BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id I.pdfdengan cara tukar-menukar barang yang...

21
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pasar bermula dari keinginan sejumlah orang untuk memenuhi kebutuhannya. Pada mulanya transaksi dilakukan dengan sistem barter, yakni dengan cara tukar-menukar barang yang dimiliki dengan barang yang dikehendaki. Misalnya, seorang petani menukar hasil pertaniannya dengan pakaian. Seorang nelayan menukar ikan dengan barang kelontong yang dibutuhkan. Terjadi barter hasil produksi antara petani, nelayan, peternak, pengerajin yang dilakukan di sembarang tempat. Lama-kelamaan terbentuk kesepakatan untuk melakukan barter itu di suatu tempat. Jadilah lokasi itu semacam tempat barter hasil produksi masing-masing. Selanjutnya, bersamaan dengan perkembangan waktu, transaksi dilakukan dengan mata uang sebagai alat tukar dan penilai suatu barang sehingga masyarakat yang tidak memiliki barang tetapi memiliki uang dapat juga memenuhi kebutuhannya. Terciptalah pasar tradisional sebagaimana yang dikenal hingga sekarang. Keberadaan pasar tradisional ini merupakan bagian dari sistem ekonomi kerakyatan, yaitu sistem yang berbasis pada kekuatan rakyat (Rintuh dan Miar, 2005: 5). Ekonomi rakyat kecil inilah yang menjadi tumpuan hidup sebagian besar rakyat Indonesia. Ekonomi kerakyatan adalah sebuah sistem ekonomi yang berpihak kepada rakyat (kecil). Oleh karena itu, menjadi kewajiban pemerintah

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id I.pdfdengan cara tukar-menukar barang yang...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pasar bermula dari keinginan sejumlah orang untuk memenuhi

kebutuhannya. Pada mulanya transaksi dilakukan dengan sistem barter, yakni

dengan cara tukar-menukar barang yang dimiliki dengan barang yang

dikehendaki. Misalnya, seorang petani menukar hasil pertaniannya dengan

pakaian. Seorang nelayan menukar ikan dengan barang kelontong yang

dibutuhkan. Terjadi barter hasil produksi antara petani, nelayan, peternak,

pengerajin yang dilakukan di sembarang tempat. Lama-kelamaan terbentuk

kesepakatan untuk melakukan barter itu di suatu tempat. Jadilah lokasi itu

semacam tempat barter hasil produksi masing-masing. Selanjutnya, bersamaan

dengan perkembangan waktu, transaksi dilakukan dengan mata uang sebagai alat

tukar dan penilai suatu barang sehingga masyarakat yang tidak memiliki barang

tetapi memiliki uang dapat juga memenuhi kebutuhannya. Terciptalah pasar

tradisional sebagaimana yang dikenal hingga sekarang.

Keberadaan pasar tradisional ini merupakan bagian dari sistem ekonomi

kerakyatan, yaitu sistem yang berbasis pada kekuatan rakyat (Rintuh dan Miar,

2005: 5). Ekonomi rakyat kecil inilah yang menjadi tumpuan hidup sebagian besar

rakyat Indonesia. Ekonomi kerakyatan adalah sebuah sistem ekonomi yang

berpihak kepada rakyat (kecil). Oleh karena itu, menjadi kewajiban pemerintah

2

untuk melindungi dan memberdayakan rakyatnya terutama mereka yang bergerak

di sektor ekonomi mikro/kecil seperti para pedagang di pasar-pasar tradisional.

Mereka yang bekerja di pasar tradisional pada umumnya adalah yang

memiliki modal kecil, jauh berbeda dengan para peritel pasar modern. Pasar

tradisional terdiri dari kumpulan para pedagang yang rata-rata berasal dari

ekonomi kelas bawah dalam struktur ekonomi dan pendapatan. Adalah penting

untuk meningkatkan komitmen pemerintah untuk meningkatkan ekonomi

kerakyatan atau ekonomi rakyat melalui penguatan pasar tradisional. Terlebih-

lebih, jika dilihat dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), salah satu sumbernya

berasal dari retribusi daerah. Salah satu komponen retribusi daerah adalah

retribusi pasar. Dengan kata lain, terhadap pembangunan di daerah, pasar

tradisional juga berkontribusi sebagai sumber pendapatan melalui retribusi pasar.

Di samping berkontribusi dalam retribusi pasar, retribusi parkir pun bisa dipungut

sebagai dampak ikutan yang positif dari keberadaan pasar tradisional ini. Pada

umumnya setiap pasar tradisional terdapat lokasi parkir. Para pembeli yang

datang dengan kendaraan dan memarkir kendaraan mereka di tempat itu,

dikenakan retribusi parkir. Jadi, di samping dari retribusi pasar, dari retribusi

parkir pun pemerintah daerah memperoleh pendapatan. Dilihat dari sisi

Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), kontribusi pasar tradisional juga

jelas masuk pada sektor perdagangan sebagai salah satu dari 9 lapangan usaha

yang dijadikan parameter. Tidak bisa dipungkiri, laju pertumbuhan PDRB dan

PAD di daerah tentu juga ditopang oleh keberadaan pasar tradisional ini. Dengan

3

alasan-alasan seperti di atas, maka pasar tradisional layak dipertahankan bahkan

diperkuat eksistensinya.

