BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. I.pdf · kepentingannya, maka telah terjadi hubungan...

17
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. Perdagangan internasional merupakan salah satu bagian dari kegiatan ekonomi yang saat ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini terlihat dari semakin berkembangnya arus peredaran barang, jasa, modal, dan tenaga kerja antarnegara yang tidak lagi mengenal batasan teritorial. Batas-batas negara bukan lagi halangan dalam bertransaksi. Dengan memanfaatkan keadaan perdagangan bebas yang terjadi, Negara- negara saling berlomba untuk memajukan pembangunan ekonomi mereka dengan mengadakan perdagangan luar negeri. Ada berbagai motif atau alasan mengapa negara atau subjek hukum (pelaku dalam perdagangan) melakukan transaksi dagang internasional. Fakta yang sekarang terjadi adalah bahwa perdagangan internasional sudah menjadi tulang punggung bagi negara untuk menjadi makmur, sejahtera dan kuat. Ketika suatu negara berusaha secara maksimal mengendalikan pasar untuk kepentingannya, maka telah terjadi hubungan antara politik dan ekonomi. Kegiatan politik ekonomi dalam perdagangan internasional ini sangat rentan menimbulkan konflik.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. I.pdf · kepentingannya, maka telah terjadi hubungan...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah.

Perdagangan internasional merupakan salah satu bagian dari kegiatan ekonomi

yang saat ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini terlihat dari semakin

berkembangnya arus peredaran barang, jasa, modal, dan tenaga kerja antarnegara yang

tidak lagi mengenal batasan teritorial. Batas-batas negara bukan lagi halangan dalam

bertransaksi.

Dengan memanfaatkan keadaan perdagangan bebas yang terjadi, Negara-

negara saling berlomba untuk memajukan pembangunan ekonomi mereka dengan

mengadakan perdagangan luar negeri. Ada berbagai motif atau alasan mengapa negara

atau subjek hukum (pelaku dalam perdagangan) melakukan transaksi dagang

internasional. Fakta yang sekarang terjadi adalah bahwa perdagangan internasional

sudah menjadi tulang punggung bagi negara untuk menjadi makmur, sejahtera dan

kuat. Ketika suatu negara berusaha secara maksimal mengendalikan pasar untuk

kepentingannya, maka telah terjadi hubungan antara politik dan ekonomi. Kegiatan

politik ekonomi dalam perdagangan internasional ini sangat rentan menimbulkan

konflik.

2

Konflik atau sengketa dalam hubungan internasional sangat rentan terjadi. Benturan

kepentingan politik suatu negara dengan negara lain, serta adanya pelanggaran terhadap perjanjian

dalam lingkup multilateral maupun billateral, dapat menjadi penyebab timbulnya suatu konflik

atau sengketa internasional. Dalam hukum internasional, terdapat berbagai cara yang dapat

digunakan untuk menyelesaikan suatu sengketa internasional yang terjadi. Penyelesaian sengketa

dengan damai hingga penggunaan kekerasan, dapat digunakan untuk menyelesaikan suatu

sengketa internasional oleh suatu negara. Penggunaan penyelesaian sengketa dengan kekerasan,

memang disarankan untuk tidak digunakan lagi semenjak lahirnya The Hague Peace Conference

pada tahun 1899 dan 1907. Namun karena sifatnya yang rekomendatif dan tidak mengikat,

konvensi tersebut tidak mempunyai kekuatan memaksa untuk melarang negara-negara

menggunakan kekerasan sebagai metode penyelesaian sengketa.

Namun disisi lain penggunaan penyelesaian sengketa secara damai yang banyak digunakan

dalam menyelesaikan sengketa internasional, baik publik ataupun privat banyak memiliki

kekurangan atau kelemahan dalam prosesnya. Salah satunya penyelesaian sengketa yang sudah

dikenal sejak lama adalah penyelesaian sengketa melalui proses ligitasi di pengadilan. Proses

ligitasi mempunyai beberapa kelemahan seperti, (a) hanya menghasilkan putusan yang bersifat

menang-kalah, (b) memakan waktu yang banyak, (c) juga tidak sedikit memakan biaya yang

banyak. Proses-proses tersebut pastinya banyak dihindari oleh negara-negara, organisasi

internasional dan aktor non-negara demi menghemat waktu, tenaga, biaya dan kemungkinan

sesuatu yang fatal terjadi kedepannya. Selain itu penggunaan skema negosiasi dalam penyelesaian

sengketa juga memiliki kelemahan dalam prosesnya salah satunya adalah, negosiasi tidak pernah

tercapai apabila salah satu pihak berpendirian keras. Penggunaan negosiasi juga berarti menutup

3

kemungkinan keikutsertaan pihak ketiga, artinya apabila salah satu pihak berkedudukan lemah

tidak ada pihak yang membantunya.

