BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang...Terhadap Pengesahan Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum...

41
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perseroan Terbatas merupakan salah satu pilar pembangunan perekonomian nasional. Prinsip-prinsip dasar perekonomian nasional diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Keempat (selanjutnya ditulis UUD NRI 1945). Ditentukan dalam Pasal 33 ayat (4) UUD NRI 1945 bahwa, perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi yang berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Perseroan Terbatas (selanjutnya disingkat PT) ikut berperan dalam tata ekonomi nasional untuk meningkatkan pembangunan perekonomian nasional. Hukum positif di Indonesia yang mengatur tentang PT saat ini adalah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4756), selanjutnya ditulis UU 40/2007. Berdasarkan ketentuan Pasal 161 UU 40/2007, undang- undang PT ini berlaku pada tanggal diundangkannya, yaitu pada tanggal 16 Agustus 2007. Pengertian PT secara lengkap dirumuskan dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UU 40/2007. Disebutkan bahwa, Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang...Terhadap Pengesahan Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum...

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Perseroan Terbatas merupakan salah satu pilar pembangunan

    perekonomian nasional. Prinsip-prinsip dasar perekonomian nasional diatur dalam

    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan

    Keempat (selanjutnya ditulis UUD NRI 1945). Ditentukan dalam Pasal 33 ayat (4)

    UUD NRI 1945 bahwa, perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan

    demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi yang berkeadilan,

    berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga

    keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Perseroan Terbatas

    (selanjutnya disingkat PT) ikut berperan dalam tata ekonomi nasional untuk

    meningkatkan pembangunan perekonomian nasional.

    Hukum positif di Indonesia yang mengatur tentang PT saat ini adalah

    Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran

    Negara Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4756), selanjutnya

    ditulis UU 40/2007. Berdasarkan ketentuan Pasal 161 UU 40/2007, undang-

    undang PT ini berlaku pada tanggal diundangkannya, yaitu pada tanggal 16

    Agustus 2007. Pengertian PT secara lengkap dirumuskan dalam ketentuan Pasal 1

    angka 1 UU 40/2007. Disebutkan bahwa, Perseroan Terbatas yang selanjutnya

    disebut perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal,

    didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar

  • 2

    yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan

    dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

    Berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU 40/2007, pengesahan badan

    hukum PT dilakukan secara elektronik. Pendiri bersama-sama mengajukan

    permohonan melalui jasa teknologi informasi Sistem Administrasi Badan Hukum

    (selanjutnya ditulis SABH) secara elektronik kepada Menteri untuk memperoleh

    keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum PT. Menteri adalah

    Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan hak asasi

    manusia (selanjutnya ditulis Menkumham) berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka

    16 UU 40/2007. Peraturan pelaksanaan yang memuat tata cara pengajuan

    permohonan kepada Menkumham secara elektronik melalui SABH dituangkan

    dalam peraturan Menteri, sedangkan sistem elektronik SABH yang dimaksud

    dikelola oleh Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU).

    Permohonan secara elektronik melalui SABH bertujuan untuk mempersingkat

    jangka waktu proses pengesahan badan hukum PT, perubahan anggaran dasar PT

    maupun perubahan data PT.

    Ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1) UU 40/2007 bahwa, perseroan didirikan

    oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta Notaris yang dibuat dalam bahasa

    Indonesia. Sedangkan dalam ketentuan Pasal 9 ayat (3) UU 40/2007 diatur bahwa,

    dalam hal pengajuan permohonan kepada Menkumham secara elektronik melalui

    SABH dilakukan oleh Notaris sebagai kuasa pendiri. Ketentuan dalam pasal-pasal

    tersebut merupakan dasar hukum kewenangan yang diberikan oleh UU 40/2007

  • 3

    kepada Notaris, baik dalam hal menuangkan anggaran dasar PT ke dalam akta

    Notaris maupun dalam hal sebagai kuasa dari pemohon (para pendiri).

    Kuasa yang diberikan kepada Notaris dituangkan langsung ke dalam akta

    Notaris yang memuat anggaran dasar PT dalam bentuk kuasa blanko. Akta kuasa

    blanko maksudnya adalah akta kuasa dengan mengosongkan dahulu nama yang

    diberi kuasa dan baru diisi kemudian oleh penerima kuasa pada waktu kuasa

    tersebut hendak dipergunakan.1 Berdasarkan akta kuasa blanko tersebut, Notaris

    sebagai penerima kuasa berhak untuk mewakili pemohon dalam hal mengajukan

    permohonan melalui SABH yang objeknya akta Notaris.

    Jabatan Notaris diatur dalam hukum positif Indonesia yaitu, Undang-

    Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah

    dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-

    Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Nomor

    3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5491). Berdasarkan ketentuan Pasal II

    Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014, Undang-Undang ini mulai berlaku pada

    tanggal diundangkannya, yaitu pada tanggal 15 Januari 2014. Selanjutnya dalam

    penelitian ini, Undang-Undang tentang Jabatan Notaris beserta perubahannya

    tersebut ditulis UU 30/2004. Ketentuan pasal-pasal yang dikutip dari Undang-

    Undang Nomor 2 Tahun 2014 akan ditambahkan frasa “pasal perubahan” dalam

    tanda kurung.

    1Herlien Budiono, 2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang

    Kenotariatan, Cetakan II, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat

    Herlien Budiono I), hal. 426-427.

  • 4

    Ditentukan dalam Pasal 1 angka 1 UU 30/2004 (pasal perubahan) bahwa,

    Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan

    memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini

    atau berdasarkan undang-undang lainnya. Kewenangan Notaris ditegaskan dalam

    ketentuan Pasal 15 UU 30/2004 (pasal perubahan) yang pada dasarnya mengatur

    bahwa, Notaris berwenang membuat akta otentik, baik yang diharuskan oleh

    peraturan perundang-undangan maupun yang dikehendaki oleh yang

    berkepentingan. Selain kewenangan tersebut, Notaris mempunyai kewenangan

    lain yang diatur dalam undang-undang, seperti misalnya dalam UU 40/2007 diatur

    bahwa, Notaris bertindak sebagai kuasa dari para pendiri (pemohon).

    Seorang Notaris sebagai pejabat umum memiliki masa jabatan yang telah

    diatur dalam UU 30/2004. Ditentukan dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b UU 30/2004

    bahwa, Notaris berhenti atau diberhentikan dari jabatannya dengan hormat karena

    telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun. Ketentuan umur dapat diperpanjang

    sampai berumur 67 (enam puluh tujuh) tahun dengan mempertimbangkan

    kesehatan Notaris yang bersangkutan berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU

    30/2004. Dengan demikian, seorang Notaris berhenti dari jabatannya dengan

    hormat apabila telah genap berumur 65 (enam puluh lima) tahun atau telah genap

    berumur 67 (enam puluh tujuh) apabila masa jabatannya diperpanjang.

    Menurut Kamus Bahasa Indonesia, istilah pensiun diartikan sebagai tidak

    bekerja lagi karena selesai dinasnya.2 Terkait dengan masa jabatan Notaris yang

    diatur dalam UU 30/2004, istilah pensiun dapat juga digunakan untuk menyebut

    2Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Bahasa Indonesia, Pusat

    Bahasa, Jakarta, hal. 1151.

  • 5

    Notaris yang berhenti dari jabatannya karena sudah selesai dinasnya atau sudah

    tidak lagi menjabat sebagai pejabat umum. Dengan kata lain, seorang Notaris

    yang berhenti dari jabatannya dengan hormat apabila telah genap berumur 65

    (enam puluh lima) tahun atau telah genap berumur 67 (enam puluh tujuh) apabila

    masa jabatannya diperpanjang, dapat disebut sebagai Notaris pensiun.

    Berdasarkan ketentuan Pasal 62 huruf b UU 30/2004, penyerahan Protokol

    Notaris dilakukan dalam hal Notaris telah berakhir masa jabatannya (pensiun).

    Penyerahan protokol Notaris dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari dengan

    pembuatan berita acara penyerahan protokol Notaris yang ditandatangani oleh

    yang menyerahkan dan yang menerima protokol Notaris (ketentuan Pasal 63 ayat

    (1) UU 30/2004 (pasal perubahan)). Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 63

    ayat (4) UU 30/2004 (pasal perubahan), penyerahan protokol Notaris dilakukan

    oleh Notaris pensiun kepada Notaris lain yang ditunjuk oleh Menteri atas usul

    Majelis Pengawas Daerah (MPD). Protokol Notaris adalah kumpulan dokumen

    yang merupakan arsip negara yang harus disimpan dan dipelihara oleh Notaris

    sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (ketentuan Pasal 1 angka

    13 UU 30/2004 (pasal perubahan)). Seorang Notaris pensiun tidak lagi memiliki

    kewenangan (kehilangan kewenangannya) sebagaimana telah diatur dalam

    ketentuan Pasal 15 UU 30/2004 (pasal perubahan), akan tetapi berdasarkan

    ketentuan Pasal 65 UU 30/2004 (pasal perubahan), tanggung jawab tetap melekat

    pada diri Notaris pensiun terhadap semua akta yang telah dibuatnya.

