BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · kerusakan alam dan dapat mengancam...
-
Upload
phungkhanh -
Category
Documents
-
view
231 -
download
0
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · kerusakan alam dan dapat mengancam...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sampai saat ini Bali masih menjadi tujuan wisata favorit di Indonesia.
Bahkan Bali telah menjadi ikon pariwisata Indonesia yang terkenal di seluruh
dunia. Itu sebabnya, pembangunan kepariwisataan Bali maju dengan pesat.
Pesatnya pembangunan pariwisata di Bali tidak hanya menimbulkan dampak
positif tetapi juga menimbulkan dampak negatif. Dampak positif yang
ditimbulkan, misalnya peningkatan pendapatan daerah, penciptaan lapangan kerja,
dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dampak negatif yang ditimbulkan,
antara lain berupa pencemaran, kemacetan lalu lintas, kerusakan lingkungan dan
pengalihan fungsi lahan terutama lahan pertanian yang dijadikan sebagai tempat
pengembangan fasilitas dan sarana pariwisata seperti hotel, restoran, objek wisata
dan lain-lain.
Pembangunan kepariwisataan tentu saja memerlukan investasi, yaitu
penanaman modal yang diperlukan untuk pembangunan sarana dan prasarana
kepariwisataan tersebut. Investasi di bidang kepariwisataan di daerah Bali terus
meningkat seiring dengan kemajuan kepariwisataan Bali. Investasi kepariwisataan
Bali ternyata tidak hanya mengalir di daerah-daerah perkotaan tetapi sudah
merambah daerah-daerah perdesaan termasuk di daerah Ubud, Kedisan dan Sanur
yang sudah lama dikenal sebagai desa wisata di Bali. Daerah wisata itu
dipandang sebagai pusat seni dan budaya Bali sudah mulai berkembang sejak
1
2
dulu1 dengan berbagai aktivitas wisata tentu saja sangat menarik bagi para
investor untuk menanamkan modalnya.
Investasi sebagai sumber daya pembangunan perekonomian memang
sangat dibutuhkan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi
investasi yang tidak terkendali dapat menimbulkan dampak negatif, seperti
kerusakan alam dan dapat mengancam kelestarian kebudayaan setempat.
Ancaman akan dampak negatif penanaman modal di perdesaan sudah cukup lama
mendapat perhatian dari berbagai kalangan di Bali, termasuk tokoh-tokoh adat dan
agama.
Tahun 2006, Majelis Desa Pakraman (selanjutnya disingkat MDP)
menerbitkan keputusan sebagai pedoman bagi segenap prajuru desa pakraman
dalam menghadapi investasi di wilayah desa pakraman. Terkait dengan investasi
di wilayah desa pakraman, Keputusan MDP Bali Nomor 050/Kep/Psm-1/MDP
Bali/III/2006 tentang Hasil-hasil Pesamuhan Agung I MDP Bali menentukan
sebagai berikut:
1. setiap investasi di wewidangan/wawengkon (wilayah) desa pakraman
patut mendapat rekomendasi desa pakraman, selain persetujuan dari
instansi terkait lainnya.
2. Rekomendasi diberikan oleh bendesa berdasarkan keputusan paruman
krama desa pakraman.2
Mengikuti konsep hukum dalam antropologi hukum, Keputusan
Pesamuhan Agung Majelis Desa Pakraman Bali ini dapat dikonsepkan sebagai
1”Anonimus, 2012,”aktivitas Wisata di Ubud”, http:// travel. kompas. com/
read/2012/03/10/07594051/10.aktivitas.wisata.di.ubud . Diakses tanggal 30 Agustus
2013. Lihat juga : Dinas Pariwisata Provinsi Bali, 2005, Buku Penggangan Penatar
dan Penyuluh Kepariwisataan, tanpa identitas penerbit, h. 14. 2 Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali, 2007, Himpunan Hasil-hasil Pesamuhan
Agung I dan II MDP Bali, h. 10.
3
hukum karena merupakan bentuk pengaturan sendiri dari lembaga adat, dalam hal
ini MDP Bali sebagai wadah tunggal desa pakraman se-Bali. Menurut I Nyoman
Nurjaya, pakar antropologi hukum dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya,
bahwa di dalam masyarakat terdapat pluralisme hukum. Selain terdapat hukum
negara (state law), juga terdapat sistem-sistem hukum lain seperti hukum rakyat
(folk law), Hukum kebiasaan (customary law), hukum adat ( adat law), hukum
agama (religious law), dan juga mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri (self-
regulation atau inner-order mechanism) dalam masyarakat.3
Keputusan Majelis Desa Pakraman di atas dapat dipandang sebagai
suatu langkah antisipatif untuk mencegah dampak negatif dari investasi bagi desa
pakraman. Apabila dampak negatif investasi terhadap desa pakraman dapat
dihindari, maka kerusakan kelestarian alam dan budaya Bali juga dapat dihindari.
Alam di wilayah Bali dapat dikatakan hampir terbagi habis oleh wilayah desa
pakraman dan desa pakraman juga merupakan benteng kebudayaan Bali. Oleh
karena itu apabila Keputusan Pesamuhan Agung Majelis Desa Pakraman Bali di
atas dapat dilaksanakan oleh desa pakraman dengan efektif, maka investasi di
wilayah desa pakraman dapat lebih dikendalikan sehingga ancaman dampak
negatif investasi terhadap kelestarian alam dan budaya Bali dapat dihindari.
Secara yuridis formal, keberadaan MDP diatur dalam tiga pasal dalam
Peraturan Daerah Bali No. 3 tahun 2001 tentang Desa Pakraman, yaitu pada Pasal
3 I Nyoman Nurjaya , 2011, ”Memahami Posisi dan Kapasitas Hukum Adat dalam Politik
Pembangunan Hukum di Indonesia: Perspektif Antropologi Hukum”, makalah dalam Seminar
Nasional tentang Arah Perlindungan Hukum Bagi Masyarakat Adat dalam Sistem Hukum
Nasional, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN, 12 Mei 2011, di
Malang, h. 8)
4
14, Pasal 15, dan Pasal 16. Dalam tiga pasal tersebut, selain diatur struktur MDP,
yang terdiri dari Majelis Desa Pakraman di tingkat provinsi yang disebut Majelis
Utama, Majelis Desa Pakraman di tingkat kabupaten yang disebut Majelis Madya,
dan ditingkat kecamatan disebut Majelis Alit (Pasal 14), serta tatacara
pembentukan Majelis Desa Pakraman pada masing-masing tingkatan tersebut
(Pasal 15), juga diatur tentang tugas dan wewenang Majelis Desa Pakraman (Pasal
16). Dalam Pasal 16 ayat (1) dirinci tugas-tugas Majelis Desa Pakraman, meliputi:
a. Mengayomi adat istiadat;
b. Memberikan saran, usul dan pendapat kepada berbagai pihak baik
perorangan, kelompok/lembaga termasuk pemerintah tentang masalah-
masalah adat;
c. Melaksanakan setiap keputusan-keputusan paruman dengan aturan-
aturan yang ditetapkan;
d. Membantu penyuratan awig-awig;
e. Melaksanakan penyuluhan adat istiadat secara menyeluruh.
Sedangkan wewenang Majelis Desa Pakraman meliputi:
a. Memusyawarahkan berbagai hal yang menyangkut masalah-
masalah adat dan agama untuk kepentingan desa pakraman
b. Sebagai penengah dalam kasus-kasus adat yang tidak dapat di
selesaikan pada tingkat desa
c. Membantu penyelenggaraan upacara keagamaan di kecamatan,
kabupaten/ kota di propinsi Bali
Apabila diamati tugas dan wewenang Majelis Desa Pakraman di atas,
terutama tugas (a) mengayomi adat istiadat dan wewenang (a) memusyawarahkan
masalah adat tampak jelas bahwa Majelis Desa Pakraman memang mempunyai
wewenang mengambil keputusan terhadap masalah masalah adat yang dihadapi
desa pakraman melalui forum musyawarah yang disediakan oleh Anggaran Dasar
dan Anggaran Rumah Tangga MDP. Berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga MDP, salah satu forum musyawarah yang tersedia adalah
5
Pesamuhan yang terdiri dari Pesamuhan Agung, Pesamuhan Madya dan
Pesamuhan Alit.4
Namun demikian dari pengamatan terhadap ketentuan-ketentuan yang
diatur dalam Perda Desa Pakraman, tidak ditemukan satu pasal pun yang
mengatur secara eksplisit posisi desa pakraman terhadap keputusan-keputusan
Majelis Desa Pakraman tersebut, apakah wajib untuk mengikutinya atau tidak.
