BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id I.pdftelah melanggar hak-hak sosial dan...

27
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindak pidana korupsi dikategorikan sebagai extraordinary crime (kejahatan luar biasa) karena dampak yang ditimbulkan memang luar biasa, yang selama ini terjadi secara sistematik dan meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, mengganggu stabilitas dan keamanan masyarakat serta melemahkan nilai-nilai demokrasi, etika, keadilan dan kepastian hukum, juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Sedemikian besarnya dampak yang ditimbulkan dari tindak pidana korupsi yang memunculkan persepsi bahwa pemberantasannya pun harus dilakukan secara luar biasa. Korupsi di negeri ini seperti sudah berakar dan menjalar yang biasanya terjadi di pemerintah pusat, kini bahkan sudah merambah pada pemerintahan yang lebih rendah seperti di daerah dan desa. Bukan saja di pemerintahan, namun sudah sampai pada lingkungan peradilan, perusahaan, pendidikan, segala sendi kehidupan. Memberantas korupsi adalah tugas utama yang harus segera diselesaikan. Mustahil merealisasikan pembangunan, memerangi kemiskinan, meningkatkan taraf pendidikan dan kesehatan namun korupsi masih merajalela. Karena bisa dikatakan korupsi merupakan asal muasal dari setiap

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id I.pdftelah melanggar hak-hak sosial dan...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tindak pidana korupsi dikategorikan sebagai extraordinary crime

(kejahatan luar biasa) karena dampak yang ditimbulkan memang luar biasa,

yang selama ini terjadi secara sistematik dan meluas, tidak hanya merugikan

keuangan negara, mengganggu stabilitas dan keamanan masyarakat serta

melemahkan nilai-nilai demokrasi, etika, keadilan dan kepastian hukum, juga

telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas.

Sedemikian besarnya dampak yang ditimbulkan dari tindak pidana korupsi

yang memunculkan persepsi bahwa pemberantasannya pun harus dilakukan

secara luar biasa.

Korupsi di negeri ini seperti sudah berakar dan menjalar yang

biasanya terjadi di pemerintah pusat, kini bahkan sudah merambah pada

pemerintahan yang lebih rendah seperti di daerah dan desa. Bukan saja di

pemerintahan, namun sudah sampai pada lingkungan peradilan, perusahaan,

pendidikan, segala sendi kehidupan.

Memberantas korupsi adalah tugas utama yang harus segera

diselesaikan. Mustahil merealisasikan pembangunan, memerangi kemiskinan,

meningkatkan taraf pendidikan dan kesehatan namun korupsi masih

merajalela. Karena bisa dikatakan korupsi merupakan asal muasal dari setiap

2

kejahatan besar, seperti; tindak pidana pencucian uang, tindak pidana

perjudian, prostitusi, perbankan dan lainnya.

Korupsi adalah kejahatan yang biasanya dilakukan oleh orang-orang

yang memiliki kekuasaan, melalui kebijakan-kebijakan penguasa yang

dilakukan secara sistematis untuk memaksimalkan keuntungan pribadi,

penguasa dan kelompok. Kekuasaan ini sangat dipengaruhi oleh politik.

Sehingga korupsi terjadi karena penyalahgunaan kekuasaan.

Berbicara tentang kekuasaan tidak lepas dari pemerintahan. Struktur

pemerintahan beserta hak dan kewajibannya telah diatur secara umum dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta di atur

pula mengenai asas otonomi pada Pasal 18 Ayat (2) UUD NRI 1945

“Pemerintahan Daerah propinsi, kabupaten dan kota mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas

pembantuan”

Berdasarkan hal tersebut, pemerintah secara otomatis diinstruksikan

untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan yang khusus

mengatur pemerintahan daerah sebagai daerah otonom, yang berisi hubungan

wewenangnya dengan pemerintah pusat, dimana produk hukum ini sebagai

implementasi Pasal 18 Ayat (2) tersebut. Maka, dibentuklah Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, yang kini telah

diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 Tentang

Pemerintahan Daerah sebagai tindakan nyata Indonesia yang bangga dengan

asas Desentralisasi dan Otonomi Daerahnya.

3

Amrah Muslimin memberikan pengertian desentralisasi, yaitu

pelimpahan kewenangan pada badan-badan dan golongan-golongan dalam

masyarakat dalam daerah tertentu mengurus rumah tangganya sendiri.1

Untuk merealisasikan otonomi daerah, suatu daerah memerlukan

pendanaan agar tiap daerah dapat mengelola potensi daerahnya dengan baik.

Selanjutnya, UU Pemda Tahun 2004 tersebut diperkuat dengan Peraturan

Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa, yang memberikan kepastian

hukum terhadap perimbangan keuangan desa dan kabupaten/ kota. Hal ini

berkaitan dengan asas desentralisasi dan otonomi daerah yang dianut

Indonesia serta demokrasi dan masyarakat yang partisipatif sesuai konstitusi

Negara yang merupakan dasar diberikannya kepastian terhadap perimbangan

keuangan desa dan kabupaten/ kota. Berdasarkan PP Desa tersebut, pada Pasal

68 Ayat (1) huruf c, desa memperoleh jatah Alokasi Dana Desa (ADD). ADD

yang diberikan ke desa merupakan hak desa. Sebelumnya, desa tidak

memperoleh kejelasan anggaran untuk mengelola pembangunan,

pemerintahan dan sosial kemasyarakatan desa. Saat ini, melalui ADD, desa

berpeluang untuk mengelola pembangunan, pemerintahan dan sosial

kemasyarakatan desa secara otonom.

