BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · kerusakan alam dan dapat mengancam...

39
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sampai saat ini Bali masih menjadi tujuan wisata favorit di Indonesia. Bahkan Bali telah menjadi ikon pariwisata Indonesia yang terkenal di seluruh dunia. Itu sebabnya, pembangunan kepariwisataan Bali maju dengan pesat. Pesatnya pembangunan pariwisata di Bali tidak hanya menimbulkan dampak positif tetapi juga menimbulkan dampak negatif. Dampak positif yang ditimbulkan, misalnya peningkatan pendapatan daerah, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dampak negatif yang ditimbulkan, antara lain berupa pencemaran, kemacetan lalu lintas, kerusakan lingkungan dan pengalihan fungsi lahan terutama lahan pertanian yang dijadikan sebagai tempat pengembangan fasilitas dan sarana pariwisata seperti hotel, restoran, objek wisata dan lain-lain. Pembangunan kepariwisataan tentu saja memerlukan investasi, yaitu penanaman modal yang diperlukan untuk pembangunan sarana dan prasarana kepariwisataan tersebut. Investasi di bidang kepariwisataan di daerah Bali terus meningkat seiring dengan kemajuan kepariwisataan Bali. Investasi kepariwisataan Bali ternyata tidak hanya mengalir di daerah-daerah perkotaan tetapi sudah merambah daerah-daerah perdesaan termasuk di daerah Ubud, Kedisan dan Sanur yang sudah lama dikenal sebagai desa wisata di Bali. Daerah wisata itu dipandang sebagai pusat seni dan budaya Bali sudah mulai berkembang sejak 1

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · kerusakan alam dan dapat mengancam...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sampai saat ini Bali masih menjadi tujuan wisata favorit di Indonesia.

Bahkan Bali telah menjadi ikon pariwisata Indonesia yang terkenal di seluruh

dunia. Itu sebabnya, pembangunan kepariwisataan Bali maju dengan pesat.

Pesatnya pembangunan pariwisata di Bali tidak hanya menimbulkan dampak

positif tetapi juga menimbulkan dampak negatif. Dampak positif yang

ditimbulkan, misalnya peningkatan pendapatan daerah, penciptaan lapangan kerja,

dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dampak negatif yang ditimbulkan,

antara lain berupa pencemaran, kemacetan lalu lintas, kerusakan lingkungan dan

pengalihan fungsi lahan terutama lahan pertanian yang dijadikan sebagai tempat

pengembangan fasilitas dan sarana pariwisata seperti hotel, restoran, objek wisata

dan lain-lain.

Pembangunan kepariwisataan tentu saja memerlukan investasi, yaitu

penanaman modal yang diperlukan untuk pembangunan sarana dan prasarana

kepariwisataan tersebut. Investasi di bidang kepariwisataan di daerah Bali terus

meningkat seiring dengan kemajuan kepariwisataan Bali. Investasi kepariwisataan

Bali ternyata tidak hanya mengalir di daerah-daerah perkotaan tetapi sudah

merambah daerah-daerah perdesaan termasuk di daerah Ubud, Kedisan dan Sanur

yang sudah lama dikenal sebagai desa wisata di Bali. Daerah wisata itu

dipandang sebagai pusat seni dan budaya Bali sudah mulai berkembang sejak

1

2

dulu1 dengan berbagai aktivitas wisata tentu saja sangat menarik bagi para

investor untuk menanamkan modalnya.

Investasi sebagai sumber daya pembangunan perekonomian memang

sangat dibutuhkan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi

investasi yang tidak terkendali dapat menimbulkan dampak negatif, seperti

kerusakan alam dan dapat mengancam kelestarian kebudayaan setempat.

Ancaman akan dampak negatif penanaman modal di perdesaan sudah cukup lama

mendapat perhatian dari berbagai kalangan di Bali, termasuk tokoh-tokoh adat dan

agama.

Tahun 2006, Majelis Desa Pakraman (selanjutnya disingkat MDP)

menerbitkan keputusan sebagai pedoman bagi segenap prajuru desa pakraman

dalam menghadapi investasi di wilayah desa pakraman. Terkait dengan investasi

di wilayah desa pakraman, Keputusan MDP Bali Nomor 050/Kep/Psm-1/MDP

Bali/III/2006 tentang Hasil-hasil Pesamuhan Agung I MDP Bali menentukan

sebagai berikut:

1. setiap investasi di wewidangan/wawengkon (wilayah) desa pakraman

patut mendapat rekomendasi desa pakraman, selain persetujuan dari

instansi terkait lainnya.

2. Rekomendasi diberikan oleh bendesa berdasarkan keputusan paruman

krama desa pakraman.2

Mengikuti konsep hukum dalam antropologi hukum, Keputusan

Pesamuhan Agung Majelis Desa Pakraman Bali ini dapat dikonsepkan sebagai

1”Anonimus, 2012,”aktivitas Wisata di Ubud”, http:// travel. kompas. com/

read/2012/03/10/07594051/10.aktivitas.wisata.di.ubud . Diakses tanggal 30 Agustus

2013. Lihat juga : Dinas Pariwisata Provinsi Bali, 2005, Buku Penggangan Penatar

dan Penyuluh Kepariwisataan, tanpa identitas penerbit, h. 14. 2 Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali, 2007, Himpunan Hasil-hasil Pesamuhan

Agung I dan II MDP Bali, h. 10.

3

hukum karena merupakan bentuk pengaturan sendiri dari lembaga adat, dalam hal

ini MDP Bali sebagai wadah tunggal desa pakraman se-Bali. Menurut I Nyoman

Nurjaya, pakar antropologi hukum dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya,

bahwa di dalam masyarakat terdapat pluralisme hukum. Selain terdapat hukum

negara (state law), juga terdapat sistem-sistem hukum lain seperti hukum rakyat

(folk law), Hukum kebiasaan (customary law), hukum adat ( adat law), hukum

agama (religious law), dan juga mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri (self-

regulation atau inner-order mechanism) dalam masyarakat.3

Keputusan Majelis Desa Pakraman di atas dapat dipandang sebagai

suatu langkah antisipatif untuk mencegah dampak negatif dari investasi bagi desa

pakraman. Apabila dampak negatif investasi terhadap desa pakraman dapat

dihindari, maka kerusakan kelestarian alam dan budaya Bali juga dapat dihindari.

Alam di wilayah Bali dapat dikatakan hampir terbagi habis oleh wilayah desa

pakraman dan desa pakraman juga merupakan benteng kebudayaan Bali. Oleh

karena itu apabila Keputusan Pesamuhan Agung Majelis Desa Pakraman Bali di

atas dapat dilaksanakan oleh desa pakraman dengan efektif, maka investasi di

wilayah desa pakraman dapat lebih dikendalikan sehingga ancaman dampak

negatif investasi terhadap kelestarian alam dan budaya Bali dapat dihindari.

Secara yuridis formal, keberadaan MDP diatur dalam tiga pasal dalam

Peraturan Daerah Bali No. 3 tahun 2001 tentang Desa Pakraman, yaitu pada Pasal

3 I Nyoman Nurjaya , 2011, ”Memahami Posisi dan Kapasitas Hukum Adat dalam Politik

Pembangunan Hukum di Indonesia: Perspektif Antropologi Hukum”, makalah dalam Seminar

Nasional tentang Arah Perlindungan Hukum Bagi Masyarakat Adat dalam Sistem Hukum

Nasional, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN, 12 Mei 2011, di

Malang, h. 8)

4

14, Pasal 15, dan Pasal 16. Dalam tiga pasal tersebut, selain diatur struktur MDP,

yang terdiri dari Majelis Desa Pakraman di tingkat provinsi yang disebut Majelis

Utama, Majelis Desa Pakraman di tingkat kabupaten yang disebut Majelis Madya,

dan ditingkat kecamatan disebut Majelis Alit (Pasal 14), serta tatacara

pembentukan Majelis Desa Pakraman pada masing-masing tingkatan tersebut

(Pasal 15), juga diatur tentang tugas dan wewenang Majelis Desa Pakraman (Pasal

16). Dalam Pasal 16 ayat (1) dirinci tugas-tugas Majelis Desa Pakraman, meliputi:

a. Mengayomi adat istiadat;

b. Memberikan saran, usul dan pendapat kepada berbagai pihak baik

perorangan, kelompok/lembaga termasuk pemerintah tentang masalah-

masalah adat;

c. Melaksanakan setiap keputusan-keputusan paruman dengan aturan-

aturan yang ditetapkan;

d. Membantu penyuratan awig-awig;

e. Melaksanakan penyuluhan adat istiadat secara menyeluruh.