Jika diperhatikan lebih jauh, terdapat beberapa spesifikasi pasar tradisional

sehingga layak dipertahankan keberadaannya. Spesifikasi ini membedakan pasar

tradisional dengan pasar modern, sekaligus menjadi keunggulan/keistimewaan

yang layak dijaga dan dilestarikan pada masa-masa yang akan datang. Spesifikasi

pasar tradisional kalau didekati dengan analisis SWOT (Strength, Weakness,

Opportunity, dan Threat) di antaranya meliputi, pertama, dari sudut kelengkapan

penyediaan barang. Pasar tradisional menyediakan hampir semua jenis barang

yang dibutuhkan pembeli untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Orang bisa

membeli berbagai macam kebutuhan hidup di pasar tradisional, misalnya bahan

makanan dan minuman, sayur-mayur, daging, ikan, juga penganan, kue, dan

rokok. Di samping itu, tersedia pula barang-barang dagangan seperti perlengkapan

dapur, tekstil, produk elektronik, emas, dan lain-lain. Jadi, pada pasar tradisional,

hampir seluruh kebutuhan sehari-hari masyarakat di lingkungan tersebut dapat

dipenuhi (Kementerian Perdagangan RI, 2010: 27). Ini merupakan kekuatan atau

keunggulan (strength) pasar tradisional.

Kedua, untuk sejumlah produk, harga jual di pasar tradisional relatif lebih

rendah dibandingkan dengan harga di pasar modern. Produk yang harganya lebih

rendah daripada di pasar modern pada umumnya karena diperoleh langsung dari

produsen, bukan dari grosir atau pasar modern. Pendeknya rantai distribusi itu

memungkinkan harga tidak terlalu jauh dari harga jual di tingkat produsen.

Barang dagangan harganya relatif murah itu di antaranya yang berasal langsung

4

dari petani produsen, seperti sayur-mayur, bunga, buah-buahan, dan aneka bahan

bumbu masak. Dengan harga jual yang lebih rendah di pasar tradisional dan bisa

ditawar, maka daya beli masyarakat ekonomi kelas bawah akan kian baik

(Malano, 2011: 61). Hal ini juga merupakan kekuatan (strength) pasar tradisional.

Ketiga, berbagai kalangan tingkat pendidikan bisa masuk ke pasar

tradisional. Kendati orang hanya berpendidikan SD, bahkan tidak berpendidikan

sekalipun, bisa bekerja di pasar tradisional. Tidak diperlukan atau setidak-

tidaknya belum diperlukan pendidikan dan/atau keterampilan tinggi untuk bisa

berdagang di pasar tradisional. Jadi, pasar tradisional menjangkau berbagai

kalangan, termasuk mereka yang berpendidikan rendah atau yang tanpa

pendidikan. Hal ini sejalan dengan kondisi dunia pendidikan yang masih harus

berkutat untuk menuntaskan pendidikan dasar 9 tahun atau 12 tahun. Keberadaan

pasar tradisional yang tidak memerlukan ilmu dan skill yang tinggi

memungkinkan bagi tertampungnya sumber daya manusia yang ada seperti saat

ini, walaupun ke depan disadari bahwa berdagang di pasar pun memerlukan

pengetahuan dan keterampilan yang memadai untuk pengelolaan bisnis dengan

lebih baik. Jadi, kekuatan (strength) karena pasar tradisional bisa menampung

semua sumberdaya manusia yang tersedia karena tidak memerlukan kualitas dan

manajemen sumber daya manusia yang kompleks (Kementerian Perdagangan RI,

2010: 28).

Keempat, para pemilik modal kecil bisa tertampung di pasar tradisional.

Seorang pedagang tidak harus memiliki uang jutaan atau puluhan juta untuk bisa

berdagang di pasar tradisional. Pedagang bakulan bisa berdagang hanya dengan

5

modal ratusan ribu sebagai modal awal untuk membeli bahan dagangannya.

Dengan modal kecil saja, para pedagang sudah bisa berjualan di pasar tradisional.

Dengan kata lain, pasar tradisional mampu menampung masyarakat ekonomi

kelas bawah atau miskin. Dengan berdagang di pasar tradisional minimal mereka

bisa memenuhi kebutuhan minimal keluarganya atau disebut juga kebutuhan

subsisten. Karena membutuhkan modal yang kecil itulah maka banyak masyarakat

kelas bawah yang terlibat dalam usaha dagang di pasar tradisional. Hal ini berarti

pasar tradisional mampu menampung banyak kalangan masyarakat dan

menghidupi mereka. Dengan demikian, dilihat dari sisi kemampuan ekonomi,

kehadiran pedagang kecil di pasar tradisional merupakan suatu keunggulan

(strength) sekaligus memberikan peluang (opportunity) yang terbuka kepada

mereka yang bermodal kecil untuk masuk ke dalamnya (Malano, 2011: 174).