Dalam UU Pemda Tahun 2004 maupun 2014 tersebut di atur segala

hal sampai pada diberikannya tiap daerah untuk mengelola urusan daerahnya

sendiri berikut pemerintahan yang ada di bawahnya seperti desa. Pemerintah

daerah menganggarkan dana yang digunakan untuk pembangunan desa,

1 Amrah Muslimin, 1982, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, h. 5

4

pemberdayaan masyarakat, operasional pemerintah desa, tunjangan aparat

desa, dan lainnya.

Berdasarkan PP Desa, Pasal 68 Ayat (1) huruf c, sumber anggaran

untuk ADD berasal dari APBD Kabupaten/ Kota. Komponen APBD yang

dialokasikan sekurang-kurangnya 10% (persen) bagian dari dana perimbangan

keuangan pusat dan daerah. Maksud dari dana perimbangan keuangan pusat

dan daerah yang diterima Kabupaten/ Kota adalah dana bagi hasil pajak dan

sumber daya alam, ditambah Dana Alokasi Umum (DAU) setelah dikurangi

belanja pegawai.

Diberikannya alokasi dana desa yang jumlahnya ditentukan secara

lebih pasti tersebut tak khayal banyak menyeret kepala desa ke dalam kasus

tindak pidana korupsi. Seperti misalnya kasus korupsi ADD pemerintah

Kabupaten Buleleng, desa Alas Angker, Kecamatan Buleleng, Singaraja,

kepala desa tersebut berinisial GS2. Selain itu masih banyak lagi kepala daerah

yang tersangkut kasus ini, berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri,

ada sebanyak 318 kepala daerah tersangkut kasus korupsi dari jumlah 524

kepala daerah dan wakil kepala daerah, jumlah ini dalam rentang tahun 2004-

Feberuari 2013.

Pemerintah pusat berganti, seriring berjalannya tahun, kebijakan pun

berganti, atas apresiasinya terhadap otonomi daerah, dirancanglah agenda

prioritas Presiden dan Wakil Presiden Jokowi dan Jusuf Kalla. Program dalam

prioritas tersebut salah satunya adalah membangun Indonesia dari pinggiran

2 Antara Bali, 2010, http://m.antarabali.com/berita/5180/polres-buleleng-libatkan-bpkp-

selidiki-korupsi , Akses: tanggal 2 Nopember 2015, pukul: 22.43 Wita

5

dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.

Berdasarkan hal tersebut dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 6 Tahun

2014 tentang Desa yang dalam salah satu rumusan pasalnya memuat tentang

dana alokasi desa yang membuat pro dan kontra pada tahun 2014 sampai dana

itu dikeluarkan tahun 2015. Karena nilainya yang tidak tanggung-tanggung,

banyak kalangan yang mengkhawatirkan kesiapan, sebanyak lebih dari 74.000

desa se-Indonesia dalam rangka menerima dan mengelola dana yang terbilang

besar itu dari pemerintah pusat. Tiap desa akan menerima kucuran dana yang

telah dianggarkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)

yang berkisar 1,4 Milyar/ Tahun per Desa. Inilah yang menarik untuk

dicermati, dimana sebelumnya desa belum pernah mendapatkan porsi

anggaran dari APBN. Rumusan itu adalah dalam pasal 72 Ayat (1) UU Desa,

Pasal 72

(1) Pendapatan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2)

bersumber dari :

a. Pendapatan asli Desa terdiri atas hasil usaha, hasil asset, swadaya dan

partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli Desa;

b. alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

c. bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota;

d. alokasi dana Desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan

yang diterima Kabupaten/Kota;

e. bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Kabupaten/Kota;

f. hubah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan

g. lain-lain pendapatan Desa yang sah.

Berpijak dari rumusan pasal tersebut, rupanya menimbulkan

kekhawatiran banyak kalangan. Dimana rumusan pasal tersebut bila

diselewengkan akan memunculkan tindak pidana korupsi. Produk baru yang

6

disebut dana desa ini, nantinya memiliki potensi untuk berkontribusi dalam

tindak pidana korupsi, melihat mental yang rendah di pemerintahan serta

tuntutan ekonomi menjadikan seseorang berupaya semaksimal mungkin

untuk pemenuhan kebutuhannya, maka bukan tidak mungkin korupsi bisa

saja terjadi. Tindak pidana korupsi terkait pengelolaan keuangan terjadi lebih

banyak disebabkan karena kacaunya administrasi keuangan tersebut, karena

salah tafsir terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku atau

ketidakpahaman aparat terhadap aturan tersebut.