Sedangkan wewenang Majelis Desa Pakraman meliputi:

a. Memusyawarahkan berbagai hal yang menyangkut masalah-

masalah adat dan agama untuk kepentingan desa pakraman

b. Sebagai penengah dalam kasus-kasus adat yang tidak dapat di

selesaikan pada tingkat desa

c. Membantu penyelenggaraan upacara keagamaan di kecamatan,

kabupaten/ kota di propinsi Bali

Apabila diamati tugas dan wewenang Majelis Desa Pakraman di atas,

terutama tugas (a) mengayomi adat istiadat dan wewenang (a) memusyawarahkan

masalah adat tampak jelas bahwa Majelis Desa Pakraman memang mempunyai

wewenang mengambil keputusan terhadap masalah masalah adat yang dihadapi

desa pakraman melalui forum musyawarah yang disediakan oleh Anggaran Dasar

dan Anggaran Rumah Tangga MDP. Berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran

Rumah Tangga MDP, salah satu forum musyawarah yang tersedia adalah

5

Pesamuhan yang terdiri dari Pesamuhan Agung, Pesamuhan Madya dan

Pesamuhan Alit.4

Namun demikian dari pengamatan terhadap ketentuan-ketentuan yang

diatur dalam Perda Desa Pakraman, tidak ditemukan satu pasal pun yang

mengatur secara eksplisit posisi desa pakraman terhadap keputusan-keputusan

Majelis Desa Pakraman tersebut, apakah wajib untuk mengikutinya atau tidak.

Ketidakjelasan posisi desa pakraman terhadap Keputusan Pesamuhan Agung

Majelis Desa Pakraman Bali ditambah lagi dengan konsep otonomi desa

pakraman, menimbulkan keragu-raguan bagi penulis mengenai efektivitas

pelaksanaan keputusan-keputusan MDP, terutama terkait dengan penanaman

investasi untuk kegiatan kepariwisataan di Bali. Hal ini menarik minat penulis

untuk meneliti dan membahasnya secara mendalam. Penulis ingin mengetahui

bagaimana Pelaksanaan Keputusan Pesamuhan Agung Majelis Desa Pakraman

Bali itu di desa pakraman: apakah dilaksanakan dengan efektif atau tidak. Setelah

diketahui efektivitas pelaksanaannya, penulis ingin mengetahui lebih jauh

mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pelaksanaan keputusan

tersebut. Apabila dilaksanakan secara efektif, faktor-faktor apa yang

mendukungnya; dan apabila tidak dilaksanakan secara efektif, faktor-faktor apa

pula yang menjadi kendala (hambatan).

Penelitian terhadap pelaksanaan Keputusan Majelis Desa Pakraman

Bali terkait dengan penanaman investasi di wilayah desa pakraman menjadi

penting dan relevan, tidak saja untuk mengetahui kenyataan yang terjadi (das

4 Pasal 21 dan Pasal 28 Anggaran Dasar, Anggaran Rumah tangga Majelis Desa

Pakraman Tahun 2004

6

sein) menyangkut pelaksanaan keputusan tersebut, melainkan juga penting

sebagai evaluasi setelah 9 (sembilan) tahun keputusan tersebut diterbitkan.

Walaupun penelitian ini hanya meneliti salah satu aspek Keputusan Pesamuhan

Agung Majelis Desa Pakraman Bali, yaitu aspek yang terkait dengan

penyelenggaraan investasi kepariwisataan di wilayah desa pakraman, dari hasil

penelitian ini dapat diketahui pengaruh Keputusan Pesamuhan Agung Majelis

Desa Pakraman Bali terhadap sikap desa pakraman dalam menghadapi investasi di

wilayahnya, sehingga secara lebih luas dapat digunakan sebagai parameter untuk

menilai dan mengukur pengaruh Keputusan Pesamuhan Agung Majelis Desa

Pakraman Bali terhadap pelaksanaan otonomi desa pakraman. Dengan demikian,

hasil penelitian ini akan dapat menjadi bahan acuan yang penting bagi Majelis

Desa Pakraman Bali untuk mengevaluasi kinerjanya di masa depan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan atas latar belakang masalah tersebut di atas, maka

permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai

berikut:

1. Bagaimanakah pelaksanaan Keputusan Pesamuhan Agung Majelis Desa

Pakraman Bali dalam penyelenggaraan investasi kepariwisataan di wilayah

desa pakraman ?

2. Faktor faktor apakah yang berpengaruh terhadap pelaksanaan Keputusan

Pesamuhan Agung Majelis Desa Pakraman Bali dalam penyelenggaraan

investasi kepariwisataan di wilayah desa pakraman ?

7

3. Apa upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan efektivitas

pelaksanaan Keputusan Pesamuhan Agung Majelis Desa Pakraman Bali

dalam penyelenggaraan investasi kepariwisataan di wilayah desa pakraman ?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Guna membahas permasalahan di atas maka penulis membatasi ruang

lingkup permasalahan pada bagaimana Pelaksanaan Keputusan Pesamuhan Agung

Majelis Desa Pakraman Bali dalam penyelenggaraan investasi kepariwiasataan,

faktor-faktor yang mempengaruhi Pelaksanaan Keputusan Pesamuhan Agung

Majelis Desa Pakraman Bali dan yang terakhir adalah upaya yang menpengaruhi

dalam peningkatan efektivitas pelaksanaan Keputusan Pesamuhan Agung I MDP

Bali dalam penyelenggaraan investasi kepariwisataan di wilayah desa pakraman.

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum :

Secara umum penelitian ini untuk mengetahui dan menganalisis secara

mendalam mengenai pelaksanaan Keputusan Pesamuhan Agung Majelis Desa

Pakraman Bali dalam penyelenggaraan investasi kepariwisataan di wilayah desa

pakraman.

1.4.2 Tujuan Khusus :

Secara khusus tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis secara kritis bagaimana pelaksanaan

Keputusan Pesamuhan Agung Majelis Desa Pakraman Bali dalam

penyelenggaraan investasi kepariwisataan di wilayah desa pakraman.

8

2. Untuk menganalisis secara mendalam faktor-faktor yang berpengaruh dalam

pelaksanaan Keputusan Pesamuhan Agung Majelis Desa Pakraman Bali

dalam penyelenggaraan investasi kepariwisataan di wilayah desa pakraman.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis upaya-upaya yang dilakukan untuk

meningkatkan efektivitas pelaksanaan Keputusan Pesamuhan Agung Majelis

Desa Pakraman Bali dalam penyelenggaraan investasi kepariwisataan di

wilayah desa pakraman.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis,

yaitu untuk pengembangan ilmu hukum, khususnya ilmu hukum yang berkaitan

dengan bekerjanya hukum dalam masyarakat (law is in action). Hasil kajian

tentang Keputusan Pesamuhan Agung Majelis Desa Pakraman Bali diharapkan

dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu hukum, terutama dalam

konsep hukum sebagai hukum yang terbentuk dari pengaturan tersendiri dari

lembaga adat, dalam hal ini MDP yang merupakan wadah tunggal dari kesatuan-

kesatuan masyarakat hukum adat desa pakraman.

1.5.2 Manfaat praktis

Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat praktis,

yaitu sebagai sumbangan pemikiran dalam pelaksanaan Keputusan Pesamuhan

Agung Majelis Desa Pakraman Bali, khususnya pelaksanaan keputusan yang

terkait dengan penyelenggaraan investasi kepariwisataan di wilayah desa

pakraman.

9

1.6 Orisinalitas Penelitian

Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan baik

terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan,

hingga saat ini belum ada hasil penelitian dalam bentuk tesis ataupun penelitian

lainnya yang berkaitan dengan Pelaksanaan Keputusan Pesamuhan Agung

Majelis Desa Pakraman Bali dalam penyelenggaraan investasi kepariwisataan di

wilayah desa pakraman. Memang, dari penelusuran kepustakaan ditemukan

penelitian yang cukup dekat dengan topik penelitian ini, yaitu yang berkaitan

dengan pelaksanaan atas efektivitas hukum dan penelitian terkait dengan

kepariwisataan.

Terkait dengan efektivitas hukum ditemukan penelitian sebagai berikut.

Pertama, dilakukan oleh I Wayan Wiratha, yang meneliti efektivitas awig awig

(2011), dengan judul: Efektivitas Awig-Awig Desa Pakraman Dalam Mengatur

Penduduk Pendatang di Bali. Permasalahan yang diteliti oleh I Wayan Wiratha

adalah (1). Pengaturan penduduk pendatang terkait dengan awig-awig desa

pakraman, dan yang (2). Sikap penduduk pendatang terhadap awig-awig desa

pakraman. Dari hasil penelitian efektivitas awig awig ini dapat di ketahui bahwa:

pelaksanaan awig awig desa pakraman dalam mengatur penduduk pendatang

dapat berlaku secara efektif 5.

