BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang...Terhadap Pengesahan Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang...Terhadap Pengesahan Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum...
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perseroan Terbatas merupakan salah satu pilar pembangunan
perekonomian nasional. Prinsip-prinsip dasar perekonomian nasional diatur dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan
Keempat (selanjutnya ditulis UUD NRI 1945). Ditentukan dalam Pasal 33 ayat (4)
UUD NRI 1945 bahwa, perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi yang berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Perseroan Terbatas
(selanjutnya disingkat PT) ikut berperan dalam tata ekonomi nasional untuk
meningkatkan pembangunan perekonomian nasional.
Hukum positif di Indonesia yang mengatur tentang PT saat ini adalah
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran
Negara Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4756), selanjutnya
ditulis UU 40/2007. Berdasarkan ketentuan Pasal 161 UU 40/2007, undang-
undang PT ini berlaku pada tanggal diundangkannya, yaitu pada tanggal 16
Agustus 2007. Pengertian PT secara lengkap dirumuskan dalam ketentuan Pasal 1
angka 1 UU 40/2007. Disebutkan bahwa, Perseroan Terbatas yang selanjutnya
disebut perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal,
didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar
-
2
yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan
dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU 40/2007, pengesahan badan
hukum PT dilakukan secara elektronik. Pendiri bersama-sama mengajukan
permohonan melalui jasa teknologi informasi Sistem Administrasi Badan Hukum
(selanjutnya ditulis SABH) secara elektronik kepada Menteri untuk memperoleh
keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum PT. Menteri adalah
Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan hak asasi
manusia (selanjutnya ditulis Menkumham) berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka
16 UU 40/2007. Peraturan pelaksanaan yang memuat tata cara pengajuan
permohonan kepada Menkumham secara elektronik melalui SABH dituangkan
dalam peraturan Menteri, sedangkan sistem elektronik SABH yang dimaksud
dikelola oleh Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU).
Permohonan secara elektronik melalui SABH bertujuan untuk mempersingkat
jangka waktu proses pengesahan badan hukum PT, perubahan anggaran dasar PT
maupun perubahan data PT.
Ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1) UU 40/2007 bahwa, perseroan didirikan
oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta Notaris yang dibuat dalam bahasa
Indonesia. Sedangkan dalam ketentuan Pasal 9 ayat (3) UU 40/2007 diatur bahwa,
dalam hal pengajuan permohonan kepada Menkumham secara elektronik melalui
SABH dilakukan oleh Notaris sebagai kuasa pendiri. Ketentuan dalam pasal-pasal
tersebut merupakan dasar hukum kewenangan yang diberikan oleh UU 40/2007
-
3
kepada Notaris, baik dalam hal menuangkan anggaran dasar PT ke dalam akta
Notaris maupun dalam hal sebagai kuasa dari pemohon (para pendiri).
Kuasa yang diberikan kepada Notaris dituangkan langsung ke dalam akta
Notaris yang memuat anggaran dasar PT dalam bentuk kuasa blanko. Akta kuasa
blanko maksudnya adalah akta kuasa dengan mengosongkan dahulu nama yang
diberi kuasa dan baru diisi kemudian oleh penerima kuasa pada waktu kuasa
tersebut hendak dipergunakan.1 Berdasarkan akta kuasa blanko tersebut, Notaris
sebagai penerima kuasa berhak untuk mewakili pemohon dalam hal mengajukan
permohonan melalui SABH yang objeknya akta Notaris.
Jabatan Notaris diatur dalam hukum positif Indonesia yaitu, Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Nomor
3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5491). Berdasarkan ketentuan Pasal II
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014, Undang-Undang ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkannya, yaitu pada tanggal 15 Januari 2014. Selanjutnya dalam
penelitian ini, Undang-Undang tentang Jabatan Notaris beserta perubahannya
tersebut ditulis UU 30/2004. Ketentuan pasal-pasal yang dikutip dari Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2014 akan ditambahkan frasa “pasal perubahan” dalam
tanda kurung.
1Herlien Budiono, 2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang
Kenotariatan, Cetakan II, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat
Herlien Budiono I), hal. 426-427.
-
4
Ditentukan dalam Pasal 1 angka 1 UU 30/2004 (pasal perubahan) bahwa,
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini
atau berdasarkan undang-undang lainnya. Kewenangan Notaris ditegaskan dalam
ketentuan Pasal 15 UU 30/2004 (pasal perubahan) yang pada dasarnya mengatur
bahwa, Notaris berwenang membuat akta otentik, baik yang diharuskan oleh
peraturan perundang-undangan maupun yang dikehendaki oleh yang
berkepentingan. Selain kewenangan tersebut, Notaris mempunyai kewenangan
lain yang diatur dalam undang-undang, seperti misalnya dalam UU 40/2007 diatur
bahwa, Notaris bertindak sebagai kuasa dari para pendiri (pemohon).
Seorang Notaris sebagai pejabat umum memiliki masa jabatan yang telah
diatur dalam UU 30/2004. Ditentukan dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b UU 30/2004
bahwa, Notaris berhenti atau diberhentikan dari jabatannya dengan hormat karena
telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun. Ketentuan umur dapat diperpanjang
sampai berumur 67 (enam puluh tujuh) tahun dengan mempertimbangkan
kesehatan Notaris yang bersangkutan berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU
30/2004. Dengan demikian, seorang Notaris berhenti dari jabatannya dengan
hormat apabila telah genap berumur 65 (enam puluh lima) tahun atau telah genap
berumur 67 (enam puluh tujuh) apabila masa jabatannya diperpanjang.
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, istilah pensiun diartikan sebagai tidak
bekerja lagi karena selesai dinasnya.2 Terkait dengan masa jabatan Notaris yang
diatur dalam UU 30/2004, istilah pensiun dapat juga digunakan untuk menyebut
2Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Bahasa Indonesia, Pusat
Bahasa, Jakarta, hal. 1151.
-
5
Notaris yang berhenti dari jabatannya karena sudah selesai dinasnya atau sudah
tidak lagi menjabat sebagai pejabat umum. Dengan kata lain, seorang Notaris
yang berhenti dari jabatannya dengan hormat apabila telah genap berumur 65
(enam puluh lima) tahun atau telah genap berumur 67 (enam puluh tujuh) apabila
masa jabatannya diperpanjang, dapat disebut sebagai Notaris pensiun.
Berdasarkan ketentuan Pasal 62 huruf b UU 30/2004, penyerahan Protokol
Notaris dilakukan dalam hal Notaris telah berakhir masa jabatannya (pensiun).
Penyerahan protokol Notaris dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari dengan
pembuatan berita acara penyerahan protokol Notaris yang ditandatangani oleh
yang menyerahkan dan yang menerima protokol Notaris (ketentuan Pasal 63 ayat
(1) UU 30/2004 (pasal perubahan)). Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 63
ayat (4) UU 30/2004 (pasal perubahan), penyerahan protokol Notaris dilakukan
oleh Notaris pensiun kepada Notaris lain yang ditunjuk oleh Menteri atas usul
Majelis Pengawas Daerah (MPD). Protokol Notaris adalah kumpulan dokumen
yang merupakan arsip negara yang harus disimpan dan dipelihara oleh Notaris
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (ketentuan Pasal 1 angka
13 UU 30/2004 (pasal perubahan)). Seorang Notaris pensiun tidak lagi memiliki
kewenangan (kehilangan kewenangannya) sebagaimana telah diatur dalam
ketentuan Pasal 15 UU 30/2004 (pasal perubahan), akan tetapi berdasarkan
ketentuan Pasal 65 UU 30/2004 (pasal perubahan), tanggung jawab tetap melekat
pada diri Notaris pensiun terhadap semua akta yang telah dibuatnya.