Pasar tradisional juga menghadirkan tantangan (threat) bagi usaha meningkatkan

kemampuan ekonomi pedagang kecil agar menjadi lebih baik.

Kelima, pasar tradisional dapat memenuhi kebutuhan masyarakat untuk

bersosialisasi/berkomunikasi sebagai makhluk sosial (zoon politicon). Di pasar

tradisional, antara pedagang dan pembeli bisa melakukan komunikasi dalam

bentuk tawar-menawar terhadap suatu barang. Tidak ada harga mati, tetapi yang

ada harga yang masih bisa ditawar. Harga mati/pasti itu hanya ada di pasar

modern yang tercantum pada pembungkus barang dagangan. Tawar-menawar

yang berlangsung di pasar tradisional itu menjadi budaya dan gaya hidup

keseharian masyarakat pembeli. Manusia pada umumnya memerlukan

komunikasi, bersosialiasi, sebagai kebutuhan jiwa makhluk sosial. Kedekatan

6

emosional antara pedagang dengan pembeli tercipta melalui komunikasi yang

intensif pada setiap pertemuan. Komunikasi tidak hanya menyangkut tawar-

menawar harga, bahkan bisa lebih luas lagi, menjadi hubungan kekeluargaan yang

saling membantu (wikipedia.org, diakses 1 Juli 2012). Hal ini merupakan salah

satu wujud kekuatan (strength) pasar tradisional karena sifatnya yang dapat

memperkuat hubungan sosial. Namun di sisi lain, proses tawar-menawar yang

memakan waktu dan energi juga merupakan kelemahan (weakness) dalam bisnis

karena terjadi percampuran antara pertemanan dan bisnis serta transaksi yang

tidak obyektif (Leksono, 2009).

Keenam, sistem pembayaran di pasar tradisional masih dimungkinkan

dilakukan dengan berhutang. Kalau orang berbelanja di pasar modern,

pembayarannya pasti secara kontan (cash). Tetapi, kalau orang berbelanja di

pasar tradisional, masih bisa dilakukan dengan berhutang sebagian dari

pembelian. Masih ada kesempatan untuk pembeli yang membawa uang terbatas

untuk berhutang. Masih ada kesempatan bagi pembeli yang tidak punya uang

untuk menunda pembayaran untuk sementara waktu. Di sini tampak unsur

kegotongroyongan dan kekeluargaan sebagai ciri hidup bermasyarakat dalam

sebuah komunitas sangat berperan. Seorang pedagang di pasar tradisional dapat

menolong pihak lain (pembeli) saat membutuhkan suatu barang, terutama bahan-

bahan keperluan sehari-hari. Sedangkan, di pasar modern segala sesuatunya

dibayar kontan. Tidak ada toleransi di pasar modern. Dilihat dari sudut ekonomi,

apa yang terjadi di pasar tradisional, terutama dalam hal tidak harus bayar tunai

untuk barang yang dibeli merupakan suatu bentuk kelemahan (weakness),

7

sekaligus kekuatan (strength). Disebut kelemahan, karena perputaran modal usaha

yang sudah kecil menjadi terhambat dan kemungkinan tidak dibayar bisa saja

terjadi. Disebut kekuatan, karena dalam sebuah masyarakat yang hubungan

kekerabatannya kuat, maka upaya saling membantu ini merupakan hal yang

dipandang baik.

Ketujuh, pasar tradisional khususnya di Bali, disatukan oleh spirit yang

sama, yaitu spirit yang lahir dari kehidupan agama, adat, dan budaya yang kuat.

Pada setiap pasar tradisional di Bali yang dikenal dengan sebutan peken,

senantiasa ada Pura Melanting, sebuah tempat yang disucikan oleh masyarakat

Hindu, khususnya oleh para pedagang setempat. Maknanya, dalam masyarakat

pedagang yang beragama Hindu, selalu dikaitkan kehidupan duniawi dengan

kehidupan rohani. Aspek-aspek ketuhanan disembah dengan penuh sujud,

sementara aktivitas bisnis mereka jalankan. Terdapat keyakinan yang kuat pada

masyarakat pedagang, dan pada masyarakat Hindu pada umumnya, bahwa

keberhasilan yang diraih itu tidak terlepas dari karunia Tuhan. Manusia berusaha,

Tuhan yang menentukan hasilnya. Oleh karena itu, dalam berdagang atau disebut

dengan istilah nyeraki, para pedagang tak pernah lepas dari keyakinan bahwa

untung-rugi berjualan di samping ditentukan oleh usaha sendiri, juga ditentukan

oleh Ida Sang Hyang Widhi. Sebagai wujud bakti kepada Tuhan, oleh para

pedagang di pasar tradisional di Bali, dibuatlah tempat pemujaan yang disebut

dengan Pura Melanting. Jadi, tidak ada aktivitas ekonomi tanpa disertai dengan

ritual, sejak memulai usaha atau biasa disebut ngawit lan padewasan sampai

tahapan operasional. Bahkan, menghentikan usaha pun dalam tradisi masyarakat

8

Hindu di Bali tidak begitu saja dilakukan, tetapi melalui usaha yang disebut

mrelina. Masyarakat Bali sangat meyakini dan percaya dengan hukum

karmaphala (Astawa, 2009: 10).