Ketidakjelasan posisi desa pakraman terhadap Keputusan Pesamuhan Agung
Majelis Desa Pakraman Bali ditambah lagi dengan konsep otonomi desa
pakraman, menimbulkan keragu-raguan bagi penulis mengenai efektivitas
pelaksanaan keputusan-keputusan MDP, terutama terkait dengan penanaman
investasi untuk kegiatan kepariwisataan di Bali. Hal ini menarik minat penulis
untuk meneliti dan membahasnya secara mendalam. Penulis ingin mengetahui
bagaimana Pelaksanaan Keputusan Pesamuhan Agung Majelis Desa Pakraman
Bali itu di desa pakraman: apakah dilaksanakan dengan efektif atau tidak. Setelah
diketahui efektivitas pelaksanaannya, penulis ingin mengetahui lebih jauh
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pelaksanaan keputusan
tersebut. Apabila dilaksanakan secara efektif, faktor-faktor apa yang
mendukungnya; dan apabila tidak dilaksanakan secara efektif, faktor-faktor apa
pula yang menjadi kendala (hambatan).
Penelitian terhadap pelaksanaan Keputusan Majelis Desa Pakraman
Bali terkait dengan penanaman investasi di wilayah desa pakraman menjadi
penting dan relevan, tidak saja untuk mengetahui kenyataan yang terjadi (das
4 Pasal 21 dan Pasal 28 Anggaran Dasar, Anggaran Rumah tangga Majelis Desa
Pakraman Tahun 2004
6
sein) menyangkut pelaksanaan keputusan tersebut, melainkan juga penting
sebagai evaluasi setelah 9 (sembilan) tahun keputusan tersebut diterbitkan.
Walaupun penelitian ini hanya meneliti salah satu aspek Keputusan Pesamuhan
Agung Majelis Desa Pakraman Bali, yaitu aspek yang terkait dengan
penyelenggaraan investasi kepariwisataan di wilayah desa pakraman, dari hasil
penelitian ini dapat diketahui pengaruh Keputusan Pesamuhan Agung Majelis
Desa Pakraman Bali terhadap sikap desa pakraman dalam menghadapi investasi di
wilayahnya, sehingga secara lebih luas dapat digunakan sebagai parameter untuk
menilai dan mengukur pengaruh Keputusan Pesamuhan Agung Majelis Desa
Pakraman Bali terhadap pelaksanaan otonomi desa pakraman. Dengan demikian,
hasil penelitian ini akan dapat menjadi bahan acuan yang penting bagi Majelis
Desa Pakraman Bali untuk mengevaluasi kinerjanya di masa depan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan atas latar belakang masalah tersebut di atas, maka
permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah pelaksanaan Keputusan Pesamuhan Agung Majelis Desa
Pakraman Bali dalam penyelenggaraan investasi kepariwisataan di wilayah
desa pakraman ?
2. Faktor faktor apakah yang berpengaruh terhadap pelaksanaan Keputusan
Pesamuhan Agung Majelis Desa Pakraman Bali dalam penyelenggaraan
investasi kepariwisataan di wilayah desa pakraman ?
7
3. Apa upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan efektivitas
pelaksanaan Keputusan Pesamuhan Agung Majelis Desa Pakraman Bali
dalam penyelenggaraan investasi kepariwisataan di wilayah desa pakraman ?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Guna membahas permasalahan di atas maka penulis membatasi ruang
lingkup permasalahan pada bagaimana Pelaksanaan Keputusan Pesamuhan Agung
Majelis Desa Pakraman Bali dalam penyelenggaraan investasi kepariwiasataan,
faktor-faktor yang mempengaruhi Pelaksanaan Keputusan Pesamuhan Agung
Majelis Desa Pakraman Bali dan yang terakhir adalah upaya yang menpengaruhi
dalam peningkatan efektivitas pelaksanaan Keputusan Pesamuhan Agung I MDP
Bali dalam penyelenggaraan investasi kepariwisataan di wilayah desa pakraman.
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum :
Secara umum penelitian ini untuk mengetahui dan menganalisis secara
mendalam mengenai pelaksanaan Keputusan Pesamuhan Agung Majelis Desa
Pakraman Bali dalam penyelenggaraan investasi kepariwisataan di wilayah desa
pakraman.
1.4.2 Tujuan Khusus :
Secara khusus tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis secara kritis bagaimana pelaksanaan
Keputusan Pesamuhan Agung Majelis Desa Pakraman Bali dalam
penyelenggaraan investasi kepariwisataan di wilayah desa pakraman.
8
2. Untuk menganalisis secara mendalam faktor-faktor yang berpengaruh dalam
pelaksanaan Keputusan Pesamuhan Agung Majelis Desa Pakraman Bali
dalam penyelenggaraan investasi kepariwisataan di wilayah desa pakraman.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis upaya-upaya yang dilakukan untuk
meningkatkan efektivitas pelaksanaan Keputusan Pesamuhan Agung Majelis
Desa Pakraman Bali dalam penyelenggaraan investasi kepariwisataan di
wilayah desa pakraman.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis,
yaitu untuk pengembangan ilmu hukum, khususnya ilmu hukum yang berkaitan
dengan bekerjanya hukum dalam masyarakat (law is in action). Hasil kajian
tentang Keputusan Pesamuhan Agung Majelis Desa Pakraman Bali diharapkan
dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu hukum, terutama dalam
konsep hukum sebagai hukum yang terbentuk dari pengaturan tersendiri dari
lembaga adat, dalam hal ini MDP yang merupakan wadah tunggal dari kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat desa pakraman.
1.5.2 Manfaat praktis
Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat praktis,
yaitu sebagai sumbangan pemikiran dalam pelaksanaan Keputusan Pesamuhan
Agung Majelis Desa Pakraman Bali, khususnya pelaksanaan keputusan yang
terkait dengan penyelenggaraan investasi kepariwisataan di wilayah desa
pakraman.
9
1.6 Orisinalitas Penelitian
Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan baik
terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan,
hingga saat ini belum ada hasil penelitian dalam bentuk tesis ataupun penelitian
lainnya yang berkaitan dengan Pelaksanaan Keputusan Pesamuhan Agung
Majelis Desa Pakraman Bali dalam penyelenggaraan investasi kepariwisataan di
wilayah desa pakraman. Memang, dari penelusuran kepustakaan ditemukan
penelitian yang cukup dekat dengan topik penelitian ini, yaitu yang berkaitan
dengan pelaksanaan atas efektivitas hukum dan penelitian terkait dengan
kepariwisataan.
Terkait dengan efektivitas hukum ditemukan penelitian sebagai berikut.
Pertama, dilakukan oleh I Wayan Wiratha, yang meneliti efektivitas awig awig
(2011), dengan judul: Efektivitas Awig-Awig Desa Pakraman Dalam Mengatur
Penduduk Pendatang di Bali. Permasalahan yang diteliti oleh I Wayan Wiratha
adalah (1). Pengaturan penduduk pendatang terkait dengan awig-awig desa
pakraman, dan yang (2). Sikap penduduk pendatang terhadap awig-awig desa
pakraman. Dari hasil penelitian efektivitas awig awig ini dapat di ketahui bahwa:
pelaksanaan awig awig desa pakraman dalam mengatur penduduk pendatang
dapat berlaku secara efektif 5.
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh I Dewa Putu Tagel yang
berjudul : Kesadaran hukum masyarakat pengguna jalan terhadap peraturan lalu
lintas di Kota Denpasar, dalam penelitian tersebut permasalahan yang dibahas
5 I Wayan Wiratha, 2011, “Efektivitas Awig Awig Desa Pakraman Dalam mengatur
Penduduk Pendatang di Bali”, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar,
selanjutnya di singkat wayan wiratha 1, hal.92
10
adalah tingkat kesadaran hukum masyarakat pengguna jalan, dan faktor-faktor
yang mempengaruhi kesadaran hukum masyarakat pengguna jalan, dari hasil
penelitian tersebut dapat diketahui bahwa tingkat kesadaran hukum masyarakat
pengguna jalan khususnya pengguna sepeda motor sangat rendah, hal ini dapat
dilihat dari pengetahuan, pemahaman dan perilaku masyarakat terhadap hukum
atau aturan lalu lintas, faktor-faktor yang mempengaruhi kesadaran masyarakat
pengguna jalan antara lain : Undang-Undang Lalu Lintas, Peranan Polisi Lalu
Lintas dan kurang tegasnya Aparat Penegak Hukum.6
Terkait dengan kepariwisataan ditemukan penelitian berupa Tesis
sebagai berikut. Pertama dilakukan oleh Ni Made Ary Widiastini (2008), Tesis
dengan Judul : Pemanfaatan Puri sebagai objek dan daya tarik wisata serta
implikasinya terhadap Desa Pakraman Ubud, Gianyar, Bali. Penelitian ini
menyatakan bahwa Puri Ubud merupakan salah satu objek wisata yang ada
dikawasan pariwisata Ubud, Kabupaten Gianyar. Puri Ubud menerima kunjungan
pada tahun 1930-an yang diprakarsai oleh Cokorda Raka Sukawati. Potensi yang
dimiliki Puri Ubud sangat menarik sehingga mampu menjadi daya tarik
wisatawan. Perkembangan Puri Ubud sebagai objek dan daya tarik wisata telah
mampu melakukan simbiosis mutualitis/saling melengkapi komunitas sekitarnya7.