    Terkait dengan pengesahan badan hukum PT, Notaris dapat mengajukan

    permohonan secara elektronik melalui alamat situs web SABH yaitu :

  • 6

    http://ahu.go.id. Sistem elektronik ini telah diperbarui oleh Ditjen AHU dalam

    rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan telah dioperasikan pada

    awal tahun 2014. Selanjutnya pada tanggal 25 Maret 2014 Menkumham

    mengeluarkan peraturan Menteri yang baru sebagai payung peraturannya.

    Peraturan Menteri yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Hukum Dan Hak

    Asasi Manusia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan

    Pengesahan Badan Hukum Dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar Serta

    Penyampaian Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar Dan Perubahan Data

    Perseroan Terbatas (selanjutnya ditulis Permenkumham 2014). Peraturan Menteri

    ini telah diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 392.

    Permenkumham 2014 diberlakukan dengan mencabut peraturan Menteri

    sebelumnya yang juga merupakan payung peraturan dari sistem elektronik SABH.

    Peraturan yang dicabut tersebut ialah Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi

    Manusia Nomor M.HH-01.AH.01.01 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengajuan

    Permohonan Pengesahan Badan Hukum Dan Pesetujuan Perubahan Anggaran

    Dasar Serta Penyampaian Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar Dan

    Perubahan Data Perseroan Terbatas (selanjutnya ditulis Permenkumham 2011).

    Permenkumham 2011 ini sebelumnya telah diumumkan dalam Berita Negara

    Republik Indonesia Nomor 187.

    Terkait dengan permohonan secara elektronik melalui SABH, berdasarkan

    ketentuan Pasal 1 angka 4 Permenkumham 2014 ditegaskan bahwa, pemohon

    (pendiri bersama-sama atau Direksi PT yang telah berstatus badan hukum atau

    Likuidator PT bubar atau Kurator PT pailit) memberikan kuasa kepada Notaris.

  • 7

    Berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (3) Permenkumham 2014, Notaris dapat

    langsung mencetak sendiri dari SABH dengan menggunakan kertas berwarna

    putih ukuran F4/folio dengan berat 80 (delapan puluh) gram, setelah

    diterbitkannya keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum PT yang

    disampaikan kepada pemohon secara elektronik. Selanjutnya berdasarkan

    ketentuan Pasal 15 ayat (4) Permenkumham 2014, keputusan Menteri yang

    dimaksud wajib ditandatangani dan dibubuhi cap jabatan oleh Notaris serta

    memuat frasa yang menyatakan “Keputusan Menteri ini dicetak dari SABH”.

    Setelah diberlakukannya Permenkumham 2014, faktanya masih ditemukan

    dalam praktek Notaris permohonan-permohonan secara elektronik melalui SABH

    yang dimohonkan sebelumnya berdasarkan ketentuan dalam Permenkumham

    2011 oleh Notaris yang kemudian pensiun. Fakta-fakta tersebut diperoleh dari

    hasil wawancara dengan dua orang informan, yaitu Josef Sunar Wibisono, SH.,

    M.Kn., yang pensiun pada tanggal 19 Juli 2013 dan I Made Puryatma, SH.,

    M.Kn., yang pensiun pada tanggal 22 Februari 2013. Permohonan-permohonan

    secara elektronik melalui SABH oleh Notaris yang kemudian pensiun

    sebagaimana dimaksud di atas prosesnya belum selesai. Salah satu dari

    permohonan-permohonan tersebut adalah mengenai pengesahan badan hukum PT

    yang belum memperoleh keputusan Menteri karena tidak dipenuhinya bukti setor

    modal oleh para pendiri. Wawancara dengan informan pertama dilakukan pada

    tanggal 6 Mei 2015 di Jalan Diponegoro No. 150 Blok B No. 20 Denpasar dan

    wawancara dengan informan kedua dilakukan pada tanggal 13 Mei 2015 di Jalan

    Durian No. 3 Denpasar (Lampiran L-14 – L-23).

  • 8

    Permohonan pengesahan badan hukum PT secara elektronik melalui

    SABH yang belum selesai dari Notaris yang telah pensiun tersebut, ditindak

    lanjuti oleh Direktur Perdata Ditjen AHU Kemenkumham dengan menerbitkan

    surat Nomor : AHU2.AH.01.01-2416, tertanggal 26 Juni 2014 (selanjutnya ditulis

    surat Ditjen AHU), yang ditujukan kepada Notaris pensiun tertentu. Substansi dari

    surat tersebut adalah, memberikan kewenangan kepada Notaris pensiun yang

    dimaksud untuk melanjutkan permohonan pengesahan badan hukum PT secara

    elektronik melalui SABH berdasarkan ketentuan Pasal 33 Permenkumham 2014.

    Ditentukan dalam Pasal 33 tersebut bahwa, permohonan pengesahan pendirian

    yang telah diajukan dan sedang diproses sebelum berlakunya Peraturan Menteri

    ini, diproses berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dengan

    melampirkan pernyataan secara tertulis sebagaimana diatur dalam Peraturan

    Menteri ini. Dengan demikian, terdapat konflik norma antara substansi surat

    Ditjen AHU yang memberikan kewenangan kepada Notaris pensiun dengan UU

    40/2007 dan Permenkumham 2014, yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi

    surat Ditjen AHU dimaksud (Lampiran L-5). Hal tersebut mendorong peneliti

    untuk mengadakan penelitian dengan judul, “Kewenangan Yang Diberikan

    Kepada Notaris Pensiun Karena Keberadaan Peraturan Menteri Hukum Dan Hak

    Asasi Manusia Nomor 4 Tahun 2014”.

    Permasalahan mengenai judul tersebut belum pernah dibahas sebelumnya

    dalam suatu penelitian. Begitu pula halnya dengan judul penelitian sebagaimana

    tersebut di atas belum pernah juga digunakan oleh peneliti lainnya seperti dapat

  • 9

    disimak dan ditelusuri dari penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sebagai

    berikut :

    1. Tesis yang ditulis Anny Diharti, SH (NIM : B4A 002003), tahun 2008,

    Universitas Diponegoro Semarang, dengan judul, “Tinjauan Yuridis

    Terhadap Pengesahan Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum Melalui

    Sisminbakum (Sistem Administrasi Badan Hukum)”. Secara umum penelitian

    hukum normatif ini membahas mengenai :

    a. Pengesahan Perseroan Terbatas dengan Sisminbakum;

    b. Pelaksanaan pengesahan Perseroan Terbatas dengan menggunakan

    Sisminbakum;

    c. Masalah-masalah yang timbul dalam pengesahan Perseroan Terbatas

    dengan menggunakan Sisminbakum.

    2. Tesis yang ditulis Nanik Rahayu, SH (NIM: B4B 008194), tahun 2010,

    Universitas Diponegoro Semarang, dengan judul, “Eksistensi Akta Pendirian

    Perseroan Terbatas Akibat Gangguan Pada Sisminbakum”. Secara umum

    penelitian hukum normatif ini membahas mengenai :

    a. Tanggung jawab Notaris dalam pembuatan Akta Pendirian Perseroan

    Terbatas apabila terjadi keterlambatan permohonan pengesahan badan

    hukum Perseroan Terbatas akibat gangguan pada Sisminbakum;

    b. Akibat hukum terhadap Akta Pendirian Perseroan Terbatas dalam hal

    terjadinya gangguan pada Sisminbakum.

    3. Tesis yang ditulis Louise Patricia, SH (N.P.M. : 0806478752), tahun 2011,

    Universitas Indonesia, dengan judul, “Kajian Sistem Administrasi Badan

  • 10

    Hukum (SABH) Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang

    Perseroan Terbatas Dan Aplikasinya”. Secara umum penelitian hukum

    normatif ini membahas mengenai :

    a. Sinkronisasi hukum antara aplikasi Sistem Administrasi Badan Hukum

    (SABH) dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang

    Perseroan Terbatas dan peraturan pelaksanaannya serta peraturan lain

    yang berkaitan dengan Perseroan Terbatas;

    b. Penyelesaian aplikasi Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) jika

    terjadi perbedaan antara database dalam Sistem Administrasi Badan

    Hukum (SABH) dengan akta-akta Notaris yang akan dijadikan dasar

    untuk melakukan input data ke dalam Sistem Administrasi Badan Hukum

    (SABH);

    c. Penyelesaian aplikasi Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH)

    terhadap daluarsa akta-akta Notaris;

    d. Kekuatan bukti database dalam Sistem Administrasi Badan Hukum

    (SABH) dan akta-akta Notaris jika terjadi perbedaan dalam sengketa

    hukum.

