BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah yang ke 27 Propinsi. Pemisahan diri dari Indonesia,...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah yang ke 27 Propinsi. Pemisahan diri dari Indonesia,...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Timor-Leste adalah Negara yang baru merdeka secara resmi berdasarkan jajak
pendapat tahun 1999, ketika masih tergabung dengan Republik Indonesia bernama
Timor-Timur yang ke 27 Propinsi. Pemisahan diri dari Indonesia, Timor-Timur
memang diwarnai dengan suatu tindak kekerasan berupa pembakaran yang dilakukan
Milisi yang kecewa dengan Hasil Referendum. Sebagaimana kita ketahui bahwa
proses kemerdekaan yang diperoleh, Negara Timor-Leste melewati suatu perjuangan
yang begitu drastis dan sangat sulit untuk menentukan nasib sendiri (Self
determination) tetapi rakyat Maubere sudah didoktirinkan oleh falsafah perjuangan
yaitu “mate ka moris ukun rasik a’an”.
Dan Falsafah tersebut sudah menjadi darah daging bagi povu maubere untuk
memperjuangkan hak untuk menentukan nasib sendiri (merdeka).Demi pembebasan
dari jajahan dekolonialisasi Republik Indonesia. Dalam perjuangan kemerdekaan
Negara Timor-Leste tidak boleh dipungkiri bahwa kemerdekaan yang diperoleh oleh
masyarakat Timor-Leste, karena atas partisipasi Gereja Katolik secara aktif dalam
memberikan kontribusi untuk Kemerdekaan Negara Timor-Leste. Karena Gereja
Katolik sebagai sebuah wadah atau payung untuk melakukan gerakan bawah tanah
dalam rangka memberikan informasi kepada dunia Internasional maupun Nasional
dan juga melakukan transformasi politik yang terjadi sebelumnya.
2
Salah satu kontribusi Gereja Katolik pada tahun 1981 ketika bapak Xanana
Gusmao mendirikan partai Marxisme Leninisme sangat bertitik tolak dari pada politik
internasional yang terjadi pada massa sebelumnya maka itu kehadiran Gereja Katolik
khususnya Pastor Dom Martinho Lopes menyatakan kepada bapak Xanana Gusmao
agar melakukan rekonstruksi terhadap gagasan tersebut. karena partai politik tersebut,
tidak sejalan dengan dinamika politik yang terjadi pada saat itu, karena faham yang
diadopsi adalah aliran kiri (possitivistico). Gereja Katolik merupakan salah satu
pemangku kepentingan utama dalam persoalan Timor Timur selama mandat Komisi
periode 1974-99.
Perjuangan dekolonisasi berdampak berat pada Gereja dan melibatkan semua
kalangan, mulai dari basis hingga eselon teratas hirarki Gereja di Roma. Pentingnya
isu ini bagi Gereja dan kepentingan politik Vatikan atas pemerintah Indonesia, jelas
tampak dari fakta, bahwa Paus Johanes Paulus II adalah satu-satunya pemimpin dunia
yang mengunjungi wilayah Timor-Timur pada tahun 1989 selama masa pendudukan
Indonesia. Dalam proses perjuangan, Gereja Katolik di Timor-Timur mempunyai tiga
pemimpin selama periode 1974-1999 antara lain, Uskup José Joaquim Ribeiro, Dom
Martinho da Costa Lopes, dan Dom Carlos Filipe Ximenes Belo SDB.
Selama pendudukan Indonesia, setiap pemimpin ini awalnya berusaha
mengakhiri kekerasan melalui dialog dan perwakilan langsung kepada otoritas
sekuler. Ketika upaya ini gagal, mereka masing-masing beralih mengambil peran
yang semakin vokal untuk melindungi Hak Rakyat. Sejak sekitar tahun 1983, Gereja
menghimbau adanya penentuan nasib sendiri, karena yakin bahwa penentuan hak
3
kolektif tersebut merupakan kunci untuk mencapai perdamaian sejati dan
dinikmatinya hak-hak individu. Peranan profesi Gereja lokal ini, dan advokasi hak
politik mengenai penentuan nasib sendiri, yang merupakan tantangan terbesar bagi
Vatikan ialah masalah Timor-Timur, meskipun Vatikan pula pada prinsipnya
mendukung hak penentuan nasib sendiri.
Sejarah singkat tentang para Imam Gereja Katolik di Timor-Timur yang
berpartisipasi aktif dalam proses perjuangan Hak Kemerdekaan Timor-Timur. Dom
José Joaquim Ribeiro (1966-77) Uskup Ribeiro yang berkebangsaan Portugis,
memimpin Gereja selama dua tahun terakhir pemerintahan Portugis, dan selama dua
tahun pertama pendudukan Indonesia. Revolusi Bunga di Portugal, Sebagai bagian
integral sistem kolonial kuno, Gereja benar-benar ditantang oleh perubahan
lingkungan politis, dan disusul periode kebimbangan serta kegelisahan akut yang
diperparah oleh kekerasan perang saudara dan bayangan invasi Indonesia.
Beberapa pejabat Gereja dan pastor lebih berpihak pada UDT, karena mereka
menghawatirkan tersebarnya paham komunisme di wilayahnya. Uskup Ribeiro secara
terbuka menuduh Fretilin sebagai “komunis”. Dalam Surat Gembala yang
dikeluarkan pada tanggal 25 Januari 1975, ia melarang umat Katolik memilih
Komunis atau Sosialis, tetap membela hak atas properti pribadi dan memperingatkan,
bahwa Marxisme mengancam “menghilangkan nilai-nilai positif Rakyat Timor”.
4
Meskipun kemudian diubah, pandangan-pandangannya mempengaruhi
persepsi Gereja tentang Fretilin dan sikap Vatikan, serta beberapa negara yang
menerima pengungsi perang saudara di Timor-Timur, khususnya Indonesia, Portugal
dan Australia. Invasi dan aneksasi Indonesia atas Timor-Timur terjadi menjelang
akhir masa kepausan Paus Paulus VI (1963-78). Paulus VI memainkan peran utama
dalam pembentukan dan penerapan perubahan-perubahan yang diperkenalkan Konsili
Vatikan, termasuk doktrin-doktrinnya tentang keadilan sosial.
Ia sangat menentang kekerasan, dan memberikan pidato tak terlupakan kepada
Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1963, di mana ia mendeklarasikan“tidak ada
perang lagi, perang tidak akan ada lagi”. Menteri Luar Negeri Vatikan, Jean-Marie
Cardinal Villot (1969-79), mengetahui dengan baik invasi tersebut serta akibat-akibat
kemanusiaannya dari beberapa sumber. Uskup Ribeiro, yang mengharap intervensi
militer Indonesia akan berjalan setenang aksi India di Goa; tetapi ia benar-benar
terganggu dengan apa yang ia saksikan.
Pada awal tahun 1976 ia berkata kepada pemerintah Indonesia, bahwa
“pasukan Indonesia, dengan pembunuhan, pelanggaran dan penjarahan yang
dilakukannya adalah ribuan kali lebih buruk” (daripada Fretilin); dan menambahkan,
bahwa “pasukan terjun payung Indonesia turun dari langit seperti malaikat tetapi
kemudian berperilaku seperti setan”. Uskup Ribeiro mengundurkan diri dan kembali
ke Portugal tahun 1977. Meskipun demikian, Komisi belum bisa mendapatkan bukti,
bahwa Paus Paulus VI membuat tanggapan umum mengenai invasi tersebut, atau
menggunakan jabatannya untuk memperkuat tuntutan Dewan Keamanan PBB tentang
5
penarikan pasukan Indonesia dari Timor-Timur. Dom Martinho da Costa Lopes
(1977-83) Uskup Ribeiro pensiun pada tanggal 23 October 1977. Karena kasus
Timor-Timur yang tidak jelas, Vatikan kemudian berpikir tentang pengelolaan
langsung Gereja lokal daripada menggabungkannya dengan konferensia wali Gereja
Indonesia (KWI).
Setelah membicarakannya dengan pemimpin Gereja setempat, Vatikan
menunjuk Dom Martinho da Costa Lopes sebagai Administrator Apostolik dan
menjadikannya putra asli Timor pertama yang menjadi pemimpin Gereja Katolik di
Timor-Timur. Ia langsung bertanggung jawab kepada Vatikan melalui Duta Besar
Vatikan di Jakarta. Masa jabatan Monsignor Lopes cukup singkat. Selama tiga tahun
pertama, ia menerapkan pendekatan kooperatif dalam pembicaraannya dengan
otoritas Indonesia, mengenai banyak pelanggaran yang dilaporkan oleh para pastor
dan pihak-pihak lain kepadanya. Ia juga selalu memberi informasi baru kepada para
uskup Indonesia dan Nunsio Paus Apostolik di Jakarta.
Namun komisi tidak berhasil menemukan catatan apa pun, bahwa Vatikan
membuat intervensi publik atau peranan yang mendukung selama periode ini. Sejak
tahun 1981, hubungan Monsignor Lopes dengan Vatikan dan militer Indonesia
semakin memburuk, dan pada bulan April 1983 ia mengundurkan diri di bawah
tekanan dari kedua pihak tersebut. Alasan-alasan retaknya hubungan dengan Vatikan
berkaitan dengan perbedaan pandangan yang mendasar tentang isu ini.
6
Dom Carlos Filipe Ximenes Belo SDB (1983-2003), Penunjukan Carlos
Filipe Ximenes Belo oleh Vatikan dilakukan tanpa diadakan pembicaraan yang
semestinya para Pastor setempat, dan awalnya ia tidak disukai Pastor-Pastor di
Timor-Timur khususnya dalam konteks pengunduran diri Monsinhor Lopes, Dom
Carlos dengan hati-hati menolak berperang politik yang merusak hubunganya dengan
pihak perlawanan, tetapi seperti halnya dua pendahulunya ia perlahan-lahan terpaksa
menjadi lebih vokal. Ia menjelaskan gejolak-gejolak tersebut dalam surat kepada
wakil Paus di Jakarta: sejak tahun 1983, tahun saya ditunjuk sebagai Administrator
Apostolik, setiap tahun kami menyaksikan penganiayaan-penganiayaan serupa. Kami
telah berbicara dengan pihak otoritas tetapi tidak ada hasil. Rakyatlah yang selalu
menderita.