Kedua, Penelitian yang dilakukan oleh Ni Ketut Muriani (2008), Tesis dengan
judul: Penerapan Prinsip Desentralisasi Dalam Bidang Kepariwisataan Di
6 I Dewa Putu Tagel, 2013, “ Kesadaran Hukum Masyarakat Pengguna Jalan Terhadap
Lalu Lintas Di Kota Denpasar,” Tesis, Program Pascasarjana Universitas Udayana, selanjutnya di
singkat Putu Tagel I, hal. 75 7 Ni Ketut Nuriani, 2008, “Penerapan Prinsip Desentralisasi dalam Bidang
Kepariwisataan di Kabupaten Badung”, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Udayana,
selanjutnya di singkat Ketut Nuriani 1, hal. 87
11
Kabupaten Badung. Penelitian ini menyatakan bahwa Penerapan prinsip
desentralisasi dalam bidang kepariwisataan di Kabupaten Badung, kenyataannya
belum berjalan maksimal. faktor penghambat pelaksanaan prinsip desentralisasi
adalah faktor kewenangan yang masih terbatas di mana tidak keseluruhan urusan
menyangkut perijinan pariwisata diserahkan kewenangannya oleh Provinsi Bali,
dari sisi kelembagaan.8
Persamaan dan Perbedaan kajian;
Persamaan kajian penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah
terkait dengan peranan hukum di masyarakat adalah kesamaan perkajian meneliti
keefektivitasan pelaksanaan hukum di masyarakat dalam artian mengkaji
bekerjanya hukum di masyarakat (law in action or law is in society).
Persamaan terkait kepariwisataan:
Persamaan kajian penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah
dalam hal mengkaji suatu objek yang menyangkut faktor faktor dan konsekuensi
kegiatan dalam kepariwisataan di masyarakat.
Perbedaan kajian:
Perbedaan kajian ini dengan kajian terdahulu adalah topik permasalahan
yang dikaji dalam penelitian ini berbeda dimana fokus, tempat, dan submateri
yang dikaji berbeda yaitu penulis mengkaji sebuah keputusan dari satu satunya
lembaga adat di Bali terhadap Pelaksanaan Keputusan Pesamuhan Agung Majelis
Desa Pakraman Bali Dalam Penyelenggaraan Investasi Kepariwisataan Di
Wilayah Desa Pakraman atau keputusan yang mengatur tentang penanaman modal
8 Ni Made Ary Widiastini, 2008, “Pemamfaatan Puri Sebagai Objek dan Daya Tarik
Wisata serta Imflikasinya terhadap Desa Pakraman Ubud, Gianyar Bali”, Tesis, Program
Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar, selanjutnya disingkat Ary Widiastini 1,hal.93
12
oleh investor baik dalam maupun luar negeri di dalam wilayah desa pakraman.
Dengan demikian penelitian tesis yang penulis kerjakan sama sekali belum ada
yang membahas, sehingga orisinalitas penelitian ini dapat terjamin.
1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir
1.7.1. Landasan Teori.
Setiap penelitian selalu disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis.
Landasan teori adalah upaya untuk mengindentifikasikan teori hukum, konsep
hukum, aturan/norma norma sebagai dasar untuk memecahkan suatu
permasalahan penelitian.9 Oleh karena itu dalam penelitian ini digunakan teori-
teori hukum, konsep hukum dan norma hukum yang ada sebagai dasar analitis
untuk memecahkan permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini.
a) Teori Hukum Investasi
Salah satu teori hukum yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah
Teori Hukum Investasi. Teori ini akan dipakai untuk membahas masalah
Pelaksanaan Keputusan Pesamuhan Agung Majelis Desa Pakraman Bali Dalam
Penyelenggaraan Investasi Kepariwisataan Di Wilayah Desa Pakraman maka dari
itu untuk menjawab permasalahan tersebut terlebih dahulu harus dipahami konsep
investasi.
Untuk membahas teori investasi terlebih dahulu akan ditelusuri tentang
investasi. Menurut Ida Bagus Wyasa Putra dkk :
Investasi atau Investment (penanaman modal) merupakan konsep ekonomi
pada umumnya berintikan tindakan mengalosikan sumber-sumber yang
9 PS. Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Unud, 2013. Pedoman Penulisan
Usulan Penelitian Tesis dan Penulisan Tesis Program Studi Magister(S2) ilmu hukum,
PS.Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Unud, Denpasar, hal.29
13
didasarkan pada analisis bahwa alokasi tersebut akan mendatangkan hasil
yang memuaskan. Hasil analisis dituangkan dalam suatu rencana dan
proyeksi-proyeksi sesuai dengan tingkatkannya.10
Selanjutnya Ida Bagus Wyasa Putra dkk, mengatakan bahwa dalam ekonomi
dikenal berbagai jenis investasi, antara lain dapat dibedakan dari aspek pelakunya
meliputi: (1). Autonomous investment dan (2). induced investment.11
Autonomous
investment atau investasi otonom merupakan investasi yang dilakukan oleh
pemerintah. Biasanya investasi jenis ini dialokasikan dalam rangka pengadaan
fasilitas umum, seperti: jalan raya, jembatan, bendungan, saluran irigasi, fasilitas
pertahanan dan lain-lain, sehingga seringkali disebut investasi publik (public
investment). Investasi publik tersebut tidak memberikan keuntungan langsung
kepada investor. Pemerintah membangun jalan raya tidak memperoleh
keuntungan finansial secara langsung dari jalan itu. Akan tetapi dengan adanya
jalan raya sebagai prasarana vital, dapatlah diharapkan peningkatan sarana
transportasi dan pertumbuhan ekonomi. Dari peningkatan itu pemerintah akan
memperoleh penerimaan untuk negara melalui pajak.
Induced investment atau investasi dorongan merupakan investasi yang
timbul akibat adanya pertambahan permintaan efektif yang nyata di pasar.
Kenaikan tersebut disebabkan adanya peningkatan pendapatan masyarakat. Dapat
dikemukakan investasi ini timbul sebagai respon terhadap pasar.
Selain itu dalam ekonomi dikenal pula jenis-jenis investasi, seperti real
investment dan impair investment. Real investment atau investasi nyata
10
Wyasa Putra Ida Bagus, 2003, et all, Hukum Pariwisata, Revika Aditama, Bandung,
h.51 11
Ibid., h. 53.
14
merupakan pengeluaran (expenditure) yang menciptakan suatu benda modal
addisional baru (istilah ini digunakan untuk membedakannya dengan financial
investment), sedangkan impair investment atau investasi yang tak menciptakan
benda modal baru, misalnya pembelian efek-efek yang sudah ada dari pemilikan
atau pun pinjaman untuk tujuan konsumtif.12
Dapat disimak dari pengertian tersebut bahwa ternyata investasi tidak
terbatas pada harus dilakukan secara langsung menjalankan perusahaan (direct
investment). Investasi dapat dilakukan secara tidak langsung (indirect investment)
atau tanpa mendirikan perusahaan baru. Dalam hal ini dapat berupa pembelian
obligasi, saham perusahaan dan surat surat berharga. Jadi dengan demikian dalam
kaitan dengan masalah pertama ini pemerintah telah berinvestasi dengan
membangun askes jalan, jembatan, terminal, alte bus, pasar umum, pasar seni,
saluran irigasi dan lain-lain.
Investasi berpengaruh terhadap kelancaran perkembangan
kepariwisataan. Seperti yang di ungkapkan oleh MENPAREKRAF, Marei Elka
Pangestu bahwa: hingga akhir Tahun 2013 investasi di sektor pariwisata mencapai
602.648 juta dollar US yang terdiri dari 462,47 juta US dalam PMA dan 140,18
juta US dalam bentuk PMDN. Sebagian besar investasi untuk membangun hotel
dan restaurant. Hal ini menyebabkan pariwisata menjadi penghasil devisa
menempati peringkat ke 4 setelah minyak/gas bumi, batu bara dan kelapa sawit.