Spesifikasi pasar tradisional di Bali sebagaimana dijelaskan di atas

memberikan gambaran betapa pasar tradisional ini sudah menjadi bagian dalam

kehidupan masyarakat Bali, bahkan sudah menjadi bagian dari budaya. Kini pasar

tradisional harus berhadap-hadapan dengan pasar modern yang dalam beberapa

hal memiliki kelebihan. Para pedagang di pasar tradisional harus bersaing dengan

para pemodal besar dengan pasar modernnya, seperti hypermarket, supermarket,

dan minimarket atau sebutan lainnya yang sejenis.

Berbeda dengan pasar tradisional, pasar modern yang hadir belakangan,

merupakan jenis pasar di mana penjual dan pembeli tidak bertransaksi secara

langsung dengan pola tawar-menawar, melainkan pembeli melihat label harga

yang tercantum pada barang (barcode) dan pelayanannya dilakukan secara

mandiri (swalayan) atau dilayani oleh pramuniaga. Barang-barang yang dijual,

selain bahan makanan seperti buah, sayuran, daging, sebagian besar barang

lainnya yang dijual adalah barang yang dapat bertahan lama.

Perkembangan pasar modern ini secara umum menguntungkan konsumen

karena semakin banyak tersedia pilihan untuk berbelanja. Persaingan yang

semakin tajam antarpasar modern dengan pasar tradisional juga akan

menguntungkan konsumen karena mereka akan berusaha menarik konsumen

dengan memberikan pelayanan yang lebih baik. Akan tetapi, perkembangan

pasar modern seperti pusat-pusat perbelanjaan modern juga dikhawatirkan

9

memberikan dampak terhadap keberadaan pasar tradisional. Dengan kata lain,

pasar modern merupakan pesaing dan akan mengancam keberadaan pasar

tradisional. Jika dulu pasar modern lebih banyak ditujukan untuk penduduk

berpendapatan menengah ke atas dan terbatas jumlahnya, kini mereka masuk juga

ke kelas menengah ke bawah dan jumlahnya pun semakin banyak.

Kelompok menengah ke bawah inilah yang kini disasar oleh pasar modern.

Kelompok ini pada umumnya memiliki pendidikan lebih baik dan lebih terbuka

dengan alternatif belanja dibanding generasi tuanya. Kelompok ini menunjukkan

kecenderungan lebih menyukai berbelanja di pasar modern daripada di pasar

tradisional. Kelompok ini diduga mempunyai potensi pertumbuhan yang kuat.

Department store lokal seperti Matahari dan Ramayana merupakan pengecer

yang sangat aktif menggarap kelompok ini. Di masa datang, generasi muda sangat

potensial menjadi penyebab pergeseran kegiatan belanja dari pasar tradisional ke

pasar modern (Napitupulu, 2010).

Dalam hal regulasi, sebetulnya telah ada Peraturan Presiden RI No. 112

tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat

Perbelanjaan dan Toko Modern. Ada pula peraturan Menteri Perdagangan RI No.

53/M.DAG/Per/12/2008, yang mengatur hal yang sama. Akan tetapi, peraturan-

peraturan itu tidak dilaksanakan sepenuhnya. Pada kenyataan, pasar modern yang

seharusnya hanya beroperasi di pinggir jalan-jalan utama, kini sudah masuk jauh

ke pinggir-pinggir jalan desa.

Ekonom Econit Advisory, Hendri Saparini, mengatakan bahwa di

kampung-kampung, gerai waralaba ritel merajalela sehingga dalam jangka

10

panjang ini mematikan perekonomian rakyat. Dampak sosialnya juga sangat

besar. Saparini meminta agar pemerintah lebih tegas dalam penataan pasar

modern. Hal ini juga termasuk gerai ritel modern berskala raksasa yang merajai di

banyak kota, seperti Carrefour, Giant, dan Hypermarket. (kabarbisnis.com, 12

Mei 2012).

Wakil Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Didik Akhmadi,

menilai Permendag No. 53 tahun 2008 itu mandul dalam pelaksanaannya.

Menurutnya, sebenarnya peraturan pemerintah yang menangani masalah regulasi

pasar modern dan tradisional ini sudah ada. Namun realisasinya masih belum

jelas, sehingga mengancam beberapa pasar tradisional. Akibatnya, banyak pasar

tradisional yang mati atau mengalami penurunan omzet yang cukup besar. Dari

pantauan Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), selama tahun

2008, omzet pasar tradisional anjlok sekitar 60 persen. Sementara akupansi hunian

pedagang juga mengalami penurunan sekitar 30-40 persen. Bahkan, ada beberapa

pasar yang sudah tidak bernyawa lagi (kabarbisnis.com, diakses 12 Mei 2012).

Pasar tradisional yang sebelumnya hampir tanpa persaingan, kini harus

berhadapan dengan kompetitor yang memiliki keunggulan jauh lebih tinggi.

