BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ...

43
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Akhir-akhir ini salah satu lembaga negara popular di Indonesia yang dikenal melalui sepak terjangnya memberantas korupsi ramai dibicarakan. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) merupakan lembaga negara yang memiliki tugas memberantas korupsi di Indonesia. KPK memiliki kewenangan yang hampir sama dengan Kepolisian dan Kejaksaan dalam perkara tindak pidana korupsi. KPK memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, yang sebelumnya kewenangan tersebut juga dimiliki oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Sehingga dalam hal ini perlu adanya koordinasi lembaga negara baik itu Kepolisian, Kejaksaan dan KPK untuk meminimalisasi terjadinya penyalahgunaan wewenang. Kewenangan yang dimiliki KPK hampir sama dengan Kepolisian dan Kejaksaan dalam perkara tindak pidana korupsi dapat menimbulkan sengketa kewenangan lembaga negara tersebut. Untuk itu apabila terjadi sengketa kewenangan lembaga negara maka lembaga negara yang merasa kewenangannya diambil alih oleh lembaga negara lain dapat mengajukan permohonan sengekata kewenangan lembaga negara ke Mahkamah Konstitusi. Salah satu sengketa kewenangan lembaga negara yang pernah terjadi dan menjadi perhatian di masyarakat adalah sengketa kewenangan antara Kepolisian Republik Indonesia (yang selanjutnya disebut POLRI) dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (yang selanjutnya disebut KPK) mengenai kewenangan untuk menangani

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945.

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Akhir-akhir ini salah satu lembaga negara popular di Indonesia yang

dikenal melalui sepak terjangnya memberantas korupsi ramai dibicarakan. Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) merupakan lembaga negara yang

memiliki tugas memberantas korupsi di Indonesia. KPK memiliki kewenangan

yang hampir sama dengan Kepolisian dan Kejaksaan dalam perkara tindak pidana

korupsi. KPK memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan

dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, yang sebelumnya kewenangan

tersebut juga dimiliki oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Sehingga dalam hal ini

perlu adanya koordinasi lembaga negara baik itu Kepolisian, Kejaksaan dan KPK

untuk meminimalisasi terjadinya penyalahgunaan wewenang.

Kewenangan yang dimiliki KPK hampir sama dengan Kepolisian dan

Kejaksaan dalam perkara tindak pidana korupsi dapat menimbulkan sengketa

kewenangan lembaga negara tersebut. Untuk itu apabila terjadi sengketa

kewenangan lembaga negara maka lembaga negara yang merasa kewenangannya

diambil alih oleh lembaga negara lain dapat mengajukan permohonan sengekata

kewenangan lembaga negara ke Mahkamah Konstitusi. Salah satu sengketa

kewenangan lembaga negara yang pernah terjadi dan menjadi perhatian di

masyarakat adalah sengketa kewenangan antara Kepolisian Republik Indonesia

(yang selanjutnya disebut POLRI) dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi (yang selanjutnya disebut KPK) mengenai kewenangan untuk menangani

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945.

2

kasus korupsi pengadaan simulator SIM. Sengketa ini disebabkan karena antara

kedua lembaga negara tersebut merasa bahwa penanganan kasus korupsi

pengadaan simulator SIM merupakan kewenangannya, sehingga telah

melaksanakan penyidikan terhadap kasus tersebut, bahkan telah menetapkan

tersangka. Kasus ini semakin menjadi polemik karena melibatkan para perwira

tinggi POLRI di dalamnya, bahkan KPK menetapkan beberapa perwira tinggi

sebagai tersangka. Setelah polemik berkepanjangan dan atas desakan publik terus-

menerus, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya mengeluarkan

pernyataan untuk menengahi sengketa kewenangan antara POLRI dan KPK

mengenai penanganan kasus korupsi simulator SIM tersebut. Presiden

memerintahkan agar POLRI melimpahkan penanganan kasus korupsi simulator

SIM pada KPK, dengan berpatokan pada ketentuan Pasal 50 ayat (3) Undang-

Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi (KPK). Penanganan kasus yang berlarut-larut yang melibatkan KPK dan

POLRI tersebut menimbulkan berbagai tanggapan oleh para ahli hukum di

Indonesia, terkait dengan diselesaikannya sengketa kewenangan lembaga negara

tersebut ke Mahkamah Konstitusi.1

Berkenaan dengan tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi, Pasal 24C

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (yang selanjutnya

disebut UUD NRI Tahun 1945) menegaskan bahwa “Mahkamah Konstitusi

berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat

final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus

1 Tempo, Tiga Pokok Masalah Polri vs KPK versi SBY, http://www.tempo.co/read/new,

Diakses tanggal 10 Maret 2013. Lihat juga Merdeka, Perseteruan Panas Polri vs KPK di 2012,

http://www.merdeka.com, Diakses tanggal 10 Maret 2013.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945.

3

sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh

Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus

perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, Mahkamah Konstitusi

wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran

oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. Dalam rumusan pasal

tersebut jelas tecantum bahwa salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi

(MK) adalah memutus memutus sengketa kewenangan antar lembaga Negara

yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Dalam hal ini perlu diperjelas tentang

“lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD”.

”Sengketa kewenangan lembaga negara”, kata lembaga negara termuat

dalam pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yang mengatur tentang

kewenangan Mahkamah Konstitusi, dimana satu diantaranya adalah ”memutus

sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh

Undang-Undang Dasar”. Dengan kata-kata yang sama hal tersebut diulangi lagi

dalam pasal 10 ayat (1) UU Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa penyebutan adanya lembaga negara

dalam UUD NRI Tahun 1945 belum dengan sendiri menentukan bahwa lembaga

yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang

memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945. Ada kalanya

penyebutan dalam UUD NRI Tahun 1945 merupakan penugasan kepada pembuat

undang-undang untuk membentuk lembaga negara tersebut yang menyangkut

kewenangan, susunan, kedudukan dan tanggung jawabnya dalam satu undang-

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945.

4

undang. Dalam hal demikian dia menjadi organ atau lembaga negara yang

memperoleh kewenangannya dari undang-undang.

Secara definitif, lembaga negara adalah institusi-institusi yang dibentuk

guna melaksanakan fungsi-fungsi negara. Sedangkan secara konseptual, tujuan

diadakannya lembaga-lembaga negara adalah selain untuk menjalankan fungsi

negara, juga untuk menjalankan fungsi pemerintahan secara aktual. Dengan kata

lain, lembaga-lembaga itu harus membentuk suatu kesatuan proses yang satu

sama lain saling berhubungan dalam rangka penyelenggaraan fungsi negara.2

Proses perubahan UUD NRI Tahun 1945 telah menyusun struktur ketatanegaraan

baru, bahkan merubah paradigma pelaksanaan kekuasaan. Penegasan prinsip

check and balance dalam pelaksanaan kekuasaan semakin membuka ruang bagi

timbulnya sengketa. Oleh sebab itu, untuk lebih memperkuat prinsip

konstitusionalisme, demokrasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia,

dibentuk beberapa lembaga negara baru baik melalui UUD NRI Tahun 1945

maupun peraturan perundang-undangan lainya. Pembentukan lembaga-lembaga

negara yang baru tersebut sangat berpengaruh terhadap konsepsi lembaga negara

dan hubungan lembaga negara. Dibentuknya Mahkamah Konstitusi sebagai badan

kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung, yang salah satu kewenangannya

menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya

diberikan oleh UUD. Dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi, maka ada satu

mekanisme penyelesaian sengketa lembaga negara melalui instrument pengadilan,

yang diharapkan setiap sengketa dapat diselesaikan berdasarkan hukum dan

2 Firmansyah Arifin, dkk., 2005, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar

Lembaga Negara, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Jakarta, h. 30-31.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945.

5

peraturan perundang-undangan yang ada. Namun yang menjadi permasalahannya

yaitu tentang ketentuan yuridis yang menjadi pedoman Mahkamah Konstitusi

dalam menyelenggarakan kewenangannya, tidak terdapat kejelasan status lembaga

negara dan lembaga-lembaga yang dapat bersengketa di Mahkamah Konstitusi.