Pariwisata juga memberikan kontribusi 3,8 persen terhadap PDB Nasional serta
10 - 18 juta lapangan kerja atau 8,9 persen secara Nasional. APKASI
12
Winardi, 1982, Kamus Ekonomi , Alumni, Bandung
15
(international trade and investment summit (AITIS) 2014 di Jakarta. Senin. 14
Maret 2014).13
b) Teori Kepastian Hukum
Dalam hukum kontrak terdapat suatu prinsip bahwa perjanjian yang
dibuat dengan itikad baik mengikat para pembuatnya sebagaimana yang di
maksud undang-undang.14
Apabila hal ini disimpangi oleh pengadilan berarti
pengadilan telah menyimpangi sesuatu yang telah disepakati oleh para pihak
sehingga mengancam kepastian hukum. Demikian pula halnya dengan
penyimpangan terhadap aturan yang dibuat oleh mereka yang berwenang dalam
membuat aturan menyebabkan adanya ketidakpastian hukum.
Merupakan suatu kenyataan dalam hidup bermasyarakat diperlukan
aturan-aturan yang bersifat umum. Betapa pun setiap kepentingan yang ada di
dalam masyarakat dipertimbangkan untuk dituangkan di dalam aturan yang
bersifat umum agar kepentingan-kepentingan itu dilindungi. Sedemokratis apa
pun kehidupan bernegara dan bermasyarakat suatu bangsa, tidak mungkin aturan-
aturan itu dapat mengakomodasi semua kepentingan. Begitu pula dalam
kehidupan nyata kasus-kasus yang unik jarang terjadi, yang terjadi adalah
masalah-masalah umum yang timbul dari adanya kepentingan yang harus
dilayani. Hal itu pun perlu dituangkan di dalam aturan yang bersifat umum juga.
Pada masyarakat modern aturan yang bersifat umum tempat dituangkannya
perlindungan kepentingan-kepentingan itu adalah undang-undang.
13
Anonim, “Investasi Pariwisata Capai 603 juta US”, Bali Post, 15 April 2014, kol.3,
hal.21 14
Agus Yudha Hernoko, 2011, Hukum Perjanjian dalam Kontrak Komersial, Kencana
Persada Media,Jakarta, hal.15
16
Aturan hukum baik berupa undang-undang maupun hukum tidak
tertulis demikian berisi aturan yang bersifat umum yang menjadi pedoman bagi
individu bertingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat, baik dalam hubungan
dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-
aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan
tindakan terhadap individu. Adanya aturan semacam itu dan pelaksanaan aturan
tersebut menimbulkan kepastian hukum yaitu hukum yang berwibawa menjadi
indikator bahwa hukum akan di patuhi. Lahirnya sebuah Norma juga di tentukan
oleh waktu dan tempat, seperti yang di ungkapkan oleh Steven Vago: why do we
need law, and what does it do for society? More specifically, what functions does
law perform? A variety of functions are highlighted in the literature depending on
the condition under which law operates at a particular time and place 15
Dengan demikian kepastian hukum mengandung dua pengertian yaitu:
pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui
perbuatan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan
hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan
yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh
dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum
bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang saja.
Roscoe Pound mengatakan adanya kepastian hukum memungkinkan
adanya predictability16
. Apa yang di kemukakan oleh Roscoe Pound, di
ketengahkan juga oleh Oliver Wendell Holmes dengan pandangan realismenya.
15
Steven Vago, 1981, Law and Society, fifth edition. New Jersey Prentice Hall Inc, h.54 16
Roscoe Pound, 1972 , Pengantar Fi lsa fat Hukum, Ter jemahan
Muhamad Radjab, B hatara, Jakar ta , h . 15
17
Holmes mengatakan: The prophecies of what the Courts will do in fact and
nothing more pretentious are what I mean by law. Oleh Van Apeldoorn dikatakan
bahwa pandangan tersebut kurang tepat karena pada kenyataannya hakim juga
dapat memberi putusan yang lain dari apa yang di duga oleh pencari hukum.17
Tetapi pendapat Van Apeldoorn atas pandangan yang dikemukakan
oleh Holmes juga mempunyai kelemahan. Memang benar hakim mempunyai
kebebasan untuk menafsirkan peraturan hukum, memiliki diskresi bahkan
bilamana perlu membuat hukum. Namun demikian adanya peraturan untuk
masalah yang konkret dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan perkara yang
dihadapkan kepadanya. Bahkan putusan hakim yang dibuat bukan atas dasar
peraturan, melainkan atas dasar nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dapat
dijadikan landasan bagi hakim berikutnya dalam menghadapi kasus serupa.
(Yurisprudensi).
Begitu juga desa pakraman di dalam menerima investor harus melihat
keadaan di masyarakat apakah krama/masyarakat dapat menerima investor
tersebut, bagaimana dengan dampak lingkungan dalam hal ini penerapannya
dengan Tri Hita Karana, hubungan antara investor dengan masyarakat lain,
hubungan investor dengan keberadaan tempat suci disekitar wilayah desa
pakraman dan lingkungan (palemahan) sekitarnya. Hal ini penting karena sering
terjadi tatkala investor sudah menanamkan modalnya di suatu desa pakraman,
tidak jarang setelah terwujud masyarakat malah tidak setuju, akses jalan ditutup,
17
Riddall J.G, 2005, Jurisprudence, Oxford: University Press, h. 110
18
proyek di pagari, manajemen perusahaan di gugat bahkan dengan kekerasan dan
lain-lain.
Untuk menghindari hal inilah diperlukan kepastian hukum dalam
penanaman modal, sehingga investor terjamin oleh hukum dalam hal ini
disamping mengacu pada Hukum Negara tentang penanaman investasi juga harus
menurut peraturan peraturan di bawahnya, termasuk hukum adat yang hidup
dalam masyarakat. Di Bali, hukum adat dapat ditemukan dalam wujud awig awig
desa pakraman serta keputusan lembaga-lembaga adat, seperti Keputusan
Pesamuhan Agung Majelis Desa Pakraman Bali. Dengan demikian permasalahan
dapat ditekan baik dari investor maupun dari desa pakraman, yang kena dampak
serta selaku penghuni wilayah (palemahan).
c) Teori Efektivitas Hukum
Penelitian ini menggunakan Teori Efektivitas Penegakan Hukum dari
Soerjono Soekanto. Teori ini digunakan untuk mengkaji permasalahan ketiga.
Menurut Soerjono Soekanto terdapat lima faktor yang mempengaruhi pelaksanaan
hukum dalam masyarakat, yaitu sebagai berikut:
1. Faktor kaidah hukum/peraturan itu sendiri;
2. Faktor petugas/penegak hukum;
3. Faktor sarana atau fasilitas yang digunakan oleh penegak hukum;
4. Faktor masyarakat; dan
5 Faktor kebudayaan masyarakat.18
Berikut ini penjelasan dari Soerjono Soekanto masing-masing faktor, yaitu:
18
Soerjono Soekanto, 2004, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT.
Raja Grafika Persada, Jakarta, h. 8.
19
1. Faktor Hukum
Secara konsepsional inti dan arti penegakan hukum terletak pada
kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-
kaidah yang mantap, dan mengejawantahan dalam sikap tindak sebagai rangkaian
penjabaran ini, tahap akhir untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan
kedamaian pergaulan hidup. Mengenai berlakunya hukum sebagai kaidah, hal ini
di ungkapan sebagai berikut:
a) Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan
pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang
telah ditetapkan.
b) Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif.
Artinya, kaidah dimaksud dapat dipaksakan (teori kekuasaan) atau kaidah
itu berlaku karena adanya pengakuan dari masyarakat.
c) Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum
sebagai nilai posistif yang tertinggi.
Mengkajinya lebih dalam agar hukum itu berfungsi maka setiap kaidah
hukum harus memenuhi ketiga macam unsur di atas, sebab apabila tidak: (1) Bila
kaidah hukum hanya berlaku secara yuridis, ada kemungkinan kaidah itu
merupakan kaidah mati; (2) Kalau hanya berlaku secara sosiologis dalam arti teori
kekuasaan, maka kaidah itu menjadi aturan pemaksa; (3) Apabila hanya berlaku
secara filosofis, kemungkinan kaidah itu hanya merupakan hukum yang dicita-
citakan (ius constituendum).
