BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id I.pdfdengan cara tukar-menukar barang yang...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id I.pdfdengan cara tukar-menukar barang yang...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pasar bermula dari keinginan sejumlah orang untuk memenuhi
kebutuhannya. Pada mulanya transaksi dilakukan dengan sistem barter, yakni
dengan cara tukar-menukar barang yang dimiliki dengan barang yang
dikehendaki. Misalnya, seorang petani menukar hasil pertaniannya dengan
pakaian. Seorang nelayan menukar ikan dengan barang kelontong yang
dibutuhkan. Terjadi barter hasil produksi antara petani, nelayan, peternak,
pengerajin yang dilakukan di sembarang tempat. Lama-kelamaan terbentuk
kesepakatan untuk melakukan barter itu di suatu tempat. Jadilah lokasi itu
semacam tempat barter hasil produksi masing-masing. Selanjutnya, bersamaan
dengan perkembangan waktu, transaksi dilakukan dengan mata uang sebagai alat
tukar dan penilai suatu barang sehingga masyarakat yang tidak memiliki barang
tetapi memiliki uang dapat juga memenuhi kebutuhannya. Terciptalah pasar
tradisional sebagaimana yang dikenal hingga sekarang.
Keberadaan pasar tradisional ini merupakan bagian dari sistem ekonomi
kerakyatan, yaitu sistem yang berbasis pada kekuatan rakyat (Rintuh dan Miar,
2005: 5). Ekonomi rakyat kecil inilah yang menjadi tumpuan hidup sebagian besar
rakyat Indonesia. Ekonomi kerakyatan adalah sebuah sistem ekonomi yang
berpihak kepada rakyat (kecil). Oleh karena itu, menjadi kewajiban pemerintah
2
untuk melindungi dan memberdayakan rakyatnya terutama mereka yang bergerak
di sektor ekonomi mikro/kecil seperti para pedagang di pasar-pasar tradisional.
Mereka yang bekerja di pasar tradisional pada umumnya adalah yang
memiliki modal kecil, jauh berbeda dengan para peritel pasar modern. Pasar
tradisional terdiri dari kumpulan para pedagang yang rata-rata berasal dari
ekonomi kelas bawah dalam struktur ekonomi dan pendapatan. Adalah penting
untuk meningkatkan komitmen pemerintah untuk meningkatkan ekonomi
kerakyatan atau ekonomi rakyat melalui penguatan pasar tradisional. Terlebih-
lebih, jika dilihat dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), salah satu sumbernya
berasal dari retribusi daerah. Salah satu komponen retribusi daerah adalah
retribusi pasar. Dengan kata lain, terhadap pembangunan di daerah, pasar
tradisional juga berkontribusi sebagai sumber pendapatan melalui retribusi pasar.
Di samping berkontribusi dalam retribusi pasar, retribusi parkir pun bisa dipungut
sebagai dampak ikutan yang positif dari keberadaan pasar tradisional ini. Pada
umumnya setiap pasar tradisional terdapat lokasi parkir. Para pembeli yang
datang dengan kendaraan dan memarkir kendaraan mereka di tempat itu,
dikenakan retribusi parkir. Jadi, di samping dari retribusi pasar, dari retribusi
parkir pun pemerintah daerah memperoleh pendapatan. Dilihat dari sisi
Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), kontribusi pasar tradisional juga
jelas masuk pada sektor perdagangan sebagai salah satu dari 9 lapangan usaha
yang dijadikan parameter. Tidak bisa dipungkiri, laju pertumbuhan PDRB dan
PAD di daerah tentu juga ditopang oleh keberadaan pasar tradisional ini. Dengan
3
alasan-alasan seperti di atas, maka pasar tradisional layak dipertahankan bahkan
diperkuat eksistensinya.
Jika diperhatikan lebih jauh, terdapat beberapa spesifikasi pasar tradisional
sehingga layak dipertahankan keberadaannya. Spesifikasi ini membedakan pasar
tradisional dengan pasar modern, sekaligus menjadi keunggulan/keistimewaan
yang layak dijaga dan dilestarikan pada masa-masa yang akan datang. Spesifikasi
pasar tradisional kalau didekati dengan analisis SWOT (Strength, Weakness,
Opportunity, dan Threat) di antaranya meliputi, pertama, dari sudut kelengkapan
penyediaan barang. Pasar tradisional menyediakan hampir semua jenis barang
yang dibutuhkan pembeli untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Orang bisa
membeli berbagai macam kebutuhan hidup di pasar tradisional, misalnya bahan
makanan dan minuman, sayur-mayur, daging, ikan, juga penganan, kue, dan
rokok. Di samping itu, tersedia pula barang-barang dagangan seperti perlengkapan
dapur, tekstil, produk elektronik, emas, dan lain-lain. Jadi, pada pasar tradisional,
hampir seluruh kebutuhan sehari-hari masyarakat di lingkungan tersebut dapat
dipenuhi (Kementerian Perdagangan RI, 2010: 27). Ini merupakan kekuatan atau
keunggulan (strength) pasar tradisional.
