BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. I.pdf · kepentingannya, maka telah terjadi hubungan...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. I.pdf · kepentingannya, maka telah terjadi hubungan...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah.
Perdagangan internasional merupakan salah satu bagian dari kegiatan ekonomi
yang saat ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini terlihat dari semakin
berkembangnya arus peredaran barang, jasa, modal, dan tenaga kerja antarnegara yang
tidak lagi mengenal batasan teritorial. Batas-batas negara bukan lagi halangan dalam
bertransaksi.
Dengan memanfaatkan keadaan perdagangan bebas yang terjadi, Negara-
negara saling berlomba untuk memajukan pembangunan ekonomi mereka dengan
mengadakan perdagangan luar negeri. Ada berbagai motif atau alasan mengapa negara
atau subjek hukum (pelaku dalam perdagangan) melakukan transaksi dagang
internasional. Fakta yang sekarang terjadi adalah bahwa perdagangan internasional
sudah menjadi tulang punggung bagi negara untuk menjadi makmur, sejahtera dan
kuat. Ketika suatu negara berusaha secara maksimal mengendalikan pasar untuk
kepentingannya, maka telah terjadi hubungan antara politik dan ekonomi. Kegiatan
politik ekonomi dalam perdagangan internasional ini sangat rentan menimbulkan
konflik.
2
Konflik atau sengketa dalam hubungan internasional sangat rentan terjadi. Benturan
kepentingan politik suatu negara dengan negara lain, serta adanya pelanggaran terhadap perjanjian
dalam lingkup multilateral maupun billateral, dapat menjadi penyebab timbulnya suatu konflik
atau sengketa internasional. Dalam hukum internasional, terdapat berbagai cara yang dapat
digunakan untuk menyelesaikan suatu sengketa internasional yang terjadi. Penyelesaian sengketa
dengan damai hingga penggunaan kekerasan, dapat digunakan untuk menyelesaikan suatu
sengketa internasional oleh suatu negara. Penggunaan penyelesaian sengketa dengan kekerasan,
memang disarankan untuk tidak digunakan lagi semenjak lahirnya The Hague Peace Conference
pada tahun 1899 dan 1907. Namun karena sifatnya yang rekomendatif dan tidak mengikat,
konvensi tersebut tidak mempunyai kekuatan memaksa untuk melarang negara-negara
menggunakan kekerasan sebagai metode penyelesaian sengketa.
Namun disisi lain penggunaan penyelesaian sengketa secara damai yang banyak digunakan
dalam menyelesaikan sengketa internasional, baik publik ataupun privat banyak memiliki
kekurangan atau kelemahan dalam prosesnya. Salah satunya penyelesaian sengketa yang sudah
dikenal sejak lama adalah penyelesaian sengketa melalui proses ligitasi di pengadilan. Proses
ligitasi mempunyai beberapa kelemahan seperti, (a) hanya menghasilkan putusan yang bersifat
menang-kalah, (b) memakan waktu yang banyak, (c) juga tidak sedikit memakan biaya yang
banyak. Proses-proses tersebut pastinya banyak dihindari oleh negara-negara, organisasi
internasional dan aktor non-negara demi menghemat waktu, tenaga, biaya dan kemungkinan
sesuatu yang fatal terjadi kedepannya. Selain itu penggunaan skema negosiasi dalam penyelesaian
sengketa juga memiliki kelemahan dalam prosesnya salah satunya adalah, negosiasi tidak pernah
tercapai apabila salah satu pihak berpendirian keras. Penggunaan negosiasi juga berarti menutup
3
kemungkinan keikutsertaan pihak ketiga, artinya apabila salah satu pihak berkedudukan lemah
tidak ada pihak yang membantunya.
Keberadaan organisasi internasional yang secara khusus menangani permasalahan
penyelesaian sengketa, dapat digunakan sebagai alternatif penyelesaian sengketa. Dalam kasus
sengketa perdagangan internasional, salah satu contoh organisasi internasional yang mengatur
mengenai permasalahan ini adalah organisasi perdagangan dunia (World Trade Organization)
disingkat juga WTO. WTO adalah organisasi yang berbasiskan aturan-aturan yang merupakan
hasil perundingan. Pembentukan WTO dilandasi untuk mengatur perdagangan pada tingkat
internasional, yang salah satu tujuannya adalah untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa akibat
konflik atau sengketa yang timbul dari perdagangan internasional.