Secara konseptual Negara merupakan organisasi kekuasaan. Menurut

doktrin trias politica, kekuasaan negara dibagi ke dalam tiga bidang kekuasaan

yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Kekuasaan legislatif berfungsi

membuat undang-undang; kekuasaan eksekutif melaksanakan undang-undang;

dan kekuasaan yudikatif merupakan kekuasaan yang mengadili pelanggaran atas

undang-undang.3 Ketiga bidang kekuasaan ini menurut Montesquieu harus

dipisahkan satu sama lain, baik mengenai tugas (fungsi) maupun alat

perlengkapan negara/lembaga negara yang menyelenggarakannya.4 Doktrin trias

politica inilah yang juga diterapkan dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia,

dimana kekuasaan negara dibagi ke dalam bidang kekuasaan legislatif, eksekutif,

dan yudisial. Masing-masing bidang kekuasaan tersebut dijalankan oleh lembaga-

lembaga negara yang ada berdasarkan kewenangannya masing-masing.

Koordinasi lembaga-lembaga negara dalam menjalankan kewenangannya

diselenggarakan berdasarkan prinsip checks and balances, hal ini dilakukan untuk

menghindari terjadinya monopoli kekuasaan. Meskipun setiap lembaga negara

telah memiliki kewenangannya masing-masing, masih sering terjadi permasalahan

mengenai sengketa kewenangan lembaga negara. Adanya permasalahan mengenai

sengketa kewenangan lembaga negara di Indonesia juga ditunjukkan dengan

3 Miriam Budiardjo, 1993, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,

hal. 152. 4 Ibid.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945.

6

keberadaan lembaga Mahkamah Konstitusi (yang selanjutnya disebut MK), yang

memiliki kewenangan konstitusional berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1)

UUD NRI Tahun 1945 untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang

putusannya bersifat final untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara

yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945. Sejarah pertama MK

adalah diadopsinya ide mahkamah konstitusi yang diajukan Majelis

Permusyaaratan Rakyat (MPR) sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal

24C UUD NRI Tahun 1945.5

Lembaga-lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD,

sebagaimana yang termuat dalam UUD NRI Tahun 1945 yaitu meliputi: MPR,

DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, BPK, MA, MK, Komisi Yudisial,

Pemerintahan Daerah, Bank Sentral, Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan

Kepolisian Republik Indonesia. Selain itu, terdapat pula lembaga-lembaga yang

bisa disebut sebagai komisi negara atau lembaga negara pembantu (state auxiliary

agencies) yang dibentuk berdasarkan undang-undang ataupun peraturan

perundang-undangan lainya. Beberapa lembaga komisi yang telah terbentuk

misalnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Komisi Penyiaran Indonesia

(KPI), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Nasional untuk

Anak, dan Komisi Nasioanl Anti Kekerasan terhadap Perempuan , Komisi

Ombudsman Nasional (KHN), Komisi Untuk Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR),

5 I.B. Radendra Suastama, 2011, Ideologi di Balik Putusan-Putusan Mahkamah

Konstitusi yang Kontroversial, ESBE Buku, Denpasar, h. 22.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945.

7

dan Komisi Kejaksaan.6 Namun di Indonesia, keberadaan lembaga-lembaga

negara yang dibentuk dan diadakan itu masih belum diletakkan dalam konsepsi

ketatanegaraan yang lebih jelas menjamin keberadaan dari lembaga-lembaga

negara tersebut. Amandemen UUD NRI Tahun 1945, sekalipun telah merubah

desain kelembagaan negara, namun hal tersebut juga tidak memberikan kejelasan

terhadap keberadaan lembaga-lembaga negara tersebut. Padahal, beberapa

lembaga dan komisi negara yang dibentuk di luar ketentuan UUD disebut sebagai

lembaga negara.

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi misalnya, menyebutkan “Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah lembaga negara yang dalam

melaksanakan tugas dan wewenanganya bersifat independen dan bebas dari

pengaruh kekuasaan manapun”. Selain itu KPK sebagaimana yang tercantum

dalam ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dibentuk dengan tujuan meningkatkan

daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

KPK adalah lembaga yang secara khusus dibentuk untuk melakukan

pemberantasan tindak pidana korupsi, berdasarkan Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. KPK dibentuk untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas

korupsi di seluruh Indonesia. Pembentukan KPK dikarenakan penegakan hukum

dalam memberantas korupsi tidak berjalan dengan baik. Padahal korupsi di

6 Firmansyah Arifin, dkk, Op.Cit, h. 3.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945.

8

Indonesia sudah merupakan kejahatan luar biasa karena telah meluas di seluruh

Indonesia. Dampaknya jelas, negara dirugikan serta hak-hak sosial dan ekonomi

masyarakatpun terabaikan. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi perlu

dilakukan melalui KPK yang bersifat independen dan diberi kewenangan yang

luas. Sehingga pemberantasan korupsi diharapkan dapat dilakukan secara

sistematis, efektif dan maksimal, serta dengan tujuan meningkatkan daya guna

dan hasil guna terhada upaya pemberantasan korupsi. KPK merupakan lembaga

negara yang memiliki kewenangan atributif yang diperoleh berdasarkan Undang-

Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Berkaitan dengan pihak yang boleh berperkara di MK terkait dengan

sengketa kewenangan lembaga negara, maka hal tersebut dapat dilihat

berdasarkan legal standing dari lembaga negara tersebut. Berbeda dengan perkara

pengujian undang-undang, dalam sengketa kewenangan lembaga negara, legal

standing pemohon haruslah didasarkan pada adanya kepentingan langsung

terhadap kewenangan yang dipersengketakan. Dalam sengketa kewenangan

lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945,

legal standing diatur dalam Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, yang berbunyi sebagai berikut: “Pemohon

adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai kepentingan

langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan”.

Penentuan legal standing tersebut berkaitan dengan lembaga negara yang

menjadi pihak yang boleh berperkara di MK. Menurut Jimly Asshiddiqie

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945.

9

perubahan konsep lembaga negara dikarenakan adanya perubahan UUD 1945

yang menimbulkan berbagai macam penafsiran. Beliau mengatakan bahwa

lembaga yang memiliki kedudukan sama tinggi dan menjalankan fungsi-fungsi

kekuasaan yang bersifat primer yaitu Presiden, DPR, DPD, MPR, Mahkamah

Konstitusi, Mahkamah Agung, dan BPK. Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa

selain lembaga utama yang telah disebutkan ada lembaga lain yang beragam dan

secara eksplisit maupun implisit disebutkan dalam UUD NRI Tahun 1945, salah

satunya yaitu Kejaksaan Agung yang perannya sama pentingnya dengan

kepolisian yang disebutkan secara implisit dalam UUD NRI Tahun 1945. Karena

alasan memiliki fungsi yang sama penting secara konstitusional, perlu

dipertimbangkan pengertian yang lebih luas tentang lembaga negara yang diatur

dalam konstitusi. Konstitusi dalam arti luas bukan hanya UUD secara tertulis,

tetapi juga hal-hal di luar yang ditulis, dalam teks UUD, termasuk nilai-nilai,

kesepakatan konvensional ketatanegaraan, yang semuanya termasuk dalam

sumber Hukum Tata Negara.7

Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yang mengatur tentang

kewenangan Mahkamah Konstitusi, dimana satu diantaranya adalah ”memutus

sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh

Undang-Undang Dasar”. Dengan kata-kata yang sama hal tersebut diulangi lagi

dalam pasal 10 ayat (1) UU Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Dengan demikian, jika dilihat kembali rumusan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI

Tahun 1945 sehubungan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi, maka

7 Manuarar Siahaan, 2011, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,

Sinar Grafika, Jakarta, h. 81.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945.

10

penggunaan istilah lembaga negara bisa mengundang berbagai penafsiran dalam

melihat dan mengimplementasikan istilah lembaga negara tersebut. Hal tersebut

disebabkan karena UUD NRI Tahun 1945 tidak menegaskan tentang pengertian

lembaga negara dan lembaga-lembaga mana saja yang merupakan lembaga negara

yang memiliki kedudukan hukum dalam berperkara di Mahkamah Konstitusi

terkait dengan sengketa kewenanan lembaga negara . Demikian pula dengan

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, yang

tidak menjelaskan lebih lanjut siapa yang dimaksud dengan lembaga negara.

Dengan demikian telah terjadi kekaburan norma yang diakibatkan dari berbagai

penafsiran mengenai penggunaan istilah lembaga negara yang tidak dijelaskan

lebih lanjut baik dalam UUD NRI Tahun 1945 maupun Undang-Undang Nomor

24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, maka penulis

mengangkat masalah ini dalam bentuk karya ilmiah berupa tesis yang berjudul

“Legal Standing Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)

dalam Sengketa Kewenangan Lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah tersebut, maka dapat

dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) memiliki

legal standing sebagai Lembaga Negara yang bisa menjadi Pihak dalam

Sengketa Kewenangan Lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi menurut

UUD 1945?

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945.