Secara politis, desentralisasi merupakan langkah menuju

demokratisasi. Dengan desentralisasi, pemerintah lebih dekat dengan rakyat,

sehingga kehadiran pemerintah lebih dirasakan oleh rakyat dan keterlibatan

rakyat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan dan

pemerintahan semakin nyata. Secara sosial, desentralisasi akan mendorong

masyarakat ke arah swakelola dengan memfungsikan pranata sosial yang

merupakan social capital dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang

mereka hadapi. Dengan pranata yang telah internalized, mekanisme

penyelesaian mereka dipandang lebih efektif, efisien dan adil. Sedangkan,

secara ekonomi, desentralisasi diyakini dapat mencegah eksploitasi pusat dan

daerah, menumbuhkan inovasi masyarakat dan mendorong motivasi

masyarakat untuk lebih produktif. Secara administratif akan mampu

meningkatkan kemampuan daerah dalam melakukan perencanaan,

pengorganisasian, meningkatkan akuntabilitas atau pertanggungjawaban

7

publik.3 Sesungguhnya inilah arah yang ingin di capai pemerintah, maka di

berikanlah dana desa tersebut.

Berdasarkan data yang dilansir dari transparency.org, Negara kita

menduduki peringkat 12 sebagai negara terkorup se-Asia dan peringkat 107

sebagai negara bebas korupsi dari 175 negara di tahun 2014, sangat

memperihatinkan dibandingkan dengan negara tetangga seperti singapura

masuk peringkat 7 negara terbersih dari korupsi dari 175 negara, atau

Malaysia di peringkat 50.4

Dibalik manfaat yang baik dari pasal tersebut, rupanya ada kelam

yang tersimpan menaruhkan kemakmuran masyarakat dan negara. Pada tahun

2015 dana dikucurkan dari pusat melalui pemerintahan daerah sebanyak tiga

tahap. Muncul kekhawatiran akan rawannya penyimpangan dana desa

tersebut bukan tidak beralasan, mengingat banyaknya pejabat yang korupsi.

Berkaca di era otonomi daerah sekarang, desa mendapat dana milyaran dalam

setahun, bukan hal yang mustahil jika dikemudian hari banyak kepala daerah

ataupun kepala desa yang berurusan dengan hukum karena telah merugikan

keuangan negara. Praktik korupsi pun akan berpindah dari kota ke desa.

Berdasarkan hal tersebut di atas, pemerintah Indonesia baiknya

semakin gencar memberantas korupsi, kata memberantas lebih menekankan

kita akan suatu tindakan yang telah terjadi (represif), layaknya memotong

rumput, setelah dipotong lalu tumbuh lebat lagi, begitulah korupsi, kita

3 Pheni Chalid, 2005, Otonomi Daerah Masalah, Pemberdayaan dan Konflik, Cet. Ke-1,

Kemitraan, Jakarta, h. 5 4 www.tahupedia.com/content/show/587/10-Negara-Terkorup-Di-Dunia, Akses: tanggal

16 Oktober 2015, pukul: 20.14 Wita

8

melakukan pemberantasan korupsi berarti tindak pidana tersebut sudah

terlaksana, karena jika belum terlaksana, kita juga belum bisa mengetahui itu

korupsi atau bukan.

Untuk itu, sebagai reaksi dari rumusan pasal tersebut di atas, melihat

pentingnya langkah adanya langkah penanggulangan tindak pidana korupsi

dalam hal pengelolaan keuangan desa khususnya dana desa. Penulis tertarik

untuk mengangkat tulisan ini dengan judul “Penanggulangan Tindak

Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Dana Desa di Bali”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan dua

permasalahan sebagai berikut :

1.2.1 Bagaimana pengaturan penanggulangan tindak pidana korupsi yang

dilakukan di Indonesia ?

1.2.2 Bagaimana upaya penanggulangan agar pengelolaan keuangan dana

desa di Indonesia khususnya di Bali terhindar dari Korupsi?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Agar penulisan tidak terlalu lebar dan tidak terlalu sempit dalam

pembahasannya, penulis memberikan batasan penulisan, sesuai dengan

lingkup, yang dibahas adalah pengaturan penanggulangan tindak pidana

korupsi di Indonesia dan upaya penanggulangan yang dilakukan untuk

9

mencegah agar pengelolaan keuangan dana desa di Indonesia khususnya di

Bali terhindar dari korupsi.

1.4 Orisinalitas

Fakta menunjukkan bahwa cukup banyak hasil penelitian yang

berkaitan dengan obyek penelitian baik dalam bentuk laporan, skripsi, tesis

maupun disertasi. Namun khsusus untuk penelitian hukum, dengan

keterbatasan kemampuan untuk menelusuri hasil-hasil penelitian di bidang

hukum, tidak banyak didapati penelitian tentang penelitian normatif-empiris

mengenai Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dalam

Pengelolaan Keuangan Dana Desa di Bali. Dari hasil penelusuran, mendapat

penelitian dalam bentuk skripsi yang membahas masalah tindak pidana

korupsi, sebagai berikut :

Tabel 1. Daftar Penelitian

No. Judul / tahun penulisan Penulis Rumusan Masalah

1 Kebijakan Hukum Pidana

Dalam Penanggulangan

Tindak Pidana Korupsi Yang

Dilakukan Oleh Pejabat

Legislatif Negara (2015)

I Gede Dion Raharja

(Fakultas Hukum

Universitas Udayana)

- Bagaimanakah kebijakan

aplikatif dalam tindak pidana

korupsi yang dilakukan oleh

pejabat legislatif negara?