Organisasi-organisasi seperti ini pada umumnya menyediakan panel atau suatu badan yang
bersifat sementara (ad hoc) yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi.
Penyelesaian sengketa melalui organisasi internasional banyak dilakukan oleh negara anggota,
hingga negara yang bukan merupakan anggota organisasi tersebut. Keputusan akhir yang
dikeluarkan dalam penyelesaian sengketa dapat bersifat mengikat atapun hanya sebatas masukan
bagi negara-negara yang bersengketa.
Dalam perdagangan internasional penyelesaian sengketa dengan berlandaskan itikad baik
(good faith) atau penggunaan jalur damai, dilakukan untuk mencegah timbulnya konflik lain yang
dapat mengancam kedamaian antar negara. Itikad baik dapat dikatakan sebagai prinsip
fundamental dan paling sentral dalam penyelesaian sengketa.1 Apabila salah satu negara sebagai
pihak yang bersengketa tidak menunjukkan itikad baiknya untuk menyelesaikan sengketa yang
1Huala Adolf, 2005, Hukum Perdagangan Internasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya
disingkat Huala Adolf I), h. 198.
4
terjadi, maka penyelesaian sengketa sangat sulit dilakukan. Salah satu cara yang dapat dilakukan
untuk menyelesaikan sengketa tersebut yakni dengan penggunaan skema kekerasan.
Tindakan reprisals terhadap negara lain yang dalam kegiatan perdagangannya melakukan
pelanggaran terhadap aturan atau suatu perjanjian yang telah disepakati, sehingga menimbulkan
kerugian sangat wajar dilakukan. Reprisals merupakan upaya paksa yang digunakan untuk
memperoleh jaminan ganti rugi yang terbatas pada penahanan orang atau benda. Salah satu bentuk
reprisals yang dapat digunakan adalah embargo ekonomi. Embargo biasanya digunakan sebagai
hukuman politik bagi pelanggaran terhadap sebuah kebijakan atau kesepakatan. Penggunaan
embargo terhadap suatu negara dapat menyebabkan tekanan besar terhadap perekonomian negara
tersebut, sehingga menimbulkan kondisi dimana negara yang diembargo mengikuti kemauan
negara yang melakukan embargo. Skema ini dapat digunakan sebagai penyelesaian sengketa
perdagangan apabila jalan damai tidak berhasil.
Rusia pernah mengumumkan sebuah embargo satu tahun atas komuditas perdagangan
ikan, susu, buah-buahan dan sayuran dari Uni Eropa, AS dan negara-negara Barat lain sebagai
pembalasan atas sanksi ekonomi tindakan Moskow di Ukraina.2
Sengketa perdagangan internasional memerlukan penanganan dan pemberian solusi yang
cepat dalam penyelesaiannya. Sehingga mengingat pertimbangan-pertimbangan tersebut maka
diperlukan pengkajian terhadap penggunaan skema embargo dalam penyelesaian sengketa
perdagangan internasional agar diperoleh suatu kejelasan dan kepastian hukum terhadap
penyelesaian sengketa perdagangan internasional. Oleh karena itu maka penulis tertarik
2 Bisnis Daily News, Petani EU Terpukul Dampak Sanksi Rusia, Diakses pada tanggal: 9 Januari 2015,
http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2014/10/01/120707/petani-muda-eu-terpukul-dampak-sanksi-
rusia/#.VLb6Gnsm0fY.
5
mengadakan penelitian terkait latar belakang permasalahan diatas dengan judul skripsi
“Penggunaan Skema Embargo Dalam Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional”.
1.2 Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah skema pengaturan penyelesaian sengketa perdagangan internasional ?
2. Apakah skema Embargo dapat digunakan sebagai skema penyelesaian sengketa
perdagangan internasional ?
1.3 Ruang Lingkup Masalah.
Penegasan ruang lingkup masalah dalam suatu karya ilmiah sangat penting dan berguna,
hal ini guna mencegah suatu pembahasan untuk tidak menyimpang dari pokok permasalahan yang
dibahas.