Kedua, untuk sejumlah produk, harga jual di pasar tradisional relatif lebih
rendah dibandingkan dengan harga di pasar modern. Produk yang harganya lebih
rendah daripada di pasar modern pada umumnya karena diperoleh langsung dari
produsen, bukan dari grosir atau pasar modern. Pendeknya rantai distribusi itu
memungkinkan harga tidak terlalu jauh dari harga jual di tingkat produsen.
Barang dagangan harganya relatif murah itu di antaranya yang berasal langsung
4
dari petani produsen, seperti sayur-mayur, bunga, buah-buahan, dan aneka bahan
bumbu masak. Dengan harga jual yang lebih rendah di pasar tradisional dan bisa
ditawar, maka daya beli masyarakat ekonomi kelas bawah akan kian baik
(Malano, 2011: 61). Hal ini juga merupakan kekuatan (strength) pasar tradisional.
Ketiga, berbagai kalangan tingkat pendidikan bisa masuk ke pasar
tradisional. Kendati orang hanya berpendidikan SD, bahkan tidak berpendidikan
sekalipun, bisa bekerja di pasar tradisional. Tidak diperlukan atau setidak-
tidaknya belum diperlukan pendidikan dan/atau keterampilan tinggi untuk bisa
berdagang di pasar tradisional. Jadi, pasar tradisional menjangkau berbagai
kalangan, termasuk mereka yang berpendidikan rendah atau yang tanpa
pendidikan. Hal ini sejalan dengan kondisi dunia pendidikan yang masih harus
berkutat untuk menuntaskan pendidikan dasar 9 tahun atau 12 tahun. Keberadaan
pasar tradisional yang tidak memerlukan ilmu dan skill yang tinggi
memungkinkan bagi tertampungnya sumber daya manusia yang ada seperti saat
ini, walaupun ke depan disadari bahwa berdagang di pasar pun memerlukan
pengetahuan dan keterampilan yang memadai untuk pengelolaan bisnis dengan
lebih baik. Jadi, kekuatan (strength) karena pasar tradisional bisa menampung
semua sumberdaya manusia yang tersedia karena tidak memerlukan kualitas dan
manajemen sumber daya manusia yang kompleks (Kementerian Perdagangan RI,
2010: 28).
Keempat, para pemilik modal kecil bisa tertampung di pasar tradisional.
Seorang pedagang tidak harus memiliki uang jutaan atau puluhan juta untuk bisa
berdagang di pasar tradisional. Pedagang bakulan bisa berdagang hanya dengan
5
modal ratusan ribu sebagai modal awal untuk membeli bahan dagangannya.
Dengan modal kecil saja, para pedagang sudah bisa berjualan di pasar tradisional.
Dengan kata lain, pasar tradisional mampu menampung masyarakat ekonomi
kelas bawah atau miskin. Dengan berdagang di pasar tradisional minimal mereka
bisa memenuhi kebutuhan minimal keluarganya atau disebut juga kebutuhan
subsisten. Karena membutuhkan modal yang kecil itulah maka banyak masyarakat
kelas bawah yang terlibat dalam usaha dagang di pasar tradisional. Hal ini berarti
pasar tradisional mampu menampung banyak kalangan masyarakat dan
menghidupi mereka. Dengan demikian, dilihat dari sisi kemampuan ekonomi,
kehadiran pedagang kecil di pasar tradisional merupakan suatu keunggulan
(strength) sekaligus memberikan peluang (opportunity) yang terbuka kepada
mereka yang bermodal kecil untuk masuk ke dalamnya (Malano, 2011: 174).
Pasar tradisional juga menghadirkan tantangan (threat) bagi usaha meningkatkan
kemampuan ekonomi pedagang kecil agar menjadi lebih baik.
Kelima, pasar tradisional dapat memenuhi kebutuhan masyarakat untuk
bersosialisasi/berkomunikasi sebagai makhluk sosial (zoon politicon). Di pasar
tradisional, antara pedagang dan pembeli bisa melakukan komunikasi dalam
bentuk tawar-menawar terhadap suatu barang. Tidak ada harga mati, tetapi yang
ada harga yang masih bisa ditawar. Harga mati/pasti itu hanya ada di pasar
modern yang tercantum pada pembungkus barang dagangan. Tawar-menawar
yang berlangsung di pasar tradisional itu menjadi budaya dan gaya hidup
keseharian masyarakat pembeli. Manusia pada umumnya memerlukan
komunikasi, bersosialiasi, sebagai kebutuhan jiwa makhluk sosial. Kedekatan
6
emosional antara pedagang dengan pembeli tercipta melalui komunikasi yang
intensif pada setiap pertemuan. Komunikasi tidak hanya menyangkut tawar-
menawar harga, bahkan bisa lebih luas lagi, menjadi hubungan kekeluargaan yang
saling membantu (wikipedia.org, diakses 1 Juli 2012). Hal ini merupakan salah
satu wujud kekuatan (strength) pasar tradisional karena sifatnya yang dapat
memperkuat hubungan sosial. Namun di sisi lain, proses tawar-menawar yang
memakan waktu dan energi juga merupakan kelemahan (weakness) dalam bisnis
karena terjadi percampuran antara pertemanan dan bisnis serta transaksi yang
tidak obyektif (Leksono, 2009).
