BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ferry... · ... karya-karya seni, hingga apa yang...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ferry... · ... karya-karya seni, hingga apa yang...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Hak cipta merupakan salah satu cabang dari Hak Kekayaan intelektual
(selanjutnya disingkat HKI) secara umum sudah diakui baik secara internasional
maupun secara nasional. Hal ini dibuktikan dengan dimunculkan serta di
berlakukannya konvensi-konvensi internasional maupun peraturan lainya yang
mengatur mengenai hak cipta. Beberapa aturan tersebut dapat dalam skalain
ternasional muncul TRIPs (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual
Property Right) yang di dalamnya menyinggung mengenai masalah hak cipta.
Secara khusus lagi muncul juga Bern Convention for the Protection of Literary
and Artistic Work.1
Beberapa konvensi tersebut merupakan satu bentuk perjanjian internasional
yang mengikat bagi negara anggota yang menerapkan perjanjian tersebut kedalam
negaranya. Tentu pemberlakuan ketentuan-ketentuan tersebut dalam sebuah
negara tertentu tidak dapat begitu saja berlaku. Ada prosedur-prosedur yang harus
dilakukan terlebih dahulu. Prosedur yang paling sering dikenal adalah dengan
menggunakan prosedur ratifikasi. Prosedur ini tergantung pada negara masing-
masing. Untuk Indonesia, hal ini diatur dalam pasal 11 UUD 1945 yang berbunyi
“presiden dengan perstujuan DPR menyatakan perang dan membuat perdamaian
dan perjanjian dengan negara lain”.
1 Arif Lutviansori, 2010, Hak Cipta dan Perlindungan Folklor di Indonesia, Cetakan
Pertama, Graha Ilmu, Yogyakarta, h. 9
2
Dari segi muatan, hak cipta mengandung esensi monopoli atas hak
ekonomi atau eonomic rights dan hak moral atau moral rights. Hak ekonomi
berunsur hak untuk mengumumkan atau perfoming rights. Keduanya memberi
pencipta kewenangan untuk mengeksploitasi dan mengawasi penggunaan
ciptaannya. Hak Moral juga memberi pencipta hak untuk menjaga dan mengawasi
eksploitasi ciptaanya, terutama dari dimensi moral. Misalnya, hak untuk meminta
dicantumkan namanya dalam ciptaan atau right paternity. Berdasarkan hak moral
itu pula pencipta dapat melarang orang lain mengubah atau mengurangi ataupun
memperlakukan ciptaanya secara tidak tidak pantas berdasarkan nilai-nilai dan
kaidah right of integrity.2
Salah satu isu yang menarik dan saat ini tengah berkembang dalam lingkup
kajian HKI adalah perlindungan hukum terhadap kekayaan intelektual yang
dihasilkan oleh masyarakat asli atau masyarakat tradisional. Kekayaan intelektual
yang dihasilkan oleh masyarakat asli tradisional ini mencakup banyak hal mulai
dari sistem pengetahuan tradisional (traditional knowledge), karya-karya seni,
hingga apa yang dikenal sebagai indigenous science and technology.
Kekayaan intelektual yang dihasilkan oleh masyarakat asli tradisional ini
menjadi menarik karena rejim ini masih belum sepenuhnya terakomodasi oleh
pengaturan mengenai hak kekayaan intelektual, khususnya dalam lingkup
internasional. Pengaturan hak kekayaan intelektual dalam lingkup internasional
sebagaimana terdapat dalam Trade Related Aspects of Intellectual Propert Rights
2 Henry Soelistyo, 2011, Hak Cipta Tanpa Hak Moral, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
h.14
3
(TRIPs), misalnya hingga saat ini belum sepenuhnya mengakomodasi kekayaan
intelektual masyarakat asli/tradisional.
Sebagai salah satu isu penting yang berkaitan dengan hak kekayaan
intelektual dewasa ini adalah sejauh mana kekayaan intelektual masyarakat asli
yang lazim disebut folklore atau ekspresi budaya tradisional dan pengetahuan
tradisional (traditional knowledge) mendapat perlindungan. Pembahasan tentang
folklore atau ekspresi budaya tradisional tentunya tidak dapat dipisahkan dari
pengetahuan tradisional (traditional knowledge).
Dalam kaitannya dengan pengetahuan tradisioal yang luas, ada istilah lain
yang disebut sebagai tradisi budaya (folklore). Penyebutan terhadap folkore ini
lebih dimaksudkan untuk menyempitkan ruang lingkup suatu pengetahuan
tradisional ke dalam ruang lingkup seni, sastra dan ilmu pengetahuan. Dalam
beberapa tulisan lainnya, baik pengetahuan tradisional (traditional knowledge)
maupun folklor ini yang kemudian digolongkan sebagai intangible cultural
heritage. Konsep intangible warisan terutama dalam budaya tradisional meliputi
(a) tradisi dan ekspresi lisan, termasuk bahasa sebagai kendaraan dari warisan
budaya intangible, (b) musik, tari, drama dan seni pertunjukan, (c) praktek-
praktek sosial, ritual dan acara pesta, (d) pengetahuan dan praktek mengenai alam
dan alam semesta, (e) ketrampilan tradisional.3
Negara yang memiliki kekayaan budaya dan sumber daya alam seperti
halnya Indonesia mulai melihat bahwa folklor harus dioptimalkan dalam
3 Arif Syamsudin, Antara Pelestarian dan Perlindungan Ekspresi Budaya
Tradisional/Pengetahuan Tradisional dan Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, Jurnal Buah
Pena, Vol.4, No. 4, 2008, h. 17.
4
kompetisi perdagangan di tingkat Internasional. Indonesia sebagai negara yang
kaya akan folklor harusnya memberikan perhatian hukum yang lebih tajam.
Munculnya banyak sengketa dalam bidang hak kekayaan intelektual
tersebut menandakan selama ini, konsep yang digunakan dalam perlindungan
folklore masih belum bisa diaplikasikan secara maksimal, atau bahkan mungkin
belum ada peraturan cukup mengcover terhadap permasalahan yang ada tersebut
khususnya yang mengatur mengenai masalah folklor tersebut secara
komprehensif. Oleh karena itu, beraneka ragamnya folklor yang ada di Indonesia
tersebut sangat membutuhkan satu upaya perlindungan, terutama perlindungan
hukum di dalamnya sebagai sebuah karya intelektual. Langkah-langkah semacam
ini perlu dilakukan sebagai satu upaya yang dapat dilakukan guna menciptakan
satu bentuk kepastian hukum di bidang folklor khususnya.