20
2. Faktor Penegak Hukum
Pengertian dari istilah “penegakan hukum” demikian luas karena
mencakup baik secara langsung (direct) maupun secara tidak langsung (indirect)
dalam hal penegakan hukum. Menurut Soerjono Soekanto bahwa:
Penegak hukum pada kalangan yang secara langsung berkecimpung dalam
bidang penegakan hukum tidak hanya mencakup ”law enforcement” akan
tetapi pula “peace maintenance” kalangan itu mereka yang bertugas di
bidang bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan dan
pemasyarakatan. 19
Oleh karena itu yang di maksud penegak hukum atau orang yang
bertugas menerapkan hukum mencakup ruang lingkup sangat luas, sebab
menyangkut petugas pada strata atas, menengah dan bawah. Artinya, di dalam
melaksanakan tugas-tugas penerapan hukum petugas seyogianya harus memiliki
suatu pedoman, di antaranya peraturan tertulis tertentu yang mencakup ruang
lingkup tugas-tugasnya. Di dalam hal penegakan hukum dimaksud kemungkinan
petugas penegak hukum menghadapi hal-hal sebagai berikut.
a) Sampai sejauh mana petugas terikat dari peraturan-peraturan yang ada?
b) Sampai batas-batas mana petugas berkenan memberikan kebijakan?
c) Teladan macam apakah yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada
masyarakat?
d) Sampai sejauh manakah derajat sinkronisasi penugasan-penugasan yang
diberikan kepada para petugas sehingga memberikan batas-batas yang
tegas pada wewenangnya.20
3. Faktor Sarana
Sarana amat penting untuk mengefektifkan suatu aturan tertentu.
Ruang lingkup sarana dimaksud terutama sarana fisik yang berfungsi sebagai
faktor pendukung. Misalnya, bila tidak ada kertas dan karbon yang cukup serta
19
Soerjono Soekanto IV, Op.Cit., hal.13 20
H Abdulmanan, 2005, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana Press Nada Media,
Jakarta, h. 98
21
mesin ketik yang cukup baik, bagaimana petugas dapat membuat berita acara
mengenai suatu kejahatan. Bagaimana polisi dapat bekerja dengan baik apabila
tidak dilengkapi dengan kendaraan dan alat-alat komunikasi yang proporsional.
Kalau peralatan dimaksud sudah ada, faktor-faktor pemeliharaan juga memegang
peran penting. Memang sering terjadi bahwa suatu peraturan yang semula
bertujuan untuk memperlancar proses, malahan mengakibatkan terjadinya
kemacetan. Mungkin ada baiknya ketika hendak menerapkan suatu peraturan
secara resmi ataupun memberikan tugas kepada petugas, dipikirkan mengenai
fasilitas-fasilitas yang berpatokan kepada: (1) apa yang sudah ada, dipelihara terus
agar setiap saat berfungsi; (2) apa yang belum ada, perlu diadakan dengan
memperhitungkan jangka waktu pengadaannya; (3) apa yang kurang, perlu
dilengkapi; (4) apa yang telah rusak, diperbaiki atau diganti; (5) apa yang macet,
dilancarkan; (6) apa yang telah mundur, ditingkatkan.
4. Faktor Masyarakat
Salah satu faktor yang mengefektifkan suatu peraturan adalah warga
masyarakat. Yang di maksud adalah kesadaran untuk mematuhi suatu peraturan
perundang-undangan, yang kerap disebut derajat kepatuhan. Secara sederhana
dapat dikatakan, bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan
salah satu indikator berfungsinya hukum. Sebagai contoh dapat diungkapkan
sebagai berikut :
1) Apabila derajat kepatuhan terhadap peraturan rambu-rambu lalu lintas
adalah tinggi maka peraturan lalu lintas dimaksud, pasti akan berfungsi,
yaitu mengatur waktu penyeberangan pada persimpangan jalan. Oleh
karena itu, bila rambu-rambu lintas warna kuning menyala, para
pengemudi diharapkan memperlambat laju kendaraannya. Namun bila
terjadi sebaliknya, kendaraan yang di kemudikan di percepat lajunya atau
tancap gas besar kemungkinan akan terjadi tabrakan.
22
2) Bagi orang Islam Indonesia termasuk warga masyarakat Islam yang
mendiami Kota Palu, tahu dan paham tentang Undang-Undang Nomor 38
Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Undang-undang dimaksud, lahir
dari adanya ajaran Islam yang mewajibkan berzakat bagi setiap muslim
yang mempunyai penghasilan, baik penghasilan dari pekerjaan profesi
sebagai pegawai negeri, pejabat structural, maupun pejabat fungsional.
Namun demikian, masih ditemukan pegawai negeri sipil dimaksud,
mengeluarkan zakatnya tanpa melembaga. Artinya orang Islam dimaksud,
memerikan zakat kepada orang yang dianggap berhak menerimanya.
Padahal baik peraturan perundang-undangan maupun ajaran Islam
(Aquran) menghendaki agar zakat dikeluarkan melalui lembaga amil
zakat. Sebab, salah satu fungsi sosial zakat adalah pemenuhan hak bagi
delapan golongan yang berhak menerima zakat dalam mewujudkan
kesejahteraan dan keadilan sosial.21
Berdasarkan dua contoh di atas persoalan adalah (1) Apabila peraturan
baik tetapi warga masyarakat tidak mematuhinya faktor apakah yang
menyebabkannya? (2) Apabila peraturan itu baik serta petugas cukup berwibawa,
fasilitas cukup mengapa masih ada yang tidak mematuhi peraturan perundang-
undangan ?
Selain masalah di atas masih ada persoalan lain, yaitu adanya suatu
asumsi yang menyatakan bahwa apabila semakin besar peran sarana pengendalian
sosial selain hukum seperti agama dan adat istiadat semakin kecil peran hukum.
Seperti halnya desa pakraman (krama desa pakraman) mempunyai peran terhadap
penanaman investasi kepariwisataan di wilayahnya. Oleh karena itu hukum tidak
dapat dipaksakan keberlakuannya di dalam segala hal, selama masih ada sarana
lain yang ampuh. Hukum hendaknya di pergunakan pada tingkat yang terakhir
bila sarana lain tidak mampu lagi untuk mengatasi masalah. Terkait dengan hal
tersebut perlu di ungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan kesadaran masyarakat
21
Soetandyo Wignjosoebroto, 2008, Hukum Dalam Masayarakat Perkembangan dan
Masalah, Banyumedia Publishing, Malang, h.162
23
terhadap hukum, yaitu : (1) Penyuluhan hukum yang teratur; (2) Pemberian
teladan yang baik dari petugas dalam hal kepatuhan terhadap hukum dan respek
terhadap hukum; (3) Pelembagaan yang terencana dan terarah.
5. Faktor Kebudayaan
Faktor kebudayaan yang sebenarnya bersatupadu dengan faktor
masyarakat sengaja dibedakan, karena di dalam pembahasannya di ketengahkan
masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau non-
materiil. Sebagai suatu sistem (atau subsistem dari sistem kemasyarakatan) maka
hukum mencakup struktur, subtansi dan kebudayaan. Struktur mencakup wadah
ataupun bentuk dari sistem tersebut umpamanya, mencakup tatanan lembaga-
lembaga hukum formal, hubungan antara lembaga-lembaga tersebut, hak dan
kewajiban dan seterusnya, substansi mencakup isi norma hukum beserta
perumusan maupun cara untuk menegakkan yang berlaku bagi pelaksana hukum
maupun pencari keadilan. Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup
nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan
konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (dianuti) dan apa yang
dianggap buruk (dihindari). Nilai-nilai tersebut lazimnya merupakan pasangan
nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus diserasikan. Hal
ini menjadi pokok pembicaraan di bagian faktor kebudayaan.
Pasangan nilai yang berperanan dalam hukum adalah sebagai berikut :
1. Nilai ketertiban dan nilai ketentraman,
2. Nilai jasmaniah/kebendaan dan nilai rohaniah/keakhlakan,
3. Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovasitisme.
24
Dalam keadaaan sehari-hari nilai ketertiban biasa disebut dengan
keterikatan atau disiplin sedangkan nilai ketentraman merupakan suatu kebebasan.