Keenam, sistem pembayaran di pasar tradisional masih dimungkinkan
dilakukan dengan berhutang. Kalau orang berbelanja di pasar modern,
pembayarannya pasti secara kontan (cash). Tetapi, kalau orang berbelanja di
pasar tradisional, masih bisa dilakukan dengan berhutang sebagian dari
pembelian. Masih ada kesempatan untuk pembeli yang membawa uang terbatas
untuk berhutang. Masih ada kesempatan bagi pembeli yang tidak punya uang
untuk menunda pembayaran untuk sementara waktu. Di sini tampak unsur
kegotongroyongan dan kekeluargaan sebagai ciri hidup bermasyarakat dalam
sebuah komunitas sangat berperan. Seorang pedagang di pasar tradisional dapat
menolong pihak lain (pembeli) saat membutuhkan suatu barang, terutama bahan-
bahan keperluan sehari-hari. Sedangkan, di pasar modern segala sesuatunya
dibayar kontan. Tidak ada toleransi di pasar modern. Dilihat dari sudut ekonomi,
apa yang terjadi di pasar tradisional, terutama dalam hal tidak harus bayar tunai
untuk barang yang dibeli merupakan suatu bentuk kelemahan (weakness),
7
sekaligus kekuatan (strength). Disebut kelemahan, karena perputaran modal usaha
yang sudah kecil menjadi terhambat dan kemungkinan tidak dibayar bisa saja
terjadi. Disebut kekuatan, karena dalam sebuah masyarakat yang hubungan
kekerabatannya kuat, maka upaya saling membantu ini merupakan hal yang
dipandang baik.
Ketujuh, pasar tradisional khususnya di Bali, disatukan oleh spirit yang
sama, yaitu spirit yang lahir dari kehidupan agama, adat, dan budaya yang kuat.
Pada setiap pasar tradisional di Bali yang dikenal dengan sebutan peken,
senantiasa ada Pura Melanting, sebuah tempat yang disucikan oleh masyarakat
Hindu, khususnya oleh para pedagang setempat. Maknanya, dalam masyarakat
pedagang yang beragama Hindu, selalu dikaitkan kehidupan duniawi dengan
kehidupan rohani. Aspek-aspek ketuhanan disembah dengan penuh sujud,
sementara aktivitas bisnis mereka jalankan. Terdapat keyakinan yang kuat pada
masyarakat pedagang, dan pada masyarakat Hindu pada umumnya, bahwa
keberhasilan yang diraih itu tidak terlepas dari karunia Tuhan. Manusia berusaha,
Tuhan yang menentukan hasilnya. Oleh karena itu, dalam berdagang atau disebut
dengan istilah nyeraki, para pedagang tak pernah lepas dari keyakinan bahwa
untung-rugi berjualan di samping ditentukan oleh usaha sendiri, juga ditentukan
oleh Ida Sang Hyang Widhi. Sebagai wujud bakti kepada Tuhan, oleh para
pedagang di pasar tradisional di Bali, dibuatlah tempat pemujaan yang disebut
dengan Pura Melanting. Jadi, tidak ada aktivitas ekonomi tanpa disertai dengan
ritual, sejak memulai usaha atau biasa disebut ngawit lan padewasan sampai
tahapan operasional. Bahkan, menghentikan usaha pun dalam tradisi masyarakat
8
Hindu di Bali tidak begitu saja dilakukan, tetapi melalui usaha yang disebut
mrelina. Masyarakat Bali sangat meyakini dan percaya dengan hukum
karmaphala (Astawa, 2009: 10).
Spesifikasi pasar tradisional di Bali sebagaimana dijelaskan di atas
memberikan gambaran betapa pasar tradisional ini sudah menjadi bagian dalam
kehidupan masyarakat Bali, bahkan sudah menjadi bagian dari budaya. Kini pasar
tradisional harus berhadap-hadapan dengan pasar modern yang dalam beberapa
hal memiliki kelebihan. Para pedagang di pasar tradisional harus bersaing dengan
para pemodal besar dengan pasar modernnya, seperti hypermarket, supermarket,
dan minimarket atau sebutan lainnya yang sejenis.
