BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id · 1.1 Latar Belakang ... dalamnya dinamika...

28
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari peranan sumber daya manusia sebagai penentu pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan yang dapat dicapai suatu daerah. Perbedaan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan yang dapat dicapai oleh suatu wilayah paling tidak memberikan gambaran bahwa terdapat dukungan perbedaan sumber daya manusia yang bersentuhan dengan teknologi, sumber daya alam serta entrepreneurs sebagai penggerak aktivitas inovasi dan kreativitas yang menciptakan nilai tambah produksi, perluasan investasi dan tenaga kerja (Qastharin, 2012). Keberhasilan dalam mengelola sumber daya dimaksud di atas diukur berdasarkan aspek ekonomi dengan tidak menyertakan aspek non ekonomi. Selama ini keberhasilan capaian kemajuan ekonomi hanya diukur dari aspek ekonomi saja seperti pertumbuhan ekonomi, Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), pendapatan perkapita dan ukuran- ukuran lain yang selalu menggunakan ukuran nominal (material). Berbeda dengan pola kesejahteraan nominal, yang hanya memandang pembentukan pendapatan secara material, maka pemetaan tingkat kesejahteraan dunia usaha dipolakan melalui pendekatan yang lebih holistik, dengan pertimbangan bahwa pendekatan kesejahteraan pengusaha telah memuat di dalamnya dinamika semangat kepedulian terhadap lingkungan sosial kemasyarakatan, kekerabatan dan kebersamaan, sikap perilaku investasi secara

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id · 1.1 Latar Belakang ... dalamnya dinamika...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id · 1.1 Latar Belakang ... dalamnya dinamika semangat kepedulian terhadap lingkungan sosial kemasyarakatan, kekerabatan dan

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari peranan sumber daya

manusia sebagai penentu pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan yang dapat

dicapai suatu daerah. Perbedaan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan yang

dapat dicapai oleh suatu wilayah paling tidak memberikan gambaran bahwa

terdapat dukungan perbedaan sumber daya manusia yang bersentuhan dengan

teknologi, sumber daya alam serta entrepreneurs sebagai penggerak aktivitas

inovasi dan kreativitas yang menciptakan nilai tambah produksi, perluasan

investasi dan tenaga kerja (Qastharin, 2012). Keberhasilan dalam mengelola

sumber daya dimaksud di atas diukur berdasarkan aspek ekonomi dengan tidak

menyertakan aspek non ekonomi. Selama ini keberhasilan capaian kemajuan

ekonomi hanya diukur dari aspek ekonomi saja seperti pertumbuhan ekonomi,

Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), pendapatan perkapita dan ukuran-

ukuran lain yang selalu menggunakan ukuran nominal (material).

Berbeda dengan pola kesejahteraan nominal, yang hanya memandang

pembentukan pendapatan secara material, maka pemetaan tingkat kesejahteraan

dunia usaha dipolakan melalui pendekatan yang lebih holistik, dengan

pertimbangan bahwa pendekatan kesejahteraan pengusaha telah memuat di

dalamnya dinamika semangat kepedulian terhadap lingkungan sosial

kemasyarakatan, kekerabatan dan kebersamaan, sikap perilaku investasi secara

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id · 1.1 Latar Belakang ... dalamnya dinamika semangat kepedulian terhadap lingkungan sosial kemasyarakatan, kekerabatan dan

2

individual yang concern dengan upaya memperkuat sumber daya lokal (Flora dan

Flora, 1997) yang memungkinkan terpeliharanya infrastruktur sosial secara

berkelanjutan.

Kajian tentang kesejahteraan masyarakat yang diperluas ke bidang kajian

non ekonomi, dinyatakan sebagai the quality of life (Westgate, 1996; Kamya,

2000). The quality of life dinyatakan memiliki dimensi religious well-being

(Tsung, 2002), serta memiliki komponen yang berkaitan dengan dimensi

kesehatan masyarakat, kondisi fisik dan sosial, serta faktor intelektualitas (Ellison

dan Smith, 1991; Chandler et al., 1992; Kamya, 2000).

Pengukuran tingkat kesejahteraan secara lebih holistik dapat diwujudkan

dengan memperkuat komunitas melalui pengembangan entrepreneurs social

infrastructure sebagaimana digagas oleh Flora dan Flora (1993), Thompson

(2008), serta Ridley et al. (2011), akan menjadi pondasi bagi penguatan nilai-nilai

sosial dan spiritual, karena spiritual well-being yang diuraikan sebagai komponen

non ekonomi, memahami dengan baik tujuan dan hakekat hidup, menselaraskan

diri untuk mencapai kebahagiaan dan pandangan bahwa hidup adalah

kompleksitas dari banyak tujuan (Adams, 2000).

Tsuang et al. (2002), menyatakan bahwa dimensi spiritual well-being

adalah berkaitan dengan life of satisfaction dan tingkat kesehatan mental dan

psikologis. Dengan demikian, berbeda dengan konsep pengukuran kesejahteraan

secara nominal, maka pendekatan kesejahteraan sebagaimana dikembangkan

sejumlah peneliti, antara lain Ellison dan Smith (1991), Chandler et al. (1992),

Wesgate (1996), Kamya (2000), serta Tsung (2002). Pada garis besarnya

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id · 1.1 Latar Belakang ... dalamnya dinamika semangat kepedulian terhadap lingkungan sosial kemasyarakatan, kekerabatan dan

3

memberikan panduan pengukuran tingkat kesejahteraan masyarakat secara lebih

holistik dengan memasukkan komponen non ekonomi sebagai pola pengukuran

kesejahteraan. Selanjutnya akan dipergunakan menjadi rujukan penelitian ini

dalam mengukur tingkat kesejahteraan pengrajin.

Bersamaan dengan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat

khususnya para pengusaha (pengrajin), maka peran pemerintah juga

dapat menjadi bagian yang menentukan dalam mendampingi dunia usaha,

memberikan fasilitas dan kebijakan pengembangan kinerja pasar pada

kelompok pengusaha yang bersangkutan. North (1990), menyatakan terdapat lima

fungsi kebijakan pemerintah dalam melakukan pendampingan kepada dunia

usaha, yaitu (a) fasilitas kebijakan pemerintah dalam pengembangan sumber daya,

(b) pendampingan pemerintah dalam penguatan teknologi yang lebih menghemat

biaya produksi, (c) peranan pemerintah dalam pemberdayaan organisasi dunia

usaha yang lebih efektif dan efisien dalam pengelolaan usaha, (d) peran

pemerintah dalam pengembangan mitra usaha dan bantuan pemasaran, dan (e)

daya saing produk dan pengembangan kelembagaan bisnis berkelanjutan.

Kemampuan pengrajin sangat terbatas untuk membangun kreativitas dan

inovasi yang diperlukan dalam pengembangan usaha. Dengan demikian, upaya

pengembangan inovasi menjadi kendala dalam membangun daya saing pengrajin.