Perlindungan hak cipta atas folklor dalam konteks ke-Indonesiaan sendiri
sudah dimasukkan dalam Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) Nomor 19 Tahun
2002. Undang-undang ini menyinggung mengenai perlindungan hukum mengenai
folklor yang ada di Indonesia. Sayangnya dalam undang-undang ini tidak
mengatur perlindungan folklor secara komprehensif. Sejauh ini pengaturan
mengenai folklor hanya diatur dalam Pasal 10 ayat (2) UUHC yang berkaitan
dengan penguasaan negara atas folklor yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat luas dan pasal 31 ayat (1) tentang masa perlindungannya. Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2002 ini kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Dalam Undang-Undang Hak
Cipta yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta,
5
Ekspresi Budaya Tradisional (folklor) diatur dalam Bab tersendiri yaitu Bab V
tentang Ekspresi Budaya Tradisional dan Ciptaan yang Dilindungi.
Bab V Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 terdiri dari Bagian Kesatu
mengenai Ekspresi Budaya Tradisional dan Hak Cipta atas Ciptaan yang
Penciptanya Tidak Diketahui, yang terdiri Pasal 38 dan Pasal 39; Bagian Kedua
mengenai Ciptaan yang Dilindungi, yang terdiri dari Pasal 40; serta Bagian Ketiga
mengenai Hasil Karya yang Tidak Dilindungi Hak Cipta, yang terdiri dari Pasal
41 dan 42. Pasal 38 ayat (1) menyatakan Hak Cipta atas ekspresi budaya
tradisional dipegang oleh Negara. Penjelasan ketentuan ini menyatakan bahwa
yang dimaksud dengan “ekspresi budaya tradisional” mencakup salah satu atau
kombinasi bentuk ekspresi sebagai berikut:
a. verbal tekstual, baik lisan maupun tulisan, yang berbentuk prosa maupun
puisi, dalam berbagai tema dan kandungan isi pesan, yang dapat berupa
karya sastra ataupun narasi informatif;
b. musik, mencakup antara lain, vokal, instrumental, atau kombinasinya;
c. gerak, mencakup antara lain, tarian;
d. teater, mencakup antara lain, pertunjukan wayang dan sandiwara rakyat;
e. seni rupa, baik dalam bentuk dua dimensi maupun tiga dimensi yang
terbuat dari berbagai macam bahan seperti kulit, kayu, bambu, logam,
batu, keramik, kertas, tekstil, dan lain-1ain atau kombinasinya; dan
f. upacara adat.
Pasal 38 ayat (2) menyatakan negara wajib menginventarisasi, menjaga,
dan memelihara ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 38 ayat (3) mengatur penggunaan ekspresi budaya tradisional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat pengembannya. Dalam penjelasan Pasal 38 ayat (3), yang dimaksud
dengan "nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat pengembannya" adalah adat
istiadat, norma hukum adat, norma kebiasaan, norma sosial, dan norma-norrna
6
luhur lain yang dijunjr:ng tinggi oleh masyarakat tempat asal, yang memelihara,
mengembangkan, dan melestarikan ekspresi budaya tradisional. Dengan demikian
ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara atas
ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah (Pasal 38 ayat (4)).
Sementara itu Pasal 39 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak
Cipta mengatur tentang hal-hal sebagai berikut :
(1) Dalam ha1 Ciptaan tidak diketahui Penciptanya dan Ciptaan tersebut
belum dilakukan Pengumuman, Hak Cipta atas Ciptaan tersebut dipegang
oleh Negara untuk kepentingan Pencipta.
(2) Dalam hal Ciptaan telah dilakukan Pengumuman tetapi tidak diketahui
Penciptanya, atau hanya tertera nama aliasnya atau samaran Penciptanya,
Hak Cipta atas Ciptaan tersebut dipegang oleh prhak yang melakukan
Pengumuman untuk kepentingan Pencipta.
(3) Dalam hal Ciptaan telah diterbitkan tetapi tidak diketahui Pencipta dan
pihak yang melakukan Pengumuman, Hak Cipta atas Ciptaan tersebut
dipegang oleh Negara untuk kepentingan Pencipta.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
tidak berlaku jika Pencipta dan/atau pihak yang melakukan Pengumuman
dapat membuktikan kepemilikan atas Ciptaan tersebut.
(5) Kepentingan Pencipta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3)
dilaksanakan oleh Menteri.
Ketentuan Pasal 39 ayat (1) dimaksudkan untuk menegaskan status Hak
Cipta dalam hal suatu karya yang Penciptanya tidak diketahui dan belum
diterbitkan, misainya, dalam hal karya tulis yang belum diterbitkan dalam bentuk
buku atau karya musik yang belum direkam (penjelasan Pasal 39 ayat (1)).
Pasal 40 mengatur tentang Ciptaan Ekspresi Budaya Tradisional yang
dilindungi yang meliputi hal-hal sebagai berikut.
Ayat (1) Ciptaan yang dilindungi meliputi Ciptaan dalam bidang ilmu
pengetahuan, seni, dan sastra, terdiri atas:
a. buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil
karya tulis lainnya:
7
(yang dimaksud dengan "perwajahan karya tulis" adalah karya cipta
yang lazim dikenal dengan "typholographical arrangement", yaitu aspek
seni pada susunan dan bentuk penuiisan karya tulis. Hal ini mencakup
antara lain format, hiasan, komposisi warna dan susunan atau tata letak
huruf indah yang secara keseluruhan menampilkan wujud yang khas
(penjelasan Pasal 40 ayat (1) huruf a).
b. ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan sejenis lainnya;
c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu
pengetahuan;
(yang dimaksud dengan "a1at peraga" adalah Ciptaan yang berbentuk 2
(dua) ataupun 3 (tiga) dimensi yang berkaitan dengan geografi,
topografi, arsitektur, biologi, atau ilmu pengetahuan lain (penjelasan
Pasal 40 ayat (1) huruf c).
d. lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks;
(yang dimaksud dengan “lagu tanpa teks” diartikan sebagai yang
bersifat utuh (penjelasan Pasal 40 ayat (1) huruf d).
e. drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
f. karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran,
kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase;
(yang dimaksud dengan "gambar" antara lain, motif, diagram, sketsa,
logo, unsur-unsur warna dan bentuk huruf indah; yang dimaksud
dengan “kolase” adalah komposisi artistik yang dibuat dari berbagai
bahan, misainya kain, kertas, atau kayu yang ditempelkan pada
permukaan sketsa atau media karya (penjelasan Pasal 40 ayat (1) huruf
f).