- Apakah kebijakan ancaman

pidana yang diatur dalam

undang-undang tindak pidana

10

korupsi dapat mencegah

terjadinya tindakan korupsi?

2 Penegakan Hukum Tindak

Pidana Korupsi Pada

Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi Di Denpasar (2013)

Debby Fitria Ulfa Dewi

(Fakultas Hukum

Universitas Udayana)

- Bagaimana frekuensi kasus-

kasus tindak pidana korupsi pada

Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi di Denpasar dalam 3

(tiga) tahun terakhir?

- Bagaimana implementasi

penjatuhan sanksi pidana pada

Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi di Denpasar?

Penulisan pertama, hanya membatasi tulisannya terkait pencegahan

tindak pidana korupsi dengan menggunakan kebijakan hukum pidana yang di

dalamnya berisi ancaman sanksi yang disusun oleh lembaga legislatif.

Penulisan pada judul kedua, memfokuskan pembahasan pada

penegakan hukum pidana korupsi pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di

Denpasar melalui pengimplementasian penjatuhan sanksi dan frekuensi

kriminalitas pada pengadilan tindak pidana korupsi di Denpasar. Penegakan

hukum bisa dikaitkan dengan pemberantasan korupsi sehingga tulisan

tersebut bisa dikatakan menyerupai tulisan ini.

Dari kedua tulisan di atas, jelas berbeda dengan apa yang dibahas

dalam tulisan ini. Tulisan ini memfokuskan pembahasan pada pengaturan dan

11

upaya penanggulangan tindak pidana korupsi dalam mengelola keuangan

dana desa. Dimana pembahasan tersebut muncul sebagai reaksi atas UU Desa

perihal pengalokasian Dana Desa dalam APBN.

1.5 Tujuan Penelitian

1.5.1 Tujuan Umum

Adapun tujuan umum yang ingin dicapai adalah untuk memberikan

suatu gambaran atau pembahasan mengenai adanya suatu peluang

terjadinya tindak pidana korupsi melalui pengelolaan dana desa, serta

penanggulangan tindak pidana korupsi tersebut terhadap dana desa

1.5.2 Tujuan Khusus

1. Untuk Mengetahui dan Menganalisa peraturan yang digunakan dalam

penanggulangan tindak pidana korupsi di Indonesia;

2. Untuk mengetahui upaya penanggulangan yang digunakan agar

pengelolaan keuangan dana desa di Bali dapat diminimalisir bahkan

terhindar dari korupsi.

1.6 Manfaat Penulisan

1.6.1 Manfaat Teoritis

Manfaat yang berkaitan dengan keilmuan, antara lain :

1. Bagi para peneliti untuk mengembangkan kembali apa yang telah diangkat

dalam tulisan ini serta pengembangan ilmu pengetahuan di bidang Hukum

Pidana;

12

2. Pengembangan bahan perkuliahan pada materi dalam hukum pidana atau

pun bidang hukum lain yang berkaitan;

3. Bahan publikasi ilmiah.

1.6.2 Manfaat Praktis

1. Bagi Kepala Desa serta jajarannya agar lebih berhati-hati dalam mengelola

dana desa yang jumlahnya besar tersebut;

2. Bagi Pemerintah Daerah agar terus melakukan pengawasan terhadap

jalannya pengelolaan dana desa di tiap desa;

3. Bagi pemerintah pusat serta aparat penegak hukum agar melakukan upaya

penanggulangan tindak pidana korupsi secara konsisten, efektif dan efisien

terhadap pengelolaan dana desa, agar turunnya dana desa yang jumlahnya

besar tersebut tidak disalahgunakan dikemudian hari.

1.7 Landasan Teoritis

Untuk mengkaji permasalahan, penulis menggunakan teori-teori

yang relevan, sebagai berikut :

1. Teori Penanggulangan

Secara Teori ada dua cara menanggulangan kejahatan, Yaitu :

1. Penanggungan secara preventif (Pencegahan)

2. Penanggulangan secara represif

Penanggulangan secara preventif adalah merupakan usaha pencegahan

kejahatan yang dilakukan sebelum kejahatan itu terjadi. Usaha ini dapat

ditempuh melalui dua cara, yaitu :

13

a. Cara Moralistik. Dilaksanakan dengan penyebarluasan ajaran-ajaran

agama dan moral, perundangan-undangan yaitu baik dan sarana-

sarana lain yang dapat menekan nafsu untuk membuat kejahatan.

b. Cara Abolisionistik. Yaitu berupa pemberantasan, menangulangi

kejahatan dengan sebab musabnya. Umumnya kita ketahui bahwa

tekanan ekonomi dan kemelarat merupakan salah satu sebab kejahatan.

Penanggulangan secara repsepsi merupakan segala tindakan

penanggulangan kejahatan yang dilakukan oleh aparatur-aparatur

hukum sesudah terjadinya kejahatan, berusaha menekan jumlah

kejahatan dan usaha memperbaiki pelaku kejahatan.