Sejak awal masa jabatan Dom Carlos Filipe Ximenes Belo, sebagai Uskup,
membaktikan dirinya kepada penentuan nasib sendiri baik sebagai hak maupun
rumusan Perdamaian abadi. Uskup Belo mengatakan bahwa, Meskipun semua
kekuatan melawan kami, kami tetap bersekukuh, bahwa satu-satunya solusi ialah
politik dan diplomatik, dan konsep ini tetap kami sebar luaskan, solusi harus
mencakup diatas segalanya, penghormatan hak rakyat atas penentuan nasib sendiri,
menghargai identitas Kultural, Etnik danReligius masyarakat Timor-Timur
diwujudkan, selama hal ini tidak diterapkan, tidak akan ada solusi damai bagi Timor-
Timur.
7
Sebagai tanda kepercayaan, Vatikan mengangkat Dom Belo sebgai Uskup
pada tahun 1988. Dan Pada bulan Februari 1989, Uskup baru ini mengulangi
dukunganya bagi penentuan nasib sendiri dalam sepucuk surat pribadi kepada
sekretaris Jenderal PBB Javier Peres de Cuellar.
Surat-surat serupa dikirimkan ke Presiden Portugal dan Sri Paus, surat Uskup
Belo tersebut menantang sekretaris Jenderal untuk melangkah melampaui
hubunganya dengan Portugal dan Indonesia dan meminta pendapat rakyat Timor-
Timur secara langsung melalui Referendum.
Surat tersebut secara eksplisit, menolak pernyataan yang dipertahankan
Indonesia, bahwa Timor-Timur telah sepenuhnya menjalangkan hak penentuan
nasibnya sendiri, dan menyiratkan bahwa pernyataan-pernyataan partai politik Timor-
Timur tentang status juga cacat.
Uskup Belo menulis, Rakyat Timor-Leste harus diijingkan memilih masa
depan mereka melalui Referendum. Hingga saat ini masyarakat Timor-Leste tidak
diajak bicara. Indonesia menyatakan bahwa, rakyat Timor-Leste telah memilih
integrasi, Tetapi rakyat Timor-Leste sendiri tidak pernah mengatakan sedemikian.
Dengan itu Portugal mengingingkan waktu untuk meyelesaikan persoalan. Tetapi
kami terus mati sebagai manusia dan sebagai bangsa.
1.2. Identifikasi Masalah
8
Berdasarkan dari Latar Belakang Masalah yang ada, maka penulis dapat
menidentifikasi Masalah yaitu:
1. Adanya partisipasi Gereja Katolik dalam perjuangan Hak Kemerdekaan.
Timor-Leste.
2. Adanya Aspek Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Perjuangan Hak
Kemerdekaan Timor-Leste pada zaman Penjajahan Republik Indonesia.
3. Adanya Intervensi Vatikan untuk menentukan Hak Kemerdekaan Timor-
Leste.
1.3. Perumusan Masalah
Berdasarkan Identifikasi masalah yang ada, maka penulis dapat merumuskan
masalahnya yaitu, Sejauhmana Partisipasi Gereja Katolik dalam perjuangan Hak
Kemerdekaan Timor-Leste?
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Berdasarkan perumusan masalah yang di atas, maka penulis memberikan
tujuan penelitian umum yaitu, untuk mengetahui partisipasi Gereja Katolik dalam
perjuangan Hak Kemerdekaan Timor-Timur.
9
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat Teoritis
Berdasarkan tujuan penelitian ini, maka penulis memiliki beberapa manfaat
penelitian Teoritis yaitu sebagai berikut:
1. Bagi Universidade da Paz (Unpaz) hasil penelitian ini di jadikan
sebagai informasi ilmiah bagi mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan
Humaniora sekaligus sebagai bahan referensi Universitas untuk
masyarakat kampus.
2. Hasil penelitian ini sebagai aplikasi teori yang di terima selama di
kampus sekaligus menjadi persyaratan bagi mahasiswa/i dalam
menyelesaikan jenjang Strata. 1 (S1)
1.5.2 Manfaat Praktis
Berdasarkan tujuan penelitian ini, maka penulis memiliki beberapa manfaat
penelitian Praktis yaitu sebagai berikut:
1. Hasil penelitian ini di harapkan sebagai data atau bahan bagi semua
masyarakat di Timor-Leste, untuk mengetahui partisipasi Gereja Katolik
dalam proses perjuangan Kemerdekaanya Negara Timor-Leste.
2. Dapat di jadikan referensi bagi penelitian selanjutnya tentang Partisipasi
gereja Katolik dalam perjuangan Hak Kemerdekaan di Timor-Timur.
10
3. Untuk Hirarki Gereja Katolik, salah satu bagian untuk menjadi bahan
referensi bagi komunitas Gereja Katolik terhadap partisipasi Gereja Katolik
dalam perjuangan Hak Kemerdekaan Timor-Timur.
1.6. Batasan dan Ruang Lingkup
Penulis menbatasi masalah pada “Partisipasi Gereja Katolik dalam perjuangan
Hak Kemerdekaan Timor-Timur pada Tahun 1974-1999. Studi Kasus di Kantor
Keuskupan Dili, Timor-Leste”
1.7.Sistematika Penulisan
Sebagai landasan untuk mempermuda dalam penulisan skripsi ini maka,
gambaran sistematika penulisan skripsi ini seperti yang penulis paparkan dibawah ini.
BAB I PEDAHULUAN: Berisi mengenai Latar Belakang, Identifikasi Masalah,
Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Ruang Lingkup
Penelitian dan Sistematik Penulisan
BAB II KAJIAN PUSTAKA: Berisi mengenai Pengertian Partisipasi, Defenisi
Gereja, Misi Gereja Menurut Konsili Vaticano II dan Pengertian Hak Asasi
Manusi (HAM).
BAB III METODE PENELITIAN: Berisi mengenai, Jenis Penelitian, Fokus
Penelitian, Lokasi dan Situs Penelitian, Jenis Data, Teknik Pengumpulan Data,
Instrumen Penelitian, Teknik Analisis Data.
11
BAB IV GAMARAN UMUM DAN HASIL PENELITIAN : Dalam Bab ini
berisi tentan, Gambaran Umum yang menjelaskan mengenai Sejarah Singkat
Keuskupan Dili, Letak Wilaya,Klasifikasi Demografi Menurut Jenis Kelamin,
Klasifikasi Demografi Menurut Jenis Pendidikan, Klasifikasi Demografi
Menurut Jabatan, Fokus Penelitian dan Penyajian data yang meramkup
beberapa permasalahan yaitu Indikasi dan legalitas yang mendasari partisipasi
Gereja dalam pembebasan Rakyat Timor-Leste. Hambatan yang di hadapi oleh
Gereja Katolik dalam perjuangan Hak Kemerdekaan Timor-Leste. Reaksi dan
sikap ABRI dan Pemerintah Republik Indonesia terhadap perjuangan Hak
Kemerdekaan Timor-Leste dan Analiisis dan Interpretasi data.
BAB V : Dalam Bab ini berisi tentan Kesimpulan dan Saran.
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Partisipasi
Banyak ahli memberikan pengertian mengenai konsep partisipasi. Bila
dilihat dari asal katanya, kata partisipasi berasal dari kata bahasa Inggris
“participation” yang berarti pengambilan bagian, pengikutsertaan.
Partisipasi berarti peran serta seseorang atau kelompok masyarakat dalam
proses pembangunan baik dalam bentuk pernyataan maupun dalam bentuk kegiatan
dengan memberi masukan pikiran, tenaga, waktu, keahlian, modal dan atau materi,
serta ikut memanfaatkan dan menikmati hasil hasil pembangunan.1
Pengertian tentang partisipasi dimana partisipasi dapat juga berarti pembuat
keputusan menyarankan kelompok atau masyarakat ikut terlibat dalam bentuk
penyampaian saran dan pendapat, barang, keterampilan, barang dan jasa.2
Partisipasi dapat juga berarti bahwa kelompok mengenal masalah mereka
sendiri, mengkaji pilihan mereka, membuat keputusan, dan memecahkan masalahnya.
partisipasi adalah sebagai wujud dari keinginan untuk mengembangkan
demokrasi melalui proses desentralisasi dimana diupayakan antara lain perlunya
1 Jhon M.echols & Hasan Shadily,2000:419.
2( Nyoman Sumaryadi, 2010: 46).
13
perencanaan dari bawah (bottom up) dengan mengikutsertakan masyarakat dalam
proses perencanaan dan pembangunan masyarakatnya. 3
Mengklasifikasikan partisipasi menjadi 2 (dua) berdasarkan cara keterliba
tannya, yaitu:4
a. Partisipasi Langsung
Partisipasi yang terjadi apabila individu menampilkan kegiatan tertentu
dalam proses partisipasi. Partisipasi ini terjadi apabila setiap orang dapat
mengajukan pandangan, membahas pokok permasalahan, mengajukan keberatan
terhadap keinginan orang lain atau terhadap ucapannya.
b. Partisipasi tidak langsung
Partisipasi yang terjadi apabila individu mendelegasikan hak
partisipasinya. Cohen dan Uphoff yang dikutip oleh Siti Irene Astuti D 2011:
61-63 membedakan patisipasi menjadi empat jenis, yaitu pertama, partisipasi
dalam pengambilan keputusan. Kedua, partisipasi dalam pelaksanaan. Ketiga,
partisipasi dalam pengambilan pemanfaatan. Dan Keempat, partisipasi dalam
evaluasi.
Pertama, partisipasi dalam pengambilan keputusan. Partisipasi ini terutama
berkaitan dengan penentuan alternatif dengan masyarakat berkaitan dengan gagasan
atau ide yang menyangkut kepentingan bersama.
3H.A.R.Tilaar, (2009: 287) 4Menurut Sundariningrum dalam Sugiyah (2001: 38)
14
Wujud partisipasi dalam pengambilan keputusan ini antara lain seperti ikut
menyumbangkan gagasan atau pemikiran, kehadiran dalam rapat, diskusi dan
tanggapan atau penolakan terhadap program yang ditawarkan.
Kedua, partisipasi dalam pelaksanaan meliputi menggerakkan sumber daya
dana, kegiatan administrasi, koordinasi dan penjabaran program. Partisipasi dalam
pelaksanaan merupakan kelanjutan dalam rencana yang telah digagas sebelumnya
baik yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan maupun tujuan.
Ketiga, partisipasi dalam pengambilan manfaat. Partisipasi dalam
pengambilan manfaat tidak lepas dari hasil pelaksanaan yang telah dicapai baik yang
berkaitan dengan kualitas maupun kuantitas. Dari segi kualitas dapat dilihat dari
output, sedangkan dari segi kuantitas dapat dilihat dari presentase keberhasilan
program.