g. karya seni terapan;
(yang dimaksud dengan “karya seni terapan” adalah karya seni rupa
yang dibuat dengan menerapkan seni pada suatu produk sehingga
memiliki kesan estetis dalam memenuhi kebutuhan praktis, antara lain
penggunaan gambar, motif, atau ornamen pada suatu produk
(penjelasan Pasal 40 ayat (1) huruf g).
h. karya arsitektur;
(yang dimaksud dengan “karya arsitektur” antara lain, wujud fisik
bangunan, penataan letak bangunan, gambar rancangan bangunan,
gambar teknis bangunan dan model atau maket bangunan (penjelasan
Pasal 40 ayat (1) huruf h).
i. peta;
(yang dimaksud dengan “peta” adalah suatu gambaran dari unsur alam
dan/atau buatan manusia yang berada di atas ataupun di bawah
permukaan bumi yang digambarkan pada suatu bidang datar dengan
skala tertentu, baik melalui media digital maupun non digital
(penjelasan Pasal 40 ayat (1) huruf i).
j. karya seni batik atau seni motif lain;
(yang dimaksud dengan “karya seni batik” adalah motif batik
kontemporer yang bersifat inovatif, masa kini, dan bukan tradisional.
Karya tersebut dilindungi karena mempunyai nilai seni, baik dalam
8
kaitannya dengan gambar, corak, maupun komposisi warna; yang
dimaksud dengan “karya seni motif lain” adalah motif yang merupakan
kekayaan bangsa Indonesia yang terdapat di berbagai daerah, seperti
seni songket, motif tenun ikat, motif tapis, motif u1os, dan seni motif
lain yang bersifat kontemporer, inovatif, dan terus dikembangkan
(penjelasan Pasal 40 ayat (1) huruf j).
k. karya fotografi;
(yang dimaksud dengan "karya fotografi" meliputi semua foto yang
dihasilkan de ngan menggunakan kamera (penjelasan Pasal 40 ayat (1)
huruf k).
l. Potret;
m. karya sinematografi;
(yang dimaksud dengan "karya sinematografi' adalah Ciptaan yang
berupa gambar bergerak (mouing imagesl antara lain irlm dokumenter,
film iklan, reportase atau lilm cerita yang dibuat dengan skenario, dan
film kartun. Karya sinematografi dapat dibuat dalam pita seluloid, pita
video, piringan video, cakram optikdan/atau media lain yang
memungkinkan untuk dipertunjukkan di bioskop, layar lebar, televisi,
atau media lainnya. Sinematografi merupakan salah satu contoh bentuk
audiovisual (penjelasan Pasal 40 ayat (1) huruf m).
n. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi,
aransemen, modifikasi dan karya lain dari hasil transformasi;
(yang dimaksud dengan "bunga rampai" meliputi Ciptaan dalam bentuk
buku yang berisi kompilasi karya tulis pilihan, himpunan lagu pilihan,
dan komposisi berbagai karya tari pilihan yang direkam dalam kaset,
cakram optik, atau media lain; yang dimaksud dengan "basis data"
adalah kompilasi data dalam bentuk apapun yang dapat dibaca oleh
computer atau kompilasi dalam bentuk lain, yang karena alasan
pemilihan atau pengaturan atas isi data itu merupakan kreasi intelektual.
Pelindungan terhadap basis data diberikan dengan tidak mengurangi
hak para Pencipta atas Ciptaan yang dimasukan dalam basis data
tersebut; yang dimaksud dengan “adaptasi” adalah mengalihwujudkan
suatu ciptaan menjadi bentuk lain. Sebagai contoh dari buku menjadi
film; yang dimaksud dengan “karya lain dari hasil transformasi” adalah
merubah format Ciptaan menjadi format bentuk lain. Sebagai contoh
musik pop menjadi musik dangdut (penjelasan Pasal 40 ayat (1) huruf
n).
o. terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi, atau modihkasi ekspresi
budaya tradisional;
p. kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca
dengan Program Komputer maupun media lainnya;
q. kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut
merupakan karya yang asli
r. permainan video; dan
s. Program Komputer.
9
Pasal 40 ayat (2) menyatakan ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1)
huruf n dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta
atas Ciptaan asli, sedangkan Paasal 40 ayat (3) menyatakan perlindungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), termasuk pelindungan terhadap
Ciptaan yang tidak atau belum dilakukan Pengumuman tetapi sudah diwujudkan
dalam bentuk nyata yang memungkinkan Penggandaan Ciptaan tersebut.
Pasal 40 dan 41 menyatakan tentang hasil Karya Ekspresi Budaya
Tradisional yang Tidak Dilindungi Hak Cipta yang berbunyi :
Pasal 41
a. hasil karya yang belum diwujudkan dalam bentuk nyata;
b. setiap ide, prosedur, sistem, metode, konsep, prinsip, temuan atau data
walaupun telah diungkapkan, dinyatakan, digambarkan, dijelaskan, atau
digabungkan dalam sebuah Ciptaan; dan
c. alat, benda, atau produk yang diciptakan hanya untuk menyelesaikan
masalah teknis atau yang bentuknya hanya ditujukan untuk kebutuhan
fungsional.
Pasal 42
Tidak ada Hak Cipta atas hasil karya berupa:
a. hasil rapat terbuka lembaga negara;
b. peraturan perundang-undangan;
c. pidato kenegaraan atau pidato pejabat pemerintah;
d. putusan pengadilan atau penetapan hakim; dan
e. kitab suci atau simbol keagamaan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disebutkan bahwa Undang-
Undang Hak Cipta yang baru, lebih lengkap mengatur tentang perlindungan
terhadap Ekspresi Budaya Tradisional/folklor. Jika pada Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2002, Ekspresi Budaya Tradisional/folklor hanya diatur dalam 1 (satu)
pasal saja yaitu Pasal 20, maka pada Undang-Undang Hak Cipta yang baru yaitu
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Ekspresi Budaya Tradisional/folklor
diatur dalam 5 (lima) pasal yaitu Pasal 38 sampai dengan Pasal 42.