2. Teori Pemidanaan

Teori pemidanaan yang secara umum diterima di Indonesia ada 2 (dua)

yaitu :

1. Teori Absolut. Teori ini disebut juga teori pembalasan. Pandangan

dalam teori ini adalah bahwa syarat dan pembenaran dalam penjatuhan

pidana tercakup dalam kejahatan iu sendiri, terlepas dari fungsi praktis

yang diharapkan dari penjatuhan pidana tersebut. dalam ajaran ini,

pidana terlepas dari dampaknya di masa depan, karena telah dilakukan

suatu kejahatan, maka harus dijatuhkan hukuman. Dalam ajaran

absolut ini terdapat keyakinan yang mutlak atas pidana itu sendiri,

sekalipun penjatuhan pidana sebenarnya tidak berguna atau bahkan

memiliki dampak yang lebih buruk terhadap pelaku kejahatan. Perlu

diketahui bahwa maksud dan tujuan ajaran absolut ini selain sebagai

14

pembalasan, menurut pandangan Stammler, adalah juga untuk

menunjukkan kepada masyarakat bahwa hukum telah ditegakkan.

Tindakan pembalasan di dalam penjatuhan pidana mempunyai dua

arah yaitu :5

a. Ditujukan pada penjahatnya (sudut subjektif dari pembalasan)

b. Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam di

kalangan masyarakat (sudut objektif dari pembalasan)

Pembentukan teori absolut ini didasarkan atas pemikiran atau

teori-teori yang dibangun oleh ahli terdahulu. Metode mencari dasar

pembenaran dari pidana dengan melihat kepada kehendak dari

individu, tidak terdapat di dalam teori para penulis Jerman, yang di

dalam ilmu pengetahuan hukum pidana dikenal sebagai absolute

theorieen atau teori absolut. Teori dari para penulis Jerman disebut

teori absolut, karena mereka secara absolut bermaksud untuk

melepaskan pengertian pidana itu dari tujuan pidana itu sendiri. teori-

teori absolut itu antara lain: teori dari Kant, teori Hegel, teori Herbart,

teori Stahl, teori von Bar, teori Kohler dan teori Polak yang dikenal

sebagai object iveringstheorie.6

Jika dikaitkan dengan permasalahan, teori ini berhubungan

dengan penanggulangan tindak pidana korupsi.

5 Muhammad Zainal Abidin dan I Wayan Edi Kurniawan, 2013, Catatan Mahasiswa

Pidana, Indi Publishing, Depok, h. 35-36 6 P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, 2010, Hukum Penitensier Indonesia, Cetakan

pertama, Edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, h. 13

15

2. Teori Relatif. Teori relatif atau teori tujuan berpangkal pada dasar

bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum)

dalam masyarakat. Pidana adalah alat untuk mencegah timbulnya

suatu kejahatan dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap

terpelihara. Dalam teori relatif penjatuhan pidana tergantung dari efek

yang diharapkan dari penjatuhan pidana itu sendiri, yakni agar

seseorang tidak mengulangi perbuatannya. Hukum pidana difungsikan

sebagai ancaman sosial dan psikis. Hal tersebut menjadi satu alasan

mengapa hukum pidana kuno mengembangkan sanksi pidana yang

begitu kejam dan pelaksanaannya harus dilakukan di muka umum,

yang tidak lain bertujuan utnuk memberikan ancaman kepada

masyarakat luas.7 Sementara itu, sifat pencegahannya dari teori ini ada

dua macam yaitu:8

a. Teori pencegahan umum atau Algemene Preventie Theorieen,

yang ingin dicapai dari tujuan pidana, yaitu semata-mata dengan

membuat jera setiap orang agar tidak melakukan kejahatan.9

Penjahat yang dijatuhi pidana itu dijadikan contoh oleh

masyarakat agar masyarakat tidak meniru dan melakukan

perbuatan yang serupa dengan penjahat itu. Feuerbach

memperkenalkan teori pencegahan umum yang disebut dengan

paksaan psikologis. Dalam teorinya menghendaki penjeraan

bukan melalui pidana, melainkan melalui ancaman pidana dalam

7 Muhammad Zainal Abidin dan I Wayan Edi Kurniawan, op.cit, h. 36

8 Muhammad Zainal Abidin dan I Wayan Edi Kurniawan, op.cit, h. 37-38

9 P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, op.cit, h. 15

16

perundang-undangan. Tetapi apabila ancaman tidak berhasil

mencegah suatu kejahatan, maka pidana harus dijatuhkan, karena

apabila pidana tidak dijatuhkan akan mengakibatkan hilangnya

kekuatan dari ancaman tersebut. Ajaran yang dikembangkan

Feuerbach tidak mengenal pembatasan ancaman pidana, hanya

syarat bahwa ancaman pidana tersebut harus sudah dietapkan

terlebih dahulu.

b. Teori pencegahan khusus atau Bijzondere Preventie Theorieen,

yang ingin dicapai dari tujuan pidana yakni membuat jera,

memperbaiki dan membuat penjahat itu sendiri menjadi tidak

mampu untuk melakukan kejahatan lagi.10

Van Hamel membuat suatu gambaran tentang pemidanaan yang

bersifat pencegahan khusus, yaitu :

- Pidana selalu dilakukan untuk pencegahan khusus, yakni

untuk menakut-nakuti orang-orang yang cukup dapat dicegah

dengan cara penjatuhan pidana agar orang tidak melakukan

niat jahatnya.

