BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · yang akan dibentuk itu merupakan organ...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Akhir-akhir ini salah satu lembaga negara popular di Indonesia yang
dikenal melalui sepak terjangnya memberantas korupsi ramai dibicarakan. Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) merupakan lembaga negara yang
memiliki tugas memberantas korupsi di Indonesia. KPK memiliki kewenangan
yang hampir sama dengan Kepolisian dan Kejaksaan dalam perkara tindak pidana
korupsi. KPK memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan
dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, yang sebelumnya kewenangan
tersebut juga dimiliki oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Sehingga dalam hal ini
perlu adanya koordinasi lembaga negara baik itu Kepolisian, Kejaksaan dan KPK
untuk meminimalisasi terjadinya penyalahgunaan wewenang.
Kewenangan yang dimiliki KPK hampir sama dengan Kepolisian dan
Kejaksaan dalam perkara tindak pidana korupsi dapat menimbulkan sengketa
kewenangan lembaga negara tersebut. Untuk itu apabila terjadi sengketa
kewenangan lembaga negara maka lembaga negara yang merasa kewenangannya
diambil alih oleh lembaga negara lain dapat mengajukan permohonan sengekata
kewenangan lembaga negara ke Mahkamah Konstitusi. Salah satu sengketa
kewenangan lembaga negara yang pernah terjadi dan menjadi perhatian di
masyarakat adalah sengketa kewenangan antara Kepolisian Republik Indonesia
(yang selanjutnya disebut POLRI) dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (yang selanjutnya disebut KPK) mengenai kewenangan untuk menangani
2
kasus korupsi pengadaan simulator SIM. Sengketa ini disebabkan karena antara
kedua lembaga negara tersebut merasa bahwa penanganan kasus korupsi
pengadaan simulator SIM merupakan kewenangannya, sehingga telah
melaksanakan penyidikan terhadap kasus tersebut, bahkan telah menetapkan
tersangka. Kasus ini semakin menjadi polemik karena melibatkan para perwira
tinggi POLRI di dalamnya, bahkan KPK menetapkan beberapa perwira tinggi
sebagai tersangka. Setelah polemik berkepanjangan dan atas desakan publik terus-
menerus, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya mengeluarkan
pernyataan untuk menengahi sengketa kewenangan antara POLRI dan KPK
mengenai penanganan kasus korupsi simulator SIM tersebut. Presiden
memerintahkan agar POLRI melimpahkan penanganan kasus korupsi simulator
SIM pada KPK, dengan berpatokan pada ketentuan Pasal 50 ayat (3) Undang-
Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (KPK). Penanganan kasus yang berlarut-larut yang melibatkan KPK dan
POLRI tersebut menimbulkan berbagai tanggapan oleh para ahli hukum di
Indonesia, terkait dengan diselesaikannya sengketa kewenangan lembaga negara
tersebut ke Mahkamah Konstitusi.1
Berkenaan dengan tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi, Pasal 24C
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (yang selanjutnya
disebut UUD NRI Tahun 1945) menegaskan bahwa “Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus
1 Tempo, Tiga Pokok Masalah Polri vs KPK versi SBY, http://www.tempo.co/read/new,
Diakses tanggal 10 Maret 2013. Lihat juga Merdeka, Perseteruan Panas Polri vs KPK di 2012,
http://www.merdeka.com, Diakses tanggal 10 Maret 2013.
3
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, Mahkamah Konstitusi
wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran
oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. Dalam rumusan pasal
tersebut jelas tecantum bahwa salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi
(MK) adalah memutus memutus sengketa kewenangan antar lembaga Negara
yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Dalam hal ini perlu diperjelas tentang
“lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD”.
”Sengketa kewenangan lembaga negara”, kata lembaga negara termuat
dalam pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yang mengatur tentang
kewenangan Mahkamah Konstitusi, dimana satu diantaranya adalah ”memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar”. Dengan kata-kata yang sama hal tersebut diulangi lagi
dalam pasal 10 ayat (1) UU Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa penyebutan adanya lembaga negara
dalam UUD NRI Tahun 1945 belum dengan sendiri menentukan bahwa lembaga
yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang
memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945. Ada kalanya
penyebutan dalam UUD NRI Tahun 1945 merupakan penugasan kepada pembuat
undang-undang untuk membentuk lembaga negara tersebut yang menyangkut
kewenangan, susunan, kedudukan dan tanggung jawabnya dalam satu undang-
4
undang. Dalam hal demikian dia menjadi organ atau lembaga negara yang
memperoleh kewenangannya dari undang-undang.
Secara definitif, lembaga negara adalah institusi-institusi yang dibentuk
guna melaksanakan fungsi-fungsi negara. Sedangkan secara konseptual, tujuan
diadakannya lembaga-lembaga negara adalah selain untuk menjalankan fungsi
negara, juga untuk menjalankan fungsi pemerintahan secara aktual. Dengan kata
lain, lembaga-lembaga itu harus membentuk suatu kesatuan proses yang satu
sama lain saling berhubungan dalam rangka penyelenggaraan fungsi negara.2
Proses perubahan UUD NRI Tahun 1945 telah menyusun struktur ketatanegaraan
baru, bahkan merubah paradigma pelaksanaan kekuasaan. Penegasan prinsip
check and balance dalam pelaksanaan kekuasaan semakin membuka ruang bagi
timbulnya sengketa. Oleh sebab itu, untuk lebih memperkuat prinsip
konstitusionalisme, demokrasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia,
dibentuk beberapa lembaga negara baru baik melalui UUD NRI Tahun 1945
maupun peraturan perundang-undangan lainya. Pembentukan lembaga-lembaga
negara yang baru tersebut sangat berpengaruh terhadap konsepsi lembaga negara
dan hubungan lembaga negara. Dibentuknya Mahkamah Konstitusi sebagai badan
kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung, yang salah satu kewenangannya
menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD. Dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi, maka ada satu
mekanisme penyelesaian sengketa lembaga negara melalui instrument pengadilan,
yang diharapkan setiap sengketa dapat diselesaikan berdasarkan hukum dan
2 Firmansyah Arifin, dkk., 2005, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar
Lembaga Negara, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Jakarta, h. 30-31.
5
peraturan perundang-undangan yang ada. Namun yang menjadi permasalahannya
yaitu tentang ketentuan yuridis yang menjadi pedoman Mahkamah Konstitusi
dalam menyelenggarakan kewenangannya, tidak terdapat kejelasan status lembaga
negara dan lembaga-lembaga yang dapat bersengketa di Mahkamah Konstitusi.
Secara konseptual Negara merupakan organisasi kekuasaan. Menurut
doktrin trias politica, kekuasaan negara dibagi ke dalam tiga bidang kekuasaan
yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Kekuasaan legislatif berfungsi
membuat undang-undang; kekuasaan eksekutif melaksanakan undang-undang;
dan kekuasaan yudikatif merupakan kekuasaan yang mengadili pelanggaran atas
undang-undang.3 Ketiga bidang kekuasaan ini menurut Montesquieu harus
dipisahkan satu sama lain, baik mengenai tugas (fungsi) maupun alat
perlengkapan negara/lembaga negara yang menyelenggarakannya.4 Doktrin trias
politica inilah yang juga diterapkan dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia,
dimana kekuasaan negara dibagi ke dalam bidang kekuasaan legislatif, eksekutif,
dan yudisial. Masing-masing bidang kekuasaan tersebut dijalankan oleh lembaga-
lembaga negara yang ada berdasarkan kewenangannya masing-masing.
Koordinasi lembaga-lembaga negara dalam menjalankan kewenangannya
diselenggarakan berdasarkan prinsip checks and balances, hal ini dilakukan untuk
menghindari terjadinya monopoli kekuasaan. Meskipun setiap lembaga negara
telah memiliki kewenangannya masing-masing, masih sering terjadi permasalahan
mengenai sengketa kewenangan lembaga negara. Adanya permasalahan mengenai
sengketa kewenangan lembaga negara di Indonesia juga ditunjukkan dengan
3 Miriam Budiardjo, 1993, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
hal. 152. 4 Ibid.