Keberadaan organisasi internasional yang secara khusus menangani permasalahan

penyelesaian sengketa, dapat digunakan sebagai alternatif penyelesaian sengketa. Dalam kasus

sengketa perdagangan internasional, salah satu contoh organisasi internasional yang mengatur

mengenai permasalahan ini adalah organisasi perdagangan dunia (World Trade Organization)

disingkat juga WTO. WTO adalah organisasi yang berbasiskan aturan-aturan yang merupakan

hasil perundingan. Pembentukan WTO dilandasi untuk mengatur perdagangan pada tingkat

internasional, yang salah satu tujuannya adalah untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa akibat

konflik atau sengketa yang timbul dari perdagangan internasional.

Organisasi-organisasi seperti ini pada umumnya menyediakan panel atau suatu badan yang

bersifat sementara (ad hoc) yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi.

Penyelesaian sengketa melalui organisasi internasional banyak dilakukan oleh negara anggota,

hingga negara yang bukan merupakan anggota organisasi tersebut. Keputusan akhir yang

dikeluarkan dalam penyelesaian sengketa dapat bersifat mengikat atapun hanya sebatas masukan

bagi negara-negara yang bersengketa.

Dalam perdagangan internasional penyelesaian sengketa dengan berlandaskan itikad baik

(good faith) atau penggunaan jalur damai, dilakukan untuk mencegah timbulnya konflik lain yang

dapat mengancam kedamaian antar negara. Itikad baik dapat dikatakan sebagai prinsip

fundamental dan paling sentral dalam penyelesaian sengketa.1 Apabila salah satu negara sebagai

pihak yang bersengketa tidak menunjukkan itikad baiknya untuk menyelesaikan sengketa yang

1Huala Adolf, 2005, Hukum Perdagangan Internasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya

disingkat Huala Adolf I), h. 198.

4

terjadi, maka penyelesaian sengketa sangat sulit dilakukan. Salah satu cara yang dapat dilakukan

untuk menyelesaikan sengketa tersebut yakni dengan penggunaan skema kekerasan.

Tindakan reprisals terhadap negara lain yang dalam kegiatan perdagangannya melakukan

pelanggaran terhadap aturan atau suatu perjanjian yang telah disepakati, sehingga menimbulkan

kerugian sangat wajar dilakukan. Reprisals merupakan upaya paksa yang digunakan untuk

memperoleh jaminan ganti rugi yang terbatas pada penahanan orang atau benda. Salah satu bentuk

reprisals yang dapat digunakan adalah embargo ekonomi. Embargo biasanya digunakan sebagai

hukuman politik bagi pelanggaran terhadap sebuah kebijakan atau kesepakatan. Penggunaan

embargo terhadap suatu negara dapat menyebabkan tekanan besar terhadap perekonomian negara

tersebut, sehingga menimbulkan kondisi dimana negara yang diembargo mengikuti kemauan

negara yang melakukan embargo. Skema ini dapat digunakan sebagai penyelesaian sengketa

perdagangan apabila jalan damai tidak berhasil.

Rusia pernah mengumumkan sebuah embargo satu tahun atas komuditas perdagangan

ikan, susu, buah-buahan dan sayuran dari Uni Eropa, AS dan negara-negara Barat lain sebagai

pembalasan atas sanksi ekonomi tindakan Moskow di Ukraina.2

Sengketa perdagangan internasional memerlukan penanganan dan pemberian solusi yang

cepat dalam penyelesaiannya. Sehingga mengingat pertimbangan-pertimbangan tersebut maka

diperlukan pengkajian terhadap penggunaan skema embargo dalam penyelesaian sengketa

perdagangan internasional agar diperoleh suatu kejelasan dan kepastian hukum terhadap

penyelesaian sengketa perdagangan internasional. Oleh karena itu maka penulis tertarik

2 Bisnis Daily News, Petani EU Terpukul Dampak Sanksi Rusia, Diakses pada tanggal: 9 Januari 2015,

http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2014/10/01/120707/petani-muda-eu-terpukul-dampak-sanksi-

rusia/#.VLb6Gnsm0fY.