Pertanyaan lanjutannya, bagaimana pasar tradisional bersaing dengan pusat-pusat

perbelanjaan modern? Apakah pasar tradisional harus puas hanya dengan

memanfaatkan konsumen yang berpendapatan terendah dan bagaimana kalau

konsumen jenis ini pun nantinya lebih memilih pasar modern?

Kelemahan pasar tradisional yang selama ini kurang mendapatkan perhatian

adalah kekumuhan lokasi pasar. Pasar tradisional hingga kini masih belum lepas

11

dari kesan jorok, bau, dan becek, dengan sarana dan prasarana yang sangat

terbatas (Setiyanto, 2007), yang semua itu kian menyulitkannya bersaing dengan

pasar modern. Kondisi kumuh itu membuat orang malas berbelanja ke pasar

tradisional. Hal ini jelas cukup membahayakan eksistensi pasar tradisional.

Sementara, pasar modern memiliki keunggulan yang mengalahkan pasar

tradisional, yakni nyaman, bersih, serta lebih terjamin kualitas barangnya. Bagi

sebagian masyarakat, berbelanja ke pasar modern mungkin merasa lebih

bergengsi. Kebijakan pemerintah untuk merevitalisasi pasar tradisional masih

belum menunjukkan hasil yang optimal. Masih banyak pasar tradisional yang

belum tersentuh kebijakan tersebut. Lagi pula, kebijakan tersebut lebih terfokus

pada pembangunan gedung pasar saja, kurang memperhatikan berbagai aspek lain

yang bisa mendukung keberadaan pasar tradisional.

Kalau dilihat bangunan pasar tradisional yang pada umumnya sudah banyak

bagiannya yang lapuk, juga tanpa perawatan yang cukup. Berdasarkan data

survei, di 220 kabupaten/kota di Indonesia, tercatat sebanyak 4.000 pasar yang

usianya rata-rata di atas 25 tahun. Di samping sanitasinya yang kurang baik,

penerangannya juga kurang bagus (indonesiagoodnews.com, diakses 1 April

2012).

Hasil survei Nielsen yang menempatkan pasar tradisional masih menjadi

favorit konsumen dikritisi oleh Sekretaris Eksekutif DPP Asosiasi Pedagang Pasar

Seluruh Indonesia (APPSI), Mujiburohman. “Itu survei yang dibayar untuk

sekadar menghentikan anggapan bahwa ritel modern menggerus pasar

tradisional,” tegasnya, sebagaimana ditulis Irawan (kabarbisnis.com, diakses 12

12

Mei 2012). Berdasarkan hasil riset Nielsen sebagaimana disebutkan dalam situs

tersebut, pasar tradisional masih sangat mendominasi dalam penjualan produk

segar bagi konsumen di Asia dan Indonesia. Budget belanja produk segar bagi

konsumen Indonesia sekitar Rp.500.000,- per bulan. Berdasarkan riset tersebut,

sebanyak 62 persen konsumen di Jabodetabek berbelanja daging di pasar basah

(pasar tradisional), dan yang berbelanja di pasar modern hanya 11 persen.

Sebanyak 53 persen konsumen berbelanja ikan di pasar basah dan hanya 7 persen

di pasar modern. Di Bandung, 60 persen konsumen memilih berbelanja sayur,

daging, dan ikan di pasar tradisional.

Menurut Mujiburohman, masyarakat hanya memilih pasar tradisional

sebagai tempat berbelanja sayuran dan kebutuhan memasak lainnya. Sementara

untuk kebutuhan lain, mulai dari pakaian hingga alat-alat rumah tangga,

masyarakat akan lebih memilih gerai ritel modern. “Orang ke pasar tradisional

hanya membelanjakan Rp.50.000,- - Rp. 100.000,- untuk belanja ikan, daging,

atau sayur. Tetapi, ketika berbelanja pakaian, alat rumah tangga lainnya di pasar

modern, mereka berbelanja ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Ini yang harus

dijadikan patokan untuk mengkritisi riset Nielsen tersebut,” terangnya sambil

menambahkan bahwa itulah sebabnya omzet pedagang pasar tradisional kalah

jauh dengan gerai ritel modern. Ia menilai, posisi pedagang pasar tradisional

dibandingkan dengan pasar modern tidak seimbang sehingga persaingan pun

menjadi tidak sehat. Gerai ritel modern mempunyai akses produk yang rapi dan

satu jalur. Sehingga, harganya bisa lebih kompetitif. Sementara, hal tersebut

13

kurang dimiliki pedagang pasar tradisional (kabarbisnis.com, diakses 12 Mei

2012).

Sejalan dengan hasil riset Nielsen, Mari Elka Pangestu (2011), semasih

menjabat sebagai Menteri Perdagangan RI, pada kesempatan pencanangan Hari

Pasar Bersih Nasional di Pasar Bumi Serpong Damai Tangerang, 19 Juli 2008

mengatakan, bahwa komposisi pembelanjaan di pasar tardisional masih sebesar 60

persen dan sisanya pasar ritel modern. “Prospek pasar tradisional masih akan

bagus,” ujarnya. Dikatakan, hingga saat itu, jumlah pasar tradisional di Indonesia

mencapai 13.450 unit pasar yang mencakup 12,6 juta pedagang yang melayani

seluruh segmen masyarakat (ditjenpdn.kemendag.go.id, diakses 11 Juni 2012).

