BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah · Banyak negara berkembang memiliki persoalan yang...

25
1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Membaca merupakan hal yang penting dalam kehidupan. Membaca adalah fondasi dasar pada keterampilan akademik. Banyak orang yang percaya bahwa membaca merupakan ukuran yang tepat dari kesuksesan orang dalam bidang akademik. Sebagian mata pelajaran yang diajarkan kepada siswa yang didasarkan pada konsep sederhana yaitu baca, mensintesis, menganalisis dan memroses informasi. Selain itu, membaca dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan memahami konsep pada setiap individu. Berpikir kritis merupakan kualitas penting dari seorang individu yang ingin sukses. Fungsi membaca juga akan meningkatkan jumlah kosakata seseorang dan kemampuan berkomunikasi baik lisan maupun tulisan. Namun demikian, sebuah persoalan membaca yang selalu mengemuka, terutama dikalangan pelajar, adalah bagaimana cara menimbulkan minat dan kebiasaan membaca (Asri, 2012). Banyak negara berkembang memiliki persoalan yang sama, yaitu kurangnya minat membaca dikalangan masyarakat. Di Indonesia sekarang ini masih banyak orang yang kurang menyukai aktivitas membaca. Menurut kepala perpustakaan Nasional, Sri Sularsi pada acara roadshow Perpustakaan Nasional yang dikutip dari Artikel Orang Indonesia Tidak Suka Membaca (2013), Masyarakat Indonesia tidak

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah · Banyak negara berkembang memiliki persoalan yang...

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Membaca merupakan hal yang penting dalam kehidupan. Membaca adalah

fondasi dasar pada keterampilan akademik. Banyak orang yang percaya bahwa

membaca merupakan ukuran yang tepat dari kesuksesan orang dalam bidang

akademik. Sebagian mata pelajaran yang diajarkan kepada siswa yang didasarkan

pada konsep sederhana yaitu baca, mensintesis, menganalisis dan memroses

informasi. Selain itu, membaca dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis

dan memahami konsep pada setiap individu. Berpikir kritis merupakan kualitas

penting dari seorang individu yang ingin sukses. Fungsi membaca juga akan

meningkatkan jumlah kosakata seseorang dan kemampuan berkomunikasi baik

lisan maupun tulisan. Namun demikian, sebuah persoalan membaca yang selalu

mengemuka, terutama dikalangan pelajar, adalah bagaimana cara menimbulkan

minat dan kebiasaan membaca (Asri, 2012).

Banyak negara berkembang memiliki persoalan yang sama, yaitu kurangnya

minat membaca dikalangan masyarakat. Di Indonesia sekarang ini masih banyak

orang yang kurang menyukai aktivitas membaca. Menurut kepala perpustakaan

Nasional, Sri Sularsi pada acara roadshow Perpustakaan Nasional yang dikutip dari

Artikel Orang Indonesia Tidak Suka Membaca (2013), Masyarakat Indonesia tidak

2

Universitas Kristen Maranatha

suka membaca. Lebih lanjut hasil survey menunjukkan bahwa, minat baca orang

Indonesia hanya 0,001% atau satu berbanding 1.000 orang. Lebih lanjut lagi,

menurut Mantan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat H.R Agung

Laksono yang di kutip dalam Tempo (2012), persentase minat baca masyarakat

Indonesia hanya sebesar 0,01%. Hal ini berarti dalam 10.000 orang hanya ada 1

orang saja yang memiliki minat baca. Berdasarkan data UNESCO United Nations

Development Proggrame (UNDP) atau Badan Program Pembangunan PBB,

menunjukkan bahwa angka melek huruf orang dewasa di Indonesia hanya 65,5

persen, jauh lebih rendah bila dibanding dengan negara tetangga Malaysia (86,4

persen). Laporan Bank Dunia (Education in Indonesia Crisis to recovery) (2012)

juga menyebutkan bahwa tingkat membaca usia kelas VI Sekolah Dasar di

Indonesia hanya mampu mencapai 51,7 di bawah Filipina (52,6), Thailand (65,1)

dan Singapura (74,0). Kenyataan ini menunjukkan kondisi yang sangat

memprihatinkan.

Menurut Priyo Sularso, Pustakawan Muda dari Perpustakaan Nasional RI dalam

artikel Rendahnya Minat Baca Berpengaruh Terhadap Kualitas Bangsa (2013),

dampak rendahnya minat baca masyarakat Indonesia sangat memengaruhi kualitas

bangsa Indonesia. Minat baca masyarakat akan memengaruhi kemampuan

seseorang dalam memahami dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan serta

informasi di dunia, sehingga pada akhirnya akan berdampak pada ketertinggalan

bangsa Indonesia. Saat ini, penduduk Indonesia lebih banyak mencari informasi

dari televisi dan radio dibanding buku atau media baca lainnya. Padahal melalui

radio dan televisi informasi yang diberikan tidak selengkap dan serinci

3

Universitas Kristen Maranatha

sebagaimana disajikan dalam buku. Oleh karena itu perlu dibudayakan gemar

membaca sejak usia dini.

Pada bagian ketersediaan pustaka, pemilik Fadli Zon Library menyebutkan,

rata-rata satu buku di Indonesia dibaca oleh 5 orang. Angka itu didapat dari 167,7

juta jumlah penduduk dibandingkan dengan jumlah terbitan buku di negeri ini yang

berjumlah 50 juta eksemplar per tahun. Sedangkan dari 64 ribu desa yang ada di

Indonesia, ternyata ketersediaan pustaka (perpustakaan) hanya 22 persen.