Ruang lingkup penelitian merupakan bingkai penelitian, yang menggambarkan batas
penelitian, mempersempit permasalahan, dan membatasi area penelitian. Lingkup penelitian juga
menunjukan secara pasti faktor-faktor mana yang diteliti, dan mana yang tidak atau untuk
menentukan apakah semua faktor yang berkaitan dengan penelitian akan diteliti ataukah
dieliminasi sebagian.3 Adapun dalam permasalahan yang pertama mencakup mengenai
bagaimanakah skema penyelesaian sengketa perdagangan internasional. Pada permasalahan kedua
3 Bambang Sunggono, 2007, Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 111.
6
akandibahas mengenai penggunaan skema embargo dalam penyelesaian sengketa perdagangan
internasional.
1.4 Tujuan Penelitian
Dalam suatu penulisan tentu tidak terlepas dari adanya tujuan yang mendasari dari pembuatan
tulisan tersebut.Demikian pula dengan pembuatan penulisan skripsi karya ilmiah ini, yang
memiliki tujuan:
1.4.1 Tujuan Umum
Tujuan penulisan skripsi ini adalah guna:
1. Melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi,khususnya pada bidang penelitian
yang dilakukan oleh mahasiswa;
2. Melatih mahasiswa dalam usaha menyatakan pikiran alamiah secara tertulis
3. Mengembangkan ilmu pengetahuan hukum;
4. Mengembangkan diri pribadi mahasiswa kedalam kehidupan masyarakat;
5. Pembulat studi mahasiswa untuk memenuhi persyaratan SKS dari jumblah beban
studi memperoleh gelar sarjana hukum.
1.4.2 Tujuan Khusus
Mengenai tujuan khusus yang akan dicapai dalam penulisan ini adalah:
1. Mengetahui skema penyelesaian sengketa perdagangan internasional;
2. Mengetahui dapatkah skema embargo digunakan sebagai skema penyelesaian
sengketa perdagangan internasional.
7
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini secara teoritis dapat memberikan masukan ataupun sumbangan
pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan hukum internasional, khususnya
hukum dagang internasional mengenai penggunaan skema embargo dalam penyelesaian
sengketa perdagangan internasional.
1.5.2 Manfaat Praktis
Untuk memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakat luas serta para pembaca,
khususnya bagi pembina hukum dalam penyelesaian suatu sengketa perdagangan
internasional menggunakan mekanisme WTO atapun skema hukuman embargo ekonomi.
1.6 Landasan Teoritis
Sebagai bahan dalam upaya membahas permasalahan yang diangkat pada skripsi ini,
penulis mempergunakan, asas-asas, prinsip, konsep, yurisprudensi serta pandangan sarjana
sebagai landasan pembenaran teoritis yang diperoleh dari upaya penelusuran. Landasan
pembenaran teoritik tersebut terutama berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:
1.6.1 Teori Kedaulatan Negara
Hakekat kedaulatan bagi suatu negara adalah adalah berkaitan dengan persoalan
kewenangan. Kedaulatan memberi kekuasaan dan kewenangan bagi suatu negara untuk
melaksanakan dan menerapkan suatu sistem hukum nasional atas wilayah-wilayah teritorial,
warga negara serta aset-aset yang berada di wilayah negara tersebut. Jean Bordin orang yang
pertama memberi bentuk ilmiah pada teori kedaulatan (Souvereignty). Kedaulatan adalah
kekuasaan tertinggi yang bersifat tunggal, asli, abadi dan tidak terbagi.4Berdasarkan kedaulatan
4Abu Daud Busroh, 2009, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta, h. 69.
8
ini, negara memiliki wewenang untuk menentukan dan mengatur segala sesuatu yang masuk dan
keluar dari wilayahnya.5 Booysen menggambarkan kedaulatan negara ini sebagai berikut.