Apalagi dengan diberlakukannya pembentukan pasar tunggal yang diistilahkan

dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang memungkinkan satu negara

menjual barang dan jasa dengan mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia

Tenggara sehingga kompetisi akan semakin ketat. Di sisi lain MEA dijadikan

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id · 1.1 Latar Belakang ... dalamnya dinamika semangat kepedulian terhadap lingkungan sosial kemasyarakatan, kekerabatan dan

4

sebagai kawasan yang memiliki perkembangan ekonomi yang merata, dengan

memprioritaskan pada Usaha Kecil Menengah (UKM). Kemampuan daya saing

dan dinamisme UKM akan ditingkatkan dengan memfasilitasi akses mereka

terhadap informasi terkini, kondisi pasar, pengembangan sumber daya manusia

dalam hal peningkatan kemampuan, keuangan, serta teknologi. Hadirnya ajang

MEA ini, UKM memiliki peluang untuk memanfaatkan keunggulan skala

ekonomi dalam negeri sebagai basis memperoleh keuntungan.

Pemerintah di berbagai negara memiliki kebijakan yang beragam dalam

memfasilitasi pengembangan inovasi untuk mendorong kemajuan usaha kecil

yang mencakup kebutuhan inovasi, bantuan pemerintah dalam rangka

pengembangan skill karyawan, serta upaya untuk membangun produktivitas

karyawan yang semakin berdaya saing (Chen dan Guan, 2012).

Cook et al. (2003), menyimpulkan bahwa kebijakan pemerintah menjadi

penentu dalam agenda pengembangan usaha kecil di banyak negara. Kebijakan

pemerintah juga menjadi pengendali arah perkembangan usaha kecil yang

berdampak kepada usaha bersangkutan, para konsumen pengguna produk serta

pihak lainnya (Herrera dan Nieto, 2008). Peranan pemerintah juga telah

berdampak secara nyata dan memberikan kontribusi pada basis kekuatan usaha

dan pembentukan kesejahteraan masyarakat (Wolff, 2002). Pemerintah di banyak

negara juga berperan, antara lain (1) mendorong pengembangan dan

pendampingan, (2) memberikan bantuan finansial, (3) regulasi untuk memproteksi

usaha, dan (4) kebijakan pemberdayaan (Mustar dan Laredo, 2002).

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id · 1.1 Latar Belakang ... dalamnya dinamika semangat kepedulian terhadap lingkungan sosial kemasyarakatan, kekerabatan dan

5

Instrumen kebijakan pemerintah sebagaimana disampaikan oleh North

(1990), Flora dan Flora (1993), Flora et al. (1997), Wolff (2002), Cook et al.

(2003), Emery dan Flora (2006) tentang pengembangan infrastruktur sosial; Van

de Ven dan Garud (1989) serta Wennekers dan Thurik (1999) tentang karakter

entrepreneur yang memicu pertumbuhan produksi dan lapangan kerja, adalah

komponen pendukung yang diharapkan dapat diintegrasikan dalam rangka

membangun penguatan dunia usaha menjadi semakin responsif terhadap pressure

yang terjadi, sehingga dunia usaha mampu mencapai tingkat produktivitas optimal

untuk mencapai tingkat keseimbangan baru, yaitu daya saing pasar produksi, yang

pada gilirannya membentuk pendapatan dan perluasan lapangan kerja.

Sebagaimana dinyatakan sebelumnya, bahwa instrumen kebijakan yang

diintegrasikan dalam rangka menciptakan kondisi dunia usaha yang responsif

terhadap effort sebagaimana digambarkan oleh Leibenstein (1977), maka

keberhasilan atas kinerja usaha untuk menjawab setiap pressure atas dinamika

pasar akan menciptakan nilai tambah dalam bentuk kesejahteraan pengusaha.

Terjaminnya keberlangsungan usaha menurut Flora dan Flora (1993), serta

Ashoka (2011), telah mengembangkan konsep teori entrepreneurs social

infrastructure meliputi tiga komponen, yaitu symbolic diversity, mobilization of

resources, dan network quality. Konsep rural community yang dikembangkan

Flora dan Flora lebih dimaksudkan sebagai konsep kelembagaan untuk

membangun kreativitas dan inovasi serta memelihara keberlanjutan inovasi yang

memungkinkan komunitas dapat mengelola daya saingnya. Pertama, symbolic

diversity adalah persepsi masyarakat lokal dalam membangun kesetaraan dan

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id · 1.1 Latar Belakang ... dalamnya dinamika semangat kepedulian terhadap lingkungan sosial kemasyarakatan, kekerabatan dan

6

kebersamaan untuk menghindari adanya perbedaan cara pandang, pendapat

bahkan aliran politik yang tidak sehaluan. Cara pandang individual yang menyatu

dengan komunitas adalah simbol masyarakat pedesaan yang perlu tetap

dipertahankan.

Dimensi kedua dari komponen entrepreneurs social infrastructure adalah

mobilization of resources, yang selalu mengupayakan tindakan individu untuk

memperbanyak sumber daya lokal untuk dimanfaatkan secara bersama.

Komunitas harus mencegah agar sumber daya tidak terkonsentrasi

kepemilikannya kepada sekelompok kecil masyarakat. Surplus atas sumber daya

dan meningkatnya pendapatan anggota komunitas menjadi kekuatan bagi

munculnya kreativitas dan inovasi baru yang akan menciptakan dorongan

daya saing.

Dimensi ketiga dari entrepreneurs social infrastructure dari Flora dan

Flora (1993), adalah network quality, yang akan menjadi penentu bagi terobosan

baru dalam mencapai kinerja pasar dan daya saing. Penguatan network community

dapat berupa nilai tambah information sharing, informasi tentang cara baru dalam

produksi, serta teknik pengelolaan manajemen usaha yang lebih efektif. Maka

penguatan social infrastructure adalah kunci bagi pengembangan entrepreneur

secara berkelanjutan.

Pengembangan social infrastructure dari Flora dan Flora (1993), diperkuat

oleh Flora et al. (1997), serta Emery dan Flora (2006). Pada tingkat kelembagaan

dengan lebih memfokuskan kepada organisasi formal kelembagaan, maka social

infrastructure yang mampu melahirkan dan mengembangkan secara berkelanjutan

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id · 1.1 Latar Belakang ... dalamnya dinamika semangat kepedulian terhadap lingkungan sosial kemasyarakatan, kekerabatan dan

7

entrepreneurs digagas oleh Van de Ven dan Garud (1989). Berbeda dengan

pendekatan Flora dan Flora (1993), maka pendekatan kelembagaan Van de Ven

dan Garud (1989), lebih terfokus kepada pembentukan organisasi formal yang

dapat membedakan dengan jelas pilar organisasi dalam rangka pengembangan

entrepreneurs berkelanjutan (Defourny dan Nyssens, 2008).