Secara Psikologis keadaan tenteram ada bila seorang tidak merasa khawatir, tidak
merasa diancam dari luar dan tidak terjadi konflik bathiniah. Pasangan nilai
tersebut yaitu ketertiban dan ketentraman di mana kedua hal tersebut sebenarnya
sejajar dengan nilai kepentingan umum dan kepentingan pribadi. Dalam bidang
tata hukum publik (seperti misalnya hukum tata negara, hukum administrasi
negara dan hukum pidana) harus mengutamakan nilai ketertiban dan dengan
sendirinya sejalan dengan nilai kepentingan umum. Akan tetapi dalam bidang
hukum perdata (misalnya hukum harta kekayaan, hukum keluarga dan hukum
waris), nilai ketentraman justru lebih diutamakan. Hal ini berarti bahwa di dalam
hukum publik nilai ketenteraman boleh di abaikan, sedangkan di dalam hukum
perdata nilai ketertiban sama sekali tidak di perhatikan. Pasangan nilai ketertiban
dan nilai ketenteraman merupakan pasangan nilai yang bersifat universal hanya
mungkin keserasian berbeda menurut keadaan masing-masing kebudayaan di
mana pasangan nilai tadi di terapkan.
Di Indonesia nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat seperti yang di
katakan oleh Koesnoe sebagai berikut:
Individu adalah bagian/ akar dari masyarakat yang mempunyai fungsi
masing-masing demi kelangsungan masyarakat (sebagai lingkungan
kesatuan) di mana setiap individu berusaha mengabdi demi kepentingan
masyarakat artinya kepentingan individu diletakkan pada kepentingan
umum. Oleh sebab itu ketentuan adat mesti dijalani tanpa ada persyaratan
dengan jaminan atau keterpaksaan sehingga kesalah kaprahan yaitu dengan
sebutan hukum adat, tidaklah merupakan hukuman.22
22
Moh Koesnoe, 1969,” Peranan Hukum Adat di Dalam Pembangunan Nasional”, Prae-
Advies Seminar Awig-Awig, Denpasar, Bali, h.64.
25
Hal hal yang telah di jelaskan oleh Moh. Koesno, merupakan
kebudayaan Indonesia yang mendasari hukum adat yang berlaku. Hukum adat
tersebut merupakan hukum kebiasaan yang berlaku di kalangan rakyat banyak. Di
samping itu berlaku pula hukum tertulis (perundang-undangan) yang timbul dari
golongan tertentu dalam masyarakat yang mempunyai kekuasaan dan wewenang
resmi. Hukum perundang-undangan tersebut harus dapat mencerminkan nilai-nilai
yang menjadi dasar dari hukum adat supaya hukum perundang-undangan tersebut
berlaku efektif.
1.7.2 Konsep
Dalam penelitian konsep berfungsi menghubungkan antara teori dengan
observasi antara abstraksi dengan realitas23
. Oleh karena realitas sosial sering kali
tidak dapat ditangkap oleh pancaindera manusia, dalam penelitian hukum peneliti
perlu terlebih dahulu mendefinisikan konsep dengan jelas supaya tidak terjadi
kesalahan dalam pengukuran. Di katakan oleh Sofian yang dikutip oleh
Wardiyanta, konsep adalah “istilah dan definisi yang digunakan untuk
menggambarkan sesuatu secara abstrak. Sesuatu yang dimaksud adalah kejadian,
keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial.24
Konsep-konsep hukum dimanfaatkan untuk mendefinisikan beberapa
istilah yang di pergunakan dalam penelitian ini sehingga dapat fokus menemukan
jawaban permasalahan yang diajukan dalam rumusan masalah di atas. Adapun
konsep-konsep yang perlu dikelaskan di sini adalah konsep: a. Keputusan
23
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h. 47 24
Wardiyanta, 2006, Metode Penelitian Pariwisata, Penerbit Andi Yogjakarta, h.9.
26
Pesamuhan Agung Majelis Desa Pakraman Bali, b. Investasi, c. Kepariwisataan,
d. Desa Pakraman dan Wilayah Desa Pakraman.
a. Keputusan Pesamuhan Agung Majelis Desa Pakraman
Dalam penelitian ini yang dimaksudkan dengan Keputusan Pesamuhan
Agung Majelis Desa Pakraman adalah keputusan yang di hasilkan dari salah satu
forum musyawarah Majelis Desa Pakraman yang menyangkut masalah adat dan
agama. Berdasarkan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Majelis Desa
Pakraman. Forum musyawarah yang di miliki oleh Majelis Desa Pakraman adalah
(1). Pesangkepan, (2). Paruman, (3). Pesamuhan.25
Dalam buku Himpunan Hasil Pesamuhan Agung IV Majelis Desa
Pakraman Bali, secara tersirat disebutkan bahwa, Keputusan Pesamuhan Agung
Majelis Desa Pakraman adalah suatu hasil rumusan tentang hidup dan kehidupan
masyarakat hukum adat atau warga desa pakraman di Bali yang disepakati,
selanjutnya dijadikan acuan dalam mengendalikan kehidupan di desa pakraman.
Lebih lanjut di dalam himpunan hasil-hasil Pesamuhan Agung IV Majelis Desa
Pakraman Bali, secara eksplisit disinggung bahwa, Keputusan Pesamuhan Agung
Majelis Desa Pakraman adalah : “Suatu Ketetapan Kesatuan tafsir adat dan hukum
Adat Bali yang dihasilkan oleh forum rapat kerja tertinggi Majelis Desa Pakraman
Bali untuk dijadikan pedoman bagi segenap prajuru desa pakraman dan ataupun
jajaran Majelis Desa Pakraman di Bali”.
25
Pasal 21 dan pasal 28 Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga Majelis Desa
Pakraman. Tahun 2004
27
b. Investasi
Istilah investasi berasal dari bahasa Latin, yaitu investire (memakai),
sedangkan dalam bahasa Inggris disebutkan dengan investment. Para ahli
memiliki pandangan yang berbeda mengenai konsep teoritis investasi. Fitzgeral
mengartikan investasi adalah: aktivitas yang berkaitan dengan usaha penarikan
sumber-sumber (dana) yang dipakai untuk mengadakan barang modal pada saat
sekarang dan dengan barang modal akan dihasilkan aliran produk baru di masa
yang akan datang.26
Dalam definisi ini investasi dikontruksikan sebagai sebuah kegiatan
untuk:
1. Penarikan sumber dan yang digunakan untuk pembelian barang modal; dan
2. Barang modal itu akan dihasilkan produk baru.
c. Kepariwisataan
Pengertian Kepariwisataa menurut ketentuan umum undang undang No
10 Tahun 2009, Bab I pasal 1 angka 4 tentang kepariwisataan menyebutkan
bahwa: ”Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan
pariwisata dan multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang
dan Negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama
wisatawan, pemerintah, pemerintah daerah dan pengusaha”.
Hunzieler dan K Kraf yang di kutif oleh H. Oka A. Yoeti mengatakan bahwa:
Kepariwisataan adalah keseluruhan dari gejala-gejala yang ditimbulkan
oleh perjalanan dan pendiaman orang-orang asing serta penyediaan tempat tinggal
26
H. Salim dan Budi Sutrisno, 2012, Hukum Investasi di Indonesia, PT Raja Grafindo
Persada Jakarta, h. 31
28
sementara, asalkan pendiaman itu tidak tinggal menetap dan tidak memperoleh
penghasilan dari aktivitas yang bersifat sementara itu.27
Batasan ini merupakan definisi yang diterima secara offisial oleh The
Association Internationalie des Experts Scientifique du Tourisme (AIEST) yang
berlaku hingga saat ini. Kemudian Salah Wahab (seorang berkebangsaan Mesir)
dalam bukunya yang berjudul An Introduction on Tourism Theory,
mengemukakan bahwa batasan pariwisata hendaknya memperlihatkan anatomi
dari gejala-gejala yang terdiri dari tiga unsur yaitu : manusia (man) yakni orang-
orang yang melakukan perjalanan wisata; ruang (space) yakni daerah atau ruang
lingkup tempat di mana dilakukan perjalanan wisata; dan waktu (time) yakni
waktu yang digunakan selama dalam perjalanan dan tinggal di daerah tujuan
wisata.
Selanjutnya Made Metu Dahana mengatakan:
Pariwisata merupakan salah satu potensi yang diunggulkan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini sejalan dengan fungsi
kepariwisataan yang tercantum pada Pasal 3 Undang-Undang No. 10 Tahun
2009 Tentang Kepariwisataan yaitu kepariwisaitaan berfungsi memenuhi
kebutuhan jasmani, rohani dan intelektual setiap wisatawan dengan rekreasi
perjalanan serta meningkatkan pendapatan Negara untuk mewujudkan
kesejahteraan rakyat. 28
Bagi suatu Negara yang menganggap pariwisata sebagai suatu industri
yang menghasilkan produk yang dikonsumsi di tempat tujuan maka ini dapat
dianggap sebagai suatu ekspor yang tidak kentara (invisible-export). Dan manfaat
27
Oka A. Yoeti, 2006, Pariwisata Budaya Masalah dan Solusinya. PT Pradnya
Paramita, Jakarta, h. 177 28
Made Metu Dahana, 2012, Perlindungan Hukum dan Keamanan Terhadap
Wisatawan, Paramita Surabaya, h.3
29
yang diperoleh dapat berpengaruh positif dalam perekonomian, kebudayaan dan
kehidupan sosial masyarakat.