Menurutnya, rendahnya minat baca di kalangan siswa pun tidak terlepas dari

persoalan perpustakaan sekolah yang tidak mencukupi dan memadai. Itu terlihat

dari 110 ribu sekolah yang ada di Indonesia, terindentifikasi hanya 18 persen yang

mempunyai perpustakaan. Fadli juga menambahkan bahwa dari 200 ribu unit

sekolah dasar (SD) di Indonesia, hanya 20 ribu yang memiliki perpustakaan standar,

SMP hanya 36 persen, dan SMA hanya 54 persen yang memiliki perpustakaan

standar (Zon, 2013).

Hasil penelitian Sullivan (2013), menyebutkan 14,4 persen orang yang gemar

membaca mampu menguasai matematika, sedangkan 9,9 persen lebih mudah

memahami kosakata. Disimpulkan, penguasaan kosakata dari kegemaran membaca

itu membantu anak-anak menyerap banyak informasi dari kurikulum sekolah.

Simpulan itu juga berdasarkan pada latar belakang pendidikan orangtua. Dampak

kemampuan anak-anak yang gemar membaca koran pada usia 16 tahun dan rajin

mengunjungi perpustakaan, empat kali lebih besar dari keuntungan memiliki

orangtua yang berpendidikan perguruan tinggi (Sullivan, 2013).

4

Universitas Kristen Maranatha

Oleh karena itu, untuk dapat mengejar kemajuan yang telah dicapai oleh negara-

negara tetangga, perlu dikaji apa yang menjadikan mereka lebih maju. Ternyata

mereka lebih unggul di sumber daya manusianya. Budaya membaca mereka telah

mendarah daging dan sudah menjadi kebutuhan mutlak dalam kehidupan sehari-

harinya. Untuk mengikuti jejak mereka dalam menumbuhkan minat baca sejak dini

perlu ditiru dan diterapkan pada masyarakat Indonesia, terutama pada tunas-tunas

bangsa yang kelak akan mewarisi negeri ini.

Ada sebagian orang yang benar-benar peduli membaca namun masih banyak

pula yang kurang peduli dengan hal itu. Padahal membaca itu penting. Individu

akan memperoleh banyak informasi yang bermanfaat yang diperoleh dari

membaca. Pada saat sebagian orang lebih banyak berpikir untuk mencari

kesenangan bagi dirinya sendiri dan tidak memikirkan perasaan orang lain, masih

ada masyarakat yang melihat dan memiliki kepedulian terhadap kondisi ini dan

membentuk suatu komunitas. Komunitas itu tidak dibayar dan komunitas itu

memanfaatkan dari waktu luang. Aktivitas yang dilakukan yaitu menyebarkan rasa

cinta membaca kepada setiap anak tingkat SD serta remaja di daerah terpencil yaitu

daerah Garut. Transportasi yang digunakan oleh para relawan untuk mencapai

lokasi yaitu dengan mengendarai sepeda motor dari Bandung yang memerlukan

waktu tempuh sekitar 2 jam. Mereka adalah orang-orang yang menyukai membaca

dan memiliki tekad untuk membuat remaja di daerah terpencil menyukai membaca.

Kegiatan yang mereka lakukan meliputi mengelompokan anak-anak yang terdiri

dari 3-4 orang dalam satu kelompok dan dibimbing oleh 1 relawan. Setiap anggota

kelompok diberi tugas untuk membaca buku cerita dan menceritakan kembali di

5

Universitas Kristen Maranatha

depan teman-temannya dan relawan. Kemudian para relawan akan memberikan

apresiasi berupa pujian atas apa yang sudah dilakukan oleh anak-anak

bimbingannya. Komunitas ini dibentuk untuk mengumpulkan minat yang sama

agar dapat tersalurkan. Begitu juga dengan komunitas cinta baca, mereka memiliki

suatu kegemaran yang sama yaitu membaca dan dari sanalah mereka melakukan

kegiatan penyebaran gemar membaca kepada orang lain.

Dalam melakukan kegiatan ini mereka tidak mendapatkan keuntungan

finansial. Oleh karena itu perlu memahami apa yang sesungguhnya mendasari

anggota melakukan kegiatan tersebut. Mereka tidak mendapatkan uang, tidak

jarang mereka harus menyumbangkan dana pribadi dan dikumpulkan untuk biaya

pergi ke desa terpencil dan memberikan buku-buku untuk daerah tersebut. Semua

itu mereka lakukan agar warga Indonesia yang jarang membaca buku menjadi

gemar membaca buku.

Menurut wawancara dengan koordinator kegiatan komunitas cinta baca,

kegiatan ini dilakukan mengambil waktu luang mereka, seperti hari Sabtu dan

Minggu. Akibatnya, relawan tidak bisa terlibat aktif melakukan kegiatan

penyebaran gemar membaca apabila bentrok dengan kegiatan lainnya yang lebih

penting. Di awal-awal berdiri, komunitas cinta baca ini memiliki jumlah anggota

aktif sekitar 55 orang, kini jumlah anggota aktif hanya 35 orang. Kendala lainnya

yaitu dengan ketiadaan dana, selain itu rasa malas yang datang kepada relawan

ketika sedang memberikan penyebaran gemar membaca, terkadang juga rasa bosan

karena pekerjaan yang dilakukannya hal itu saja. Namun apabila sedang malas,

6

Universitas Kristen Maranatha

bosan dan lelah mereka ingat pada tujuan awal sehingga mereka tetap menjadi

relawan bagi kegiatan gemar membaca.

Kegiatan komunitas relawan cinta membaca dapat dikategorikan sebagai

perilaku prososial. Relawan memiliki alasan bervariasi untuk melakukan kegiatan

prososial. Menurut Baron & Byrne (2005), perilaku prososial adalah suatu tindakan

menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu

keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan mungkin

melibatkan suatu risiko bagi orang yang melakukan pertolongan. Dengan demikian

dapat disimpulakan bahwa motivasi prososial adalah suatu tindakan menolong yang

bermanfaat dan menguntungkan orang lain dengan cara berbagi dan menghibur.