    Berdasarkan uraian di atas, penelitian dari peneliti yang berjudul, “Kewenangan

    Yang Diberikan Kepada Notaris Pensiun Karena Keberadaan Peraturan Menteri

    Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor 4 Tahun 2014” memiliki orisinalitas.

    Tidak menutup kemungkinan bahwa penelitian ini akan melanjutkan penelitian-

    penelitian yang telah disebutkan di atas karena pada kenyataannya sistem

    elektronik SABH telah tiga kali diperbarui.

  • 11

    1.2. Rumusan Masalah

    Dari uraian tersebut di atas, dikemukakan permasalahan-permasalahan

    yang akan dibahas sebagai berikut :

    1. Apakah Notaris pensiun berwenang untuk melanjutkan permohonan

    pengesahan badan hukum Perseroan Terbatas yang belum selesai melalui

    Sistem Administrasi Badan Hukum ?

    2. Apakah akibat hukum dari kewenangan yang diberikan kepada Notaris

    pensiun untuk melanjutkan permohonan pengesahan badan hukum Perseroan

    Terbatas yang belum selesai melalui Sistem Administrasi Badan Hukum ?

    1.3. Tujuan Penelitian

    1.3.1. Tujuan Umum

    Tujuan umum dilakukannya penelitian ini adalah untuk memperoleh

    pemahaman mengenai kewenangan Notaris (pensiun) melanjutkan permohonan

    pengesahan badan hukum PT melalui SABH yang dikaji berdasarkan

    Permenkumham 2014. Diharapkan pula hasil penelitian ini dapat memberikan

    sumbangan pemikiran secara konseptual dalam bidang hukum PT terkait dengan

    paradigma science as a process (ilmu sebagai proses).

    1.3.2. Tujuan Khusus

    Sedangkan tujuan khusus dilakukannya penelitian ini oleh peneliti adalah

    sebagai berikut :

  • 12

    1. Untuk menganalisis kewenangan Notaris pensiun melanjutkan permohonan

    pengesahan badan hukum Perseroan Terbatas yang belum selesai melalui

    Sistem Administrasi Badan Hukum.

    2. Untuk menganalisis akibat hukum dari kewenangan yang diberikan kepada

    Notaris pensiun untuk melanjutkan permohonan pengesahan badan hukum

    Perseroan Terbatas yang belum selesai melalui Sistem Administrasi Badan

    Hukum.

    1.4. Manfaat Penelitian

    1.4.1. Manfaat Teoritis

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

    kepada pemerintah tentang pentingnya pengaturan mengenai aspek yuridis formal

    PT. Terutama pengaturan yang yang dapat menjamin legalitas (keabsahan) PT

    yang telah dimohonkan pengesahan badan hukumnya oleh Notaris namun

    prosesnya belum selesai, sampai pada keadaan Notaris yang bersangkutan

    berstatus Notaris pensiun.

    1.4.2. Manfaat Praktis

    Seluruh hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat-

    manfaat bagi :

    1. Akademisi

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu

    hukum. Hasil penelitian ini diharapkan juga dapat dijadikan sebagai bahan

    penelitian, bahan pembelajaran dan bahan referensi pada perpustakaan.

  • 13

    2. Notaris

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

    kepada Notaris terkait dengan penyelesaian masalah PT yang telah dimohonkan

    melalui SABH namun prosesnya belum selesai. Terutama mengenai penyelesaian

    permohonan pengesahan badan hukum PT yang telah dimohonkan berdasarkan

    ketentuan Permenkumham 2011 oleh Notaris yang kemudian berstatus Notaris

    pensiun.

    3. Peneliti

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu dan wawasan

    peneliti (penulis) mengenai perkembangan hukum tentang PT dalam praktek

    Notaris. Selain itu, penelitian ini dilakukan untuk memenuhi prasyarat kelulusan

    dalam jenjang pendidikan Strata dua (S2) di Magister Kenotariatan Universitas

    Udayana.

    1.5. Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir

    1.5.1. Landasan Teoritis

    Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, teori adalah suatu konstruksi di alam

    ide manusia tentang realitas-realitas yang dijumpai dalam pengalaman hidupnya,

    baik yang diperolehnya dari alam ide yang imajinatif maupun dari alam inderawi.3

    Sedangkan konsep adalah unsur-unsur abstrak yang mewakili kelas-kelas

    fenomena yang diabstraksikan berdasarkan hal-hal yang khusus dari kelas-kelas

    3Soetandyo Wignjosoebroto, 2002, Hukum: Paradigma, Metode dan

    Masalah, Cetakan I, ELSAM dan HUMA, Jakarta, hal. 84.

  • 14

    fenomena tersebut.4 Asas hukum menurut Satjipto Rahardjo merupakan jantung

    dari peraturan hukum sebagai sebab lahirnya peraturan hukum (ratio legis). Asas

    hukum hanya mengandung nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etis sebagai petunjuk

    dalam memahami peraturan-peraturan hukum akan tetapi asas hukum bukan

    merupakan hukum itu sendiri. Asas hukum akan tetap ada untuk melahirkan

    peraturan-peraturan hukum.5 Permasalahan-permasalahan yang dikaji dalam

    penelitian ini, dianalisis dengan menggunakan teori hukum dan asas hukum.

    a. Teori Hierarki Norma Hukum

    Teori hierarki norma hukum (stufentheorie) ini bermula dari pemikiran

    Adolf Merkl yaitu, suatu norma hukum selalu mempunyai dua wajah yang

    kemudian dikembangkan oleh Hans Kelsen. Menurut teori ini, peraturan-

    peraturan hukum positif disusun secara bertingkat-tingkat membentuk suatu

    piramida dengan tingkatan paling atas disebut dengan norma dasar (basic

    norm/grundnorm) yang bersifat hipotesis. Norma dasar ini kemudian membentuk

    norma-norma hukum di bawahnya, demikian seterusnya sampai terbentuk norma

    hukum pada derajat tertentu yang melaksanakan norma-norma hukum yang lebih

    tinggi secara konkrit.6

    Selain menentukan cara membuat dan menentukan isi dari norma hukum

    yang lebih rendah sampai pada derajat tertentu, suatu norma hukum dibentuk dan

    ditentukan oleh norma hukum lain yang lebih tinggi. Oleh sebab itu dikatakan

    4Johnny Ibrahim, 2013, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif,

    Edisi Revisi, Cetakan VII, Bayumedia, Malang, hal. 306. 5Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Cetakan V, PT. Citra Aditya Bakti,

    Bandung, hal. 45-47. 6C.S.T. Kansil, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Jilid I: Pengantar Ilmu

    Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cetakan IX, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 146.

  • 15

    bahwa norma hukum mengatur pembentukannya sendiri. Hukum dikatakan sahih

    (valid) apabila dibentuk sesuai dengan ketentuan norma hukum lain yang lebih

    tinggi yang digambarkan sebagai hubungan antara superordinasi dan subordinasi.

    Rangkaian proses pembentukan hukum ini berakhir pada norma dasar sebagai

    landasan validitas tertinggi yang tidak dapat diturunkan dari suatu norma yang

    lebih tinggi lagi.7 Menurut Kelsen sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie

    dan M. Ali Safa’at, validitas norma dasar (basic norm/grundnorm) sebagai norma

    mengikat diperoleh karena ditetapkan atau ditentukan lebih dahulu oleh

    masyarakat (dipresuposisikan atau dipraanggapkan valid).8

    Rangkaian proses pembentukan hukum sebagaimana diuraikan di atas

    membentuk keseluruhan hukum dalam suatu kesatuan tatanan hukum yang saling

    bersangkut paut (koheren). Sebagai suatu kesatuan tatanan hukum yang koheren,

    norma hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan norma hukum

    yang lebih tinggi. Begitu pula dengan norma hukum yang lebih tinggi tidak boleh

    bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya

    sehingga hierarki norma hukum ini membentuk suatu sistem. Disebabkan karena

    hierarki norma hukum tersebut membentuk suatu sistem, maka tidak mungkin

    memahami hukum jika hanya memperhatikan satu aturan saja.9

    7Hans Kelsen, 2010, General Theory of Law and State (Teori Umum

    tentang Hukum dan Negara), Cetakan V, terjemahan Raisul Muttaqien, Nusa

    Media, Bandung, hal. 179. 8Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, 2012, “Teori Hans Kelsen Tentang

    Hukum”, Cetakan II, Konstitusi Press, Jakarta, hal. 90, dikutip dari Hans Kelsen,

    1961, General Theory of Law and State, translated by: Anders Wedberg, Russell

    & Russell, New York, hal. 115. 9Muhamad Erwin, 2012, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis terhadap Hukum,

    Edisi ke-1, Cetakan II, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 169-170.