6
keberadaan lembaga Mahkamah Konstitusi (yang selanjutnya disebut MK), yang
memiliki kewenangan konstitusional berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1)
UUD NRI Tahun 1945 untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945. Sejarah pertama MK
adalah diadopsinya ide mahkamah konstitusi yang diajukan Majelis
Permusyaaratan Rakyat (MPR) sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal
24C UUD NRI Tahun 1945.5
Lembaga-lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD,
sebagaimana yang termuat dalam UUD NRI Tahun 1945 yaitu meliputi: MPR,
DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, BPK, MA, MK, Komisi Yudisial,
Pemerintahan Daerah, Bank Sentral, Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan
Kepolisian Republik Indonesia. Selain itu, terdapat pula lembaga-lembaga yang
bisa disebut sebagai komisi negara atau lembaga negara pembantu (state auxiliary
agencies) yang dibentuk berdasarkan undang-undang ataupun peraturan
perundang-undangan lainya. Beberapa lembaga komisi yang telah terbentuk
misalnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Nasional untuk
Anak, dan Komisi Nasioanl Anti Kekerasan terhadap Perempuan , Komisi
Ombudsman Nasional (KHN), Komisi Untuk Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR),
5 I.B. Radendra Suastama, 2011, Ideologi di Balik Putusan-Putusan Mahkamah
Konstitusi yang Kontroversial, ESBE Buku, Denpasar, h. 22.
7
dan Komisi Kejaksaan.6 Namun di Indonesia, keberadaan lembaga-lembaga
negara yang dibentuk dan diadakan itu masih belum diletakkan dalam konsepsi
ketatanegaraan yang lebih jelas menjamin keberadaan dari lembaga-lembaga
negara tersebut. Amandemen UUD NRI Tahun 1945, sekalipun telah merubah
desain kelembagaan negara, namun hal tersebut juga tidak memberikan kejelasan
terhadap keberadaan lembaga-lembaga negara tersebut. Padahal, beberapa
lembaga dan komisi negara yang dibentuk di luar ketentuan UUD disebut sebagai
lembaga negara.
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi misalnya, menyebutkan “Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah lembaga negara yang dalam
melaksanakan tugas dan wewenanganya bersifat independen dan bebas dari
pengaruh kekuasaan manapun”. Selain itu KPK sebagaimana yang tercantum
dalam ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dibentuk dengan tujuan meningkatkan
daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
KPK adalah lembaga yang secara khusus dibentuk untuk melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi, berdasarkan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. KPK dibentuk untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas
korupsi di seluruh Indonesia. Pembentukan KPK dikarenakan penegakan hukum
dalam memberantas korupsi tidak berjalan dengan baik. Padahal korupsi di
6 Firmansyah Arifin, dkk, Op.Cit, h. 3.
8
Indonesia sudah merupakan kejahatan luar biasa karena telah meluas di seluruh
Indonesia. Dampaknya jelas, negara dirugikan serta hak-hak sosial dan ekonomi
masyarakatpun terabaikan. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi perlu
dilakukan melalui KPK yang bersifat independen dan diberi kewenangan yang
luas. Sehingga pemberantasan korupsi diharapkan dapat dilakukan secara
sistematis, efektif dan maksimal, serta dengan tujuan meningkatkan daya guna
dan hasil guna terhada upaya pemberantasan korupsi. KPK merupakan lembaga
negara yang memiliki kewenangan atributif yang diperoleh berdasarkan Undang-
Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Berkaitan dengan pihak yang boleh berperkara di MK terkait dengan
sengketa kewenangan lembaga negara, maka hal tersebut dapat dilihat
berdasarkan legal standing dari lembaga negara tersebut. Berbeda dengan perkara
pengujian undang-undang, dalam sengketa kewenangan lembaga negara, legal
standing pemohon haruslah didasarkan pada adanya kepentingan langsung
terhadap kewenangan yang dipersengketakan. Dalam sengketa kewenangan
lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945,
legal standing diatur dalam Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, yang berbunyi sebagai berikut: “Pemohon
adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai kepentingan
langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan”.
Penentuan legal standing tersebut berkaitan dengan lembaga negara yang
menjadi pihak yang boleh berperkara di MK. Menurut Jimly Asshiddiqie
9
perubahan konsep lembaga negara dikarenakan adanya perubahan UUD 1945
yang menimbulkan berbagai macam penafsiran. Beliau mengatakan bahwa
lembaga yang memiliki kedudukan sama tinggi dan menjalankan fungsi-fungsi
kekuasaan yang bersifat primer yaitu Presiden, DPR, DPD, MPR, Mahkamah
Konstitusi, Mahkamah Agung, dan BPK. Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa
selain lembaga utama yang telah disebutkan ada lembaga lain yang beragam dan
secara eksplisit maupun implisit disebutkan dalam UUD NRI Tahun 1945, salah
satunya yaitu Kejaksaan Agung yang perannya sama pentingnya dengan
kepolisian yang disebutkan secara implisit dalam UUD NRI Tahun 1945. Karena
alasan memiliki fungsi yang sama penting secara konstitusional, perlu
dipertimbangkan pengertian yang lebih luas tentang lembaga negara yang diatur
dalam konstitusi. Konstitusi dalam arti luas bukan hanya UUD secara tertulis,
tetapi juga hal-hal di luar yang ditulis, dalam teks UUD, termasuk nilai-nilai,
kesepakatan konvensional ketatanegaraan, yang semuanya termasuk dalam
sumber Hukum Tata Negara.7
Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yang mengatur tentang
kewenangan Mahkamah Konstitusi, dimana satu diantaranya adalah ”memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar”. Dengan kata-kata yang sama hal tersebut diulangi lagi
dalam pasal 10 ayat (1) UU Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Dengan demikian, jika dilihat kembali rumusan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI
Tahun 1945 sehubungan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi, maka
7 Manuarar Siahaan, 2011, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
Sinar Grafika, Jakarta, h. 81.
10
penggunaan istilah lembaga negara bisa mengundang berbagai penafsiran dalam
melihat dan mengimplementasikan istilah lembaga negara tersebut. Hal tersebut
disebabkan karena UUD NRI Tahun 1945 tidak menegaskan tentang pengertian
lembaga negara dan lembaga-lembaga mana saja yang merupakan lembaga negara
yang memiliki kedudukan hukum dalam berperkara di Mahkamah Konstitusi
terkait dengan sengketa kewenanan lembaga negara . Demikian pula dengan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, yang
tidak menjelaskan lebih lanjut siapa yang dimaksud dengan lembaga negara.
Dengan demikian telah terjadi kekaburan norma yang diakibatkan dari berbagai
penafsiran mengenai penggunaan istilah lembaga negara yang tidak dijelaskan
lebih lanjut baik dalam UUD NRI Tahun 1945 maupun Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, maka penulis
mengangkat masalah ini dalam bentuk karya ilmiah berupa tesis yang berjudul
“Legal Standing Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)
dalam Sengketa Kewenangan Lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi”.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah tersebut, maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) memiliki
legal standing sebagai Lembaga Negara yang bisa menjadi Pihak dalam
Sengketa Kewenangan Lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi menurut
UUD 1945?
11
2. Apakah Penyatuan Kewenangan Penyidikan dan Penuntutan di tangan
KPK terkait dengan legal standing KPK yang berperkara di Mahkamah
Konstitusi tidak bertentangan dengan prinsip pemisahan kekuasaan yang
memuat gagasan Perlindungan Hak-Hak Konstitusional Warga Negara?
1.3. Orisinalitas Penelitian
Usulan penelitian tesis ini murni merupakan hasil dari pemikiran penulis.