Keempat, partisipasi dalam evaluasi. Partisipasi dalam evaluasi ini berkaitan
dengan pelaksanaan pogram yang sudah direncanakan sebelumnya. Partisipasi dalam
evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui ketercapaian program yang sudah
direncanakan sebelumnya.
Berdasarkan beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa
partisipasi adalah keterlibatan suatu individu atau kelompok dalam pencapaian tujuan
dan adanya pembagian kewenangan atau tanggung jawab bersama.
15
2.1.1 Bentuk Partisipasi
Bentuk partisipasi5, terbagi atas:
a) Partisipasi Vertikal Partisipasi vertikal terjadi dalam bentuk kondisi tertentu
masyarakat terlibat atau mengambil bagian dalam suatu program pihak lain,
dalam hubungan dimana masyarakat berada sebagai status bawahan, pengikut,
atau klien.
b) Partisipasi horizontal Partisipasi horizontal, masyarakat mempunyai prakarsa
dimana setiap anggota atau kelompok masyarakat berpartisipasi horizontal
satu dengan yang lainnya. partisipasi masyarakat dilihat dari bentuknya dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu6:
1. Partisipasi fisik Partisipasi fisik adalah partisipasi masyarakat, orang tua
dalam bentuk menyelenggarakan usaha-usaha pendidikan, seperti mendirikan
dan menyelenggarakan usaha sekolah.
2. Partisipasi non Fisik Partisipasi non fisik adalah partisipasi keikutsertaan
masyarakat dalam menentukan arah dan pendidikan nasional dan meratanya
animo masyarakat untuk menuntut ilmu pengetahuan melalui pendidikan,
sehingga pemerintah tidak ada kesulitan mengarahkan rakyat untuk
bersekolah.
5menurut Effendi yang dikutip oleh Siti Irene Astuti D (2011: 58)
6Menurut Basrowi yang dikutip Siti Irene Astuti D (2011: 58)
16
2.2. Definisi Gereja
Gereja Sebagai Sebuah Persekutuan7. Dalam bahasa Yunani, gereja disebut
ekklesia ek keluar, kaleo memanggil. Secara harafiah berarti memanggil keluar. Yang
menjadi subyek dari kata memanggil keluar dalam pengertian ini adalah Allah.
Sehingga pengertian dari ekklesia adalah persekutuan dari orang-orang yang
dipanggil keluar dari kegelapan masuk ke dalam terang-Nya yang ajaib (I Petrus 2:9-
10) Atau secara singkat gereja adalah persekutuan orang orang percaya. Gereja
sebagai tempat bersekutu
Walaupun kekristenan memahami bahwa gereja bukanlah gedung atau tempat
melainkan orangnya, toh seringkali kita memahami dan merujuk gereja sebagai
tempat umat bersekutu. Yang pasti dimana ada umat bersekutu didalam Kristus
disitulah gereja berada.
7Pdt. Stefanus Parinus.
17
2.2.1 Gambaran tentang gereja
Alkitab khususnya Perjanjian Baru menggunakan istilah gereja dengan
bermacam-macam gambaran antara lain:
a) Bangunan Allah, I Kor. 3:9; 17:2, Ef 2:20-22; I Tim. 3:15, yang dipakai
untuk menggambarkan keberadaan gereja, sebab Kristus sendiri merupakan
batu penjuru dari bangunan ini, Mat. 16:18; I Kor. 3:11; I Ptr 2:6-7).
b) Tubuh Kristus Ef. 1:22-23, Gambaran gereja sebagai tubuh Kristus yang
ditekankan adalah kesatuan. Satu hal yang nampak jelas dari tubuh yaitu
kesatuan. Meskipun dalam tubuh banyak terdapat keanekaragaman (kaki,
mulut, tangan, dll) namun segala pertentangan ditiadakan.
Rasul Paulus dalam Kolose 1:18 mengatakan bahwa Kristus-lah yang menjadi
Kepala atas tubuh yakni Gereja. Semua anggota dipersatukan di dalam Dia, sehingga
tubuh itu menjadi tanda keterikatan dalam persekutuan yang mendalam. Dalam Roma
12:4, dikatakan tidak semua anggota mempunyai tugas yang sama.
Jadi gereja sebagai tubuh Kristus, di dalam cara hidupnya harus menampakan
hidup Kristus, melalui kata-kata dan perbuatan yang harus diterangi oleh terang
Kristus.
18
2.2.2. Sifat Gereja.
1. Kudus, Kata “Kudus” berasal dari bahasa Ibrani Qadosy yang berarti
disendirikan, diasingkan, dipisahkan dari yang lain, berbeda dari yang lain.
Kekudusan Gereja bukan karena ia kudus adanya, tetapi karena dikuduskan
oleh Kristus. Rasul Paulus menyebutkan bahwa Jemaat adalah mereka yang
dikuduskan di dalam Kristus (Fil.1:1 ; 1 Kor. 1:2 ; Ef. 1:1). Gereja adalah
kudus, diasingkan tapi bukan “mengasingkan diri” karena Gereja disuruh ke
dalam dunia untuk memberitakan Injil Yesus Kristus. Adanya Gereja di dunia
ini ialah untuk dipakai dalam karya penyelamatan Allah.
2. Am Gereja adalah am, khatolik, universal, tersebar di seluruh dunia. Am
berarti umum, oleh sebab itu Gereja “menerobos” segala pembatas dan
memiliki perpektif yang umum. Gereja sebagai yang am harus bersifat
universal sebab kasih Allah itu ditujukan kepada dunia. Jadi Gereja bukan dan
janganlah jadi suatu “golongan elite”.
Gereja tidak terbatas pada suatu daerah/ suku/ bangsa atau bahasa tertentu tapi
meliputi seluruh dunia (2 Kor. 5,19). Gereja tidak terbatas pada suatu zaman, tapi
meliputi zaman yang lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang.
3. Persekutuan Orang Percaya/Kudus Kata Persekutuan orang Kudus
diterjemahkan dari Communio Sanctorum. Kata sanctorum berasal dari kata
19
sancta atau sanctus yang berarti barang-barang atau orang-orangkudus.
Sedangkan kata communion berarti persekutuan.
Sehingga ungkapan gereja sebagai persekutuan orang kudus harus dipandang
sebagai persekutuan di dalam Kristus oleh Roh Kudus. Jadi, gereja bukan terdiri dari
orang-orang yang telah sempurna melainkan terdiri dari orang-orang berdosa
sekalipun telah dikuduskan. Maka ungkapan “persekutuan orang Kudus” harus
dipandang sebagi suatu tugas yang masih harus diperjuangkan dan itu senantiasa
mempunyai arti yang konkret dalam kenyatan hidup di dunia ini.
Gereja sebagai persekutuan orang kudus mengarah kepada persekutuan dengan
Kristus, persekutuan yang berdasarkan kasih, bahwa kita harus saling mengasihi
karena Allah telah mengasihi kita, I Yoh. 4:11; II Yoh. 5; I Kor 12:26
4. Satu Gereja adalah kesatuan umat Kristen, tempat bersekutu sesuai dengan
kehendak Yesus Kristus, kepala gereja.
Satu dalam memberitakan Injil (Mat. 28,18-20), satu dalam mengemban misi,
mengasihi sesama dan mengasihi Tuhan (Mat.22,37-40), satu dalam iman dan
pengharapan(Ef. 4:4-5). Oleh sebab itu dalam kepelbagaian kita, Tuhan
mempersatukan kita. Di dalam kepelbagaian itu kita dapat bersatu menampakkan
kepatuhan kita sebagai Gereja kepada Tuhan Yesus, Yoh. 17, 21.
20
2.2.3. Misi Gereja Menurut Konsili Vaticano II
Sekitar satu milyar umat dan jaringan institusi-institusinya, yang banyak
di antaranya ditempatkan secara strategis. Berpusat di Roma dan dipimpin oleh
Sri Paus, Vatikan merupakan otoritas pusat Gereja Katolik Romawi.Aktivitas
politik dan diplomatik Vatikan diatur oleh Menteri LuarNegeri, jabatan
terpenting di bawah Paus.
Vatikan memiliki hubungan diplomatik formal dengan sebagian besar
negara, dan mempertahankan kira-kira 100 misi diplomatik permanen di
luar negeri.Misi diplomatik ini meliputi Washington, Lisboa, Canberra, dan
Jakarta, di mana perwakilan Vatikan dibuka pada tahun 1965.
Vatikan (atau “Holy See”) mempunyai misi pengamat tetap di
Perserikatan Bangsa-Bangsa sejak tahun 1964; karena itu Vatikan
memiliki suara dalam keputusan-keputusan PBB, tetapi tidak memiliki hak
suara.
Vatikan juga memiliki hubungan diplomatik dengan Uni Europa, dan
sebagian besar badan-badan khusus PBB.
Konsili Vatikan Kedua, yang berakhir sepuluh tahun sebelum invasi Ind
nesia memerintahkan agar jaringan dan sumber daya milik Vatikan harus digun
akan untuk melayani Kebenaran, perdamaian, dan keadilan, khususnya bagi me
reka yang miskin dan papa.
21
Gereja dan negara mempunyai peran yang berbeda, dan Gereja Katolik,
meskipun sangat sentralistis, tidaklah monolitik.Sebagai pusat institusi global,
Vatikan berhadapan dengan banyak dilema dan tekanan kebijakan dari
kepentingan yang bertentangan, baik di dalam maupun di luar komunitas
Katolik.
Di sisi lain, bahwa Vatikan memiliki sumber daya dan pengaruh yang
penting dan, khususnya dalam kasus Timor-Leste, untuk memiliki informasi
yang lengkap tentang situasi dan aspirasi Gereja lokal, yang dianggap menjadi
tanggung jawab langsung Vatikan.
2.3 Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM)
Istilah Hak Asasi Manusia merupakan terjemahan dari ; droits de L’homme
Prancis, Human Rights Inggris, dan menselijke rechten Belanda.
Di Indonesia, Hak Asasi umumnya lebih dikenal dengan istilah „hak-hak asasi‟
sebagai terjemahan dari basic rights, Inggris, grond rechten, Belanda, atau bisa juga
disebut sebagai Hak–Hak fundamental, fundamental Rights, Civil Rights, Hak Asasi
Manusia terdiri dari rangkaian tiga buah kata, yaitu :
22
1. Hak berasal dari bahasa Arab yang artinya kebenaran, dalam kamus bahasa
Indonesia juga diartikan dengan kebenaran, dan yang berkaitan dengan
kepemilikan, kekuasaan atau kewenangan
2. Asasi berasal dari bahasa Arab Asasiyyun artinya bersifat prinsip, maksudnya
sesuatu yang prinsip itu adalah hal yang amat mendasar dan tidak boleh tidak
ada
3. Manusia dalam pengertian umum adalah makhluk yang berakal budi, orang
Jawa menyebut Manungso, Manunggaling Raso, baru disebut manusia kalau
memahami perasaan orang lain, atau dalam bahasa Arab digunakan Nas dari
kata Anasa yang artinya melihat, mengetahui atau meminta ijin. Berdasarkan
rangkaian kata tersebut, maka yang dimaksud Hak Asasi Manusia adalah
sejumlah nilai yang menjadi ciri khas manusia yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi8.