10
Meskipun hak cipta dilindungi di dalam dan di luar negeri, dunia
internasional menurut undang-undang dan perjanjian setiap negara, namun
demikian, pelanggaran hak cipta akhir-akhir ini semakin merajarela. Pelanggaran
berarti tindakan yang melanggar hak cipta, seperti penggunaan hak cipta, yang
adalah hak milik pribadi milik pencipta, tanpa izin, dan pendaftaran hak cipta oleh
orang lain yang bukan pemengang hak cipta. Jika seseorang mencuri barang milik
orang lain yang diperolehnya dengan kerja keras atau mengambil dan
menggunakannya tanpa izin, ini termasuk kejahatan besar. Setiap orang tahu
bahwa mencuri brang milik orang lain itu salah. Tetapi dalam hal barang tdak
dapat diraba seperti hak cipta, orang tampaknya tidak merasa bersalah bila
mencurinya. Namun, hak kekayaan intelektual, seperti hak cipta, adalah hak milik
yang berharga, hak yang di berikan kepada ciptaan yang dihasilkan secara kreatif
dalam proses intelektual, seperti berpikir dan merasa.4
Skripsi ini bermaksud menganalisis pelanggaran hak cipta khususnya hak
cipta folklor dalam kasus antara John Hardy, Ltd. (John Hardy), sebuah
perusahaan perhiasan yang berkantor pusat di Hong Kong, melawan I Ketut
Denny Aryasa, pengrajin perhiasan dari Bali. John Hardy memiliki pabrik untuk
membuat perhiasan di Bali bernama PT. Karya Tangan Indah dan Denny Aryasa
yang sebelumnya pernah bekerja pada John Hardy, sekarang menjadi kepala
pendesain dan pemilik modal dari perusahaan bernama BaliJewel. Denny Aryasa
ditahan di Bali dengan tuduhan menjiplak dua motif perhiasan milik John Hardy,
yaitu Batu Kali dan Fleur (Bunga), pada perhiasan yang didesain oleh Denny
4 Tatsumo Hozumi, 2006, Asian Copyright Handbook Indonesian Version, Asia/Pasific
Cultural Centre for UNESCO (ACCU), Ikatan Penerbit Indonesia, h. 39
11
Aryasa untuk Bali Jewel. Denny dan sebagian besar masyarakat Bali memprotes
klaim hak cipta John Hardy atas kedua motif tersebut karena kedua motif itu
adalah motif tradisional Bali yang telah dipergunakan turun-temurun oleh
masyarakat Bali. Walaupun belum pernah didokumentasikan atau dikompilasikan
dalam data-base, kedua motif tersebut umum digunakan untuk dekorasi pura di
Bali, pintu masuk bangunan di Bali, dan dalam berbagai karya seni Bali lainnya.
Selama proses pengadilan, hakim menemukan fakta bahwa John Hardy juga telah
memiliki hak cipta atas kurang lebih 800 motif tradisional Indonesia lainnya, baik
yang terdaftar di Indonesia maupun di Amerika Serikat. Pengadilan Negeri
Denpasar memutuskan Denny Aryasa tidak bersalah dalam kasus ini.
Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian yang selanjutnya
ditulis dalam bentuk skripsi dengan judul ” Pelanggaran Hak Cipta Folklor
Pengrajin Perak : Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 823
K/Pid.Sus/2009”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini dapat dikemukakan dalam research
questions sebagai berikut.
1. Bagaimanakah analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 823
K/Pid.Sus/2009?
2. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap hak cipta folklor pengrajin
perak yang tidak diketahui penciptanya menurut Undang-Undang Hak
Cipta di Indonesia?
12
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Untuk mendapatkan penjabaran secara sistematis dan terarah sesuai dengan
pokok tujuan dari penulisan ini, maka dibuat suatu ruang lingkup agar
pembahasan yang terjadi nanti tidak tumpang tindih, sehingga dalam
penguraiannya diperlukan adanya pembatasan-pembatasan, yang dapat dilihat
pada bab-bab sebagai berikut : Sanksi hukum apakah yang dijatuhkan oleh hakim
Makamah Agung dalam menangani kasus Hak Cipta Nomor 823 K/Pid.Sus/2009
dan jenis pelanggaran hak cipta yang dilanggar.
1.4 Orisinalitas Penelitian
Berdasarkan penelusuran di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas
Udayana, belum ada penelitian tentang pelanggaran hak cipta folklor pengrajin
perak khususnya yang menganalisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 823
K/Pid.Sus/2009 dalam kasus John Hardy.
Penulusuran secara online yang ditemukan beberapa penelitian yang
dimuat dalam jurnal-jurnal penelitian, yang hampir mirip topiknya dengan
penelitian yang akan dilakukan, diantaranya sebagai berikut.
1. Afifah Kusumadara melakukan penelitian dengan judul “Pemeliharaan dan
Pelestarian Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional
Indonesia: Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dan non-Hak Kekayaan
Intelektual” yang dimuat dalam Jurnal Hukum No. 1 Vol. 18 Januari tahun
2011, halaman 20-41. Penelitian ini dilakukan di Universitas Brawijaya,
Malang, pada tahun 2010-2011. Permasalahan yang diteliti adalah masalah
- masalah apa yang muncul sewaktu RUU PTEBT diundangkan yang
13
dapat mengurangi keefektifan untuk melindungi PTEBT Indoensia dan
upaya solusi apa yang harus dilakukan pemerintah untuk mengatasi
masalah – masalah tersebut. Dalam penelitian ini sedikit dibahas mengenai
kasus antara John Hardy, Ltd. (“John Hardy”), sebuah perusahaan
perhiasan yang berkantor pusat di Hong Kong, melawan I Ketut Denny
Aryasa, pengrajin perhiasan dari Bali. John Hardy memiliki pabrik untuk
membuat perhiasan di Bali bernama PT. Karya Tangan Indah dan Denny
Aryasa yang sebelumnya pernah bekerja pada John Hardy, sekarang
menjadi kepala pendesain dan pemilik modal dari perusahaan bernama
BaliJewel. Hasil penelitian ini menyimpulkan, bahwa pemerintah sudah
seharusnya memberikan perlindungan hukum kepada Pengetahuan
Tradisional dan Ekspresi Budaya tradisional atau folklor yang meliputi
upaya perlindungan hak kekayaan intelektual (HKI) serta non-HKI, upaya
hukum, dan non-hukum. Perbedaan dengan penelitian yang akan
dilakukan, penelitian Afifah Kusumadara hanya mengupas Kasus John
Hardy sedikit sekali (hanya dijadikan contoh saja) tanpa dikaitkan dengan
putusan Mahkamah Agung, sedang penelitian yang akan penulis lakukan
justru menganalisis Putusan Mahkamah Agung dalam kasus tersebut.