Dari beberapa batasan yang dikemukakan di atas kelihatan bahwa pada
prinsipnya kepariwisataan dapat mencakup semua macam perjalanan, asal saja
perjalanan tersebut diikuti dengan pertamasyaan dan rekreasi. Dalam hal ini
diberikan suatu garis pemisah yang mengatakan bahwa perjalan tersebut di atas
tidak bermaksud untuk memangku suatu jabatan di suatu tempat atau daerah
tertentu sebab apabila perjalanan itu karena jabatan maka perjalanan terakhir ini
dapat digolongkan ke dalam perjalanan bukan untuk tujuan pertamasyaan atau
pariwisata.
d. Wilayah Desa Pakraman
Perda Provinsi Bali No. 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman,
memberikan pengertian desa pakraman sebagai berikut: ”Kesatuan masyarakat
hukum Adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata
krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam
ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu
dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangga sendiri”.
Selanjutnya Swellengrebel yang dikutip oleh I Made Suasthawa
Dharmayuda mendefinisikan desa pakraman sebagai berikut “Desa is often
defined as a community of worship. An important part of its function does, indeed,
lie in the religious field”,29
29
I Made Suasthawa Dharmayuda , 2001, Desa Adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
di provinsi Bali, Upada sastra, Denpasar, h.3
30
Dengan pengertian ini desa pakraman merupakan lembaga tradisional
yang bercorak sosial relegius dan mempunyai wilayah tertentu. . Dalam Perda
Provinsi Bali No.3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, Pasal 4 tersirat bahwa
wilayah/lingkungan desa pakraman merupakan wilayah atau sebidang ruang di
darat yang di tempati oleh kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyai
batas-batas tertentu dalam ikatan Kahyangan Tiga/Kahyangan Desa30
. Wilayah
desa pakraman adalah ruang desa yang menjadi wewenang desa pakraman yang
pada umumnya dibatasi dengan batas-batas tertentu seperti: sungai, gunung,
telabah, parit, benggang, bukit dan pohon rindang yang besar seperti pohon
beringin, pohon pule dan lain-lain. Benggang adalah kawasan kosong yang
berfungsi sebagai ekologis di mana berbagai flora dan satwa dapat hidup bebas,
ruang jeda yang berguna sebagai paru-paru bagi kawasan sekitarnya. Para leluhur
sengaja menciptakan ruang kosong yang erat hubungannya dengan pemikiran
kosmologi orang Bali. Manusia memerlukan ruang kosong untuk melepas lelah,
berinspirasi, merenung (introspeksi/mulat sarira) sebelum akhirnya melanjutkan
perjalanan.31
1.7.3 Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir yang penulis pakai dalam membahas permasalahan
yaitu: berawal dari sebuah keputusan dari satu satunya lembaga majelis adat di
Bali tentang penanaman investasi di wewidangan desa pakraman. Kajian ini di
30
Tjok Istri Putra Astiti, 2010, Desa Adat Menggugat dan Digugat, Udayana
University Press, h. 11 31
Wayan P Windia dkk, 2011, Peta Desa Panduan Mengelola Konflik Batas
Wilayah, Udayana University Press, Denpasar, hal. 20
31
analisis dengan beberapa teori hukum diantaranya; teori investasi kepariwisataan,
teori kepastian hukum dan teori efektivitas.
Keputusan Pesamuhan Agung Majelis Desa Pakraman Bali dalam
penyelenggaraan investasi kepariwisataan diimplementasikan dalam masyarakat
serta kepada investor. Kedua belah pihak melakukan dialog berbagai hal tentang
pelaksanaan Keputusan Pesamuhan Agung, sehingga dari hasil rapat di dapat
langkah langkah pelaksanaan keputusan ini di antaranya:
Bagaimana pelaksanaan Keputusan Kesamuhan Agung Majelis Desa
Pakraman Bali bekerja, faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap pelaksanaan
Keputusan Pesamuhan Agung I Majelis Desa Pakraman dan upaya yang
mempengaruhi dalam meningkatkan efektivitas Pelaksanaan Keputusan
Pesamuhan Agung Majelis Desa Pakraman Bali dalam penyelenggaraan investasi
kepariwisataan di wilayah desa pakraman, dan selanjutnya dalam penerapan di
masyarakat apakah berjalan baik ataukah sebaliknya, dari hasil kajian di atas akan
di dapat sebuah rekomendasi tentang Keputusan Pesamuhan Agung Majelis Desa
Pakraman Bali dalam penyelenggaraan investasi kepariwisataan efektif ataukah
tidak efektif.
Rekomendasi ini untuk selanjutnya dapat dipakai sebagai bahan acuan
dan penilaian serta langkah evaluasi oleh lembaga Majelis Desa Pakraman Bali
dalam menentukan kinerjanya di masa yang mendatang. Jika kerangka berpikir
tersebut digambarkan dalam bentuk diagram/skema terlihat seperti skema berikut
ini:
32
DIAGRAM
KERANGKA BERPIKIR TENTANG PELAKSANAAN
KEPUTUSAN PESAMUAN AGUNG I MDP
KEPUTUSAN
PESAMUHAN AGUNG I
MDP BALI
INVESTOR
Bagaimanakah Pelaksanaan
Putusan MDP Bali
mmasyarakat Masyarakat
Faktor yang mempengaruhi
dalam pelaksanaan
Upaya untuk mempengaruhi efektivitas
pelaksanaan Putusan MDP
HASIL PELAKSANAAN
KEPUTUSAN PESAMUHAN
AGUNG I MDP BALI BERHASIL
ATAU TIDAK
REKOMENDASI
DESA PAKRAMAN
PELAKSANAAN PUTUSAN MDP
Penyelenggaraan Investasi Kepariwisataan
Teori Hukum Investasi
Kepariwisataan Teori kepastian Hukum Teori Efektivitas Hukum
HUkum
33
1.8 Metode Penelitian
1.8.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan meneliti pelaksanaan
Keputusan Pesamuhan Agung Majelis Desa Pakraman Bali dalam
penyelenggaraan investasi kepariwisataan di wilayah desa pakraman. Dengan
demikian penelitian ini mengkaji persoalan bekerjanya hukum dalam masyarakat
(law in action/law is in society) sehingga penelitian ini termasuk penelitian ilmu
hukum empiris. Penelitian ini juga disebut socio-legal research32
.
1.8.2 Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan tujuan menggambarkan
secara mendalam dan kritis berbagai kondisi, berbagai situasi atau berbagai
variabel yang timbul di masyarakat yang menjadi objek penelitian ini33
. Dalam
penelitian ini akan digambarkan secara rinci fakta yang ditemukan dalam
penelitian lapangan terkait dengan Pelaksanaan Keputusan Pesamuhan Agung
Majelis Desa Pakrman Bali mengenai investasi kepariwisataan di wilayah desa
pakraman. Fakta-fakta tersebut kemudian dianalis secara kritis.
1.8.3. Data dan Sumber Data
a. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan
data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari
sumber pertama dalam hal ini para pelaku investasi dan pengambil kebijakan
32
Sunggono Bambang, 2003, Metodelogi Penelitian Hukum, Rajawali Pres, Jakarta,
h. 41. 33
Burhan Bungin, 2001, Metodologi Penelitian Sosial Format-Format Kuantitatif
dan Kualitatif, Airlangga University Press, h. 48
34
terkait dengan investasi di wilayah desa pakraman. Data sekunder adalah data
yang diperoleh dari sumber-sumber tertulis berupa bahan-bahan hukum dan bahan
non hukum.
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer34
yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
1) Undang-undang No 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan.
2) Undang undang No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
3) Undang undang No 32 tahun2004 tentang Pemerintahan Daerah
4) Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 3 tahun 2003 tentang Desa Pakraman.
5) Peraturan Daerah Provinsi Bali No 22 tahun 2002 tentang Pariwisata Budaya.
6) Perda No 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi
Bali.
7) Awig awig Desa Pakraman.