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh I Dewa Putu Tagel yang

berjudul : Kesadaran hukum masyarakat pengguna jalan terhadap peraturan lalu

lintas di Kota Denpasar, dalam penelitian tersebut permasalahan yang dibahas

5 I Wayan Wiratha, 2011, “Efektivitas Awig Awig Desa Pakraman Dalam mengatur

Penduduk Pendatang di Bali”, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar,

selanjutnya di singkat wayan wiratha 1, hal.92

10

adalah tingkat kesadaran hukum masyarakat pengguna jalan, dan faktor-faktor

yang mempengaruhi kesadaran hukum masyarakat pengguna jalan, dari hasil

penelitian tersebut dapat diketahui bahwa tingkat kesadaran hukum masyarakat

pengguna jalan khususnya pengguna sepeda motor sangat rendah, hal ini dapat

dilihat dari pengetahuan, pemahaman dan perilaku masyarakat terhadap hukum

atau aturan lalu lintas, faktor-faktor yang mempengaruhi kesadaran masyarakat

pengguna jalan antara lain : Undang-Undang Lalu Lintas, Peranan Polisi Lalu

Lintas dan kurang tegasnya Aparat Penegak Hukum.6

Terkait dengan kepariwisataan ditemukan penelitian berupa Tesis

sebagai berikut. Pertama dilakukan oleh Ni Made Ary Widiastini (2008), Tesis

dengan Judul : Pemanfaatan Puri sebagai objek dan daya tarik wisata serta

implikasinya terhadap Desa Pakraman Ubud, Gianyar, Bali. Penelitian ini

menyatakan bahwa Puri Ubud merupakan salah satu objek wisata yang ada

dikawasan pariwisata Ubud, Kabupaten Gianyar. Puri Ubud menerima kunjungan

pada tahun 1930-an yang diprakarsai oleh Cokorda Raka Sukawati. Potensi yang

dimiliki Puri Ubud sangat menarik sehingga mampu menjadi daya tarik

wisatawan. Perkembangan Puri Ubud sebagai objek dan daya tarik wisata telah

mampu melakukan simbiosis mutualitis/saling melengkapi komunitas sekitarnya7.

Kedua, Penelitian yang dilakukan oleh Ni Ketut Muriani (2008), Tesis dengan

judul: Penerapan Prinsip Desentralisasi Dalam Bidang Kepariwisataan Di

6 I Dewa Putu Tagel, 2013, “ Kesadaran Hukum Masyarakat Pengguna Jalan Terhadap

Lalu Lintas Di Kota Denpasar,” Tesis, Program Pascasarjana Universitas Udayana, selanjutnya di

singkat Putu Tagel I, hal. 75 7 Ni Ketut Nuriani, 2008, “Penerapan Prinsip Desentralisasi dalam Bidang

Kepariwisataan di Kabupaten Badung”, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Udayana,

selanjutnya di singkat Ketut Nuriani 1, hal. 87

11

Kabupaten Badung. Penelitian ini menyatakan bahwa Penerapan prinsip

desentralisasi dalam bidang kepariwisataan di Kabupaten Badung, kenyataannya

belum berjalan maksimal. faktor penghambat pelaksanaan prinsip desentralisasi

adalah faktor kewenangan yang masih terbatas di mana tidak keseluruhan urusan

menyangkut perijinan pariwisata diserahkan kewenangannya oleh Provinsi Bali,

dari sisi kelembagaan.8

Persamaan dan Perbedaan kajian;

Persamaan kajian penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah

terkait dengan peranan hukum di masyarakat adalah kesamaan perkajian meneliti

keefektivitasan pelaksanaan hukum di masyarakat dalam artian mengkaji

bekerjanya hukum di masyarakat (law in action or law is in society).

Persamaan terkait kepariwisataan:

Persamaan kajian penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah

dalam hal mengkaji suatu objek yang menyangkut faktor faktor dan konsekuensi

kegiatan dalam kepariwisataan di masyarakat.

Perbedaan kajian:

Perbedaan kajian ini dengan kajian terdahulu adalah topik permasalahan

yang dikaji dalam penelitian ini berbeda dimana fokus, tempat, dan submateri

yang dikaji berbeda yaitu penulis mengkaji sebuah keputusan dari satu satunya

lembaga adat di Bali terhadap Pelaksanaan Keputusan Pesamuhan Agung Majelis

Desa Pakraman Bali Dalam Penyelenggaraan Investasi Kepariwisataan Di

Wilayah Desa Pakraman atau keputusan yang mengatur tentang penanaman modal

8 Ni Made Ary Widiastini, 2008, “Pemamfaatan Puri Sebagai Objek dan Daya Tarik

Wisata serta Imflikasinya terhadap Desa Pakraman Ubud, Gianyar Bali”, Tesis, Program

Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar, selanjutnya disingkat Ary Widiastini 1,hal.93

12

oleh investor baik dalam maupun luar negeri di dalam wilayah desa pakraman.

Dengan demikian penelitian tesis yang penulis kerjakan sama sekali belum ada

yang membahas, sehingga orisinalitas penelitian ini dapat terjamin.

1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir

1.7.1. Landasan Teori.

Setiap penelitian selalu disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis.

Landasan teori adalah upaya untuk mengindentifikasikan teori hukum, konsep

hukum, aturan/norma norma sebagai dasar untuk memecahkan suatu

permasalahan penelitian.9 Oleh karena itu dalam penelitian ini digunakan teori-

teori hukum, konsep hukum dan norma hukum yang ada sebagai dasar analitis

untuk memecahkan permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini.

a) Teori Hukum Investasi

Salah satu teori hukum yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah

Teori Hukum Investasi. Teori ini akan dipakai untuk membahas masalah

Pelaksanaan Keputusan Pesamuhan Agung Majelis Desa Pakraman Bali Dalam

Penyelenggaraan Investasi Kepariwisataan Di Wilayah Desa Pakraman maka dari

itu untuk menjawab permasalahan tersebut terlebih dahulu harus dipahami konsep

investasi.

Untuk membahas teori investasi terlebih dahulu akan ditelusuri tentang

investasi. Menurut Ida Bagus Wyasa Putra dkk :

Investasi atau Investment (penanaman modal) merupakan konsep ekonomi

pada umumnya berintikan tindakan mengalosikan sumber-sumber yang

9 PS. Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Unud, 2013. Pedoman Penulisan

Usulan Penelitian Tesis dan Penulisan Tesis Program Studi Magister(S2) ilmu hukum,

PS.Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Unud, Denpasar, hal.29

13

didasarkan pada analisis bahwa alokasi tersebut akan mendatangkan hasil

yang memuaskan. Hasil analisis dituangkan dalam suatu rencana dan

proyeksi-proyeksi sesuai dengan tingkatkannya.10

Selanjutnya Ida Bagus Wyasa Putra dkk, mengatakan bahwa dalam ekonomi

dikenal berbagai jenis investasi, antara lain dapat dibedakan dari aspek pelakunya

meliputi: (1). Autonomous investment dan (2). induced investment.11

Autonomous

investment atau investasi otonom merupakan investasi yang dilakukan oleh

pemerintah. Biasanya investasi jenis ini dialokasikan dalam rangka pengadaan

fasilitas umum, seperti: jalan raya, jembatan, bendungan, saluran irigasi, fasilitas

pertahanan dan lain-lain, sehingga seringkali disebut investasi publik (public

investment). Investasi publik tersebut tidak memberikan keuntungan langsung

kepada investor. Pemerintah membangun jalan raya tidak memperoleh

keuntungan finansial secara langsung dari jalan itu. Akan tetapi dengan adanya

jalan raya sebagai prasarana vital, dapatlah diharapkan peningkatan sarana

transportasi dan pertumbuhan ekonomi. Dari peningkatan itu pemerintah akan

memperoleh penerimaan untuk negara melalui pajak.

Induced investment atau investasi dorongan merupakan investasi yang

timbul akibat adanya pertambahan permintaan efektif yang nyata di pasar.

Kenaikan tersebut disebabkan adanya peningkatan pendapatan masyarakat. Dapat

dikemukakan investasi ini timbul sebagai respon terhadap pasar.

Selain itu dalam ekonomi dikenal pula jenis-jenis investasi, seperti real

investment dan impair investment. Real investment atau investasi nyata

10

Wyasa Putra Ida Bagus, 2003, et all, Hukum Pariwisata, Revika Aditama, Bandung,

h.51 11

Ibid., h. 53.