Reykowsky (Eisenberg, 1982) mengemukakan bahwa motivasi prososial

merujuk seberapa kuat dorongan yang ada di dalam diri individu untuk melakukan

tingkah laku yang berorientasi pada melindungi, memelihara, atau meningkatkan

kesejahteraan seseorang atau kelompok. Perilaku prososial meliputi fenomena yang

luas seperti menolong, berbagi, rela berkorban demi orang lain dan penghormatan

terhadap norma yang berlaku.

Lebih lanjut Reykowsky (Eisenberg, 1982) menjelaskan bahwa perilaku

prososial didasari oleh motivasi prososial yang berasal dari dalam diri seseorang.

Secara umum terdapat tiga jenis motivasi prososial yaitu ipsosentric motivation,

endosentric motivation, dan intrinsic prosocial motivation. Ipsosentic motivation

adalah motivasi prososial yang di dasarkan pada keuntungan diri. Endosentric

motivation adalah motivasi prososial yang didasarkan pada upaya untuk

7

Universitas Kristen Maranatha

meningkatkan self esteem dan intrinsic prososial motivation adalah motivasi

prososial yang di dasarkan pada rasa ingin mensejahterakan orang lain. Setiap orang

memiliki ketiga jenis motivasi prososial pada dirinya.

Para relawan yang memiliki ipsocentric motivation, berarti melakukan kegiatan

untuk mendapatkan reward dari orang lain, yaitu menjadi relawan karena ingin

mendapatkan pahala. Relawan yang memiliki endosentric motivation artinya

melakukan kegiatan semata-mata untuk meningkatkan self-esteem pada dirinya,

artinya relawan tersebut melakukan kegiatan karena ingin dipuji oleh orang lain.

Ada juga relawan yang termasuk ke dalam intrinsic prosocial motivation, yaitu

relawan tersebut menolong orang lain karena keinginan dari dalam dirinya yang

tulus untuk menolong orang lain walaupun tidak mendapatkan reward.

Berdasarkan hasil wawancara kepada 10 orang relawan komunitas cinta baca,

ditemukan bahwa relawan memiliki berbagai motivasi prososial. Sebanyak 2 orang

atau 20% diantaranya mengaku keterlibatan dalam komunitas cinta baca karena

ikut-ikutan temannya saja, agar lebih mendapatkan banyak teman. Mereka

mengatakan, ada manfaat yang didapatkan ketika melakukan kegiatan penyebaran

gemar membaca seperti mendapatkan teman baru, dapat menjalin silaturahmi

dengan sesama manusia, ikut merasa senang ketika anak-anak senang. Adapun

manfaat lain yaitu mendapatkan ilmu yang bermanfaat ketika melakukan kegiatan

penyebaran gemar membaca. Ada kalanya relawan merasa malas pada saat akan

menyebarkan kegiatan gemar membaca, ketika sedang ada rasa malas, relawan

mengaku tidak melakukan kegiatan penyebaran gemar membaca. Selain itu, bila

8

Universitas Kristen Maranatha

ada pekerjaan lain, relawan mengaku lebih mengutamakan pekerjaan lain karena

telah memiliki ikatan kontrak kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang lain.

Hal ini dapat berkaitan dengan jenis ipsocentric motivation. Apabila relawan yang

memiliki ipsocentric motivation maka mereka cenderung untuk mencari teman

ketika akan melakukan kegiatan prososial, ketika tidak ada teman maka mereka

dapat tidak jadi untuk melakukan kegiatan prososial ini. Sehingga anak-anak yang

ditolong akan sangat tergantung dari ada atau tidaknya teman dari relawan.

Sebanyak 3 orang atau 30% diantara mereka mengaku ingin mendapatkan

reward yaitu dipandang baik oleh Tuhan atau orang lain. Ada relawan yang

mengatakan, kegiatan ini berjalan setiap seminggu sekali. Oleh karena itu jika tidak

melakukan kegiatan penyebaran gemar membaca dalam hidup mereka seperti tidak

berguna, terlalu memikirkan diri sendiri, merasa bersalah dan tidak bertanggung

jawab. Selain itu, ada relawan yang mengatakan bahwa ia sebagai seorang manusia

ingin bermanfaat untuk individu lain, ingin meningkatkan kualitas dirinya sehingga

relawan melakukan banyak kebaikan untuk orang lain seperti melakukan kegiatan

menyebarkan gemar membaca karena dengan melakukan kegiatan tersebut relawan

merasa puas terhadap dirinya. Hal ini dapat berkaitan dengan jenis endosentric

motivation. Apabila relawan yang memiliki endocentric motivation maka mereka

butuh penilaian baik dari orang lain sehingga self-esteem-nya meningkat. Ketika

relawan tidak memperoleh penilaian baik dari orang lain maka relawan cenderung

tidak melakukan tindakan prososial ywang berupa menyebarkan gemar membaca

sehingga anak-anak yang ditolong akan sangat tergantung dari ada atau tidaknya

penilaian baik kepada relawan dari orang lain.

9

Universitas Kristen Maranatha

Selain itu, ada sebanyak 5 orang atau 50% diantara mereka memang tulus dari

dalam hati ingin membuat anak-anak memiliki kegemaran untuk membaca.