  • 16

    Hukum menurut Kelsen adalah selalu hukum positif tanpa mempersoalkan

    adil ataupun tidak adil.10

    Hukum merupakan kaidah atau norma sebagai pedoman

    yang berisi aturan-aturan hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.11

    Aturan-aturan hukum dapat berupa suruhan, perintah dan larangan yang sudah

    seharusnya dipatuhi oleh setiap orang untuk berbuat sesuai dengan norma hukum

    tersebut. Terdapat dua sistem norma yang dibedakan berdasarkan karakternya,

    yaitu sistem norma statis dan sistem norma dinamis.

    Karakter suatu norma bertipe statis apabila validitas maupun isinya

    (materinya) diturunkan atau dideduksikan secara logis langsung dari norma dasar

    tertentu, contohnya adalah norma moral. Sebaliknya, karakter suatu norma bertipe

    dinamis apabila mengacu pada positivitas, yaitu validitasnya diperoleh karena

    dibuat dengan cara tertentu oleh otoritas tertentu melalui tindakan manusia dan

    untuk tindakannya tersebut telah diberikan kewenangan oleh norma yang lebih

    tinggi. Menurut Kelsen sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie dan M. Ali

    Safa’at, karakter norma hukum adalah dinamis karena positivisasinya berdasarkan

    pada fakta bahwa, hukum tersebut dibuat dan dibatalkan sesuai aturan oleh

    otoritas tertentu melalui tindakan manusia yang bebas dari norma moral dan

    norma lainnya.12

    Sedangkan validitas norma hukum menurut Kelsen sebagaimana

    dikutip oleh Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at memiliki batas waktu berlaku

    10

    Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, 2001, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori

    Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 62. 11

    J.J.H. Bruggink, 1999, Refleksi Tentang Hukum, Cetakan II, alih bahasa

    B. Arief Sidharta, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 92. 12

    Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, “op. cit.”, hal. 87, dikutip dari

    Hans Kelsen, op. cit., hal. 112.

  • 17

    yang mengacu pada prinsip legitimasi, yaitu norma tetap valid sepanjang belum

    dinyatakan invalid dengan cara yang ditentukan oleh tata hukum itu sendiri.13

    Stufentheorie Hans Kelsen kemudian dikembangkan oleh muridnya yang

    bernama Hans Nawiasky dengan teorinya yang disebut die Theorie vom

    Stufenordnung der Rechtsnormen yang dikaitkannya dengan suatu negara. Prinsip

    dari teori Nawiasky adalah, selain berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang

    membentuk hierarki, norma hukum itu juga berkelompok-kelompok yang terdiri

    dari empat kelompok besar, yaitu :14

    1. Kelompok I : Norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm);

    2. Kelompok II : Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz);

    3. Kelompok III : Undang-undang formal (formell gesetz);

    4. Kelompok IV : Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom

    (verordnung en autonome satzung).

    Berdasarkan prinsip dari teori Nawiasky tersebut di atas, berlaku asas lex superior

    derogat legi inferiori, yaitu peraturan perundang-undangan yang tingkatannya

    lebih tinggi mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang tingkatannya

    lebih rendah. Menurut Nawiasky sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie dan

    M. Ali Safa’at, norma dasar dalam teori Kelsen yang merupakan norma tertinggi

    suatu negara dan merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi ini sebaiknya

    tidak disebut grundnorm melainkan staatsfundamentalnorm. Hal itu disebabkan

    13

    Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, “op. cit.”, hal. 91-92, dikutip dari

    Hans Kelsen, op. cit., hal. 117. 14

    Maria Farida Indrati S., 2015, Ilmu Perundang-undangan (1): Jenis,

    Fungsi dan Materi Muatan, Cetakan XVI, PT Kanisius, Yogyakarta, hal. 44-45.

  • 18

    karena, pada dasarnya grundnorm bersifat statis sedangkan norma tertinggi dapat

    berubah karena kudeta atau revolusi.15

    Gustav Radbruch memiliki suatu pandangan terhadap kesejatian tujuan

    hukum dengan menyebutnya sebagai nilai-nilai dasar (fundamental) dari hukum,

    yaitu keadilan (gerechtigkeit), kemanfaatan (zweckmaszigkeit) dan kepastian

    (sicherheit).16

    Meskipun ketiga-tiganya merupakan prinsip dasar (asas) dari

    hukum, akan tetapi suatu hal yang tidak mudah untuk memenuhi ketiga asas

    tersebut secara serentak. Ketiga-tiganya berisi tuntutan yang berbeda-beda dan

    mengandung potensi pertentangan antara yang satu dengan yang lainnya. Hukum

    positif memandang asas kepastian hukum lebih penting dan mengabaikan, baik

    asas keadilan maupun asas kemanfaatan.17

    Kepastian hukum dipandang sebagai

    konsekuensi logis dari hukum, yaitu tetap berlakunya tatanan hukum negara

    dalam bentuk aturan-aturan yang bersifat umum sebagai pemenuhan dari asas

    legalitas.18

    Kepastian hukum menurut Peter Mahmud Marzuki, mengandung dua

    pengertian, yaitu :19

    15

    Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, “op. cit.”, hal. 154-155, dikutip

    dari Hans Nawiasky, 1948, Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen

    Grundbegriffe, Cetakan II, Benziger, Einsiedeln/Zurich/Koln, hal. 31-37. 16

    Satjipto Rahardjo, op. cit., hal. 19. 17

    W. Friedmann, 1994, Teori & Filsafat Hukum: Idealisme Filosofis &

    Problema Keadilan (Susunan II), Edisi ke-1, Cetakan II, penerjemah Muhamad

    Arifin, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 43. 18

    Bernhard Limbong, 2012, Hukum Agraria Nasional, Cetakan I, Pustaka

    Margaretha, Jakarta, hal. 26. 19

    Peter Mahmud Marzuki, 2012, Pengantar Ilmu Hukum, Edisi Revisi,

    Cetakan IV, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Peter

    Mahmud Marzuki I), hal. 137.

  • 19

    1. Adanya aturan yang bersifat umum yang membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan;

    2. Berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah, karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat

    mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara

    terhadap individu.

    Kepastian hukum menjamin bahwa hukum dapat berfungsi sebagai peraturan

    yang harus ditaati.20

    Hukum secara tertulis dijabarkan ke dalam pasal-pasal

    peraturan perundang-undangan yang memuat kaidah (norma) hukum. Setelah

    diundangkan secara resmi, norma hukum yang termuat dalam peraturan

    perundang-undangan tersebut berlaku dan mengikat secara umum sehingga dapat

    memberikan jaminan kepastian hukum.

    Teori hierarki norma hukum dan asas lex superior derogate legi inferiori

    selanjutnya akan dipergunakan untuk menganalisis permasalahan pertama, yaitu

    “Apakah Notaris pensiun berwenang untuk melanjutkan permohonan pengesahan

    badan hukum Perseroan Terbatas yang belum selesai melalui Sistem Administrasi

    Badan Hukum ?”. Norma hukum yang termuat dalam substansi surat Ditjen AHU

    merupakan pelaksanaan secara konkrit norma hukum yang lebih tinggi, sehingga

    norma hukum yang termuat dalam substansi surat Ditjen AHU tersebut akan

    dianalisis berdasarkan dan dalam kerangka tatanan hukum positif yang berlaku.

    b. Teori Kewenangan

    Secara umum, yang dimaksud dengan kekuasaan adalah kemampuan

    seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau

    kelompok lain sedemikian rupa sehingga sesuai dengan keinginan dari orang atau

    20

    Theo Huijbers, 2007, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah, Cetakan

    XIV, Kanisius, Yogyakarta, hal. 163.