14

merupakan pengeluaran (expenditure) yang menciptakan suatu benda modal

addisional baru (istilah ini digunakan untuk membedakannya dengan financial

investment), sedangkan impair investment atau investasi yang tak menciptakan

benda modal baru, misalnya pembelian efek-efek yang sudah ada dari pemilikan

atau pun pinjaman untuk tujuan konsumtif.12

Dapat disimak dari pengertian tersebut bahwa ternyata investasi tidak

terbatas pada harus dilakukan secara langsung menjalankan perusahaan (direct

investment). Investasi dapat dilakukan secara tidak langsung (indirect investment)

atau tanpa mendirikan perusahaan baru. Dalam hal ini dapat berupa pembelian

obligasi, saham perusahaan dan surat surat berharga. Jadi dengan demikian dalam

kaitan dengan masalah pertama ini pemerintah telah berinvestasi dengan

membangun askes jalan, jembatan, terminal, alte bus, pasar umum, pasar seni,

saluran irigasi dan lain-lain.

Investasi berpengaruh terhadap kelancaran perkembangan

kepariwisataan. Seperti yang di ungkapkan oleh MENPAREKRAF, Marei Elka

Pangestu bahwa: hingga akhir Tahun 2013 investasi di sektor pariwisata mencapai

602.648 juta dollar US yang terdiri dari 462,47 juta US dalam PMA dan 140,18

juta US dalam bentuk PMDN. Sebagian besar investasi untuk membangun hotel

dan restaurant. Hal ini menyebabkan pariwisata menjadi penghasil devisa

menempati peringkat ke 4 setelah minyak/gas bumi, batu bara dan kelapa sawit.

Pariwisata juga memberikan kontribusi 3,8 persen terhadap PDB Nasional serta

10 - 18 juta lapangan kerja atau 8,9 persen secara Nasional. APKASI

12

Winardi, 1982, Kamus Ekonomi , Alumni, Bandung

15

(international trade and investment summit (AITIS) 2014 di Jakarta. Senin. 14

Maret 2014).13

b) Teori Kepastian Hukum

Dalam hukum kontrak terdapat suatu prinsip bahwa perjanjian yang

dibuat dengan itikad baik mengikat para pembuatnya sebagaimana yang di

maksud undang-undang.14

Apabila hal ini disimpangi oleh pengadilan berarti

pengadilan telah menyimpangi sesuatu yang telah disepakati oleh para pihak

sehingga mengancam kepastian hukum. Demikian pula halnya dengan

penyimpangan terhadap aturan yang dibuat oleh mereka yang berwenang dalam

membuat aturan menyebabkan adanya ketidakpastian hukum.

Merupakan suatu kenyataan dalam hidup bermasyarakat diperlukan

aturan-aturan yang bersifat umum. Betapa pun setiap kepentingan yang ada di

dalam masyarakat dipertimbangkan untuk dituangkan di dalam aturan yang

bersifat umum agar kepentingan-kepentingan itu dilindungi. Sedemokratis apa

pun kehidupan bernegara dan bermasyarakat suatu bangsa, tidak mungkin aturan-

aturan itu dapat mengakomodasi semua kepentingan. Begitu pula dalam

kehidupan nyata kasus-kasus yang unik jarang terjadi, yang terjadi adalah

masalah-masalah umum yang timbul dari adanya kepentingan yang harus

dilayani. Hal itu pun perlu dituangkan di dalam aturan yang bersifat umum juga.

Pada masyarakat modern aturan yang bersifat umum tempat dituangkannya

perlindungan kepentingan-kepentingan itu adalah undang-undang.

13

Anonim, “Investasi Pariwisata Capai 603 juta US”, Bali Post, 15 April 2014, kol.3,

hal.21 14

Agus Yudha Hernoko, 2011, Hukum Perjanjian dalam Kontrak Komersial, Kencana

Persada Media,Jakarta, hal.15

16

Aturan hukum baik berupa undang-undang maupun hukum tidak

tertulis demikian berisi aturan yang bersifat umum yang menjadi pedoman bagi

individu bertingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat, baik dalam hubungan

dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-

aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan

tindakan terhadap individu. Adanya aturan semacam itu dan pelaksanaan aturan

tersebut menimbulkan kepastian hukum yaitu hukum yang berwibawa menjadi

indikator bahwa hukum akan di patuhi. Lahirnya sebuah Norma juga di tentukan

oleh waktu dan tempat, seperti yang di ungkapkan oleh Steven Vago: why do we

need law, and what does it do for society? More specifically, what functions does

law perform? A variety of functions are highlighted in the literature depending on

the condition under which law operates at a particular time and place 15

Dengan demikian kepastian hukum mengandung dua pengertian yaitu:

pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui

perbuatan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan

hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan

yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh

dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum

bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang saja.

Roscoe Pound mengatakan adanya kepastian hukum memungkinkan

adanya predictability16

. Apa yang di kemukakan oleh Roscoe Pound, di

ketengahkan juga oleh Oliver Wendell Holmes dengan pandangan realismenya.

15

Steven Vago, 1981, Law and Society, fifth edition. New Jersey Prentice Hall Inc, h.54 16

Roscoe Pound, 1972 , Pengantar Fi lsa fat Hukum, Ter jemahan

Muhamad Radjab, B hatara, Jakar ta , h . 15

17

Holmes mengatakan: The prophecies of what the Courts will do in fact and

nothing more pretentious are what I mean by law. Oleh Van Apeldoorn dikatakan

bahwa pandangan tersebut kurang tepat karena pada kenyataannya hakim juga

dapat memberi putusan yang lain dari apa yang di duga oleh pencari hukum.17

Tetapi pendapat Van Apeldoorn atas pandangan yang dikemukakan

oleh Holmes juga mempunyai kelemahan. Memang benar hakim mempunyai

kebebasan untuk menafsirkan peraturan hukum, memiliki diskresi bahkan

bilamana perlu membuat hukum. Namun demikian adanya peraturan untuk

masalah yang konkret dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan perkara yang

dihadapkan kepadanya. Bahkan putusan hakim yang dibuat bukan atas dasar

peraturan, melainkan atas dasar nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dapat

dijadikan landasan bagi hakim berikutnya dalam menghadapi kasus serupa.

(Yurisprudensi).

Begitu juga desa pakraman di dalam menerima investor harus melihat

keadaan di masyarakat apakah krama/masyarakat dapat menerima investor

tersebut, bagaimana dengan dampak lingkungan dalam hal ini penerapannya

dengan Tri Hita Karana, hubungan antara investor dengan masyarakat lain,

hubungan investor dengan keberadaan tempat suci disekitar wilayah desa

pakraman dan lingkungan (palemahan) sekitarnya. Hal ini penting karena sering

terjadi tatkala investor sudah menanamkan modalnya di suatu desa pakraman,

tidak jarang setelah terwujud masyarakat malah tidak setuju, akses jalan ditutup,

17

Riddall J.G, 2005, Jurisprudence, Oxford: University Press, h. 110

18

proyek di pagari, manajemen perusahaan di gugat bahkan dengan kekerasan dan

lain-lain.

Untuk menghindari hal inilah diperlukan kepastian hukum dalam

penanaman modal, sehingga investor terjamin oleh hukum dalam hal ini

disamping mengacu pada Hukum Negara tentang penanaman investasi juga harus

menurut peraturan peraturan di bawahnya, termasuk hukum adat yang hidup

dalam masyarakat. Di Bali, hukum adat dapat ditemukan dalam wujud awig awig

desa pakraman serta keputusan lembaga-lembaga adat, seperti Keputusan

Pesamuhan Agung Majelis Desa Pakraman Bali. Dengan demikian permasalahan

dapat ditekan baik dari investor maupun dari desa pakraman, yang kena dampak

serta selaku penghuni wilayah (palemahan).

c) Teori Efektivitas Hukum

Penelitian ini menggunakan Teori Efektivitas Penegakan Hukum dari

Soerjono Soekanto. Teori ini digunakan untuk mengkaji permasalahan ketiga.

Menurut Soerjono Soekanto terdapat lima faktor yang mempengaruhi pelaksanaan

hukum dalam masyarakat, yaitu sebagai berikut:

1. Faktor kaidah hukum/peraturan itu sendiri;

2. Faktor petugas/penegak hukum;

3. Faktor sarana atau fasilitas yang digunakan oleh penegak hukum;

4. Faktor masyarakat; dan

5 Faktor kebudayaan masyarakat.18

Berikut ini penjelasan dari Soerjono Soekanto masing-masing faktor, yaitu:

18

Soerjono Soekanto, 2004, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT.

Raja Grafika Persada, Jakarta, h. 8.

19

1. Faktor Hukum

Secara konsepsional inti dan arti penegakan hukum terletak pada

kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-

kaidah yang mantap, dan mengejawantahan dalam sikap tindak sebagai rangkaian

penjabaran ini, tahap akhir untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan

kedamaian pergaulan hidup. Mengenai berlakunya hukum sebagai kaidah, hal ini

di ungkapan sebagai berikut:

a) Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan

pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang

telah ditetapkan.

b) Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif.