2. Imas Rosidawati Wiradirja melakukan penelitian dengan judul “Konsep
Perlindungan Pengetahuan Tradisional berdasarkan Asas Keadilan Melalui
Sui Generis Intellectual Property System” yang dimuat dalam Jurnal
Hukum IUS QUIA IUSTUM , NO. 2, VOL. 20, APRIL 2013, halaman 163-
185. Penelitian ini dilakukan di Universitas Islam Nusantara Bandung pada
14
tahun 2013. Permasalahan yang diteliti adalah bagaimanakah perlindungan
hukum Hak Kekayaan Intelektual dalam bidang pengetahuan tradisional
mengingat belum ada pengaturan yang khusus dalam perundang –
undangan Indonesia dan Bagaimanakah konsep pengelolaan pengetahuan
tradisional yang berkeadilan dalam mendukung pembangunan ekonomi di
Indonesia. Hasil penelitian menyimpulkan: pertama, perlindungan Hak
Kekayaan Intelektual terhadap pengetahuan tradisional dengan
memanfaatkan UU Hak Kekayaan Intelektual belum sepenuhnya dapat
memberikan perlindungan. Dalam perlindungan HKI sesuai dengan
sifatnya yang eksklusif, monopolis, individualistis sehingga bersifat privat
domain sangat berbeda dengan sifat pengetahuan tradisional yang
mengusung paham kolektifisme. Kedua, konsep pengelolaan pengetahuan
tradisional yang tepat adalah dengan membuat undang-undang yang
bersifat Sui Generis, dengan membuat dokumen pembanding (prior art)
sebagai sarana perlindungan dengan mengakomodasi konsep “benefit
sharing” yang berkeadilan. Peraturan HKI yang ada setelah Indonesia
meratifikasi TRIPs belum dapat memberikan keadilan bagi perlindungan
terhadap pengetahuan tradisional.
3. Agus Sardjono melakukan penelitian dengan judul “Upaya Perlindungan
HKI yang terkait dengan Genetic Resources, Traditional Knowledge, and
Folklore (GRTKF) di Tingkat Nasional dan Internasional : Upaya yang
Belum Sebanding”, yang dimuat dalam Jurnal Hukum Internasional,
Volume III, Nomor 1, Oktober 2005, halaman 71-84. Penelitian ini
15
dilakukan di Universitas Indonesia pada tahun 2005. Permasalahan yang
diteliti adalah bagaimanakah perlindungan HKI yang terkait dengan
Genetic Resources, Traditional Knowledge, dan Folklore (GRTKF) di
Tingkat Nasional dan Internasional dan Upaya apa yang dilakukan
Pemerintah Indonesia dalam memberikan perlindungan HKI Tradisional.
Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa Pemerintah Indonesia telah
mencantumkan perlindungan folklore ke dalam Undang-Undang Hak
Cipta. Namun, rezmi perlindungan semacam ini belum sepenuhnya efektif
mengingat adanya kesulitan dalam tahap implementasi. Salah satu upaya
yang dibutuhkan dalam upaya implementasi Undang-Undang Hak Cipta guna
melindungi folklore adalah dokumentasi. Selain dokumentasi, masih banyak
kemungkinan-kemungkinan atau pilihan-pilihan yang dapat diambil
berkenaan dengan gagasan perlindungan GRTKF di Indonesia. Adapun yang
terpenting adalah komitmen untuk memulai melakukan langkah konkret
dengan dukungan sumber daya yang memadai.
Dengan demikian dapat disebutkan bahwa penelitian yang dilakukan yang
berjudul pelanggaran Hak Cipta Folklor pengrajin perak : studi kasus Putusan
Mahkamah Agung Nomor 823 K/Pid.Sus/2009) yang akan dilakukan adalah
berbeda baik judul maupun masalah yang diangkat dan dapat
dipertanggungjawabkan kebaharuannya baik isi, substansi maupun topiknya.
16
Untuk lebih jelasnya mengenai penelitian, maka dapat dilihat pada tabel
sebagai berikut ini.
No
.
Nama
Peneliti
Judul Penelitian Masalah yang diangkat
1 Afifah
Kusumadara
Pemeliharaan dan
Pelestarian
Pengetahuan
Tradisional dan
Ekspresi Budaya
Tradisional Indonesia:
Perlindungan Hak
Kekayaan Intelektual
dan non-Hak Kekayaan
Intelektual
1. Masalah - masalah apa yang
muncul sewaktu RUU PTEBT
diundangkan yang dapat
mengurangi keefektifan untuk
melindungi PTEBT Indoensia?
2. Upaya solusi apa yang harus
dilakukan pemerintah untuk
mengatasi masalah – masalah
tersebut?
2 Imas
Rosidawati
Wiradirja
Konsep Perlindungan
Pengetahuan
Tradisional berdasarkan
Asas Keadilan Melalui
Sui Generis Intellectual
Property System
1. Bagaimanakah perlindungan
hukum Hak Kekayaan
Intelektual dalam bidang
pengetahuan tradisional
mengingat belum ada
pengaturan yang khusus dalam
perundang – undangan
Indonesia?
2. Bagaimanakah konsep
pengelolaan pengetahuan
tradisional yang berkeadilan
dalam mendukung
pembangunan ekonomi di
Indonesia?
3 Agus
Sardjono
Upaya Perlindungan
HKI yang terkait
dengan Genetic
Resources, Traditional
Knowledge, and
Folklore (GRTKF) di
Tingkat Nasional dan
Internasional : Upaya
yang Belum Sebanding
1. Bagaimanakah perlindungan
HKI yang terkait dengan
Genetic Resources, Traditional
Knowledge, dan Folklore
(GRTKF) di Tingkat Nasional
dan Internasional?
2. Upaya apa yang dilakukan
Pemerintah Indonesia dalam
memberikan perlindungan HKI
Tradisional?
1.5 Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan dalam skripsi ini merupakan suatu kegiatan untuk
mencari, menggali, menghubungkan dan memprediksi suatu kejadian. Setiap
17
penelitian hukum yang dilakukan memiliki tujuan yang jelas dan terarah. Adapun
tujuan dari penelitian hukum ini adalah:
1.5.1 Tujuan Umum
Secara umum, tujuan penelitian ini untuk mengetahui pelanggaran hak
cipta bagi pengrajin perak dalam kasus Jhon Hardy.
1.5.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
3. Untuk mengetahui pertimbangan Putusan Mahkamah Agung Nomor 823
K/Pid.Sus/2009.
4. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap hak cipta folklor
pengrajin perak yang tidak diketahui penciptanya menurut Undang-Undang
Hak Cipta di Indonesia.