  • 20

    kelompok tersebut.21

    Pada dasarnya kekuasaan yang dapat diterima adalah

    kekuasaan yang formal (legitim) yang disebut juga dengan kewenangan.22

    Legitimasi berarti sah menurut hukum yang memenuhi asas legalitas, yaitu

    kekuasaan bersumber pada peraturan perundang-undangan yang mengatur

    pemberian kekuasaan tersebut.23

    Menurut Bagir Manan sebagaimana dikutip oleh

    Ridwan HR, dalam hukum publik pada dasarnya dibedakan antara kekuasaan

    (macht) dan kewenangan. Kekuasaan (macht) hanya menggambarkan hak yang

    dimiliki untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewenangan

    menggambarkan hak dan kewajiban.24

    Hak memuat kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan

    tertentu, atau menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu.

    Berdasarkan kewenangan yang dimilikinya, penguasa berhak melakukan

    perbuatan hukum publik seperti mengeluarkan perintah dan membuat peraturan-

    peraturan serta berhak untuk mengharapkan kepatuhan terhadap peraturan-

    peraturan yang dibuatnya. Sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk

    melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu. Menurut doktrin teori

    21

    Miriam Budiardjo, 2012, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, Cetakan

    V, PT Gramedia Pustaka Umum, Jakarta, hal. 60. 22

    Beddy Iriawan Maksudi, 2012, Sistem Politik Indonesia: Pemahaman

    Secara Teoretik dan Empirik, Edisi ke-1, Cetakan II, PT RajaGrafindo Persada,

    Jakarta, hal. 89. 23

    Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, 2000, Pengantar Ilmu

    Hukum: Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum

    Buku I, Edisi ke-1, Cetakan II, PT Alumni, Bandung, hal. 34. 24

    Ridwan HR, 2014, “Hukum Administrasi Negara”, Edisi Revisi, Cetakan

    X, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 99, dikutip dari Bagir Manan, 2000,

    “Wewenang Provinsi, Kabupaten, dan Kota dalam Rangka Otonomi Daerah”,

    Makalah pada Seminar Nasional, Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 13 Mei 2000,

    hal. 1-2.

  • 21

    kewenangan, kewenangan dalam hukum publik yang berkaitan dengan suatu

    jabatan, dapat diperoleh melalui atribusi (attributie van wetbevoegdheid), delegasi

    (delegatie van bevoegdheid) dan mandat.25

    Atribusi adalah wewenang yang ada pada badan atau pejabat tata usaha

    negara, atau dengan kata lain wewenang yang melekat pada jabatan. Kewenangan

    ini diberikan oleh pembentuk undang-undang dasar maupun pembentuk undang-

    undang kepada badan (lembaga) atau pejabat (ambt) negara tertentu dalam hal

    pembentukan peraturan perundang-undangan. Karakterisitik dari atribusi adalah,

    terciptanya kewenangan baru untuk dan atas nama yang diberi wewenang dengan

    tanggung jawab yang mandiri. Terdapat suatu original power (originaire van

    macht) dalam atribusi yang kemudian melahirkan suatu original power of

    legislation (originaire wetgevendemacht).26

    Delegasi adalah suatu penyerahan atau pelimpahan kewenangan dari badan

    (lembaga) atau pejabat negara kepada badan (lembaga) atau pejabat negara lain.

    Karakteristik dari delegasi adalah tidak terciptanya wewenang baru, kewenangan

    tetap berada pada badan (lembaga) atau pejabat yang menyerahkan atau

    melimpahkan wewenang tersebut (delegans), dengan tanggung jawab beralih

    kepada penerima kewenangan (delegataris).27

    Kewenangan yang diperoleh

    melalui atribusi dan delegasi harus didasarkan pada suatu undang-undang formal.

    25

    Philipus M. Hadjon et. al., 1999, Pengantar Hukum Administrasi

    Indonesia (Introduction to the Indonesian Administrative Law), Cetakan VI,

    Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 130-131. 26

    H. Rosjidi Ranggawidjaja, 1998, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan

    Indonesia, Cetakan I, CV. Mandar Maju, Bandung, hal. 36. 27

    Ibid., hal 36-37.

  • 22

    Oleh sebab itu, atribusi dan delegasi digunakan untuk memeriksa keabsahan dari

    berwenang atau tidaknya suatu badan.28

    Karakteristik kewenangan dalam mandat adalah, tidak ada sama sekali

    pengakuan kewenangan atau pelimpahan kewenangan. Kewenangan dalam

    mandat biasanya menyangkut hubungan kerja internal antara pejabat sebagai

    atasan dan pegawainya yang berupa penyerahan suatu tugas tertentu dengan

    tanggung jawab tetap berada pada pemberi mandat.

    Teori kewenangan selanjutnya akan dipergunakan untuk menganalisis

    permasalahan pertama, yaitu “Apakah Notaris pensiun berwenang untuk

    melanjutkan permohonan pengesahan badan hukum Perseroan Terbatas yang

    belum selesai melalui Sistem Administrasi Badan Hukum ?”. Protokol Notaris

    diserahkan kepada Notaris pemegang Protokol Notaris setelah Notaris pensiun,

    namun substansi surat Ditjen AHU memberikan kewenangan kepada Notaris

    pensiun untuk melanjutkan proses pengesahan badan hukum PT secara elektronik

    melalui SABH. Kewenangan yang diberikan kepada Notaris pensiun tersebut akan

    dianalisis dengan teori kewenangan yang dimaksud.

    c. Teori Kebatalan

    Menurut E. Utrecht sebagaimana dikutip oleh SF. Marbun dan Mohammad

    Mahfud, secara garis besar perbuatan organ pemerintah dalam melaksanakan

    tugas menyelenggarakan kepentingan umum digolongkan menjadi dua, yaitu :29

    28

    Philipus M. Hadjon et. al., op. cit., hal. 131. 29

    SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD, 2009, “Pokok-Pokok Hukum

    Administrasi Negara”, Edisi ke-1, Cetakan V, Liberty, Yogyakarta, hal. 68,

    dikutip dari E. Utrecht, 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia,

    Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Unpad, Bandung, hal. 63.

  • 23

    1) golongan perbuatan hukum; dan

    2) golongan yang bukan perbuatan hukum.

    Golongan perbuatan hukum oleh organ pemerintahan dalam melaksanakan

    tugasnya menyelenggarakan kepentingan umum (publik) dapat dibagi menjadi :30

    1) Perbuatan hukum publik yang bersegi satu (eenzijdige publiekrechtelijke

    handeling) yang diberi nama keputusan (beschikking). Perbuatan hukum

    publik yang bersegi satu ini dilakukan oleh administrasi (aparat pemerintah)

    berdasarkan kekuasaannya yang istimewa.

    2) Perbuatan hukum publik yang bersegi dua (tweezijdige publiekrechtelijke

    handeling) yang diatur oleh hukum publik yaitu, hukum administrasi negara.

    Perbuatan hukum publik yang bersegi dua ini merupakan perbuatan hukum

    yang diadakan oleh pemerintah sebagai pihak yang memberikan pekerjaan

    dengan pihak swasta (partikelir), seperti misalnya Kortverband Contract

    (perjanjian kerja yang berlaku dalam jangka waktu pendek).

    Suatu keputusan (beschikking) dinyatakan sah apabila telah memenuhi syarat-

    syarat berikut :31

    1) Keputusan harus dibuat oleh organ atau badan atau pejabat yang berwenang

    membuatnya (bevoegd)

    Dikaitkan dengan ruang lingkup kompetensi suatu jabatan, terdapat tiga

    macam bentuk tidak berwenangnya (onbevoegdheid) suatu organ atau badan

    atau pejabat pemerintah, yaitu :

    30

    Philipus M. Hadjon et. al., op. cit., hal. 65. 31

    SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD, op. cit., hal. 79-82.

  • 24

    a. Tidak berwenang dalam hal materi/substansi (onbevoegdheid ratione

    materiae), yaitu materi/substansi keputusan tidak termasuk dalam

    kewenangan organ atau badan atau pejabat tersebut (berkaitan dengan

    kompetensi absolut).

    b. Tidak berwenang dalam hal wilayah hukum/yurisdiksi (onbevoegdheid

    ratione loci), yaitu keputusan yang dibuat di luar kewenangan wilayah

    hukum/yurisdiksi organ atau badan atau pejabat tersebut (berkaitan

    dengan kompetensi relatif).

    c. Tidak berwenang dalam hal waktu (onbevoegdheid ratione temporis),

    yaitu keputusan yang dibuat telah lewat waktu berdasarkan peraturan

    perundang-undangan yang mengatur hal tersebut.

    Keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintahan (Pejabat Tata Usaha

    Negara) yang tidak berwenang, dapat dinyatakan bahwa keputusan tersebut

    bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    2) Keputusan tidak boleh memuat kekurangan-kekurangan yuridis

    Kekurangan yuridis maksudnya adalah, bahwa suatu keputusan tidak boleh

    memuat unsur paksaan (dwang) atau sogokan (omkoping), unsur penipuan

    (bedrog) dan unsur kesesatan (dwaling) atau kekeliruan/kekhilafan.

    3) Isi dan tujuan keputusan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan

    dasarnya (doelmatig)

    Isi suatu keputusan harus langsung terarah pada sasaran yang dituju (cermat

    dan efisien) berdasarkan peraturan dasarnya. Isi dan tujuan keputusan yang

    tidak sesuai dengan peraturan dasarnya dapat dikategorikan sebagai perbuatan

  • 25

    sewenang-wenang atau penyalahgunaan wewenang (detournement de

    pouvoir).

    4) Keputusan harus memiliki bentuk sesuai dengan peraturan yang menjadi

    dasarnya dan harus menurut prosedur pembuatnya (rechtmatige)

    Hal ini terkait dengan syarat-syarat formal yang harus dipenuhi oleh suatu

    keputusan, yaitu :

    a. prosedur (cara pembuatannya);

    b. bentuk keputusan dapat tertulis atau lisan (mondeling);

    c. pemberitahuan kepada yang bersangkutan.

    Disyaratkan suatu keputusan dibuat dalam bentuk tertulis karena memuat

    secara jelas motivasi dan pertimbangan-pertimbangan dikeluarkannya

    keputusan tersebut. Selain itu, suatu keputusan tertulis sangat penting artinya

    terutama bagi pihak yang merasa tidak puas terhadap keputusan tersebut.

    Syarat 1), 2) dan 3) sebagaimana diuraikan di atas merupakan syarat materiil yang

    berkaitan dengan substansi (isi), sedangkan syarat 4) merupakan syarat formil

    yang berkaitan dengan bentuk.

    Tidak dipenuhinya syarat-syarat tersebut di atas mengakibatkan suatu

    keputusan yang merupakan hasil perbuatan hukum publik dari organ/pejabat

    pemerintah (Pejabat Tata Usaha Negara) menjadi tidak sah. Akibat hukum yang

    ditimbulkan adalah, keputusan tersebut dapat menjadi batal. Kebatalan suatu

    keputusan dapat dijelaskan melalui teori kebatalan (nietig theorie), yaitu :32

    1) Keputusan yang batal

    32

    SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD, op. cit., hal. 83.

  • 26

    Keputusan yang batal dapat dibedakan menjadi batal mutlak (absolute nietig)

    dan batal nisbi/relatif (relatif nietig). Keputusan yang batal mutlak

    maksudnya ialah, pembatalan terhadap keputusan tersebut dapat dituntut oleh

    setiap orang. Sedangkan keputusan yang batal relatif maksudnya ialah,

    pembatalan terhadap keputusan tersebut hanya dapat dituntut oleh orang-

    orang tertentu saja. Pejabat yang berwenang menyatakan suatu keputusan

    batal adalah hakim (pejabat yudikatif).

    2) Keputusan yang batal karena hukum (van rechtwage nietig)

    Keputusan yang batal karena hukum berlaku surut, pengujian dilakukan

    terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat tanggal

    diterbitkannya keputusan yang batal tersebut. Keadaan dikembalikan pada

    keadaan semula sebelum diterbitkannya keputusan yang dimaksud (ex tunc).

    Perbuatan hukum publik menjadi tidak sah dan akibat hukum yang

    ditimbulkannya dianggap tidak pernah ada (tidak pernah terjadi). Pejabat

    yang berwenang menyatakan suatu keputusan batal karena hukum adalah

    hakim (pejabat yudikatif) dan instansi atasan (pejabat eksekutif).

    3) Keputusan yang dapat dibatalkan (vernietigbaar).

    Keputusan yang dapat dibatalkan tidak berlaku surut, pengujian dilakukan

    terhadap peraturan perundang-undangan yang sedang berlaku sekarang (ius

    constitutum). Perbuatan hukum publik dianggap sah dan akibat hukum yang

    ditimbulkannya dianggap ada sampai diterbitkannya keputusan pembatalan

    (ex nunc), kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Pejabat yang

  • 27

    berwenang menyatakan suatu keputusan dapat dibatalkan adalah hakim

    (pejabat yudikatif) dan instansi atasan (pejabat eksekutif).

    Teori kebatalan selanjutnya digunakan untuk membahas dan menganalisis

    tentang permasalahan kedua, yaitu “Apakah akibat hukum dari kewenangan yang

    diberikan kepada Notaris pensiun untuk melanjutkan permohonan pengesahan

    badan hukum Perseroan Terbatas yang belum selesai melalui Sistem Administrasi

    Badan Hukum ?”. Secara teknis, penyelesaian permohonan secara elektronik

    melalui SABH yang prosesnya belum selesai, diatur dalam Ketentuan Peralihan

    Pasal 33 Permenkumham 2014. Ketentuan Pasal 33 Permenkumham 2014

    tersebut dijadikan dasar hukum oleh surat Ditjen AHU untuk memberikan

    kewenangan kepada Notaris menyelesaikan proses permohonan pensiun yang

    dapat menimbulkan akibat hukum bagi surat Ditjen AHU yang dimaksud.

    1.5.2. Kerangka Berpikir

    Hubungan antara teori-teori dan asas hukum dengan permasalahan yang

    diteliti sebagaimana diuraikan di atas, digambarkan dalam kerangka berpikir

    sebagai berikut :

  • 28

    Latar Belakang Masalah Rumusan Masalah Landasan Teoritis

    Fakta-fakta hukum :

    Permohonan pengesahan badan hukum PT

    melalui SABH dengan

    Permenkumham 2011

    sebagai payung

    peraturannya.

    Tidak dipenuhinya syarat dokumen

    pendukung

    mengakibatkan proses

    permohonan tidak

    memperoleh SK

    Menkumham.

    Pada Tahun 2013 notaris pensiun sehingga masih

    meninggalkan

    pekerjaan.

    Pada Tahun 2014 diberlakukan

    Permenkumham 2014

    dengan mencabut

    Permenkumham 2011.

    Notaris dapat langsung mencetak SK

    Menkumham secara

    elektronik melalui

    SABH (Pasal 15 ayat (3)

    Permenkumham 2014).

    Selanjutnya, notaris

    wajib membubuhkan

    cap jabatan dan

    menandatangani SK

    tersebut (Pasal 15 ayat

    (4) Permenkumham

    2014).

    Masa transisi diatur dalam Pasal 33

    Permenkumham 2014.

    Berdasarkan Pasal 33

    tersebut, diberikan

    kewenangan kepada

    notaris pensiun untuk

    melanjutkan proses yang

    belum selesai (substansi

    dari surat Ditjen AHU).

    1. Apakah Notaris pensiun

    berwenang untuk melanjutkan

    permohonan pengesahan

    badan hukum Perseroan

    Terbatas yang belum selesai

    melalui Sistem Administrasi

    Badan Hukum ?

    2. Apakah akibat hukum dari

    kewenangan yang diberikan

    kepada Notaris pensiun untuk

    melanjutkan permohonan

    pengesahan badan hukum

    Perseroan Terbatas yang

    belum selesai melalui Sistem

    Administrasi Badan Hukum ?

    Teori Kebatalan

    Teori Hierarki Norma Hukum

    dan asas lex

    superior

    derogat legi

    inferiori

    Teori Kewenangan

    Metode Penelitian

    Jenis Penelitian :

    Penelitian hukum

    normatif yang

    dilakukan

    berdasarkan fakta-

    fakta hukum yang

    diperoleh di dalam

    kegiatan praktik

    hukum.

    Ketentuan Pasal 33 Permenkumham 2014 : ------------------------------ Permohonan pengesahan pendirian yang telah diajukan dan sedang diproses sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, diproses berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dengan melampirkan pernyataan secara tertulis sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini.

    Menimbulkan akibat

    hukum bagi surat

    Ditjen AHU yang

    substansinya

    memberikan

    kewenangan kepada

    Notaris pensiun.

    Permasalahan Yuridis :

    Konflik norma antara

    substansi surat Ditjen

    AHU dengan UU

    40/2007 dan

    Permenkumham 2014.