Dalam penyusunan usulan penelitian ini penulis bekerja berpedoman pada
peraturan perundang-undangan terkait dengan buku-buku serta beberapa artikel
yang terdapat dalam internet. Adapun tesis yang menurut penulis hampir sama
dengan penelitian ini yaitu:
a. Tesis dengan judul “Sinergi Antara Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi di Indonesia”. Tesis ini ditulis oleh Hendar Rasyid Nasution
mahasiswa Program Studi Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas
Sumatera Utara Medan tahun 2010. Tesis ini secara garis besar
membahas tentang Peranan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
Kejaksaan, dan Kepolisian dalam sistem peradilan pidana di Indonesia
dan bagaimana sinergi tugas , fungsi dan wewenang KPK, Kejaksaan
dan Kepolisian dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di
Indonesia dalam kasus BLBI. Sedangkan tesis yang penulis susun
lebih memfokuskan tentang kedudukan hukum yang dimiliki oleh
KPK sebagai lembaga negara yang dapat berperkara di Mahkamah
Konsitusi serta menelaah tentang penyatuan kewenangan penyidikan
12
dan penuntutan yang ada di tangan KPK agar tidak bertentangan
dengan gagasan perlindungan hak-hak warga negara, mengingat di
Indonesia terdapat pembagian kekuasaan menjadi eksekutif, legislatif
dan yudisial.
b. Selanjutnya terdapat juga kajian mengenai kewenangan penyidikan
tindak pidana korupsi yang dikemukakan oleh I Nyoman Sujana
dengan judul Wewenang Komisi Pemeberantasan Korupsi (KPK)
Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Program
Magister Program Studi Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana
Universitas Udayana, Denpasar tahun 2007. Tesis ini menelaah tentang
Penyidikan Tindak Pidana Korupsi dengan melihat bagaimanakah
hubungan koordinasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan
penegak hukum lainnya dalam memberantas tindak pidana korupsi dan
bagaimana bentuk pengawasan terhadap KPK. Sedangkan dalam
penelitian ini penulis lebih membahas persoalan tentang legal standing
atau kedudukan hukum KPK dalam sengketa kewenangan lembaga
Negara di Mahkamah Konstitusi dan juga menelaah tentang Penyatuan
Kewenangan Penyidikan dan Penuntutan di tangan KPK sesuai dengan
Gagasan Perlindungan Hak-Hak Konstitusional Warga Negara.
c. Selain itu ada juga tesis dengan judul “Pluralisme dalam Penyidikan
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”. Program Magister Program
Studi Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana,
Denpasar tahun 2006. Tesis ini menelaah tentang Penyidikan Tindak
13
Pidana Korupsi dengan melihat bagaimana sinkronisasi dan koordinasi
penyidikan dalam penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan
Polisi, Jaksa, dan KPK di Indonesia dan cara penyelesaiannya,
sedangkan dalam penelitian ini penulis juga mengangkat tentang
hubungan antara kepolisian, kejaksaan dan KPK dalam pemberantasan
korupsi di Indonesia tetapi dalam penelitian ini penulis lebih
menekankan kepada aspek ketatanegaraannya yaitu apakah KPK
memiliki kedudukan hukum dalam berperkara di Mahkamah
Konstitusi dalam sengketa kewenangan lembaga negara menurut UUD
NIR Tahun 1945.
1.4. Landasan Teoritis
Dalam rangka pemecahan masalah yang diuraikan dalam rumusan
masalah, akan dipergunakan beberapa teori dan pendapat-pendapat para ahli
tentang hukum dan juga beberapa konsep yang terkait dalam penelitian ini. Uraian
tentang konsep yang digunakan dalam penelitian ini diperlukan agar tidak timbul
perbedaan pemahaman terhadap beberapa istilah atau terminologi yang digunakan
dalam penelitian ini. Berikut akan diberikan teori-teori dan pengertian atau konsep
dari istilah atau terminologi dalam penelitian ini yaitu: yaitu Teori Negara
Hukum, Teori Hans Kelsen tentang Organ Negara (General Theory of Law &
State), Teori Pemisahan Kekuasaan, dan Teori Kewenangan, Konsep Legal
Standing, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara.
14
1.4.1. Landasan Teori
a. Teori Negara Hukum
Pada jaman modern dikenal dua Konsep negara hukum yaitu
konsep negara hukum Eropa Kontinental yang disebut dengan
“rechtsstaat” dan konsep negara hukum anglo saxon yang disebut dengan
“Rule of Law”. Teori negara hukum Anglo Saxon dikembangkan oleh A.V
Dicey yang menguraikan tiga ciri penting dalam setiap negara hukum yang
disebutnya dengan istilah “The Rule Of Law” yaitu:
1. Supremacy of Law.
2. Equality before the law.
3. Due Process of Law8
Teori negara hukum Eropah Kontinental pada jaman modern ini
dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl,
Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu
“rechtsstaat’. Sebagaimana saat awal dikembangkannya, pada Abad Ke-
19, Rechsstaat mengandung pengertian sebagai “suatu negara yang diatur
menurut hukum nalar” (a state governed by the law of reason), suatu
konsep yang menekankan kebebasan, persamaan, dan otonomi dari tiap-
tiap individu di dalam kerangka suatu tertib hukum yang ditentukan oleh
undang-undang dan dijalankan oleh pengadilan yang independen. Dalam
8 Moh, Kusnardi dan Bintan Saragih, 2000, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Gaya Media
Pratama, Jakarta, h. 3
15
makna demikian, Rechsstaat juga sangat menekankan pentingnya
kepastian hukum.9
Rule of Law (Rechtsstaat) mengandung pengertian yang jauh lebih
mendalam yakni bahwa setiap orang terikat oleh hukum, termasuk
pemerintah, bukan semata-mata karena hukum itu dibuat oleh mereka
yang berwenang membuatnya dan telah diundangkan tetapi hukum itu
sendiri harus baik dan adil.10
Jadi, paham Rechsstaat Jerman di Abad ke 19
itu dikatakan bersifat positivistic karena memandang undang-undang (statute
law) sebagai hukum tertinggi (supreme law) sebab dinilai sebagai cerminan dari
kehendak rakyat, sementara kehendak rakyat adalah basis utama gagasan
Rechsstaat itu.11
Tujuan utama lahirnya konsep rechsstaat ialah bagaimana
membatasi kekuasaan itu agar tidak menjadi sewenang-wenang. Untuk
membatasi kekuasaan tersebut muncullah berbagai pandangan
sebagaimana dikemukakan oleh J.J. Rosseau, Jhon Locke, maupun
Montesquieu yaitu membagi atau memisahkan kekuasaan itu. Dengan
membagi kekuasaan ke dalam tiga cabang kekuasaan, yakni kekuasaan
legislatif atau kekuasaan membentuk undang-undang, kekuasaan eksekutif
atau kekuasaan melaksanakan undang-undang, dan kekuasaan yudisial
atau kekuasaan kehakiman (mengadili), maka diharapkan penyelenggaraan
pemerintahan itu bisa dijalankan sesuai dnegan tuntutan rakyat yang
9 I Dewa Gede Palguna, 2013, Pengaduan Konstitusional (Constitutional complaint)
Upaya hukum terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Sinar Grafika,
Jakarta, h. 80. 10
Ibid, h. 24. 11
Ibid, h. 85.
16
bertumpu kepada adanya egalite (kesamaan), liberte (kebebasan), dan
fraterrite (kemanusiaan).12
Menurut Jimlly Asshiddiqie ada 12 prinsip pokok yang menjadi
pilar utama penyangga negara hukum:13
a. Supremasi hukum (supremacy of law)
b. Persamaan dalam hukum (equality before the law)
c. Asas legalitas (due process of law)
d. Pembatasan kekuasaan.
e. Organ-organ pendukung yang independen.
f. Peradilan bebas dan tidak memihak.
g. Peradilan tata usaha negara.
h. Peradilan tata negara (constitutional court).
i. Perlindungan Hak Asasi Manusia.
j. Bersifat demokratis (democratische rechsstaat).
k. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara (
welfare rechsstaat).
l. Transparansi dan kontrol sosial.
Dalam kenyataannya, isi aturan hukum tidak selalu berupa
penuangan pikiran-pikiran ideal yang dikemukakan oleh ahli hukum,
melainkan berupa apa yang ditetapkan sebagai aturan di dalam konstitusi
atau peraturan perundang-undangan lainnya. Adakalanya orang
menyalahkan suatu aturan hukum karena aturan itu tidak sesuai dengan
pikiran ideal atau tak sesuai dengan teori. Padahal, apapun yang
dituangkan di dalam bentuk dan dengan cara tertentu oleh pembentuk
hukum itulah yang sebenarnya hukum yang berlaku, termasuk hukum tata
Negara.14
Berdasarkan penjelasan umum angka 1 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyatakan bahwa Negara
12
Aminudin Ilmar, 2014, Hukum Tata Pemerintahan, Kencana, Jakarta, h. 58. 13
Ibid, h. 107-110. 14
Mahfud MD, 2010, Membangun Politik Hukum menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers,
Jakarta, h. 134.