11

2. Apakah Penyatuan Kewenangan Penyidikan dan Penuntutan di tangan

KPK terkait dengan legal standing KPK yang berperkara di Mahkamah

Konstitusi tidak bertentangan dengan prinsip pemisahan kekuasaan yang

memuat gagasan Perlindungan Hak-Hak Konstitusional Warga Negara?

1.3. Orisinalitas Penelitian

Usulan penelitian tesis ini murni merupakan hasil dari pemikiran penulis.

Dalam penyusunan usulan penelitian ini penulis bekerja berpedoman pada

peraturan perundang-undangan terkait dengan buku-buku serta beberapa artikel

yang terdapat dalam internet. Adapun tesis yang menurut penulis hampir sama

dengan penelitian ini yaitu:

a. Tesis dengan judul “Sinergi Antara Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi di Indonesia”. Tesis ini ditulis oleh Hendar Rasyid Nasution

mahasiswa Program Studi Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas

Sumatera Utara Medan tahun 2010. Tesis ini secara garis besar

membahas tentang Peranan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),

Kejaksaan, dan Kepolisian dalam sistem peradilan pidana di Indonesia

dan bagaimana sinergi tugas , fungsi dan wewenang KPK, Kejaksaan

dan Kepolisian dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di

Indonesia dalam kasus BLBI. Sedangkan tesis yang penulis susun

lebih memfokuskan tentang kedudukan hukum yang dimiliki oleh

KPK sebagai lembaga negara yang dapat berperkara di Mahkamah

Konsitusi serta menelaah tentang penyatuan kewenangan penyidikan

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945.

12

dan penuntutan yang ada di tangan KPK agar tidak bertentangan

dengan gagasan perlindungan hak-hak warga negara, mengingat di

Indonesia terdapat pembagian kekuasaan menjadi eksekutif, legislatif

dan yudisial.

b. Selanjutnya terdapat juga kajian mengenai kewenangan penyidikan

tindak pidana korupsi yang dikemukakan oleh I Nyoman Sujana

dengan judul Wewenang Komisi Pemeberantasan Korupsi (KPK)

Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Program

Magister Program Studi Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana

Universitas Udayana, Denpasar tahun 2007. Tesis ini menelaah tentang

Penyidikan Tindak Pidana Korupsi dengan melihat bagaimanakah

hubungan koordinasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan

penegak hukum lainnya dalam memberantas tindak pidana korupsi dan

bagaimana bentuk pengawasan terhadap KPK. Sedangkan dalam

penelitian ini penulis lebih membahas persoalan tentang legal standing

atau kedudukan hukum KPK dalam sengketa kewenangan lembaga

Negara di Mahkamah Konstitusi dan juga menelaah tentang Penyatuan

Kewenangan Penyidikan dan Penuntutan di tangan KPK sesuai dengan

Gagasan Perlindungan Hak-Hak Konstitusional Warga Negara.

c. Selain itu ada juga tesis dengan judul “Pluralisme dalam Penyidikan

Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”. Program Magister Program

Studi Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana,

Denpasar tahun 2006. Tesis ini menelaah tentang Penyidikan Tindak

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945.

13

Pidana Korupsi dengan melihat bagaimana sinkronisasi dan koordinasi

penyidikan dalam penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan

Polisi, Jaksa, dan KPK di Indonesia dan cara penyelesaiannya,

sedangkan dalam penelitian ini penulis juga mengangkat tentang

hubungan antara kepolisian, kejaksaan dan KPK dalam pemberantasan

korupsi di Indonesia tetapi dalam penelitian ini penulis lebih

menekankan kepada aspek ketatanegaraannya yaitu apakah KPK

memiliki kedudukan hukum dalam berperkara di Mahkamah

Konstitusi dalam sengketa kewenangan lembaga negara menurut UUD

NIR Tahun 1945.

1.4. Landasan Teoritis

Dalam rangka pemecahan masalah yang diuraikan dalam rumusan

masalah, akan dipergunakan beberapa teori dan pendapat-pendapat para ahli

tentang hukum dan juga beberapa konsep yang terkait dalam penelitian ini. Uraian

tentang konsep yang digunakan dalam penelitian ini diperlukan agar tidak timbul

perbedaan pemahaman terhadap beberapa istilah atau terminologi yang digunakan

dalam penelitian ini. Berikut akan diberikan teori-teori dan pengertian atau konsep

dari istilah atau terminologi dalam penelitian ini yaitu: yaitu Teori Negara

Hukum, Teori Hans Kelsen tentang Organ Negara (General Theory of Law &

State), Teori Pemisahan Kekuasaan, dan Teori Kewenangan, Konsep Legal

Standing, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945.

14

1.4.1. Landasan Teori

a. Teori Negara Hukum

Pada jaman modern dikenal dua Konsep negara hukum yaitu

konsep negara hukum Eropa Kontinental yang disebut dengan

“rechtsstaat” dan konsep negara hukum anglo saxon yang disebut dengan

“Rule of Law”. Teori negara hukum Anglo Saxon dikembangkan oleh A.V

Dicey yang menguraikan tiga ciri penting dalam setiap negara hukum yang

disebutnya dengan istilah “The Rule Of Law” yaitu:

1. Supremacy of Law.

2. Equality before the law.

3. Due Process of Law8

Teori negara hukum Eropah Kontinental pada jaman modern ini

dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl,

Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu

“rechtsstaat’. Sebagaimana saat awal dikembangkannya, pada Abad Ke-

19, Rechsstaat mengandung pengertian sebagai “suatu negara yang diatur

menurut hukum nalar” (a state governed by the law of reason), suatu

konsep yang menekankan kebebasan, persamaan, dan otonomi dari tiap-

tiap individu di dalam kerangka suatu tertib hukum yang ditentukan oleh

undang-undang dan dijalankan oleh pengadilan yang independen. Dalam

8 Moh, Kusnardi dan Bintan Saragih, 2000, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Gaya Media

Pratama, Jakarta, h. 3

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945.

15

makna demikian, Rechsstaat juga sangat menekankan pentingnya

kepastian hukum.9

Rule of Law (Rechtsstaat) mengandung pengertian yang jauh lebih

mendalam yakni bahwa setiap orang terikat oleh hukum, termasuk

pemerintah, bukan semata-mata karena hukum itu dibuat oleh mereka

yang berwenang membuatnya dan telah diundangkan tetapi hukum itu

sendiri harus baik dan adil.10

Jadi, paham Rechsstaat Jerman di Abad ke 19

itu dikatakan bersifat positivistic karena memandang undang-undang (statute

law) sebagai hukum tertinggi (supreme law) sebab dinilai sebagai cerminan dari

kehendak rakyat, sementara kehendak rakyat adalah basis utama gagasan

Rechsstaat itu.11

Tujuan utama lahirnya konsep rechsstaat ialah bagaimana

membatasi kekuasaan itu agar tidak menjadi sewenang-wenang. Untuk

membatasi kekuasaan tersebut muncullah berbagai pandangan

sebagaimana dikemukakan oleh J.J. Rosseau, Jhon Locke, maupun

Montesquieu yaitu membagi atau memisahkan kekuasaan itu. Dengan

membagi kekuasaan ke dalam tiga cabang kekuasaan, yakni kekuasaan

legislatif atau kekuasaan membentuk undang-undang, kekuasaan eksekutif

atau kekuasaan melaksanakan undang-undang, dan kekuasaan yudisial

atau kekuasaan kehakiman (mengadili), maka diharapkan penyelenggaraan

pemerintahan itu bisa dijalankan sesuai dnegan tuntutan rakyat yang

9 I Dewa Gede Palguna, 2013, Pengaduan Konstitusional (Constitutional complaint)

Upaya hukum terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Sinar Grafika,

Jakarta, h. 80. 10

Ibid, h. 24. 11

Ibid, h. 85.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945.

16

bertumpu kepada adanya egalite (kesamaan), liberte (kebebasan), dan

fraterrite (kemanusiaan).12

Menurut Jimlly Asshiddiqie ada 12 prinsip pokok yang menjadi

pilar utama penyangga negara hukum:13

a. Supremasi hukum (supremacy of law)

b. Persamaan dalam hukum (equality before the law)

c. Asas legalitas (due process of law)

d. Pembatasan kekuasaan.

e. Organ-organ pendukung yang independen.

f. Peradilan bebas dan tidak memihak.

g. Peradilan tata usaha negara.

h. Peradilan tata negara (constitutional court).

i. Perlindungan Hak Asasi Manusia.

j. Bersifat demokratis (democratische rechsstaat).

k. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara (

welfare rechsstaat).

l. Transparansi dan kontrol sosial.