Penguatan infrastructure social yang dapat menjamin semakin

berkembangnya kualitas entrepreneur melalui rekomendasi teori yang digagas

oleh Flora dan Flora (1993), dilanjutkan oleh Flora et al. (1997), serta Emery dan

Flora (2006). Wennekers dan Thurik (1999), yang mengkaji peran entrepreneur

sebagai penggerak inovasi dan kreativitas usaha menuju daya saing, adalah

instrumen kebijakan yang dapat difungsikan dalam rangka membangun daya

saing yang menghemat biaya produksi dan peningkatan produktivitas.

Schumpeter (1934) adalah penggagas pertama tentang peranan

entrepreneurs terhadap pembangunan ekonomi, di mana peran nyata dari

entrepreneurs adalah bertindak sebagai innovator dalam rangka menggerakkan

produksi dan investasi. Wennekers dan Thurik (1999), menyajikan peran

entrepreneurs sebagai penggerak inovasi dan kreativitas dalam pengembangan

industri yang sarat dengan resiko bisnis, kepemilikan usaha dari perusahaan dan

menggerakkannya dalam rangka menghasilkan laba usaha, perluasan lapangan

kerja, serta pada gilirannya menggerakan pembangunan ekonomi secara

keseluruhan.

Keberadaan entrepreneurs sebagai penggerak pertumbuhan industri dan

investasi tidak sama di semua negara atau wilayah. Baumol (1993) menyatakan

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id · 1.1 Latar Belakang ... dalamnya dinamika semangat kepedulian terhadap lingkungan sosial kemasyarakatan, kekerabatan dan

8

bahwa total ketersediaan kebutuhan entrepreneurs yang berbeda di berbagai

daerah menjadi salah satu sumber penyebab perbedaan dalam tingkat

pertumbuhan industri, investasi dan perdagangan. Perkembangan krisis ekonomi

dan gejolak inflasi global tahun 1970-an telah merubah strategi persaingan pasar

melalui sejumlah langkah inovatif para entrepreneurs yang cenderung melakukan

perubahan dengan menggeser teknologi perusahaan besar menjadi unit

operasional yang lebih fleksibel, sehingga menjadi lebih lentur dalam upaya

menyesuaikan diri dengan perkembangan selera konsumen.

Carlson (1992) menjelaskan setidaknya terdapat dua faktor yang merubah

pendekatan perusahaan besar ke perusahaan kecil. Pertama, bahwa kondisi

persaingan global sebagai akibat krisis ekonomi yang disertai dengan berbagai

ketidak-pastian. Kedua, terdapatnya perubahan struktur pasar dan kemajuan

teknologi yang dapat dengan mudah menyesuaikan perubahan selera konsumen

dan arah persaingan pasar yang sangat cepat.

Piere dan Sable (1984) menyatakan bahwa krisis ekonomi dan

ketidakpastian pasar global telah merubah strategi entrepreneurs dari pendekatan

mass production kepada pendekatan produksi yang bersifat lebih mudah berubah

(flexibility). Maka, keberhasilan sejumlah entrepeneur dalam merubah strategi

mencapai pangsa pasar, adalah proses dari aktivitas inovasi dan pengendalian

resiko bisnis para entrepeneurs yang berhasil menggerakkan industri dan

perdagangan di sejumlah negara, dan gagal mencapai kinerja terbaik pada

sejumlah negara lain yang tidak memiliki ketersediaan entrepereneur secara

memadai untuk merubah pola pendekatan produksi dari mass production ke

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id · 1.1 Latar Belakang ... dalamnya dinamika semangat kepedulian terhadap lingkungan sosial kemasyarakatan, kekerabatan dan

9

bentuk perusahaan kecil yang lebih mampu mengembangkan produk baru secara

lebih fleksibel sesuai dengan kebutuhan pasar dan persaingan.

Pengrajin adalah pengusaha sekaligus produsen yang bertindak atas

kepentingan dirinya untuk membangun produksi dan memasarkannya, sehingga

keberhasilan dalam pengelolaan usaha tidak dapat dilepaskan dari komponen

entrepreneur. Konsep entrepreneur digagas oleh Miler (1983), yang memuat

didalamnya tiga komponen perilaku yang dimiliki oleh seorang pengusaha, antara

lain (1) sikap risk-taking, (2) sikap proactive dalam mendapatkan segmen pasar,

serta (3) sikap inovatif dan kreatif dalam pengembangan produksi.

Berkembangnya kepustakaan di bidang pengelolaan produksi dan

entrepreneurship, Lumpkin dan Dess (1996) menyimpulkan bahwa setiap

pengusaha yang ingin berhasil dalam membangun kegiatan usaha, setidaknya

memiliki orientasi dalam pengelolaan usaha yang dapat membangun nilai usaha

untuk semakin dikenal oleh publik. Miller dan Friesen (1982) mengindentifikasi

tiga komponen yang akan membangun sukses perusahaan mendapatkan pangsa

pasar pelanggan, yaitu (a) keinginan kuat bagi pengusaha untuk mengembangkan

product innovation, (b) bertindak untuk menghadapi resiko atas produk baru yang

dikembangkan, serta (c) menetapkan langkah proactive untuk mengambil peluang

mendapatkan segmen pasar yang baru.

Freiling dan Schelhowe (2014) mengembangkan konsep pengukuran

entrepreneurship yang bersumber dari Miller (1983), tetapi dengan perluasan

konsep menjadi empat komponen, yaitu (a) inovasi, (b) arbitrage, (c)

coordination, dan (d) resiko usaha. Dalam rangka pengukuran keberhasilan

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id · 1.1 Latar Belakang ... dalamnya dinamika semangat kepedulian terhadap lingkungan sosial kemasyarakatan, kekerabatan dan

10

pengusaha pengrajin yang diteliti, penelitian ini merujuk kepada Freiling dan

Schelhowe (2014), serta mengkombinasikan entrepreneurship dari Miller (1983),

Covin dan Slevin (1991), Lumpkin dan Dess (1996), untuk mengkonstruksi pola

karakter entrepreneurial pengusaha pengrajin.

Konsep pendekatan strategi entrepreneur dalam menggerakkan

pertumbuhan produksi dan investasi adalah menjadi penting untuk dikaji dan

diperluas jumlah pengadaannya sebagai upaya menggerakkan produksi. Flora et

al. (1997) menyatakan bahwa keberlangsungan pengadaan entrepreneur secara

berkesinambungan dapat dilakukan dengan menata sistem sosial kemasyarakatan

sebagai sumber yang dapat memberikan jaminan bagi lahirnya entrepreneur baru

dan keberlanjutan kinerja para entrepreneur dalam rangka memenuhi kebutuhan

sektor industri dan investasi untuk mampu bersaing di tingkat pasar global,

berdasarkan kondisi keunggulan sumberdaya di tingkat lokal (local to global

market). Konsep tentang strategi pengembangan entrepreneur melalui

pemahaman kondisi sosial kemasyarakatan juga banyak dibahas, antara lain oleh

Alvord et al. (2004) dan Kao (2013).