Relawan biasanya bersemangat ketika melakukan kegiatan menyebar gemar

membaca karena senang bila anak-anak yang mereka arahkan untuk memiliki minat

baca menjadi menyukai membaca, senang bila banyak anak-anak yang bertanya

mengenai buku yang mereka baca. Relawan berharap anak yang diajari untuk

gemar membaca memiliki peningkatan kualitas dirinya yaitu menjadi lebih gemar

membaca dan sadar akan pentingnya membaca. Namun, adakalanya ketika relawan

memiliki rasa lelah, biasanya karena sudah mengikuti banyak kegiatan lain. Tetapi

selalu ada yang memotivasi diri sendiri lagi berupa niat untuk membuat anak – anak

memiliki gemar membaca, sehingga ketika rasa lelah itu datang relawan tetap

melakukan kegiatan penyebaran gemar membaca. Ada di antara mereka yang lebih

mementingkan hadir dalam kegiatan penyebaran gemar membaca dibanding hadir

dalam kegiatan lain, padahal dari kegiatan ini tidak mendapatkan reward berupa

bayaran sedangkan dikegiatan yang lainnya itu di bayar. Hal ini dapat berkaitan

dengan jenis intrinsic prosocial motivation. Apabila relawan yang memiliki

intrinsic prosocial motivation maka mereka cenderung melakukan kegiatan

menolongnya dengan tulus dan sesuai dengan kebutuhan anak-anak yang ditolong.

Sehingga minat baca anak-anak yang ditolong akan lebih cepat tumbuh.

Jika dilihat dari fenomena ini terdapat 50% pengurus yang memiliki motivasi

jenis intrinsic prosocial motivation, 30% diantaranya memiliki ipsocentric

motivation dan 20% diantaranya memiliki endosentric motivation. Dari fenomena

dan gambaran seperti inilah yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti Studi

10

Universitas Kristen Maranatha

Deskriptif Mengenai Motivasi Prososial pada Relawan Komunitas Cinta Baca di

Kota Bandung.

1.2. Identifikasi Masalah

Dari penelitian ini ingin diketahui jenis motivasi prososial apa yang paling

dominan didalam diri relawan komunitas cinta baca di Kota Bandung.

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1. Maksud Penelitian

Untuk mengetahui jenis motivasi prososial yang dominan pada relawan

komunitas cinta baca di Kota Bandung.

1.3.2. Tujuan penelitian

Untuk mendapatkan gambaran mengenai jenis motivasi prososial yang

dominan pada diri relawan dan juga mengetahui ipsosentric motivation, endosentic

motivation, intrinsic prosocial motivation pada relawan komunitas cinta baca Kota

Bandung.

1.4. Kegunaan Penelitian

1.4.1. Kegunaan Teoretis

11

Universitas Kristen Maranatha

Untuk memberikan infomasi tambahan pada ilmu psikologi khususnya

dalam bidang sosial mengenai perilaku prososial seperti tindakan menolong,

berbagi dan rela berkorban terhadap orang lain. Selain itu sebagai bahan

pertimbangan penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan motivasi prososial pada

relawan komunitas cinta baca Kota Bandung.

1.4.2. Kegunaan Praktis

1. Membantu memberikan informasi kepada relawan itu sendiri untuk dapat

mengetahui jenis motivasi prososial yang ada pada diri mereka dalam

upaya meningkatkan kegiatan menolong, berbagi, dan rela berkorban.

2. Memberikan tambahan informasi serta bahan referensi bagi peneliti lain

yang ingin meneliti lebih lanjut mengenai motivasi prososial di Komunitas

Cinta Baca di Bandung.

1.5. Kerangka Pikir

Relawan adalah sekumpulan orang yang tergerak hatinya untuk membantu.

Di Kota Kota Bandung ada sekelompok orang yang tergerak hatinya untuk

membantu anak-anak usia Sekolah Dasar (SD) hingga tingkat Sekolah Menengah

Pertama (SMP) yang kurang gemar membaca menjadi gemar membaca, mereka

menyebut dirinya sebagai Relawan Komunitas Cinta Baca. Relawan komunitas

Cinta Baca (selanjutnya akan disebut dengan relawan) berada pada masa

perkembangan dewasa awal dengan usia 22 – 35 tahun. Masa dewasa awal

merupakan peralihan dari masa kongkrit operasional ke formal operasional,

12

Universitas Kristen Maranatha

sehingga relawan yang berada pada masa dewasa awal daya analisisnya meningkat

dan lebih cekatan dalam merespon situasi terutama untuk memberikan pertolongan

pada masyarakat. Penelitian Staub (Eisenberg, 1982) mengemukakan bahwa

perilaku untuk menolong akan meningkat secara tajam di dalam masa dewasa awal,

hal ini didapat dari meningkatnya kepekaan perkembangan mental dari Concrete

Operational menuju Formal Operational, daya analisisnya akan meningkat dan

menjadi lebih cekatan dalam merespon situasi. (Eisenberg, 1982)

Menurut Bandura (Feist & Feist, 2010), teori sosial kognitif memiliki

asumsi dasar. Pertama, bahwa manusia itu plasticitas dan vicarious learning.

Plasticitas berarti manusia memiliki fleksibiltias untuk belajar berbagai jenis

perilaku dalam situasi yang berbeda-beda. Sedangkan vicarious learning adalah

belajar dengan mengobservasi orang lain. Selain itu, Bandura (Feist & Feist, 2014),

menekankan bahwa penguatan tidak langsung dapat diperoleh melalui observasi

terhadap orang lain yang menerima reward. Kedua, yaitu melalui model triadic

reciprocal causation yaitu, perilaku, lingkungan, dan faktor pribadi. Ketiga

faktor tersebut saling memengaruhi dalam mengontrol perilaku manusia.

Selanjutnya yang ketiga, teori sosial kognitif memiliki perspektif agen perilaku

dapat terbentuk melalui proses penguatan, yaitu manusia bertumpu pada efficacy

colective (keyakinan yang dimiliki oleh bersama). Ke empat, manusia dapat

mengendalikan tingkah laku yang mengacu pada faktor internal dan eksternal.