5

mengadakan penelitian terkait latar belakang permasalahan diatas dengan judul skripsi

“Penggunaan Skema Embargo Dalam Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional”.

1.2 Rumusan Masalah.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah skema pengaturan penyelesaian sengketa perdagangan internasional ?

2. Apakah skema Embargo dapat digunakan sebagai skema penyelesaian sengketa

perdagangan internasional ?

1.3 Ruang Lingkup Masalah.

Penegasan ruang lingkup masalah dalam suatu karya ilmiah sangat penting dan berguna,

hal ini guna mencegah suatu pembahasan untuk tidak menyimpang dari pokok permasalahan yang

dibahas.

Ruang lingkup penelitian merupakan bingkai penelitian, yang menggambarkan batas

penelitian, mempersempit permasalahan, dan membatasi area penelitian. Lingkup penelitian juga

menunjukan secara pasti faktor-faktor mana yang diteliti, dan mana yang tidak atau untuk

menentukan apakah semua faktor yang berkaitan dengan penelitian akan diteliti ataukah

dieliminasi sebagian.3 Adapun dalam permasalahan yang pertama mencakup mengenai

bagaimanakah skema penyelesaian sengketa perdagangan internasional. Pada permasalahan kedua

3 Bambang Sunggono, 2007, Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 111.

6

akandibahas mengenai penggunaan skema embargo dalam penyelesaian sengketa perdagangan

internasional.

1.4 Tujuan Penelitian

Dalam suatu penulisan tentu tidak terlepas dari adanya tujuan yang mendasari dari pembuatan

tulisan tersebut.Demikian pula dengan pembuatan penulisan skripsi karya ilmiah ini, yang

memiliki tujuan:

1.4.1 Tujuan Umum

Tujuan penulisan skripsi ini adalah guna:

1. Melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi,khususnya pada bidang penelitian

yang dilakukan oleh mahasiswa;

2. Melatih mahasiswa dalam usaha menyatakan pikiran alamiah secara tertulis

3. Mengembangkan ilmu pengetahuan hukum;

4. Mengembangkan diri pribadi mahasiswa kedalam kehidupan masyarakat;

5. Pembulat studi mahasiswa untuk memenuhi persyaratan SKS dari jumblah beban

studi memperoleh gelar sarjana hukum.

1.4.2 Tujuan Khusus

Mengenai tujuan khusus yang akan dicapai dalam penulisan ini adalah:

1. Mengetahui skema penyelesaian sengketa perdagangan internasional;

2. Mengetahui dapatkah skema embargo digunakan sebagai skema penyelesaian

sengketa perdagangan internasional.

7

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini secara teoritis dapat memberikan masukan ataupun sumbangan

pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan hukum internasional, khususnya

hukum dagang internasional mengenai penggunaan skema embargo dalam penyelesaian

sengketa perdagangan internasional.

1.5.2 Manfaat Praktis

Untuk memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakat luas serta para pembaca,

khususnya bagi pembina hukum dalam penyelesaian suatu sengketa perdagangan

internasional menggunakan mekanisme WTO atapun skema hukuman embargo ekonomi.

1.6 Landasan Teoritis

Sebagai bahan dalam upaya membahas permasalahan yang diangkat pada skripsi ini,

penulis mempergunakan, asas-asas, prinsip, konsep, yurisprudensi serta pandangan sarjana

sebagai landasan pembenaran teoritis yang diperoleh dari upaya penelusuran. Landasan

pembenaran teoritik tersebut terutama berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:

1.6.1 Teori Kedaulatan Negara

Hakekat kedaulatan bagi suatu negara adalah adalah berkaitan dengan persoalan

kewenangan. Kedaulatan memberi kekuasaan dan kewenangan bagi suatu negara untuk

melaksanakan dan menerapkan suatu sistem hukum nasional atas wilayah-wilayah teritorial,

warga negara serta aset-aset yang berada di wilayah negara tersebut. Jean Bordin orang yang

pertama memberi bentuk ilmiah pada teori kedaulatan (Souvereignty). Kedaulatan adalah

kekuasaan tertinggi yang bersifat tunggal, asli, abadi dan tidak terbagi.4Berdasarkan kedaulatan

4Abu Daud Busroh, 2009, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta, h. 69.