Dalam kenyataannya, isi aturan hukum tidak selalu berupa

penuangan pikiran-pikiran ideal yang dikemukakan oleh ahli hukum,

melainkan berupa apa yang ditetapkan sebagai aturan di dalam konstitusi

atau peraturan perundang-undangan lainnya. Adakalanya orang

menyalahkan suatu aturan hukum karena aturan itu tidak sesuai dengan

pikiran ideal atau tak sesuai dengan teori. Padahal, apapun yang

dituangkan di dalam bentuk dan dengan cara tertentu oleh pembentuk

hukum itulah yang sebenarnya hukum yang berlaku, termasuk hukum tata

Negara.14

Berdasarkan penjelasan umum angka 1 Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyatakan bahwa Negara

12

Aminudin Ilmar, 2014, Hukum Tata Pemerintahan, Kencana, Jakarta, h. 58. 13

Ibid, h. 107-110. 14

Mahfud MD, 2010, Membangun Politik Hukum menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers,

Jakarta, h. 134.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945.

17

Indonesia berdasarkan atas hukum tidak berdasarkan atas kekuasaan

belaka. Hal ini juga diperjelas melalui amandemen ke 3 UUD 1945 Pasal 1

ayat 3 yang menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

Sebagai Negara hukum maka Negara kita harus lebih mementingkan

hukum diatas segalanya.

Konsep Negara dengan supremasi hukum yang dianut oleh Negara

Kesatuan Republik Indonesia mengedepankan UUD NRI Tahun 1945

sebagai hukum tertinggi yang harus dipakai sebagai rujukan semua

peraturan perundang-undangan di bawahnya. Sehingga dalam tesis ini

penulis lebih menggunakan teori negara hukum dengan konsep Rechsstaat

yang menekankan kepada adanya pembatasaan kekuasaan atau bagaimana

kekuasaan itu dibatasi sehingga tidak menjadi sewenang-wenang serta

harus berlandaskan atas supremasi konstitusi.

b. Teori Tentang Organ Negara

Teori tentang organ negara dikemukakan oleh Hans Kelsen dalam

bukunya yang berjudul General Theory of Law & State. Teori tentang

organ Negara diperlukan dalam penelitian ini yaitu untuk membahas

permasalahan yang penulis kemukakan dalam penelitian ini yaitu yang

berkaitan dengan legal standing KPK sebagai lembaga negara yang

menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara di Mahkamah

Konstitusi menurut UUD 1945. Dengan menggunakan teori tentang organ

negara penulis dapat memaparkan organ Negara/lembaga Negara apasaja

yang dapat berperkara di Mahkamah Konstitusi terkait dengan sengketa

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945.

18

kewenangan lembaga negara. Secara definitif, alat-alat kelengkapan suatu

negara atau lazim disebut sebagai lembaga negara adalah institusi-institusi

yang dibentuk guna melaksanakan fungsi-fungsi negara.15

Hans Kelsen dalam bukunya berjudul General Theory of Law &

State, menjelaskan tentang organ negara sebagai berikut:

Whoever fulfills a function determined by the legal order is an

organ. The functions, be they of norm-creating or of a norm-

applying character, are all ultimately aimed at the execution of

legal sanction. The parliament that enacts the penal code, and the

citizens who elect the parliament, are organs of the State, as well

as the judge who sentences the criminal and the individual who

actually executes the punishment.16

Selanjutnya, Hans Kelsen juga memaparkan lebih lanjut bahwa:

The organ of the state, in this narrower sense, are called officials.

Not every individual who actually function as an organ of the State

in wider sense holds the position of an official.17

Lebih Lanjut, Hans Kelsen juga menjelaskan tentang pembentukan

negara yaitu:

The State acts only through its organs. This often expressed and

generally accepted truth means that the legal order can be created

and applied only by designated by the order itself. An organ may

be "created" by appointment, election or lot.

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Hans Kelsen tentang organ

negara, bahwa negara bertindak hanya melalui organ-organnya. Setiap

organ-organ negara tersebut memiliki fungsi-fungsi sendiri dalam

menjalankan pemerintahan. Organ negara sebagaimana dikemukakan oleh

Hans Kelsen dalam arti sempit adalah pejabat, sehingga tidak setiap

individu dapat dikatakan sebagai organ negara. Di Indonesia organ negara

15

Firmansyah Arifin, dkk., Op.Cit, h. 30. 16

Hans Kelsen, 1949, General Theory of Law & State, (with a new introduction by A.

Javier Trevino), Mass: Harvard University Press, Cambridge, Page. 192. 17

Ibid, h. 193.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945.

19

dapat dibagi menjadi tiga kekuasaan yaitu eksekutif, legislatif, dan

yudisial. Ketiga bidang kekuasaan tersebut merupakan bagian dari organ

negara yang dalam hal ini dapat dikatakan sebagai pejabat negara.

c. Teori Pemisahan Kekuasaan

Teori pemisahan kekuasaan dikemukakan oleh Montesquieu. Teori

pemisahan kekuasaan digunakan untuk memecahkan permasalahan yang

penulis bahas dalam penulisan penelitian ini yaitu tentang penyatuan

kewenangan penyidikan dan penuntutan yang dimiliki KPK agar tidak

bertentangan dengan prinsip pemisahan kekuasaan negara yang memuat

gagasan perlindungan hak-hak konstitusional warga negara. Dengan

menggunakan teori pemisahan kekuasaan penulis dapat memaparkan dengan

jelas tentang pemisahan kekuasaan negara serta memaparkan tentang

kewenangan KPK yang tidak bertentangan dengan gagasan perlindungan hak-

hak konstitusional warga negara. Dalam rangka penyelidikan tentang sumber

kewenangan pejabat administrasi negara dalam bentu peraturan kebijakan,

dengan sendirinya akan bersinggungan dengan teori-teori ketatanegaraan

modern khususnya teori pendistribusian kekuasaan negara. Dalam teori

ketatanegaraan yang modern, ada beberapa macam teori tentang

pendistribusian kekuasaan. Salah satu diantaranya adalah teori Trias Politica

yang sering disebut dengan Teori Pemisahan Kekuasaan.

Mark Ryan dalam bukunya yang berjudul: Unlocking Constitutional &

Administrative Law, menjelaskan bahwa Montesquieu mengemukakan terdapat

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945.

20

pemisahan kekuasaan negara yang terdiri dari legislatif, eksekutif, dan

yudisial, sebagai berikut:

“Montesquieu was concerned with avoiding a concentration of state

power and ensuring that this power was limited. Although the principle

of dividing the various functions and powers of the state predates

Montesquieu, his description of the three branches of government,

namely the legislature, executive and judiciary, has a modern

resonance”.18

Selanjutnya Helen Fenwick dalam bukunya yang berjudul: Text, Caces

& Materials on Public Law & Human Rights, juga membahas hal yang serupa

tentang pemisahan kekuasaan yaitu:

“Reduced to its bare essentials, the doctrine of the separation of powers

identifies three main organs of government – the legislature, the

executive and the judiciary – and demands first thet each should be

separete and to an extent independent of each other, and secondly that

each organ should be vested with only one main function of

government”.19

Lebih lanjut Montesquieu sebagaimana dikutip oleh Hillaire Barnett

dalam buku Constitutional & Anministrative Law mengemukakan bahwa:

“When tha legislative and executive powers are unitedin the same person,

or in the same body of magistrates, there can be no liberty… Again, there is

no liberty if the power of judging is nor separeted from the legislative and

executive. If it were joined with the legislative, the life and liberty of the

subject would be exposed to arbitrary control; for the judge would than be

the legislator. If it were joined to the executive power, the judge might

behave with violence and oppression. There would be an end to everything,

if the same man, or the same body, whether of the nobles or the people,

were to exercise those threepowers, that of enacting laws, that of executing

public affairs, and thet of trying crimes or individual causes”.20

Montesquieu mengemukakan bahwa pada dasarnya dalam setiap

pemerintahan ada tiga jenis kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudisial.

18

Mark Ryan with contributioan from Stave foster, 2010, Unlocking Constitutional &

Administrative Law, 2nd

edition, Hodder Education an Hachette UK compay, London, Page 60-61. 19

Helen Fenwick, and Gavin Phillipson, 2006, Text, Caces & Materials on Public Law &

Human Rights, second edision, Cavendish Publishing Limited, London, Page 103.

20 Hillaire Barnett, 2011, Constitutional & Anministrative Law, eighth edision, Routledge

Taylor & Francis Group, London and New York, Page 81.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945.