Faktor internal terdiri dari observasi diri, proses menilai dan reaksi diri. Faktor

eksternalnya lingkungan, fisik dan sosial.

13

Universitas Kristen Maranatha

Menurut Bandura (Feist & Feist, 2010), motivasi adalah construct kognitif

yang mempunyai dua sumber, pertama gambaran hasil pada masa yang akan datang

(yang dapat menimbulkan motivasi tingkah laku saat ini). Kedua, harapan

keberhasilan didasarkan pada pengalaman dalam mencapai tujuan. Dengan kata

lain, harapan mendapat reinforcement pada masa yang akan datang memotivasi

seseorang untuk bertingkah laku tertentu. Dengan menetapkan tujuan atau tingkat

performansi yang diinginkan, kemudian mengevaluasi performansi dirinya, orang

akan temotivasi untuk bertindak tertentu.

Hal ini menunjukkan bahwa relawan komunitas cinta baca tergerak untuk

menolong. Minat menolong didasari oleh proses belajar dan observasi yaitu melihat

fenomena kurangnya minat baca dikalangan anak dan remaja Indonesia. Oleh

karena itu, timbulah empati yang datang dari segelintir orang untuk meningkatkan

minat baca di Indonesia. Dari adanya empati bersama tersebut maka dibentuklah

komunitas cinta baca yang bertujuan untuk meningkatkan minat baca dengan cara

mengajak anak dan remaja untuk membaca cerita dan menceritakan kembali.

Perilaku sebagaimana yang dilakukan oleh para relawan komunitas cinta baca,

menurut Reykowski (1982) disebut perilaku prososial.

Menurut Reykowski (1982) setiap perilaku prososial memiliki alasan-

alasan yang menimbulkan kebebasan bagi anggota untuk memutuskan apakah akan

menolong atau tidak. Diri individu pada dasarnya sudah memiliki motivasi untuk

melakukan kegiatan sosial, namun demikian hanya sebagian individu saja yang

menggunakan motivasi tersebut. Dalam pelaksanaanya ketika seseorang sedang

14

Universitas Kristen Maranatha

berada pada lingkungan sosial, maka motivasi itu akan mulai diarahkan pada usaha

untuk mencapai tujuan.

Tindakan prososial meliputi kegiatan membantu, berbagi, rela berkorban

dan pemahaman norma. Perilaku ini memiliki satu karakteristik umum yaitu

orientasi tindakan individu yang untuk memberi perlindungan, perawatan dan

meningkatkan kesejahteraan dari objek sosial ekternal baik itu manusia secara

perorangan, kelompok, atau suatu perkumpulan secara keseluruhan, institusi sosial

atau sesuatu yang menjadi simbol, seperti contohnya adalah ideologi atau sistem

moral (Reykowsky dalam Eisenberg, 1982). Setiap perilaku pasti didasari oleh

dorongan dari dalam diri yang biasa disebut dengan motivasi. Motivasi prososial

adalah dorongan, keinginan, hasrat, dan tenaga penggerak yang berasal dari dalam

diri yang menimbulkan semacam kekuatan agar seseorang berbuat atau bertingkah

laku untuk mencapai tujuan yaitu memberi perlindungan, perawatan dan

meningkatkan kesejahteraan dari objek sosial eksternal baik itu manusia secara

individual, kelompok atau suatu perkumpulan secara keseluruhan, institusi sosial

atau menjadi simbol, seperti contohnya ideologi atau sistem moral. (Reykowsky

dalam Eisenberg: 1982)

Reykowski (1982) mengatakan bahwa perilaku prososial memiliki

berbagai jenis motif, yaitu terdiri dari Ipsosentric motivation, Endosentric

Motivation, dan Intrinsic Prosocial Motivation. Lebih lanjut Reykowski (1982)

menjelaskan masing-masing motivasi sebagai berikut: Ipsocentric motivation

adalah dorongan, keinginan, hasrat dan tenaga penggerak yang berasal dari dalam

15

Universitas Kristen Maranatha

diri sehingga menimbulkan kekuatan agar seseorang berbuat atau bertingkah laku

untuk mencapai tujuan. Tujuannya yaitu mendapatkan keuntungan pribadi dengan

cara mensejahterakan orang lain. Pada ipsosentric motivation, kondisi awal yang

memunculkan motivasi prososial adalah adanya harapan yang berupa reward dari

lingkungan (berupa pujian, materi, dan keuntungan lainnya). Oleh sebab itu,

relawan berpikir bahwa dirinya akan mendapatkan suatu keuntungan pada saat

melakukan tindakan menolong, dengan harapan peningkatan reward yang dapat

diraih, atau peningkatan ketakutan atas akan hilangnya reward apabila relawan

tidak melakukan tindakan menolong.

Seseorang dengan ipsosentric motivation akan meninggalkan perilakunya

untuk berkontribusi pada satu kegiatan apabila relawan akan mendapatkan reward

yang lebih besar pada kegiatan yang lain. Misalnya, relawan tidak melakukan

penyebaran gemar membaca karena mendapatkan reward yang lebih baik di tempat

lain, hal ini dapat menghambat dirinya dalam menjalankan kegiatan prososial. Jika

perilaku menolong relawan dilandasi oleh motivasi ini, artinya bantuan yang

diberikan relawan terfokus kepada kebutuhan diri sendiri. Relawan tidak fokus pada

kebutuhan orang yang akan di bantu. Relawan yang memiliki motivasi ini akan

memikirkan untung dan ruginya jika mereka berada pada komunitas ini. Hal ini

disebut dengan ipsosentric motivation.