Terkait dengan pengesahan badan hukum PT, Notaris dapat mengajukan
permohonan secara elektronik melalui alamat situs web SABH yaitu :
-
6
http://ahu.go.id. Sistem elektronik ini telah diperbarui oleh Ditjen AHU dalam
rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan telah dioperasikan pada
awal tahun 2014. Selanjutnya pada tanggal 25 Maret 2014 Menkumham
mengeluarkan peraturan Menteri yang baru sebagai payung peraturannya.
Peraturan Menteri yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Hukum Dan Hak
Asasi Manusia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan
Pengesahan Badan Hukum Dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar Serta
Penyampaian Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar Dan Perubahan Data
Perseroan Terbatas (selanjutnya ditulis Permenkumham 2014). Peraturan Menteri
ini telah diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 392.
Permenkumham 2014 diberlakukan dengan mencabut peraturan Menteri
sebelumnya yang juga merupakan payung peraturan dari sistem elektronik SABH.
Peraturan yang dicabut tersebut ialah Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Nomor M.HH-01.AH.01.01 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengajuan
Permohonan Pengesahan Badan Hukum Dan Pesetujuan Perubahan Anggaran
Dasar Serta Penyampaian Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar Dan
Perubahan Data Perseroan Terbatas (selanjutnya ditulis Permenkumham 2011).
Permenkumham 2011 ini sebelumnya telah diumumkan dalam Berita Negara
Republik Indonesia Nomor 187.
Terkait dengan permohonan secara elektronik melalui SABH, berdasarkan
ketentuan Pasal 1 angka 4 Permenkumham 2014 ditegaskan bahwa, pemohon
(pendiri bersama-sama atau Direksi PT yang telah berstatus badan hukum atau
Likuidator PT bubar atau Kurator PT pailit) memberikan kuasa kepada Notaris.
-
7
Berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (3) Permenkumham 2014, Notaris dapat
langsung mencetak sendiri dari SABH dengan menggunakan kertas berwarna
putih ukuran F4/folio dengan berat 80 (delapan puluh) gram, setelah
diterbitkannya keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum PT yang
disampaikan kepada pemohon secara elektronik. Selanjutnya berdasarkan
ketentuan Pasal 15 ayat (4) Permenkumham 2014, keputusan Menteri yang
dimaksud wajib ditandatangani dan dibubuhi cap jabatan oleh Notaris serta
memuat frasa yang menyatakan “Keputusan Menteri ini dicetak dari SABH”.
Setelah diberlakukannya Permenkumham 2014, faktanya masih ditemukan
dalam praktek Notaris permohonan-permohonan secara elektronik melalui SABH
yang dimohonkan sebelumnya berdasarkan ketentuan dalam Permenkumham
2011 oleh Notaris yang kemudian pensiun. Fakta-fakta tersebut diperoleh dari
hasil wawancara dengan dua orang informan, yaitu Josef Sunar Wibisono, SH.,
M.Kn., yang pensiun pada tanggal 19 Juli 2013 dan I Made Puryatma, SH.,
M.Kn., yang pensiun pada tanggal 22 Februari 2013. Permohonan-permohonan
secara elektronik melalui SABH oleh Notaris yang kemudian pensiun
sebagaimana dimaksud di atas prosesnya belum selesai. Salah satu dari
permohonan-permohonan tersebut adalah mengenai pengesahan badan hukum PT
yang belum memperoleh keputusan Menteri karena tidak dipenuhinya bukti setor
modal oleh para pendiri. Wawancara dengan informan pertama dilakukan pada
tanggal 6 Mei 2015 di Jalan Diponegoro No. 150 Blok B No. 20 Denpasar dan
wawancara dengan informan kedua dilakukan pada tanggal 13 Mei 2015 di Jalan
Durian No. 3 Denpasar (Lampiran L-14 – L-23).
-
8
Permohonan pengesahan badan hukum PT secara elektronik melalui
SABH yang belum selesai dari Notaris yang telah pensiun tersebut, ditindak
lanjuti oleh Direktur Perdata Ditjen AHU Kemenkumham dengan menerbitkan
surat Nomor : AHU2.AH.01.01-2416, tertanggal 26 Juni 2014 (selanjutnya ditulis
surat Ditjen AHU), yang ditujukan kepada Notaris pensiun tertentu. Substansi dari
surat tersebut adalah, memberikan kewenangan kepada Notaris pensiun yang
dimaksud untuk melanjutkan permohonan pengesahan badan hukum PT secara
elektronik melalui SABH berdasarkan ketentuan Pasal 33 Permenkumham 2014.
Ditentukan dalam Pasal 33 tersebut bahwa, permohonan pengesahan pendirian
yang telah diajukan dan sedang diproses sebelum berlakunya Peraturan Menteri
ini, diproses berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dengan
melampirkan pernyataan secara tertulis sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri ini. Dengan demikian, terdapat konflik norma antara substansi surat
Ditjen AHU yang memberikan kewenangan kepada Notaris pensiun dengan UU
40/2007 dan Permenkumham 2014, yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi
surat Ditjen AHU dimaksud (Lampiran L-5). Hal tersebut mendorong peneliti
untuk mengadakan penelitian dengan judul, “Kewenangan Yang Diberikan
Kepada Notaris Pensiun Karena Keberadaan Peraturan Menteri Hukum Dan Hak
Asasi Manusia Nomor 4 Tahun 2014”.
Permasalahan mengenai judul tersebut belum pernah dibahas sebelumnya
dalam suatu penelitian. Begitu pula halnya dengan judul penelitian sebagaimana
tersebut di atas belum pernah juga digunakan oleh peneliti lainnya seperti dapat
-
9
disimak dan ditelusuri dari penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sebagai
berikut :
1. Tesis yang ditulis Anny Diharti, SH (NIM : B4A 002003), tahun 2008,
Universitas Diponegoro Semarang, dengan judul, “Tinjauan Yuridis
Terhadap Pengesahan Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum Melalui
Sisminbakum (Sistem Administrasi Badan Hukum)”. Secara umum penelitian
hukum normatif ini membahas mengenai :
a. Pengesahan Perseroan Terbatas dengan Sisminbakum;
b. Pelaksanaan pengesahan Perseroan Terbatas dengan menggunakan
Sisminbakum;
c. Masalah-masalah yang timbul dalam pengesahan Perseroan Terbatas
dengan menggunakan Sisminbakum.
2. Tesis yang ditulis Nanik Rahayu, SH (NIM: B4B 008194), tahun 2010,
Universitas Diponegoro Semarang, dengan judul, “Eksistensi Akta Pendirian
Perseroan Terbatas Akibat Gangguan Pada Sisminbakum”. Secara umum
penelitian hukum normatif ini membahas mengenai :
a. Tanggung jawab Notaris dalam pembuatan Akta Pendirian Perseroan
Terbatas apabila terjadi keterlambatan permohonan pengesahan badan
hukum Perseroan Terbatas akibat gangguan pada Sisminbakum;
b. Akibat hukum terhadap Akta Pendirian Perseroan Terbatas dalam hal
terjadinya gangguan pada Sisminbakum.
3. Tesis yang ditulis Louise Patricia, SH (N.P.M. : 0806478752), tahun 2011,
Universitas Indonesia, dengan judul, “Kajian Sistem Administrasi Badan
-
10
Hukum (SABH) Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang
Perseroan Terbatas Dan Aplikasinya”. Secara umum penelitian hukum
normatif ini membahas mengenai :
a. Sinkronisasi hukum antara aplikasi Sistem Administrasi Badan Hukum
(SABH) dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas dan peraturan pelaksanaannya serta peraturan lain
yang berkaitan dengan Perseroan Terbatas;
b. Penyelesaian aplikasi Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) jika
terjadi perbedaan antara database dalam Sistem Administrasi Badan
Hukum (SABH) dengan akta-akta Notaris yang akan dijadikan dasar
untuk melakukan input data ke dalam Sistem Administrasi Badan Hukum
(SABH);
c. Penyelesaian aplikasi Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH)
terhadap daluarsa akta-akta Notaris;
d. Kekuatan bukti database dalam Sistem Administrasi Badan Hukum
(SABH) dan akta-akta Notaris jika terjadi perbedaan dalam sengketa
hukum.