Hak asasi adalah hak yang bersifat asasi, artinya hak-hak yang dimiliki
manusia menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya sehingga
sifatnya suci.
8. Usman Surur, M.Pd.
23
Jadi, hak asasi dapat dikatakan sebagai hak dasar yang dimiliki oleh pribadi
manusia sebagai anugerah Tuhan yang dibawa sejak lahir.Hak asasi itu tidak
dapat dipisahkan dari eksistensi pribadi manusia itu sendiri9.
Menurut Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
pada pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa Hak Asasi Manusia adalah “Seperangkat
hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan Anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.”
2.3.1. Karakteristik, Kandungan Nilai dan Cakupan Hak Asasi Manusia
Ciri khas dari Hak Asasi Manusia antara lain:
1. Qodrat, artinya Hak Asasi Manusia itu adalah pemberian dari Tuhan kepada
setiap manusia agar hidupnya terhormat.
2) Hakiki, Hak Asasi Manusia itu melekat pada diri setiap manusia, tanpa
melihat latar belakang kehidupan dan status sosialnya.
3) Universal, artinya Hak Asasi Manusia itu berlaku umum, tidak membeda-
bedakan manusia yang satu dengan yang lainnya.
4) Tidak Dapat Dicabut, artinya Hak Asasi Manusia dalam keadaan
bagaimanapun, tetap ada pada setiap orang.
9. Mr. Koentjoro Poerbapranoto (1976).
24
5) Tidak Dapat Dibagi, artinya Hak Asasi Manusia itu tidak dapat diwakili atau
pun dialihkan kepada orang lain. kandungan Nilai Hak Asasi Manusia Kebebasan
atau Kemerdekaan, manusia dilahirkan dalam keadaan merdeka, karena itu menjadi
harapan setiap manusia menjalani kehidupannya dalam keadaan merdeka.
Seperti merdeka memilih negara, tempat tinggal, berkeluarga, bergerak,
memilih pekerjaan, berserikat, berkumpul, berekspresi, mengemukakan pendapat,
memperoleh dan mendayagunakan informasi dan lain sebagainya.
Kemanusiaan dan Perdamaian manusia dalam menjalani kehidupannya sangat
mendambakan ketentraman, bebas dari rasa takut, terjamin keamanannya dan
senantiasa dalam suasana damai Keadilan, Kesederajatan, dan Persamaan,
diperlakukan secara wajar dan adil, mendapatkan kesempatan yang sama dalam
memperoleh hak, tidak dibeda-bedakan antara manusia yang satu dengan yang lain
berdasarkan alasan apa pun, merupakan keinginan setiap manusia, berdasarkan
Instrumen Internasional Hak Asasi Manusia, mencakup atau meliputi tiga aspek
utama (Karel Vassak dari Prancis menyebutnya tiga generasi), yaitu, Hak Sipil dan
Politik (Generasi Pertama), mengedepankan hak-hak individu yang bebas (merdeka).
Paham ini dikembangkan di Amerika, Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
(Generasi Kedua); yang menjadi obsesi untuk dikembangkan lebih awal,
penekanannya lebih banyak pada aspek kesejahteraan dan hak kolektif.
Paham ini dikembangkan di negara-negara non blokHak atas Pembangunan,
merupakan gabungan atau kombinasi dari dua generasi sebelumnya, terutama dianut
oleh negara berkembang.
25
Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM) Sesuai dengan kodratnya, manusia
adalah makhluk Tuhan yang memiliki derajat paling tinggi dibandingkan dengan
makhluk lain ciptaan Tuhan.Manusia dibekali dengan berbagai kelebihan dan
kemampuan dasar dalam hidupnya yang berupa akal/cipta, rasa, dan karsa.
Dengan kemampuan dasar ini, manusia seharusnya dapat hidup berdampingan
satu sama lain, bukannya saling merampas hak orang lain.
Bentrokan itu pun dianggap sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia
(HAM) dan membawa korban dari kedua belah pihak. Mengapa hal ini mesti terjadi
Peristiwa lain yang menyedihkan, misalnya Perang Dunia I (1914-1918) dan Perang
Dunia II (1939-1945), serta penjajahan di berbagai belahan dunia yang telah
menimbulkan penderitaan, kesengsaraan, dan pelanggaran-pelanggaran hak asasi
manusia lainnya, mengharuskan kita untuk berpikir siapakah yang memberi
kehidupan dan siapa pula yang berhak mengambilnya kembali, Sesama manusiakah
Bukan, melainkan Tuhan.
Kita semua menyadari bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah Maha Pencipta.Ia
menciptakan segala sesuatu, termasuk hidup kita.Setiap manusia satu per satu diberi
hidup dan penghidupan.Tidak seorang pun dapat mengambilnya.Oleh karena itu,
hidup merupakan hak dasar yang dimiliki manusia sejak lahir.
26
Selanjutnya semua orang itu diciptakan sama dan merniliki hak-hak alamiah
yang tak dapat dilepaskan. Hak alamiah itu meliputi hak atas hidup, hak
kemerdekaan, hak milik, dan hak kebahagiaan10
.
Pemikiran John Locke ini dikenal sebagai konsep hak asasi manusia (HAM)
yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan hak asasi manusia di berbagai
belahan dunia.
Dalam Universal Declaration of Human Rights, dinyatakan bahwa hak
asasi manusia merupakan pengakuan akan martabat yang terpadu dalam diri setiap
orang. Hak-hak yang sarna dan tak teralihkan dari semua anggota keluarga manusia
ialah dasar kebebasan, keadilan, dan perdamaian dunia.
Hak-hak itu menjadi milik semua orang tanpa kecuali. Menurut Pasal 1 Ayat
1 UU No. 39 Tahun 1999 tentangHak Asasi Manusia (HAM), hak asasi manusia
(HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
Hak asasi merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi,
dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan
dan perlindungan harkat dan martabat manusia.
Undang-undang tersebut juga mendefinisikan bahwa kewajiban dasar manusia
adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan tidak memungkinkan
terlaksana dan tegaknya Hak asasi manusia (HAM).Secara singkat, hak asasi
10John Locke Hak Asasi Manusia.
27
manusia adalah hak-hak dasar atau hak-hak pokok yang dibawah manusia sejak lahir
sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa.
Hak ini menjadi dasar hak-hak dan kewajiban-kewajiban asasi.
Sebagaimana kita ketahui bahwa di samping hak asasi, ada juga kewajiban
asasi yang dalam hidup kemasyarakaran, kira harus mendapat perhatian terlebih
dahulu dalam pelaksanaannya.Jadi, melaksanakan kewajiban dahulu, baru menuntut
haknya.
Hak Asasi Manusia (HAM) tidak dapat dituntut pelaksanaannya secara
mutlak karena penuntutan secara mutlak berarti melanggar hak-hak yang sama dari
orang lain.Selanjutnya Undang-Undang dasar Republikan Indonesia pada tahun 1945
menyatakan bahwa “kemerdekaan adalah hak segala bangsa maka itu penjajahan
dimuka bumi harus dihapuskan karna tidak sesuai dengan pri kemanusian dan
prikeadilan”.11
Berdasarkan definisi diatas penulis mengasumsikan bahwa semua bangsa dan
Negara mempunyai hak untuk bebasdari semua penjajahan yang ada di muka bumi
untuk menentukan nasib sendiri self determenition dan life for freedom.
11
UU Dasar Republik Indonesia pada tahun 1945
28
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif guna
memahami gejala-gejala atau fenomena-fenomena atau permasalahan-permasalahan
yang terkait dengan data data yang terhimpun dari obyek penlitian sementara itu,
metode yang di pergunakan adalah metode deskriptif, yakni suatu metode yang
dipergunakan adalah metode yang menyoroti permasalahan pada suatu gejala atau
permasalahan tertentu secara teliti dengan mempelajari dan menganalisa setiap fakta
secara kronologis. Intinya, dengan jenis dan metode tersebut.
Nawawi memberikan penjelasan mengenai metode deskriptif sebagai
prosedur pemecahan masalah yang diselediki dengan mengambarkan atau melukiskan
keadaan subyek atau obyek penelitian seseorang, lembaga dan masyarakat pada saat
sekarang bedasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.
Pada umumnya, penelitian deskriptif bersifat mengambarkan, menuturkan,
dan menafsirkan data yang ada, yaitu mengenai keadaan yang dialami dan
berhubungan dengan kegiatan. Selanjutnya, Nawawi 2003:64 menjelaskan mengenai
ciri-ciri pokok metode deskriptif sebagai berikut:
29
1. Memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang ada pada saat penelitian
dilakukan, saat sekarang atau masalah-masalah yang bersifat aktual.
2. Mengambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselediki sebagaimana
adanya, diiringi dengan interpretasi rasional yang akurat.
Sementara itu pandangan mengenai pengertian dari penelitian deskriptif juga di
kemukakan sebagai berikut: penelitian deskriptif di maksudkan untuk melakukan
usaha pengukuran yang cermat terhadap fenomena social tertentu, misalnya
perceraian, pengangguran,preferensi terhadap politik tertentu dan lain-lain12
.
Sehinggga peneliti mengembangkan konsep dan menghimpun fakta, tetapi tidak
melakukan pengujian Hipotesis”.
3.2. Fokus penelitian
Focus penelitian dalam pendekatan kualitatif sangat berhubungan dengan
rumusan masalah, sehingga penetapan masalah merupakan pusat perhatian penelitian.
Hal tersebut sesuai dengan sifat pendekatan kualitatif yang lentur dan terbuka
mengikuti pola pemikiran yang menekankan analisis induktif (empirico inductive)
sotopo dalam Bakri, 2002:23 dimana segala sesuatu dalam penelitian ditentukan
oleh hasil akhir pengumpulan data tersebut mencerminkan keadaan yang sebenarnya
yang ada di lapangan yang menjadi focus dalam penelitian ini adalah sejauhmana
Parisipasi Gereja Katolik dalam Perjuangan Hak Kemerdekaan Timor-Leste.