Artinya, kaidah dimaksud dapat dipaksakan (teori kekuasaan) atau kaidah

itu berlaku karena adanya pengakuan dari masyarakat.

c) Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum

sebagai nilai posistif yang tertinggi.

Mengkajinya lebih dalam agar hukum itu berfungsi maka setiap kaidah

hukum harus memenuhi ketiga macam unsur di atas, sebab apabila tidak: (1) Bila

kaidah hukum hanya berlaku secara yuridis, ada kemungkinan kaidah itu

merupakan kaidah mati; (2) Kalau hanya berlaku secara sosiologis dalam arti teori

kekuasaan, maka kaidah itu menjadi aturan pemaksa; (3) Apabila hanya berlaku

secara filosofis, kemungkinan kaidah itu hanya merupakan hukum yang dicita-

citakan (ius constituendum).

20

2. Faktor Penegak Hukum

Pengertian dari istilah “penegakan hukum” demikian luas karena

mencakup baik secara langsung (direct) maupun secara tidak langsung (indirect)

dalam hal penegakan hukum. Menurut Soerjono Soekanto bahwa:

Penegak hukum pada kalangan yang secara langsung berkecimpung dalam

bidang penegakan hukum tidak hanya mencakup ”law enforcement” akan

tetapi pula “peace maintenance” kalangan itu mereka yang bertugas di

bidang bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan dan

pemasyarakatan. 19

Oleh karena itu yang di maksud penegak hukum atau orang yang

bertugas menerapkan hukum mencakup ruang lingkup sangat luas, sebab

menyangkut petugas pada strata atas, menengah dan bawah. Artinya, di dalam

melaksanakan tugas-tugas penerapan hukum petugas seyogianya harus memiliki

suatu pedoman, di antaranya peraturan tertulis tertentu yang mencakup ruang

lingkup tugas-tugasnya. Di dalam hal penegakan hukum dimaksud kemungkinan

petugas penegak hukum menghadapi hal-hal sebagai berikut.

a) Sampai sejauh mana petugas terikat dari peraturan-peraturan yang ada?

b) Sampai batas-batas mana petugas berkenan memberikan kebijakan?

c) Teladan macam apakah yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada

masyarakat?

d) Sampai sejauh manakah derajat sinkronisasi penugasan-penugasan yang

diberikan kepada para petugas sehingga memberikan batas-batas yang

tegas pada wewenangnya.20

3. Faktor Sarana

Sarana amat penting untuk mengefektifkan suatu aturan tertentu.

Ruang lingkup sarana dimaksud terutama sarana fisik yang berfungsi sebagai

faktor pendukung. Misalnya, bila tidak ada kertas dan karbon yang cukup serta

19

Soerjono Soekanto IV, Op.Cit., hal.13 20

H Abdulmanan, 2005, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana Press Nada Media,

Jakarta, h. 98

21

mesin ketik yang cukup baik, bagaimana petugas dapat membuat berita acara

mengenai suatu kejahatan. Bagaimana polisi dapat bekerja dengan baik apabila

tidak dilengkapi dengan kendaraan dan alat-alat komunikasi yang proporsional.

Kalau peralatan dimaksud sudah ada, faktor-faktor pemeliharaan juga memegang

peran penting. Memang sering terjadi bahwa suatu peraturan yang semula

bertujuan untuk memperlancar proses, malahan mengakibatkan terjadinya

kemacetan. Mungkin ada baiknya ketika hendak menerapkan suatu peraturan

secara resmi ataupun memberikan tugas kepada petugas, dipikirkan mengenai

fasilitas-fasilitas yang berpatokan kepada: (1) apa yang sudah ada, dipelihara terus

agar setiap saat berfungsi; (2) apa yang belum ada, perlu diadakan dengan

memperhitungkan jangka waktu pengadaannya; (3) apa yang kurang, perlu

dilengkapi; (4) apa yang telah rusak, diperbaiki atau diganti; (5) apa yang macet,

dilancarkan; (6) apa yang telah mundur, ditingkatkan.

4. Faktor Masyarakat

Salah satu faktor yang mengefektifkan suatu peraturan adalah warga

masyarakat. Yang di maksud adalah kesadaran untuk mematuhi suatu peraturan

perundang-undangan, yang kerap disebut derajat kepatuhan. Secara sederhana

dapat dikatakan, bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan

salah satu indikator berfungsinya hukum. Sebagai contoh dapat diungkapkan

sebagai berikut :

1) Apabila derajat kepatuhan terhadap peraturan rambu-rambu lalu lintas

adalah tinggi maka peraturan lalu lintas dimaksud, pasti akan berfungsi,

yaitu mengatur waktu penyeberangan pada persimpangan jalan. Oleh

karena itu, bila rambu-rambu lintas warna kuning menyala, para

pengemudi diharapkan memperlambat laju kendaraannya. Namun bila

terjadi sebaliknya, kendaraan yang di kemudikan di percepat lajunya atau

tancap gas besar kemungkinan akan terjadi tabrakan.

22

2) Bagi orang Islam Indonesia termasuk warga masyarakat Islam yang

mendiami Kota Palu, tahu dan paham tentang Undang-Undang Nomor 38

Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Undang-undang dimaksud, lahir

dari adanya ajaran Islam yang mewajibkan berzakat bagi setiap muslim

yang mempunyai penghasilan, baik penghasilan dari pekerjaan profesi

sebagai pegawai negeri, pejabat structural, maupun pejabat fungsional.

Namun demikian, masih ditemukan pegawai negeri sipil dimaksud,

mengeluarkan zakatnya tanpa melembaga. Artinya orang Islam dimaksud,

memerikan zakat kepada orang yang dianggap berhak menerimanya.

Padahal baik peraturan perundang-undangan maupun ajaran Islam

(Aquran) menghendaki agar zakat dikeluarkan melalui lembaga amil

zakat. Sebab, salah satu fungsi sosial zakat adalah pemenuhan hak bagi

delapan golongan yang berhak menerima zakat dalam mewujudkan

kesejahteraan dan keadilan sosial.21

Berdasarkan dua contoh di atas persoalan adalah (1) Apabila peraturan

baik tetapi warga masyarakat tidak mematuhinya faktor apakah yang

menyebabkannya? (2) Apabila peraturan itu baik serta petugas cukup berwibawa,

fasilitas cukup mengapa masih ada yang tidak mematuhi peraturan perundang-

undangan ?

Selain masalah di atas masih ada persoalan lain, yaitu adanya suatu

asumsi yang menyatakan bahwa apabila semakin besar peran sarana pengendalian

sosial selain hukum seperti agama dan adat istiadat semakin kecil peran hukum.

Seperti halnya desa pakraman (krama desa pakraman) mempunyai peran terhadap

penanaman investasi kepariwisataan di wilayahnya. Oleh karena itu hukum tidak

dapat dipaksakan keberlakuannya di dalam segala hal, selama masih ada sarana

lain yang ampuh. Hukum hendaknya di pergunakan pada tingkat yang terakhir

bila sarana lain tidak mampu lagi untuk mengatasi masalah. Terkait dengan hal

tersebut perlu di ungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan kesadaran masyarakat

21

Soetandyo Wignjosoebroto, 2008, Hukum Dalam Masayarakat Perkembangan dan

Masalah, Banyumedia Publishing, Malang, h.162

23

terhadap hukum, yaitu : (1) Penyuluhan hukum yang teratur; (2) Pemberian

teladan yang baik dari petugas dalam hal kepatuhan terhadap hukum dan respek

terhadap hukum; (3) Pelembagaan yang terencana dan terarah.

5. Faktor Kebudayaan

Faktor kebudayaan yang sebenarnya bersatupadu dengan faktor

masyarakat sengaja dibedakan, karena di dalam pembahasannya di ketengahkan

masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau non-

materiil. Sebagai suatu sistem (atau subsistem dari sistem kemasyarakatan) maka

hukum mencakup struktur, subtansi dan kebudayaan. Struktur mencakup wadah

ataupun bentuk dari sistem tersebut umpamanya, mencakup tatanan lembaga-

lembaga hukum formal, hubungan antara lembaga-lembaga tersebut, hak dan

kewajiban dan seterusnya, substansi mencakup isi norma hukum beserta

perumusan maupun cara untuk menegakkan yang berlaku bagi pelaksana hukum

maupun pencari keadilan. Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup

nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan

konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (dianuti) dan apa yang

dianggap buruk (dihindari). Nilai-nilai tersebut lazimnya merupakan pasangan

nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus diserasikan. Hal

ini menjadi pokok pembicaraan di bagian faktor kebudayaan.

Pasangan nilai yang berperanan dalam hukum adalah sebagai berikut :

1. Nilai ketertiban dan nilai ketentraman,

2. Nilai jasmaniah/kebendaan dan nilai rohaniah/keakhlakan,

3. Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovasitisme.