Berdasarkan uraian di atas, penelitian dari peneliti yang berjudul, “Kewenangan
Yang Diberikan Kepada Notaris Pensiun Karena Keberadaan Peraturan Menteri
Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor 4 Tahun 2014” memiliki orisinalitas.
Tidak menutup kemungkinan bahwa penelitian ini akan melanjutkan penelitian-
penelitian yang telah disebutkan di atas karena pada kenyataannya sistem
elektronik SABH telah tiga kali diperbarui.
-
11
1.2. Rumusan Masalah
Dari uraian tersebut di atas, dikemukakan permasalahan-permasalahan
yang akan dibahas sebagai berikut :
1. Apakah Notaris pensiun berwenang untuk melanjutkan permohonan
pengesahan badan hukum Perseroan Terbatas yang belum selesai melalui
Sistem Administrasi Badan Hukum ?
2. Apakah akibat hukum dari kewenangan yang diberikan kepada Notaris
pensiun untuk melanjutkan permohonan pengesahan badan hukum Perseroan
Terbatas yang belum selesai melalui Sistem Administrasi Badan Hukum ?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan umum dilakukannya penelitian ini adalah untuk memperoleh
pemahaman mengenai kewenangan Notaris (pensiun) melanjutkan permohonan
pengesahan badan hukum PT melalui SABH yang dikaji berdasarkan
Permenkumham 2014. Diharapkan pula hasil penelitian ini dapat memberikan
sumbangan pemikiran secara konseptual dalam bidang hukum PT terkait dengan
paradigma science as a process (ilmu sebagai proses).
1.3.2. Tujuan Khusus
Sedangkan tujuan khusus dilakukannya penelitian ini oleh peneliti adalah
sebagai berikut :
-
12
1. Untuk menganalisis kewenangan Notaris pensiun melanjutkan permohonan
pengesahan badan hukum Perseroan Terbatas yang belum selesai melalui
Sistem Administrasi Badan Hukum.
2. Untuk menganalisis akibat hukum dari kewenangan yang diberikan kepada
Notaris pensiun untuk melanjutkan permohonan pengesahan badan hukum
Perseroan Terbatas yang belum selesai melalui Sistem Administrasi Badan
Hukum.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
kepada pemerintah tentang pentingnya pengaturan mengenai aspek yuridis formal
PT. Terutama pengaturan yang yang dapat menjamin legalitas (keabsahan) PT
yang telah dimohonkan pengesahan badan hukumnya oleh Notaris namun
prosesnya belum selesai, sampai pada keadaan Notaris yang bersangkutan
berstatus Notaris pensiun.
1.4.2. Manfaat Praktis
Seluruh hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat-
manfaat bagi :
1. Akademisi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
hukum. Hasil penelitian ini diharapkan juga dapat dijadikan sebagai bahan
penelitian, bahan pembelajaran dan bahan referensi pada perpustakaan.
-
13
2. Notaris
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
kepada Notaris terkait dengan penyelesaian masalah PT yang telah dimohonkan
melalui SABH namun prosesnya belum selesai. Terutama mengenai penyelesaian
permohonan pengesahan badan hukum PT yang telah dimohonkan berdasarkan
ketentuan Permenkumham 2011 oleh Notaris yang kemudian berstatus Notaris
pensiun.
3. Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu dan wawasan
peneliti (penulis) mengenai perkembangan hukum tentang PT dalam praktek
Notaris. Selain itu, penelitian ini dilakukan untuk memenuhi prasyarat kelulusan
dalam jenjang pendidikan Strata dua (S2) di Magister Kenotariatan Universitas
Udayana.
1.5. Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir
1.5.1. Landasan Teoritis
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, teori adalah suatu konstruksi di alam
ide manusia tentang realitas-realitas yang dijumpai dalam pengalaman hidupnya,
baik yang diperolehnya dari alam ide yang imajinatif maupun dari alam inderawi.3
Sedangkan konsep adalah unsur-unsur abstrak yang mewakili kelas-kelas
fenomena yang diabstraksikan berdasarkan hal-hal yang khusus dari kelas-kelas
3Soetandyo Wignjosoebroto, 2002, Hukum: Paradigma, Metode dan
Masalah, Cetakan I, ELSAM dan HUMA, Jakarta, hal. 84.
-
14
fenomena tersebut.4 Asas hukum menurut Satjipto Rahardjo merupakan jantung
dari peraturan hukum sebagai sebab lahirnya peraturan hukum (ratio legis). Asas
hukum hanya mengandung nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etis sebagai petunjuk
dalam memahami peraturan-peraturan hukum akan tetapi asas hukum bukan
merupakan hukum itu sendiri. Asas hukum akan tetap ada untuk melahirkan
peraturan-peraturan hukum.5 Permasalahan-permasalahan yang dikaji dalam
penelitian ini, dianalisis dengan menggunakan teori hukum dan asas hukum.
a. Teori Hierarki Norma Hukum
Teori hierarki norma hukum (stufentheorie) ini bermula dari pemikiran
Adolf Merkl yaitu, suatu norma hukum selalu mempunyai dua wajah yang
kemudian dikembangkan oleh Hans Kelsen. Menurut teori ini, peraturan-
peraturan hukum positif disusun secara bertingkat-tingkat membentuk suatu
piramida dengan tingkatan paling atas disebut dengan norma dasar (basic
norm/grundnorm) yang bersifat hipotesis. Norma dasar ini kemudian membentuk
norma-norma hukum di bawahnya, demikian seterusnya sampai terbentuk norma
hukum pada derajat tertentu yang melaksanakan norma-norma hukum yang lebih
tinggi secara konkrit.6
Selain menentukan cara membuat dan menentukan isi dari norma hukum
yang lebih rendah sampai pada derajat tertentu, suatu norma hukum dibentuk dan
ditentukan oleh norma hukum lain yang lebih tinggi. Oleh sebab itu dikatakan
4Johnny Ibrahim, 2013, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif,
Edisi Revisi, Cetakan VII, Bayumedia, Malang, hal. 306. 5Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Cetakan V, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal. 45-47. 6C.S.T. Kansil, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Jilid I: Pengantar Ilmu
Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cetakan IX, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 146.
-
15
bahwa norma hukum mengatur pembentukannya sendiri. Hukum dikatakan sahih
(valid) apabila dibentuk sesuai dengan ketentuan norma hukum lain yang lebih
tinggi yang digambarkan sebagai hubungan antara superordinasi dan subordinasi.
Rangkaian proses pembentukan hukum ini berakhir pada norma dasar sebagai
landasan validitas tertinggi yang tidak dapat diturunkan dari suatu norma yang
lebih tinggi lagi.7 Menurut Kelsen sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie
dan M. Ali Safa’at, validitas norma dasar (basic norm/grundnorm) sebagai norma
mengikat diperoleh karena ditetapkan atau ditentukan lebih dahulu oleh
masyarakat (dipresuposisikan atau dipraanggapkan valid).8
Rangkaian proses pembentukan hukum sebagaimana diuraikan di atas
membentuk keseluruhan hukum dalam suatu kesatuan tatanan hukum yang saling
bersangkut paut (koheren). Sebagai suatu kesatuan tatanan hukum yang koheren,
norma hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan norma hukum
yang lebih tinggi. Begitu pula dengan norma hukum yang lebih tinggi tidak boleh
bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya
sehingga hierarki norma hukum ini membentuk suatu sistem. Disebabkan karena
hierarki norma hukum tersebut membentuk suatu sistem, maka tidak mungkin
memahami hukum jika hanya memperhatikan satu aturan saja.9
7Hans Kelsen, 2010, General Theory of Law and State (Teori Umum
tentang Hukum dan Negara), Cetakan V, terjemahan Raisul Muttaqien, Nusa
Media, Bandung, hal. 179. 8Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, 2012, “Teori Hans Kelsen Tentang
Hukum”, Cetakan II, Konstitusi Press, Jakarta, hal. 90, dikutip dari Hans Kelsen,
1961, General Theory of Law and State, translated by: Anders Wedberg, Russell
& Russell, New York, hal. 115. 9Muhamad Erwin, 2012, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis terhadap Hukum,
Edisi ke-1, Cetakan II, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 169-170.