“…a state can absolutely determine whether anything from outside the state. The state
would also have the power to determine the conditions on which the goods may be imported into
the state or exported to another country. … Every state would have the power to regulate
arbitrarily the conditions of trade.”6
Dengan atribut kedaulatannya ini, negara antara lain berwenang membuat hukum (regulator) yang
mengikat segala subjek hukum lainnya (yaitu individu, perusahaan), mengikat benda dan peristiwa
hukum yang terjadi di dalam wilayahnya, termasuk perdagangan di wilayahnya.7 Kedaulatan
negara merupakan hak tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara. Kedaulatan memiliki arti
kemerdekaan (independece) dan kesederajatan (equality). Artinya negara-negara yang berdaulat
memiliki derajat yang sama, sehingga dilarang memaksakan kedaulatannya tersebut kepada negara
merdeka yang berdaulat lainnya.8 Secara sederhana kedaulatan merupakan hak yang dimiliki oleh
setiap negara yang merdeka untuk mengatur segala kegiatan yang berkaitan dengan kepentingan
nasional negara tersebut, dalam wilayah teritorialnya.
Dalam hukum internasional terdapat salah satu prinsip yang mengatakan, bahwa dengan
atribut kedaulatan negara memiliki imunitas terhadap yuridiksi negara lain. Arti imunitas di sini
5Huala Adolf I, op.cit, h. 58, dikutip dari Hercules Booysen, International Trade Law on Goods and Services,
(Pretoria): Interlegal), 1999, h. 2.
6Ibid.
7Ibid.
8J.G Starke, 2006, Pengantar Hukum Internasional (edisi kesepuluh), Sinar Grafika, Jakarta, h. 209.
9
adalah bahwa negara tersebut memiliki hak untuk mengklaim kekebalannya terhadap tuntutan
terhadap dirinya.9 Sheldrick dengan tepat menggambarkan imunitas negara ini sebagai berikut.
“Sovereign immunity is a long-established precept of public international law which requires
that a foreign government of head of state cannot be sued without its consent. In its traditional
form, this rule applied to all types of suit, criminal and civil, including those arising out of
purely commercial transactions undertaken by the foreign sovereign.”10
Dalam perkembangannya, konsep imunitas ini mengalami pembatasan. Dengan adanya
pembatasan-pembatasan tersebut, kekebalan suatu negara untuk hadir di hadapan badan peradilan
(nasional asing, internasional atau arbitrase) tidak lagi berlaku. Namun, dalam pelaksanaan
putusan pengadilan terhadap negara tersebut berdasarkan hukum internasional, suatu badan
peradilan tidak dapat menyita harta milik negara lain atau memaksakan putusannya terhadap harta
milik negara lain yang digunakan atau yang memiliki fungsi pelayanan publik (public services).11
Hak imunitas suatu negara sangat erat kaitannya dengan salah satu prinsip umum hukum
internasional, par in parem non habet imperium yang artinya suatu negara yang berdaulat, dilarang
untuk memaksakan kedaulatannya terhadap negara berdaulat lainnya. Menurut Hans Kelsen,
prinsip hukum par in parem non habet imperium ini memiliki beberapa pengertian:
a. Suatu negara tidak dapat melaksanakan yurisdiksi melalui pengadilannya terhadap
tindakan negara lain, kecuali negara tersebut menyetujuinya.
b. Suatu pengadilan yang dibentuk berdasarkan perjanjian internasional, tidak dapat
mengadili tindakan suatu negara yang bukan merupakan anggota atau peserta dari
perjanjian tersebut.
9Huala Adolf I, op.cit, h. 60
10Huala Adolf I, loc.cit, dikutip dari Andrew W. Sheldrick, Capacity, sovereign immunity and act of state,
dalam: Lew and Stanbrook, International Trade: Law and Practice, (Bath: Euromoney, 1983), hlm. 164.
11Huala Adolf I,op.cit, h. 63
10
c. Pengadilan suatu negara tidak berhak mempersoalkan keabsahan tindakan suatu negara
lain yang dilaksanakan di dalam wilayah negaranya.12
1.6.2 Teori Kedaulatan Ekonomi Negara
Telah dijelaskan diatas bahwa kedaulatan negara menjadi kajian yang relevan dalam
hukum ekonomi internasional. Adalah kedaulatan yang menentukan kemampuan suatu negara
untuk mengatur kegiatan ekonomi di dalam negerinya dan hubungan ekonomi internasionalnya.13
Menurut Huala Adolf, secara sederhana kedaulatan ekonomi negara adalah kekuasaan
tertinggi suatu negara untuk mengatur kebijakan ekonomi di dalam wilayahnya atau kebijakan
ekonomi internasionalnya.14 Sedangkan pengertian kedaulatan ekonomi negara menurut Qureshi,
adalah seluruh kekuasaan ekonomi negara termasuk persamaan status dalam hubungan-hubungan
ekonomi internasional.15 Kekuasaan ekonomi negara lebih banyak berkenaan dengan kekuasaan
negara terhadap kekayaannya, sistem ekonomi dan aturan-aturan perjanjian dalam hubungan-
hubungan ekonomi internasional.