24

Dalam keadaaan sehari-hari nilai ketertiban biasa disebut dengan

keterikatan atau disiplin sedangkan nilai ketentraman merupakan suatu kebebasan.

Secara Psikologis keadaan tenteram ada bila seorang tidak merasa khawatir, tidak

merasa diancam dari luar dan tidak terjadi konflik bathiniah. Pasangan nilai

tersebut yaitu ketertiban dan ketentraman di mana kedua hal tersebut sebenarnya

sejajar dengan nilai kepentingan umum dan kepentingan pribadi. Dalam bidang

tata hukum publik (seperti misalnya hukum tata negara, hukum administrasi

negara dan hukum pidana) harus mengutamakan nilai ketertiban dan dengan

sendirinya sejalan dengan nilai kepentingan umum. Akan tetapi dalam bidang

hukum perdata (misalnya hukum harta kekayaan, hukum keluarga dan hukum

waris), nilai ketentraman justru lebih diutamakan. Hal ini berarti bahwa di dalam

hukum publik nilai ketenteraman boleh di abaikan, sedangkan di dalam hukum

perdata nilai ketertiban sama sekali tidak di perhatikan. Pasangan nilai ketertiban

dan nilai ketenteraman merupakan pasangan nilai yang bersifat universal hanya

mungkin keserasian berbeda menurut keadaan masing-masing kebudayaan di

mana pasangan nilai tadi di terapkan.

Di Indonesia nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat seperti yang di

katakan oleh Koesnoe sebagai berikut:

Individu adalah bagian/ akar dari masyarakat yang mempunyai fungsi

masing-masing demi kelangsungan masyarakat (sebagai lingkungan

kesatuan) di mana setiap individu berusaha mengabdi demi kepentingan

masyarakat artinya kepentingan individu diletakkan pada kepentingan

umum. Oleh sebab itu ketentuan adat mesti dijalani tanpa ada persyaratan

dengan jaminan atau keterpaksaan sehingga kesalah kaprahan yaitu dengan

sebutan hukum adat, tidaklah merupakan hukuman.22

22

Moh Koesnoe, 1969,” Peranan Hukum Adat di Dalam Pembangunan Nasional”, Prae-

Advies Seminar Awig-Awig, Denpasar, Bali, h.64.

25

Hal hal yang telah di jelaskan oleh Moh. Koesno, merupakan

kebudayaan Indonesia yang mendasari hukum adat yang berlaku. Hukum adat

tersebut merupakan hukum kebiasaan yang berlaku di kalangan rakyat banyak. Di

samping itu berlaku pula hukum tertulis (perundang-undangan) yang timbul dari

golongan tertentu dalam masyarakat yang mempunyai kekuasaan dan wewenang

resmi. Hukum perundang-undangan tersebut harus dapat mencerminkan nilai-nilai

yang menjadi dasar dari hukum adat supaya hukum perundang-undangan tersebut

berlaku efektif.

1.7.2 Konsep

Dalam penelitian konsep berfungsi menghubungkan antara teori dengan

observasi antara abstraksi dengan realitas23

. Oleh karena realitas sosial sering kali

tidak dapat ditangkap oleh pancaindera manusia, dalam penelitian hukum peneliti

perlu terlebih dahulu mendefinisikan konsep dengan jelas supaya tidak terjadi

kesalahan dalam pengukuran. Di katakan oleh Sofian yang dikutip oleh

Wardiyanta, konsep adalah “istilah dan definisi yang digunakan untuk

menggambarkan sesuatu secara abstrak. Sesuatu yang dimaksud adalah kejadian,

keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial.24

Konsep-konsep hukum dimanfaatkan untuk mendefinisikan beberapa

istilah yang di pergunakan dalam penelitian ini sehingga dapat fokus menemukan

jawaban permasalahan yang diajukan dalam rumusan masalah di atas. Adapun

konsep-konsep yang perlu dikelaskan di sini adalah konsep: a. Keputusan

23

Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja

Grafindo Persada, Jakarta, h. 47 24

Wardiyanta, 2006, Metode Penelitian Pariwisata, Penerbit Andi Yogjakarta, h.9.

26

Pesamuhan Agung Majelis Desa Pakraman Bali, b. Investasi, c. Kepariwisataan,

d. Desa Pakraman dan Wilayah Desa Pakraman.

a. Keputusan Pesamuhan Agung Majelis Desa Pakraman

Dalam penelitian ini yang dimaksudkan dengan Keputusan Pesamuhan

Agung Majelis Desa Pakraman adalah keputusan yang di hasilkan dari salah satu

forum musyawarah Majelis Desa Pakraman yang menyangkut masalah adat dan

agama. Berdasarkan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Majelis Desa

Pakraman. Forum musyawarah yang di miliki oleh Majelis Desa Pakraman adalah

(1). Pesangkepan, (2). Paruman, (3). Pesamuhan.25

Dalam buku Himpunan Hasil Pesamuhan Agung IV Majelis Desa

Pakraman Bali, secara tersirat disebutkan bahwa, Keputusan Pesamuhan Agung

Majelis Desa Pakraman adalah suatu hasil rumusan tentang hidup dan kehidupan

masyarakat hukum adat atau warga desa pakraman di Bali yang disepakati,

selanjutnya dijadikan acuan dalam mengendalikan kehidupan di desa pakraman.

Lebih lanjut di dalam himpunan hasil-hasil Pesamuhan Agung IV Majelis Desa

Pakraman Bali, secara eksplisit disinggung bahwa, Keputusan Pesamuhan Agung

Majelis Desa Pakraman adalah : “Suatu Ketetapan Kesatuan tafsir adat dan hukum

Adat Bali yang dihasilkan oleh forum rapat kerja tertinggi Majelis Desa Pakraman

Bali untuk dijadikan pedoman bagi segenap prajuru desa pakraman dan ataupun

jajaran Majelis Desa Pakraman di Bali”.

25

Pasal 21 dan pasal 28 Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga Majelis Desa

Pakraman. Tahun 2004

27

b. Investasi

Istilah investasi berasal dari bahasa Latin, yaitu investire (memakai),

sedangkan dalam bahasa Inggris disebutkan dengan investment. Para ahli

memiliki pandangan yang berbeda mengenai konsep teoritis investasi. Fitzgeral

mengartikan investasi adalah: aktivitas yang berkaitan dengan usaha penarikan

sumber-sumber (dana) yang dipakai untuk mengadakan barang modal pada saat

sekarang dan dengan barang modal akan dihasilkan aliran produk baru di masa

yang akan datang.26

Dalam definisi ini investasi dikontruksikan sebagai sebuah kegiatan

untuk:

1. Penarikan sumber dan yang digunakan untuk pembelian barang modal; dan

2. Barang modal itu akan dihasilkan produk baru.

c. Kepariwisataan

Pengertian Kepariwisataa menurut ketentuan umum undang undang No

10 Tahun 2009, Bab I pasal 1 angka 4 tentang kepariwisataan menyebutkan

bahwa: ”Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan

pariwisata dan multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang

dan Negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama

wisatawan, pemerintah, pemerintah daerah dan pengusaha”.

Hunzieler dan K Kraf yang di kutif oleh H. Oka A. Yoeti mengatakan bahwa:

Kepariwisataan adalah keseluruhan dari gejala-gejala yang ditimbulkan

oleh perjalanan dan pendiaman orang-orang asing serta penyediaan tempat tinggal

26

H. Salim dan Budi Sutrisno, 2012, Hukum Investasi di Indonesia, PT Raja Grafindo

Persada Jakarta, h. 31

28

sementara, asalkan pendiaman itu tidak tinggal menetap dan tidak memperoleh

penghasilan dari aktivitas yang bersifat sementara itu.27

Batasan ini merupakan definisi yang diterima secara offisial oleh The

Association Internationalie des Experts Scientifique du Tourisme (AIEST) yang

berlaku hingga saat ini. Kemudian Salah Wahab (seorang berkebangsaan Mesir)

dalam bukunya yang berjudul An Introduction on Tourism Theory,

mengemukakan bahwa batasan pariwisata hendaknya memperlihatkan anatomi

dari gejala-gejala yang terdiri dari tiga unsur yaitu : manusia (man) yakni orang-

orang yang melakukan perjalanan wisata; ruang (space) yakni daerah atau ruang

lingkup tempat di mana dilakukan perjalanan wisata; dan waktu (time) yakni

waktu yang digunakan selama dalam perjalanan dan tinggal di daerah tujuan

wisata.