Menurut data Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), tiap

tahun pertumbuhan pasar modern mencapai 31,4 persen per tahun. Sementara,

pasar tradisional turun hingga 10 persen. Berdasarkan data dari Gabungan

Produsen Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), pertumbuhan

hypermarket tahun 2001-2005 mencapai 34 persen. Sementara itu, pasar modern

yang lebih kecil, seperti supermarket tumbuh 9 persen. Pertumbuhan ini terdorong

oleh perilaku masyarakat (rumah tangga) di Indonesia.

Perilaku konsumen rumah tangga di Indonesia menunjukkan bahwa bangsa

Indonesia merupakan masyarakat yang paling sering belanja. Kunjungan rumah

tangga ke berbagai pasar di Indonesia rata-rata mencapai 22 kali kunjungan per

bulan. Jumlah penduduk yang kini mencapai lebih dari 240 juta ditambah dengan

perilaku dan kebiasaan berbelanja ke pasar, membuat hypermarket dan

supermarket percaya diri untuk terus mengembangkan bisnisnya. Apalagi faktor

14

kenyamanan, keamanan, dan kelengkapan serta harga yang bersaing menjadi

promosi kuat bagi mereka (suara karya online.com, diakses 7 Mei 2012).

Selanjutnya disebutkan di dalam situs tersebut, bahwa bila dibandingkan

dengan jumlah pasar modern (hypermarket, supermarket, mall, dan lainnya),

jumlah pasar tradisional jauh lebih banyak. Disebutkan, dari total pasar yang ada,

jumlah pasar tradisional di Indonesia mencapai 73 persen (1,7 juta unit). Sisanya,

27 persen atau lebih dari 500.000 unit meliputi hypermarket, supermarket, serta

minimarket. Dari sisi komposisi jumlah, secara logika bisa dikatakan bahwa

penguasaan ritel di Indonesia masih dipegang oleh pasar tradisional. Namun orang

sulit percaya jika melihat betapa besarnya jumlah uang yang dikeluarkan rumah

tangga untuk mengunjungi pasar-pasar modern tersebut.

Berdasarkan uang belanja konsumen, sebanyak 58 persen pengeluaran

rumah tangga di Indonesia untuk makanan, minuman, dan tembakau (rokok).

Nilainya mencapai 122,5 milliar dolar AS per tahun. Namun, sebesar 80 persen

atau senilai 98 milliar dollar AS uang yang dibelanjakan untuk makanan,

minuman, rokok oleh konsumen rumah tangga tersebut beredar di pasar modern,

terutama hypermarket yang jumlahnya hanya mencapai 500.000 unit itu. rumah

tangga sebanyak 24,5 milliar dolar AS per tahun harus diperebutkan oleh 1,7 unit

pasar tradisional. Dengan data ini, jelas bahwa besaran uang yang dibelanjakan di

pasar modern dengan pasar tradisional sangat berbeda, yakni uang 98 milliar dolar

AS untuk 500.000 unit pasar modern dibanding uang 24,5 milliar dolar AS untuk

1,7 juta unit pasar tradisional. Melihat perbandingan tersebut, bisa dibayangkan

berapa besar lagi pangsa pasar ritel yang akan direnggut oleh pasar modern dari

15

pasar tradisional yang ada di daerah-daerah. “Bila melihat kecenderungan saat ini,

setiap pembukaan satu cabang pasar modern skala hypermarket, maka akan bisa

menyedot konsumen dari tiga pasar tradisional,” tulis Andrian Novery (suara

karya-online.com, diakses 7 Mei 2012).

Walaupun terdapat hasil riset Nielsen dan pernyataan optimis dari mantan

Menteri Perdagangan, masyarakat pelaku pasar tradisional tetap skeptis dengan

data dan kenyataan di lapangan, terutama yang berkaitan dengan nasib pasar

tradisional di tengah-tengah intervensi kompetitif yang dilakukan oleh pengusaha

besar dengan pasar modernnya. Jika pasar tradisional dibiarkan berjalan sendiri

tanpa ada campur tangan yang memadai dari pihak terkait, terutama pihak

pemerintah pusat dan daerah, sulit diyakini bahwa prospek pasar tradisional akan

membaik. Bukannya bertambah baik dan kuat, jangan-jangan menjadi melemah

dan kolaps.

Di Bali, kekhawatiran pasar tradisional akan ditinggalkan pembeli yang

beralih ke pasar modern, sebetulnya sudah sering mengemuka. Beberapa media di

daerah ini melaporkan keadaan pasar tradisional yang masih kumuh dan omzetnya

menurun terus-menerus, namun belum mendapat perhatian serius dari pemerintah.