Pasal 1 Charter of Economic Rights and Duties of States (CERDS) yang menegaskan
kedaulatan negara di bidang ekonomi berbunyi:
12WordPress, International Law Principles and Analysis Study, diakses pada tanggal: 12 Januari 2014,
http://frenndw.wordpress.com/category/international-law-principles-and-analysis-study/.
13Huala Adolf, 2003, “Hukum Ekonomi Internasional, PT Raja Grafindo Persada”, Jakarta, (selanjutnya
disingkat Huala Adolf II), h. 223, dikutip dari Cf., Ronald A.Brand, External Sovereignty and International Law, 18
Fordham International Law Journal 1685-1697 (1995).
14Ibid, h. 227.
15Ibid, h. 227, dikutip dari Asif Qureshi, International Economic Law, London: Sweet and Maxwell, 1999, hlm.
34.
11
‘Every state has the sovereign and inalienable right to choose its economic system as well as its
political, social dan cultural systems in accordance with the will of its people, without outside
interference, coercion or threat in any form whatsoever’.
Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa setiap negara memiliki hak yang diperoleh dari
kedulatannya, untuk menentukan sendiri sistem ekonomi yang diberlakukan dalam negaranya
seperti halnya dalam menentukan sistem politik, sosial dan budaya dalam negara tersebut.
Kedaulatan ekonomi negara di bagi kedalam kedaulatan ekonomi internal dan kedulatan ekonomi
eksternal.
a) Kedaulatan Ekonomi Internal
Secara umum, kedaulatan internal ini adalah kekuasaan negara untuk mengorganisasi
dirinya secara bebas dan otonomi untuk melaksanakan kekuasaan monopolinya dalam wilayahnya.
Keinginan untuk mengatur atau memonopoli ini sebenarnya merupakan keinginan negara
sedang berkembang. Aspek yang penting dalam hal ini adalah hak suatu negara atas pembangunan
(right to development), suatu prinsip yang diakui dalam hukum internasional.16
Asif Qureshi mengemukakan empat (4) dalil mengenai kedaulatan ekonomi internal suatu
negara:
1) Suatu negara memiliki kedaulatan permanen terhadap kekayaan alamnya;
2) Suatu negara memiliki kedaulatan terhadap kekayaan non-alamnya atau kegiatan
ekonominya di dalam wilayah jurisdiksinya, termasuk sumber daya manusianya;
3) Suatu negara memiliki hak untuk memilih dan melaksanakan sistem ekonominya;
16Ibid.
12
4) Suatu negara memiliki kewajiban untuk tidak turut campur dalam urusan ekonomi
negara lainnya melalui ancaman atau kekerasan.17
Hak-hak tersebut di atas pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan isi pasal 2 ayat (1)
Piagam CERDS yang berbunyi berikut ini:
‘Every State has and shall freely exercise full permanent sovereignty, including possesion,
use and disposal over all its wealth, natural resources and economic activities’.
Kata full (penuh) dan permanent (tetap) dalam Piagam CERDS di atas memiliki arti
berbeda. Kata full menunjukkan arti bahwa kedaulatan negara terhadap kekayaan alamnya tidak
dapat dibatasi oleh adanya fakta bahwa kekayaan tersebut dibutuhkan oleh negara lain. Kata
permanent berarti bahwa suatu negara dapat memanfaatkan kedaulatannya setiap saat.18
Secara singkat kedaulatan ekonomi internal merupakan kemampuan dan hak suatu negara
untuk mengatur kegiatan perekonomian pemerintahnya secara bebas tanpa adanya intervensi dari
negara lain.
b) Kedaulatan Ekonomi Eksternal
Kedaulatan seperti ini berkait dengan status dan kemampuan suatu negara untuk
mengadakan hubungan-hubungan ekonomi internasional.19 Pengertian status negara ini harus
diartikan sebagai status negara tersebut dengan negara lain. Dalam hal ini menurut doktrin
kedaulatan relatif (doctrine of relative sovereignty), semua negara berada dalam kedudukan yang
sama menurut hukum internasional.20
17Ibid.