Jenis motivasi prososial yang berikutnya adalah endosentric motivation.

Menurut Reykowsky (1982), Endosentric motivation adalah dorongan, keinginan,

hasrat dan tenaga penggerak yang berasal dari dalam diri seseorang yang

16

Universitas Kristen Maranatha

menimbulkan semacam kekuatan agar dia dapat berbuat atau bertingkah laku untuk

mecapai tujuan. Tujuan tersebut adalah untuk meningkatkan kesejahteraan sosial

pihak lain yang dikendalikan oleh perubahan self esteem pribadi dan dikendalikan

oleh norma sosial yang berlaku. Hasil yang ingin dicapai oleh relawan adalah

adanya peningkatan self-esteem-nya. Kondisi yang dapat memfasilitasi munculnya

perilaku prososial adalah kesesuaian dengan aspek-aspek moral dari perilaku dan

aspek – aspek moral yang ada di dalam diri relawan. Apabila kondisi tersebut

bertentangan dengan aspek-aspek moral dari perilaku dan dirinya, maka hal ini

dapat menghambat munculnya perilaku prososial. Pada saat menolong fokus

kebutuhannya masih ada untuk pemenuhan diri sendiri. Seorang relawan dapat

dikatakan memiliki endosentric motivation ketika perilakunya ingin terkesan baik

oleh orang lain agar ada peningkatan self esteem di dalam dirinya.

Jenis motivasi yang ke 3 yaitu intrinsic prosocial motivation. Intrinsic

prosocial motivation adalah dorongan, keinginan, hasrat dan tenaga penggerak

yang berasal dari dalam diri yang menimbulkan semacam kekuatan agar seseorang

dapat berbuat atau bertingkah laku untuk mencapai tujuan yaitu kesejahteraan pihak

lain tanpa mempedulikan kepentingan pribadi. Hasil yang ingin dicapai oleh

relawan adalah orang yang dibantu itu benar-benar mendapatkan pertolongan.

Fokus kebutuhan intrinsic prososial motivation adalah betul-betul untuk

kepentingan orang lain bukan pada diri sendiri. Selain itu, relawan dapat lebih

mudah untuk menjalin relasi dengan berbagai orang yang berbeda di dalam

lingkungannya. Seorang relawan dapat dikatakan memiliki intrinsic prosocial

17

Universitas Kristen Maranatha

motivation yaitu ketika menolong tidak mengharapkan ada hasil yang berupa

materi, reward dari orang yang ditolong.

Ada lima aspek untuk membentuk motivasi prososial yang disebutkan oleh

Reykowsky (1982). Aspek yang pertama yaitu kondisi awal yang mendahului atau

mendorong relawan untuk melakukan tindakan prososial. Pada ipsosentric

motivation, seorang relawan memiliki harapan yang berupa reward sosial (pujian,

keuntungan materi dan lain sebagainya) atau mencegah hukuman. Pada endosentric

motivation, seorang relawan dapat mengaktualisasi norma-norma pribadi yang

relevan. Pada intrinsic prosocial motivation, seorang relawan menekankan kondisi

yang diharapkan sesuai dengan persepsi dari sosial need yaitu untuk memperbaiki

kondisi lain menjadi lebih baik.

Aspek kedua yaitu hasil yang diantisipasi atau perkiraan yang akan diterima

karena melakukan tindakan prososial. Pada ipsosentric prososial motivation,

relawan akan mendapatkan keuntungan jika melakukan tindakan prososial, seperti

keuntungan untuk mendapatkan teman baru. Pada endosentric prososial

motivation, dengan melakukan tindakan prososial relawan akan memperoleh

peningkatan self-esteem-nya. Keuntungan yang diperoleh misalnya harapan untuk

mendapatkan pahala. Intrinsic prososial motivation, relawan melakukan tindakan

menolong karena mereka merasa akan mendapat kepuasan diri dengan

memperbaiki kondisi orang lain menjadi lebih baik, misalnya relawan senang

apabila minat membaca anak menjadi bertambah.

18

Universitas Kristen Maranatha

Aspek ketiga yaitu kondisi yang memengaruhi atau mendukung relawan

untuk melakukan tindakan prososial. Kondisi yang mendukung ipsosentric

motivation adalah harapan relawan terhadap meningkatnya reward, atau relawan

takut kehilangan reward ketika tidak melakukan tindakan prososial. Relawan

berharap ada yang memberi imbalan lebih ketika ia sedang melakukan tindakan

menolong atau relawan tidak pernah absen untuk mengikuti kegiatan menolong

karena takut tidak mendapatkan reward. Kondisi yang mendukung endosentric

motivation adalah adanya aspek-aspek moral yang sesuai dengan nilai-nilai moral

dari diri relawan. Kondisi yang mendukung intrinsic prososial motivation adalah

pemahaman relawan terhadap kebutuhan orang lain yang ditolong, karena orang

yang memiliki motivasi ini lebih memfokuskan dirinya untuk kebutuhan orang lain

sehingga jika relawan tepat memahami kebutuhan orang lain maka apa yang sudah

relawan berikan akan menjadi tepat guna, seperti relawan membelikan buku-buku

baru yang menarik bagi anak-anak sehingga anak-anak menjadi gemar membaca.

Aspek keempat yaitu kondisi yang menghambat untuk melakukan tindakan

prososial. Kondisi yang menghambat ipsosentric motivation adalah pertimbangan

untung rugi jika melakukan tindakan prososial seperti pada saat relawan tidak

adanya reward lagi yang didapat ketika melakukan tindakan prososial, seperti

ketika tidak ada teman di komunitas tersebut maka relawan tidak mau menolong.