Selanjutnya Made Metu Dahana mengatakan:

Pariwisata merupakan salah satu potensi yang diunggulkan untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini sejalan dengan fungsi

kepariwisataan yang tercantum pada Pasal 3 Undang-Undang No. 10 Tahun

2009 Tentang Kepariwisataan yaitu kepariwisaitaan berfungsi memenuhi

kebutuhan jasmani, rohani dan intelektual setiap wisatawan dengan rekreasi

perjalanan serta meningkatkan pendapatan Negara untuk mewujudkan

kesejahteraan rakyat. 28

Bagi suatu Negara yang menganggap pariwisata sebagai suatu industri

yang menghasilkan produk yang dikonsumsi di tempat tujuan maka ini dapat

dianggap sebagai suatu ekspor yang tidak kentara (invisible-export). Dan manfaat

27

Oka A. Yoeti, 2006, Pariwisata Budaya Masalah dan Solusinya. PT Pradnya

Paramita, Jakarta, h. 177 28

Made Metu Dahana, 2012, Perlindungan Hukum dan Keamanan Terhadap

Wisatawan, Paramita Surabaya, h.3

29

yang diperoleh dapat berpengaruh positif dalam perekonomian, kebudayaan dan

kehidupan sosial masyarakat.

Dari beberapa batasan yang dikemukakan di atas kelihatan bahwa pada

prinsipnya kepariwisataan dapat mencakup semua macam perjalanan, asal saja

perjalanan tersebut diikuti dengan pertamasyaan dan rekreasi. Dalam hal ini

diberikan suatu garis pemisah yang mengatakan bahwa perjalan tersebut di atas

tidak bermaksud untuk memangku suatu jabatan di suatu tempat atau daerah

tertentu sebab apabila perjalanan itu karena jabatan maka perjalanan terakhir ini

dapat digolongkan ke dalam perjalanan bukan untuk tujuan pertamasyaan atau

pariwisata.

d. Wilayah Desa Pakraman

Perda Provinsi Bali No. 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman,

memberikan pengertian desa pakraman sebagai berikut: ”Kesatuan masyarakat

hukum Adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata

krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam

ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu

dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangga sendiri”.

Selanjutnya Swellengrebel yang dikutip oleh I Made Suasthawa

Dharmayuda mendefinisikan desa pakraman sebagai berikut “Desa is often

defined as a community of worship. An important part of its function does, indeed,

lie in the religious field”,29

29

I Made Suasthawa Dharmayuda , 2001, Desa Adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat

di provinsi Bali, Upada sastra, Denpasar, h.3

30

Dengan pengertian ini desa pakraman merupakan lembaga tradisional

yang bercorak sosial relegius dan mempunyai wilayah tertentu. . Dalam Perda

Provinsi Bali No.3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, Pasal 4 tersirat bahwa

wilayah/lingkungan desa pakraman merupakan wilayah atau sebidang ruang di

darat yang di tempati oleh kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyai

batas-batas tertentu dalam ikatan Kahyangan Tiga/Kahyangan Desa30

. Wilayah

desa pakraman adalah ruang desa yang menjadi wewenang desa pakraman yang

pada umumnya dibatasi dengan batas-batas tertentu seperti: sungai, gunung,

telabah, parit, benggang, bukit dan pohon rindang yang besar seperti pohon

beringin, pohon pule dan lain-lain. Benggang adalah kawasan kosong yang

berfungsi sebagai ekologis di mana berbagai flora dan satwa dapat hidup bebas,

ruang jeda yang berguna sebagai paru-paru bagi kawasan sekitarnya. Para leluhur

sengaja menciptakan ruang kosong yang erat hubungannya dengan pemikiran

kosmologi orang Bali. Manusia memerlukan ruang kosong untuk melepas lelah,

berinspirasi, merenung (introspeksi/mulat sarira) sebelum akhirnya melanjutkan

perjalanan.31

1.7.3 Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir yang penulis pakai dalam membahas permasalahan

yaitu: berawal dari sebuah keputusan dari satu satunya lembaga majelis adat di

Bali tentang penanaman investasi di wewidangan desa pakraman. Kajian ini di

30

Tjok Istri Putra Astiti, 2010, Desa Adat Menggugat dan Digugat, Udayana

University Press, h. 11 31

Wayan P Windia dkk, 2011, Peta Desa Panduan Mengelola Konflik Batas

Wilayah, Udayana University Press, Denpasar, hal. 20

31

analisis dengan beberapa teori hukum diantaranya; teori investasi kepariwisataan,

teori kepastian hukum dan teori efektivitas.

Keputusan Pesamuhan Agung Majelis Desa Pakraman Bali dalam

penyelenggaraan investasi kepariwisataan diimplementasikan dalam masyarakat

serta kepada investor. Kedua belah pihak melakukan dialog berbagai hal tentang

pelaksanaan Keputusan Pesamuhan Agung, sehingga dari hasil rapat di dapat

langkah langkah pelaksanaan keputusan ini di antaranya:

Bagaimana pelaksanaan Keputusan Kesamuhan Agung Majelis Desa

Pakraman Bali bekerja, faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap pelaksanaan

Keputusan Pesamuhan Agung I Majelis Desa Pakraman dan upaya yang

mempengaruhi dalam meningkatkan efektivitas Pelaksanaan Keputusan

Pesamuhan Agung Majelis Desa Pakraman Bali dalam penyelenggaraan investasi

kepariwisataan di wilayah desa pakraman, dan selanjutnya dalam penerapan di

masyarakat apakah berjalan baik ataukah sebaliknya, dari hasil kajian di atas akan

di dapat sebuah rekomendasi tentang Keputusan Pesamuhan Agung Majelis Desa

Pakraman Bali dalam penyelenggaraan investasi kepariwisataan efektif ataukah

tidak efektif.

Rekomendasi ini untuk selanjutnya dapat dipakai sebagai bahan acuan

dan penilaian serta langkah evaluasi oleh lembaga Majelis Desa Pakraman Bali

dalam menentukan kinerjanya di masa yang mendatang. Jika kerangka berpikir

tersebut digambarkan dalam bentuk diagram/skema terlihat seperti skema berikut

ini:

32

DIAGRAM

KERANGKA BERPIKIR TENTANG PELAKSANAAN

KEPUTUSAN PESAMUAN AGUNG I MDP

KEPUTUSAN

PESAMUHAN AGUNG I

MDP BALI

INVESTOR

Bagaimanakah Pelaksanaan

Putusan MDP Bali

mmasyarakat Masyarakat

Faktor yang mempengaruhi

dalam pelaksanaan

Upaya untuk mempengaruhi efektivitas

pelaksanaan Putusan MDP

HASIL PELAKSANAAN

KEPUTUSAN PESAMUHAN

AGUNG I MDP BALI BERHASIL

ATAU TIDAK

REKOMENDASI

DESA PAKRAMAN

PELAKSANAAN PUTUSAN MDP

Penyelenggaraan Investasi Kepariwisataan

Teori Hukum Investasi

Kepariwisataan Teori kepastian Hukum Teori Efektivitas Hukum

HUkum

33

1.8 Metode Penelitian

1.8.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan meneliti pelaksanaan

Keputusan Pesamuhan Agung Majelis Desa Pakraman Bali dalam

penyelenggaraan investasi kepariwisataan di wilayah desa pakraman. Dengan

demikian penelitian ini mengkaji persoalan bekerjanya hukum dalam masyarakat

(law in action/law is in society) sehingga penelitian ini termasuk penelitian ilmu

hukum empiris. Penelitian ini juga disebut socio-legal research32

.

1.8.2 Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan tujuan menggambarkan

secara mendalam dan kritis berbagai kondisi, berbagai situasi atau berbagai

variabel yang timbul di masyarakat yang menjadi objek penelitian ini33

. Dalam

penelitian ini akan digambarkan secara rinci fakta yang ditemukan dalam

penelitian lapangan terkait dengan Pelaksanaan Keputusan Pesamuhan Agung

Majelis Desa Pakrman Bali mengenai investasi kepariwisataan di wilayah desa

pakraman. Fakta-fakta tersebut kemudian dianalis secara kritis.

1.8.3. Data dan Sumber Data

a. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan

data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari

sumber pertama dalam hal ini para pelaku investasi dan pengambil kebijakan

32

Sunggono Bambang, 2003, Metodelogi Penelitian Hukum, Rajawali Pres, Jakarta,

h. 41. 33

Burhan Bungin, 2001, Metodologi Penelitian Sosial Format-Format Kuantitatif

dan Kualitatif, Airlangga University Press, h. 48

34

terkait dengan investasi di wilayah desa pakraman. Data sekunder adalah data

yang diperoleh dari sumber-sumber tertulis berupa bahan-bahan hukum dan bahan

non hukum.

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum

primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer34

yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

1) Undang-undang No 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan.

2) Undang undang No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

3) Undang undang No 32 tahun2004 tentang Pemerintahan Daerah

4) Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 3 tahun 2003 tentang Desa Pakraman.