18Ibid, h. 231.
19Ibid, h. 232.
13
Kemampuan mengadakan hubungan luar negeri mencakup kemampuan suatu negara untuk
membuat kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian internasional. Perjanjian dapat dilaksanakan
dengan negara atau subyek hukum internasional manapun, baik yang bersifat bilateral, regional
maupun multilateral.
Sumber utama perjanjian internasional yang berlaku sebagai hukum kebiasaan
internasional adalah Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian. Menurut Konvensi ini, pada
Pasal 2 ayat 1 (a) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian internasional adalah suatu
persetujuan internasional yang diadakan di antara negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh
hukum internasional, baik yang dituangkan dalam suatu instrumen tunggal atau lebih dan diadakan
untuk suatu tujuan tertentu. Pada prinsipnya, perjanjian internasional hanya mengikat para pihak
(negara-negara) yang mengadakannya serta menundukkan diri kepadanya, tidak mengikat negara
ketiga kecuali dengan kesepakatannya.
Kesepakatan yang telah dituangkan ke dalam perjanjian merupakan komitmen negara
tersebut untuk melaksanakannya dan pelanggaran terhadap kesepakatan tersebut, melahirkan
pertanggung jawaban internasional kepada negara-negara yang telah sepakat atau menjadi anggota
dari suatu perjanjian internasional. Keterikatan suatu negara bukan berarti bahwa kekuasaan
tertinggi (kedaulatan) negara tersebut menjadi hilang. Setiap perjanjian yang membatasi jurisdiksi
atau kewenangan suatu negara demi untuk tujuan bersama dengan subyek hukum internasional
lainnya berarti membatasi pelaksanaan kedaulatannya. Namun di sini negara tersebut tetap
berdaulat, hanya untuk tindakan-tindakan tertentu saja yang terkait dengan kesepakatan yang
diberikan, negara tersebut terikat untuk melakukan tindakan-tindakan yang sesuai dengan
kesepakatannya.
20Ibid.
14
Dalam suatu perjanjian ekonomi internasional dan keinginan suatu negara untuk turut serta
pada suatu perjanjian terdapat di dalamnya adanya kepentingan negara yang bersangkutan.
Kepentingan itu biasanya berupa adanya sesuatu yang ia harapkan atau akan didapatkan. Namun
di balik itu ia pun harus menyerahkan sesuatu untuk mendapatkannya, dalam hal ini sesuatu
tersebut adalah kekuasaan (kedaulatan) negara tersebut terhadap obyek yang diatur dalam
kesepakatan.
Pelanggaran terhadap suatu perjanjian akan melahirkan pertanggung jawaban
internasional, terutama terhadap negara peserta perjanjian yang dirugikan. Pelanggaran terhadap
perjanjian juga mengakibatkan pihak yang melakukan pelanggaran tidak lagi dipercaya dengan
itikad baik pihak lain untuk melaksanakan perjanjian. Khususnya dalam hal perjanjian atau
kesepakatan ekonomi, kehilangan kepercayaan dapat dipandang sebagai sanksi. Sanksi seperti ini
terkadang lebih berat daripada sanksi pada umumnya.
Tidak percayanya suatu subyek hukum ekonomi internasional terhadap subyek hukum
lainnya hanya akan mengurangi integritas yang bersangkutan. Karena itu, ketika suatu negara telah
menandatangani suatu perjanjian atau kesepakatan, maka sejak itulah daya mengikat suatu
perjanjian internasional telah lahir.
1.7 Metode Penelitian
Menurut Kartini Kartono, metode penelitian adalah cara-cara berpikir dan berbuat, yang
dipersiapkan dengan baik untuk mengadakan penelitian dan guna mencapai tujuan.21Berdasarkan
uraian tersebut dapat dipahami, bahwa penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan yang
terencana, dilakukan dengan metode ilmiah bertujuan untuk mendapatkan data dan guna
21Hilman Adikusuma, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Penerbit Mandar Maju,
Bandung, h. 58.