Kondisi yang menghambat endosentric motivation menekankan pada aspek-aspek

pribadi yang tidak dihubungkan pada norma sosial (stress, kerugian, dan lain

sebagainya) seperti merasa diri tidak berguna pada saat melakukan tindakan

menolong sehingga relawan tidak mau menolong lagi. Kondisi yang menghambat

19

Universitas Kristen Maranatha

intrinsic prosocial motivation adalah egosentris yang memusatkan kebutuhan dari

relawan selain need social seperti ketika ada hal lain yang lebih penting, relawan

akan lebih mendahulukan kebutuhan yang lain, bukan kebutuhan untuk bertindak

prososial.

Aspek yang kelima adalah karakteristik kualitas tindakan. Ipsosentric

motivation menunjukan perilaku yang fokus terhadap kebutuhan diri sendiri dan

memperlihatkan minat yang rendah terhadap kebutuhan orang lain, sehingga dalam

menolong kurang memperhatikan kebutuhan orang lain, dan minat lebih terarah

kepada kebutuhan pribadi. Artinya, jika kegiatan itu menguntungkan bagi relawan,

maka ia akan bertindak. Relawan akan melakukan tindakan prososial ketika ia

dibayar misalnya. Endosentric motivation menunjukan tingkat ketepatan

penawaran rendah dan minat menolong orang lain diukur dari sudut pandang

pribadi, sehingga dalam menolong, kebutuhan yang ditolong dipandang

berdasarkan kebutuhan pribadi. Artinya, relawan pada saat menolong ingin dinilai

oleh orang lain bahwa dirinya baik, mendapat pahala dan ingin terkenal di

masyarakat. Pada intrinsic prososial motivation menunjukan minat yang tinggi

terhadap kebutuhan orang lain dan berada pada derajat akurasi yang tinggi dalam

memberikan bantuan, sehingga dalam menolong lebih memperhatikan dan

memahami kebutuhan yang ditolong pada saat menolong orang lain, waktu, materi

pertolongan disesuaikan dengan kebutuhan orang lain. Artinya relawan menolong

orang yang benar-benar butuh pertolongan dan diberikan pertolongan secara tepat

karena relawan tersebut memahami kebutuhan dari orang yang ditolongnya. Ketika

20

Universitas Kristen Maranatha

relawan menolong, ia akan menolong secara tanpa pamrih, tidak ingat waktu dan

pekerjaan-pekerjaan lain yang dia miliki.

Reykowski (1982) lebih lanjut menyebutkan ada dua faktor yang

memengaruhi motivasi prososial yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor

eksternal yang memengaruhi pembentukan motivasi prososial dalam diri anggota

diantaranya adalah modelling orangtua dan lingkungan sosial. Reykowski (1982)

mengamati bahwa relasi antara anak yang dididik dalam keluarga yang

mengajarkan kejujuran dan kebiasaan saling menolong akan menunjukkan tindakan

prososial yang lebih tinggi frekuensinya. Selain itu perilaku menolong orangtua dan

alasan yang orangtua ungkapan untuk menolong merupakan modelling bagi anak

yang dapat mendukung perkembangan dari motivasi prososial. Artinya bila ada

seorang relawan yang orangtuanya bertingkah laku seperti relawan, maka akan

mengobservasi perilaku orangtuanya sehingga kemungkinan besar anak tersebut

akan melihat salah satu dari orangtuanya yang bertingkah laku seperti relawan.

Dengan demikian, ada kemungkinan anak tersebut ingin menjadi relawan di

kemudian hari. Orangtua yang mengajarkan anaknya untuk menampilkan tingkah

laku prososial yang lebih didasari dari mengharapkan pujian dari orang lain maka

disebut ipsosentric motivation. Orangtua yang mengajarkan anaknya untuk

menolong seperti teman-teman di sekolahnya, dengan tujuan terlihat baik di depan

orang lain dan dalam bertingkah laku harus sesuai dengan norma, maka akan

mengarahkan anak pada endosentric motivation. Ketika orangtua berperilaku

menolong tanpa pamrih kepada orang lain dan meminta anaknya untuk tidak

21

Universitas Kristen Maranatha

meminta imbalan setelah menolong, maka orangtua sedang mengajarkan intrinsic

prosocial motivation.

Orangtua yang memberikan reward dan punishment sehingga tingkah laku

akan diulang atau dihentikan, pola ini akan mengarahkan seseorang pada

ipsosentric motivation. Petunjuk secara verbal dari orangtua dalam membentuk

tindakan anak dalam menolong merupakan teknik yang digunakan orangtua untuk

mengajarkan anak agar selalu menolong, tindakan-tindakan tersebut akan

mengarahkan anak pada pembentukan motivasi prososial.

Faktor lain yang memengaruhi motivasi prososial adalah lingkungan sosial.

Lingkungan sosial berpengaruh pada tindakan prososial. Lingkungan sosial

memiliki pengaruh yaitu dengan adanya kontak yang dilakukan berkali-kali dan

feedback dari orang yang dibantu mengenai akibat dari perilaku orang yang

membantu akan mengakibatkan intrinsic prosocial motivation menjadi

berkembang pada diri seseorang yang membantu. Adanya kontak yang dilakukan

berkali-kali akan menghasilkan peningkatan kesukaan pada objek tersebut, dengan

begitu interaksi dengan orang yang dibantu menghasilkan emosi positif. Emosi

positif merupakan bukti dan perkembangan kognitif sehingga seseorang yang

melakukan kontak berkali-kali dan memberikan feedback berkesempatan untuk

memiliki perkembangan kognitif yang lebih baik tentang orang yang dibantu.

Membuat seseorang memiliki pengetahuan informasi yang cukup untuk mengenali

kebutuhan orang yang dibantu (Reykowski dalam Eisenberg, 1982).