-
16
Hukum menurut Kelsen adalah selalu hukum positif tanpa mempersoalkan
adil ataupun tidak adil.10
Hukum merupakan kaidah atau norma sebagai pedoman
yang berisi aturan-aturan hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.11
Aturan-aturan hukum dapat berupa suruhan, perintah dan larangan yang sudah
seharusnya dipatuhi oleh setiap orang untuk berbuat sesuai dengan norma hukum
tersebut. Terdapat dua sistem norma yang dibedakan berdasarkan karakternya,
yaitu sistem norma statis dan sistem norma dinamis.
Karakter suatu norma bertipe statis apabila validitas maupun isinya
(materinya) diturunkan atau dideduksikan secara logis langsung dari norma dasar
tertentu, contohnya adalah norma moral. Sebaliknya, karakter suatu norma bertipe
dinamis apabila mengacu pada positivitas, yaitu validitasnya diperoleh karena
dibuat dengan cara tertentu oleh otoritas tertentu melalui tindakan manusia dan
untuk tindakannya tersebut telah diberikan kewenangan oleh norma yang lebih
tinggi. Menurut Kelsen sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie dan M. Ali
Safa’at, karakter norma hukum adalah dinamis karena positivisasinya berdasarkan
pada fakta bahwa, hukum tersebut dibuat dan dibatalkan sesuai aturan oleh
otoritas tertentu melalui tindakan manusia yang bebas dari norma moral dan
norma lainnya.12
Sedangkan validitas norma hukum menurut Kelsen sebagaimana
dikutip oleh Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at memiliki batas waktu berlaku
10
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, 2001, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori
Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 62. 11
J.J.H. Bruggink, 1999, Refleksi Tentang Hukum, Cetakan II, alih bahasa
B. Arief Sidharta, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 92. 12
Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, “op. cit.”, hal. 87, dikutip dari
Hans Kelsen, op. cit., hal. 112.
-
17
yang mengacu pada prinsip legitimasi, yaitu norma tetap valid sepanjang belum
dinyatakan invalid dengan cara yang ditentukan oleh tata hukum itu sendiri.13
Stufentheorie Hans Kelsen kemudian dikembangkan oleh muridnya yang
bernama Hans Nawiasky dengan teorinya yang disebut die Theorie vom
Stufenordnung der Rechtsnormen yang dikaitkannya dengan suatu negara. Prinsip
dari teori Nawiasky adalah, selain berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang
membentuk hierarki, norma hukum itu juga berkelompok-kelompok yang terdiri
dari empat kelompok besar, yaitu :14
1. Kelompok I : Norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm);
2. Kelompok II : Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz);
3. Kelompok III : Undang-undang formal (formell gesetz);
4. Kelompok IV : Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom
(verordnung en autonome satzung).
Berdasarkan prinsip dari teori Nawiasky tersebut di atas, berlaku asas lex superior
derogat legi inferiori, yaitu peraturan perundang-undangan yang tingkatannya
lebih tinggi mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang tingkatannya
lebih rendah. Menurut Nawiasky sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie dan
M. Ali Safa’at, norma dasar dalam teori Kelsen yang merupakan norma tertinggi
suatu negara dan merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi ini sebaiknya
tidak disebut grundnorm melainkan staatsfundamentalnorm. Hal itu disebabkan
13
Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, “op. cit.”, hal. 91-92, dikutip dari
Hans Kelsen, op. cit., hal. 117. 14
Maria Farida Indrati S., 2015, Ilmu Perundang-undangan (1): Jenis,
Fungsi dan Materi Muatan, Cetakan XVI, PT Kanisius, Yogyakarta, hal. 44-45.
-
18
karena, pada dasarnya grundnorm bersifat statis sedangkan norma tertinggi dapat
berubah karena kudeta atau revolusi.15
Gustav Radbruch memiliki suatu pandangan terhadap kesejatian tujuan
hukum dengan menyebutnya sebagai nilai-nilai dasar (fundamental) dari hukum,
yaitu keadilan (gerechtigkeit), kemanfaatan (zweckmaszigkeit) dan kepastian
(sicherheit).16
Meskipun ketiga-tiganya merupakan prinsip dasar (asas) dari
hukum, akan tetapi suatu hal yang tidak mudah untuk memenuhi ketiga asas
tersebut secara serentak. Ketiga-tiganya berisi tuntutan yang berbeda-beda dan
mengandung potensi pertentangan antara yang satu dengan yang lainnya. Hukum
positif memandang asas kepastian hukum lebih penting dan mengabaikan, baik
asas keadilan maupun asas kemanfaatan.17
Kepastian hukum dipandang sebagai
konsekuensi logis dari hukum, yaitu tetap berlakunya tatanan hukum negara
dalam bentuk aturan-aturan yang bersifat umum sebagai pemenuhan dari asas
legalitas.18
Kepastian hukum menurut Peter Mahmud Marzuki, mengandung dua
pengertian, yaitu :19
15
Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, “op. cit.”, hal. 154-155, dikutip
dari Hans Nawiasky, 1948, Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen
Grundbegriffe, Cetakan II, Benziger, Einsiedeln/Zurich/Koln, hal. 31-37. 16
Satjipto Rahardjo, op. cit., hal. 19. 17
W. Friedmann, 1994, Teori & Filsafat Hukum: Idealisme Filosofis &
Problema Keadilan (Susunan II), Edisi ke-1, Cetakan II, penerjemah Muhamad
Arifin, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 43. 18
Bernhard Limbong, 2012, Hukum Agraria Nasional, Cetakan I, Pustaka
Margaretha, Jakarta, hal. 26. 19
Peter Mahmud Marzuki, 2012, Pengantar Ilmu Hukum, Edisi Revisi,
Cetakan IV, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Peter
Mahmud Marzuki I), hal. 137.
-
19
1. Adanya aturan yang bersifat umum yang membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan;
2. Berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah, karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat
mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara
terhadap individu.
Kepastian hukum menjamin bahwa hukum dapat berfungsi sebagai peraturan
yang harus ditaati.20
Hukum secara tertulis dijabarkan ke dalam pasal-pasal
peraturan perundang-undangan yang memuat kaidah (norma) hukum. Setelah
diundangkan secara resmi, norma hukum yang termuat dalam peraturan
perundang-undangan tersebut berlaku dan mengikat secara umum sehingga dapat
memberikan jaminan kepastian hukum.
Teori hierarki norma hukum dan asas lex superior derogate legi inferiori
selanjutnya akan dipergunakan untuk menganalisis permasalahan pertama, yaitu
“Apakah Notaris pensiun berwenang untuk melanjutkan permohonan pengesahan
badan hukum Perseroan Terbatas yang belum selesai melalui Sistem Administrasi
Badan Hukum ?”. Norma hukum yang termuat dalam substansi surat Ditjen AHU
merupakan pelaksanaan secara konkrit norma hukum yang lebih tinggi, sehingga
norma hukum yang termuat dalam substansi surat Ditjen AHU tersebut akan
dianalisis berdasarkan dan dalam kerangka tatanan hukum positif yang berlaku.
b. Teori Kewenangan
Secara umum, yang dimaksud dengan kekuasaan adalah kemampuan
seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau
kelompok lain sedemikian rupa sehingga sesuai dengan keinginan dari orang atau
20
Theo Huijbers, 2007, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah, Cetakan
XIV, Kanisius, Yogyakarta, hal. 163.