Leibenstein (1977) mengembangkan konsep teori daya saing melalui

pengembangan teori x-Efficiency, yang menyatakan bahwa teori neo-klasik

tentang efisiensi tidak pernah tercapai dalam dunia nyata. Teori x-Efficiency

menyatakan bahwa efisiensi yang dicapai pada dunia nyata tidak tercapai, karena

pressure yang terjadi ditanggapi oleh manusia sebagai faktor produksi yang

memiliki kepekaan yang berbeda-beda. Berbeda dari lingkungan komunitas

pengusaha di satu negara dengan komunitas pengusaha negara lainnya.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id · 1.1 Latar Belakang ... dalamnya dinamika semangat kepedulian terhadap lingkungan sosial kemasyarakatan, kekerabatan dan

11

Komunitas dunia usaha dinyatakan menghadapi inertial cost, yaitu kondisi

pressure yang tidak berhasil di respon oleh dunia usaha karena berbagai sebab,

sehingga tidak menghasilkan perubahan apapun atas kinerja produksi. Pressure

tidak ditanggapi sebagai effort yang menurunkan fungsi biaya usaha dan

menghasilkan produktivitas lebih tinggi. Efisiensi pengelolaan usaha tidak dapat

diwujudkan, karena berbagai penyebab. Pertama, pressure yang berkembang dari

dinamika permintaan pasar tidak mendapat tanggapan berupa effort, disebabkan

oleh kondisi dunia usaha yang telah mencapai tingkat kesejahteraan tertentu,

sehingga insentif ekonomi yang ditawarkan tidak memberikan daya tarik yang

cukup untuk ditanggapi (backward bending of supply curve). Kedua, bahwa

pressure yang terbentuk dari dinamika pasar tidak dapat ditanggapi sebagai effort

karena keterbatasan sumber daya yang tersedia untuk mengelola dan memberikan

respon pada dinamika pressure tersebut.

Teori x-Efficiency menyajikan ruang bagi dunia usaha untuk

menggerakkan produksinya mencapai tingkat optimalnya. Berdasarkan kondisi

pressure yang digerakkan baik oleh pasar regional maupun pasar global,

seharusnya dunia usaha dapat memanfaatkan pressure sebagai peluang usaha

dalam rangka peningkatan kesejahteraan pegusaha bersangkutan.

Pengembangan infrastruktur sosial beserta upaya pendampingan

pemerintah menjadi relevan di kedepankan sebagai upaya untuk membangun

kesiapan dunia usaha dalam menjawab tantangan (pressure) sebagai akibat dari

dinamika pasar regional dan global tersebut. Keberhasilan menjawab setiap

pressure yang berkembang dari dinamika pasar akan membawa pada kondisi low

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id · 1.1 Latar Belakang ... dalamnya dinamika semangat kepedulian terhadap lingkungan sosial kemasyarakatan, kekerabatan dan

12

cost dan peningkatan produktivitas untuk mencapai nation competitiveness

(Porter, 1990).

Peningkatan sumber daya yang mampu bersaing, memerlukan pemahaman

tentang kualitas sumberdaya yang menjadi pendukung kegiatan usaha

bersangkutan. Sumberdaya bersaing ditentukan oleh faktor demografik dan faktor

ekonomi. Faktor demografik, meliputi antara lain yaitu (a) usia, (b) status sosial,

(c) tingkat pengetahuan, dan (d) diversifikasi mata pencaharian. Sedangkan

sumber daya bersaing yang ditentukan oleh faktor ekonomi (a) peluang

kesempatan kerja, (b) budaya kerja, kondisi ekonomi rumah tangga, serta (c)

indeks kesehatan relatif (Chang, 2007).

Peneliti lainnya, Hayes (2007) menyimpulkan paling sedikit terdapat

delapan dimensi yang menentukan kualitas sumber daya bersaing di masa

depan, dimana perubahan pasar global yang semakin cepat dan dinamis

memerlukan dukungan sumber daya perusahaan yang tanggap dan responsive

terhadap perubahan dinamika pasar dan persaingan usaha, sehingga

diperlukan pengembangan sumber daya yang semakin berkualitas, yaitu antara

lain (1) adalah kemampuan pengusaha dalam mengelola team work dan

kerja sama; (2) kemampuan pengusaha untuk membangun strategi mencapai

tujuan; (3) kemampuan pengusaha untuk membuka komunikasi dengan mitra

usaha; (4) kemampuan pengusaha untuk menetapkan sasaran pekerjaan yang

berorientasi mutu; (5) upaya untuk membangun nilai tambah organisasi; (6)

membangun pelayanan kepada pelanggan; (7) membangun integritas usaha untuk

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id · 1.1 Latar Belakang ... dalamnya dinamika semangat kepedulian terhadap lingkungan sosial kemasyarakatan, kekerabatan dan

13

menciptakan trust; serta (8) kegiatan pengembangan teknik dan keterampilan

professional knowledge.

Berbeda dengan Chang (2007) dan Hayes (2007) yang menggali pustaka

untuk menyajikan kompetensi sumber daya bersaing, maka peneliti lainnya, Khan

(2014) menyajikan sejumlah kendala yang dapat menghambat terwujudnya

sumber daya bersaing dalam rangka mendapatkan perluasan pasar dan

pengembangan potensi produksi, antara lain dinyatakan pada lima komponen

yang dapat menghambat potensi sumber daya untuk berkembang mencapai daya

saing mereka secara optimal, yaitu (1) kendala pengusaha dalam membangun

relasi interpersonal; (2) keterbatasan sumber daya dalam membangun team work

yang diperlukan pada organisasi usaha; (3) kendala perencanaan dan keterbatasan

menggerakkan usaha mencapai sasaran yang diinginkan; (4) keterbatasan

pengusaha menyesuaikan kebijakan pada masa transisi dengan perubahan yang

semakin cepat dan dinamis; serta (5) kendala pengelola usaha yang lebih terikat

pada visi jangka pendek.

Sebagaimana dinyatakan sebelumnya bahwa instrumen kebijakan yang

diintegrasikan dalam rangka menciptakan kondisi dunia usaha yang responsif

terhadap effort sebagaimana digambarkan oleh Leibenstein (1977) dan aplikasinya

oleh Thomas (2004), maka keberhasilan atas kinerja usaha untuk menjawab setiap

pressure atas diamika pasar akan menciptakan nilai tambah dalam bentuk

kesejahteraan pengusaha. Ketika keberhasilan dunia usaha telah mencapai kinerja

low cost dan produkvitas yang membentuk kesejahteraan pengusaha tercapai,

maka sangatlah penting untuk membangun dunia usaha agar menjadi kekuatan

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id · 1.1 Latar Belakang ... dalamnya dinamika semangat kepedulian terhadap lingkungan sosial kemasyarakatan, kekerabatan dan

14

bisnis yang mampu mewujudkan daya saing berkelanjutan. Sehubungan dengan

strategi untuk membangun dunia usaha selalu siap dalam menghadapi setiap

gejolak permintaan pasar, maka pola pengukuran pendapatan tidak semata diukur

secara nominal, tetapi juga dilakukan pengukuran non ekonomi. Empat dimensi

yang dijadikan pengukuran untuk mendapatkan pola kesejahteraan pengrajin

adalah (1) sense of material well-being), (2) community well-being, (3) spiritual

well-being, serta (4) healthy dan safety (Kamya, 2000; Tsung, 2002; dan Kim et

al., 2008).