Berbeda dengan pasar tradisional, pasar modern yang hadir belakangan,
merupakan jenis pasar di mana penjual dan pembeli tidak bertransaksi secara
langsung dengan pola tawar-menawar, melainkan pembeli melihat label harga
yang tercantum pada barang (barcode) dan pelayanannya dilakukan secara
mandiri (swalayan) atau dilayani oleh pramuniaga. Barang-barang yang dijual,
selain bahan makanan seperti buah, sayuran, daging, sebagian besar barang
lainnya yang dijual adalah barang yang dapat bertahan lama.
Perkembangan pasar modern ini secara umum menguntungkan konsumen
karena semakin banyak tersedia pilihan untuk berbelanja. Persaingan yang
semakin tajam antarpasar modern dengan pasar tradisional juga akan
menguntungkan konsumen karena mereka akan berusaha menarik konsumen
dengan memberikan pelayanan yang lebih baik. Akan tetapi, perkembangan
pasar modern seperti pusat-pusat perbelanjaan modern juga dikhawatirkan
9
memberikan dampak terhadap keberadaan pasar tradisional. Dengan kata lain,
pasar modern merupakan pesaing dan akan mengancam keberadaan pasar
tradisional. Jika dulu pasar modern lebih banyak ditujukan untuk penduduk
berpendapatan menengah ke atas dan terbatas jumlahnya, kini mereka masuk juga
ke kelas menengah ke bawah dan jumlahnya pun semakin banyak.
Kelompok menengah ke bawah inilah yang kini disasar oleh pasar modern.
Kelompok ini pada umumnya memiliki pendidikan lebih baik dan lebih terbuka
dengan alternatif belanja dibanding generasi tuanya. Kelompok ini menunjukkan
kecenderungan lebih menyukai berbelanja di pasar modern daripada di pasar
tradisional. Kelompok ini diduga mempunyai potensi pertumbuhan yang kuat.
Department store lokal seperti Matahari dan Ramayana merupakan pengecer
yang sangat aktif menggarap kelompok ini. Di masa datang, generasi muda sangat
potensial menjadi penyebab pergeseran kegiatan belanja dari pasar tradisional ke
pasar modern (Napitupulu, 2010).
Dalam hal regulasi, sebetulnya telah ada Peraturan Presiden RI No. 112
tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat
Perbelanjaan dan Toko Modern. Ada pula peraturan Menteri Perdagangan RI No.
53/M.DAG/Per/12/2008, yang mengatur hal yang sama. Akan tetapi, peraturan-
peraturan itu tidak dilaksanakan sepenuhnya. Pada kenyataan, pasar modern yang
seharusnya hanya beroperasi di pinggir jalan-jalan utama, kini sudah masuk jauh
ke pinggir-pinggir jalan desa.
Ekonom Econit Advisory, Hendri Saparini, mengatakan bahwa di
kampung-kampung, gerai waralaba ritel merajalela sehingga dalam jangka
10
panjang ini mematikan perekonomian rakyat. Dampak sosialnya juga sangat
besar. Saparini meminta agar pemerintah lebih tegas dalam penataan pasar
modern. Hal ini juga termasuk gerai ritel modern berskala raksasa yang merajai di
banyak kota, seperti Carrefour, Giant, dan Hypermarket. (kabarbisnis.com, 12
Mei 2012).
Wakil Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Didik Akhmadi,
menilai Permendag No. 53 tahun 2008 itu mandul dalam pelaksanaannya.
Menurutnya, sebenarnya peraturan pemerintah yang menangani masalah regulasi
pasar modern dan tradisional ini sudah ada. Namun realisasinya masih belum
jelas, sehingga mengancam beberapa pasar tradisional. Akibatnya, banyak pasar
tradisional yang mati atau mengalami penurunan omzet yang cukup besar. Dari
pantauan Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), selama tahun
2008, omzet pasar tradisional anjlok sekitar 60 persen. Sementara akupansi hunian
pedagang juga mengalami penurunan sekitar 30-40 persen. Bahkan, ada beberapa
pasar yang sudah tidak bernyawa lagi (kabarbisnis.com, diakses 12 Mei 2012).
Pasar tradisional yang sebelumnya hampir tanpa persaingan, kini harus
berhadapan dengan kompetitor yang memiliki keunggulan jauh lebih tinggi.
Pertanyaan lanjutannya, bagaimana pasar tradisional bersaing dengan pusat-pusat
perbelanjaan modern? Apakah pasar tradisional harus puas hanya dengan
memanfaatkan konsumen yang berpendapatan terendah dan bagaimana kalau
konsumen jenis ini pun nantinya lebih memilih pasar modern?
Kelemahan pasar tradisional yang selama ini kurang mendapatkan perhatian
adalah kekumuhan lokasi pasar. Pasar tradisional hingga kini masih belum lepas
11
dari kesan jorok, bau, dan becek, dengan sarana dan prasarana yang sangat
terbatas (Setiyanto, 2007), yang semua itu kian menyulitkannya bersaing dengan
pasar modern. Kondisi kumuh itu membuat orang malas berbelanja ke pasar
tradisional. Hal ini jelas cukup membahayakan eksistensi pasar tradisional.