8) Keputusan Gubernur Bali No 180 Tahun 1989 tentang Pendirian Pusat
Lembaga Perkreditan Desa Kecamatan (PLPDK).
9) Keputusan keputusan Pesamuhan Agung Majelis Desa Pakraman.
Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berupa
literatur hukum yang relevan, sedangkan bahan-bahan non-hukum yang
digunakan antara lain berupa buku-buku yang memuat statistik investasi
kepariwisataan.
34
Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang sifatnya mengikat ( hukum
positif) dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan objek penelitian.
Lebih lanjut dapat dilihat pada buku Amirudin dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode
Penelitian Hukum. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 118.
35
b. Sumber Data
Data primer bersumber dari hasil penelitian langsung dilapangan (field
research) terhadap kenyataan yang terjadi di lokasi penelitian. Data sekunder
bersumber dari penelitian kepustakaan (library research).
1.8.4 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini ditetapkan meliputi tiga desa pakraman yang
mewakili tiga wilayah, yaitu desa-desa pakraman yang terletak di daerah
pegunungan, desa di wilayah perkotaan dan desa transisi. Dari masing-masing
wilayah tersebut dipilih desa pakraman yang dijadikan sampel penelitian
berdasarkan pada kriteria bahwa di wilayah desa pakraman itu telah tersentuh oleh
investasi kepariwisataan. Berdasarkan kriterea di atas ditetapkan desa pakraman
yang dijadikan sampel penelitian adalah sebagai berikut:
1. Desa Pakraman Kedisan.
Desa Pakraman Kedisan terletak di wilayah Kecamatan Kintamani
Kabupaten Bangli. Desa pakraman ini dipilih dengan alasan karena Desa
pakraman Kedisan merupakan desa pakraman yang terletak di daerah
pegunungan (salah satu wakil dari type desa Baliaga) dan merupakan
kawasan wisata pegunungan dengan keindahan alam yang memukau dan
banyak dikunjungi wisatawan sehingga sudah pasti tersentuh oleh investasi
kepariwisataan. .
2. Desa Pakraman Sanur.
Desa Pakraman Sanur terletak di Kecamatan Denpasar Selatan, Kota
Madya Denpasar. Desa ini dipilih dengan alasan bahwa Desa Pakraman
36
Sanur adalah desa pakraman yang terletak di daerah pantai. Desa
Pakraman Sanur juga merupakan kawasan pariwisata yang sudah lama
dan sangat ramai dikunjungi oleh wisatawan sehingga dapat dipastikan
sudah banyak investasi kepariwisataan di daerah tersebut. Seperti
diketahui bahwa Kawasan Wisata Sanur tercatat dalam sejarah
kepariwisataan Bali sebagai daerah tempat dimana dimulainya
perkembangan kepariwisataan Bali.
3. Desa Pakraman Ubud.
Desa Pakraman Ubud terletak di Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar.
Desa ini dipilih dengan alasan bahwa Desa Pakraman Ubud adalah desa
pakraman yang terletak di daerah transisi. (antara daerah pantai dan
daerah pegunungan). Desa Pakraman Ubud sudah lama merupakan
kawasan pariwisata desa yang terkenal di Bali. Desa Ubud memiliki
sejarah panjang sebagai desa wisata memiliki karakteristik seni budaya
yang unik serta kehidupan masyarakatnya yang adaptif namun tetap
selektif terhadap pengaruh dari dalam maupun dari luar daerahnya
sehingga tatanan kehidupan masyarakat, tradisi, seni, budaya dan agama
tidak terkontaminasi. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa di
wilayah ini terdapat investasi kepariwisataan yang banyak bahkan paling
padat di antara desa pakraman lain di Bali.35
Populasi dalam penelitian ini adalah kegiatan usaha di bidang
kepariwisataan yang menjadi tempat penanaman investasi oleh para investor di
35
Michel Picard, 2006, Bali Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata, KPG
(kepustakaan Populer Gramedia) Cet. I, Jakarta, hal 105
37
tiga wilayah desa pakraman di atas. Teknik penentuan sampel yang digunakan
adalah teknik non probablity sampling yaitu tidak semua subjek atau individu
mendapatkan kemungkinan yang sama untuk dijadikan sampel.36
Jenis Teknik
Non probablity sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah accidental
sampling dan purposif sampling.
Dalam teknik accidental sampling, pengambilan sampel tidak
ditetapkan terlebih dahulu, peneliti langsung mengumpulkan data dari unit
sampling yang di temui. Teknik accidental sampling digunakan untuk
menentukan responden dari investor asing dan lokal yang membangun sarana dan
prasarana kepariwisataan diwilayah di ke tiga desa pakraman itu. Sedangkan
purposif sampling37
digunakan untuk menentukan garis responden dari bendesa
desa pakraman, prajuru prajuru desa, tokoh tokoh masyarakat, para investor dan
masyarakat sekitar. Responden yang digunakan dalam penelitian ini adalah
investor dibidang kepariwisataan, yaitu pemilik restoran, pemilik hotel, pemilik
villa, pejabat pemerintah, prajuru dan krama desa pakraman.
1.8.5 Tekhnik Pengumpulan Data
Tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara wawancara (interview)
dan pengamatan langsung (observation).38
Wawancara dilakukan
dengan cara tanya jawab secara langsung dilapangan kepada
36
Bahder Johan Nasution, Op Cit., h. 156 37
Purposif Sampling adalah Pengambilan contoh dengan cara langsung
berdasarkan tujuan tertentu. Lebih lanjut dapat dilihat dalam bukunya Hilman
Hadikusuma, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum,
Mandar Maju, Bandung, h.74 38
Waluyo Bambang, 2008, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Penerbit Sinar Grafika
, Jakarta, h.57
38
responden, informan, dan para stake holder di desa. Wawancara
dilakukan dengan pedoman wawancara yang disusun sedemikian rupa
bertujuan untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan
permasalahan yang diteliti (terstruktur). Semua jawaban dari informan
dan responden di simpan dalam alat rekam (recorder) serta para
informan di abadikan dengan alat pemotretan (camera) dengan cara
dokumentasi. Tekhnik observasi yang digunakan dalam penelitian ini
adalah tekhnik observasi langsung di mana peneliti mengadakan
pengamatan secara langsung terhadap gejala-gejala tertentu dalam
masyarakat, tetapi peneliti tidak menjadi anggota dari kelompok yang
diamati. Pengamatan dalam penelitian ini dilakukan pada para pemilik
Hotel, Restoran dan Sarana-Prasarana kepariwisataan yang ada di
wilayah desa pakraman lokasi penelitian.
2. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan tekhnik studi dokumen
yaitu dengan melakukan kajian pustaka yaitu referensi referensi tentang
hukum adat Bali, buku buku tentang investasi, hasil Keputusan
Pesamuhan Agung Majelis Desa Pakraman Bali, Awig awig dan
beberapa referensi lain.
1.8.6 Pengolahan dan Analisis Data
Prosedur pengolahan dan analisis data yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut: Setelah data terkumpul maka tahap
selanjutnya adalah melakukan pengelolaan data dimulai dengan pemeriksaan
kelengkapan data, kualifikasi data sesuai permasalahan dan sistematika data
39
sesuai dengan kerangka penulisan. Teknik Analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah analisis data kualitatif. Yang di maksud dengan kualitatif
adalah seperti yang di ungkapkan oleh Creswell, sebagai berikut:
Qualitative reseacrh is a means for exploring and understanding the
meaning individuals or group ascribe to a social or human problem.The
process of research involves emerging questions and procedures,data
typically collected in the participant’s setting, data analysis inductively
building from partculars to general themes,and the researcher making
interpretations of the meaning of the data.The final written report has a
flexible structure.Those who engage in this form of inquiry support a way of
looking at research that honors an inductive style. A focus on individual
maening, and the importance of randering the complexity of a situation.” 39
Oleh karena itu semua data dari hasil yang terkumpul baik dari data
primer maupun data sekunder diolah dan di analisis dengan cara menyusun data
secara sistemetis. Data yang telah tersusun tersebut dihubungkan antara data yang
satu dengan data yang lainnya, kemudian dilakukan interprestasi untuk memahami
makna dari keseluruhan data. Setelah melakukan penafsiran terhadap keseluruhan
data dari persepektif peneliti langkah selanjutnya adalah penyajian data hasil
penelitian secara deskriptif kualitatif dan sistematis.
39
Creswell Jhone W, 2009, Research design, qualitative, quantitative, and mixed
methods approaches, University of Nebraska-lincoln, SAGE publication. United Kingdom, hlm.4