17
Indonesia berdasarkan atas hukum tidak berdasarkan atas kekuasaan
belaka. Hal ini juga diperjelas melalui amandemen ke 3 UUD 1945 Pasal 1
ayat 3 yang menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum.
Sebagai Negara hukum maka Negara kita harus lebih mementingkan
hukum diatas segalanya.
Konsep Negara dengan supremasi hukum yang dianut oleh Negara
Kesatuan Republik Indonesia mengedepankan UUD NRI Tahun 1945
sebagai hukum tertinggi yang harus dipakai sebagai rujukan semua
peraturan perundang-undangan di bawahnya. Sehingga dalam tesis ini
penulis lebih menggunakan teori negara hukum dengan konsep Rechsstaat
yang menekankan kepada adanya pembatasaan kekuasaan atau bagaimana
kekuasaan itu dibatasi sehingga tidak menjadi sewenang-wenang serta
harus berlandaskan atas supremasi konstitusi.
b. Teori Tentang Organ Negara
Teori tentang organ negara dikemukakan oleh Hans Kelsen dalam
bukunya yang berjudul General Theory of Law & State. Teori tentang
organ Negara diperlukan dalam penelitian ini yaitu untuk membahas
permasalahan yang penulis kemukakan dalam penelitian ini yaitu yang
berkaitan dengan legal standing KPK sebagai lembaga negara yang
menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara di Mahkamah
Konstitusi menurut UUD 1945. Dengan menggunakan teori tentang organ
negara penulis dapat memaparkan organ Negara/lembaga Negara apasaja
yang dapat berperkara di Mahkamah Konstitusi terkait dengan sengketa
18
kewenangan lembaga negara. Secara definitif, alat-alat kelengkapan suatu
negara atau lazim disebut sebagai lembaga negara adalah institusi-institusi
yang dibentuk guna melaksanakan fungsi-fungsi negara.15
Hans Kelsen dalam bukunya berjudul General Theory of Law &
State, menjelaskan tentang organ negara sebagai berikut:
Whoever fulfills a function determined by the legal order is an
organ. The functions, be they of norm-creating or of a norm-
applying character, are all ultimately aimed at the execution of
legal sanction. The parliament that enacts the penal code, and the
citizens who elect the parliament, are organs of the State, as well
as the judge who sentences the criminal and the individual who
actually executes the punishment.16
Selanjutnya, Hans Kelsen juga memaparkan lebih lanjut bahwa:
The organ of the state, in this narrower sense, are called officials.
Not every individual who actually function as an organ of the State
in wider sense holds the position of an official.17
Lebih Lanjut, Hans Kelsen juga menjelaskan tentang pembentukan
negara yaitu:
The State acts only through its organs. This often expressed and
generally accepted truth means that the legal order can be created
and applied only by designated by the order itself. An organ may
be "created" by appointment, election or lot.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Hans Kelsen tentang organ
negara, bahwa negara bertindak hanya melalui organ-organnya. Setiap
organ-organ negara tersebut memiliki fungsi-fungsi sendiri dalam
menjalankan pemerintahan. Organ negara sebagaimana dikemukakan oleh
Hans Kelsen dalam arti sempit adalah pejabat, sehingga tidak setiap
individu dapat dikatakan sebagai organ negara. Di Indonesia organ negara
15
Firmansyah Arifin, dkk., Op.Cit, h. 30. 16
Hans Kelsen, 1949, General Theory of Law & State, (with a new introduction by A.
Javier Trevino), Mass: Harvard University Press, Cambridge, Page. 192. 17
Ibid, h. 193.
19
dapat dibagi menjadi tiga kekuasaan yaitu eksekutif, legislatif, dan
yudisial. Ketiga bidang kekuasaan tersebut merupakan bagian dari organ
negara yang dalam hal ini dapat dikatakan sebagai pejabat negara.
c. Teori Pemisahan Kekuasaan
Teori pemisahan kekuasaan dikemukakan oleh Montesquieu. Teori
pemisahan kekuasaan digunakan untuk memecahkan permasalahan yang
penulis bahas dalam penulisan penelitian ini yaitu tentang penyatuan
kewenangan penyidikan dan penuntutan yang dimiliki KPK agar tidak
bertentangan dengan prinsip pemisahan kekuasaan negara yang memuat
gagasan perlindungan hak-hak konstitusional warga negara. Dengan
menggunakan teori pemisahan kekuasaan penulis dapat memaparkan dengan
jelas tentang pemisahan kekuasaan negara serta memaparkan tentang
kewenangan KPK yang tidak bertentangan dengan gagasan perlindungan hak-
hak konstitusional warga negara. Dalam rangka penyelidikan tentang sumber
kewenangan pejabat administrasi negara dalam bentu peraturan kebijakan,
dengan sendirinya akan bersinggungan dengan teori-teori ketatanegaraan
modern khususnya teori pendistribusian kekuasaan negara. Dalam teori
ketatanegaraan yang modern, ada beberapa macam teori tentang
pendistribusian kekuasaan. Salah satu diantaranya adalah teori Trias Politica
yang sering disebut dengan Teori Pemisahan Kekuasaan.
Mark Ryan dalam bukunya yang berjudul: Unlocking Constitutional &
Administrative Law, menjelaskan bahwa Montesquieu mengemukakan terdapat
20
pemisahan kekuasaan negara yang terdiri dari legislatif, eksekutif, dan
yudisial, sebagai berikut:
“Montesquieu was concerned with avoiding a concentration of state
power and ensuring that this power was limited. Although the principle
of dividing the various functions and powers of the state predates
Montesquieu, his description of the three branches of government,
namely the legislature, executive and judiciary, has a modern
resonance”.18
Selanjutnya Helen Fenwick dalam bukunya yang berjudul: Text, Caces
& Materials on Public Law & Human Rights, juga membahas hal yang serupa
tentang pemisahan kekuasaan yaitu:
“Reduced to its bare essentials, the doctrine of the separation of powers
identifies three main organs of government – the legislature, the
executive and the judiciary – and demands first thet each should be
separete and to an extent independent of each other, and secondly that
each organ should be vested with only one main function of
government”.19
Lebih lanjut Montesquieu sebagaimana dikutip oleh Hillaire Barnett
dalam buku Constitutional & Anministrative Law mengemukakan bahwa:
“When tha legislative and executive powers are unitedin the same person,
or in the same body of magistrates, there can be no liberty… Again, there is
no liberty if the power of judging is nor separeted from the legislative and
executive. If it were joined with the legislative, the life and liberty of the
subject would be exposed to arbitrary control; for the judge would than be
the legislator. If it were joined to the executive power, the judge might
behave with violence and oppression. There would be an end to everything,
if the same man, or the same body, whether of the nobles or the people,
were to exercise those threepowers, that of enacting laws, that of executing
public affairs, and thet of trying crimes or individual causes”.20
Montesquieu mengemukakan bahwa pada dasarnya dalam setiap
pemerintahan ada tiga jenis kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudisial.
18
Mark Ryan with contributioan from Stave foster, 2010, Unlocking Constitutional &
Administrative Law, 2nd
edition, Hodder Education an Hachette UK compay, London, Page 60-61. 19
Helen Fenwick, and Gavin Phillipson, 2006, Text, Caces & Materials on Public Law &
Human Rights, second edision, Cavendish Publishing Limited, London, Page 103.
20 Hillaire Barnett, 2011, Constitutional & Anministrative Law, eighth edision, Routledge
Taylor & Francis Group, London and New York, Page 81.
21
Kekuasaan legislatif merupakan kekuasaan untuk membentuk undnag-undang.
Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan untuk menjalankan undang-undang.
Kekuasaan yudisial merupakan kekuasaan yang bertugas menindak setiap
perbuatan yang melanggar (perintah) undang-undang.21
Ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial itu sama-
sama sederajat dan saling mengontrol satu sama lain sesuai dengan prinsip
checks and balances. Dengan adanya prinsip checks and balances ini maka
kekuasaan Negara dapat diatur, dibatasi bahkan dikontrol dnegan sebaik-
baiknya sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara
Negara ataupun pribadi-pribadi yang kebetulan sedang menduduki jabatan
dalam lembaga-lembaga Negara yang bersangkutan dapat dicegah dan
ditanggulangi dengan sebik-baiknya.