8

ini, negara memiliki wewenang untuk menentukan dan mengatur segala sesuatu yang masuk dan

keluar dari wilayahnya.5 Booysen menggambarkan kedaulatan negara ini sebagai berikut.

“…a state can absolutely determine whether anything from outside the state. The state

would also have the power to determine the conditions on which the goods may be imported into

the state or exported to another country. … Every state would have the power to regulate

arbitrarily the conditions of trade.”6

Dengan atribut kedaulatannya ini, negara antara lain berwenang membuat hukum (regulator) yang

mengikat segala subjek hukum lainnya (yaitu individu, perusahaan), mengikat benda dan peristiwa

hukum yang terjadi di dalam wilayahnya, termasuk perdagangan di wilayahnya.7 Kedaulatan

negara merupakan hak tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara. Kedaulatan memiliki arti

kemerdekaan (independece) dan kesederajatan (equality). Artinya negara-negara yang berdaulat

memiliki derajat yang sama, sehingga dilarang memaksakan kedaulatannya tersebut kepada negara

merdeka yang berdaulat lainnya.8 Secara sederhana kedaulatan merupakan hak yang dimiliki oleh

setiap negara yang merdeka untuk mengatur segala kegiatan yang berkaitan dengan kepentingan

nasional negara tersebut, dalam wilayah teritorialnya.

Dalam hukum internasional terdapat salah satu prinsip yang mengatakan, bahwa dengan

atribut kedaulatan negara memiliki imunitas terhadap yuridiksi negara lain. Arti imunitas di sini

5Huala Adolf I, op.cit, h. 58, dikutip dari Hercules Booysen, International Trade Law on Goods and Services,

(Pretoria): Interlegal), 1999, h. 2.

6Ibid.

7Ibid.

8J.G Starke, 2006, Pengantar Hukum Internasional (edisi kesepuluh), Sinar Grafika, Jakarta, h. 209.

9

adalah bahwa negara tersebut memiliki hak untuk mengklaim kekebalannya terhadap tuntutan

terhadap dirinya.9 Sheldrick dengan tepat menggambarkan imunitas negara ini sebagai berikut.

“Sovereign immunity is a long-established precept of public international law which requires

that a foreign government of head of state cannot be sued without its consent. In its traditional

form, this rule applied to all types of suit, criminal and civil, including those arising out of

purely commercial transactions undertaken by the foreign sovereign.”10

Dalam perkembangannya, konsep imunitas ini mengalami pembatasan. Dengan adanya

pembatasan-pembatasan tersebut, kekebalan suatu negara untuk hadir di hadapan badan peradilan

(nasional asing, internasional atau arbitrase) tidak lagi berlaku. Namun, dalam pelaksanaan

putusan pengadilan terhadap negara tersebut berdasarkan hukum internasional, suatu badan

peradilan tidak dapat menyita harta milik negara lain atau memaksakan putusannya terhadap harta

milik negara lain yang digunakan atau yang memiliki fungsi pelayanan publik (public services).11

Hak imunitas suatu negara sangat erat kaitannya dengan salah satu prinsip umum hukum

internasional, par in parem non habet imperium yang artinya suatu negara yang berdaulat, dilarang

untuk memaksakan kedaulatannya terhadap negara berdaulat lainnya. Menurut Hans Kelsen,

prinsip hukum par in parem non habet imperium ini memiliki beberapa pengertian:

a. Suatu negara tidak dapat melaksanakan yurisdiksi melalui pengadilannya terhadap

tindakan negara lain, kecuali negara tersebut menyetujuinya.

b. Suatu pengadilan yang dibentuk berdasarkan perjanjian internasional, tidak dapat

mengadili tindakan suatu negara yang bukan merupakan anggota atau peserta dari

perjanjian tersebut.

9Huala Adolf I, op.cit, h. 60

10Huala Adolf I, loc.cit, dikutip dari Andrew W. Sheldrick, Capacity, sovereign immunity and act of state,

dalam: Lew and Stanbrook, International Trade: Law and Practice, (Bath: Euromoney, 1983), hlm. 164.