  • 29

    1.6. Metode Penelitian

    1.6.1. Jenis Penelitian

    Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang juga disebut

    sebagai penelitian hukum doktrinal.33

    Penelitian hukum normatif adalah penelitian

    hukum yang meneliti bahan hukum atau disebut juga data sekunder, yang

    mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum

    tertier.34

    Penelitian hukum normatif ini dilakukan berdasarkan fakta-fakta hukum

    yang diperoleh dalam kegiatan praktik hukum.35

    Fokus kajian penelitian ini

    adalah pada permasalahan norma yang termuat dalam ketentuan hukum positif

    (proposisi hukum), konsep-konsep hukum dari statuta serta aturan administrasi.36

    Peneliti melihat terdapat konflik norma (geschijld van normen) antara

    substansi surat Ditjen AHU dengan UU 40/2007 dan Permenkumham 2014.

    Berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (3) UU 40/2007 juncto ketentuan Pasal 1

    angka 4 Permenkumham 2014, pemohon (para pendiri bersama-sama)

    memberikan kuasa kepada Notaris untuk proses pengesahan badan hukum PT

    secara elektronik melalui SABH. Sementara substansi dari surat Ditjen AHU yang

    ditujukan kepada Notaris pensiun tertentu, memberikan kewenangan kepada

    Notaris pensiun yang dimaksud untuk melanjutkan permohonan pengesahan

    33

    Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2006, Pengantar Metode Penelitian

    Hukum, Edisi ke-1, Cetakan III, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 118. 34

    Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2012, Penelitian Hukum Normatif

    (Suatu Tinjauan Singkat), Cetakan XIV, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal.

    13. 35

    Peter Mahmud Marzuki, 2013, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Cetakan

    VIII, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Peter

    Mahmud Marzuki II), hal. 214. 36

    Ade Saptomo, 2009, Pokok-pokok Metodologi Penelitian Hukum

    Empiris Murni: Sebuah Alternatif, Universitas Trisakti, Jakarta, hal. 36-37.

  • 30

    badan hukum PT secara elektronik melalui SABH berdasarkan ketentuan Pasal 33

    Permenkumham 2014. Menurut Peter Mahmud Marzuki, langkah-langkah yang

    dilakukan dalam penelitian hukum normatif, antara lain :37

    1. Mengidentifikasi fakta hukum dan mengeleminasi hal-hal yang tidak relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan.

    2. Mengumpulkan bahan-bahan hukum dan bahan-bahan nonhukum yang dipandang mempunyai relevansi.

    3. Melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan berdasarkan bahan-bahan yang telah dikumpulkan.

    4. Menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi yang menjawab isu hukum.

    5. Memberikan preskripsi berdasarkan argumentasi yang telah dibangun di dalam kesimpulan.

    1.6.2. Jenis Pendekatan

    Peneliti menggunakan beberapa jenis pendekatan dalam penelitian ini

    untuk menganalisis isu hukum (permasalahan hukum) yang dikaji. Pendekatan

    yang digunakan adalah : pendekatan perundang-undangan (the statute approach),

    pendekatan analisis konsep hukum (analitical & conceptual approach) dan

    pendekatan fakta (the fact approach).

    Pendekatan perundang-undangan digunakan oleh peneliti karena fokus

    sekaligus tema sentral dari penelitian ini adalah mengenai aturan-aturan hukum.38

    Semua peraturan perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan-

    permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini akan dianalisis dengan

    menggunakan pendekatan perundang-undangan.

    Pendekatan analisis konsep hukum digunakan untuk menganalisis

    permasalahan dengan konsep-konsep yang relevan. Konsep-konsep yang

    37

    Peter Mahmud Marzuki II, op. cit., hal. 213. 38

    Johnny Ibrahim, op. cit., hal. 302.

  • 31

    digunakan dalam penelitian ini merujuk pada pendapat para sarjana atau doktrin-

    doktrin hukum yang terkait dengan permasalahan-permasalahan yang dikaji.

    Pendekatan fakta (the fact approach) merupakan pendekatan terhadap

    suatu perbuatan, peristiwa atau keadaan hukum,39

    yang prosesnya masih

    berlangsung atau belum berakhir. Faktanya, masih ditemukan dalam praktek

    Notaris masalah PT yang sebelumnya dimohonkan pengesahan badan hukumnya

    oleh Notaris pensiun prosesnya belum selesai, pasca diberlakukannya

    Permenkumham 2014. Namun, dalam keadaan hukum kehilangan

    kewenangannya tersebut, Notaris pensiun diberikan kewenangan kembali untuk

    menyelesaikan permohonan pengesahan badan hukum PT. Fakta-fakta tersebut

    akan dikaitkan dengan permasalahan yang akan dikaji dan kemudian dianalisis.

    1.6.3. Sumber Bahan Hukum

    Penelitian ini meneliti dan menganalisis bahan-bahan hukum yang

    bersumber pada bahan hukum primer, sekunder dan tertier,40

    yang dapat diuraikan

    sebagai berikut :

    1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan yang

    langsung menjadi bahan kajian. Sebagaimana dikemukakan oleh Terry

    Hutchinson,41

    “The primary materials are the actual sources of the law –

    legislation and case law” (Bahan-bahan primer adalah sumber-sumber hukum

    39

    Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2011, Argumentasi

    Hukum, Cetakan V, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 40. 40

    Muslan Abdurrahman, 2009, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum,

    Cetakan I, UMM Press, Malang, hal. 127-128. 41

    Terry Hutchinson, 2002, Researching and Writing in Law, Lawbook Co.,

    Pyrmont NSW, hal. 9.

  • 32

    yang aktual – peraturan perundang-undangan dan kasus hukum), maka bahan

    hukum primer yang dikaji meliputi :

    - Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

    - Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib

    Daftar Perusahaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982

    Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

    3214);

    - Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang

    Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia

    Tahun 1986 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

    Nomor 3344) sebagaimana telah diubah dengan :

    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 tentang

    Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang

    Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia

    Tahun 2004 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Republik

    Indonesia Nomor 4380);

    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang

    Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

    tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik

    Indonesia Tahun 2009 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara

    Republik Indonesia Nomor 5079).

    - Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 tahun 2004 tentang

    Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004

  • 33

    Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

    4432), sebagaimana telah diubah dengan :

    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang

    Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang

    Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014

    Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

    5491);

    - Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2007 tentang

    Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007

    Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

    4756);

    - Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang

    Informasi Dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik

    Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik

    Indonesia Nomor 4843);

    - Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2008 tentang

    Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008

    Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

    4916);

    - Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang

    Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan

    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 109,

    Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5035);

  • 34

    - Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang

    Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara

    Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara

    Republik Indonesia Nomor 5234);

    - Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang

    Administrasi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia

    Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik

    Indonesia Nomor 5601);

    - Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Staatsblad Tahun 1847 Nomor

    23;

    - Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan

    Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles),

    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 78,

    Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4107),

    sebagaimana telah diubah dengan :

    Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/23/PBI/2001 tentang Perubahan

    Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 tentang

    Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer

    Principles), (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001

    Nomor 151, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

    Nomor 4160);

    Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003 tentang Perubahan

    Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 tentang

  • 35

    Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer

    Principles), (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003

    Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

    Nomor 4325).

    - Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2011 tentang Tata Cara

    Pengajuan dan Pemakaian Nama Perseroan Terbatas (Lembaran Negara

    Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara

    Republik Indonesia Nomor 5244);

    - Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/27/PBI/2012 tentang Penerapan

    Program Anti Pencucian Uang Dan Pencegahan Pendanaan Terorisme

    Bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012

    Nomor 290, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

    5385);

    - Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor

    M.02.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Bentuk dan Ukuran Cap/Stempel

    Notaris;

    - Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-

    05.OT.01.01 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian

    Hukum dan Hak Asasi Manusia (Berita Negara Republik Indonesia

    Tahun 2010 Nomor 676) sebagaimana telah diubah dengan :

    Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 19 Tahun

    2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak

    Asasi Manusia Nomor M.HH-05.OT.01.01 Tahun 2010 tentang

  • 36

    Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Hukum dan Hak Asasi

    Manusia (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor

    740);

    - Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-

    01.AH.01.01 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan

    Pengesahan Badan Hukum Dan Pesetujuan Perubahan Anggaran Dasar

    Serta Penyampaian Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar Dan

    Perubahan Data Perseroan Terbatas (Berita Negara Republik Indonesia

    Tahun 2011 Nomor 187);

    - Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor 4 Tahun 2014

    tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum

    Dan Persetujuan Perubahan Anggaran dasar Serta Penyampaian

    Pemberitahuan Perubahan Anggaran dasar Dan Perubahan Data

    Perseroan Terbatas (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014

    Nomor 392).