Di Indonesia, kekuasaan juga terbagi menjadi kekuasaan eksekutif,
legislatif dan yudisial. Hal tersebut tertuang dalam pembagian bab-bab dalam
UUD 1945 yang menyebutkan:
Bab III tentang kekuasaan pemerintahan negara (Eksekutif);
Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat (Legislatif); dan
Bab IX tentang kekuasaan kehakiman (Yudisial).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa UUD NRI Tahun 1945 tidak
menganut pemisahan kekuasaan dalam arti materiil (separation of power),
melainkan menganut pemisahan kekuasaan dalam arti formal (division of
power) yang lebih dikenal dengan pembagian kekuasaan negara. Dalam teori
21
Hotma P. Sibuea, 2010, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, dan Asas-Asas
Umum Pemerintahan yang Baik, Erlangga, Jakarta, h. 108-109.
22
pemisahan kekuasaan, masing-masing cabang kekuasaan Negara, yaitu
legislatif, eksekutif dan yudisial berada ditangan lembaga yang berbeda. Hal
tersebut memberikan kesan bahwa tidak ada pengawasan oleh suatu cabang
kekuasaan terhadap cabang kekuasaan negara yang lain. Hak tersebut
dikarenakan baik fungsi dan kelembagaan masing-masing ketiga kekuasaan
negara tersebut terpisah. Namun dalam kenyataannya, di dalam praktek
penyelenggaraan negara modern, kerja sama di antara lembaga-lembaga
negara justru merupakan hal yang mutlak harus ada karena tanpa kerja sama,
masing-masing lembaga negara akan berjalan sendiri-sendiri sehingga tidak
mustahil Negara akan semakin jauh menyimpang dari tujuan negara yang
hendak diwujudkan. Disamping itu akan terjadi pula kesewenang-wenangan
dalam penyelenggaraan pemerintahan yang diakibatkan karena tidak adanya
koordinasi dan kerjasama antara lembaga negara yang satu dengan lembaga
negara yang lainya.
d. Teori Kewenangan
Teori kewenangan penulis gunakan untuk membahas permasalahan
tentang penyatuan kewenangan penyidikan dan penuntutan yang dimiliki KPK
agar tidak bertentangan dengan prinsip pemisahan kekuasaan negara yang
memuat gagasan perlindungan hak-hak konstitusional warga negara. Teori
kewenangan penulis gunakan untuk memahami tentang kewenangan yang
dimiliki KPK sebagai lembaga negara terkait dengan sengketa kewenangan
lembaga negara.
23
Suatu negara yang berdasarkan atas hukum, maka tidak dapat
dipungkiri bahwa asas legalitas menjadi dasar dalam setiap penyelenggaraan
pemerintahannya. Begitu pula di Indonesia yang dalam ketentuan Pasal 1 ayat
(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menyatakan bahwa: “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Ketentuan
pasal ini merupakan penegasan bahwa Indonesia merupakan negara yang
berdasarkan atas hukum dan menjunjung asas legalitas dalam setiap
penyelenggaraan pemerintahannya. Konsekuensi dari ketentuan Pasal 1 ayat
(3) UUD NRI Tahun 1945 adalah kekuasaan negara yang berada pada alat
kelengkapan negara harus dilaksanakan berdasarkan aturan hukum yang telah
ditetapkan, atau dengan kata lain penyelenggaraan pemerintahan harus
berdasarkan legitimasi, yaitu wewenang yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
F.A.M. Stroink mengemukakan pembahasan kewenangan merupakan
konsep inti dalam hukum tata negara dan hukum administrasi negara (hukum
publik). Dalam Hukum Tata Negara kewenangan dideskripsikan sebagai
kekuasaan hukum (teehtement) atau yang berkaitan dengan kekuasaan.22
Sedangkan menurut Robert Bierstedt, wewenang adalah institutionalized
power (kekuasaan yang dilembagakan).23
Bagir Manan berpendapat bahwa wewenang dalam bahasa hukum
tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya mengambarkan hak
22
Agus Budi Susilo, 2007, Kontrol Yuridis PTUN dalam MenyelesaikanSengketa Tata
UsahaNegara di Tingkat Daerah, dalam Jurnal Hukum No. 1 Vol. 14 Januari 2007, h. 71, yang
dikutip dari Philipus M.Hadjon dalam tulisannya di Gema Peratur Tahun VI No.12 Agustus 2000,
MARI Lingkungan Peratun, hal. 103.
23
Firmansyah Arifin, dkk., Op.Cit, hal. 16.
24
untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan dalam hukum, wewenang
sekaligus berarti hak dan kewajiban.24
Kewenangan adalah merupakan wujud
nyata dari kekuasaan, dan kekuasan menurut Miriam Budiarjo adalah
kemampuan untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa,
sehingga tingkah laku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku
yang mempunyai kekuasaan.25
Kekuasaan negara berdasarkan ajaran Trias Politica yang dikemukakan
oleh Montesquieu dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu kekuasaan legislatif,
kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudisial. Kekuasaan legislatif atau
kekuasaan membuat undang-undang (rule making function), kekuasaan
eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang (rule application
function), dan kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran
undang-undang (rule adjudication function).26
Dari klasifikasi yang dibuat
oleh Montesquieu inilah dikenal pembagian kekuasaan modern dalam 3 (tiga)
fungsi, yaitu legislatif (the legislative function), eksekutif (the executive or
administrative function), dan yudisial (the judicial function).27
Tujuan dari teori trias politica, menurut Montequieu adalah untuk
mewujudkan kemerdekaan individu dan kebebasan hak asasi manusia, karena
hal itu akan dapat terwujud apabila ketiga kekuasaan negara tidak dipegang
24
Ridwan H.R., Ridwan H.R., 2011, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, Jakarta :
Rajawali Pers, h. 99. 25
Firmansyah Arifin, dkk., Loc.Cit. 26
John Pieris dan Aryanthi Baramuli Putri, 2006, Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia, Studi, Analisis, Kritik, dan Solusi Kajian Hukum dan Politik, Pelangi Cendikia, Jakarta,
hal. 29. 27
Jimly Asshiddiqie, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Press, Jakarta,
hal. 283.
25
oleh satu orang atau satu organ, tetapi dipegang oleh tiga orang atau tiga organ
yang terpisah. Dengan begitu, menurut Montesquieu, maka ketiga kekuasaan
tersebut harus dipisahkan supaya tidak terjadi monopoli penyalahgunaan
kekuasaan jika dipegang oleh satu orang atau satu organ.28
Ajaran Trias Politica tersebut diterapkan pula di Indonesia, namun
tidak sepenuhnya menganut pemisahan kekuasaan dan lebih cenderung
mengarah pada pembagian kekuasaan. Menurut Miriam Budiardjo, Undang-
Undang Dasar di Indonesia tidak secara eksplisit mengatakan bahwa doktrin
Trias Politika dianut tetapi undang-undang dasar memiliki jiwa dari demokrasi
konstitusional, maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut Trias
Politika dalam arti pembagian kekuasaan.29
Dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1)
dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Pembagian kekuasaan di Indonesia juga ditunjukkan dengan adanya
kewenangan yang dilakukan bersama antara dua bidang kekuasaaan,
contohnya kewenangan dalam hal pembentukan suatu undang-undang, dimana
pembentukan suatu undang-undang membutuhkan persetujuan bersama DPR
dan Presiden meskipun DPR yang memegang kekuasaan membentuk undang-
undang.
Mengenai atribusi, delegasi dan mandat, H.D. van Wijk en Wilem
Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut:
a. attributie: toekenning van een bestuursbevoegheid door een
wetgever aan een bestuursorgan; (atribusi adalah pemberian
28
John Pieris dan Aryanthi Baramuli Putri, Op. Cit, h. 31. 29
Miriam Budiardjo, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, hal. 287.