11Huala Adolf I,op.cit, h. 63

10

c. Pengadilan suatu negara tidak berhak mempersoalkan keabsahan tindakan suatu negara

lain yang dilaksanakan di dalam wilayah negaranya.12

1.6.2 Teori Kedaulatan Ekonomi Negara

Telah dijelaskan diatas bahwa kedaulatan negara menjadi kajian yang relevan dalam

hukum ekonomi internasional. Adalah kedaulatan yang menentukan kemampuan suatu negara

untuk mengatur kegiatan ekonomi di dalam negerinya dan hubungan ekonomi internasionalnya.13

Menurut Huala Adolf, secara sederhana kedaulatan ekonomi negara adalah kekuasaan

tertinggi suatu negara untuk mengatur kebijakan ekonomi di dalam wilayahnya atau kebijakan

ekonomi internasionalnya.14 Sedangkan pengertian kedaulatan ekonomi negara menurut Qureshi,

adalah seluruh kekuasaan ekonomi negara termasuk persamaan status dalam hubungan-hubungan

ekonomi internasional.15 Kekuasaan ekonomi negara lebih banyak berkenaan dengan kekuasaan

negara terhadap kekayaannya, sistem ekonomi dan aturan-aturan perjanjian dalam hubungan-

hubungan ekonomi internasional.

Pasal 1 Charter of Economic Rights and Duties of States (CERDS) yang menegaskan

kedaulatan negara di bidang ekonomi berbunyi:

12WordPress, International Law Principles and Analysis Study, diakses pada tanggal: 12 Januari 2014,

http://frenndw.wordpress.com/category/international-law-principles-and-analysis-study/.

13Huala Adolf, 2003, “Hukum Ekonomi Internasional, PT Raja Grafindo Persada”, Jakarta, (selanjutnya

disingkat Huala Adolf II), h. 223, dikutip dari Cf., Ronald A.Brand, External Sovereignty and International Law, 18

Fordham International Law Journal 1685-1697 (1995).

14Ibid, h. 227.

15Ibid, h. 227, dikutip dari Asif Qureshi, International Economic Law, London: Sweet and Maxwell, 1999, hlm.

34.

11

‘Every state has the sovereign and inalienable right to choose its economic system as well as its

political, social dan cultural systems in accordance with the will of its people, without outside

interference, coercion or threat in any form whatsoever’.

Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa setiap negara memiliki hak yang diperoleh dari

kedulatannya, untuk menentukan sendiri sistem ekonomi yang diberlakukan dalam negaranya

seperti halnya dalam menentukan sistem politik, sosial dan budaya dalam negara tersebut.

Kedaulatan ekonomi negara di bagi kedalam kedaulatan ekonomi internal dan kedulatan ekonomi

eksternal.

a) Kedaulatan Ekonomi Internal

Secara umum, kedaulatan internal ini adalah kekuasaan negara untuk mengorganisasi

dirinya secara bebas dan otonomi untuk melaksanakan kekuasaan monopolinya dalam wilayahnya.

Keinginan untuk mengatur atau memonopoli ini sebenarnya merupakan keinginan negara

sedang berkembang. Aspek yang penting dalam hal ini adalah hak suatu negara atas pembangunan

(right to development), suatu prinsip yang diakui dalam hukum internasional.16

Asif Qureshi mengemukakan empat (4) dalil mengenai kedaulatan ekonomi internal suatu

negara:

1) Suatu negara memiliki kedaulatan permanen terhadap kekayaan alamnya;

2) Suatu negara memiliki kedaulatan terhadap kekayaan non-alamnya atau kegiatan

ekonominya di dalam wilayah jurisdiksinya, termasuk sumber daya manusianya;

3) Suatu negara memiliki hak untuk memilih dan melaksanakan sistem ekonominya;

16Ibid.

12

4) Suatu negara memiliki kewajiban untuk tidak turut campur dalam urusan ekonomi

negara lainnya melalui ancaman atau kekerasan.17

Hak-hak tersebut di atas pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan isi pasal 2 ayat (1)

Piagam CERDS yang berbunyi berikut ini:

‘Every State has and shall freely exercise full permanent sovereignty, including possesion,

use and disposal over all its wealth, natural resources and economic activities’.

Kata full (penuh) dan permanent (tetap) dalam Piagam CERDS di atas memiliki arti

berbeda. Kata full menunjukkan arti bahwa kedaulatan negara terhadap kekayaan alamnya tidak

dapat dibatasi oleh adanya fakta bahwa kekayaan tersebut dibutuhkan oleh negara lain. Kata

permanent berarti bahwa suatu negara dapat memanfaatkan kedaulatannya setiap saat.18

Secara singkat kedaulatan ekonomi internal merupakan kemampuan dan hak suatu negara

untuk mengatur kegiatan perekonomian pemerintahnya secara bebas tanpa adanya intervensi dari

negara lain.

b) Kedaulatan Ekonomi Eksternal

Kedaulatan seperti ini berkait dengan status dan kemampuan suatu negara untuk

mengadakan hubungan-hubungan ekonomi internasional.19 Pengertian status negara ini harus

diartikan sebagai status negara tersebut dengan negara lain. Dalam hal ini menurut doktrin

kedaulatan relatif (doctrine of relative sovereignty), semua negara berada dalam kedudukan yang

sama menurut hukum internasional.20

17Ibid.