Sementara, pasar modern memiliki keunggulan yang mengalahkan pasar
tradisional, yakni nyaman, bersih, serta lebih terjamin kualitas barangnya. Bagi
sebagian masyarakat, berbelanja ke pasar modern mungkin merasa lebih
bergengsi. Kebijakan pemerintah untuk merevitalisasi pasar tradisional masih
belum menunjukkan hasil yang optimal. Masih banyak pasar tradisional yang
belum tersentuh kebijakan tersebut. Lagi pula, kebijakan tersebut lebih terfokus
pada pembangunan gedung pasar saja, kurang memperhatikan berbagai aspek lain
yang bisa mendukung keberadaan pasar tradisional.
Kalau dilihat bangunan pasar tradisional yang pada umumnya sudah banyak
bagiannya yang lapuk, juga tanpa perawatan yang cukup. Berdasarkan data
survei, di 220 kabupaten/kota di Indonesia, tercatat sebanyak 4.000 pasar yang
usianya rata-rata di atas 25 tahun. Di samping sanitasinya yang kurang baik,
penerangannya juga kurang bagus (indonesiagoodnews.com, diakses 1 April
2012).
Hasil survei Nielsen yang menempatkan pasar tradisional masih menjadi
favorit konsumen dikritisi oleh Sekretaris Eksekutif DPP Asosiasi Pedagang Pasar
Seluruh Indonesia (APPSI), Mujiburohman. “Itu survei yang dibayar untuk
sekadar menghentikan anggapan bahwa ritel modern menggerus pasar
tradisional,” tegasnya, sebagaimana ditulis Irawan (kabarbisnis.com, diakses 12
12
Mei 2012). Berdasarkan hasil riset Nielsen sebagaimana disebutkan dalam situs
tersebut, pasar tradisional masih sangat mendominasi dalam penjualan produk
segar bagi konsumen di Asia dan Indonesia. Budget belanja produk segar bagi
konsumen Indonesia sekitar Rp.500.000,- per bulan. Berdasarkan riset tersebut,
sebanyak 62 persen konsumen di Jabodetabek berbelanja daging di pasar basah
(pasar tradisional), dan yang berbelanja di pasar modern hanya 11 persen.
Sebanyak 53 persen konsumen berbelanja ikan di pasar basah dan hanya 7 persen
di pasar modern. Di Bandung, 60 persen konsumen memilih berbelanja sayur,
daging, dan ikan di pasar tradisional.
Menurut Mujiburohman, masyarakat hanya memilih pasar tradisional
sebagai tempat berbelanja sayuran dan kebutuhan memasak lainnya. Sementara
untuk kebutuhan lain, mulai dari pakaian hingga alat-alat rumah tangga,
masyarakat akan lebih memilih gerai ritel modern. “Orang ke pasar tradisional
hanya membelanjakan Rp.50.000,- - Rp. 100.000,- untuk belanja ikan, daging,
atau sayur. Tetapi, ketika berbelanja pakaian, alat rumah tangga lainnya di pasar
modern, mereka berbelanja ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Ini yang harus
dijadikan patokan untuk mengkritisi riset Nielsen tersebut,” terangnya sambil
menambahkan bahwa itulah sebabnya omzet pedagang pasar tradisional kalah
jauh dengan gerai ritel modern. Ia menilai, posisi pedagang pasar tradisional
dibandingkan dengan pasar modern tidak seimbang sehingga persaingan pun
menjadi tidak sehat. Gerai ritel modern mempunyai akses produk yang rapi dan
satu jalur. Sehingga, harganya bisa lebih kompetitif. Sementara, hal tersebut
13
kurang dimiliki pedagang pasar tradisional (kabarbisnis.com, diakses 12 Mei
2012).
Sejalan dengan hasil riset Nielsen, Mari Elka Pangestu (2011), semasih
menjabat sebagai Menteri Perdagangan RI, pada kesempatan pencanangan Hari
Pasar Bersih Nasional di Pasar Bumi Serpong Damai Tangerang, 19 Juli 2008
mengatakan, bahwa komposisi pembelanjaan di pasar tardisional masih sebesar 60
persen dan sisanya pasar ritel modern. “Prospek pasar tradisional masih akan
bagus,” ujarnya. Dikatakan, hingga saat itu, jumlah pasar tradisional di Indonesia
mencapai 13.450 unit pasar yang mencakup 12,6 juta pedagang yang melayani
seluruh segmen masyarakat (ditjenpdn.kemendag.go.id, diakses 11 Juni 2012).
Menurut data Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), tiap
tahun pertumbuhan pasar modern mencapai 31,4 persen per tahun. Sementara,
pasar tradisional turun hingga 10 persen. Berdasarkan data dari Gabungan
Produsen Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), pertumbuhan
hypermarket tahun 2001-2005 mencapai 34 persen. Sementara itu, pasar modern
yang lebih kecil, seperti supermarket tumbuh 9 persen. Pertumbuhan ini terdorong
oleh perilaku masyarakat (rumah tangga) di Indonesia.