12oleh singarimbung dan Effendi (1998:86) metode Penelitian
30
3.3. Lokasi dan Situs Penelitian
3.3.1. Lokasi Penelitian
Untuk menentukan lokasi penelitian perlu di pertimbangkan apakah lokasi
tersebut sesuai dengan masalah yang diteliti. Keterbatasan geografis dan praktis
seperti waktu, biaya dan tenaga perlu pula di jadikan pertimbangan dalam penentuan
lokasi penelitian Moleong 2006:128, sehingga yang menjadi lokasi penelitian,
dalam penelitian ini adalah di kantor Keuskupan Dili, Timor-Leste.
3.3.2. Situs Penelitian
Dalam melakukan penelitian di sini, maka peneliti telah mengidentifikasi
responden situs terhadap penelitian, dimana mereka berasal dari kantor Keuskupan
Dili antara lain:
1. Pe. Francisco Barreto
2. Pe. Adrian Ola Duli
3. Ir. Maria de Lourdes
4. Pe. Herminio de Fatima Goncalves
3.4. Jenis Data
Jenis data adalah jenis data kualitatif yang di peroleh dari tempat penelitian
dengan mengumpulkan berbagai data yang ada di lapangan.
31
3.5. Sumber Data
Sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata kata dan tindakan,
selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Berkaitan dengan hal
itu, jenis fatanya dibagi lagi kedalam kata kata dan tindakan, sumber data tertulis
Lofland & Lofland dalam Moleong, (1991:12)
Bondang dan Biklenndi kutip oleh Moleong (2001:15) membagi foto dalam
kategori yang dapat dimanfaatkan dalam penelitian kualitatif, yaitu foto yang di
hasilkan orang dan foto yang di hasilkan oleh penelitan sendiri.untukdata statistic
yang merupakan sumber data tambahan bagi penelitian, akan statistik yang
merupakan sumber data tambahan bagi penelitian, akan memberikan gambaran
tentang kecenderungan subyek pada latar penelitian.
berdasarkan pengertian di atas, maka yang termasuk sebagai sumber data
dapat berupa seorang, peristiwa, dokumen (hal atau benda) yang dapat di jadikan
sumber informasi yang di perlukan sesuai dengan focus penelitian yang telah di
tetapkan.
Data yang di perlukan dapat di bedakan menjadi dua Jenis yaitu data primer
dan data sekunderdalam penjelasanya sebagai berikut:
32
3.5.1. Sumber data primer
Merupakan data yang di peroleh peneliti secara langsung dari sumbernya atau
nara sumber sebagai informan yang langsung berhubungan dengan focus penelitian
yang berupa kata-kata dan tindakan orang-orang yang di amati dan di wawancarai.
Informasi awal di pilih secara acak, hal ini di didasarkan pada subyek yang
menguasai permasalahan, memiliki data dan beersedia memberikan data respon yang
di peroleh pada saat melakukan wawancara.
3.5.2. Sumber data sekunder
Merupakan data yang bersumber di luar kata-kata dan tindakan orang-orang
yang diamati atau diwawanccarai Moleong (1989:13) jadi data sekunder adalah data
yang sudah diolah dalam bentuk naskah tertulis atau dokumen yang di peroleh dari
kedua instansi tersebut.
3.6. Teknik pengumpulan data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan 3 (tiga) teknik pengumpulan data,
yakni wawancara, dan dokumentasi.
a. Wawancara (interview) yakni suatu teknik pengumpulan data melalui proses
Tanya jawab secara lisan, di mana dua orang atau lebih berhadapan secara
langsung, secara fisik, yang satu dapat melihat dan yang lain mendengarkan
33
dengan telinga sendiri. Ini merupakan teknik pengumpulan informasi secara
langsung atas data.
b. Dokumentasi yaitu teknik yang menekankan pada pengkajian atas dokumen-
dokumen yang ada, baik yang sudah di publikasikan maupun yang belum di
publikasikan.
3.7. Instrumen penelitian
Instrumen penelitian dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri dengan
menggunakan alat bantu seperti Bolpoints, Buku atau Kertas dan lain-lain.
3.8. Teknik analisis data
Teknik yang di gunakan dalam menganlisis data yang di kumpulkan dari
lapangan, dengan model Miles dan Huberman, (1992:27) yaitu mengali dan
menganlisa data kualitatif secara mendalam yang di lakukan dengan cara interaktif
dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas.
Sementara itu, tahapan-tahapan analisa data-data yang di peroleh dari
lapangan akan dikaji secara mendalam, maka penulis akan menggambarkan tahapan-
tahapan sebagai berikut:
34
Gambar 3.1
Komponen Dalam Analisa Data
Menurut : “Miles dan Huberman, (2013: 208)”
Keterangan:
a. Pengumpulan Data (Data Collection), yaitu teknik pengumpulan data dapat
berupa wawancara, documentasi dan observasi.
b. Reduksi Data (Data Reduction), yaitu data yang diperoleh dari lapangan
dengan proses pengumulan data yang jumlahnya cukup banyak dan kompleks,
sehingga perlu direduksi dengan merangkum, memilih hal-hal pokok dan
memfokuskan pada hal-hal yang penting saja untuk menemjukan polanya,
sehingga dapat mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data
selanjutnya.
Data
collection Data
display
Conclusions:
drawing/
verifying
Data
reduction
35
c. Penyajian Data (Data Display), yaitu berupa uraian atau bagan yang
disajikan untuk meperjelas hubungan antara kategori menurut urutanya
sehingga dapat dipahami.
d. Penarikan kesimpulan (Verifikasi/Conduction/Veriicatio), yaitu
kesimpulan yang di peroleh berdasarkan hasil analisa data, untuk menjawab
rumusan masalah dan kesimpulan tersebut harus didukung oleh bukti-bukti
yang kuat dari kredibilitas penelitian ini.
36
3.9. Jadwal Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Kantor Keuskupan Dili, Timor-Leste, yang
direncanakan akan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :
Tabel 3.1
Jadwal Penelitian
No Kegiatan
2014
Feb Maret April Juni Juli Des
1 Konsultasi Judul
2 Konsultasi Proposal
3 Penyusunan Proposal
4 Seminar Proposal
5 Revisi Proposal
6 Penelitian
7 Konsultasi Skripsi
8 Penyusunan Skripsi
9 Sidang Skripsi
10 Revisi Skripsi
11 Wisuda
37
PEDOMAN WAWANCARA
I. IDENTITAS RESPONDEN
Nama :
Jenis Kelamin :
Umur :
Alamat :
Agama :
Pekerjaan :
Jabatan :
II. PETUNJUK UMUM
Bapak Uskup diminta untuk memberikan keterangan atau informasi mengenai
penelitian saya tentang “Partisipasi Gereja Katolik Dalam perjuangan Hak
Kemerdekaan Timor-Leste ”, sesuai dengan apa yang Bapak Uskup ketahui
selama ini.
38
III. DAFTAR PERTANYAAN
A. KEUSKUPAN DILI, TIMOR-LESTE
1. Apa Reaksi ABRI dan Pemerintah Republik Indonesia terhadap upaya perjuangan
Gereja Lokal dalam pembebasan rakyat?
2. Apa indicator Partisipasi Gereja dalam perjuangan pembebasan rakyat Timor-
Leste?
3. Apa Asas Legalitas yang mendasari perjuangan Gereja dalam pembebasan Rakyat
Timor-Leste?
4. Hambatan apa saja yang di hadapi Gereja dalam perjuangan pembebasan Rakyat
Timor-Leste?
5. Apa sikap Vatikan terhadap perjuangan Gereja Lokal untuk pembebasan Rakyat?
6. Apa sikap KWI terhadap perjuangan Gereja Lokal pembebasan rakyat Timor-
Leste?
7. Sejauh mana partisipasi Gereja Katolik Dalam perjuangan Hak Kemerdekaan
Timor-leste?
39
DAFTAR PUSTAKA
Kiki Syhanakri, Edisi Januari 2013, Buku Timor-Timur Untold Story Cetakan PT
Gramedia, Jakarta.
Scheiner Charles, 1999. Judul Buku Kebenaran Bukan Pembenaran, kumpulan
Laporan Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor-Leste.
KWI, Conveniente Ex Universo, dalam “Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja
Tahun 1891 sampai 1991: dari Rereum Novarum sampai Centesimus Annus, Jakarta:
1999.
Moleong, Lexy, 2001, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda Karya, Bandung.
Nawawi,H, Hadari,1989, Meteodologi Penelitian Bidang Sosial, UGM Press,
Yogyakarta.
Sugyono 2008, Metode Penelitian Pendidikan: pendekatan Kuantitaf, Kualitatif, dan
R&D, cetakan VI, Alfabeta, Bandung.
INTERNET:
“Insiden Dili,” http://id.wikipedia.org/wiki/insiden_dili.Diakses pada 2 Agustus 2007.
Santoso, Thomas. 2002. Teori-teori Kekerasan. Jakarta, Ghalia Indonesia.
Wellek, Rene dan Austin Warren.1990 cet. II. Teori Kesusastraan, Terjemahan
40
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum dari hasil penelitian
Berhubung cukup luas ruang lingkup karya Gereja Timor-Timur berdasarkan
peranan gereja dalam pengembangan pendidikan, sector yang sangat menonjol
dikalangan masyarakat Timor-Timur. Di ketahui bahwa pada tahun 1556 telah datang
ke pulau Timor dua orang Misionaris dari Ordo Dominikan yaitu, Frei Antonio
Taveiro dan Frei Antonio da Cruz OP, untuk mewartakan kerajaan Allah. Mereka
memperkenalkan dan mengajarkan Agama Katolik di daratan pulau Timor. Usaha ini
berkembang cukup baik dengan banyaknya orang Timor yang memeluk Agama
Katolik. Semenjak itu para misionaris mulai berdatangan dan menyebar ke seluruh
wilayah pulau Timor, karya Misi semaking meluas dan para misionaris hanya
memusatkan perhatian pada karya penyebaran kerajaan Allah, waktu berjalan terus
guna mendidik penduduk setempat untuk menjadi tenaga-tenaga karya misi di antara
orang-orang pribumi sendiri, pada bulan Okrober 1734 dibangun sebuah Seminari di
Oecussi dan kemudian pada tahun 1774 berdiri lagi sebuah seminar di manatuto.
Menjelang akhir abad ke-19 dengan kehadiran Uskup Antonio Joaquim
Medeiros, selain tugas kerohanian, sektor pendidikan mendapat perhatian serius dari
para Misionaris untuk membangun sekolah-sekolah pada lokasi-lokasi di mana
mereka menjalangkan tugas penyebaran Injil kepada masyarakat setempat, berdirilah
sebuah sekolah di Lahane, selain di manatuto, Lacluta, Oecussi dan Batugade.