5) Peraturan Daerah Provinsi Bali No 22 tahun 2002 tentang Pariwisata Budaya.

6) Perda No 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi

Bali.

7) Awig awig Desa Pakraman.

8) Keputusan Gubernur Bali No 180 Tahun 1989 tentang Pendirian Pusat

Lembaga Perkreditan Desa Kecamatan (PLPDK).

9) Keputusan keputusan Pesamuhan Agung Majelis Desa Pakraman.

Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berupa

literatur hukum yang relevan, sedangkan bahan-bahan non-hukum yang

digunakan antara lain berupa buku-buku yang memuat statistik investasi

kepariwisataan.

34

Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang sifatnya mengikat ( hukum

positif) dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan objek penelitian.

Lebih lanjut dapat dilihat pada buku Amirudin dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode

Penelitian Hukum. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 118.

35

b. Sumber Data

Data primer bersumber dari hasil penelitian langsung dilapangan (field

research) terhadap kenyataan yang terjadi di lokasi penelitian. Data sekunder

bersumber dari penelitian kepustakaan (library research).

1.8.4 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini ditetapkan meliputi tiga desa pakraman yang

mewakili tiga wilayah, yaitu desa-desa pakraman yang terletak di daerah

pegunungan, desa di wilayah perkotaan dan desa transisi. Dari masing-masing

wilayah tersebut dipilih desa pakraman yang dijadikan sampel penelitian

berdasarkan pada kriteria bahwa di wilayah desa pakraman itu telah tersentuh oleh

investasi kepariwisataan. Berdasarkan kriterea di atas ditetapkan desa pakraman

yang dijadikan sampel penelitian adalah sebagai berikut:

1. Desa Pakraman Kedisan.

Desa Pakraman Kedisan terletak di wilayah Kecamatan Kintamani

Kabupaten Bangli. Desa pakraman ini dipilih dengan alasan karena Desa

pakraman Kedisan merupakan desa pakraman yang terletak di daerah

pegunungan (salah satu wakil dari type desa Baliaga) dan merupakan

kawasan wisata pegunungan dengan keindahan alam yang memukau dan

banyak dikunjungi wisatawan sehingga sudah pasti tersentuh oleh investasi

kepariwisataan. .

2. Desa Pakraman Sanur.

Desa Pakraman Sanur terletak di Kecamatan Denpasar Selatan, Kota

Madya Denpasar. Desa ini dipilih dengan alasan bahwa Desa Pakraman

36

Sanur adalah desa pakraman yang terletak di daerah pantai. Desa

Pakraman Sanur juga merupakan kawasan pariwisata yang sudah lama

dan sangat ramai dikunjungi oleh wisatawan sehingga dapat dipastikan

sudah banyak investasi kepariwisataan di daerah tersebut. Seperti

diketahui bahwa Kawasan Wisata Sanur tercatat dalam sejarah

kepariwisataan Bali sebagai daerah tempat dimana dimulainya

perkembangan kepariwisataan Bali.

3. Desa Pakraman Ubud.

Desa Pakraman Ubud terletak di Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar.

Desa ini dipilih dengan alasan bahwa Desa Pakraman Ubud adalah desa

pakraman yang terletak di daerah transisi. (antara daerah pantai dan

daerah pegunungan). Desa Pakraman Ubud sudah lama merupakan

kawasan pariwisata desa yang terkenal di Bali. Desa Ubud memiliki

sejarah panjang sebagai desa wisata memiliki karakteristik seni budaya

yang unik serta kehidupan masyarakatnya yang adaptif namun tetap

selektif terhadap pengaruh dari dalam maupun dari luar daerahnya

sehingga tatanan kehidupan masyarakat, tradisi, seni, budaya dan agama

tidak terkontaminasi. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa di

wilayah ini terdapat investasi kepariwisataan yang banyak bahkan paling

padat di antara desa pakraman lain di Bali.35

Populasi dalam penelitian ini adalah kegiatan usaha di bidang

kepariwisataan yang menjadi tempat penanaman investasi oleh para investor di

35

Michel Picard, 2006, Bali Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata, KPG

(kepustakaan Populer Gramedia) Cet. I, Jakarta, hal 105

37

tiga wilayah desa pakraman di atas. Teknik penentuan sampel yang digunakan

adalah teknik non probablity sampling yaitu tidak semua subjek atau individu

mendapatkan kemungkinan yang sama untuk dijadikan sampel.36

Jenis Teknik

Non probablity sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah accidental

sampling dan purposif sampling.

Dalam teknik accidental sampling, pengambilan sampel tidak

ditetapkan terlebih dahulu, peneliti langsung mengumpulkan data dari unit

sampling yang di temui. Teknik accidental sampling digunakan untuk

menentukan responden dari investor asing dan lokal yang membangun sarana dan

prasarana kepariwisataan diwilayah di ke tiga desa pakraman itu. Sedangkan

purposif sampling37

digunakan untuk menentukan garis responden dari bendesa

desa pakraman, prajuru prajuru desa, tokoh tokoh masyarakat, para investor dan

masyarakat sekitar. Responden yang digunakan dalam penelitian ini adalah

investor dibidang kepariwisataan, yaitu pemilik restoran, pemilik hotel, pemilik

villa, pejabat pemerintah, prajuru dan krama desa pakraman.

1.8.5 Tekhnik Pengumpulan Data

Tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara wawancara (interview)

dan pengamatan langsung (observation).38

Wawancara dilakukan

dengan cara tanya jawab secara langsung dilapangan kepada

36

Bahder Johan Nasution, Op Cit., h. 156 37

Purposif Sampling adalah Pengambilan contoh dengan cara langsung

berdasarkan tujuan tertentu. Lebih lanjut dapat dilihat dalam bukunya Hilman

Hadikusuma, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum,

Mandar Maju, Bandung, h.74 38

Waluyo Bambang, 2008, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Penerbit Sinar Grafika

, Jakarta, h.57

38

responden, informan, dan para stake holder di desa. Wawancara

dilakukan dengan pedoman wawancara yang disusun sedemikian rupa

bertujuan untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan

permasalahan yang diteliti (terstruktur). Semua jawaban dari informan

dan responden di simpan dalam alat rekam (recorder) serta para

informan di abadikan dengan alat pemotretan (camera) dengan cara

dokumentasi. Tekhnik observasi yang digunakan dalam penelitian ini

adalah tekhnik observasi langsung di mana peneliti mengadakan

pengamatan secara langsung terhadap gejala-gejala tertentu dalam

masyarakat, tetapi peneliti tidak menjadi anggota dari kelompok yang

diamati. Pengamatan dalam penelitian ini dilakukan pada para pemilik

Hotel, Restoran dan Sarana-Prasarana kepariwisataan yang ada di

wilayah desa pakraman lokasi penelitian.

2. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan tekhnik studi dokumen

yaitu dengan melakukan kajian pustaka yaitu referensi referensi tentang

hukum adat Bali, buku buku tentang investasi, hasil Keputusan

Pesamuhan Agung Majelis Desa Pakraman Bali, Awig awig dan

beberapa referensi lain.

1.8.6 Pengolahan dan Analisis Data

Prosedur pengolahan dan analisis data yang dipergunakan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut: Setelah data terkumpul maka tahap

selanjutnya adalah melakukan pengelolaan data dimulai dengan pemeriksaan

kelengkapan data, kualifikasi data sesuai permasalahan dan sistematika data

39

sesuai dengan kerangka penulisan. Teknik Analisis data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah analisis data kualitatif. Yang di maksud dengan kualitatif

adalah seperti yang di ungkapkan oleh Creswell, sebagai berikut:

Qualitative reseacrh is a means for exploring and understanding the

meaning individuals or group ascribe to a social or human problem.The

process of research involves emerging questions and procedures,data

typically collected in the participant’s setting, data analysis inductively

building from partculars to general themes,and the researcher making

interpretations of the meaning of the data.The final written report has a

flexible structure.Those who engage in this form of inquiry support a way of

looking at research that honors an inductive style. A focus on individual

maening, and the importance of randering the complexity of a situation.” 39

Oleh karena itu semua data dari hasil yang terkumpul baik dari data

primer maupun data sekunder diolah dan di analisis dengan cara menyusun data

secara sistemetis. Data yang telah tersusun tersebut dihubungkan antara data yang

satu dengan data yang lainnya, kemudian dilakukan interprestasi untuk memahami

makna dari keseluruhan data. Setelah melakukan penafsiran terhadap keseluruhan

data dari persepektif peneliti langkah selanjutnya adalah penyajian data hasil

penelitian secara deskriptif kualitatif dan sistematis.

39

Creswell Jhone W, 2009, Research design, qualitative, quantitative, and mixed

methods approaches, University of Nebraska-lincoln, SAGE publication. United Kingdom, hlm.4