Perilaku konsumen rumah tangga di Indonesia menunjukkan bahwa bangsa
Indonesia merupakan masyarakat yang paling sering belanja. Kunjungan rumah
tangga ke berbagai pasar di Indonesia rata-rata mencapai 22 kali kunjungan per
bulan. Jumlah penduduk yang kini mencapai lebih dari 240 juta ditambah dengan
perilaku dan kebiasaan berbelanja ke pasar, membuat hypermarket dan
supermarket percaya diri untuk terus mengembangkan bisnisnya. Apalagi faktor
14
kenyamanan, keamanan, dan kelengkapan serta harga yang bersaing menjadi
promosi kuat bagi mereka (suara karya online.com, diakses 7 Mei 2012).
Selanjutnya disebutkan di dalam situs tersebut, bahwa bila dibandingkan
dengan jumlah pasar modern (hypermarket, supermarket, mall, dan lainnya),
jumlah pasar tradisional jauh lebih banyak. Disebutkan, dari total pasar yang ada,
jumlah pasar tradisional di Indonesia mencapai 73 persen (1,7 juta unit). Sisanya,
27 persen atau lebih dari 500.000 unit meliputi hypermarket, supermarket, serta
minimarket. Dari sisi komposisi jumlah, secara logika bisa dikatakan bahwa
penguasaan ritel di Indonesia masih dipegang oleh pasar tradisional. Namun orang
sulit percaya jika melihat betapa besarnya jumlah uang yang dikeluarkan rumah
tangga untuk mengunjungi pasar-pasar modern tersebut.
Berdasarkan uang belanja konsumen, sebanyak 58 persen pengeluaran
rumah tangga di Indonesia untuk makanan, minuman, dan tembakau (rokok).
Nilainya mencapai 122,5 milliar dolar AS per tahun. Namun, sebesar 80 persen
atau senilai 98 milliar dollar AS uang yang dibelanjakan untuk makanan,
minuman, rokok oleh konsumen rumah tangga tersebut beredar di pasar modern,
terutama hypermarket yang jumlahnya hanya mencapai 500.000 unit itu. rumah
tangga sebanyak 24,5 milliar dolar AS per tahun harus diperebutkan oleh 1,7 unit
pasar tradisional. Dengan data ini, jelas bahwa besaran uang yang dibelanjakan di
pasar modern dengan pasar tradisional sangat berbeda, yakni uang 98 milliar dolar
AS untuk 500.000 unit pasar modern dibanding uang 24,5 milliar dolar AS untuk
1,7 juta unit pasar tradisional. Melihat perbandingan tersebut, bisa dibayangkan
berapa besar lagi pangsa pasar ritel yang akan direnggut oleh pasar modern dari
15
pasar tradisional yang ada di daerah-daerah. “Bila melihat kecenderungan saat ini,
setiap pembukaan satu cabang pasar modern skala hypermarket, maka akan bisa
menyedot konsumen dari tiga pasar tradisional,” tulis Andrian Novery (suara
karya-online.com, diakses 7 Mei 2012).
Walaupun terdapat hasil riset Nielsen dan pernyataan optimis dari mantan
Menteri Perdagangan, masyarakat pelaku pasar tradisional tetap skeptis dengan
data dan kenyataan di lapangan, terutama yang berkaitan dengan nasib pasar
tradisional di tengah-tengah intervensi kompetitif yang dilakukan oleh pengusaha
besar dengan pasar modernnya. Jika pasar tradisional dibiarkan berjalan sendiri
tanpa ada campur tangan yang memadai dari pihak terkait, terutama pihak
pemerintah pusat dan daerah, sulit diyakini bahwa prospek pasar tradisional akan
membaik. Bukannya bertambah baik dan kuat, jangan-jangan menjadi melemah
dan kolaps.
Di Bali, kekhawatiran pasar tradisional akan ditinggalkan pembeli yang
beralih ke pasar modern, sebetulnya sudah sering mengemuka. Beberapa media di
daerah ini melaporkan keadaan pasar tradisional yang masih kumuh dan omzetnya
menurun terus-menerus, namun belum mendapat perhatian serius dari pemerintah.
Sejatinya yang membuat pedagang pasar tradisional khawatir di tengah gempuran
pasar modern bukanlah masalah harga, melainkan masalah keamanan dan
kenyamanan. Mengingat, pasar tradisional saat ini kondisinya cenderung
memprihatinkan, kumuh dan tidak tertata (Bali Post, 16 Juni 2011).