18Ibid, h. 231.

19Ibid, h. 232.

13

Kemampuan mengadakan hubungan luar negeri mencakup kemampuan suatu negara untuk

membuat kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian internasional. Perjanjian dapat dilaksanakan

dengan negara atau subyek hukum internasional manapun, baik yang bersifat bilateral, regional

maupun multilateral.

Sumber utama perjanjian internasional yang berlaku sebagai hukum kebiasaan

internasional adalah Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian. Menurut Konvensi ini, pada

Pasal 2 ayat 1 (a) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian internasional adalah suatu

persetujuan internasional yang diadakan di antara negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh

hukum internasional, baik yang dituangkan dalam suatu instrumen tunggal atau lebih dan diadakan

untuk suatu tujuan tertentu. Pada prinsipnya, perjanjian internasional hanya mengikat para pihak

(negara-negara) yang mengadakannya serta menundukkan diri kepadanya, tidak mengikat negara

ketiga kecuali dengan kesepakatannya.

Kesepakatan yang telah dituangkan ke dalam perjanjian merupakan komitmen negara

tersebut untuk melaksanakannya dan pelanggaran terhadap kesepakatan tersebut, melahirkan

pertanggung jawaban internasional kepada negara-negara yang telah sepakat atau menjadi anggota

dari suatu perjanjian internasional. Keterikatan suatu negara bukan berarti bahwa kekuasaan

tertinggi (kedaulatan) negara tersebut menjadi hilang. Setiap perjanjian yang membatasi jurisdiksi

atau kewenangan suatu negara demi untuk tujuan bersama dengan subyek hukum internasional

lainnya berarti membatasi pelaksanaan kedaulatannya. Namun di sini negara tersebut tetap

berdaulat, hanya untuk tindakan-tindakan tertentu saja yang terkait dengan kesepakatan yang

diberikan, negara tersebut terikat untuk melakukan tindakan-tindakan yang sesuai dengan

kesepakatannya.

20Ibid.

14

Dalam suatu perjanjian ekonomi internasional dan keinginan suatu negara untuk turut serta

pada suatu perjanjian terdapat di dalamnya adanya kepentingan negara yang bersangkutan.

Kepentingan itu biasanya berupa adanya sesuatu yang ia harapkan atau akan didapatkan. Namun

di balik itu ia pun harus menyerahkan sesuatu untuk mendapatkannya, dalam hal ini sesuatu

tersebut adalah kekuasaan (kedaulatan) negara tersebut terhadap obyek yang diatur dalam

kesepakatan.

Pelanggaran terhadap suatu perjanjian akan melahirkan pertanggung jawaban

internasional, terutama terhadap negara peserta perjanjian yang dirugikan. Pelanggaran terhadap

perjanjian juga mengakibatkan pihak yang melakukan pelanggaran tidak lagi dipercaya dengan

itikad baik pihak lain untuk melaksanakan perjanjian. Khususnya dalam hal perjanjian atau

kesepakatan ekonomi, kehilangan kepercayaan dapat dipandang sebagai sanksi. Sanksi seperti ini

terkadang lebih berat daripada sanksi pada umumnya.

Tidak percayanya suatu subyek hukum ekonomi internasional terhadap subyek hukum

lainnya hanya akan mengurangi integritas yang bersangkutan. Karena itu, ketika suatu negara telah

menandatangani suatu perjanjian atau kesepakatan, maka sejak itulah daya mengikat suatu

perjanjian internasional telah lahir.

1.7 Metode Penelitian

Menurut Kartini Kartono, metode penelitian adalah cara-cara berpikir dan berbuat, yang

dipersiapkan dengan baik untuk mengadakan penelitian dan guna mencapai tujuan.21Berdasarkan

uraian tersebut dapat dipahami, bahwa penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan yang

terencana, dilakukan dengan metode ilmiah bertujuan untuk mendapatkan data dan guna

21Hilman Adikusuma, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Penerbit Mandar Maju,

Bandung, h. 58.