41
Pendidikan kaum Wanita pun telah mendapat perhatian dengan mendatangkan Suster
Kanosian dari Macau untuk mengasuh sebuah sekolah putri di Dili.
Pada saat yang sama Pastor Sebastian Aparisio da Silva mendirikan sebuah
pusat pewartaan Injil di Soebada dengan Gereja dan sekolah dimana para siswa selain
belajar membaca, menghitung dan menulis juga dilatih sebagai tukang batu dan
tukang kayu. Disamping itu dibangun juga sekolah putri dibawah asuhan suster
Kanosian. Perlu di ketahui bahwa pada waktu meninggalnya Uskup Antonio Joaquim
Medeiros, di Lahane, Tanggal 7 Januari 1897. Para Misionaris, selain tugas kerasulan
terhadap umat, memimpin sekolah-sekolah di Dare, Lahane, Dili, Oecussi, Batugade,
Maubara, Liquisa, Bazartete, Manatuto, Laleia, Baucau, Lacluta, Soibada, Alas,
Barique dan Bubususu.
Pembinaan dan pendidikan masyarakat secara keseluruhan menrupakan
tanggung jawab para misionaris, sehingga pastor Abilio Jose Fernandes waktu itu
menyatakan bahwa “ sejak keberadaan para misionarisdi pulau Timor, tidak ada
pastor yang tidak merangkap tugas sebagai guru”.
Setelah kunjungan pastoral Uskup Macau, Mgr. Jose da Costa Nunes, misi
katollik di Timor mengalami suatu era baru, dengan didirikanya sekolah pendidikan
Guru dan Katekis “ Santo Fransisco Xavier” untuk pria dan wanita yang kemudian
memberikan pelajaran sekolah dasar di sekolah-sekolah yang tersebar di seluruh
wilayah Timor-Timur. Pada tanggal 13 Oktober 1936 brdiri Pre Seminari “ Nossa
Senhora de Fatima” di Soibada untuk mmenyiapkan Pastor Putra daerah. Namun
akibat perang Jepang, terpaksa seminari ini di tutup pada bulan Oktober 1942.
42
Setelah perang Dunia II berakhir, Diosis Dili yang terbentuk pada tanggal 4
September 1940 dengan Uskup, Mgr. Jaime Garcia Goulart pada tahun 1946 memulai
suatu lembaran baru dalam sejarah misi di Timor. Kedua sekolah di fungsikan
kembali untuk pria dan wanita di Soebada bersama- sama dengan sekolah pendidikan
guru katekis dan Pre Seminari “ Nossa Senhora de Fatima”, yang kemudian pada
tahun 1954 resmi menjadi seminari menengah terletak di Dare. Empat sekolah baru
telah didirikan yaitu di Ossu untuk pria dan wanita, satu untuk pria di Maliana dan
satu lagi untuk pria di Fuiloro, yang di percayakn kepada serikat Salesian yang telah
berada di Timor- Timur sejak tahun 1946.
Dapat di catat bahwa sampai sekitar tahun1960 urusan pendidikan di Timo-
Timur seluruhnya merupakan tanggung jawab misi Katolik, kecuali Dili yang
memiliki sebuah sekolah dasar dan sekoloah menengah (Liceu) Milik Pemerintah.
Pada waktu pecahnya perang saudara di Timor-Timur pada tahun 1975 kegiatan
pendidikan berhenti secara total dan setelah situasi normal kembali kegiatan
pendidikan baik yang ditangani pemerintah maupun gereja secara bertahap di mulai
kembali dan tersebar di seluruh wilayah Timor-Timur. Urusan pendidikan di
keusukupan Dili dipercayakan kepada Yayasan Santo Paulus mulai dari taman kana-
kanak sampai pada sekolah menengah atas yang ada di Paroki-Paroki dan Stasi-Stasi.
Apabila kita memantau dan mengamati perkembangan pendidikan yang di
selenggarkan Gereja di Timor-Timur. Dari sampai dengan sekarang dapat
disimpulkan hasilnya sangat positif dan membawa dampak yang berpengaruh dalam
kehidupan dan penghidupan rakyat Timor-Timur. Masyarakat Timor-Timur tidak
43
dapat melupakan peranan gereja katolik terhadap dirinya sendiri, baik sebagai umat
Kristiani pengilut Kristus maupun sebagai anggota masyarakat yang kelangsungan
hidupnya sehari-hari cukup dipengaruhi oleh pendidikan di sekolah-sekolah katolik
seperti Soibada, Ossu, Maliana, Fuiloro dan Seminari Dare.
4.2.Fokus Penelitian dan Penyajian Data.
Sesuai dengan pengamatan penelitian yang di lakukan oleh peneliti dalam
rangka mendeskripsikan, menganalisiskan skripsi ini dengan judul : Partisipasi
Gereja Katolik Dalam Perjuangan Hak Kemerdekaan Timor-Leste. Yang
berkaitan dengan adanya partisipasi Gereja katolik dalam perjuangan kemerdekaan di
Timor-Lesre pada tahun 1974-1999 dan yang lebih difokuskan oleh peneliti yaitu
sejauh mana partisipasi gereja katolik dalam perjuangan hak kemerdekaan Timor-
Leste. Tujuan analisis penelitian ini dimaksudkan untuk menyederhanakan data yang
diperoleh dari hasil penelitian menjadi bentuk yang mudah dibaca dan dipahami, data
ini diolah dengan mengunakan metode Kualitatif Deskriptif guna memahami gejala-
gejala atau fenomena-fenomena atau permasalahan-permasalan yang terkait dengan
data-data yang terhimpun dari obyek penelitian.
Pada bagian ini peneliti akan mengemukakan hasil penemuan yang ditemukan
oleh peneliti di lapangan penelitian. Namun sebelumnya peneliti akan memberikan
gambaran penemuan data pada saat peneliti awal dilakukan, meliputi partisipasi
gereja katolik dalam memperjuangan hak kemerdekaan Timor-Leste dan yang
menjadi alasan bagi Gereja katolik adalah invasi Pemerintah Republic Indonsia
terhadap Timor-Leste pada tahun 1975 dan pada saat itu rakyat Timor-Leste banyak
44
yang menjadi korban dari invasi tersebut oleh sebab itu maka gereja katolik mulai
berperan aktif dalam memperjuankan Hak kemrdekaaan Timor-Leste dalam sebuah
scenario yang dimainkan oleh Paus Paulus ke VI dalam pembentukan dan penerapan
perubahan-perubahan Konsili Vatikan, termasuk doktrin-doktrin tentang keadilan
Sosial dan ia sangat menantan kekerasan yang dilakukan oleh Pemerintah Republik
Indonesia Terhadap umat kristiani Timor-Leste.
Dan terdapat berbagai responden yang menjelaskan bahwa partisipasi Gereja
Katolik dalam perjuangan Hak kemerdekaan Timor-Leste dimulai dari pengankatan
Vatikan terhadap Dom Martinho da Costa Lopes dan pada saat itu Dom Martinho
sebagai Administrasi apostolika dan menjadi putra pertama Timor-Leste yang
menjadi kepala Vatikan melalui duta besar Vatikan Indonesia dan pada masa itu
Dom Martinho tidak menemukan catatan-catatan apa pun yang berkaitan dengan
intervensi Publik atau peranan yang mendukung selama perjuangan gereja katolik
terhadap perjuangan hak kemerdekan Timor-Leste dan pada saat itulah Dom
Martinho Memundurkan diri dari jabatanya karena hubungan Vatikan dan militer
Indonesia mulai memburuk.
Dan pada tahun 1983 penunjukan Carlos Filipi Ximenes Belo oleh Vatikan
untuk menjadikan dirinya kepada penentuan nasib sendiri baik sebagai hak maupun
rumusan perdamaian abadi. Terbukti bahwa hak asasi manusia dan nilai-nilai yang
terkandung didalamnya Sangat membantu perjuangan rakyat untuk membebaskan diri
dari penindasan sepenuh-penuhnya dan mewujudkan cita-cita libertasaun nasional.
Persoalan hak asasi manusia masih menjadi isu penting bagi gereja Katolik
45
khususnya Keuskupan Dili guna membebaskan masyarakat Timor-Leste dari naungan
kolonial indonesia. Dari partisipasi gereja katolik khususnya dalam perjuangan hak
kemerdekan Timor-Leste maka bangkitlah Fase ini dimulai dengan perubahan
orientasi perjuangan bangsa dalam mencapai kemerdekaan. Keterpurukan dan
kelemahan kita saat ini, bukan selayaknya menjadikan kita lemah dan tak
berdaya.untuk menjadi bangsa besar, kita harus berfikir besar, menujuh jangka
panjang Melihat situasi dan kondisi yang sedang berjalan menyelilingi kita di
Timor-Leste pada masa itu.
4.3.Pembahasan
4.3.1. Dasar perjuangan Gereja dalam pembebasan Rakyat Timor-Leste.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti mengenai indikasi
dan legalitas yang mendasari Partisipasi Gereja Katolik Dalam Perjuangan Hak
Kemerdekaan Timor-Leste. dilihat dari partisipasi aktif gereja katolik dalam
perjuangan hak kemerdekaan Timor-Leste pada saat itu mulai dari Dom Martinho da
Costa Lopes dan Dom Carlos Filipe Ximenes Belo, para Imam-imam dan para Suster
yang memberikan kontribusi baik moral maunpun material guna menfasilitasikan
para pejuang dan para rakyat Timor-Leste untuk memperjuangkan hak
kemerdekaannya.
46
Pandanggan yang dilontarkan oleh PE. Fransisco Bareto yang menjelaskan bahwa:
“Dasar perjuangan Gereja Katolik dalam memperjuangkan hak kemerdekaan
Timor-Leste berbasis pada keinginan rakyat Timor-Leste untuk bebas dari intimidasi
dan mendapatkan hak kemerdekaan dari jajahan colonial bangsa Republik Indonesia,
dan di lain pihak pula indikasi yang mendasari gereja katolik dalam partisipasi
perjuangan hak kemerdekaan Timor-Leste melalui karena adanya kekerasan yang
dilakukan oleh Pemerintah Indonesia terhadap rakyat Timor-Leste karena gereja
katolik memproklamasikan kebaikan dan memperjuangkan Hak Sosial rakyat Timor-
Leste dari Barat sampai Timur agar memperoleh kebebasan, dan disamping itu
kebebasan bukan hanya terdapat pada Negara colonial tetapi terdapat pula pada
masyarakat Timor-Leste dan dari aspek di ataslah gereja katolik berkolaborasi di
masing-masing pihak dalam memperjuangkan hak kemerdekaan Timor-leste.