Salah satu dari tujuan utama pembangunan adalah mewujudkan

kesejahteraan masyarakat yang adil dan merata. Friendmann (dalam Effendi,

2000) menjelaskan bahwa strategi yang dapat dikembangkan untuk mendukung

tercapainya sasaran pembangunan yang berorientasi pada kerakyatan adalah

meningkatkan dan memperluas kegiatan usaha-usaha berbasis komunitas

(community enterprises). Dimana selama ini kegiatan usaha-usaha masyarakat

tersebut telah eksis dalam masyarakat dan memberikan sumbangan yang cukup

berarti bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Adapun kegiatan usaha-usaha

berbasis komunitas tersebut antara lain: usaha industri kecil kerajinan tas dan

koper di Tanggulangin-Sidoarjo, dan usaha industri kerajinan perak di Desa

Celuk-Gianyar. Selama krisis ekonomi melanda Indonesia, kegiatan industri kecil

tersebut tampaknya mampu bertahan dan menjadi sumber penghasilan andalan

masyarakat.

Keberadaan kegiatan atau usaha industri kecil dapat menjadi sumber

penghasilan andalan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari peranan industri kecil

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id · 1.1 Latar Belakang ... dalamnya dinamika semangat kepedulian terhadap lingkungan sosial kemasyarakatan, kekerabatan dan

15

dalam perekonomian nasional yang cukup diperhitungkan, dimana sektor industri

kecil menurut Thoha (2000) dapat menjadi sabuk pengaman (savety belt) bagi

masalah-masalah sosial ekonomi seperti penyediaan peluang kerja, penampung

terakhir tenaga-tenaga kerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), dan

sebagainya. Senada dengan itu, menurut Rustani (1996) masih ada beberapa

kekuatan atau keunggulan yang dimiliki oleh industri kecil, yaitu: 1) Penyedia

lapangan kerja, 2) Penyedia barang-barang murah untuk dikonsumsi rakyat, 3)

Efisiensi dan fleksibelitasnya terbukti menjadi kekuatan yang mampu

membuatnya tetap bertahan hidup, dan 4) Industri kecil sebagai sumber penghasil

wirausahawan baru.

Melihat besarnya peranan industri kecil dalam pembangunan ekonomi

Indonesia, untuk itu menurut Soetrisno (1997) mengemukakan bahwa pemerintah

seharusnya berhenti melihat sektor industri kecil sebagai buffer sector yaitu sektor

ekonomi yang berfungsi sebagai penangkal krisis saja dan seharusnya sektor

industri kecil diberlakukan sebagai sektor yang mandiri seperti sektor pertanian,

sehingga dengan demikian sektor ini harus memperoleh perhatian yang sama

dengan sektor-sektor ekonomi lainnya. Dalam hal ini industri kecil telah

menunjukkan kinerja yang mengesankan, padahal selama ini praktis mereka tidak

memperoleh perlindungan sebagaimana dinikmati industri besar dalam berbagai

bentuk proteksi. Dengan demikian peranan industri kecil sebagai penyerap tenaga

kerja yang terbesar, semakin menunjukkan bahwa memang industri

kecil/pengusaha yang relatif lemah perlu memperoleh perhatian yang lebih besar

dalam rangka pembinaannya.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id · 1.1 Latar Belakang ... dalamnya dinamika semangat kepedulian terhadap lingkungan sosial kemasyarakatan, kekerabatan dan

16

Berdasarkan fenomena kecenderungan meningkatnya peran usaha/industri

kecil, maka sudah selayaknya sektor ini memperoleh pembinaan dan masih

banyak yang perlu dilakukan untuk memajukan sektor industri kecil, seperti

diantaranya adalah pemihakkan yang sungguh-sungguh dari pemerintah untuk

sektor ini masih sangat diperlukan dan ditingkatkan. Dengan keberpihakan

pemerintah kepada ekonomi masyarakat dalam pembangunan nasional dapat

diwujudkan pembangunan yang memprioritaskan, mengembangkan dan

memberdayakan ekonomi lemah (skala kecil dan menengah).

Adapun kebijakan tentang UKM secara formal dituangkan dalam Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

Secara lebih teknis tercantum dalam PP Nomor 17 Tahun 2013 tentang

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil,

dan Menengah. Jelas disebutkan secara formal bahwa pemerintah dan pemerintah

daerah sesuai dengan kewenangannya menyelenggarakan pemberdayaan Usaha

Mikro, Kecil, dan Menengah. Pemberdayaan tersebut dilakukan dengan

pengembangan usaha, kemitraan, perizinan, serta koordinasi dan pengendalian.

Dengan demikian pemerintah telah menunjukkan kemauan politik dan komitmen

yang cukup untuk mengembangkan industri kecil dan semua program tersebut

bersifat memberdayakan (empowering) lapisan masyarakat kecil atau

usaha/industri kecil.

Begitu banyaknya program pemerintah untuk memberdayakan usaha/

industri kecil, namun dalam pelaksanaannya masih menjumpai sejumlah

permasalahan yang menyebabkan tujuan dari upaya-upaya tersebut tidak tercapai

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id · 1.1 Latar Belakang ... dalamnya dinamika semangat kepedulian terhadap lingkungan sosial kemasyarakatan, kekerabatan dan

17

secara optimal. Menurut Basri (1997), untuk mewujudkan tujuan tersebut ini

sangat dipengaruhi oleh definisi atau istilah atau sebutan dan kriteria yang amat

beragam bagi industri kecil (kelompok lemah) ini, serta berbagai program yang

diluncurkan tersebut cenderung saling tumpang tindih, menyebabkan alokasi dana

bagi pengembangan usaha kecil tidak optimal dan kurang efektif mencapai

sasarannya.

Program-program pemerintah tersebut masih memiliki beberapa

kelemahan. Beberapa kelemahan tersebut menurut Thoha (2000), salah satu di

antaranya adalah pengembangan industri kecil masih menggunakan pendekatan

yang parsial, terutama hanya dari aspek permodalan dan atau pelatihan teknis saja,

padahal masalah utama yang dihadapi oleh industri kecil yang terutama adalah

lemahnya kemampuan kewirausahaan, oleh karena itu pendekatan dari aspek

permodalan saja dan atau aspek teknis saja seringkali tidak mampu mengangkat

kemampuan industri kecil untuk meningkatkan skala usahanya.