15

mendapatkan kebenaran atapun ketidak-benaran dari suatu gejala yang ada. Maka dalam skripsi

ini metode penelitian tersebut dijabarkan dan dijelaskan kedalam:

1.7.1 Jenis Penelitian

Penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian normatif yaitu penelitian yang dilakukan

dengan mengkaji peraturan perundang-undangan yang berlaku atau yang diterapkan dalam suatu

permasalahan hukum tertentu dan melakukan studi pustaka terhadap bahan pustaka atau data

sekunder yang bersifat hukum, penelitian hukum normatif sering disebut juga dengan penelitian

doktrinal, yaitu penelitian yang objek kajiannya adalah dokumen peraturan perundang-undangan

dan bahan pustaka.22 Berdasarkan penjelasan tersebut dalam mengkaji permasalahan yang

diangkat pada penulisan skripsi ini mengenai penyelesaian sengketa perdagangan internasional

menggunakan data-data terkait hukum perdagangan internasional serta prinsip-prinsip yang

digunakan dalam perdagangan internasional.

1.7.2 Jenis Pendekatan

Adapun jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, adalah:

1. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach), yaitu dilakukan dengan

menelaah semua undang-undang dan peraturan internasional yang berkaitan

dengan isu hukum yang sedang ditangani.

2. Pendekatan Kasus (Case Approach), Pendekatan ini dilakukan dengan meneliti

kasus-kasus yang berkaitan dengan isu hukum yang dihadapi sehingga dapat

digunakan sebagai bahan argumentasi dalam memecahkan isu hukum yang

dihadapi.23

22Soerjono Soekanto dan H. Abdurahman, 2003, Metode Penelitian Hukum, Rieneka Cipta, Jakarta, h. 56.

23Peter Mahmud Marzuki, 2007, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 94.

16

1.7.3 Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum dalam penelitian ini berasal dari penelitian kepustakaan (library

research), ini dilakukan terhadap beberapa macam sumber bahan/data yang dapat digolongkan

atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

1. Bahan Hukum Primer, yaitu berupa peraturan hukum internasional, yurisprudensi, dan

konvensi internasional yang isinya memiliki kekuatan hukum mengikat. Bahan hukum

primer yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

- The Convention for the Pacific Covenant of the League of Nations tahun 1919;

- The Statue of the Permanent Court of International Justice (Statuta Mahkamah

Internasional Permanen) tahun 1921;

- The General Act for the Pacific Settlement of International Disputes tahun 1928;

- Piagam PBB dan Statuta Mahkamah Internasional tahun 1945;

- The Declaration of the United Nations on Principles of International Law concerning

Friendly Relations and Cooperation among States in Accordance with the Charter of

the United Nations tanggal 24 Oktober tahun 1970;

- The Manila Declaration on Peaceful Settlement of Disputes between States, 15

November 1982;

- Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes (DSU).

2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu terdiri dari hasil-hasil penelitian dan hasil karya dari

kalangan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.

3. Bahan Hukum Tersier, yang berupa penunjang terhadap bahan hukum Primer dan bahan

hukum Sekunder yang digunakan yang berhubungan dalam penelitian ini, seperti kamus-

17

kamus, ensiklopedia hukum, internet serta bahan penunjang lainnya yang berkaitan dengan

penelitian ini.

1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum atau data pada penelitian skripsi

ini menggunakan metode dokumentasi terhadap data-data yang sudah ada, baik dengan membuat

catatan-catatan, membaca, mempelajari, mengidentifikasi, dan menganalisis data yang berkaitan

dengan materi penelitian.

1.7.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Setelah bahan hukum yang dibutuhkan dalam menyusun laporan terkumpul, maka data-

data tersebut akan diolah dan dianalisa dengan menggunakan teknik pengelolaan bahan hukum.

Yang mana nantinya pengelolaan tersebut ialah dengan memilih bahan hukum dengan kualitasnya

untuk dapat menjawab permasalahan yang diajukan.24 Sedang untuk penyajiannya dilakukan

dengan cara analisa data yang dilakukan dengan jalan menyusun secara sistematis sehingga

diperoleh suatu kesimpulan ilmiah.

24Ronny Hanitijo Soemitro, 1998, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Cet. IV, Ghalia Indonesia,

Jakarta, h. 47.