26
wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada
organ pemerintahan),
b. delegatie: overdracht van een bevoegheid van het ene
bestuursorgan aan een ander; (delegasi adalah pelimpahan
wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada
organ pemerintahan lainnya),
c. mandaat: een bestuursorgan laat zijn bevoegheid names hem
uitoefenen door een ander; (mandat terjadi ketika organ
pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh
orang lain atas namanya).30
Menurut H.D. van Wijk, atribusi hanya dapat dilakukan oleh
pembentuk undang-undang. Sedangkan pembentuk undang-undang
diwakilkan organ-organ pemerintah yang berhubungan dengan kekuasaan
dilaksanakan secara bersama. Pendelegasian kekuasaan didasarkan pada
amanat suatu konstitusi yang dituangkan dalam suatu peraturan
pemerintah, yang tidak didahului oleh suatu pasal dalam undang-undang
untuk diatur lebih lanjut. Dalam hal ini berbeda dengan atribusi,
kewenangan terjadi karena pendelegasian diamanatkan oleh undang-
undang atau peraturan pemerintah dan didahului oleh suatu pasal dalam
undang-undang untuk dilanjutkannya. Kewengan atribusi hanya dapat
dilakukan oleh pembentuk undang-undang (legislator) yang orsinil.31
Suwoto Mulyosudarmo mempunyai pandangannya sendiri
mengenai kekuasaan. Menurut beliau, pada dasarnya pemberian
kekuasaan dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu perolehan secara
atributif, dan perolehan secara derivatif (delegasi dan mandat). Perolehan
kekuasaan secara atributif, menyebabkan terjadinya pembentukan
30
H.D. van Wijk, en Wilem Konijnenbelt, 1988, Hoofdstukken van Administratief Recht,
Uitgeverij Lemma B.V. Culemborg, Breda, Page 56. Lihat juga dalam Ridwan H.R., Op. Cit., h.
102. 31
Agussalim Andi Gadjong, 2007, Pemerintahan Daerah (Kajian Politik dan Hukum),
Bogor : Ghalia Indonesia, h. 102.
27
kekuasaan, karena berasal dari keadaan yang belum ada menjadi ada.
Kekuasaan yang timbul karena pembentukan secara atributif bersifat asli
dan menyebabkan adanya kekuasaan yang baru. Sedangkan perolehan
kekuasaan secara derivatif adalah pelimpahan kuasa, karena dari
kekuasaan yang telah ada dialihkan kepada pihak lain. Mengenai delegasi
dan mandat, Suwoto Mulyosudarmo menjelaskan lebih lanjut bahwa
dengan didelegasikannya suatu wewenang, maka tanggungjawab
sepenuhnya beralih kepada subyek hukum yang lain. Sebaliknya pada
mandat, mandataris hanya bertindak untuk dan atas nama mandans.
Tanggung jawab akhir keputusan yang diambil mandataris tetap berada
pada mandans.32
1.4.2. Konseptual
Berdasarkan uraian dalam kerangka teori, maka dapat diuraikan
pengertian yang terkandung dalam konsep-konsep yang akan digunakan
dalam penelitian ini:
a. Konsep Legal Standing
Tidak semua orang boleh mengajukan permohonan ke Mahkamah
Konstitusi dan menjadi pemohon. Pihak yang dapat menjadi pemohon
adalah pihak yang memiliki kepentingan hukum terkait dengan sengketa
yang dipersengketakan.
Pengertian tentang standing dalam “Black Law Dictionary”,
menjelaskan bahwa standing dalam hukum yaitu :
32
Suwoto Mulyosudarmo, 1997, Peralihan Kekuasaan Kajian Teoritis dan Yuridis
terhadap Pidato Nawaksara, Jakarta : Gramedia, h. 16-20.
28
“A party’s right to make legal claim or seek judicial enforcement of a
duty to right. To have standing in the federal court, a plaintiff mush
show (1) that the challenged conduct has a caused the plantiff actual
injury, and (2) thet the interest sought to be protected is whitin the
zone of interest meant to be regulated by the statutory or constitutional
guarantee in guestion”.33
Doktrin yang dikenal di Amerika tentang standing to sue diartikan
bahwa pihak tersebut mempunyai kepentingan yang cukup dalam satu
perselisihan yang dapat dituntut untuk mendapatkan keputusan pengadilan
atas perselisihan tersebut. Standing adalah satu konsep yang digunakan
untuk menentukan apakah satu pihak terkena dampak secara cukup
sehingga satu perselisihan diajukan ke depan pengadilan. Ini adalah suatu
hak untuk mengambil langkah merumuskan masalah hukum agar
memperoleh putusan akhir dari pengadilan.34
Konsep legal standing yang terdapat di Mahkamah Konstitusi
berbeda dengan konsep legal standing yang terdapat dalam hukum
lingkungan. Legal standing dalam hukum lingkungan dapat dibagi
menjadi private standing dan public standing. Private standing dalam
hukum lingkungan disebut pula dengan citizen suit yaitu hak warga atau
perorangan untuk bertindak karena mengalami kerugian atas masalah hak
kepentingan umum. Sedangkan public standing berkaitan dengan hak
gugat kepada organisasi lingkungan untuk kepentingan pelestarian fungsi
lingkungan hidup.35
Konsep legal standing dalam hukum lingkungan
berkaitan dengan hak gugat, sedangkan dalam Mahkamah Konstitusi,
33
Bryan A. Garner, 2009, Black Law Dictionary, Ninth Edition, editor in Chief, West
Publishing CO, United States of America, p. 1536. 34
Manuarar Siahaan, Op.Cit, h. 65. 35
N.H.T Siahaan,2004, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, edisi kedua,
Erlangga, Jakarta, h. 337.
29
konsep legal standing yang dimaksud adalah tentang kedudukan hukum
dari pihak pemohon maupun termohon sebagai pihak yang berperkara.
Dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang memperoleh
kewenangannya dari UUD 1945, legal standing diatur dalam Pasal 61 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi, yang berbunyi sebagai berikut: “Permohon adalah lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai kepentingan
langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan”. Aturan Pasal 61
ayat (1) tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Baik pemohon maupun termohon harus merupakan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
2. Harus ada kewenangan konstitusional yang dipersengketakan oleh
pemohon dan termohon, dimana kewenangan konstitusional
pemohon diambil alih dan/atau terganggu oleh tindakan termohon.
3. Pemohon harus mempunyai kepentingan langsung dengan
kewenangan konstutusional yang dipersengketakan.36
Legal standing yang dimaksud dalam sengketa kewenangan
lembaga negara adalah kedudukan hukum dari pemohon dan termohon
sebagai pihak yang bersengketa. Selanjutnya yang dimksud pemohon
adalah lembaga negara yang menganggap kewenangan konstitusinya
diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan dan/atau dirugikan oleh lembaga
36
Manuarar Siahaan, Op.Cit, h. 69.
30
negara yang lain. Pemohon harus mempunyai kepentingan langsung
terhadap kewenangan yang dipersengketakan. Sedangkan termohon adalah
lembaga negara yang dianggap telah mengambil, mengurangi,
menghalangi, mengabaikan dan/atau merugikan pemohon.37
b. Konsep Lembaga Negara
Sejak awal kemerdekaan, bangsa dan negara Indonesia telah
beberapa kali memiliki Undang-Undang Dasar, namun yang paling lama
diberlakukan adalah Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Sementara
itu rumusan UUD NRI Tahun 1945 tentang semangat penyelenggara
negara belum cukup didukung dengan ketentuan konstitusi. Disisi lain
terdapat pasal-pasal dalam UUD NRI Tahun 1945 yang terlalu “luwes”
sehingga dapat menimbulkan multitafsir, dan hubungan antara lembaga
negara dalam prakteknya tidak ada keseimbangan.
Lembaga negara sering pula diistilahkan dengan organ negara,
alat-alat perlengkapan negara, atau yang lainnya. Keberadaan lembaga
negara tersebut menjadi kesatuan yang tidak terpisahkan dengan
keberadaan negara, karena lembaga negara digunakan untuk mengisi dan
menjalankan negara dan sebagai mekanisme keterwakilan rakyat dalam
menyelenggarakan pemerintahan.38
Lembaga negara adalah institusi-
institusi yang dibentuk guna menjalankan fungsi-fungsi negara.39
Selain
itu, tujuan diadakannya lembaga negara juga untuk menjalankan fungsi
37
Bambang Sutiyoso, 2009, Tata Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah
Konstitusi, UII Press, Yogyakarta, h. 46. 38
Firmasyah Arifin, Op. Cit., hal. 14. 39
Moh, Kusnardi dan Bintan Saragih, 2000, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Gaya Media
Pratama, Jakarta, hal. 241.