15
mendapatkan kebenaran atapun ketidak-benaran dari suatu gejala yang ada. Maka dalam skripsi
ini metode penelitian tersebut dijabarkan dan dijelaskan kedalam:
1.7.1 Jenis Penelitian
Penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian normatif yaitu penelitian yang dilakukan
dengan mengkaji peraturan perundang-undangan yang berlaku atau yang diterapkan dalam suatu
permasalahan hukum tertentu dan melakukan studi pustaka terhadap bahan pustaka atau data
sekunder yang bersifat hukum, penelitian hukum normatif sering disebut juga dengan penelitian
doktrinal, yaitu penelitian yang objek kajiannya adalah dokumen peraturan perundang-undangan
dan bahan pustaka.22 Berdasarkan penjelasan tersebut dalam mengkaji permasalahan yang
diangkat pada penulisan skripsi ini mengenai penyelesaian sengketa perdagangan internasional
menggunakan data-data terkait hukum perdagangan internasional serta prinsip-prinsip yang
digunakan dalam perdagangan internasional.
1.7.2 Jenis Pendekatan
Adapun jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, adalah:
1. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach), yaitu dilakukan dengan
menelaah semua undang-undang dan peraturan internasional yang berkaitan
dengan isu hukum yang sedang ditangani.
2. Pendekatan Kasus (Case Approach), Pendekatan ini dilakukan dengan meneliti
kasus-kasus yang berkaitan dengan isu hukum yang dihadapi sehingga dapat
digunakan sebagai bahan argumentasi dalam memecahkan isu hukum yang
dihadapi.23
22Soerjono Soekanto dan H. Abdurahman, 2003, Metode Penelitian Hukum, Rieneka Cipta, Jakarta, h. 56.
23Peter Mahmud Marzuki, 2007, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 94.
16
1.7.3 Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum dalam penelitian ini berasal dari penelitian kepustakaan (library
research), ini dilakukan terhadap beberapa macam sumber bahan/data yang dapat digolongkan
atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
1. Bahan Hukum Primer, yaitu berupa peraturan hukum internasional, yurisprudensi, dan
konvensi internasional yang isinya memiliki kekuatan hukum mengikat. Bahan hukum
primer yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
- The Convention for the Pacific Covenant of the League of Nations tahun 1919;
- The Statue of the Permanent Court of International Justice (Statuta Mahkamah
Internasional Permanen) tahun 1921;
- The General Act for the Pacific Settlement of International Disputes tahun 1928;
- Piagam PBB dan Statuta Mahkamah Internasional tahun 1945;
- The Declaration of the United Nations on Principles of International Law concerning
Friendly Relations and Cooperation among States in Accordance with the Charter of
the United Nations tanggal 24 Oktober tahun 1970;
- The Manila Declaration on Peaceful Settlement of Disputes between States, 15
November 1982;
- Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes (DSU).
2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu terdiri dari hasil-hasil penelitian dan hasil karya dari
kalangan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.
3. Bahan Hukum Tersier, yang berupa penunjang terhadap bahan hukum Primer dan bahan
hukum Sekunder yang digunakan yang berhubungan dalam penelitian ini, seperti kamus-
17
kamus, ensiklopedia hukum, internet serta bahan penunjang lainnya yang berkaitan dengan
penelitian ini.
1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum atau data pada penelitian skripsi
ini menggunakan metode dokumentasi terhadap data-data yang sudah ada, baik dengan membuat
catatan-catatan, membaca, mempelajari, mengidentifikasi, dan menganalisis data yang berkaitan
dengan materi penelitian.
1.7.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Setelah bahan hukum yang dibutuhkan dalam menyusun laporan terkumpul, maka data-
data tersebut akan diolah dan dianalisa dengan menggunakan teknik pengelolaan bahan hukum.
Yang mana nantinya pengelolaan tersebut ialah dengan memilih bahan hukum dengan kualitasnya
untuk dapat menjawab permasalahan yang diajukan.24 Sedang untuk penyajiannya dilakukan
dengan cara analisa data yang dilakukan dengan jalan menyusun secara sistematis sehingga
diperoleh suatu kesimpulan ilmiah.
24Ronny Hanitijo Soemitro, 1998, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Cet. IV, Ghalia Indonesia,
Jakarta, h. 47.