21

Kekuasaan legislatif merupakan kekuasaan untuk membentuk undnag-undang.

Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan untuk menjalankan undang-undang.

Kekuasaan yudisial merupakan kekuasaan yang bertugas menindak setiap

perbuatan yang melanggar (perintah) undang-undang.21

Ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial itu sama-

sama sederajat dan saling mengontrol satu sama lain sesuai dengan prinsip

checks and balances. Dengan adanya prinsip checks and balances ini maka

kekuasaan Negara dapat diatur, dibatasi bahkan dikontrol dnegan sebaik-

baiknya sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara

Negara ataupun pribadi-pribadi yang kebetulan sedang menduduki jabatan

dalam lembaga-lembaga Negara yang bersangkutan dapat dicegah dan

ditanggulangi dengan sebik-baiknya.

Di Indonesia, kekuasaan juga terbagi menjadi kekuasaan eksekutif,

legislatif dan yudisial. Hal tersebut tertuang dalam pembagian bab-bab dalam

UUD 1945 yang menyebutkan:

Bab III tentang kekuasaan pemerintahan negara (Eksekutif);

Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat (Legislatif); dan

Bab IX tentang kekuasaan kehakiman (Yudisial).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa UUD NRI Tahun 1945 tidak

menganut pemisahan kekuasaan dalam arti materiil (separation of power),

melainkan menganut pemisahan kekuasaan dalam arti formal (division of

power) yang lebih dikenal dengan pembagian kekuasaan negara. Dalam teori

21

Hotma P. Sibuea, 2010, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, dan Asas-Asas

Umum Pemerintahan yang Baik, Erlangga, Jakarta, h. 108-109.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945.

22

pemisahan kekuasaan, masing-masing cabang kekuasaan Negara, yaitu

legislatif, eksekutif dan yudisial berada ditangan lembaga yang berbeda. Hal

tersebut memberikan kesan bahwa tidak ada pengawasan oleh suatu cabang

kekuasaan terhadap cabang kekuasaan negara yang lain. Hak tersebut

dikarenakan baik fungsi dan kelembagaan masing-masing ketiga kekuasaan

negara tersebut terpisah. Namun dalam kenyataannya, di dalam praktek

penyelenggaraan negara modern, kerja sama di antara lembaga-lembaga

negara justru merupakan hal yang mutlak harus ada karena tanpa kerja sama,

masing-masing lembaga negara akan berjalan sendiri-sendiri sehingga tidak

mustahil Negara akan semakin jauh menyimpang dari tujuan negara yang

hendak diwujudkan. Disamping itu akan terjadi pula kesewenang-wenangan

dalam penyelenggaraan pemerintahan yang diakibatkan karena tidak adanya

koordinasi dan kerjasama antara lembaga negara yang satu dengan lembaga

negara yang lainya.

d. Teori Kewenangan

Teori kewenangan penulis gunakan untuk membahas permasalahan

tentang penyatuan kewenangan penyidikan dan penuntutan yang dimiliki KPK

agar tidak bertentangan dengan prinsip pemisahan kekuasaan negara yang

memuat gagasan perlindungan hak-hak konstitusional warga negara. Teori

kewenangan penulis gunakan untuk memahami tentang kewenangan yang

dimiliki KPK sebagai lembaga negara terkait dengan sengketa kewenangan

lembaga negara.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945.

23

Suatu negara yang berdasarkan atas hukum, maka tidak dapat

dipungkiri bahwa asas legalitas menjadi dasar dalam setiap penyelenggaraan

pemerintahannya. Begitu pula di Indonesia yang dalam ketentuan Pasal 1 ayat

(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

menyatakan bahwa: “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Ketentuan

pasal ini merupakan penegasan bahwa Indonesia merupakan negara yang

berdasarkan atas hukum dan menjunjung asas legalitas dalam setiap

penyelenggaraan pemerintahannya. Konsekuensi dari ketentuan Pasal 1 ayat

(3) UUD NRI Tahun 1945 adalah kekuasaan negara yang berada pada alat

kelengkapan negara harus dilaksanakan berdasarkan aturan hukum yang telah

ditetapkan, atau dengan kata lain penyelenggaraan pemerintahan harus

berdasarkan legitimasi, yaitu wewenang yang ditentukan dalam peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

F.A.M. Stroink mengemukakan pembahasan kewenangan merupakan

konsep inti dalam hukum tata negara dan hukum administrasi negara (hukum

publik). Dalam Hukum Tata Negara kewenangan dideskripsikan sebagai

kekuasaan hukum (teehtement) atau yang berkaitan dengan kekuasaan.22

Sedangkan menurut Robert Bierstedt, wewenang adalah institutionalized

power (kekuasaan yang dilembagakan).23

Bagir Manan berpendapat bahwa wewenang dalam bahasa hukum

tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya mengambarkan hak

22

Agus Budi Susilo, 2007, Kontrol Yuridis PTUN dalam MenyelesaikanSengketa Tata

UsahaNegara di Tingkat Daerah, dalam Jurnal Hukum No. 1 Vol. 14 Januari 2007, h. 71, yang

dikutip dari Philipus M.Hadjon dalam tulisannya di Gema Peratur Tahun VI No.12 Agustus 2000,

MARI Lingkungan Peratun, hal. 103.

23

Firmansyah Arifin, dkk., Op.Cit, hal. 16.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945.

24

untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan dalam hukum, wewenang

sekaligus berarti hak dan kewajiban.24

Kewenangan adalah merupakan wujud

nyata dari kekuasaan, dan kekuasan menurut Miriam Budiarjo adalah

kemampuan untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa,

sehingga tingkah laku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku

yang mempunyai kekuasaan.25

Kekuasaan negara berdasarkan ajaran Trias Politica yang dikemukakan

oleh Montesquieu dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu kekuasaan legislatif,

kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudisial. Kekuasaan legislatif atau

kekuasaan membuat undang-undang (rule making function), kekuasaan

eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang (rule application

function), dan kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran

undang-undang (rule adjudication function).26

Dari klasifikasi yang dibuat

oleh Montesquieu inilah dikenal pembagian kekuasaan modern dalam 3 (tiga)

fungsi, yaitu legislatif (the legislative function), eksekutif (the executive or

administrative function), dan yudisial (the judicial function).27

Tujuan dari teori trias politica, menurut Montequieu adalah untuk

mewujudkan kemerdekaan individu dan kebebasan hak asasi manusia, karena

hal itu akan dapat terwujud apabila ketiga kekuasaan negara tidak dipegang

24

Ridwan H.R., Ridwan H.R., 2011, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, Jakarta :

Rajawali Pers, h. 99. 25

Firmansyah Arifin, dkk., Loc.Cit. 26

John Pieris dan Aryanthi Baramuli Putri, 2006, Dewan Perwakilan Daerah Republik

Indonesia, Studi, Analisis, Kritik, dan Solusi Kajian Hukum dan Politik, Pelangi Cendikia, Jakarta,

hal. 29. 27

Jimly Asshiddiqie, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Press, Jakarta,

hal. 283.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945.

25

oleh satu orang atau satu organ, tetapi dipegang oleh tiga orang atau tiga organ

yang terpisah. Dengan begitu, menurut Montesquieu, maka ketiga kekuasaan

tersebut harus dipisahkan supaya tidak terjadi monopoli penyalahgunaan

kekuasaan jika dipegang oleh satu orang atau satu organ.28

Ajaran Trias Politica tersebut diterapkan pula di Indonesia, namun

tidak sepenuhnya menganut pemisahan kekuasaan dan lebih cenderung

mengarah pada pembagian kekuasaan. Menurut Miriam Budiardjo, Undang-

Undang Dasar di Indonesia tidak secara eksplisit mengatakan bahwa doktrin

Trias Politika dianut tetapi undang-undang dasar memiliki jiwa dari demokrasi

konstitusional, maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut Trias

Politika dalam arti pembagian kekuasaan.29

Dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1)

dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

Pembagian kekuasaan di Indonesia juga ditunjukkan dengan adanya

kewenangan yang dilakukan bersama antara dua bidang kekuasaaan,

contohnya kewenangan dalam hal pembentukan suatu undang-undang, dimana

pembentukan suatu undang-undang membutuhkan persetujuan bersama DPR

dan Presiden meskipun DPR yang memegang kekuasaan membentuk undang-

undang.

Mengenai atribusi, delegasi dan mandat, H.D. van Wijk en Wilem

Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut:

a. attributie: toekenning van een bestuursbevoegheid door een

wetgever aan een bestuursorgan; (atribusi adalah pemberian

28

John Pieris dan Aryanthi Baramuli Putri, Op. Cit, h. 31. 29

Miriam Budiardjo, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta, hal. 287.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945.