Potensi sektor industri khususnya industri kecil dalam pembangunan

pedesaan, di daerah Bali memiliki potensi seni budaya dan kreativitas masyarakat

yang cukup tinggi di bidang kerajinan. Di samping itu perkembangan industri

kecil cukup pesat sejajar dengan pesatnya perkembangan industri pariwisata yang

membuka peluang pasar baik pasar lokal maupun internasional. Sementara itu

potensi wisata Kabupaten Badung yang cukup menarik adalah wisata pantainya

yang cukup indah dengan sendirinya mengundang kedatangan para wisatawan,

sehingga dengan demikian dapat mendorong tumbuhnya usaha industri kerajinan

ukiran kayu dan industri kerajinan ataupun usaha-usaha lainnya.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id · 1.1 Latar Belakang ... dalamnya dinamika semangat kepedulian terhadap lingkungan sosial kemasyarakatan, kekerabatan dan

18

Penelitian ini menetapkan fokus penelitian pada wilayah Kabupaten

Badung, yaitu untuk mengkaji dan mengintegrasikan semua potensi sumberdaya

industri kerajinan yang ada di wilayah Badung untuk dikembangkan dalam rangka

meningkatkan kesejahteraan pengrajin pada khususnya dan masyarakat Kabupaten

Badung pada umumnya. Salah satu sumber kesejahteraan pengrajin dapat dilihat

dari pendapatan yang dihasilkan dari usahanya di bidang industri hasil kerajinan.

Untuk megetahui kinerja usaha produk hasil kerajinan dapat dilihat melalui

perdagangan ekspor non migas karena salah satu komoditi ekspor non migas

adalah industri hasil kerajinan. Data yang dipetik dari Badan Pusat Statistik

menunjukkan bahwa nilai ekspor non migas Indonesia pada kurun waktu tahun

2009 sampai degan 2015 mencapai puncaknya di tahun 2011 selanjutnya terus

menurun sampai tahun 2015. Nilai ekspor non migas Indonesia pada tahun 2009

sebesar US$ 97.491,7 juta, tahun 2010 sebesar US$ 129.739,5 juta, tahun 2011

sebesar US$ 162.019,6 juta, tahun 2012 sebesar US$ 153.043,0 juta, tahun 2013

sebesar US$ 149 918,8 juta, tahun 2014 sebesar US$ 145 961,2 juta, dan tahun

2015 sebsar US$ 131 791,9 juta. Demikian pula ekspor non migas di Provinsi

Bali dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2015 mengalami penurunan mulai

tahun 2011 sampai tahun 2015. Nilai ekspor non migas Provinsi Bali tahun 2010

sebesar US$ 372,0 juta, tahun 2011 sebesar US$ 356,0 juta, tahun 2012 sebesar

US$ 347,0 juta, tahun 2013 sebesar US$ 327,0 juta, tahun 2014 sebesar US$

298,0 juta, dan tahun 2015 sebsar US$ 254,0 juta.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id · 1.1 Latar Belakang ... dalamnya dinamika semangat kepedulian terhadap lingkungan sosial kemasyarakatan, kekerabatan dan

19

Selanjutnya jika dilihat dari kinerja ekspor produk kerajinan di wilayah

Kabupaten Badung dalam 4 (empat) tahun terakhir, maka tampak bahwa

perdagangan ekspor non migas telah mengalami penurunan tajam sebagaimana

tersajikan pada Gambar 1.1.

Gambar 1.1

Perkembangan Nilai Ekspor Non Migas Kabupaten Badung, 2009-2015

Sumber: BPS Kabupaten Badung, 2015

Data menunjukkan bahwa ekspor non migas baik di Indonesia, di Provinsi

Bali maupun di Kabupaten Badung dalam kurun waktu empat tahun terakhir terus

mengalami penurunan yang walaupun besaran penurunannya bervariasi.

Penurunan ekspor non migas juga mencerminkan penurunan ekspor produk hasil

kerajinan begitu pula di Kabupaten Badung, karena sebagian besar komoditi

ekspor non migas Kabupaten Badung terdiri dari produk hasil kerajinan.

Berdasarkan kajian data pada Gambar 1.1 tampak bahwa ekspor non migas

(termasuk di dalamnya hasil kerajinan) telah mengalami penurunan pertumbuhan,

terutama pada tahun 2011 terjadi penurunan yang cukup tajam dan berlanjut

mengalami penurunan sampai tahun 2015 ini Penurunan ini terjadi disebabkan

karena kinerja usaha kerajinan belum optimal sebagai akibat tidak terjadinya

effort yang memadai dari pengusaha ketika terjadi pressure dari pasar global yang

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id · 1.1 Latar Belakang ... dalamnya dinamika semangat kepedulian terhadap lingkungan sosial kemasyarakatan, kekerabatan dan

20

ditunjukkan dengan kondisi belum tercapainya efisiensi yang optimal dari

sumberdaya dunia usaha dalam menanggapi pressure dinamika pasar, sehingga

dunia usaha tidak dapat mencapai daya saing yang diperlukan.

Nilai total ekspor non migas Kabupaten Badung pada Tahun 2014 sebesar

US$ 63.675.447,62. Kontribusi terbesar diberikan oleh komoditi hasil kerajinan

yaitu US$ 32.409.884,02 (50,90 persen) disusul komoditi hasil industri sebesar

US$ 27.177.767,97 (42,68 persen), sedangkan komoditi hasil pertanian

memberikan kontribusi sebesar US$ 3.564.365,9 (5,6 persen), komoditi hasil

perkebunan sebesar US$ 440.092,78 (0,69 persen) dan komoditi lainnya sebesar

US$ 83.336,95 (0,13 persen) sebagaimana tersajikan pada Gambar 1.2.

Gambar 1.2

Pengelompokkan Potensi Industi Kabupaten Badung Tahun 2014

Sumber: BPS Kabupaten Badung, 2015

Hal ini dapat dikatakan bahwa, sebagian besar ekspor non migas di

Kabupaten Badung berasal dari komoditi hasil kerajinan yang apabila tidak

dikelola dengan baik akan berpengaruh besar terhadap nilai ekspor khususnya non

migas. Oleh karenanya, perlu mendapat perhatian dan penanganan dari

pemerintah selain usaha dari pengusaha itu sendiri. Hal ini pula menjadi dorongan

akan ketertarikan peneliti untuk melakukan penelitian.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id · 1.1 Latar Belakang ... dalamnya dinamika semangat kepedulian terhadap lingkungan sosial kemasyarakatan, kekerabatan dan

21

Potensi ekonomi dan sosial masyarakat pengusaha kerajinan, termasuk

dalam katagori usaha kecil dan menengah, yang memiliki pangsa pasar global

yaitu bersumber dari pasar pariwisata internasional yang berkembang di daerah

pusat tujuan wisata internasional di wilayah Badung Selatan dan Kota Denpasar,

serta sebagian wilayah Ubud, Gianyar.

Berdasarkan Gambar 1.2 bahwa di wilayah Badung terdapat sebanyak

50,90 persen komoditi hasil kerajinan, sehingga menjadi relevan untuk ditelusuri

dan dipolakan model teoritik dalam rangka mendorong peningkatan kinerja dan

perluasan segmen pasar internasional atas hasil kerajinan tersebut. Diharapkan

pada nantinya dapat mencapai kinerja usaha seperti tahun 2011 dan bahkan

dimungkinkan untuk mencapai kinerja usaha yang melebihi capaian tahun 2011.

