BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Laporan-20… · BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat...

129
1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini Indonesia menghadapi masalah beban gizi ganda yang ditunjukkan dengan masih tingginya masalah gizi kurang (19,6%) dan stunting (37,2%) serta semakin meningkatnya masalah kegemukan pada Balita sebesar 11,8%. Kedua masalah gizi tersebut erat kaitannya dengan masalah gizi dan kesehatan ibu hamil dan menyusui, bayi baru lahir dan anak usia di bawah dua tahun (Baduta). Hal tersebut dapat terlihat dari tingginya masalah kurang gizi pada masa pra hamil yang ditandai tingginya prevalensi anemia pada remaja dan Wanita Usia Subur (WUS) masing-masing sebesar 22,7% dan 37,1%, dan prevalensi Kurang Energi Kronis (KEK) pada WUS dan ibu hamil sebesar 20,8% dan 24,2%. Keadaan ini tentunya akan memberikan kontribusi terhadap terjadinya gangguan gizi pada masa pre natal yang ditandai dengan tingginya angka prevalensi bayi BBLR (<2500 gram) sebesar 10,2% dan bayi lahir pendek (<48 cm) sebesar 20,2% (Balitbangkes, 2013). Kekurangan gizi yang terjadi pada masa kehamilan dan masa usia dini maka dalam jangka pendek akan berpengaruh terhadap terjadinya: 1) gangguan perkembangan sel-sel otak; 2) gangguan pertumbuhan fisik berupa IUGR dan BBLR; 3) terganggunya proses metabolik dari berbagai komponen seperti glukosa, lemak, protein, hormon, gen dan reseptor. Selanjutnya dalam jangka panjang, ketiga gangguan tersebut secara paralel, masing-masing dapat mengakibatkan :1) rendahnya kemampuan kognitif; 2) risiko tetap stunting pada periode umur selanjutnya; serta 3) meningkatkan risiko untuk menderita penyakit kronis pada usia dewasa, seperti hipertensi, DM, jantung coroner, dan obesitas. Dampak yang ditimbulkan tersebut bersifat permanen dan tidak dapat diperbaiki pada periode umur selanjutnya sehingga akan berpengaruh terhadap rendahnya kualitas hidup manusia Indonesia (Rajagopalan, 2003). Sesuai dengan agenda ke-5 Nawa Cita Pemerintah yaitu Meningkatkan Kualitas Hidup manusia Indonesia maka pemerintah memiliki Program Utama Kesehatan yaitu Program Indonesia Sehat yang didukung oleh program sektoral lainnya yaitu Program Indonesia Pintar, Program Indonesia Kerja dan Program Indonesia Sejahtera. Adapun sasaran dari Program Indonesia Sehat adalah meningkatnya derajat kesehatan dan status gizi masyarakat melalui upaya kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang didukung

Transcript of BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Laporan-20… · BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat...

  • 1

    BAB I. PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Saat ini Indonesia menghadapi masalah beban gizi ganda yang ditunjukkan dengan

    masih tingginya masalah gizi kurang (19,6%) dan stunting (37,2%) serta semakin

    meningkatnya masalah kegemukan pada Balita sebesar 11,8%. Kedua masalah gizi

    tersebut erat kaitannya dengan masalah gizi dan kesehatan ibu hamil dan menyusui, bayi

    baru lahir dan anak usia di bawah dua tahun (Baduta). Hal tersebut dapat terlihat dari

    tingginya masalah kurang gizi pada masa pra hamil yang ditandai tingginya prevalensi

    anemia pada remaja dan Wanita Usia Subur (WUS) masing-masing sebesar 22,7% dan

    37,1%, dan prevalensi Kurang Energi Kronis (KEK) pada WUS dan ibu hamil sebesar

    20,8% dan 24,2%. Keadaan ini tentunya akan memberikan kontribusi terhadap terjadinya

    gangguan gizi pada masa pre natal yang ditandai dengan tingginya angka prevalensi bayi

    BBLR (

  • 2

    dengan perlindungan finansial dan pemerataan pelayanan kesehatan yang dilaksanakan

    melalui tiga pilar utama, yaitu: (1) penerapan paradigma sehat, (2) penguatan pelayanan

    kesehatan, dan (3) pelaksanaan jaminan kesehatan nasional (JKN). Penerapan paradigma

    sehat dilakukan dengan strategi pengarusutamaan kesehatan dalam pembangunan,

    penguatan upaya promotif dan preventif, serta pemberdayaan masyarakat. Penguatan

    pelayanan kesehatan dilakukan dengan strategi peningkatan akses pelayanan kesehatan,

    optimalisasi sistem rujukan, dan peningkatan mutu menggunakan pendekatan continuum

    of care dan intervensi berbasis risiko kesehatan. Sedangkan pelaksanaan JKN dilakukan

    dengan strategi perluasan sasaran dan manfaat (benefit), serta kendali mutu dan biaya.