Sejatinya yang membuat pedagang pasar tradisional khawatir di tengah gempuran

pasar modern bukanlah masalah harga, melainkan masalah keamanan dan

kenyamanan. Mengingat, pasar tradisional saat ini kondisinya cenderung

memprihatinkan, kumuh dan tidak tertata (Bali Post, 16 Juni 2011).

Pemerintah Kabupaten Badung didesak untuk segera menyusun Peraturan

Daerah (Perda) yang mengatur keberadaan pasar modern. Tanpa regulasi tersebut,

16

dikhawatirkan keberadaan pasar tradisional akan makin terpinggirkan. Sebagai

contoh, Perda yang dimiliki Pemerintah DKI Jakarta, yakni Perda No. 2 Tahun

2002 tentang Perpasaran Swasta mengatur secara jelas mengenai zonasi antara

pasar tradisional dan pasar modern seperti minimarket, supermarket, hypermarket,

supermall atau grosir. Ada klasifikasi jarak toko modern dengan pasar modern

berdasarkan luasannya (Bali Post, 14 Juni 2011).

Di Kabupaten Karangasem, pasar tradisional belum mendapat perhatian

serius dari pemerintah. Pasar tradisional yang di dalamnya dimanfaatkan kalangan

masyarakat menengah ke bawah atau masyarakat miskin, terkesan dianaktirikan di

tengah gempuran pasar modern yang buka 24 jam merambah sampai ke pelosok

kecamatan. Pasar di kota Amlapura penuh sesak dan kumuh. Pasar itu kerap becek

saat hujan, karena bangunannya sudah tua dan atap dari seng sudah karatan dan

bocor (Bali Post, 16 Juni 2011).

Sementara itu, sebuah hasil investigasi menyebutkan bahwa para pedagang

kecil di Tabanan pasrah karena omzet mereka turun sampai 40 persen.

Disebutkan, kehadiran pasar modern menjadi momok bagi para pedagang

tradisional di Tabanan. Sejak munculnya fasilitas ini, omzet pedagang rata-rata

turun hingga 40 persen. Lebih miris lagi, sejumlah toko kelontong di pedesaan

banyak yang kolaps dan tutup karena ditinggalkan pembeli. Para pedagang hanya

bisa pasrah dengan kondisi ini, sebab mereka tidak bisa membendung himpitan

toko-toko modern yang makin menjamur. (Bali Post, 16 Juni 2011).

Nasib pasar tradisional ini seakan-akan membenarkan apa yang dinyatakan

oleh dua ahli Jepang, Yujiro Hayami dan Masao Kikuchi. Pendapat kedua ahli itu,

17

sebagaimana dikutip Astawa (2009) menyebutkan, bahwa para pelaku ekonomi

kecil seperti ekonomi petani yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pokok

cenderung untuk mengalah jika ekonomi pasar atau sistem kapitalis menembus

wilayah ekonomi tradisional dengan tujuan memperoleh keuntungan sebanyak-

banyaknya. Itu telah menjadi realitas dalam kehidupan kekinian, ketika

minimarket dan supermarket masuk ke kota pinggiran di Indonesia, pasar

tradisional perlahan-lahan tergusur secara sistematis.

1.2 Rumusan Masalah

Latar belakang tersebut memberikan gambaran secara sekilas mengenai

keadaan pasar tradisional dan para pedagang di dalamnya ketika harus berjuang

mengatasi permasalahan internalnya, juga tatkala berhadapan dengan pasar

modern yang kian menjamur belakangan ini. Satu hal yang perlu diingat, bahwa di

pasar tradisional sebagian masyarakat mendapatkan penghasilannya. Di pasar

tradisional, masyarakat bisa bertahan menyambung hidup. Masyarakat pun bisa

berbelanja untuk membeli segala kebutuhannya sehari-hari. Di samping itu, para

pedagang, pemasok, tukang parkir, tukang suun, sopir bemo, mendapatkan

penghasilan dari sini. Para produsen, seperti petani, nelayan, perajin, bisa menjual

barang produksinya di pasar tradisional. Pasar tradisional sungguh-sungguh

menjadi pusat ekonomi (center of economic) masyarakat.

Sehubungan dengan hal itu, dalam penelitian ini dilakukakan analisis

terhadap variabel-variabel yang berkaitan dengan pasar tradisional. Dengan

mengenali sejumlah faktor yang berpengaruh di dalamnya, maka dapat dilakukan

18

intervensi melalui berbagai upaya penguatan demi menjaga keberadaan pasar

tradisional. Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan masalah dalam

penelitian ini sebagai berikut.

1) Bagaimanakah pengaruh variabel sumberdaya pedagang terhadap

pemberdayaan pedagang pasar tradisional?

2) Bagaimanakah pengaruh variabel sumber daya pedagang terhadap

kondisi fisik pasar tradisional?

3) Bagaimanakah pengaruh variabel sumberdaya pedagang terhadap

strategi bersaing pedagang pasar tradisional?

4) Bagaimana pengaruh variabel pemberdayaan pedagang terhadap

kondisi fisik pasar tradisional?

5) Bagaimanakah pengaruh variabel pemberdayaan terhadap strategi

bersaing pedagang pasar tradisional?