-
20
kelompok tersebut.21
Pada dasarnya kekuasaan yang dapat diterima adalah
kekuasaan yang formal (legitim) yang disebut juga dengan kewenangan.22
Legitimasi berarti sah menurut hukum yang memenuhi asas legalitas, yaitu
kekuasaan bersumber pada peraturan perundang-undangan yang mengatur
pemberian kekuasaan tersebut.23
Menurut Bagir Manan sebagaimana dikutip oleh
Ridwan HR, dalam hukum publik pada dasarnya dibedakan antara kekuasaan
(macht) dan kewenangan. Kekuasaan (macht) hanya menggambarkan hak yang
dimiliki untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewenangan
menggambarkan hak dan kewajiban.24
Hak memuat kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan
tertentu, atau menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu.
Berdasarkan kewenangan yang dimilikinya, penguasa berhak melakukan
perbuatan hukum publik seperti mengeluarkan perintah dan membuat peraturan-
peraturan serta berhak untuk mengharapkan kepatuhan terhadap peraturan-
peraturan yang dibuatnya. Sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk
melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu. Menurut doktrin teori
21
Miriam Budiardjo, 2012, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, Cetakan
V, PT Gramedia Pustaka Umum, Jakarta, hal. 60. 22
Beddy Iriawan Maksudi, 2012, Sistem Politik Indonesia: Pemahaman
Secara Teoretik dan Empirik, Edisi ke-1, Cetakan II, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, hal. 89. 23
Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, 2000, Pengantar Ilmu
Hukum: Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum
Buku I, Edisi ke-1, Cetakan II, PT Alumni, Bandung, hal. 34. 24
Ridwan HR, 2014, “Hukum Administrasi Negara”, Edisi Revisi, Cetakan
X, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 99, dikutip dari Bagir Manan, 2000,
“Wewenang Provinsi, Kabupaten, dan Kota dalam Rangka Otonomi Daerah”,
Makalah pada Seminar Nasional, Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 13 Mei 2000,
hal. 1-2.
-
21
kewenangan, kewenangan dalam hukum publik yang berkaitan dengan suatu
jabatan, dapat diperoleh melalui atribusi (attributie van wetbevoegdheid), delegasi
(delegatie van bevoegdheid) dan mandat.25
Atribusi adalah wewenang yang ada pada badan atau pejabat tata usaha
negara, atau dengan kata lain wewenang yang melekat pada jabatan. Kewenangan
ini diberikan oleh pembentuk undang-undang dasar maupun pembentuk undang-
undang kepada badan (lembaga) atau pejabat (ambt) negara tertentu dalam hal
pembentukan peraturan perundang-undangan. Karakterisitik dari atribusi adalah,
terciptanya kewenangan baru untuk dan atas nama yang diberi wewenang dengan
tanggung jawab yang mandiri. Terdapat suatu original power (originaire van
macht) dalam atribusi yang kemudian melahirkan suatu original power of
legislation (originaire wetgevendemacht).26
Delegasi adalah suatu penyerahan atau pelimpahan kewenangan dari badan
(lembaga) atau pejabat negara kepada badan (lembaga) atau pejabat negara lain.
Karakteristik dari delegasi adalah tidak terciptanya wewenang baru, kewenangan
tetap berada pada badan (lembaga) atau pejabat yang menyerahkan atau
melimpahkan wewenang tersebut (delegans), dengan tanggung jawab beralih
kepada penerima kewenangan (delegataris).27
Kewenangan yang diperoleh
melalui atribusi dan delegasi harus didasarkan pada suatu undang-undang formal.
25
Philipus M. Hadjon et. al., 1999, Pengantar Hukum Administrasi
Indonesia (Introduction to the Indonesian Administrative Law), Cetakan VI,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 130-131. 26
H. Rosjidi Ranggawidjaja, 1998, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan
Indonesia, Cetakan I, CV. Mandar Maju, Bandung, hal. 36. 27
Ibid., hal 36-37.
-
22
Oleh sebab itu, atribusi dan delegasi digunakan untuk memeriksa keabsahan dari
berwenang atau tidaknya suatu badan.28
Karakteristik kewenangan dalam mandat adalah, tidak ada sama sekali
pengakuan kewenangan atau pelimpahan kewenangan. Kewenangan dalam
mandat biasanya menyangkut hubungan kerja internal antara pejabat sebagai
atasan dan pegawainya yang berupa penyerahan suatu tugas tertentu dengan
tanggung jawab tetap berada pada pemberi mandat.
Teori kewenangan selanjutnya akan dipergunakan untuk menganalisis
permasalahan pertama, yaitu “Apakah Notaris pensiun berwenang untuk
melanjutkan permohonan pengesahan badan hukum Perseroan Terbatas yang
belum selesai melalui Sistem Administrasi Badan Hukum ?”. Protokol Notaris
diserahkan kepada Notaris pemegang Protokol Notaris setelah Notaris pensiun,
namun substansi surat Ditjen AHU memberikan kewenangan kepada Notaris
pensiun untuk melanjutkan proses pengesahan badan hukum PT secara elektronik
melalui SABH. Kewenangan yang diberikan kepada Notaris pensiun tersebut akan
dianalisis dengan teori kewenangan yang dimaksud.
c. Teori Kebatalan
Menurut E. Utrecht sebagaimana dikutip oleh SF. Marbun dan Mohammad
Mahfud, secara garis besar perbuatan organ pemerintah dalam melaksanakan
tugas menyelenggarakan kepentingan umum digolongkan menjadi dua, yaitu :29
28
Philipus M. Hadjon et. al., op. cit., hal. 131. 29
SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD, 2009, “Pokok-Pokok Hukum
Administrasi Negara”, Edisi ke-1, Cetakan V, Liberty, Yogyakarta, hal. 68,
dikutip dari E. Utrecht, 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia,
Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Unpad, Bandung, hal. 63.
-
23
1) golongan perbuatan hukum; dan
2) golongan yang bukan perbuatan hukum.
Golongan perbuatan hukum oleh organ pemerintahan dalam melaksanakan
tugasnya menyelenggarakan kepentingan umum (publik) dapat dibagi menjadi :30
1) Perbuatan hukum publik yang bersegi satu (eenzijdige publiekrechtelijke
handeling) yang diberi nama keputusan (beschikking). Perbuatan hukum
publik yang bersegi satu ini dilakukan oleh administrasi (aparat pemerintah)
berdasarkan kekuasaannya yang istimewa.
2) Perbuatan hukum publik yang bersegi dua (tweezijdige publiekrechtelijke
handeling) yang diatur oleh hukum publik yaitu, hukum administrasi negara.
Perbuatan hukum publik yang bersegi dua ini merupakan perbuatan hukum
yang diadakan oleh pemerintah sebagai pihak yang memberikan pekerjaan
dengan pihak swasta (partikelir), seperti misalnya Kortverband Contract
(perjanjian kerja yang berlaku dalam jangka waktu pendek).
Suatu keputusan (beschikking) dinyatakan sah apabila telah memenuhi syarat-
syarat berikut :31
1) Keputusan harus dibuat oleh organ atau badan atau pejabat yang berwenang
membuatnya (bevoegd)
Dikaitkan dengan ruang lingkup kompetensi suatu jabatan, terdapat tiga
macam bentuk tidak berwenangnya (onbevoegdheid) suatu organ atau badan
atau pejabat pemerintah, yaitu :
30
Philipus M. Hadjon et. al., op. cit., hal. 65. 31
SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD, op. cit., hal. 79-82.
-
24
a. Tidak berwenang dalam hal materi/substansi (onbevoegdheid ratione
materiae), yaitu materi/substansi keputusan tidak termasuk dalam
kewenangan organ atau badan atau pejabat tersebut (berkaitan dengan
kompetensi absolut).
b. Tidak berwenang dalam hal wilayah hukum/yurisdiksi (onbevoegdheid
ratione loci), yaitu keputusan yang dibuat di luar kewenangan wilayah
hukum/yurisdiksi organ atau badan atau pejabat tersebut (berkaitan
dengan kompetensi relatif).
c. Tidak berwenang dalam hal waktu (onbevoegdheid ratione temporis),
yaitu keputusan yang dibuat telah lewat waktu berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang mengatur hal tersebut.
Keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintahan (Pejabat Tata Usaha
Negara) yang tidak berwenang, dapat dinyatakan bahwa keputusan tersebut
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2) Keputusan tidak boleh memuat kekurangan-kekurangan yuridis
Kekurangan yuridis maksudnya adalah, bahwa suatu keputusan tidak boleh
memuat unsur paksaan (dwang) atau sogokan (omkoping), unsur penipuan
(bedrog) dan unsur kesesatan (dwaling) atau kekeliruan/kekhilafan.
3) Isi dan tujuan keputusan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan
dasarnya (doelmatig)
Isi suatu keputusan harus langsung terarah pada sasaran yang dituju (cermat
dan efisien) berdasarkan peraturan dasarnya. Isi dan tujuan keputusan yang
tidak sesuai dengan peraturan dasarnya dapat dikategorikan sebagai perbuatan
-
25
sewenang-wenang atau penyalahgunaan wewenang (detournement de
pouvoir).
4) Keputusan harus memiliki bentuk sesuai dengan peraturan yang menjadi
dasarnya dan harus menurut prosedur pembuatnya (rechtmatige)
Hal ini terkait dengan syarat-syarat formal yang harus dipenuhi oleh suatu
keputusan, yaitu :
a. prosedur (cara pembuatannya);
b. bentuk keputusan dapat tertulis atau lisan (mondeling);
c. pemberitahuan kepada yang bersangkutan.
Disyaratkan suatu keputusan dibuat dalam bentuk tertulis karena memuat
secara jelas motivasi dan pertimbangan-pertimbangan dikeluarkannya
keputusan tersebut. Selain itu, suatu keputusan tertulis sangat penting artinya
terutama bagi pihak yang merasa tidak puas terhadap keputusan tersebut.
Syarat 1), 2) dan 3) sebagaimana diuraikan di atas merupakan syarat materiil yang
berkaitan dengan substansi (isi), sedangkan syarat 4) merupakan syarat formil
yang berkaitan dengan bentuk.
Tidak dipenuhinya syarat-syarat tersebut di atas mengakibatkan suatu
keputusan yang merupakan hasil perbuatan hukum publik dari organ/pejabat
pemerintah (Pejabat Tata Usaha Negara) menjadi tidak sah. Akibat hukum yang
ditimbulkan adalah, keputusan tersebut dapat menjadi batal. Kebatalan suatu
keputusan dapat dijelaskan melalui teori kebatalan (nietig theorie), yaitu :32
1) Keputusan yang batal
32
SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD, op. cit., hal. 83.
-
26
Keputusan yang batal dapat dibedakan menjadi batal mutlak (absolute nietig)
dan batal nisbi/relatif (relatif nietig). Keputusan yang batal mutlak
maksudnya ialah, pembatalan terhadap keputusan tersebut dapat dituntut oleh
setiap orang. Sedangkan keputusan yang batal relatif maksudnya ialah,
pembatalan terhadap keputusan tersebut hanya dapat dituntut oleh orang-
orang tertentu saja. Pejabat yang berwenang menyatakan suatu keputusan
batal adalah hakim (pejabat yudikatif).
2) Keputusan yang batal karena hukum (van rechtwage nietig)
Keputusan yang batal karena hukum berlaku surut, pengujian dilakukan
terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat tanggal
diterbitkannya keputusan yang batal tersebut. Keadaan dikembalikan pada
keadaan semula sebelum diterbitkannya keputusan yang dimaksud (ex tunc).
Perbuatan hukum publik menjadi tidak sah dan akibat hukum yang
ditimbulkannya dianggap tidak pernah ada (tidak pernah terjadi). Pejabat
yang berwenang menyatakan suatu keputusan batal karena hukum adalah
hakim (pejabat yudikatif) dan instansi atasan (pejabat eksekutif).
3) Keputusan yang dapat dibatalkan (vernietigbaar).
Keputusan yang dapat dibatalkan tidak berlaku surut, pengujian dilakukan
terhadap peraturan perundang-undangan yang sedang berlaku sekarang (ius
constitutum). Perbuatan hukum publik dianggap sah dan akibat hukum yang
ditimbulkannya dianggap ada sampai diterbitkannya keputusan pembatalan
(ex nunc), kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Pejabat yang
-
27
berwenang menyatakan suatu keputusan dapat dibatalkan adalah hakim
(pejabat yudikatif) dan instansi atasan (pejabat eksekutif).
Teori kebatalan selanjutnya digunakan untuk membahas dan menganalisis
tentang permasalahan kedua, yaitu “Apakah akibat hukum dari kewenangan yang
diberikan kepada Notaris pensiun untuk melanjutkan permohonan pengesahan
badan hukum Perseroan Terbatas yang belum selesai melalui Sistem Administrasi
Badan Hukum ?”. Secara teknis, penyelesaian permohonan secara elektronik
melalui SABH yang prosesnya belum selesai, diatur dalam Ketentuan Peralihan
Pasal 33 Permenkumham 2014. Ketentuan Pasal 33 Permenkumham 2014
tersebut dijadikan dasar hukum oleh surat Ditjen AHU untuk memberikan
kewenangan kepada Notaris menyelesaikan proses permohonan pensiun yang
dapat menimbulkan akibat hukum bagi surat Ditjen AHU yang dimaksud.
1.5.2. Kerangka Berpikir
Hubungan antara teori-teori dan asas hukum dengan permasalahan yang
diteliti sebagaimana diuraikan di atas, digambarkan dalam kerangka berpikir
sebagai berikut :
-
28
Latar Belakang Masalah Rumusan Masalah Landasan Teoritis
Fakta-fakta hukum :
Permohonan pengesahan badan hukum PT
melalui SABH dengan
Permenkumham 2011
sebagai payung
peraturannya.
Tidak dipenuhinya syarat dokumen
pendukung
mengakibatkan proses
permohonan tidak
memperoleh SK
Menkumham.
Pada Tahun 2013 notaris pensiun sehingga masih
meninggalkan
pekerjaan.
Pada Tahun 2014 diberlakukan
Permenkumham 2014
dengan mencabut
Permenkumham 2011.
Notaris dapat langsung mencetak SK
Menkumham secara
elektronik melalui
SABH (Pasal 15 ayat (3)
Permenkumham 2014).
Selanjutnya, notaris
wajib membubuhkan
cap jabatan dan
menandatangani SK
tersebut (Pasal 15 ayat
(4) Permenkumham
2014).
Masa transisi diatur dalam Pasal 33
Permenkumham 2014.
Berdasarkan Pasal 33
tersebut, diberikan
kewenangan kepada
notaris pensiun untuk
melanjutkan proses yang
belum selesai (substansi
dari surat Ditjen AHU).
1. Apakah Notaris pensiun
berwenang untuk melanjutkan
permohonan pengesahan
badan hukum Perseroan
Terbatas yang belum selesai
melalui Sistem Administrasi
Badan Hukum ?
2. Apakah akibat hukum dari
kewenangan yang diberikan
kepada Notaris pensiun untuk
melanjutkan permohonan
pengesahan badan hukum
Perseroan Terbatas yang
belum selesai melalui Sistem
Administrasi Badan Hukum ?
Teori Kebatalan
Teori Hierarki Norma Hukum
dan asas lex
superior
derogat legi
inferiori
Teori Kewenangan
Metode Penelitian
Jenis Penelitian :
Penelitian hukum
normatif yang
dilakukan
berdasarkan fakta-
fakta hukum yang
diperoleh di dalam
kegiatan praktik
hukum.
Ketentuan Pasal 33 Permenkumham 2014 : ------------------------------ Permohonan pengesahan pendirian yang telah diajukan dan sedang diproses sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, diproses berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dengan melampirkan pernyataan secara tertulis sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini.