    (Kemenkes, 2016).

    Pada hakekatnya penyebab dasar terjadinya masalah kurang gizi adalah masalah

    ekonomi yang ditandai dengan rendahnya daya beli masyarakat sehingga menyebabkan

    rendahnya ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga yang dapat menyebabkan

    rendahnya asupan zat gizi. Selain disebabkan rendah asupan zat gizi maka pola

    pengasuhan Balita yang kurang baik dan buruknya kondisi sanitasi lingkungan dan kurang

    tersedianya sarana air bersih serta kurangnya akses terhadap pelayanan kesehatan, juga

    memberikan kontribusi terhadap terjadinya infeksi yang berulang yang pada akhirnya

    menyebabkan terjadinya masalah masalah kurang gizi (Unicef, 1998). Mengingat

    penyebab masalah gizi adalah multifaktor maka upaya yang harus dilakukan dalam

    mengatasi masalah kurang gizi harus melalui pendekatan multisektor. Artinya bahwa

    penanggulangan masalah kurang gizi tidak hanya dilakukan oleh sektor kesehatan saja

    tetapi juga dilakukan bersama-sama dengan sektor diluar bidang kesehatan. Sektor lain

    diluar kesehatan yang memiliki peranan penting dalam penanggulangan masalah gizi

    antara lain adalah sektor ekonomi, pekerjaan umum, pertanian, ketahanan pangan,

    perikanan, pendidikan dan sektor terkait lainnya (Bappenas, 2012).

    Strategi penurunan masalah stunting yang mengoptimalkan keterlibatan lintas

    program dan lintas sektor sudah berhasil dilaksanakan di beberapa negara dengan

    prevalensi stunting tinggi, seperti Brazil berhasil menurunkan prevalensi stunting dari

    37,1% pada tahun 1974 menjadi 7,1% pada tahun 2007, Peru melalui keterlibatan sektor

    kesehatan, pendidikan, ketersedian air bersih dan sanitasi, perumahan, pertanian dan LSM

    serta adanya program bantuan untuk penduduk miskin dapat menurunkan prevalensi

    stunting dari 22,9% pada tahun 2005 menjadi 17,9% tahun 201, Bolivia melalui program

    yang hampir sama dapat menurunkan prevalensi stunting dari 18,5% pada tahun 2008

  • 3

    menjadi 13,5% pada tahun 2011, Negara Bagian Maharashtra (India) berhasil menurunkan

    prevalensi stunting dari 44% tahun 2005 menjadi 22,8% pada tahun 2012 melalui

    pendampingan dan pelatihan terkait tiga hal, yaitu 1) Advocay terkait pentingnya 1000

    HPK; 2) Kebijakan intervensi berbasis data; dan 3) Peningkatan kerjasama lintas program

    dan sektor. Selanjutnya pengalaman di 9 Negara Sub Sahara Afrika melalui intervensi

    multi sektor pada tahun 2005-2009 juga dapat mempercepat penurunan stunting sebesar

    43% (Global Nutrition Report, 2014, Haddad, L, et all, 2014)

    Dalam rangka percepatan penurunan masalah kurang gizi, pemerintah telah

    mengeluarkan berbagai kebijakan antara lain dengan diterbitkannya Peraturan Presiden no

    42 tahun 2013 yang berisi tentang upaya bersama antara pemerintah dan masyarakat

    melalui penggalangan partisipasi dan kepedulian pemangku kepentingan secara terencana

    dan terkoordinasi dalam rangka percepatan perbaikan gizi masyarakat melalui Gerakan

    1000 hari pertama kehidupan (1000 HPK) dan berbagai kebijakan dan program di

    Kementerian lain di luar Kesehatan, seperti di Kementerian Pertanian dan Kementerian

    terkait lainnya. Adapun prinsip dari Gerakan 1000 HPK tersebut adalah bagaimana upaya

    yang harus dilakukan agar dalam 1000 HPK yaitu sejak masa 9 bulan kehamilan (270

    hari) dan masa 2 tahun setelah lahir (730 hari) tersebut tidak terjadi kekurangan gizi

    (Kemenkumham, 2013).