- Akan tetapi, jika tidak dapat lagi ditakut-takuti dengan cara

menjatuhkan pidana, penjatuhan pidana harus bersifat

memperbaiki dirinya.

10

P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, loc.cit

17

- Jika penjahat itu tidak dapat diperbaiki, penjatuhan pidana

harus bersifat membinasakan atau membuat mereka tidak

berdaya.

- Tujuan satu-satunya dari pidana adalah mempertahankan tata

tertib hukum di dalam masyarakat.

Kaitan teori ini dengan permasalahan adalah dalam hal

penanggulangan tindak pidana korupsi dengan menitikberatkan

pada pencegahan.

3. Teori Pengelolaan Keuangan

Teori pengelolaan keuangan negara terkait dengan fungsi

pemerintah dalam mengelola negara. Menurut pandangan dan teori ilmu

pemerintahan yang dikembangkan oleh Longeman, seorang pakar ilmu

pemerintahan dari Belanda menyatakan bahwa pemerintah yang mengatur

distrik atau bagian merupakan berstuurdienst. Dienst merupakan bahasa

Belanda yang saat ini dinaturalisasi menjadi bahasa Indonesia menjadi

dinas yang dikepalai oleh seorang kepala pemerintahan yang disebut

dengan hofd van gewestelijk bestuur. Teori ini telah sejalan dengan

kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat, bahwa pemerintah

daerah (Pemda) merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat.

Dari ketiga fungsi utama pemerintah dalam mengelola negara, hanya

fungsi alokasi yang diberikan kepada Pemda. Secara formal pembagian

urusan ini dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007

tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,

18

Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/

Kota. Pasal 2 Ayat (2) PP No. 38 Tahun 2007 telah jelas memberikan

fungsi distribusi dan stabilisasi kepada pemerintah pusat yang terdiri dari

politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal

nasional serta agama. Sedangkan dalam ayat (4) merinci urusan yang

boleh dijalankan oleh Pemda yang salah satunya berisi urusan admnistrasi

keuangan daerah.11

Pengelolaan keuangan didasarkan pada hubungan

antara pemerintah pusat dan daerah dengan urusan pemerintahan

konkuren,

UU Pemda Tahun 2014 Pasal 9 Ayat (3)

“Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada Ayat

(1) adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan

Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/ kota”

Urusan pemerintahan konkuren adalah suatu bentuk penerapan asas

otonomi. Dalam penerapan asas otonomi tersebut fungsi pemerintahan

yaitu alokasi diturunkan ke daerah, karena daerah yang lebih mengetahui

kebutuhan, kondisi dan situasi masyarakat setempat. Dalam rangka

penyelenggaraan otonomi daerah, penyerahan, pelimpahan dan penugasan

urusan pemerintahan kepada daerah secara nyata dan bertanggungjawab

harus diikuti dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber

daya nasional secara adil, termasuk perimbangan keuangan antara

pemerintah pusat dan daerah. Sebagai daerah otonom, penyelenggaraan

pemerintahan dan pelayanan tersebut dilakukan berdasarkan prinsip-

prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Pendanaan

11

http://m.kompasiana.com/bahrullah/fungsi-pengawasan-pengelolaan-keuangan-negara-

dan-daerah_ , Akses: 25 Oktober 2015, pukul: 14.23 Wita

19

penyelenggaraan pemerintahan agar terlaksana secara efisien dan efektif

serta untuk mencegah tumpang tindih ataupun tindak tersedianya

pendanaan pada suatu bidang pemerintahan, maka diatur pendanaan

penyelenggaraan pemerintahan. Penyelenggaraan pemerintahan yang

menjadi yang menjadi kewenangan daerah dibiayai dari APBD, sedangkan

penyelenggaraan kewenangan pemerintahan yang menjadi tanggungjawab

pemerintah dibiayai dari APBN, baik kewenangan pusat yang di

dekonsentrasikan kepada Gubernur atau ditugaskan kepada pemerintah

daerah dan/atau Desa atau sebutan lainnya dalam rangka Tugas

Pembantuan.

Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun

2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara pemerintah Pusat dan

Pemerintahan Daerah :

“Perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan

Daerah merupakan bagian pengaturan yang tidak terpisahkan dari sistem

keuangan Negara, dan dimaksudkan untuk mengatur sistem pendanaan

atas kewenangan pemerintahan yang diserahkan, dilimpahkan, dan

ditugasbantukan kepada Daerah”.

Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan

daerah, didukung dana dari dan atas beban anggaran pendapatan dan

belanja daerah, sedangkan yang menjadi kewenangan pemerintah,

didukung dana dari dan atas beban anggaran pendapatan dan belanja

negara. Di bidang penyelenggaraan keuangan daerah, kepala daerah adalah

pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah. Dalam melaksanakan

kekuasaan tersebut, kepala daerah melimpahkan sebagian atau seluruh

20

kekuasaannya berupa perencanaan, pelaksanaanm penatausahaan,

pelaporan dan pertanggungjawaban, serta pengawasan keuangan kepada

para pejabat perangkat daerah. Pelimpahan sebagian atau seluruh

kekuasaan ini, didasarkan atas prinsip pemisahan kewenagan antara yang

memerintahkan, menguji dan yang menerima/ mengeluarkan uang.12

4. Teori Pengawasan

Terselenggaranya pengawasan dalam sebuah institusi yaitu untuk

menilai kinerja suatu institusi dan memperbaiki kinerja sebuah institusi.