26

wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada

organ pemerintahan),

b. delegatie: overdracht van een bevoegheid van het ene

bestuursorgan aan een ander; (delegasi adalah pelimpahan

wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada

organ pemerintahan lainnya),

c. mandaat: een bestuursorgan laat zijn bevoegheid names hem

uitoefenen door een ander; (mandat terjadi ketika organ

pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh

orang lain atas namanya).30

Menurut H.D. van Wijk, atribusi hanya dapat dilakukan oleh

pembentuk undang-undang. Sedangkan pembentuk undang-undang

diwakilkan organ-organ pemerintah yang berhubungan dengan kekuasaan

dilaksanakan secara bersama. Pendelegasian kekuasaan didasarkan pada

amanat suatu konstitusi yang dituangkan dalam suatu peraturan

pemerintah, yang tidak didahului oleh suatu pasal dalam undang-undang

untuk diatur lebih lanjut. Dalam hal ini berbeda dengan atribusi,

kewenangan terjadi karena pendelegasian diamanatkan oleh undang-

undang atau peraturan pemerintah dan didahului oleh suatu pasal dalam

undang-undang untuk dilanjutkannya. Kewengan atribusi hanya dapat

dilakukan oleh pembentuk undang-undang (legislator) yang orsinil.31

Suwoto Mulyosudarmo mempunyai pandangannya sendiri

mengenai kekuasaan. Menurut beliau, pada dasarnya pemberian

kekuasaan dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu perolehan secara

atributif, dan perolehan secara derivatif (delegasi dan mandat). Perolehan

kekuasaan secara atributif, menyebabkan terjadinya pembentukan

30

H.D. van Wijk, en Wilem Konijnenbelt, 1988, Hoofdstukken van Administratief Recht,

Uitgeverij Lemma B.V. Culemborg, Breda, Page 56. Lihat juga dalam Ridwan H.R., Op. Cit., h.

102. 31

Agussalim Andi Gadjong, 2007, Pemerintahan Daerah (Kajian Politik dan Hukum),

Bogor : Ghalia Indonesia, h. 102.

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945.

27

kekuasaan, karena berasal dari keadaan yang belum ada menjadi ada.

Kekuasaan yang timbul karena pembentukan secara atributif bersifat asli

dan menyebabkan adanya kekuasaan yang baru. Sedangkan perolehan

kekuasaan secara derivatif adalah pelimpahan kuasa, karena dari

kekuasaan yang telah ada dialihkan kepada pihak lain. Mengenai delegasi

dan mandat, Suwoto Mulyosudarmo menjelaskan lebih lanjut bahwa

dengan didelegasikannya suatu wewenang, maka tanggungjawab

sepenuhnya beralih kepada subyek hukum yang lain. Sebaliknya pada

mandat, mandataris hanya bertindak untuk dan atas nama mandans.

Tanggung jawab akhir keputusan yang diambil mandataris tetap berada

pada mandans.32

1.4.2. Konseptual

Berdasarkan uraian dalam kerangka teori, maka dapat diuraikan

pengertian yang terkandung dalam konsep-konsep yang akan digunakan

dalam penelitian ini:

a. Konsep Legal Standing

Tidak semua orang boleh mengajukan permohonan ke Mahkamah

Konstitusi dan menjadi pemohon. Pihak yang dapat menjadi pemohon

adalah pihak yang memiliki kepentingan hukum terkait dengan sengketa

yang dipersengketakan.

Pengertian tentang standing dalam “Black Law Dictionary”,

menjelaskan bahwa standing dalam hukum yaitu :

32

Suwoto Mulyosudarmo, 1997, Peralihan Kekuasaan Kajian Teoritis dan Yuridis

terhadap Pidato Nawaksara, Jakarta : Gramedia, h. 16-20.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945.

28

“A party’s right to make legal claim or seek judicial enforcement of a

duty to right. To have standing in the federal court, a plaintiff mush

show (1) that the challenged conduct has a caused the plantiff actual

injury, and (2) thet the interest sought to be protected is whitin the

zone of interest meant to be regulated by the statutory or constitutional

guarantee in guestion”.33

Doktrin yang dikenal di Amerika tentang standing to sue diartikan

bahwa pihak tersebut mempunyai kepentingan yang cukup dalam satu

perselisihan yang dapat dituntut untuk mendapatkan keputusan pengadilan

atas perselisihan tersebut. Standing adalah satu konsep yang digunakan

untuk menentukan apakah satu pihak terkena dampak secara cukup

sehingga satu perselisihan diajukan ke depan pengadilan. Ini adalah suatu

hak untuk mengambil langkah merumuskan masalah hukum agar

memperoleh putusan akhir dari pengadilan.34

Konsep legal standing yang terdapat di Mahkamah Konstitusi

berbeda dengan konsep legal standing yang terdapat dalam hukum

lingkungan. Legal standing dalam hukum lingkungan dapat dibagi

menjadi private standing dan public standing. Private standing dalam

hukum lingkungan disebut pula dengan citizen suit yaitu hak warga atau

perorangan untuk bertindak karena mengalami kerugian atas masalah hak

kepentingan umum. Sedangkan public standing berkaitan dengan hak

gugat kepada organisasi lingkungan untuk kepentingan pelestarian fungsi

lingkungan hidup.35

Konsep legal standing dalam hukum lingkungan

berkaitan dengan hak gugat, sedangkan dalam Mahkamah Konstitusi,

33

Bryan A. Garner, 2009, Black Law Dictionary, Ninth Edition, editor in Chief, West

Publishing CO, United States of America, p. 1536. 34

Manuarar Siahaan, Op.Cit, h. 65. 35

N.H.T Siahaan,2004, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, edisi kedua,

Erlangga, Jakarta, h. 337.

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945.

29

konsep legal standing yang dimaksud adalah tentang kedudukan hukum

dari pihak pemohon maupun termohon sebagai pihak yang berperkara.

Dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang memperoleh

kewenangannya dari UUD 1945, legal standing diatur dalam Pasal 61 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah

Konstitusi, yang berbunyi sebagai berikut: “Permohon adalah lembaga

negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai kepentingan

langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan”. Aturan Pasal 61

ayat (1) tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Baik pemohon maupun termohon harus merupakan lembaga

negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.

2. Harus ada kewenangan konstitusional yang dipersengketakan oleh

pemohon dan termohon, dimana kewenangan konstitusional

pemohon diambil alih dan/atau terganggu oleh tindakan termohon.

3. Pemohon harus mempunyai kepentingan langsung dengan

kewenangan konstutusional yang dipersengketakan.36

Legal standing yang dimaksud dalam sengketa kewenangan

lembaga negara adalah kedudukan hukum dari pemohon dan termohon

sebagai pihak yang bersengketa. Selanjutnya yang dimksud pemohon

adalah lembaga negara yang menganggap kewenangan konstitusinya

diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan dan/atau dirugikan oleh lembaga

36

Manuarar Siahaan, Op.Cit, h. 69.

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945.

30

negara yang lain. Pemohon harus mempunyai kepentingan langsung

terhadap kewenangan yang dipersengketakan. Sedangkan termohon adalah

lembaga negara yang dianggap telah mengambil, mengurangi,

menghalangi, mengabaikan dan/atau merugikan pemohon.37

b. Konsep Lembaga Negara

Sejak awal kemerdekaan, bangsa dan negara Indonesia telah

beberapa kali memiliki Undang-Undang Dasar, namun yang paling lama

diberlakukan adalah Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Sementara

itu rumusan UUD NRI Tahun 1945 tentang semangat penyelenggara

negara belum cukup didukung dengan ketentuan konstitusi. Disisi lain

terdapat pasal-pasal dalam UUD NRI Tahun 1945 yang terlalu “luwes”

sehingga dapat menimbulkan multitafsir, dan hubungan antara lembaga

negara dalam prakteknya tidak ada keseimbangan.

Lembaga negara sering pula diistilahkan dengan organ negara,

alat-alat perlengkapan negara, atau yang lainnya. Keberadaan lembaga

negara tersebut menjadi kesatuan yang tidak terpisahkan dengan

keberadaan negara, karena lembaga negara digunakan untuk mengisi dan

menjalankan negara dan sebagai mekanisme keterwakilan rakyat dalam

menyelenggarakan pemerintahan.38

Lembaga negara adalah institusi-

institusi yang dibentuk guna menjalankan fungsi-fungsi negara.39

Selain

itu, tujuan diadakannya lembaga negara juga untuk menjalankan fungsi

37

Bambang Sutiyoso, 2009, Tata Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah

Konstitusi, UII Press, Yogyakarta, h. 46. 38

Firmasyah Arifin, Op. Cit., hal. 14. 39

Moh, Kusnardi dan Bintan Saragih, 2000, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Gaya Media

Pratama, Jakarta, hal. 241.