    Selanjutnya pada tahun 2017, pemerintah telah memberikan perhatian yang cukup

    besar dalam penanggulangan masalah gizi di Indonesia melalui penetapan 5 Pilar

    Penanganan Stunting yaitu 1) Komitmen dan Visi Pimpinan Tertinggi Negara,; 2)

    Kampanye Nasional berfokus pada pemahaman, perubahan perilaku, komitmen politik

    dan akuntabilitas,; 3) Konvergensi, Koordinasi dan konsolidasi Program Nasional, Daerah,

    dan Masyarakat,; 4) Mendorong Kebijakan “Nutritional Food Security,; 5) Pemantauan

    dan Evaluasi. Selanjutnya terkait dengan pilar ke 2 maka pada tahun 2017 ditetapkan

    1000 desa di 100 kabupaten/kota sebagai prioritas dalam intervensi stunting berdasarkan

    pada tingkat kemiskinan, prevalensi stunting dan akses geografi yang akan terus diperluas

    pada 514 kabupaten/kota pada tahun 2021 (TNP2K, 2017). Dalam rangka mewujudkan

    tujuan pilar ke 2 maka penanganan stunting perlu koordinasi antar sektor dan melibatkan

    berbagai pemangku kepentingan seperti Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Dunia

    Usaha, Masyarakat Umum, dan lainnya. Presiden dan Wakil Presiden berkomitmen untuk

    memimpin langsung upaya penanganan stunting agar penurunan prevalensi stunting dapat

    dipercepat dan dapat terjadi secara merata di seluruh wilayah Indonesia.

  • 4

    Kabupaten Tasikmalaya merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Barat

    yang memiliki masalah stunting sangat tinggi sekitar 41,7%, termasuk dalam 64

    kabupaten prioritas Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019 serta merupakan salah satu

    dari 100 kabupaten/kota prioritas intervensi stunting oleh pemerintah (TNP2K, 2017).

    Salah satu hal yang menyebabkan kurang berhasilnya upaya penurunan stunting di

    Kabupaten Tasikmalaya adalah kurang optimalnya koordinasi dan kerjasama lintas sektor

    terkait penanggulangan masalah stunting. Hal ini turut memberikan kontribusi terhadap

    ketidaktahuan dan ketidakpahaman sektor lain diluar kesehatan tentang masalah stunting,

    baik penyebab maupun dampak yang ditimbulkan serta daerah mana saja yang banyak

    terjadi masalah stunting. Kondisi ini menyebabkan sektor lain di luar kesehatan belum

    menggunakan masalah stunting sebagai salah satu dasar dalam perencanaan program dan

    kegiatan termasuk dalam hal penetapan lokus dan target sasaran (Prihartini, dkk, 2016).

    Sebagai salah satu upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan menjaga

    asupan gizi anak maka pada tahun 2015, Dinas Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya

    bekerjasama dengan salah satu LSM membuat program Kampung Gizi di desa Taraju,

    Kecamatan Taraju. Ada tiga komponen yang terdapat dalam Kampung Gizi yaitu perilaku

    sehat, lingkungan sehat, dan ketersediaan pangan. Adapun kegiatan yang dilakukan antara

    lain adalah pemanfaatan tanaman pekarangan dengan menanam sayuran, beternak ayam

    atau hal lain yang dapat memberikan nilai ekonomi lebih. Kabupaten Tasikmalayayang

    mengutamakan pemberdayaan masyarakat yang hasilnya dapat digunakan untuk

    memenuhi kebutuhan gizi masyarakat.

    Sebagai implementasi Pilar ke 2 dari 5 Pilar penanganan stunting oleh pemerintah,

    yaitu Konvergensi, Koordinasi dan konsolidasi Program Nasional, Daerah, dan

    Masyarakat serta adanya pengalaman dari program Kampung Gizi yang pernah dilakukan

    oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya maka perlu dilakukan suatu penelitian

    operasional yang mencoba mengembangkan lebih lanjut program “Kampung Gizi”

    sebagai suatu gerakan dalam upaya penurunan masalah stunting melalui peningkatan kerja

    sama dan integrasi program dan kegiatan lintas sektor.