Oleh karena itu dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu

adanya sistem pengawasan. Dengan demikian pengawasan merupakan

instrumen pengendalian yang melekat pada setiap tahapan operasional

penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Lyndal F. Urwik berpendapat, bahwa pengawasan adalah upaya

agar sesuatu dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan

dan instruksi yang dikeluarkan. George R Terry berpendapat, bahwa

pengawasan adalah proses penentuan apa yang harus dicapai yaitu standar,

apa yang sedang dilakukan, yaitu menilai pelaksanaan dan bila perlu

melakukan perbaikan-perbaikan sehingga pelaksanaan sesuai dengan

rencana yaitu selaras dengan standar.13

Kaitan teori pengawasan dengan permasalahan adalah dalam

melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dalam

konteks dana desa diupayakan adanya pengawasan terhadap aparatur-

12

Siswanto Sunarno, 2009, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika,

Jakarta, h. 77 13

http://www.negarahukum.com , Akses: 22 Oktober 2015, pukul: 13.45 Wita

21

aparatur pemerintahan terkait jalannya dana desa tersebut agar sesuai

dengan peraturan perundang-undangan.

Pengawasan dilakukan untuk menjaga agar kegiatan pengumpulan

penerimaan dan pembelanjaan pengeluaran negara sesuai dengan anggaran

yang telah ditetapkan, untuk menjaga agar pelaksanaan APBN benar-benar

dapat dipertanggungjawabkan.

5. Teori Kemanfaatan

Teori kemanfaatan erat kaitannya dengan tujuan hukum yang

ketiga yaitu kemanfaatan, bagaimana hukum dimasyarakat. Secara

etimologi, kata "kemanfaatan" berasal dari kata dasar "manfaat", yang

menurut Kamus Bahasa Indonesia, berarti faedah atau guna.14

Hukum

merupakan urat nadi dalam kehidupan suatu bangsa untuk mencapai cita-

cita masyarakat yang adil dan makmur.

Bagi Hans Kelsen hukum itu sendiri adalah suatu sollenskategorie

(kategori keharusan) bukannya seinkategorie (kategori faktual). Yang

maksudnya adalah hukum itu dikonstruksikan sebagai suatu keharusan

yang mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk rasional. Dalam hal

ini yang dipersoalkan oleh hukum bukanlah “bagaimana hukum itu

seharusnya” (what the law ought to be) melainkan “apa hukumnya” (what

is the law). Sebagian orang berpendapat bahwa kemanfaatan hukum

(zweckmasiggkeit) sangat berkorelasi dengan tujuan pemidanaan terutama

sebagai prevensi khusus agar terdakwa tidak mengulangi kembali

14

Kamus Bahasa Indonesia, http://m.artikata.com/arti-339692-manfaat.html , Akses: 22

Oktober 2015, pukul: 13.20 Wita

22

melakukan perbuatan melawan hukum, dan prevensi umum setiap orang

berhati-hati untuk tidak melanggar hukum karena akan dikenakan

sanksinya. Oleh karena itu putusan hakim harus memberi manfaat bagi

dunia peradilan, masyarakat umum dan perkembangan ilmu pengetahuan.

Teori kemanfaatan tidak lepas dari aliran utilitarianisme, menurut

aliran ini, tujuan hukum adalah memberikan kemanfaatan dan kebahagian

sebanyak-banyaknya kepada warga masyarakat yang didasari oleh falsafah

sosial yang mengungkapkan bahwa setiap warga negara mendambakan

kebahagiaan dan hukum merupakan salah satu alatnya.15

Ajaran Bentham dikenal sebagai Utilitarianisme individual, yang

menyatakan bahwa baik buruknya suatu perbuatan akan diukur apakah

perbuatan itu mendatangkan kebahagiaan atau tidak. Bentham mencoba

menerapkannya di bidang hukum yaitu perundang-undangan dimana baik

buruknya ditentukan pula oleh ukuran tersebut. sehingga undang-undang

yang banyak memberikan kebahagiaan pada bagian terbesar masyarakat

akan dinilai sebagai undang-undang yang baik. Bentham berpendapat

bahwa keberadaan negara dan hukum semata-mata sebagai alat untuk

mencapai manfaat yang hakiki yaitu kebahagiaaan mayoritas rakyat.16

Teori ini berkaitan dengan permasalahan yaitu, dalam hal

pengelolaan dana desa, dana desa tersebut harus dimanfaat dengan sebaik-

baiknya untuk kesejahteraan masyarakat desa. Sumber hukum yang

15

Hyronimus Rhiti, 2011, Filsafat Hukum; Edisi Lengkap (Dari Klasik Sampai

Postmodernisme), Cetakan pertama, Universitas Atma jaya Yogyakarta, Yogyakarta, h. 159 16

Lilik Rasyidi dan Ira Thania Rasyidi, 2004, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum,

PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, h. 64

23

merupakan sumber dari turunnya dana desa tersebut diupayakan agar

bermanfaat dan dapat dijadikan pedoman, begitupun dengan aturan lainnya

yang berkaitan dengan dana desa seperti aturan tentang pengelolaan

keuangan dana desanya, diupayakan bermanfaat sebagai pedoman dalam

pengelolaan dana desa di masyarakat, agar tidak terjadi penyelewengan

dana desa, maka masyarakat pun merasakan manfaat dana desa tersebut.