Partisipasi gereja katolik bukan dengan senjata tetapi dengan kata-kata moral dan
memperjuankan hak social masyarakat Timor-Leste, karena pandangan gereja
terhadap colonial Negara republic Indonesia sangat membawa dampak negative
terhadap masyarakat Timor-Leste karena terjadinya pembunuhan dan pembantaian di
mana-mana dan melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia13
Seiring dengan itu menurut Directur Caritas Dili Timor-Leste, PE. Adrian
Ola Doli bahwa.
“Hal yang mendasari partisipasi gereja dalam perjuangan hak kemerdekaan
rakyat Timor-Leste dilihat dari 3 aspek yaitu indicator Biblis yang artinya
semua orang yang menderita akan mendapatkan pertolongan dari gereja tampa
melihat latar politiknya, indicator yang lain lagi maka gereja melihat dari
aspek pembantaian yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia khususnya
ABRI terhadap rakyat Timor-Leste yang menyebabkan banyak korban dan
indikator yang mendoron gereja untuk berpartisipasi dalam perjuanggan hak
kemerdekaan Timor-Leste yaitu indicator moral dan cinta kasih. Dan yang
lebih difokuskan oleh gereja yaitu semua orang yang menderita itu tugas
gereja untuk menolong disampin itu gereja tidak mempunyai musuh dan
gereja melihat bahwa banyak yang menjadi korban politik khususnya politik
ideologi.14
Dengan ini Directur Komisaun Jusisa no Paz Diocese de Dili Timor-Leste,
PE. Hermino de Fatima Gonsalves juga mengemukakan bahwa.
“Indicator pertama adalah pelangaran hak asasi manusia, Gereja di mana pun selalu
berjuan untuk membelah masyarakat terutama masyarakat yang tertindas, gereja tidak
pernah menyentuh atau melakukan reformasi guna mendapatkan kekuasaan tetapi
13
PE Fransisco Bareto Caplao Deoseje dili Timor-Leste 14 Direktor Caritas Dili Timor-Leste PE Adrian Ola Doli
47
gereja mempunyai misi yang berhunbungan dengan manusia maka gereja ikut
berpartisipasi pada masa itu karena melihat para penguasa yang memiliki kekuasaan
untuk melakukan pembantayang, penyiksaan, penculikan dan pembunuhan pada
masyarakat Timor-Leste oleh ABRI pada waktu itu, indicator yang digunaka oleh
gereja pada waktu itu adalah sebagai memata-matai untuk melindungi dan membelah
masyarakat Timor-Leste dari rejim dan jajahan bansa Republik Indonesia. Dan asas
legalitas adalah konvensi hak asasi manusia yang mengatakan bahwa hak seseorang
tidak bisa di gangu gugal oleh orang lain dan juga tidak boleh di halangi oleh siapa
pun dan semua orang memiliki hak untuk menentukan nasip sendiri, itu adalah
legalitas internasional.15
Selain itu Fundador Esmaek Dili Timor-Leste yang bernama Ir. Maria de
Lourdes yang menjelaskan bahwa.
“Indikasi yang pertama adalah diskriminasi karena mayoritas masyarakt
Timor-Leste inggin melepaskan diri dari colonial Indonesia khususnya ingin merdeka
atau referendum tetapi pemerintah Indonesia melakukan tindakan-tindakan yang
melangar hak asasi manusia misalnya pembantaian, pembunuhan, penculikan
terhadap masyarakat Timor-Leste pada tahun 1974-1999. Dan asas legalitas yang
mendorong partisipasi gereja dalam perjuanggan hak kemerdekan Timor-Leste adalah
asas biblis dan asas hokum internasional16
.
Berdasarkan dari pernyataan-peryataan yang dikemukakan di atas mengenai
Indikasi dan legalitas yang mendasari partisipasi Gereja dalam pembebasan Rakyat
Timor-Leste maka menurut pemahaman peneliti bahwa semua orang dan setiap
institusi termasuk Gereja berkewajiban mengusahakan kesejateraan dan kebahagiaan
manusiawi melalui berbagai kegiatan moral dan cinta kasih. Dan menurut parah ahli
Partisipasi berarti peran serta seseorang atau kelompok masyarakat dalam proses
pembangunan baik dalam bentuk pernyataan maupun dalam bentuk kegiatan dengan
memberi masukan pikiran, tenaga, waktu, keahlian, modal dan atau materi, serta ikut
memanfaatkan dan menikmati hasil hasil pembangunan.17
Maka gejala-gejala yang
mendoron partisispasi gereja dalam memperjuangkan hak kemerdekaan Timor-Leste
dilalui oleh dua bidang yaitu bidang Diplomat dan bidang Klandestin, dari bidang
diplomatik, gereja melakukan diplomasi untuk mendapatkan bantuan dari luar negeri
15 . Direktor Komisaun Justisa e Paz Diocese de Dili Timor-Leste PE Hermino de Fatima Gonsalves
16 Fundador Esmaek Dili Timor-Leste Sr.Maria de Lourdes
17 Jhon M.echols & Hasan Shadily,2000:419.
48
seperti berdirinya Delegasi Sosial (DELSOS) guna melihat, menolong, dan memberi
bantuan beserta memberi pinjaman Kredit untuk masyarakat guna meninkatkan
sumber pendapatan agar bisa menfasilitaskan kebutuhan masyarakt dalam situasi
krisis pada masa penjajahan bangsa republic Indonesia, beserta bantuan social lainya
dan segi lain gereja juga melakukan bidang klandestin seperti Dom Martino
melakukan pertemuan rahasia bersama dengan bapak Xanana untuk membicarakan
tentan ideologi Marxime dan Lenimisme agar dihilankan sistem tersebut guna
menarik partisipasi 4 partai lainya untuk memeperjuangkan hak kemerdekaan
Timor-leste.
4.3.2. Hambatan yang di hadapi oleh Gereja Katolik.
Berdasarkan hasil penelitian yang di dapatkan oleh peneliti mengenai
hambatan yang di hadapi oleh gereja katolik dalam memperjuankan hak kemerdekaan
Timor-Leste pada saat itu ialah perbedaan pemikiran mayoritas masyarakat terhadap
hak penentuan nasib sendiri, oleh karena itu Negara Republik Indonesia melakukan
invasi terhadap masyarakat Timor-Leste pada tahun 1975 dan dari invasi tersebut
maka gereja katolik melakukan intervensi terhadap kehadiranya Republik Indonesia
atas sifat-sifat yang melangar hak asasi manusia dan menghilangkan Nilai-Nilai
Demokrasi khususnya masyarakat Timor-Leste pada waktu itu. Dari pengertian di
atas maka pandangan yang dilontarkan oleh bapak Gregorio Saldanha yang
menjelaskan bahwa.
Di mulai dari perjuangan Dom Martinho selalu ada hambatan dan hambatan
yang pertama ialah Uskup di pindahkan ke luar Negeri, dengan kehadiran
Dom Carlos Filipe Ximenes Belo membawah perdamain dan sebagai rumusan
hak penentuan nasip sendiri. Melaluui surat yang dikirimkan oleh uskup belo
kepada PBB, dan Uskup Belo dengan perjuangganya ia selalu memberikan
suaranya melalui perayaan Misa yang mengatakan bahwa rakyat yang di
tindas tidak berdasarkan manusiawi, keadilan, hak Asasi manusia maka para
penindas tidak mempunyai perikemanusiaan atas kesengsaraan yang di
haddapi oleh masyarakat dalam penentuan nasib sendiri, dalam perjuangan
Uskup Belo yang mengatasnamakan Gereja Katolik sebagai defensor ke pada
masyarakat yang di tindas karena itulah Uskup Belo menulis surat kepada
sekretaris Jendral PBB untuk meminta Referendum pada tahun 1987 yang
mengambil bagian dari peranan dan partisipasi Gereja Katolik dalam
penentuan nasib sendiri dan hambatan yang lain ialah negara Republik
Indonesia mempunyai Militer yang cukup banyak dalam melakukan intervensi
kepada gereja katolik dalam perjuangan hak kemerdekaan Timor-Leste dan
49
hambatan berikut ialah minimnya persatuan rakyat karena gereja berdiri di
antara dua kubuh yaitu pro kemerdekaan dan pro otonomi.18
Selain itu Directur Caritas Dili Timor-Leste PE. Hermino de Fatima
Gonsalves yang menjelaskan bahwa:
“Hambatan yang di hadapi oleh gereja katolik pada waktu itu ialah minimnya
persatua masyarakat Timor-leste pada awal perjuanggan partai Fretilin guna
memproklamasikan kemerdekaan Timor-Leste pada tanggal 28 november
1975 yang diproklamasikan oleh bapak Fransisco Xavier dan hambatan
berikutnya yang di hadapi oleh gereja katolik ialah mendapatkan terror
intimidasi dari pemerintah Republik Indonesia khususnya Ankatan Bersenjata
Republik Indonesia (ABRI). 19
.
Berdasarkan hasil wawancara di atas maka peniliti menyimpulakan bahwa
dari intimidasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia khususnya Ankatan
Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) terhadap rakyak Timor-Leste yang
mempunyai hak penentuan nasib sendiri yang di ganggu gugat oleh pemerintah
Indonesia Secara politik yang berbasis Imperialisme. Hal ini menunjukkan dukungan
Vatikan terhadap proses PBB tentang penentuan nasib sendiri, bukannya atas klaim
Indonesia bahwa status politik wilayah ini telah diputuskan dan para pejabat Vatikan
menyatakan, bahwa mereka menganggap Timor-Leste sebagai “negeri terjajah” di
mana tidak ada tindak nyata untuk mendorong penentuan nasib sendiri. Mereka
menambahkan, bahwa Vatikan tidak akan mengakui Timor-Leste sebagai bagian dari
Indonesia, hingga jelas bahwa hal ini merupakan keputusan rakyat Timor-Leste, yang
disetujui oleh Perserikatan Bangsa- Bangsa. Sejalan dengan kebijakan ini, Vatikan
menjaga tanggung jawab langsung atas Gereja lokal melalui konflik, yang kemudian
sejauh mungkin memberi perlindungan dan akses internasional bagi para pejabatnya,
dan menolak tekanan dari Indonesia untuk melakukan integrasi eklesiastis Namun
Vatikan tidak mengumumkan atau pun memajukan posisinya secara internasional.