6) Bagaimanakah pengaruh variabel kondisi fisik pasar terhadap strategi

bersaing pedagang pasar tradisional?

7) Bagaimanakah pengaruh variabel kondisi fisik pasar terhadap

keberdayaan pedagang pasar tradisional?

8) Bagaimanakah pengaruh variabel strategi bersaing pedagang terhadap

keberdayaan pedagang pasar tradisional?

9) Bagaimanakah pengaruh tidak langsung sumber daya pedagang

terhadap kondisi fisik pasar tradisional melalui pemberdayaan?

10) Bagaimanakah pengaruh tidak langsung sumber daya pedagang

terhadap strategi bersaing pedagang melalui kondisi fisik pasar?

19

11) Bagaimanakah pengaruh tidak langsung sumber daya pedagang

terhadap keberdayaan pedagang melalui pemberdayaan, kondisi fisik

pasar, dan strategi bersaing pedagang?

12) Bagaimanakah pengaruh tidak langsung pemberdayaan pedagang

terhadap strategi bersaing pedagang melalui kondisi fisik pasar?

13) Bagaimanakah pengaruh tidak langsung pemberdayaan pedagang

terhadap keberdayaan pedagang melalui kondisi fisik pasar dan strategi

bersaing pedagang?

1.3 Tujuan Penelitian

Bertitik tolak dari rumusan masalah di atas dan dengan menganalisis pasar

tradisional di Bali, dapat dikemukakan tujuan penelitian tentang pasar tradisional

di Bali, yakni:

1) Untuk mengetahui pengaruh variabel sumberdaya pedagang terhadap

pemberdayaan pedagang pasar tradisional.

2) Untuk mengetahui pengaruh variabel sumber daya pedagang terhadap

kondisi fisik pasar tradisional.

3) Untuk mengetahui pengaruh variabel sumberdaya pedagang terhadap

strategi bersaing pedagang pasar tradisional.

4) Untuk mengetahui pengaruh variabel pemberdayaan pedagang terhadap

kondisi fisik pedagang pasar tradisional.

5) Untuk mengetahui pengaruh variabel pemberdayaan terhadap strategi

bersaing pedagang pasar tradisional.

20

6) Untuk mengetahui pengaruh variabel kondisi fisik pasar terhadap strategi

bersaing pedagang pasar tradisional.

7) Untuk mengetahui pengaruh variabel kondisi fisik pasar terhadap

keberdayaan pedagang pasar tradisional.

8) Untuk mengetahui pengaruh variabel strategi bersaing terhadap keberdayaan

pedagang pasar tradisional.

9) Untuk mengetahui pengaruh tidak langsung sumber daya pedagang terhadap

kondisi fisik pasar tradisional melalui pemberdayaan.

10) Untuk mengetahui pengaruh tidak langsung sumber daya pedagang terhadap

strategi bersaing pedagang melalui kondisi fisik pasar.

11) Untuk mengetahui pengaruh tidak langsung sumber daya pedagang terhadap

keberdayaan pedagang melalui pemberdayaan, kondisi fisik pasar, dan

strategi pedagang.

12) Untuk mengetahui pengaruh tidak langsung pemberdayaan pedagang

terhadap strategi bersaing pedagang melalui kondisi fisik pasar.

13) Untuk mengetahui pengaruh tidak langsung pemberdayaan pedagang

terhadap keberdayaan pedagang melalui kondisi fisik pasar dan strategi

bersaing pedagang.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat akademik (teoritis),

praktis, dan pemecahan masalah pembangunan di Bali, khususnya terhadap

keberadaan pasar tradisional, yang diuraikan sebagai berikut.

21

1) Manfaat akademik, yakni memberikan sumbangan pemikiran di bidang

pengembangan ilmu pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan pasar

tradisional. Sudah ada beberapa penelitian yang menyasar pada pasar

tradisional yang dikaitkan dengan pasar modern, terutama mengenai

dampak kehadiran pasar modern terhadap pasar tradisional. Kendati pun

penelitian tentang pasar sudah pernah dilakukan pada beberapa daerah

tertentu yang terbatas, namun riset yang mengambil topik yang sama dengan

penelitian ini di wilayah Bali belum pernah dilakukan. Oleh karena itu,

penelitian ini diharapkan dapat memberikan khasanah baru dalam studi

tentang pasar tradisional dan pemberdayaannya sebagai bagian dari

pembangunan perekonomian.

2) Manfaat praktis, yakni sebagai rekomendasi kepada Pemerintah, baik

Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, dalam memberdayakan pasar

tradisional. Banyak persoalan yang harus ditangani oleh Pemerintah dan

komponen masyarakat lainnya dalam usaha memajukan pasar tradisional,

sekaligus memberdayakan para pedagang. Diperlukan penanganan yang

terencana dan komprehensif terhadap permasalahan pasar. Oleh karena itu,

diharapkan hasil penelitian ini menjadi bahan masukan bagi Pemerintah dan

Pemerintah Daerah dalam pengambilan keputusan terkait dengan upaya

melakukan revitalisasi dan menjaga eksistensi pasar tradisional di seluruh

Bali.