1.6 Manfaat Penelitian
1.6.1 Manfaat Teoritis
Dari penulisan skripsi ini, diharapkan dapat memberikan informasi yang
berkaitan dengan jenis pelanggaran hak cipta yang di langgar dan sanksi hukum
apakah yang dijatuhkan oleh hakim Makamah Agung dalam menangani kasus
Hak Cipta Nomor 823 K/Pid.Sus/2009 di Makamah Agung. Disamping itu,
penulisan skripsi ini diharapkan juga dapat menambah pemahaman mahasiswa
untuk menerapkan teori-teori yang didapatkan pada saat perkuliahan terutama
terkait dengan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.
1.6.2 Manfaat Praktis
Dengan adanya penulisan ini akan sangat bermanfaat bagi masyarakat,
khususnya bagi masyarakat yang memiliki karya cipta. Selain itu juga akan
18
bermanfaat untuk meningkatakan kesadaran dan kepatuhan terhadap hukum.
Penulisan ini juga bermanfaat untuk menambah kekhasan keilmuan bagi
penulisan-penulisan penelitian selanjutnya.
1.7 Landasan Teoritis
Berbagai teori yang dipergunakan dalam penelitian ini diketengahkan teori,
konsep, asas-asas hukum serta pandangan sarjana sebagai pembenaran teoritis.
Pembenaran teoritik tersebut terutama berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut :
1.7.1 Teori Hak Cipta
Konsep hak cipta menurut J. S. T Simorangkir adalah hak cipta adalah hak
tunggal dari pencipta, atau hak dari pada yang mendapat hak tersebut atas hasil
ciptaannya dalam lapangan kasusasteraan, pengetahuan, dan kesenian. Untuk
mengumumkan dan memperbanyaknya, dengan mengingat pembatasan-
pembatasan yang ditentukan oleh undang-undang.5
Indonesia telah ikut serta dalam pergaulan masyarakat dunia dengan
menjadi anggota dalam Agreement Establishing the World Trade Organization
atau Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia yang mencakup
pula Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights atau
Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual, selanjutnya
disebut TRIPs, melalui Undang-undang Nomor : 7 tahun 1994. Selain itu,
Indonesia juga meratifikasi Berne Convention for the Protection of Artistic and
Literary Works atau Konvensi Berne tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra
melalui Keputusan Presiden Nomor 18 tahun 1997 dan World. Intellectual
5. Sujud Margono, 2003, Hukum dan Perlindungan Hak Cipta, CV Novindo Pustaka
Mandiri, Jakarta, h. 15.
19
Property Organization Copyrights Treaty atau Perjanjian Hak Cipta WIPO,
selanjutnya disebut WCT, melalui Keputusan Presiden Nomor 19 tahun 1997.6
Saat ini Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982
tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1987 yang diubah lagi menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997
yang diubah lagi menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002, dan terakhir
diubah lagi menjadi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 yang selanjutnya
disebut Undang-undang Hak Cipta.
Menurut Margono,7 hak cipta mempunyai arti tidak saja si pencipta dan
hasil ciptaannya yang mendapat perlindungan hukum, akan tetapi juga perluasan
ini memberikan perlindungan kepada yang diberi kepada yang diberi kuasapun
kepada pihak yang menerbitkan terjemah daripada karya yang dilindungi oleh
perjanjian ini. Sedangkan menurut Sembiring8, hak Cipta adalah hak khusus bagi
pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak
ciptaannya yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa
mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, penulis berpendapat hak Cipta
merupakan suatu hak monopoli untuk memperbanyak atau mengumumkan ciptaan
yang dimiliki oleh pencipta atau pemegang Hak Cipta lainnya yang dalam
implementasinya memperhatikan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6 Bambang Margono, 2008, Hak Cipta dan Keikutsertaan Indonesia, Penerbit : Media
Indonesia, Jakarta, h. 8. 7 Sujud Margono, op.cit. , h. 15.
8 Sentosa Sembiring, 2008, Prosedur dan Tata Cara Memperoleh hak Kekayaan
Intelektual, Penerbit Yiama Widya, Bandung, h. 17.
20
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2014, Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis
berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk
nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
1.7.2 Konsep Folklore atau Ekspresi Budaya Tradisional (EBT)
Folklore merupakan suatu istilah yang benyak berkenaan dengan bidang
kebudayaan. Folklore merupakan kata majemuk yang berasal dari dua kata yaitu
folk dan lore. Folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal
fisik, sosial dan dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok
lainnya. Sehingga folk sinonim dengan kata kolektif yang memiliki ciri pengenal
fisik atau system kebudayaan yang sama serta mempunyai kesadaran kepribadian
sebadai kesatuan masyarakat.9
Istilah lore artinya adalah tradisi rakyat itu sendiri, yaitu sebagian
kebudayaan yang diwariskan turun-temurun baik secara lisan maupun menggunakan
gerak isyarat. Masyarakat lebih mengenal istilah kebudayaan sebagai pengganti
kata lore, sehingga folklore secara singkat disebut juga kebudayaan rakyat.
Menurut James Danandjaya10
folklore adalah sebagian kebudayaan suatu
kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, diantara kolektif macam
apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan
maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.
9 James Danandjaya, 2002, Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain Pustaka
Utama Grafiti, Jakarta, h.1. 10
Ibid, h. 2.
21
Kamal Puri mendefinisikan folklore sebagai jalan menuju identitas budaya
dan sosial masyarakat yang berupa standar-standar dan nilai-nilai. Biasanya
folklore disampaikan secara lisan, melalui imitasi atau cara-cara lain. Bentuknya
dapat berupa, antara lain bahasa, sastra, musik, tari, permainan, mitos, ritual,
kebiasaan, kerajinan tangan, arsitektur, dan kesenian lainnya. Folklore merupakan
bentuk manifestasi tingkat tinggi karena sifatnya yang beragam dan bentuknya
yang terus berkembang. Kadang-kadang folklore disebut juga budaya tradisional
dan popular karena sangat berorientasi kepada kelompok dan berbasis tradisi. 11
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dalam
penjelasannya terhadap Pasal 38 ayat (1) memberikan pengertian tentang Ekspresi
Budaya Tradisional/Folklor. Yang dimaksud dengan “ekspresi budaya
tradisional” mencakup salah satu atau kombinasi bentuk ekspresi sebagai berikut :
1. verbal tekstual, baik lisan maupun tulisan, yang berbentuk prosa maupun
puisi, dalam berbagai tema dan kandungan isi pesan, yang dapat berupa
karya sastra ataupun narasi informatif;
2. musik, mencakup antara lain, vokal, instrumental, atau kombinasinya;
3. gerak, mencakup antara lain, tarian;
4. teater, mencakup antara lain, pertunjukan wayang dan sandiwara rakyat;
5. seni rupa, baik dalam bentuk dua dimensi maupun tiga dimensi yang
terbuat dari berbagai macam bahan seperti kulit, kayu, bambu, logam,
batu, keramik, kertas, tekstil, dan lain-1ain atau kombinasinya; dan
6. upacara adat.