Sangat sedikit umat katolik atau publik internasional umum yang mengetahui, bahwa
Vatikan mendukung hak warga atas penentuan nasib sendiri.
18
Presidenti Komisaun 12 de Novembro Sr Grigorio Saldanha tgl,29/08/2014, 10:30-11:30 OTL). 19 PE. Hermino de Fatima Gonsalves Direktor Komisaun Justisa e Paz Diocese de Dili Timor-Leste.
tgl. 27 / 08 / 2014, 10:30-12:00 OTL)”
50
4.3.3. Reaksi dan sikap ABRI dan Pemerintah Republik Indonesia
Reaksi dan sikap ABRI terhadap partisipasi Gereja yaitu pemahaman
kebenaran tersebut tidak selamanya sesuai dengan hakekatnya dalam kehidupan
masyarakat di mana terdapat relasi manusiawi yang timpang antara penguasa dan
yang dikuasa maka pengungkapan dan interpretasi terhadap relasi Gereja dengan para
pejuan Timor-leste sering didominasi oleh kepentinggan Negara yaitu kebebasan
rakyat Timor-Leste dari naunggan penjajahan bangsa republic Indonesia seirin
dengan pengakuan itu namun untuk mendapatkan keberhasilan dan kemerdekaan
orang harus menhabiskan uang dan bahkan nyawa. Dari pendapat di atas terdapat
sebuah pandanggan yang dilontarkan oleh PE.Fransisco Bareto mejelaskan bahwa :
“Reaksi yang dilakukan oleh ABRI terhadap gereja katolik pada tragedi-
tragedi pembantanyang yang terjadi pada tanggal 25 bulan September di
Lauten yang menyebabkan suster dan Calon pastor banyak yang meningal
dunia karena kekerasan yang dilakukan oleh ABRI terhadap rakyat Timor-
leste dan kejadiaan yang terjadi di Liquisa pada tangal 4 April dan Gereja
Suai Kova Lima pada tanggal 4 September 1999 dan lain sebagainya.20
Seirin dengan itu, menurut Directur CARITAS Dili Timor-Leste yang
bernama PE. Adrian Ola Duli mengatakan bahwa :
“Reaksi dari pemerintah Indonesia berbeda yaitu pro dan kontra yang satu
ingin Negara Timor-Leste menjadi Negara yang berkedaulatan Negara
republic Indonesia dan pihak yang lain ingin Negara Timor-Leste melepaskan
diri dari Negara Republic Indonesia karena dilihat dari aspek hukum.21
Dengan ini Directur Caritas Dili Timor-Leste yang bernama PE. Hermino de
Fatima Gonsalves yang menjelaskan bahwa:
“Pada waktu itu sikap pemerintah Indonesia maupun ABRI sikapnya
bertentanggan dan melawan, sikap gereja waktu itu sangat tinggi
memperjuankan hak asasi, mereka melihat bahwa dalam selama dua puluan
tahun mereka berkorban di Timor-Leste, maka waktu itu pemerintah
Indonesia dan ABRI sanggat menolak bahkan sampai uskup Belo di anugrahi
Novel perdamaian pun di tolak oleh masyarakat, pimpinan ABRI Indonesia
20 PE.Fransisco Bareto . Caplaun Dioseje Dili Timor-Leste. Tgl.24/07/2014, Jam 10:00-12:00 OTL
21 PE. Adrian Ola Duli Direktor Caritas Dili Timor-Leste. Tgl 20/08/2014. 11;00-12;00otl
51
maupun pimpinan Lokal Timor-Leste, tentu saja semua ini menyentu harga
diri setiap satu bangsa maka otomatis sikap mereka adalah Penolakan.22
Berdasarkan ke 3 pendapat di atas maka penulis memberi kesimpulan bahwa
dengan reaksi ABRI dan Pemerintah Indonesia terhadap partisipasi gereja dalam
perjuanggan hak kemerdekan Timor-Leste yang menyebabkan 3 pastor mati di bunuh
oleh ankatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yaitu Imam Deryato dari jawa,
Imam Fransisco Soares dari Letefoho Ermera, Imam Hilario dari Punilala Ermera
beserta rakyat Timor-Leste yang tidak berdosa sekitar 1.200 penduduk sipil telah di
bunuh oleh Ankatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan Milisis dan lebih
dari 200.000 orang kehilangan harta bendanya karena menjalankan hak politiknya
menurut hokum internasional.
4.4. Analisis dan Interpretasi Data
Berdasarkan pendapat di atas maka peneliti menganalisis bahwa dari kasus
pelangaran hak asasi manusia yang di lakukan oleh pemerintah Indonesia dan
Ankatan Bersenjata republic Indonesia (ABRI) guna berupaya untuk menguntunkan
kebenaran atas peeristiwa pelangaran Ham yang dilakukan oleh pihak penguasa
Indonesia terhadap masyarakat Timor-Leste dan. Sebagaimana kita ketahui bahwa
hak asasi dapat dikatakan sebagai hak dasar yang dimiliki oleh pribadi manusia
sebagai anugerah Tuhan yang dibawa sejak lahir. Hak asasi itu tidak dapat dipisahkan
dari eksistensi pribadi manusia itu sendiri23
. Dan di tinjau dari Aspek Hak Asasi
Manusia maka, Gereja mengikutsertakan dalam Perjuangan Hak Kemerdekaan
Timor-Leste beserta tinjauan dari Biblis yang mengatakan bahwa semua Umat
Manusia saling menghormati dan menghargai sesama Umat Manusia dan menjunjung
22 PE. Hermino de Fatima Gonsalves Direktor Komisaun Justisa e Paz Diocese de Dili Timor-Leste,
tgl. 27 / 08 / 2014, 10:30-12:00 OTL)” 23. Mr. Koentjoro Poerbapranoto (1976).
52
tinggi harkat dan martabat manusiawi beserta ajaran Yesus Kristus atas rumusan
Perdamaian dan cinta Kasih sesama manusia.
Berdasarkan penjelasan kedua teori diatas maka peneliti menganalisis bahwa
gereja mengjunjung tinggi hak perjuangan rakyat Timor-Leste guna membebaskan
diri dari colonial atau penjajahan Republik Indonesia, dan Gereja sebagai symbol
perdamaian bagi masyarakat penindas dan masyarakat yang di tindas dalam proses
penjajahan yang dilakukan oleh pemerintah indonesia terhadap masyarakat Timor-
Leste. Melalui partisipasi gereja membuka ruang informasi bagi masyarakat Timor-
Leste guna memperjuangkan haknya berdasarkan hokum internasional.
Mengenai penjelasan tentang partisipasi dimana maka partisipasi dapat juga
berarti pembuat keputusan menyarankan kelompok atau masyarakat ikut terlibat
dalam bentuk penyampaian saran dan pendapat24
Partisipasi dapat juga berarti bahwa
kelompok mengenal masalah mereka sendiri, mengkaji pilihan mereka, membuat
keputusan, dan memecahkan masalahnya.
Berdasarkan teori diatas maka peneliti menganalisis bahwa partisipasi gereja
adalah salah satu bagian determinasi dalam proses perjuangan hak kemerdekaan
Timor-Leste melalui pengakuan internasional secara defakto di mana Negara berdiri
berdasarkan asas legalitas, mempunyai rakyat yang berdaulat, wilayah, Undang-
Undang dan mempunyai Pemerintah tersendiri agar bisa mengatur masyarakat beserta
pemerintahanya didalam suatu Negara
24( Nyoman Sumaryadi, 2010: 46).
53
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Dari gambaran umum dan hasil pembahasan yang ada dapat disimpulkan
bahwa, Indonesia melakukan invasi ke Timor Leste pada tanggal 7 Desember 1975
dan berkuasa selama 24 tahun. Selama kekuasaan Indonesia pembangunan dengan
giat dilaksanakan diseluruh Timor Leste dan unsur-unsur politis yang terkandung
didalamnya ahíla: (1) Untuk menarik simpati masyarakat Timor Leste, dan (2) Untuk
mempengaruhi dunia internasional dalam mengakui kekuasaan RI di TL.
Pada masa kekuasaan RI, terjadi pula berbagai tindakan pelanggaran hak asasi
manusia yang dipraktekkan oleh militer Indonesia dengan maksud untuk menekan
perjuangan rakyat untuk mencapai kemerdekaan Timor Leste. Pemerintah Republik
Indonesia membangun pembangunanan yang dilaksanakan dan segala upaya untuk
tetap mempertahankan Timor Leste sebagai bagian dari NKRI tetapi menjadi gagal.
Karena cita-cita perjuangan rakyat Timor Leste beserta partisipasi gereja
katolik dalam penentuan hak kemerdekaan Timor-Leste melalui kunjungan Paus
Paulos ke IV pada tahun 1989 yang membuka peluang bagi masyarakat internacional
untuk berperang aktif dalam perjuangan rakyat Timor-Leste dan disamping itu pula
penerimaan Novel Perdamaian dari Uskup Dom Carlos Filipe Ximenes Belo bersama
Bapak Jose Ramos Horta pada tahun 1996, yang bertujuan untuk menarik simpaty
54
Dunia Internasional terhadap perjuangan rakyat Timor-Leste untuk melepaskan diri
dari colonial Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Masyarakat Timor-Leste mengorbangkan segala apapun, guna mendapatkan
dua Opsi yaitu pro Otonomi dan Pro referéndum pada tahun 1999, secara aklamasi
sekitar 78,8% rakyat Timor-Leste memilih Referendum untuk berpisah dengan RI.
5.2. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran yang dapat diajukan oleh peneliti
adalah sebagai berikut:
1. Bagai pemerintah hendak lebih memahami dan membangun relasi yang
semestinya di lakukan dengan gereja katolik guna meninkatkan
kerjasama yang baik dalam menyelengarakan pembangunan Timor-Leste.
Dan pemerintah Timor-Leste juga harus memberikan penhargaan kepada
gereja katolik khususnya para imam dan para suster yang telah
mengorbankan dirinya dalam perjuanggan kemerdekaan Timor-leste
sebagai simbol penhargaan Negara. Pemerintah harus lebih mempertegas
perlindungan hak asasi manusia bagi rakyat di negara ini agar tidak
terjadi lagi pelanggaran hak asasi manusia antara masyarakat di negara
Timor-Leste.
55
2. Bagi gereja Katolik hendaknya berpartisipasi dalam pembangunan nacional
Timor-Leste sehingga diharapkan gereja katolik mempunyai prespektif dan
wawasan yang dapat diaplikasikan dalam kegiatan yang berisifat posetif dalam
pembangunan Timor-Leste.