22

Universitas Kristen Maranatha

Feedback yang diterima oleh relawan komunitas cinta baca dari orang yang

diberikan minat baca mengenai akibat dari tindakan menolong yang ia tunjukkan

dapat mengakibatkan intrinsic prosocial motivation pada relawan. Hal ini terjadi

karena adanya kontak yang dilakukan antara relawan komunitas cinta baca dengan

orang yang ditolong, terkait dengan tindakan menolong yang dilakukannya

membuat relawan merasa senang dan mendapat suatu kepuasan, melalui interaksi

yang terjalin diantaranya. Melalui feedback dan kontak yang berkali-kali membuat

relawan memiliki pengetahuan informasi yang cukup untuk mengenali kebutuhan

diri anak yang kurang minat minat bacanya.

Lingkungan pendidikan memiliki pengaruh yaitu individu diajari oleh

gurunya mulai dari taman kanak-kanak hingga tingkat Sekolah Menengah Atas

(SMA) untuk melakukan tindakan menolong tanpa pamrih dan harus berbuat baik

kepada orang lain, maka diharapkan akan terbentuk intrinsic prosocial motivation.

Lingkungan sosial juga berpengaruh terhadap motivasi prososial dimana ada rasa

ingin mendapatkan teman baru ketika sedang menolong, dari sini juga bisa

terbentuk ipsosentric motivation. Ketika lingkungan sosial berada dalam

lingkungan orang beragama, seseorang dituntut untuk memiliki pahala yang banyak

sehingga relawan harus melakukan banyak tindakan menolong orang lain, adanya

rasa konformitas terhadap kelompoknya, maka itu disebut endosentric motivation.

Selain itu, lingkungan sosial juga dapat memengaruhi perkembangan motivasi

prososial dari dalam diri individu. Semakin sering orang tersebut tergabung dalam

perkumpulan relawan, maka diharapkan orang tersebut memiliki sikap yang sama

dengan relawan yang lainnya.

23

Universitas Kristen Maranatha

Selain faktor eksternal ada juga faktor internal yang dapat memengaruhi

perilaku prososial yaitu faktor usia dan jenis kelamin. Faktor yang pertama adalah

faktor usia. Perkembangan usia tidak terlepas dari perkembangan moral dan

kognitif individu. Semakin dewasa seseorang maka diharapkan untuk memiliki

tingkat moral judgement yang lebih tinggi dibanding orang dengan usia yang muda.

(Eisenberg, 1982).

Faktor internal yang kedua yaitu jenis kelamin. Terdapat signifikansi antara

laki-laki dan perempuan dalam generousity (suka memberi, penyayang, pengasih,

suka menolong dan beramal) dari perilaku helpfulness dan comforting (suka

menolong, memberi bantuan dan memberikan ketenangan) bahwa relawan yang

berjenis kelamin perempuan lebih generousity, helpfulness, dan comforting

dibanding relawan yang berjenis kelamin laki-laki. Ada juga keterkaitan signifikan

antara moral judgement dengan perilaku generousity dan helpfulness, dimana

tingkat moral judgement yang tinggi ini mengarah pada intrinsic prosocial

motivation, yaitu perilaku menolong untuk memberikan kondisi positif kepada

objek sosial. Keterangan diatas menunjukan bahwa jenis kelamin memiliki

pengaruh terhadap motivasi prososial (Darlev & Latane dalam Eisenberg, 1982).

Berdasarkan penjelasan di atas, kerangka pikir digambarkan sebagai berikut:

24

Universitas Kristen Maranatha

Bagan 1.1 Bagan Kerangka Pemikiran

Relawan

Komunitas

Cinta Baca

Kota

Bandung

Motivasi

Prososial

5 aspek motivasi prososial:

1. Kondisi awal yang mendahului (Condition of

Initiation)

2. Hasil yang diantisipasi (Anticipatory Outcome)

3. Kondisi yang memfasilitasi (Facilitating

Conditions)

4. Kondisi yang menghambat (Inhibitory Conditions)

5. Ciri kualitatif dari tindakan (Qualitative

Characteristics of an acts)

Faktor Eksternal:

Modelling dari orangtua

Lingkungan Sosial

Faktor Internal :

Usia

Jenis Kelamin

Intrinsic

prosocial

motivation

Endosentric

Motivation

Ipsosentric

Motivation

25

Universitas Kristen Maranatha

1.6. Asumsi Penelitian

1) Setiap relawan memiliki ketiga jenis motivasi prososial yaitu Ipsocentric

Motivation, Endocentric Motivation dan Intrinsic Prosocial Motivation

dalam dirinya, namun hanya ada satu yang dominan yang memengaruhi

perilaku relawan komunitas cinta baca di Kota Bandung.

2) Adanya reward dapat menyebabkan perilaku prososial Ipsosentric

Motivation pada relawan komunitas cinta baca di Kota Bandung.

3) Adanya harapan untuk menyebabkan self-esteem akan menyebabkan

perilaku prososial Endosentric Motivation pada relawan komunitas cinta

baca di Kota Bandung.

4) Keinginan yang kuat untuk menolong tanpa memedulikan kepentingan

pribadi akan menyebabkan perilaku intrinsic prososial motivation pada

relawan komunitas cinta baca di Kota Bandung.

5) Kelima aspek yaitu kondisi awal yang mendahului (Condition of Initiation),

hasil yang diantisipasi (Anticipatory Outcome), kondisi yang memfasilitasi

(Facilitating Conditions), kondisi yang menghambat (Inhibitory

Conditions), ciri kualitatif dari tindakan (Qualitative Characteristics of an

acts) merupakan bagian dari motivasi prosoial yang dimiliki oleh relawan

komunitas cinta baca di Kota Bandung.