James Danandjaya merumuskan ciri-ciri pengenal utama folklore sehingga
dapat dibedakan dari kebudayaan yang lainnya. Menurutnya, ciri-ciri pengenal
utama folklor dapat dirumuskan sebagai berikut.12
11
Kamal Puri, 1999, “Protection of Expressions of Indigenous Cultures in the Pacific”,
Copyright Bulletin UNESCO, Vol. 23, No. 4, h. 6-7. 12
James Danandjaya, Op.Cit, h. 3-4.
22
1. Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni
disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut (atau dengan suatu
contoh yang disertai dengan gerak isyarat, dan alat pembantu pengingat)
dari satu genenasi ke generasi berikutnya.
2. Folklor bersifat tradisional , yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap
atau dalam bentuk standar. Disebarkan di antara kolektif tertentu dalam
waktu yang cukup lama (paling sedikit dua generasi).
3. Folklor ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda.
Hal ini diakibatkan oleh cara penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan),
biasanya bukan melalui cetakan atau rekaman, sehingga oleh proses lupa
diri manusia atau proses interpolasi (interpolation), folklor dengan mudah
dapat mengalami perubahan. Walaupun demikian perbedaannya hanya
terletak pada bagian luarnya saja, sedangkan bentuk dasarnya dapat tetap
bertahan.
4. Folklor bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui
orang lagi.
5. Folklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola. Cerita rakyat,
misalnya, selalu mempergunakan kata-kata klise seperti “bulan empat belas
hari” untuk menggambarkan kecantikan seorang gadis dan “seperti ular
berbelit-belit” untuk menggambarkan kemarahan seseorang, atau
ungkapan-ungkapan tradisional, ulangan-ulangan, dan kalimat-kalimat atau
kata-kata pembukaan dan penutup yang baku, seperti kata “sahibul hikayat
... dan mereka pun hidup bahagia untuk seterusnya,” atau “Menurut
23
empunya cerita ... demikianlah konon” atau dalam dongeng Jawa banyak
yang dimulai dengan kalimat Anuju sawijining dina (pada suatu hari), dan
ditutup dengan kalimat: A lan B urip rukun bebarengan kayo mimi lan
mintuna (A dan B hidup rukun bagaikan mimi jantan dan mimi betina).
6. Folklor mempunyai kegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu
kolektif. Cerita rakyat misalnya mempunyai kegunaan sebagai alat
pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam.
7. folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai
dengan logika umum. Ciri pengenal ini terutama berlaku bagi folklor lisan
dan sebagian lisan.
8. Folklor menjadi milik bersama (collective) dari kolektif tertentu. Hal ini
sudah tentu diakibatkan karena penciptanya yang pertama sudah tidak
diketahui lagi, sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa
memilikinya.
9. Folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali
kelihatannya kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila
mengingat bahwa banyak folklor merupakan proyeksi emosi manusia yang
paling jujur manifestasinya.
Folklor (EBT) di Indonesia mencakup musik tradisional, narasi dan
literatur tradisional, seni tradisional, kerajinan tradisional, simbol/nama/istilah
tradisional, pertunjukkan tradisional, seni arsitektur tradisional, dan lain-lain.
Contoh EBT dikelompokkan menjadi ekspresi verbal: berpantun, berpuisi,
kata/tanda/simbol; ekspresi musik: instrumen musik, pelantunan lagu; ekspresi
24
gerakan: tari-tarian, bentuk permainan, upacara ritual, sesaji; ekspresi bentuk
nyata:produksi seni tradisional (menggambar, memahat patung, kerajinan kayu,
kerajinan logam, perhiasan, karpet tradisional, alatalat musik tradisional,
bangunan arsitektur tradisional).
Folklore di Indonesia yang dapat muncul dari warisan budaya tradisional
dan perlindungannya telah diakui secara internasional, yaitu :
1. alat dan proses (yang baru) untuk membuat perangkat musik tradisional
(angklung, gamelan, rebana, dll);
2. alat dan proses (yang baru) untuk membuat/memproduksi karpet yang
dihiasi seni tradisional;
3. alat dan proses (yang baru) untuk membuat/memproduksi batik tradisional;
4. alat dan proses (yang baru) untuk meracik dan mengemas jamu tradisional;
5. logo dan merek pada pada instrumen musik tradisional (logonya
menunjukkan ciri khas daerah asal instrumen musik);
6. logo dan merek batik tradisional (logo atau tanda yang menunjukkan seni
batik tradisional dari daerah asalnya).
7. alat dan proses (yang baru) untuk membuat perangkat musik tradisional
(angklung, gamelan, rebana, dll);
8. alat dan proses (yang baru) untuk membuat/ memproduksi karpet yang
dihiasi seni tradisional;
9. pola garis-warna yang diterapkan pada perangkat musik tradisional;
10. logo dan merek jamu tradisional; dan lain-lain.
25
1.8 Metode Penelitian
1.8.1 Jenis Penelitian
Dalam ilmu hukum mengenal adanya dua jenis penelitian yaitu penelitian
hukum empiris dan penelitian hukum normatif. Dari kedua jenis penelitian
tersebut, jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini adalah
jenis penelitian yuridis normatif.
Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrin. Pada
penelitian hukum jenis ini, acapkali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis
dalam peraturan perundang-undangan atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah
atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap paling
pantas.13
Dalam penulisan karya tulis ini penggunaan jenis penelitian hukum
normatif merupakan upaya untuk dapat menjawab persoalan yang terjadi dilihat
dari sudut pandang hukum sebagai suatu norma.
1.8.2 Jenis Pendekatan
Sebagai karya ilmiah, maka pendekatan masalah yang dipergunakan dalam
penyusunan tulisan ini adalah pendekatan secara normatif. Yang dimaksud dengan
pendekatan normatif adalah “penelitian yang menguraikan terhadap permasalahan
yang ada, untuk selanjutnya dibahas dengan kajian berdasarkan teori-teori hukum
dan kemudian dikaitkan dengan perundang-undangan yang berlaku dalam praktek
hukum14
.
