi untuk seseorang yang ditangkap atau ditahan secara tidak sah atau
ganti kerugian untuk setiap hak milik yang disita secara tidak sah; f)
tersangka atau terdakwa berhak untuk atau diharuskan untuk didampingi oleh
pengacara; g) bahwa penyidikan atau penuntutan telah dilakukan untuk
tujuan yang tidak sah; h) penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan yang tidak berdasarkan asas oportunitas; i) layak atau tidaknya
suatu perkara untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan; j) pelanggaran
terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi selama tahap
penyidikan.
Dengan melihat wewenang tersebut nampak bahwa Hakim Pemeriksa
Pendahuluan memiliki kewenangan yang sangat luas dan penggunaan
wewenangnya berdasarkan pada inisiatif sendiri. Dengan hadirnya lembaga
Hakim pemeriksa pendahuluan diatas Pemerintah dan DPR berharap
8
permasalahan norma dan implementasi pada lembaga Praperadilan yang saat
ini secara positif berlaku dapat terpecahkan dan ditemukan solusinya
terkhusus mengenai perlindungan hak tersangka dalam proses peradilan
pidana.
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian
hukum yang berjudul “STUDI KOMPARASI KEWENANGAN
LEMBAGA PRAPERADILAN (KUHAP) DENGAN LEMBAGA
HAKIM PEMERIKSA PENDAHULUAN (RUU KUHAP)
PERSPEKTIF PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA“ guna
mengetahui perbedaan, kelemahan dan kelebihan diantara Lembaga
Praperadilan dan Hakim Pemeriksa Pendahuluan serta mengetahui lembaga
mana yang lebih relevan digunakan sebagai salah satu point upaya
pembaharuan hukum acara pidana.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, yang
menjadi pokok permasalahannya yaitu:
1. Apa perbedaan dan persamaan antara lembaga Praperadilan dan Hakim
pemeriksa pendahuluan (RUU KUHAP) dalam Perspektif Perlindungan
Hak Tersangka?
2. Apa kelebihan dan kekurangan Lembaga Praperadilan dengan Hakim
Pemeriksa Pendahuluan Perspektif Perlindungan Hak Tersangka?
9
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian merupakan suatu hal yang penting keberadaannya
dalam menentukan awal penelitian yang ingin dicapai dari permasalahan yang
ada. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan antara lembaga
Praperadilan dan Hakim pemeriksa pendahuluan (RUU KUHAP) dalam
Perspektif Perlindungan Hak Tersangka;
2. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan Hakim Pemeriksa
Pendahuluan sebagai upaya pengganti Lembaga Praperadilan dalam
Perspektif Perlindungan Hak Tersangka.
D. MANFAAT DAN KEGUNAAN PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis,
sekurang-kurangnya dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran bagi
dunia pendidikan ilmu hukum di Indonesia.
2. Manfaat Praktis
a) Bagi Penulis
Penelitian ini dapat berguna sebagai penambah wawasan dan ilmu
pengetahuan tentang permasalahan yang dikaji oleh penulis, sekaligus
sebagai syarat untuk penulisan tugas akhir dan menyelesaikan studi S1
di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang.
10
b) Bagi Lembaga Hukum dan Pendidikan
1) Sebagai masukan yang membangun guna meningkatkan kualitas
lembaga hukum dan pendidikan yang ada, termasuk para pendidik
yang ada di dalamnya, dan penentu kebijakan dalam lembaga
hukum serta pemerintah secara umum.
2) Dapat menjadi pertimbangan untuk diterapkan dalam dunia hukum
dan menjadi bahan ajar pendidikan pada lembaga-lembaga hukum
dan pendidikan yang ada di Indonesia sebagai solusi terhadap
permasalahan hukum dan pendidikan yang ada.
c) Bagi Pemerintah dan DPR
Dapat memberikan masukan, sumbangan pemikiran serta konstribusi
bagi pemerintah dan DPR untuk terus berbenah memperbaiki proses
penegakan hukum di Indonesia khususnya dalam perlindungan hak
tersangka dalam tahap Penyidikan dan Penuntutan.
d) Bagi Masyarakat
Dapat memberikan pengetahuan mengenai perbedaan maupun
kelebihan dan kekurangan antara lembaga Praperadilan (KUHAP) dan
Hakim pemeriksa pendahuluan (RUU KUHAP) perspektif
perlindungan hak tersangka.
E. METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penyusunan penelitian
hukum ini menggunakan pendekatan yuridis normative, yakni melihat
11
hukum sebagai perilaku manusia dalam masyarakat.6 Studi yang
demikian hukum tidak dikonsepkan sebagai gejala normative yang
otonomi (study law in books), tapi hukum dikonsepkan sebagai pranata
sosial yang riil dikaitkan dengan variable social yang lain.
Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara menelaah dan
menginterpretasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas,
konsepsi, doktrin dan norma hukum yang berkaitan dengan lembaga
Praperadilan dan Hakim pemeriksa Pendahuluan.Pendekatan ini dikenal
pula dengan pendekatan kepustakaan, yakni dengan mempelajari jurnal-
jurnal, buku-buku, peraturan perundang-undangan dan dokumen lain
yang berhubungan dengan penelitian ini. 7
2. Jenis Bahan Hukum
a) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum yang diperoleh dari hukum positif atau peraturan
perundang-undangan khususnya Undang-Undang Hukum Acara
Pidana dengan Undang-Undang no. 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana serta dengan peraturan
pelaksana dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.
6 Sidik Sunaryo, Pedoman Penulisan Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, Malang: UMM PRESS, 2012, halaman 18
7Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 1985. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta: Rajawali Pers, halaman 52
12
b) Bahan Hukum Sekunder
Bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer berhubungan dengan objek penelitian seperti undang-undang,
studi dokumentasi melalui dokumen atau arsip-arsip dari pihak yang
terkait yang berhubungan dengan bahan hokum primer.
c) Bahan Hukum Tersier
Bahan-bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
seperti ensiklopedia, kamus, glossary dan bahan lain seperti surat
kabar serta majalah.
3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
a) Studi Kepustakaan
Teknik pengumpulan bahan hukum yang dilakukan di penilitian ini
adalah model studi kepustakaan (library research). Maksudnya
adalah pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang berasal
dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas serta
dibutuhkan dalam penelitian hukum normatif,8 yakni penulisan yang
didasari pada data-data yang dijadikan obyek penulisan kemudian
dikaji dan disusun secara komprehensif sitematis guna mendapatkan
kesimpulan yang tepat.
8Jhony Ibrahim, 2006, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang:
Bayumedia, halaman.392
13
b) Studi Internet
Dengan melakukan penelusuran dan pencarian bahan-bahan melalui
internet atau website untuk melengkapi bahan hukum lainnya.
4. Teknis Analisa Bahan Hukum
Analisis data di dalam penelitian ini, dilakukan secara kualitatif yakni
pemilihan teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin dan pasal-pasal di
dalam undang-undang. Kemudian dibuat menjadi sistematika yang akan
menjadi analisis mengenai kelebihan, kelemahan maupun perbedaan
tindakan penyidikan di dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukan
dalam bentuk uraian secara sistematis dengan menjelaskan hubungan
antar jenis data. Selanjutnya semua data diseleksi dan diolah kemudian
dinyatakan secara deskriptif sehingga selain menggambarkan dan
mengungkapkan dasar hukumnya atau teorinya dan dapat memberikan
solusi terhadap permasalahan yang dimaksud.
F. SISTEMATIKA PENELITIAN
Dalam penyusunan penelitian hukum ini, penulis membagi dalam 4 bab
dan masing-masing bab terdiri atas sub yang bertujuan agar mempermudah
pemahamannya. Adapun sistematika penelitiannya sebagai berikut:
BAB 1 PENDAHULUAN
Merupakan bab yang memuat pendahuluan yang meliputi latar
belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat dan kegunaan
14
penelitian, kerangka teori, metode penilitian dan sistematika
penelitian.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi tentang kajian-kajian teori hukum yang mendukung
penulisan dalam menulis skripsi terkait permasalahan yang diangkat
oleh penulis yaitu tentang Perbandingan (Studi Komparasi)
Kewenangan Lembaga Praperadilan (KUHAP) Dengan Lembaga
Hakim Pemeriksa Pendahuluan (RUU KUHAP) Dalam Perspektif
Perlindungan Hak Tersangka.
BAB III PEMBAHASAN
Dalam bab ini berisi mengenai pembahasan yang diangkat oleh
penulis guna mengkaji, menyesuaikan dan menyelaraskan berdasarkan
kenyataan yang ada pada objek yang diteliti (yang terjadi) serta
didukung dengan teori-teori yang relevan dengan permasalahan dalam
penulisan ini.
BAB IV PENUTUP
Bab ini merupakan bab akhir dalam penulisan hukum dimana berisi
kesimpulan dari pembahasan bab sebelumnya dan berisikan saran
penulis dalam menanggapi permasalahan yang diteliti.