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945.

31

pemerintahan secara aktual.40

Secara definitif, alat-alat kelengkapan suatu

negara atau lazim disebut sebagai lembaga negara adalah institusi-institusi

yang dibentuk guna melaksanakan fungsi-fungsi negara.41

Organ atau lembaga negara itu hanya terbatas pada pengertian

lembaga-lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UUD, UU, atau oleh

peraturan yang lebih rendah. Lembaga negara yang dibentuk karena UUD

yaitu Presiden, MPR, DPR, DPD, MK, MA, BPK, TNI, Polri, Bank

Sentral, Komisi Penyelenggara Pemilu, dan Komisi Yudisial. Yang

dibentuk karena undang-undang, misalnya adalah Komisi Penyiaran

Indonesia, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi

Pengawas Persaingan Usaha, dan sebagainya.42

Secara konseptual, tujuan diadakannya lembaga-lembaga negara

adalah selain untuk menjalankan fungsi negara, juga untuk menjalankan

fungsi pemerintahan secara aktual. Dengan kata lain, lembaga-lembaga itu

harus membentuk suatu kesatuan proses yang satu sama lain saling

berhubungan dalam rangka penyelenggaraan fungsi negara.43

Pembentukan lembaga negara akan selalu terkait dengan sistem

penyelenggaraan negara, yang didalamnya termuat antara lain fungsi

setiap organ yang dibentuk dan hubungan-hubungan yang dijalankan. Oleh

karena itu dalam praktiknya tipe lembaga-lembaga negara yang diadopsi

setiap negara bisa saja berbeda, secara konsep lembaga-lembaga tersebut

40

Firmansyah Arifin, Op. Cit., hal. 31. 41

Firmansyah Arifin, dkk., Op.Cit, h. 30. 42

Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca

Reformasi, Setjen dan Kepanitraan MK RI, Jakarta, h. 40. 43

Firmansyah Arifin, dkk., Op.Cit, h. 31.

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945.

32

harus bekerja dan memiliki relasi sedemikian rupa sehingga membentuk

suatu kesatuan untuk merealisasikan secara praktis fungsi negara dan

secara ideologis mewujudkan tujuan negara sesuai dengan cita hukum

bangsa Indonesia.

c. Konsep Sengketa Kewenangan Lembaga Negara

Hasil amandemen UUD 1945 telah membentuk dan memberikan

kesatuan mekanisme penyelesaian sengketa lembaga negara, yaitu melalui

MK. Salah satu kewenangan MK menurut UUD NRI Tahun 1945 adalah

menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar.

Kewenangan konstitusional lembaga negara adalah kewenangan-

kewenangan yang ditentukan oleh atau dalam undang-undang dasar

berrkenaan dengan subjek-subjek kelembagaan negara yang diatur dalam

UUD NRI Tahun 1945. Apabila dipandang dari sudut kewenangan

maupun fungsi-fungsi kekuasaan yang diatur dalam UUD NRI Tahun

1945, akan tampak jelas bahwa organ-organ yang menyandang fungsi dan

kewenangan konstitusional dimaksud sangat beragam. Jika

kewenangannya bersumber dari undang-undang dasar, berarti lembaga

negara tersebut mempunyai kewenangan konstitusional yang ditentukan

dalam atau oleh undang-undang dasar.44

Lembaga negara dalam kategori

yang kewenangannya diberikan oleh UUD inilah yang terkait dengan salah

satu kewenangan MK untuk mengadilinya apabila dalam pelaksanaan

44

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Op.Cit, h 271-272.

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945.

33

kewenangan konstitusional lembaga negara yang bersangkutan timbul

persengketaan dengan lembaga negara lainnya.

Sebelum memahami lebih lanjut tentang sengketa kewenangan

lembaga negara, terlebih dahulu perlu dipahami tentang kewenangan itu

sendiri. Menurut H.D. van Wijk en Wilem Konijnenbelt, kewenangan

dapat diperoleh melalui 3 (tiga) cara yaitu atribusi, delegasi, dan mandat.

Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-

undang kepada organ pemerintahan. Delegasi adalah pelimpahan

wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ

pemerintahan lainnya. Mandat terjadi ketika organ pemerintahan

mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh orang lain atas namanya.45

Lebih lanjut sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya

diberikan oleh UUD diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi dengan perubahannya yaitu UU No 8 Tahun 2011

Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang

Mahkamah Konstitusi. Yang dapat mengajukan permohonan ke MK

dalam sengketa kewenangan lembaga negara adalah lembaga yang

kewenangannya diberikan oleh UUD dan lembaga lembaga tersebut

memilki kepentingan langsung terhadap kewenangan yang

dipersengketakan.46

45

Ridwan H.R., Op. Cit., h. 102. 46

Ibid, h. 124.

Page 34: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945.

34

Sebuah kewenangan yang berbasis pada peraturan untuk

melaksankanan kewenangan setidaknya memiliki empat karakteristik

utama yaitu: 47

1. Hak untuk membuat keputusan-keputusan yang berkepastian hukum;

2. Perbedaan pelegitimasian antara kekuasaan dan kewenangan;

3. Aturan hierarkis yang jelas;

4. Kewenangan yang terbagi.

Keempat karakteristik utama tersebut dapat menimbulkan sengketa

kewenangan antarlembaga negara. Terlebih lagi terdapat jenis kewenangan

yang dimiliki oleh lembaga negara yang terbagi dengan jenis kewenangan

lembaga negara lainnya sehingga dapat memicu terjadinya sengketa

kewenangan lembaga negara.

Menurut jimly asshiddiqie, sebagai akibat dari pilihan untuk

menganut pemisahan kekuasaan dengan mengadopsi prinsip check and

balances, perlu dirumuskan mekanisme penyelsaian sengketa

antarlemabaga Negara yang sederajat di dalam melaksanakan kewenangan

konstitusionalnya.48

1.5.Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum:

Untuk menemukan kejelasan mengenai status kelembagaan

KPK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia setelah perubahan UUD

NRI Tahun 1945.

2. Tujuan Khusus:

47

Firmansyah Arifin, dkk., Op.Cit, h. 115-116. 48

Firmansyah Arifin, dkk., Op.Cit, h. 116.

Page 35: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945.

35

a. Untuk mengetahui dasar pemikiran pembentukan KPK sebagai

lembaga negara yang diberi kewenangan khusus dalam

pemberantasan tindak pidana korupsi.

b. Untuk mengetahui hakekat kekhususan dari kewenangan KPK

dalam pemeberantasan tindak pidana korupsi.

c. Untuk mengetahui hubungan antara KPK dan lembaga penegak

hukum lainnya dalam hal ini, Kepolisian dan Kejaksaan khususnya

dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

d. Untuk mengetahui cara penyelesaian dalam hal terjadi sengketa

kewenangan lembaga negara antara KPK dengan lembaga negara

lainnya.

1.6.Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan

penjelasan teoritik mengenai status kelembagaan KPK dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia setelah perubahan UUD NRI Tahun 1945.

2. Manfaat Praktis

a. Secara praktis, diharapkan dalam praktek tidak lagi timbul keragu-

raguan tentang kekhususan kewenangan KPK dalam

pemberantasan tindak pidana korupsi.

b. Secara praktis, diharapkan memberikan kejelasan tentang hakekat

kekhususan dari kewenangan KPK dalam pemeberantasan tindak

pidana korupsi.

Page 36: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945.

36

c. Secara praktis, diharapkan dapat memberikan kejelasan tentang

hubungan antara KPK dan lembaga penegak hukum lainnya dalam

hal ini, Kepolisian dan Kejaksaan khususnya dalam pemberantasan

tindak pidana korupsi.

d. Secara praktis, diharapkan dapat memberikan kejelasan tentang

cara penyelesaian dalam hal terjadi sengketa kewenangan lembaga

negara antara KPK dengan lembaga negara lainnya.

1.7. Metode Penelitian

1.7.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, karena penelitian

ini berusaha untuk membahas atau mengkaji norma hukum dalam hal ini

norma perundang-undangan untuk mengetahui sinkronisasi baik secara

vertikal maupun horizontal. Selain itu, karena dalam penelitian ini penulis

menemukan adanya kekaburan norma yang diakibatkan dari berbagai

penafsiran mengenai penggunaan istilah lembaga negara yang tidak

dijelaskan lebih lanjut baik dalam UUD NRI 1945 maupun Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi dalam

kaitannya dengan sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh UUD.

Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum normatif atau

kepustakaan mencakup: 49

1. Penelitian terhadap asas-asas hukum

49

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif, PT.

RajaGrafindo, Jakarta, h. 14.

Page 37: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945.

37

2. Penelitian terhadap sistematik hukum

3. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal

4. Perbandingan hukum

5. Sejarah hukum.

Dengan demikian, maka penelitian ini lebih menekankan pada

penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal. Dalam

penelitian ini, taraf sinkronisasi ditelaah dengan mengkaji perundang-

undangan yaitu UUD NRI Tahun 1945 dengan UU Nomor 24 tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi terkait dengan sengketa kewenangan

lembaga negara.

1.7.2. Sumber Bahan Hukum

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang

menggunakan bahan-bahan hukum sebagai instrumen analisisnya. Bahan-

bahan hukum dalam penelitian ini meliputi:

1. Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan yang mengikat terdiri

dari:

a. Norma (dasar) atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 (selanjutnya disebut Pembukaan UUD NRI Tahun

1945);

b. Peraturan dasar:

i. Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

ii. Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Page 38: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945.

38

c. Peraturan Perundang-Undangan:

i. Undang-Undang dan Peraturan yang setaraf

ii. Peraturan Pemerintah dan Peraturan yang setaraf

iii. Keputusan Presiden dan Peraturan yang setaraf

iv. Keputusan Menteri dan Peraturan yang setaraf

v. Peraturan Daerah

d. Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan

e. Yurisprudensi

f. Traktat

g. Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini

masih berlaku seperti Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP).50

Bahan Hukum Primer adalah bahan-bahan yang mengikat

yang terdiri dari peraturan perundang-undangan yang terikat

dengan objek penelitian51

. Berdasarkan petunjuk bahan hukum

primer tersebut maka bahan hukum primer yang penulis gunakan

dalam penelitian ini meliputi:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945);

Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 Tahun 2003

Tentang Mahkamah Konstitusi, yang selanjutnya

50

Soerjono Seokanto, dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja

Grafindo Persada, Jakarta, h. 13. 51

Amirudin dan Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali

Pers, Jakarta, h. 118.

Page 39: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945.

39

mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Negara

Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang

Perubahan atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003

Tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU

MK);

Undang-Undang Republik Indonesia No. 30 Tahun 2002

Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(selanjutnya disebut UU KPK);

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang selanjutnya

mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2002 Tentang

Tata Cara Penyelenggaraan Wewenang Mahkamah

Konstitusi;

Selain itu putusan pengadilan dan putusan Mahkamah

Konstitusi yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap

juga menjadi bahan hukum primer.

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang

memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti

Page 40: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945.

40

rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya

dari kalangan hukum dan seterusnya.52

Disamping itu bahan

hukum sekunder dapat berupa buku-buku dan tulisan-tulisan

ilmiah hukum yang terkait dengan objek penelitian ini.53

3. Bahan Hukum Tertier

Bahan Hukum Tertier adalah bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan mengenai bahan hukum primer atau bahan

hukum sekunder; contohnya adalah kamus, ensiklopedia,

indeks komulatif dan seterusnya.54

1.7.3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Sumber bahan hukum dalam penelitian ini adalah berupa bahan-

bahan hukum yang didapat melalui studi kepustakaan. Teknik

pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan meneliti berbagai literatur

yang ada kaitannya dengan materi yang akan dibahas dalam penulisan

tesis ini .

Langkah yang dilakukan untuk mendapatkan sumber bahan hukum

tersebut, yaitu diawali dengan dilakukan pengeloksian dan identifikasi

bahan-bahan hukum kedalam suatu sistem informasi yang komprehensif

sehingga memudahkan untuk melakukan penelusuran kembali bahan-

bahan hukum yang diperlukan atau dengan kata lain teknik pengumpulan

bahan hukum ini dilakukan dengan menggunakan sistem sistematis yaitu

52

Soerjono Seokanto, dan Sri Mamudji, Op. Cit, h. 13 53

Zainuddin Ali, M.A, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika Jakarta, h. 106. 54

Soerjono Seokanto, dan Sri Mamudji, Op. Cit, h. 13 dan Amirudin dan Zainal Asikin,

Op.Cit. h. 119.

Page 41: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945.

41

mencatat bahan hukum melalui catatan-catatan kecil dari penelitian

terhadap buku atau literatur dan peraturan perundang-undangan yang ada

dengan masalah yang dibahas.

1.7.4. Jenis Pendekatan

Jenis pendekatan yang sesuai dengan pokok permasalahan dalam

penelitian ini yaitu jenis pendekatan perundang-undangan (The Statute

Approach), jenis pendekatan kasus (Case Approach), pendekatan historis

(Historical Approach), pendekatan perbandingan, dan pendekatan konsep

(Conseptual Approach).

Pendekatan perundang-undangan digunakan dalam penelitian ini

untuk mengkaji peraturan perundang-undangan yang mengatur sengketa

kewenangan lembaga negara serta melihat sinkronisasi dari peraturan

perundang-undangan dalam sengketa kewenangan lembaga negara.

Pendekatan kasus digunakan dalam penelitian ini untuk melakukan telaah

terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan Legal Standing Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dalam Sengketa

Kewenangan Lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi. Pendekatan

historis digunakan untuk memahami sejarah lembaga negara yang

berkaitan dengan penelitian ini yaitu pembentukan komisi

pemberantasanan tindak pidana korupsi sebelum dan setelah terbentuknya

KPK. Pendekatan perbandingan digunakan untuk mengetahui

perbandingan kewenangan KPK yang ada di Indonesia dengan negara lain.

Selanjutnya pendekatan yang terakhir digunakan yaitu pendekatan konsep

Page 42: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945.

42

hukum yang akan digunakan penulis untuk menjawab permasalahan

tentang Legal Standing Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(KPK) Yang Berperkara Di Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Kaitannya

dengan Sengketa Kewenangan lembaga Negara sesuai dengan teori, asas,

konsep dan doktrin-doktrin ilmu hukum. Pendekatan konseptual ini

dilakukan agar terdapat kesamaan pemikiran mengenai beberapa konsep

dalam penelitian ini yaitu legal standing, KPK, lembaga negara dan

sengketa kewenangan lembaga negara.

1.7.5. Teknik Analisis

Bahan hukum sekunder yang telah didapatkan dalam penelitian

hukum normatif ini akan dianalisis secara deskriptif analitis. Deskriptif

tersebut meliputi isi dan sruktur hukum positif, yaitu suatu kegiatan yang

dilakukan oleh penulis untuk menentukan isi atau makna aturan hukum

yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang

menjadi objek kajian.55

Dalam penelitian ini akan dilakukan pemaparan

serta penentuan terhadap makna dari aturan-aturan hukum terkait dengan

Legal Standing Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)

dalam Perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara di Mahkamah

Konstitusi. Secara umum interpretasi dapat dibedakan atas interpretasi

gramatikal (tata bahasa), interpretasi autentik (resmi), interpretasi historis

(sejarah), interpretasi nasional, intrepetasi sistematis, interpretasi teologis,

interpretasi eklusif, interpretasi peringkasan (acontrario), dan interpretasi

55

Zainuddin Ali, M.A, Op.Cit, h. 107.

Page 43: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945.

43

analogis (memberi tafsir).56

Dalam penelitian ini adapun interpretasi yang

digunakan yaitu interpretasi gramatikal dan interpretasi analogis (memberi

tafsir). Pemaparan tersebut dilakukan dengan teknik interpretasi:

1. Teknik interpretasi digunakan untuk melakukan penafsiran

terhadap norma-norma yang kabur. Dalam penelitian ini

terdapat kekaburan norma yang diakibatkan dari berbagai

penafsiran mengenai penggunaan istilah lembaga negara yang

tidak dijelaskan lebih lanjut baik dalam UUD NRI Tahun 1945

maupun Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang

Mahkamah Konstitusi.

2. Argumentasi hukum, yaitu melakukan penalaran hukum berupa

pemikiran dengan menggali konsep (pengertian), proposisi

(pernyataan) dan melakukan penalaran (reasoning). Ketiganya

merupakan satu kesatuan tidak terpisahkan. Tidak ada proposisi

tanpa pengerian (konsep), dan tidak ada penalaran tanpa

proposisi.

56

Sudarsono, Op.Cit, h. 122-123