Tabel 1.1

Perkembangan Ekspor Non Migas Kabupaten Badung

dan Indikator Pendukung Kinerja Ekspor

Tahun 2011-2014

KEGIATAN TAHUN

2011 2012 2013 2014

Ekspor Non Migas (US$) 132.796.094,68 62.094.645,50 59.063.996,05 63.675.447,62

Hasil Kerajinan(US$) 44.090.259,18

33,20 %

27.098.103,3

43,64 %

28.019.959,7

47,44 %

32.410.802,8

50,90%

PDRB perkapita (Rp) 29,245,000 47.306.000 53.973.000 61.495.000

Pertumbuhan Ekonomi (%) 7,07 7,64 6,82 6,97

Kredit MKM (Bidang

Industri)

125.678.000.000 164.610.000.000 168.141.000.000 213.090.000.000

Pengunaannya :

Modal Kerja 1.478.226.000 2.307.257.000 329.042.000 3.557.292.000

Investasi 5.622.000 1.101.964.000 899.193.000 2.306.288.000

Konsumsi - - 2.783.274.000 -

PINJAMAN PERBANKAN 211.686.000.000 230.948.000.000 254.567.000.000 321.166.000.000

Penggunaannya :

Modal Kerja 2.416.030.000 4.456.693.000 4.876.433.000 6.916.344.000

Investasi 2.758.746.000 4.547.397.000 7.623.042.000 10.153.712.000

Konsumsi 2.464.726.000 3.399.402.000 4.236.404.000 5.330.238.000

Sumber: BPS Kabupaten Badung, 2015

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id · 1.1 Latar Belakang ... dalamnya dinamika semangat kepedulian terhadap lingkungan sosial kemasyarakatan, kekerabatan dan

22

Berdasarkan data yang tersajikan pada Tabel 1.1, ternyata penurunan

pangsa pasar ekspor kerajinan mulai tampak pada tahun 2013, yang juga

ditunjukkan oleh penurunan penyerapan pinjaman untuk modal kerja dari tahun

2012 sebesar Rp 2.307.257.000,- menjadi Rp 329, 042,000,-. Penurunan daya

serap kridit MKM hasil kerajinan tampak jelas berkaitan dengan kinerja pangsa

pasar ekspor. Searah dengan penurunan ekspor hasil kerajinan tersebut, kridit

MKM untuk usaha kerajinan dalam rangka investasi juga mengalami penurunan

dari tercatat sebanyak Rp 1,101,964,000,- pada tahun 2012, turun menjadi

Rp 899,193,000 pada tahun 2013.

Berdasarkan latar belakang kondisi hasil kerajinan tersebut, serta

relevansinya dengan rujukan pustaka yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti

tertarik untuk mengadakan penelitian ini dengan merumuskan research problem

sekaligus juga berusaha menetapkan model pemecahan masalah yang dijabarkan

sebagai keterbaharuan disertasi ini. Research problems yang dirumuskan adalah

bahwa kinerja usaha kerajinan belum optimal yang menyebabkan telah terjadinya

penurunan perdagangan ekspor produk hasil kerajinan dalam empat tahun terakhir

ini yang berakibat pada kesejahteraan pengrajin itu sendiri. Penurunan

perdagangan ekspor produk hasil kerajinan ini berakibat pada penurunan

kesejahteraan pengrajin.

Kinerja yang tidak optimal disebabkan oleh tidak terjadinya effort yang

memadai dari pengrajin ketika terjadi pressure dari pasar global sebagaimana

dirujuk dari Leibenstein dan Maital (1992). Kinerja yang tidak optimal

digambarkan oleh kondisi belum tercapainya efisiensi yang optimal dari

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id · 1.1 Latar Belakang ... dalamnya dinamika semangat kepedulian terhadap lingkungan sosial kemasyarakatan, kekerabatan dan

23

sumberdaya dunia usaha dalam menanggapi pressure dinamika pasar, merujuk

pada teori x-Efficiency Leibenstein dan Maital (1992), sehingga dunia usaha tidak

dapat mencapai daya saing yang diperlukan, serta juga pada gilirannya belum

terbentuk kesejahteraan yang dapat mendorong penguatan inovasi dan kreativitas

produksi. Hal ini diperkuat dengan hasil survey pendahuluan terhadap pengrajin

yang menyatakan bahwa banyak pesanan produk, tuntutan selera

konsumen/pelanggan, dan peluang pasar yang tidak dapat dipenuhi dan

dimanfaatkan oleh pengrajin itu sendiri. Seperti contohnya pengrajin kayu limbah

atas nama Gst. Ngurah Suta, alamat Banjar Gunung, Desa Abiansemal, pernah

menerima pesanan sebanyak 150 pcs hanya mampu dipenuhi sebanyak 100 pcs

diakibatkan bahan baku untuk produk yang dihasilkan terbatas. Begitu pula yang

dialami oleh pengrajin Furniture atas nama Putu Sutapa, alamat Desa Angantara,

Kecamatan Abiansemal hanya mampu memenuhi pesanan sebanyak 40 pcs dari

seluruh pesanan yang ada sebanyak 78 pcs akibat keterbatasan bahan baku.

Demikian pula halnya dengan pengrajin lainnya seperti kerajinan uang kepeng di

Mengwi, kerajinan perak di Bongkasa Pertiwi, Abiansemal dan beberapa

pengrajin lainnya di Kabupaten Badung yang rata-rata mengalami permasalahan

menyangkut ketersediaan bahan baku dan sebagaian kecil masalah ketersediaan

jumlah tenaga kerja. Dalam rangka menjawab dan mendapatkan pemecahan atas

permasalahan sumber daya dunia usaha, maka keterbaharuan dari penelitian ini

adalah dengan mengkondisikan entrepreneurs social infrastructure sebagai

fondasi sosial-ekonomi kemasyarakatan merujuk dari Flora dan Flora (1993),

Flora et al. (1997), Mair dan Marti (2004), Haugh (2005), Emery dan Flora

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id · 1.1 Latar Belakang ... dalamnya dinamika semangat kepedulian terhadap lingkungan sosial kemasyarakatan, kekerabatan dan

24

(2006), Meutia (2013), dimana komunitas masyarakat pedesaan atau yang

memiliki latar belakang agraris, bermukim pada suatu wilayah secara turun-

temurun, memiliki kedekatan antar pribadi sangat kuat (symbolic diversity),

menjadi pengelola sumber daya yang mengutamakan surplus sumberdaya lokal,

(mobilization of resources) serta telah menjalin network di antara mereka secara

berkelanjutan.