13
. Amiruddin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, h. 118 14
.Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 2001, Penelitia Hukum Normatif Suatu Tijauan
Singkat Edisi I, Cet. V, Raja Grafindo Persada,Jakarta, h.13.
26
Dalam penelitian ini terdapat beberapa jenis metode pendekatan yaitu :
1. Pendekatan Kasus (The Case Approach).
2. Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach).
3. Pendekatan Fakta (The Fact Approach).
4. Pendekatan Analisis hukum (Analitikal danApproach).
5. Pendekatan Frasa (Words dan Phrase Approach).
6. Pendekatan Sejarah (HistoricalApproach).
7. Pendekatan Perbandingan (ComparativeApproach) .15
Dalam penelitian ini, digunakan pendekatan perundang-undangan,
Pendekatan Konsep, dan Pendekatan Sejarah.16
1. Pendekatan perundang-undangan adalah suatu penelitian normatif tentu
harus menggunakan perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah
aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral penelitian. Namun
analisis hukum yang dihasilkan oleh suatu penelitian hukum normatif yang
menggunakan pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) akan lebih
baik bila dibantu oleh satu atau lebih pendekatan lain yang cocok. Hal ini
berguna untuk memperkaya pertimbangan-pertimbangan hukum yang tepat
dalam menghadapi masalah hukum yang dihadapi.
2. Pendekatan konsep adalah unsur-unsur abstrak yang mewakili kelas-kelas
fenomena dalam suatu bidang studi yang kadang kala menunjuk pada hal-
hal universal yang diabstraksikan dari hal-hal yang partikular. Salah satu
15
Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum
Universitas Udayana, h. 80 16
. Johni Ibrahim, 2012, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet III,
Banyumedia Publishing, Malang, h. 300.
27
fungsi logis dari konsep ialah memunculkan objek-objek yang menarik
perhatian dari sudut pandangan praktis dan sudut pengetahuan dalam
pikiran dan antribut-antribut tertentu. Berkat fungsi tersebut, konsep-
konsep berhasil menggabungkan kata-kata dengan objek tertentu.
3. Pendekatan Sejarah adalah pendekatan yang memungkinkan peneliti untuk
memahami hukum secara lebih mendalam tentang suatu sistem atau
lembaga atau suatu pengaturan hukum tertentu sehingga dapat
memperkecil kekeliruan, baik dalam pemahaman maupun penerapan suatu
lembaga atau ketentuan hukum tertentu. Tata hukum yang berlaku sekarang
mengandung anasir-anasir dari tata hukum yang silam dan membentuk
tunas-tunas tentang tata hukum pada masa yang akan datang.
4. Pendekatan Kasus (case approach) yaitu pendekatan yang memungkinkan
peneliti untuk memahami penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang
dilakukan pada kasus pelanggaran hak cipta bagi pengrajin perak dalam
kasus Jhon Hardy.
1.8.3 Sumber Bahan Hukum
Bahan hukum yang di pergunakan dalam penelitian ini di peroleh melalui
studi keputusan baik melalui penelusuran peraturan perundang-undangan,
dokumen-dokumen yang merupakan hasil pengolahan orang lain yang sudah
tersedia dalam bentuk buku-buku ilmiah atau dokumentasi, penelitian bersumber
pada penelitian bahan hukum sebagai berikut.
28
1. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat outoritatif
artinya mempunyai otoritas.17
Bahan-bahan hukum primer terdiri dari
perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembutan
peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim, antara lain :
a. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Kitab Undang-Undang Republik Indonesia Hukum Perdata.
c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang
Hak Cipta.
d. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1986 tentang
Dewan Hak cipta.
e. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 823
K/Pid.Sus/2009.
2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan kepada
bahan hukum primer yang digunakan terutama pendapat para ahli hukum,
hasil penelitian hukum, hasil karya (ilmiah) hukum dan kegiatan ilmiah
lainnya.18
Keguanan hukum sekunder adalah memberikan kepada peneliti
semacam petujuk kearah mana penelitian melangkah.19
Bahan hukum
sekunder meliputi: Buku-buku hukum, majalah-majalah.
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi
petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
17
. Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Cetakan Pertama, Premada Media, h. 141. 18
. Ibid, h. 142 19
. Bambang Sunggono, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, h. 116.
29
sekunder, seperti kamus hukum, Surat kabar, majalah mingguan, bulletin
dan internet juga dapat menjadi bahan bagi penelitian ini sepanjang
memuat informasi yang relevan dengan objek kajian penelitian hukum
ini.20
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam pengumpulan data ini harus ditegaskan permasalahan mengenai
jenis, sifat dan kategori data serta perlakuan terhadap data yang dikumpulkan.
Tujuannya agar pengumpulan data dan penganalisaan terhadap data dapat sesuai
dengan tujuan dari penelitian.
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan adalah studi pustaka atau
studi dokumen yaitu mengumpulkan data sekunder mengenai obyek penelitian
yang berupa bahan-bahan hukum bersifat normative-perspektif, dilakukan dengan
cara penelusuran, pengumpulan data sekunder mengenai objek penelitian, baik
secara konvensional maupun dengan menggunakan teknologi informasi seperti
internet, dan lain-lain.
1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Data yang diperoleh, dikelompokkan dan disusun secara sistematis dan
untuk selanjutnya data tersebut dianalisis, secara analisis kualitatif. Yang
dimaksud analisis kualitatif, yaitu analisis yang berupa kalimat dan uraian.21
Metode yang digunakan adalah analisis yuridis, yaitu analisis yang mendasarkan
20
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.Cit, h. 14-15. 21
Achmad Ali, 2008, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Yasrif Watampone,
Jakarta, h. 188.
30
pada teori-teori, konsep dan peraturan perundang-undangan. Setelah itu data yang
diperoleh disusun secara sistematis dan untuk selanjutnya analisis kualitatif
dipakai untuk mencapai penjelasan yang dibahas.
Penggunaan teori-teori (dan konsep-konsep, Penelitian) dalam menafsirkan
hasil analisis bahan-bahan hukum bersifat normatif-prespektif, bertujuan
menghasilkan, menstrukturkan dan mensistematisasi teori-teori yang menjadi
dasar untuk pengambilan kesimpulan,22
sehingga tujuan akhir penelitian hukum
ini dapat tercapai, yaitu ditemukannya jawaban permasalahan mengenai
pelanggaran hak cipta bagi pengrajin perak dalam kasus Jhon Hardy.
22
M. van Hoecke, dalam Bernard Arief Sidharta, 2001, Refleksi tentang Struktur Ilmu
Hukum, Mandar Maju, Bandung, h. 154-155.