Menimbulkan akibat
hukum bagi surat
Ditjen AHU yang
substansinya
memberikan
kewenangan kepada
Notaris pensiun.
Permasalahan Yuridis :
Konflik norma antara
substansi surat Ditjen
AHU dengan UU
40/2007 dan
Permenkumham 2014.
-
29
1.6. Metode Penelitian
1.6.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang juga disebut
sebagai penelitian hukum doktrinal.33
Penelitian hukum normatif adalah penelitian
hukum yang meneliti bahan hukum atau disebut juga data sekunder, yang
mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tertier.34
Penelitian hukum normatif ini dilakukan berdasarkan fakta-fakta hukum
yang diperoleh dalam kegiatan praktik hukum.35
Fokus kajian penelitian ini
adalah pada permasalahan norma yang termuat dalam ketentuan hukum positif
(proposisi hukum), konsep-konsep hukum dari statuta serta aturan administrasi.36
Peneliti melihat terdapat konflik norma (geschijld van normen) antara
substansi surat Ditjen AHU dengan UU 40/2007 dan Permenkumham 2014.
Berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (3) UU 40/2007 juncto ketentuan Pasal 1
angka 4 Permenkumham 2014, pemohon (para pendiri bersama-sama)
memberikan kuasa kepada Notaris untuk proses pengesahan badan hukum PT
secara elektronik melalui SABH. Sementara substansi dari surat Ditjen AHU yang
ditujukan kepada Notaris pensiun tertentu, memberikan kewenangan kepada
Notaris pensiun yang dimaksud untuk melanjutkan permohonan pengesahan
33
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2006, Pengantar Metode Penelitian
Hukum, Edisi ke-1, Cetakan III, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 118. 34
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2012, Penelitian Hukum Normatif
(Suatu Tinjauan Singkat), Cetakan XIV, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal.
13. 35
Peter Mahmud Marzuki, 2013, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Cetakan
VIII, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Peter
Mahmud Marzuki II), hal. 214. 36
Ade Saptomo, 2009, Pokok-pokok Metodologi Penelitian Hukum
Empiris Murni: Sebuah Alternatif, Universitas Trisakti, Jakarta, hal. 36-37.
-
30
badan hukum PT secara elektronik melalui SABH berdasarkan ketentuan Pasal 33
Permenkumham 2014. Menurut Peter Mahmud Marzuki, langkah-langkah yang
dilakukan dalam penelitian hukum normatif, antara lain :37
1. Mengidentifikasi fakta hukum dan mengeleminasi hal-hal yang tidak relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan.
2. Mengumpulkan bahan-bahan hukum dan bahan-bahan nonhukum yang dipandang mempunyai relevansi.
3. Melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan berdasarkan bahan-bahan yang telah dikumpulkan.
4. Menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi yang menjawab isu hukum.
5. Memberikan preskripsi berdasarkan argumentasi yang telah dibangun di dalam kesimpulan.
1.6.2. Jenis Pendekatan
Peneliti menggunakan beberapa jenis pendekatan dalam penelitian ini
untuk menganalisis isu hukum (permasalahan hukum) yang dikaji. Pendekatan
yang digunakan adalah : pendekatan perundang-undangan (the statute approach),
pendekatan analisis konsep hukum (analitical & conceptual approach) dan
pendekatan fakta (the fact approach).
Pendekatan perundang-undangan digunakan oleh peneliti karena fokus
sekaligus tema sentral dari penelitian ini adalah mengenai aturan-aturan hukum.38
Semua peraturan perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan-
permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini akan dianalisis dengan
menggunakan pendekatan perundang-undangan.
Pendekatan analisis konsep hukum digunakan untuk menganalisis
permasalahan dengan konsep-konsep yang relevan. Konsep-konsep yang
37
Peter Mahmud Marzuki II, op. cit., hal. 213. 38
Johnny Ibrahim, op. cit., hal. 302.
-
31
digunakan dalam penelitian ini merujuk pada pendapat para sarjana atau doktrin-
doktrin hukum yang terkait dengan permasalahan-permasalahan yang dikaji.
Pendekatan fakta (the fact approach) merupakan pendekatan terhadap
suatu perbuatan, peristiwa atau keadaan hukum,39
yang prosesnya masih
berlangsung atau belum berakhir. Faktanya, masih ditemukan dalam praktek
Notaris masalah PT yang sebelumnya dimohonkan pengesahan badan hukumnya
oleh Notaris pensiun prosesnya belum selesai, pasca diberlakukannya
Permenkumham 2014. Namun, dalam keadaan hukum kehilangan
kewenangannya tersebut, Notaris pensiun diberikan kewenangan kembali untuk
menyelesaikan permohonan pengesahan badan hukum PT. Fakta-fakta tersebut
akan dikaitkan dengan permasalahan yang akan dikaji dan kemudian dianalisis.
1.6.3. Sumber Bahan Hukum
Penelitian ini meneliti dan menganalisis bahan-bahan hukum yang
bersumber pada bahan hukum primer, sekunder dan tertier,40
yang dapat diuraikan
sebagai berikut :
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan yang
langsung menjadi bahan kajian. Sebagaimana dikemukakan oleh Terry
Hutchinson,41
“The primary materials are the actual sources of the law –
legislation and case law” (Bahan-bahan primer adalah sumber-sumber hukum
39
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2011, Argumentasi
Hukum, Cetakan V, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 40. 40
Muslan Abdurrahman, 2009, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum,
Cetakan I, UMM Press, Malang, hal. 127-128. 41
Terry Hutchinson, 2002, Researching and Writing in Law, Lawbook Co.,
Pyrmont NSW, hal. 9.
-
32
yang aktual – peraturan perundang-undangan dan kasus hukum), maka bahan
hukum primer yang dikaji meliputi :
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib
Daftar Perusahaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3214);
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1986 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3344) sebagaimana telah diubah dengan :
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4380);
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5079).
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
-
33
Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4432), sebagaimana telah diubah dengan :
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5491);
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4756);
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi Dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4843);
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2008 tentang
Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4916);
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang
Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 109,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5035);
-
34
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5234);
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5601);
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Staatsblad Tahun 1847 Nomor
23;
- Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan
Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles),
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 78,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4107),
sebagaimana telah diubah dengan :
Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/23/PBI/2001 tentang Perubahan
Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 tentang
Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer
Principles), (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001
Nomor 151, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4160);
Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003 tentang Perubahan
Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 tentang
-
35
Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer
Principles), (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4325).
- Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2011 tentang Tata Cara
Pengajuan dan Pemakaian Nama Perseroan Terbatas (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5244);
- Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/27/PBI/2012 tentang Penerapan
Program Anti Pencucian Uang Dan Pencegahan Pendanaan Terorisme
Bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012
Nomor 290, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5385);
- Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor
M.02.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Bentuk dan Ukuran Cap/Stempel
Notaris;
- Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-
05.OT.01.01 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 676) sebagaimana telah diubah dengan :
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 19 Tahun
2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Nomor M.HH-05.OT.01.01 Tahun 2010 tentang
-
36
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor
740);
- Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-
01.AH.01.01 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan
Pengesahan Badan Hukum Dan Pesetujuan Perubahan Anggaran Dasar
Serta Penyampaian Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar Dan
Perubahan Data Perseroan Terbatas (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 187);
- Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor 4 Tahun 2014
tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum
Dan Persetujuan Perubahan Anggaran dasar Serta Penyampaian
Pemberitahuan Perubahan Anggaran dasar Dan Perubahan Data
Perseroan Terbatas (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 392).
2. Dikemukakan oleh Jacobstein dan Mersky, “…when in the legal search
process primary authorities cannot be located, the searcher will seek for
secondary authorities”42
(Ketika dalam proses pencarian bahan hukum primer
tidak ditemukan, peneliti akan mencari bahan hukum sekunder). Maka, bahan
hukum sekunder adalah bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan
hukum primer, yang dapat digunakan untuk membantu menganalisis dan
memahami bahan hukum primer. Bahan-bahan hukum sekunder ini meliputi :
42
Myron J. Jacobstein, et. al., 1994, Fundamental of Legal Research, The
Foundation Press, New York, hal. 9.