1.8 Metode Penelitian

1.8.1 Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah

penelitian hukum normatif yang didukung dengan fakta empiris. Jenis

normatif ini dipilih karena dalam mengkaji adanya celah dilakukannya

tindak pidana korupsi adalah dimulai dari mengkaji rumusan pasal

perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 23 Tahun 2014

tentang Pemda, dan UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa. Rumusan norma

yang dikaji terfokus pada dialokasikannya dana desa dalam APBN dengan

jumlah yang besar, kemudian dari hal tersebut dihubungkan dengan teori-

teori pencegahan, pemidanaan, pengelolaan keuangan serta pengawasan

sebagai upaya pencegahan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi

dan dilakukan pengkajian juga terhadap Peraturan Pemerintah, Peraturan

Menteri dan Peraturan Bupati yang berkaitan dengan pengelolaan

keuangan dana desa.

24

1.8.2 Jenis pendekatan

a. Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach).

Dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang

bersangkut paut dengan permasalahan hukum yang sedang diteliti.

Kaitannya dengan penelitian ini, permasalahan hukumnya berpijak dari

salah satu rumusan pasal di dalam UU Desa.

b. Pendekatan fakta (The fact Approach).

Kaitannya dengan penelitian ini, dilakukan dengan melihat di

Indonesia maraknya tindak pidana korupsi. Berlakunya UU Desa

tersebut, rupanya menimbulkan kekhawatiran akan munculnya kasus

korupsi baru di kemudian hari, dari sana timbullah reaksi

penanggulangan korupsi dalam konteks dana desa setelah

diberlakukannya UU Desa ini.

c. Pendekatan historis ( historical approach ).

Dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan

perkembangan pengaturan mengenai isu hukum yang dihadapi.17

1.8.3 Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum dalam penelitian ini diperoleh dari 2 (dua)

sumber bahan hukum yaitu : 1) sumber bahan hukum primer; dan 2)

sumber bahan hukum sekunder. Sumber bahan hukum primer diperoleh

dari sumber yang mengikat (authoritative source), dalam bentuk

perundang-undangan yang dalam hal ini terdiri dari :

17

Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Cetakan Kesebelas, Kencana,

Jakarta, h. 94-95

25

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi

3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

4. Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

5. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah

6. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa Yang

Bersumber Dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara (APBN)

7. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa Yang

Bersumber Dari APBN

8. Peraturan Menteri Nomor 113 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan

keuangan Desa

9. Peraturan Bupati Badung Nomor 31 tahun 2015 Tentang Tata Cara

Pengalokasian Alokasi Dana Desa Kepada Desa

Sumber bahan hukum sekunder diperoleh dari Buku-buku hukum

(textbook), jurnal-jurnal hukum, artikel-artikel yang berkaitan erat dengan

permasalahan yang diteliti serta situs-situs terpercaya di internet.

1.8.4 Data Penunjang

Data penunjang dalam penelitian ini berupa hasil wawancara

mendalam dari tokoh kunci (key person). Hasil wawancaranya terlampir.

26

1.8.5 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Bahan-bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ditelusuri

menggunakan metode membaca literatur dan menulis. Teknik

membacanya dengan cara, pertama cari literatur yang relevan dengan

permasalahan, buka daftar isi lalu cari BAB/ pembahasan yang terkait

dengan permasalahan, baca cepat, setelah ditemukan, catat di kertas atau

buku tulis mengenai penulis, tahun terbit, cetakan, judul, penerbit literatur

serta halaman pembahasan yang ingin dituangkan dalam tulisan (membuat

kartu data : kartu kutipan, ringkasan, ulasan). Sambil membaca, dilakukan

penandaan untuk memberi tanda pada bagian yang dianggap penting.

1.8.6 Teknik Analisis Bahan Hukum

Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul

digunakan berbagai teknik seperti: teknik deskripif-analitis yaitu penelitian

yang bertujuan untuk memberikan gambaran secara rinci, sistematis dan

menyeluruh mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah

pemecahan suatu tindak pidana, dengan menggambarkan peraturan

perundang-undangan yang dipermasalahkan dikaitkan dengan teori-teori

hukum yang relevan.

Teknik sistematisasi yaitu teknik berupa upaya mencari kaitan

rumusan suatu konsep hukum atau propossi hukumantara peraturan

perundang-undangan yang sederajat maupun antara yang tidak sederajat

Teknik evaluasi-argumentasi yaitu teknik berupa penilaian tepat

atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak

27

oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan

norma, yang tertera dalam dalam hukum primer atau sekunder. Untuk

mengemukakan suatu evaluasi maka diperlukan suatu argumentasi yang

didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat nalar.