    2. Dikemukakan oleh Jacobstein dan Mersky, “…when in the legal search

    process primary authorities cannot be located, the searcher will seek for

    secondary authorities”42

    (Ketika dalam proses pencarian bahan hukum primer

    tidak ditemukan, peneliti akan mencari bahan hukum sekunder). Maka, bahan

    hukum sekunder adalah bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan

    hukum primer, yang dapat digunakan untuk membantu menganalisis dan

    memahami bahan hukum primer. Bahan-bahan hukum sekunder ini meliputi :

    42

    Myron J. Jacobstein, et. al., 1994, Fundamental of Legal Research, The

    Foundation Press, New York, hal. 9.

  • 37

    buku-buku hukum (text books) yang dipandang mempunyai relevansi, jurnal-

    jurnal hukum, hasil-hasil penelitian dan karya tulis hukum yang relevan dan

    pendapat atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa.

    Bahan hukum sekunder juga diperoleh dari internet dalam bentuk e-book

    serta artikel-artikel yang terkait dengan penelitian.43

    3. Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang

    bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tertier yang

    digunakan adalah Kamus Bahasa Indonesia.

    1.6.4. Data Penunjang

    Penelitian ini menggunakan data penunjang yang oleh Peter Mahmud

    Marzuki disebut juga bahan nonhukum,44

    berupa hasil wawancara dari informan

    untuk menganalisis permasalahan-permasalahan hukum yang dikaji. Teknik

    wawancara yang digunakan adalah wawancara terstruktur, yaitu merumuskan

    semua pertanyaan secara tertulis dengan cermat.45

    Informan adalah seseorang atau

    lebih yang memberikan informasi kepada peneliti tentang segala hal yang

    berkaitan dengan penelitian.46

    Informan yang dijadikan sebagai narasumber dalam penelitian ini ialah

    dua orang Notaris pensiun yang sebelumnya pernah mengajukan permohonan

    pengesahan badan hukum PT melalui SABH sebelum diberlakukannya

    Permenkumham 2014, namun prosesnya belum selesai hingga diberlakukannya

    43

    Dyah Ochtorina Susanti dan A’an Efendi, 2014, Penelitian Hukum

    (Legal Research), Cetakan I, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 141. 44

    Peter Mahmud Marzuki II, op. cit., hal. 206. 45

    S. Nasution, 2012, Metode Research (Penelitian Ilmiah), Edisi ke-1,

    Cetakan XIII, Bumi Aksara, Jakarta, hal. 117. 46

    Ade Saptomo, op. cit., hal. 81.

  • 38

    Permenkumham 2014. Kedua orang Notaris pensiun yang dimaksud adalah Josef

    Sunar Wibisono, SH., M.Kn., dan I Made Puryatma, SH., M.Kn.

    1.6.5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

    Bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tersier dalam penelitian ini,

    dikumpulkan dengan mempergunakan teknik studi dokumen. Metode yang

    digunakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah metode snowball dan metode

    sistem kartu.

    Metode snowball dilakukan dengan cara mengumpulkan sebuah literatur

    untuk selanjutnya akan diambil beberapa sumber yang terdapat dalam literatur

    tersebut yang terkait dengan penelitian. Hal yang sama dilakukan pada sumber-

    sumber tersebut sehingga akan diperoleh lebih banyak bahan hukum. Sedangkan

    metode sistem kartu yang dipergunakan adalah kartu kutipan yang mencakup

    pencatatan mengenai kutipan bahan hukum dan sumber bahan hukum, seperti

    nama penulis, tahun terbit, judul buku, dan lain sebagainya.

    1.6.6. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

    Setelah diperoleh bahan-bahan hukum yang terkait dengan penelitian,

    bahan-bahan hukum tersebut kemudian diolah dengan cara dikumpulkan dan

    dicatat (diinventarisasi) kemudian dikelompokkan (diklasifikasi) sesuai dengan

    masalah yang dikaji. Selanjutnya, akan dilakukan analisis terhadap bahan-bahan

    hukum tersebut dengan menggunakan beberapa teknik analisis, yaitu : teknik

    deskripsi, teknik evaluasi, teknik argumentasi, teknik interpretasi dan teknik

    sistematisasi.

  • 39

    Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang digunakan untuk

    menggambarkan atau menguraikan bahan-bahan hukum dan bahan-bahan

    nonhukum apa adanya. Teknik deskripsi dalam penelitian ini digunakan untuk

    menguraikan kondisi atau posisi dari ketentuan-ketentuan (proposisi-proposisi)

    peraturan perundang-undangan yang dikaji, doktrin-doktrin hukum dan juga

    informasi yang diperoleh dari hasil wawancara dengan informan.

    Teknik evaluasi digunakan untuk penilaian berupa tepat atau tidak tepat,

    setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah. Penilaian dilakukan

    terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik

    yang tertera dalam bahan primer maupun bahan sekunder.

    Teknik argumentasi digunakan untuk mewujudkan hasil proses berpikir

    atau menalar dalam bentuk argumen. Teknik argumentasi dalam penelitian ini

    tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi, karena penilaian didasarkan pada

    alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.

    Teknik interpretasi digunakan untuk menemukan makna dari suatu aturan

    hukum dengan mendistilasi (menarik keluar) dan menampilkan ke permukaan

    norma hukum yang termuat dalam aturan hukum tersebut.47

    Menurut Aulis

    Aarnio, interpretasi (penafsiran) merupakan aspek praktikal dari ilmu hukum.48

    47

    Bernard Arief Sidharta, 2013, “Penelitian Hukum Normatif: Analisis

    Penelitian Filosofikal dan Dogmatikal” (selanjutnya disingkat Bernard Arief

    Sidharta I) dalam Sulistyowati Irianto dan Shidarta (ed); Metode Penelitian

    Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Cetakan III, Yayasan Pustaka Obor Indonesia,

    Jakarta, hal. 145. 48

    Bernard Arief Sidharta, 2013, Ilmu Hukum Indonesia: Upaya

    Pengembangan Ilmu Hukum Sistematik yang Responsif Terhadap Perubahan

    Masyarakat, Cetakan I, Genta Publishing, Yogyakarta, (selanjutnya disingkat

    Bernard Arief Sidharta II), hal. 28.

  • 40

    Metode penafsiran yang digunakan dalam penelitian ini antara lain penafsiran

    gramatikal dan sistematikal. Penafsiran gramatikal yaitu, mencoba memahami

    teks dalam ketentuan peraturan perundang-undangan berdasarkan bahasa dan

    susunan kata-kata yang digunakan yang dilakukan bersamaan dengan penafsiran

    logis melalui penalaran hukum.49

    Sedangkan penafsiran sistematikal yaitu, untuk

    menentukan arti atau makna ketentuan peraturan perundang-undangan dengan

    cara mengkaitkannya dengan ketentuan pasal-pasal lainnya.50

    Sistematisasi sebagaimana dikemukakan oleh Bernard Arief Sidharta

    dalam Sulistyowati Irianto dan Shidarta memiliki arti membangun dan

    menumbuh-kembangkan sistem hukum berdasarkan apa yang sudah ada, atau

    menempatkan (mengintegrasikan) hasil interpretasi terhadap aturan hukum ke

    dalam sistem hukum yang sudah ada.51

    Teknik sistematisasi dalam penelitian ini

    digunakan untuk mencari kaitan rumusan suatu proposisi hukum antara peraturan

    perundang-undangan yang sederajat maupun yang tidak sederajat. Penelitian ini

    menggunakan tataran sistematisasi dan metode sistematisasi sebagaimana

    dikemukakan oleh Mark van Hoecke yang dikutip oleh Bernard Arief Sidharta.

    Tataran sistematisasi yang digunakan adalah tataran teknis, yaitu sistematisasi

    berdasarkan hierarki sumber hukum yang diterima secara umum. Sedangkan

    49

    Nomensen Sinamo, 2009, Metode Penelitian Hukum, Edisi ke-1, PT.

    Bumi Intitama Sejahtera, Jakarta, hal. 61-63. 50

    I Dewa Gede Atmadja, 2009, Pengantar Penalaran Hukum dan

    Argumentasi Hukum, Cetakan I, Bali Aga, Denpasar, hal. 43. 51

    Bernard Arief Sidharta I dalam Sulistyowati Irianto dan Shidarta (ed);

    op. cit., hal. 146.

  • 41

    metode sistematisasi yang digunakan adalah metode logika, yaitu menggunakan

    asas logika deduksi.52

    52

    Bernard Arief Sidharta II, “op. cit.”, hal. 65-67, dikutip dari M. van

    Hoecke, 1984, Aard en Methode van de Rechtsdogmatiek, R&R, hal. 193-195.