Pemerintah Kabupaten Badung didesak untuk segera menyusun Peraturan
Daerah (Perda) yang mengatur keberadaan pasar modern. Tanpa regulasi tersebut,
16
dikhawatirkan keberadaan pasar tradisional akan makin terpinggirkan. Sebagai
contoh, Perda yang dimiliki Pemerintah DKI Jakarta, yakni Perda No. 2 Tahun
2002 tentang Perpasaran Swasta mengatur secara jelas mengenai zonasi antara
pasar tradisional dan pasar modern seperti minimarket, supermarket, hypermarket,
supermall atau grosir. Ada klasifikasi jarak toko modern dengan pasar modern
berdasarkan luasannya (Bali Post, 14 Juni 2011).
Di Kabupaten Karangasem, pasar tradisional belum mendapat perhatian
serius dari pemerintah. Pasar tradisional yang di dalamnya dimanfaatkan kalangan
masyarakat menengah ke bawah atau masyarakat miskin, terkesan dianaktirikan di
tengah gempuran pasar modern yang buka 24 jam merambah sampai ke pelosok
kecamatan. Pasar di kota Amlapura penuh sesak dan kumuh. Pasar itu kerap becek
saat hujan, karena bangunannya sudah tua dan atap dari seng sudah karatan dan
bocor (Bali Post, 16 Juni 2011).
Sementara itu, sebuah hasil investigasi menyebutkan bahwa para pedagang
kecil di Tabanan pasrah karena omzet mereka turun sampai 40 persen.
Disebutkan, kehadiran pasar modern menjadi momok bagi para pedagang
tradisional di Tabanan. Sejak munculnya fasilitas ini, omzet pedagang rata-rata
turun hingga 40 persen. Lebih miris lagi, sejumlah toko kelontong di pedesaan
banyak yang kolaps dan tutup karena ditinggalkan pembeli. Para pedagang hanya
bisa pasrah dengan kondisi ini, sebab mereka tidak bisa membendung himpitan
toko-toko modern yang makin menjamur. (Bali Post, 16 Juni 2011).
Nasib pasar tradisional ini seakan-akan membenarkan apa yang dinyatakan
oleh dua ahli Jepang, Yujiro Hayami dan Masao Kikuchi. Pendapat kedua ahli itu,
17
sebagaimana dikutip Astawa (2009) menyebutkan, bahwa para pelaku ekonomi
kecil seperti ekonomi petani yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pokok
cenderung untuk mengalah jika ekonomi pasar atau sistem kapitalis menembus
wilayah ekonomi tradisional dengan tujuan memperoleh keuntungan sebanyak-
banyaknya. Itu telah menjadi realitas dalam kehidupan kekinian, ketika
minimarket dan supermarket masuk ke kota pinggiran di Indonesia, pasar
tradisional perlahan-lahan tergusur secara sistematis.
1.2 Rumusan Masalah
Latar belakang tersebut memberikan gambaran secara sekilas mengenai
keadaan pasar tradisional dan para pedagang di dalamnya ketika harus berjuang
mengatasi permasalahan internalnya, juga tatkala berhadapan dengan pasar
modern yang kian menjamur belakangan ini. Satu hal yang perlu diingat, bahwa di
pasar tradisional sebagian masyarakat mendapatkan penghasilannya. Di pasar
tradisional, masyarakat bisa bertahan menyambung hidup. Masyarakat pun bisa
berbelanja untuk membeli segala kebutuhannya sehari-hari. Di samping itu, para
pedagang, pemasok, tukang parkir, tukang suun, sopir bemo, mendapatkan
penghasilan dari sini. Para produsen, seperti petani, nelayan, perajin, bisa menjual
barang produksinya di pasar tradisional. Pasar tradisional sungguh-sungguh
menjadi pusat ekonomi (center of economic) masyarakat.
Sehubungan dengan hal itu, dalam penelitian ini dilakukakan analisis
terhadap variabel-variabel yang berkaitan dengan pasar tradisional. Dengan
mengenali sejumlah faktor yang berpengaruh di dalamnya, maka dapat dilakukan
18
intervensi melalui berbagai upaya penguatan demi menjaga keberadaan pasar
tradisional. Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan masalah dalam
penelitian ini sebagai berikut.
1) Bagaimanakah pengaruh variabel sumberdaya pedagang terhadap
pemberdayaan pedagang pasar tradisional?
2) Bagaimanakah pengaruh variabel sumber daya pedagang terhadap
kondisi fisik pasar tradisional?
3) Bagaimanakah pengaruh variabel sumberdaya pedagang terhadap
strategi bersaing pedagang pasar tradisional?
4) Bagaimana pengaruh variabel pemberdayaan pedagang terhadap
kondisi fisik pasar tradisional?
5) Bagaimanakah pengaruh variabel pemberdayaan terhadap strategi
bersaing pedagang pasar tradisional?
6) Bagaimanakah pengaruh variabel kondisi fisik pasar terhadap strategi
bersaing pedagang pasar tradisional?
7) Bagaimanakah pengaruh variabel kondisi fisik pasar terhadap
keberdayaan pedagang pasar tradisional?