-
37
buku-buku hukum (text books) yang dipandang mempunyai relevansi, jurnal-
jurnal hukum, hasil-hasil penelitian dan karya tulis hukum yang relevan dan
pendapat atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa.
Bahan hukum sekunder juga diperoleh dari internet dalam bentuk e-book
serta artikel-artikel yang terkait dengan penelitian.43
3. Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tertier yang
digunakan adalah Kamus Bahasa Indonesia.
1.6.4. Data Penunjang
Penelitian ini menggunakan data penunjang yang oleh Peter Mahmud
Marzuki disebut juga bahan nonhukum,44
berupa hasil wawancara dari informan
untuk menganalisis permasalahan-permasalahan hukum yang dikaji. Teknik
wawancara yang digunakan adalah wawancara terstruktur, yaitu merumuskan
semua pertanyaan secara tertulis dengan cermat.45
Informan adalah seseorang atau
lebih yang memberikan informasi kepada peneliti tentang segala hal yang
berkaitan dengan penelitian.46
Informan yang dijadikan sebagai narasumber dalam penelitian ini ialah
dua orang Notaris pensiun yang sebelumnya pernah mengajukan permohonan
pengesahan badan hukum PT melalui SABH sebelum diberlakukannya
Permenkumham 2014, namun prosesnya belum selesai hingga diberlakukannya
43
Dyah Ochtorina Susanti dan A’an Efendi, 2014, Penelitian Hukum
(Legal Research), Cetakan I, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 141. 44
Peter Mahmud Marzuki II, op. cit., hal. 206. 45
S. Nasution, 2012, Metode Research (Penelitian Ilmiah), Edisi ke-1,
Cetakan XIII, Bumi Aksara, Jakarta, hal. 117. 46
Ade Saptomo, op. cit., hal. 81.
-
38
Permenkumham 2014. Kedua orang Notaris pensiun yang dimaksud adalah Josef
Sunar Wibisono, SH., M.Kn., dan I Made Puryatma, SH., M.Kn.
1.6.5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tersier dalam penelitian ini,
dikumpulkan dengan mempergunakan teknik studi dokumen. Metode yang
digunakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah metode snowball dan metode
sistem kartu.
Metode snowball dilakukan dengan cara mengumpulkan sebuah literatur
untuk selanjutnya akan diambil beberapa sumber yang terdapat dalam literatur
tersebut yang terkait dengan penelitian. Hal yang sama dilakukan pada sumber-
sumber tersebut sehingga akan diperoleh lebih banyak bahan hukum. Sedangkan
metode sistem kartu yang dipergunakan adalah kartu kutipan yang mencakup
pencatatan mengenai kutipan bahan hukum dan sumber bahan hukum, seperti
nama penulis, tahun terbit, judul buku, dan lain sebagainya.
1.6.6. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Setelah diperoleh bahan-bahan hukum yang terkait dengan penelitian,
bahan-bahan hukum tersebut kemudian diolah dengan cara dikumpulkan dan
dicatat (diinventarisasi) kemudian dikelompokkan (diklasifikasi) sesuai dengan
masalah yang dikaji. Selanjutnya, akan dilakukan analisis terhadap bahan-bahan
hukum tersebut dengan menggunakan beberapa teknik analisis, yaitu : teknik
deskripsi, teknik evaluasi, teknik argumentasi, teknik interpretasi dan teknik
sistematisasi.
-
39
Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang digunakan untuk
menggambarkan atau menguraikan bahan-bahan hukum dan bahan-bahan
nonhukum apa adanya. Teknik deskripsi dalam penelitian ini digunakan untuk
menguraikan kondisi atau posisi dari ketentuan-ketentuan (proposisi-proposisi)
peraturan perundang-undangan yang dikaji, doktrin-doktrin hukum dan juga
informasi yang diperoleh dari hasil wawancara dengan informan.
Teknik evaluasi digunakan untuk penilaian berupa tepat atau tidak tepat,
setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah. Penilaian dilakukan
terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik
yang tertera dalam bahan primer maupun bahan sekunder.
Teknik argumentasi digunakan untuk mewujudkan hasil proses berpikir
atau menalar dalam bentuk argumen. Teknik argumentasi dalam penelitian ini
tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi, karena penilaian didasarkan pada
alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.
Teknik interpretasi digunakan untuk menemukan makna dari suatu aturan
hukum dengan mendistilasi (menarik keluar) dan menampilkan ke permukaan
norma hukum yang termuat dalam aturan hukum tersebut.47
Menurut Aulis
Aarnio, interpretasi (penafsiran) merupakan aspek praktikal dari ilmu hukum.48
47
Bernard Arief Sidharta, 2013, “Penelitian Hukum Normatif: Analisis
Penelitian Filosofikal dan Dogmatikal” (selanjutnya disingkat Bernard Arief
Sidharta I) dalam Sulistyowati Irianto dan Shidarta (ed); Metode Penelitian
Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Cetakan III, Yayasan Pustaka Obor Indonesia,
Jakarta, hal. 145. 48
Bernard Arief Sidharta, 2013, Ilmu Hukum Indonesia: Upaya
Pengembangan Ilmu Hukum Sistematik yang Responsif Terhadap Perubahan
Masyarakat, Cetakan I, Genta Publishing, Yogyakarta, (selanjutnya disingkat
Bernard Arief Sidharta II), hal. 28.
-
40
Metode penafsiran yang digunakan dalam penelitian ini antara lain penafsiran
gramatikal dan sistematikal. Penafsiran gramatikal yaitu, mencoba memahami
teks dalam ketentuan peraturan perundang-undangan berdasarkan bahasa dan
susunan kata-kata yang digunakan yang dilakukan bersamaan dengan penafsiran
logis melalui penalaran hukum.49
Sedangkan penafsiran sistematikal yaitu, untuk
menentukan arti atau makna ketentuan peraturan perundang-undangan dengan
cara mengkaitkannya dengan ketentuan pasal-pasal lainnya.50
Sistematisasi sebagaimana dikemukakan oleh Bernard Arief Sidharta
dalam Sulistyowati Irianto dan Shidarta memiliki arti membangun dan
menumbuh-kembangkan sistem hukum berdasarkan apa yang sudah ada, atau
menempatkan (mengintegrasikan) hasil interpretasi terhadap aturan hukum ke
dalam sistem hukum yang sudah ada.51
Teknik sistematisasi dalam penelitian ini
digunakan untuk mencari kaitan rumusan suatu proposisi hukum antara peraturan
perundang-undangan yang sederajat maupun yang tidak sederajat. Penelitian ini
menggunakan tataran sistematisasi dan metode sistematisasi sebagaimana
dikemukakan oleh Mark van Hoecke yang dikutip oleh Bernard Arief Sidharta.
Tataran sistematisasi yang digunakan adalah tataran teknis, yaitu sistematisasi
berdasarkan hierarki sumber hukum yang diterima secara umum. Sedangkan
49
Nomensen Sinamo, 2009, Metode Penelitian Hukum, Edisi ke-1, PT.
Bumi Intitama Sejahtera, Jakarta, hal. 61-63. 50
I Dewa Gede Atmadja, 2009, Pengantar Penalaran Hukum dan
Argumentasi Hukum, Cetakan I, Bali Aga, Denpasar, hal. 43. 51
Bernard Arief Sidharta I dalam Sulistyowati Irianto dan Shidarta (ed);
op. cit., hal. 146.
-
41
metode sistematisasi yang digunakan adalah metode logika, yaitu menggunakan
asas logika deduksi.52
52
Bernard Arief Sidharta II, “op. cit.”, hal. 65-67, dikutip dari M. van
Hoecke, 1984, Aard en Methode van de Rechtsdogmatiek, R&R, hal. 193-195.