Keterbaharuan studi ini adalah menyusun sebuah framework, yaitu model

penelitian yang berfokus pada pengembangan entrepreneur social infrastructure

sebagaimana digagas oleh Van de Ven dan Garud (1989), Flora dan Flora (1993),

Flora et al. (1997), Tan dan Tan (2005), Emery dan Flora (2006), Koo (2013),

serta Burkett (2014). Keterbaharuan berikutnya, adalah pengembangan

pengukuran tingkat kesejahteraan secara lebih holistik dengan menyertakan

pengukuran faktor ekonomi dan non ekonomi merujuk pada Tsung et al. (2002),

tentang dimensi spiritual well-being yang dikaitkan dengan life of satisfaction dan

tingkat kesehatan mental dan psikologis. Dengan demikian, berbeda dengan

konsep pengukuran kesejahteraan secara nominal, maka pendekatan

kesejahteraan non ekonomi juga dikembangkan sejumlah peneliti antara lain

Ellison dan Smith (1991), Chandler et al. (1992), Wesgate (1996), Kamya,

(2000), dan Tsung et al. (2002).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan research problems dan rancangan keterbaharuan disertasi

yang telah disampaikan di atas, maka rumusan masalah penelitian dapat

dijabarkan, sebagai berikut.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id · 1.1 Latar Belakang ... dalamnya dinamika semangat kepedulian terhadap lingkungan sosial kemasyarakatan, kekerabatan dan

25

1) Bagaimanakah pengaruh kebijakan pemerintah terhadap infrastruktur sosial

pada industri kerajinan di Kabupaten Badung?

2) Bagaimanakah pengaruh kebijakan pemerintah dan infrastruktur sosial

terhadap kewirausahaan pada industri kerajinan di Kabupaten Badung?

3) Bagaimanakah pengaruh kebijakan pemerintah, infrastruktur sosial, dan

kewirausahaan terhadap sumber daya bersaing pada industri kerajinan di

Kabupaten Badung?

4) Bagaimanakah pengaruh kebijakan pemerintah, infrastruktur sosial,

kewirausahaan dan sumber daya bersaing terhadap kesejahteraan pengrajin

pada industri kerajinan di Kabupaten Badung?

5) Bagaimanakah pengaruh kebijakan pemerintah terhadap kewirausahaan

melalui infrastruktur sosial pada industri kerajinan di Kabupaten Badung?

6) Bagaimanakah pengaruh kebijakan pemerintah terhadap sumber daya bersaing

melalui infrastruktur sosial dan kewirausahaan pada industri kerajinan di

Kabupaten Badung?

7) Bagaimanakah pengaruh kebijakan pemerintah terhadap kesejahteraan

pengrajin melalui infrastruktur sosial, kewirausahaan, dan sumber daya

bersaing pada industri kerajinan di Kabupaten Badung?

8) Bagaimanakah pengaruh infrastruktur sosial terhadap sumber daya bersaing

melalui kewirausahaan pada industri kerajinan di Kabupaten Badung?

9) Bagaimanakah pengaruh infrastruktur sosial terhadap kesejahteraan pengrajin

melalui kewirausahaan dan sumber daya bersaing pada industri kerajinan di

Kabupaten Badung?

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id · 1.1 Latar Belakang ... dalamnya dinamika semangat kepedulian terhadap lingkungan sosial kemasyarakatan, kekerabatan dan

26

10) Bagaimanakah pengaruh kewirausahaan terhadap kesejahteraan pengrajin

melalui sumber daya bersaing pada industri kerajinan di Kabupaten Badung?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini, adalah sebagai berikut.

1) Untuk menganalisis pengaruh kebijakan pemerintah terhadap infrastruktur

sosial pada industri kerajinan di Kabupaten Badung.

2) Untuk menganalisis pengaruh kebijakan pemerintah dan infrastruktur sosial

terhadap kewirausahaan pada industri kerajinan di Kabupaten Badung.

3) Untuk menganalisis pengaruh kebijakan pemerintah, infrastruktur sosial, dan

kewirausahaan terhadap sumber daya bersaing pada industri kerajinan di

Kabupaten Badung.

4) Untuk menganalisis pengaruh kebijakan pemerintah, infrastruktur sosial,

kewirausahaan dan sumber daya bersaing terhadap kesejahteraan pengrajin

pada industri kerajinan di Kabupaten Badung.

5) Untuk menganalisis pengaruh kebijakan pemerintah terhadap kewirausahaan

melalui infrastruktur sosial pada industri kerajinan di Kabupaten Badung.

6) Untuk menganalisis pengaruh kebijakan pemerintah terhadap sumber daya

bersaing melalui infrastruktur sosial dan kewirausahaan pada industri

kerajinan di Kabupaten Badung.

7) Untuk menganalisis pengaruh kebijakan pemerintah terhadap kesejahteraan

pengrajin melalui infrastruktur sosial, kewirausahaan, dan sumber daya

bersaing pada industri kerajinan di Kabupaten Badung.

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id · 1.1 Latar Belakang ... dalamnya dinamika semangat kepedulian terhadap lingkungan sosial kemasyarakatan, kekerabatan dan

27

8) Untuk menganalisis pengaruh infrastruktur sosial terhadap sumber daya

bersaing melalui kewirausahaan pada industri kerajinan di Kabupaten Badung.

9) Untuk menganalisis pengaruh infrastruktur sosial terhadap kesejahteraan

pengrajin melalui kewirausahaan dan sumber daya bersaing pada industri

kerajinan di Kabupaten Badung.

10) Untuk menganalisis pengaruh kewirausahaan terhadap kesejahteraan pengrajin

melalui sumber daya bersaing pada industri kerajinan di Kabupaten Badung.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini, adalah sebagai berikut.

1) Bagi Pemerintah Kabupaten Badung, hasil penelitian ini diharapkan dapat

dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan dalam mengeluarkan kebijakan

berupa peraturan bupati dan/atau keputusan bupati serta ketentuan

pelaksanaan lainnya dalam rangka pengembangan industri kerajinan di

Kabupaten Badung untuk peningkatan kesejahteraan para pengusaha

kerajinan yang bersangkutan.

2) Bagi para pengusaha dan semua pihak terkait dengan usaha industri kerajinan,

sebagai dasar untuk menetapkan strategi-strategi/langkah-langkah yang harus

ditempuh dalam rangka memperkuat sistem kelembagaan atau infrastruktur

sosial pengusaha pengrajin, jiwa kewirausahaannya, dan kemampuan

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id · 1.1 Latar Belakang ... dalamnya dinamika semangat kepedulian terhadap lingkungan sosial kemasyarakatan, kekerabatan dan

28

bersaingnya yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan pengrajin itu

sendiri.

1.4.2 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmu

khususnya pada konstruksi kondisi sosial kemasyarakatan, budaya lokal sebagai

penguat infrastruktur sosial menuju etos kerja keras yang mampu mewujudkan

daya saing. Pengkajian teoritik diperlukan dalam rangka melakukan matching

antara fenomena dengan perkembangan teori yang sedang berkembang

dewasa ini. Hasil penelitian merupakan model empirik yang dihasilkan dari

kerangka model teoritik utuk mendapatkan validasi lapangan melalui penggunaan

metodologi ilmiah. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi wacana baru dalam

kajian ilmiah tentang perilaku usaha pengrajin khususnya di Kabupaten Badung.