    1.2 Perumusan Masalah

    Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Unicef tahun 1998 maka penyelesaian

    masalah gizi bukan hanya menjadi tanggung jawab sektor kesehatan karena hanya akan

    memberikan kontribusi sebesar 30% terhadap penyelesaian masalah gizi tetapi justru

  • 5

    yang memberikan kontribusi lebih besar sekitar 70% adalah sektor lain di luar kesehatan

    seperti sektor pertanian, perikanan/peternakan, ketahanan pangan, sosial, pekerjaan

    umum, perindusterian dan koperasi, dan sektor terkait lainnya (Lancet, 2011). Namun

    demikian, kurangnya koordinasi, baik antar program, sektor dan lembaga pemerintahan

    menyebabkan semua kebijakan dan program yang telah direncanakan tidak dapat

    dimplementasikan dengan baik sehingga tidak dapat berhasil sesuai yang diharapkan.

    Dalam rangka implementasi 5 Pilar Penanganan Stunting dan berdasarkan

    pengalaman beberapa negara yang telah berhasil menanggulangi masalah stunting melalui

    pendekatan multi sektor serta pengalaman program Kampung Gizi di Kabupaten

    Tasikmalaya serta implementasi dari maka perlu dilakukan sebuah penelitian operasional

    pengembangan model integrasi Lintas Sektor dalam rangka penurunan masalah stunting

    melalui Kampung Gizi, dengan target sasaran utama adalah kelompok remaja puteri dan

    wanita usia subur (WUS), serta kelompok 1000 HPK (ibu hamil, ibu nifas, ibu menyusi,

    bayi, dan baduta), lintas program dan lintas sektor. Selanjutnya hasil penelitian ini

    diharapkan dapat dijadikan sebagai pembelajaran bagi daerah lain dalam upaya

    menurunkan masalah stunting.

    Penelitian ini adalah penelitian multi years selama 3 tahun (tahun 2018, 2019 dan

    2020). Protokol penelitian ini merupakan protokol untuk penelitian tahun pertama (tahun

    2018) dan output yang diharapakan adalah adanya kesadaran, peran serta dan komitmen

    bersama dari seluruh pihak dalam penanggulangan masalah stunting yang dituangkan

    melalui terbentuknya Tim Penanggulangan Stunting baik di Pemerintahan Tingkat

    Kabupaten (SK atau Peraturan Bupati, tingkat Kacamatan (Peraturan Camat), dan tingkat

    Desa (Peraturan Desa), sedangkan di tingkat masyarakat diupayakan adanya

    pemberdayaan dan peran serta aktif masyarakat dalam upaya penurunan masalah

    Stunting. Selain itu juga diharapkan akan menghasilkan suatu draft pedoman tentang

    bagaimana langkah-langkah dalam melakukan Integrasi Lintas Sektor dalam upaya

    penurunan Stunting, mulai dari penentuan lokus dan sasaran bersama, perencanaan dan

    pelaksanaan intervensi, monitoring-evaluasi sampai penentuan dan pengukuran indikator

    keberhasilan, baik dalam jangka pendek, menengah, dan jangka panjang.

  • 6

    1.3 Pertanyaan Penelitian

    Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan

    sebelumnya maka pertanyaan penelitian pada penelitian ini adalah apakah Model

    Integrasi Lintas Sektor melalui “Kampung Gizi” dapat menurunkan masalah stunting ?

    1.4 Tujuan Penelitian

    a. Tujuan Umum

    Memperoleh Model Integrasi Lintas Sektor yang efektif dalam upaya menurunkan

    masalah Stunting.

    b. Tujuan Khusus

    1. Mempelajari bagaimana kontribusi sektor kesehatan dalam upaya

    penanggulangan masalah Stunting.

    2. Mempelajari bagaimana kontribusi sektor non kesehatan (Pemerintahan Desa,

    Pertanian, Ketahanan Pangan dan Perikanan, Pekerjaan Umum, Tata Ruang

    dan Pemukiman, Koperasi dan UMKM, Kesra dan sektor lain yang terkait)

    dalam upaya penanggulangan masalah Stunting.

    3. Mendapatkan langkah-langkah Strategik kegiatan Integrasi Lintas Sektor

    dalam upaya penanggulangan masalah Stunting.

    4. Mempelajari faktor determinan yang berhubungan dengan keberhasilan Model

    Integrasi Lintas Sektor dalam penurunan masalah Stunting.

    1.5 Manfaat Penelitian

    Kementerian Kesehatan

    Diperolehnya model integrasi lintas sektor yang efektif dalam upaya

    penanggulangan masalah Stunting. Selanjutnya model tersebut diharapkan dapat

    diimplementasikan ke daerah lain dalam rangka percepatan penurunan masalah Stunting

    pada Balita.

    Pemerintah Daerah

    Melalui pendekatan model ini diharapkan dapat mempercepat penurunan masalah

    Stunting pada Balita di Kabupaten Tasikmalaya.