31
pemerintahan secara aktual.40
Secara definitif, alat-alat kelengkapan suatu
negara atau lazim disebut sebagai lembaga negara adalah institusi-institusi
yang dibentuk guna melaksanakan fungsi-fungsi negara.41
Organ atau lembaga negara itu hanya terbatas pada pengertian
lembaga-lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UUD, UU, atau oleh
peraturan yang lebih rendah. Lembaga negara yang dibentuk karena UUD
yaitu Presiden, MPR, DPR, DPD, MK, MA, BPK, TNI, Polri, Bank
Sentral, Komisi Penyelenggara Pemilu, dan Komisi Yudisial. Yang
dibentuk karena undang-undang, misalnya adalah Komisi Penyiaran
Indonesia, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi
Pengawas Persaingan Usaha, dan sebagainya.42
Secara konseptual, tujuan diadakannya lembaga-lembaga negara
adalah selain untuk menjalankan fungsi negara, juga untuk menjalankan
fungsi pemerintahan secara aktual. Dengan kata lain, lembaga-lembaga itu
harus membentuk suatu kesatuan proses yang satu sama lain saling
berhubungan dalam rangka penyelenggaraan fungsi negara.43
Pembentukan lembaga negara akan selalu terkait dengan sistem
penyelenggaraan negara, yang didalamnya termuat antara lain fungsi
setiap organ yang dibentuk dan hubungan-hubungan yang dijalankan. Oleh
karena itu dalam praktiknya tipe lembaga-lembaga negara yang diadopsi
setiap negara bisa saja berbeda, secara konsep lembaga-lembaga tersebut
40
Firmansyah Arifin, Op. Cit., hal. 31. 41
Firmansyah Arifin, dkk., Op.Cit, h. 30. 42
Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, Setjen dan Kepanitraan MK RI, Jakarta, h. 40. 43
Firmansyah Arifin, dkk., Op.Cit, h. 31.
32
harus bekerja dan memiliki relasi sedemikian rupa sehingga membentuk
suatu kesatuan untuk merealisasikan secara praktis fungsi negara dan
secara ideologis mewujudkan tujuan negara sesuai dengan cita hukum
bangsa Indonesia.
c. Konsep Sengketa Kewenangan Lembaga Negara
Hasil amandemen UUD 1945 telah membentuk dan memberikan
kesatuan mekanisme penyelesaian sengketa lembaga negara, yaitu melalui
MK. Salah satu kewenangan MK menurut UUD NRI Tahun 1945 adalah
menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar.
Kewenangan konstitusional lembaga negara adalah kewenangan-
kewenangan yang ditentukan oleh atau dalam undang-undang dasar
berrkenaan dengan subjek-subjek kelembagaan negara yang diatur dalam
UUD NRI Tahun 1945. Apabila dipandang dari sudut kewenangan
maupun fungsi-fungsi kekuasaan yang diatur dalam UUD NRI Tahun
1945, akan tampak jelas bahwa organ-organ yang menyandang fungsi dan
kewenangan konstitusional dimaksud sangat beragam. Jika
kewenangannya bersumber dari undang-undang dasar, berarti lembaga
negara tersebut mempunyai kewenangan konstitusional yang ditentukan
dalam atau oleh undang-undang dasar.44
Lembaga negara dalam kategori
yang kewenangannya diberikan oleh UUD inilah yang terkait dengan salah
satu kewenangan MK untuk mengadilinya apabila dalam pelaksanaan
44
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Op.Cit, h 271-272.
33
kewenangan konstitusional lembaga negara yang bersangkutan timbul
persengketaan dengan lembaga negara lainnya.
Sebelum memahami lebih lanjut tentang sengketa kewenangan
lembaga negara, terlebih dahulu perlu dipahami tentang kewenangan itu
sendiri. Menurut H.D. van Wijk en Wilem Konijnenbelt, kewenangan
dapat diperoleh melalui 3 (tiga) cara yaitu atribusi, delegasi, dan mandat.
Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-
undang kepada organ pemerintahan. Delegasi adalah pelimpahan
wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ
pemerintahan lainnya. Mandat terjadi ketika organ pemerintahan
mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh orang lain atas namanya.45
Lebih lanjut sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi dengan perubahannya yaitu UU No 8 Tahun 2011
Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi. Yang dapat mengajukan permohonan ke MK
dalam sengketa kewenangan lembaga negara adalah lembaga yang
kewenangannya diberikan oleh UUD dan lembaga lembaga tersebut
memilki kepentingan langsung terhadap kewenangan yang
dipersengketakan.46
45
Ridwan H.R., Op. Cit., h. 102. 46
Ibid, h. 124.
34
Sebuah kewenangan yang berbasis pada peraturan untuk
melaksankanan kewenangan setidaknya memiliki empat karakteristik
utama yaitu: 47
1. Hak untuk membuat keputusan-keputusan yang berkepastian hukum;
2. Perbedaan pelegitimasian antara kekuasaan dan kewenangan;
3. Aturan hierarkis yang jelas;
4. Kewenangan yang terbagi.
Keempat karakteristik utama tersebut dapat menimbulkan sengketa
kewenangan antarlembaga negara. Terlebih lagi terdapat jenis kewenangan
yang dimiliki oleh lembaga negara yang terbagi dengan jenis kewenangan
lembaga negara lainnya sehingga dapat memicu terjadinya sengketa
kewenangan lembaga negara.
Menurut jimly asshiddiqie, sebagai akibat dari pilihan untuk
menganut pemisahan kekuasaan dengan mengadopsi prinsip check and
balances, perlu dirumuskan mekanisme penyelsaian sengketa
antarlemabaga Negara yang sederajat di dalam melaksanakan kewenangan
konstitusionalnya.48
1.5.Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum:
Untuk menemukan kejelasan mengenai status kelembagaan
KPK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia setelah perubahan UUD
NRI Tahun 1945.
2. Tujuan Khusus:
47
Firmansyah Arifin, dkk., Op.Cit, h. 115-116. 48
Firmansyah Arifin, dkk., Op.Cit, h. 116.
35
a. Untuk mengetahui dasar pemikiran pembentukan KPK sebagai
lembaga negara yang diberi kewenangan khusus dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi.
b. Untuk mengetahui hakekat kekhususan dari kewenangan KPK
dalam pemeberantasan tindak pidana korupsi.
c. Untuk mengetahui hubungan antara KPK dan lembaga penegak
hukum lainnya dalam hal ini, Kepolisian dan Kejaksaan khususnya
dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
d. Untuk mengetahui cara penyelesaian dalam hal terjadi sengketa
kewenangan lembaga negara antara KPK dengan lembaga negara
lainnya.
1.6.Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan
penjelasan teoritik mengenai status kelembagaan KPK dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia setelah perubahan UUD NRI Tahun 1945.
2. Manfaat Praktis
a. Secara praktis, diharapkan dalam praktek tidak lagi timbul keragu-
raguan tentang kekhususan kewenangan KPK dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi.
b. Secara praktis, diharapkan memberikan kejelasan tentang hakekat
kekhususan dari kewenangan KPK dalam pemeberantasan tindak
pidana korupsi.
36
c. Secara praktis, diharapkan dapat memberikan kejelasan tentang
hubungan antara KPK dan lembaga penegak hukum lainnya dalam
hal ini, Kepolisian dan Kejaksaan khususnya dalam pemberantasan
tindak pidana korupsi.
d. Secara praktis, diharapkan dapat memberikan kejelasan tentang
cara penyelesaian dalam hal terjadi sengketa kewenangan lembaga
negara antara KPK dengan lembaga negara lainnya.
1.7. Metode Penelitian
1.7.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, karena penelitian
ini berusaha untuk membahas atau mengkaji norma hukum dalam hal ini
norma perundang-undangan untuk mengetahui sinkronisasi baik secara
vertikal maupun horizontal. Selain itu, karena dalam penelitian ini penulis
menemukan adanya kekaburan norma yang diakibatkan dari berbagai
penafsiran mengenai penggunaan istilah lembaga negara yang tidak
dijelaskan lebih lanjut baik dalam UUD NRI 1945 maupun Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi dalam
kaitannya dengan sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD.
Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum normatif atau
kepustakaan mencakup: 49
1. Penelitian terhadap asas-asas hukum
49
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif, PT.
RajaGrafindo, Jakarta, h. 14.
37
2. Penelitian terhadap sistematik hukum
3. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal
4. Perbandingan hukum
5. Sejarah hukum.
Dengan demikian, maka penelitian ini lebih menekankan pada
penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal. Dalam
penelitian ini, taraf sinkronisasi ditelaah dengan mengkaji perundang-
undangan yaitu UUD NRI Tahun 1945 dengan UU Nomor 24 tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi terkait dengan sengketa kewenangan
lembaga negara.
1.7.2. Sumber Bahan Hukum
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang
menggunakan bahan-bahan hukum sebagai instrumen analisisnya. Bahan-
bahan hukum dalam penelitian ini meliputi:
1. Bahan Hukum Primer
Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan yang mengikat terdiri
dari:
a. Norma (dasar) atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (selanjutnya disebut Pembukaan UUD NRI Tahun
1945);
b. Peraturan dasar:
i. Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
ii. Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
38
c. Peraturan Perundang-Undangan:
i. Undang-Undang dan Peraturan yang setaraf
ii. Peraturan Pemerintah dan Peraturan yang setaraf
iii. Keputusan Presiden dan Peraturan yang setaraf
iv. Keputusan Menteri dan Peraturan yang setaraf
v. Peraturan Daerah
d. Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan
e. Yurisprudensi
f. Traktat
g. Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini
masih berlaku seperti Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP).50
Bahan Hukum Primer adalah bahan-bahan yang mengikat
yang terdiri dari peraturan perundang-undangan yang terikat
dengan objek penelitian51
. Berdasarkan petunjuk bahan hukum
primer tersebut maka bahan hukum primer yang penulis gunakan
dalam penelitian ini meliputi:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945);
Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 Tahun 2003
Tentang Mahkamah Konstitusi, yang selanjutnya
50
Soerjono Seokanto, dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h. 13. 51
Amirudin dan Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali
Pers, Jakarta, h. 118.
39
mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Negara
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang
Perubahan atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003
Tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU
MK);
Undang-Undang Republik Indonesia No. 30 Tahun 2002
Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(selanjutnya disebut UU KPK);
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang selanjutnya
mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2002 Tentang
Tata Cara Penyelenggaraan Wewenang Mahkamah
Konstitusi;
Selain itu putusan pengadilan dan putusan Mahkamah
Konstitusi yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap
juga menjadi bahan hukum primer.
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti
40
rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya
dari kalangan hukum dan seterusnya.52
Disamping itu bahan
hukum sekunder dapat berupa buku-buku dan tulisan-tulisan
ilmiah hukum yang terkait dengan objek penelitian ini.53
3. Bahan Hukum Tertier
Bahan Hukum Tertier adalah bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan mengenai bahan hukum primer atau bahan
hukum sekunder; contohnya adalah kamus, ensiklopedia,
indeks komulatif dan seterusnya.54
1.7.3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Sumber bahan hukum dalam penelitian ini adalah berupa bahan-
bahan hukum yang didapat melalui studi kepustakaan. Teknik
pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan meneliti berbagai literatur
yang ada kaitannya dengan materi yang akan dibahas dalam penulisan
tesis ini .
Langkah yang dilakukan untuk mendapatkan sumber bahan hukum
tersebut, yaitu diawali dengan dilakukan pengeloksian dan identifikasi
bahan-bahan hukum kedalam suatu sistem informasi yang komprehensif
sehingga memudahkan untuk melakukan penelusuran kembali bahan-
bahan hukum yang diperlukan atau dengan kata lain teknik pengumpulan
bahan hukum ini dilakukan dengan menggunakan sistem sistematis yaitu
52
Soerjono Seokanto, dan Sri Mamudji, Op. Cit, h. 13 53
Zainuddin Ali, M.A, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika Jakarta, h. 106. 54
Soerjono Seokanto, dan Sri Mamudji, Op. Cit, h. 13 dan Amirudin dan Zainal Asikin,
Op.Cit. h. 119.
41
mencatat bahan hukum melalui catatan-catatan kecil dari penelitian
terhadap buku atau literatur dan peraturan perundang-undangan yang ada
dengan masalah yang dibahas.
1.7.4. Jenis Pendekatan
Jenis pendekatan yang sesuai dengan pokok permasalahan dalam
penelitian ini yaitu jenis pendekatan perundang-undangan (The Statute
Approach), jenis pendekatan kasus (Case Approach), pendekatan historis
(Historical Approach), pendekatan perbandingan, dan pendekatan konsep
(Conseptual Approach).
Pendekatan perundang-undangan digunakan dalam penelitian ini
untuk mengkaji peraturan perundang-undangan yang mengatur sengketa
kewenangan lembaga negara serta melihat sinkronisasi dari peraturan
perundang-undangan dalam sengketa kewenangan lembaga negara.
Pendekatan kasus digunakan dalam penelitian ini untuk melakukan telaah
terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan Legal Standing Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dalam Sengketa
Kewenangan Lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi. Pendekatan
historis digunakan untuk memahami sejarah lembaga negara yang
berkaitan dengan penelitian ini yaitu pembentukan komisi
pemberantasanan tindak pidana korupsi sebelum dan setelah terbentuknya
KPK. Pendekatan perbandingan digunakan untuk mengetahui
perbandingan kewenangan KPK yang ada di Indonesia dengan negara lain.
Selanjutnya pendekatan yang terakhir digunakan yaitu pendekatan konsep
42
hukum yang akan digunakan penulis untuk menjawab permasalahan
tentang Legal Standing Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(KPK) Yang Berperkara Di Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Kaitannya
dengan Sengketa Kewenangan lembaga Negara sesuai dengan teori, asas,
konsep dan doktrin-doktrin ilmu hukum. Pendekatan konseptual ini
dilakukan agar terdapat kesamaan pemikiran mengenai beberapa konsep
dalam penelitian ini yaitu legal standing, KPK, lembaga negara dan
sengketa kewenangan lembaga negara.
1.7.5. Teknik Analisis
Bahan hukum sekunder yang telah didapatkan dalam penelitian
hukum normatif ini akan dianalisis secara deskriptif analitis. Deskriptif
tersebut meliputi isi dan sruktur hukum positif, yaitu suatu kegiatan yang
dilakukan oleh penulis untuk menentukan isi atau makna aturan hukum
yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang
menjadi objek kajian.55
Dalam penelitian ini akan dilakukan pemaparan
serta penentuan terhadap makna dari aturan-aturan hukum terkait dengan
Legal Standing Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)
dalam Perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara di Mahkamah
Konstitusi. Secara umum interpretasi dapat dibedakan atas interpretasi
gramatikal (tata bahasa), interpretasi autentik (resmi), interpretasi historis
(sejarah), interpretasi nasional, intrepetasi sistematis, interpretasi teologis,
interpretasi eklusif, interpretasi peringkasan (acontrario), dan interpretasi
55
Zainuddin Ali, M.A, Op.Cit, h. 107.
43
analogis (memberi tafsir).56
Dalam penelitian ini adapun interpretasi yang
digunakan yaitu interpretasi gramatikal dan interpretasi analogis (memberi
tafsir). Pemaparan tersebut dilakukan dengan teknik interpretasi:
1. Teknik interpretasi digunakan untuk melakukan penafsiran
terhadap norma-norma yang kabur. Dalam penelitian ini
terdapat kekaburan norma yang diakibatkan dari berbagai
penafsiran mengenai penggunaan istilah lembaga negara yang
tidak dijelaskan lebih lanjut baik dalam UUD NRI Tahun 1945
maupun Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi.
2. Argumentasi hukum, yaitu melakukan penalaran hukum berupa
pemikiran dengan menggali konsep (pengertian), proposisi
(pernyataan) dan melakukan penalaran (reasoning). Ketiganya
merupakan satu kesatuan tidak terpisahkan. Tidak ada proposisi
tanpa pengerian (konsep), dan tidak ada penalaran tanpa
proposisi.
56
Sudarsono, Op.Cit, h. 122-123