8) Bagaimanakah pengaruh variabel strategi bersaing pedagang terhadap
keberdayaan pedagang pasar tradisional?
9) Bagaimanakah pengaruh tidak langsung sumber daya pedagang
terhadap kondisi fisik pasar tradisional melalui pemberdayaan?
10) Bagaimanakah pengaruh tidak langsung sumber daya pedagang
terhadap strategi bersaing pedagang melalui kondisi fisik pasar?
19
11) Bagaimanakah pengaruh tidak langsung sumber daya pedagang
terhadap keberdayaan pedagang melalui pemberdayaan, kondisi fisik
pasar, dan strategi bersaing pedagang?
12) Bagaimanakah pengaruh tidak langsung pemberdayaan pedagang
terhadap strategi bersaing pedagang melalui kondisi fisik pasar?
13) Bagaimanakah pengaruh tidak langsung pemberdayaan pedagang
terhadap keberdayaan pedagang melalui kondisi fisik pasar dan strategi
bersaing pedagang?
1.3 Tujuan Penelitian
Bertitik tolak dari rumusan masalah di atas dan dengan menganalisis pasar
tradisional di Bali, dapat dikemukakan tujuan penelitian tentang pasar tradisional
di Bali, yakni:
1) Untuk mengetahui pengaruh variabel sumberdaya pedagang terhadap
pemberdayaan pedagang pasar tradisional.
2) Untuk mengetahui pengaruh variabel sumber daya pedagang terhadap
kondisi fisik pasar tradisional.
3) Untuk mengetahui pengaruh variabel sumberdaya pedagang terhadap
strategi bersaing pedagang pasar tradisional.
4) Untuk mengetahui pengaruh variabel pemberdayaan pedagang terhadap
kondisi fisik pedagang pasar tradisional.
5) Untuk mengetahui pengaruh variabel pemberdayaan terhadap strategi
bersaing pedagang pasar tradisional.
20
6) Untuk mengetahui pengaruh variabel kondisi fisik pasar terhadap strategi
bersaing pedagang pasar tradisional.
7) Untuk mengetahui pengaruh variabel kondisi fisik pasar terhadap
keberdayaan pedagang pasar tradisional.
8) Untuk mengetahui pengaruh variabel strategi bersaing terhadap keberdayaan
pedagang pasar tradisional.
9) Untuk mengetahui pengaruh tidak langsung sumber daya pedagang terhadap
kondisi fisik pasar tradisional melalui pemberdayaan.
10) Untuk mengetahui pengaruh tidak langsung sumber daya pedagang terhadap
strategi bersaing pedagang melalui kondisi fisik pasar.
11) Untuk mengetahui pengaruh tidak langsung sumber daya pedagang terhadap
keberdayaan pedagang melalui pemberdayaan, kondisi fisik pasar, dan
strategi pedagang.
12) Untuk mengetahui pengaruh tidak langsung pemberdayaan pedagang
terhadap strategi bersaing pedagang melalui kondisi fisik pasar.
13) Untuk mengetahui pengaruh tidak langsung pemberdayaan pedagang
terhadap keberdayaan pedagang melalui kondisi fisik pasar dan strategi
bersaing pedagang.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat akademik (teoritis),
praktis, dan pemecahan masalah pembangunan di Bali, khususnya terhadap
keberadaan pasar tradisional, yang diuraikan sebagai berikut.
21
1) Manfaat akademik, yakni memberikan sumbangan pemikiran di bidang
pengembangan ilmu pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan pasar
tradisional. Sudah ada beberapa penelitian yang menyasar pada pasar
tradisional yang dikaitkan dengan pasar modern, terutama mengenai
dampak kehadiran pasar modern terhadap pasar tradisional. Kendati pun
penelitian tentang pasar sudah pernah dilakukan pada beberapa daerah
tertentu yang terbatas, namun riset yang mengambil topik yang sama dengan
penelitian ini di wilayah Bali belum pernah dilakukan. Oleh karena itu,
penelitian ini diharapkan dapat memberikan khasanah baru dalam studi
tentang pasar tradisional dan pemberdayaannya sebagai bagian dari
pembangunan perekonomian.
2) Manfaat praktis, yakni sebagai rekomendasi kepada Pemerintah, baik
Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, dalam memberdayakan pasar
tradisional. Banyak persoalan yang harus ditangani oleh Pemerintah dan
komponen masyarakat lainnya dalam usaha memajukan pasar tradisional,
sekaligus memberdayakan para pedagang. Diperlukan penanganan yang
terencana dan komprehensif terhadap permasalahan pasar. Oleh karena itu,
diharapkan hasil penelitian ini menjadi bahan masukan bagi Pemerintah dan
Pemerintah Daerah dalam pengambilan keputusan terkait dengan upaya
melakukan revitalisasi dan menjaga eksistensi pasar tradisional di seluruh
Bali.