    Masyarakat

    Adanya kesadaran dan kemandirian masyarakat dalam upaya meningkatkan derajat

    Kesehatan dan Status Gizi Balita

  • 7

    BAB II. METODOLOGI

    2.1 Kerangka Teori

    2.1.1. Kerangka Teori Penyebab Masalah Gizi

    Kerangka teori tentang determinan penyebab masalah kurang gizi adalah mengacu

    pada teori Unicef, 1998. Penyebab langsung terjadinya gangguan pertumbuhan pada anak

    balita adalah karena tidak adekuatnya asupan zat gizi dan adanya penyakit infeksi yang

    berulang, seperti diare, ISPA, dan lain-lain, sedangkan penyebab tidak langsung adalah

    kurangnya akses terhadap makanan, kurangnya pola asuh dan kurang memadainya

    ketersediaan sarana air bersih dan pelayanan kesehatan. Sebenarnya yang mendasari

    penyebab langsung dan tidak langsung tersebut adalah karena fakrtor ekonomi dengan

    indikator kemiskinan. Masih tingginya tingkat kemiskinan menyebabkan sulitnya

    mengatasi penyebab langsung dan tidak langsung tersebut.

    Selanjutnya, jika dikaitkan dengan intervensi yang dilakukan maka peranan dari

    sektor kesehatan (intervensi spesifik) hanya memberikan kontribusi sebesar 30 % dan

    justru peranan dari sektor non kesehatan (intervensi sensitif) memiliki kontribusi yang

    lebih besar yaitu sebesar 70% dalam menanggulangi masalah kurang gizi (gizi kurang,

    stunting, kurus). Namun demikian di sektor kesehatan sendiri perlu adanya upaya

    peningkatan capaian indikator intervensi spesifik sampai 90% agar dapat memberikan

    dampak sekitar 20% terhadap penurunan stunting. Bentuk interevensi spesifik dan

    intervensi sensitif dalam upaya penanggulangan masalah gizi ditunjukkan pada gambar 1.

    2.1.2 Kebijakan Penanggulangan Stunting di Indonesia

    Saat ini masalah gizi di Indonesia, khususnya masalah stunting masih cukup tinggi

    dan masih menjadi permasalahan kesehatan masyarakat, bahkan dalam satu dekade ini

    tidak banyak menunjukkan penurunan bahkan dapat dikatakan stagnan dan hal tersebut

    dapat dilihat dari prevalensi stunting pada Balita pada tahun 2007 sebesar 36,2% dan

    pada tahun 2013 sebesar 37,2%. Kondisi ini akan berdampak pada rendahnya kualitas

    sumber daya manusia Indonesai yang selanjutnya akan berdampak pada daya saing bangsa

    sehingga dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang sehat, cerdas

    dan produktif diperlukan status gizi yang optimal, dengan cara melakukan perbaikan gizi

  • 8

    secara terus menerus sehingga untuk itu pemerintah bertanggung jawab meningkatkan

    pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi dan pengaruhnya terhadap

    peningkatan status gizi.

    Gambar 1. Kerangka Pikir Penyebab Masalah Gizi

    Sumber: World Bank 2011, diadaptasi dari UNICEF 1990 & Ruel 2008

    Gambar 2. Kerangka Acuan Penanggulangan Stunting, Hasil Systematic Review WHO

    30%

    70%

  • 9

    Hasil systematic review WHO tentang faktor determinan stunting menunjukkan

    menyebutkan bahwa ada 2 kunci keberhasilan penangggulangan masalah ganggungan

    pertumbuhan yaitu faktor ibu dan faktor lintas sektor, seperti yang ditunjukkan pada

    gambar 2.

    Upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam meningkatkan status gizi

    masyarakat maka pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan antara lain adalah

    dengan diterbitkannya Peraturan Presiden no 42 tahun 2013 tentang Gerakan Nasional

    Percepatan Perbaikan Gizi (GNPPG) merupakan upaya bersama antara pemerintah dan

    masyarakat melalui pengalangan partisipasi dan kepedulian pemangku kepentingan secara

    terencana dan terkoordinasi untuk percepatan perbaikan gizi masyarakat prioritas pada

    seribu hari pertama kehidupan. Tujuan umum dari GNPPG dimaksudkan untuk percepatan

    perbaikan gizi masyarakat prioritas pada 1000 hari pertama kehidupan dengan sasaran

    masyarakat, khususnya remaja, ibu hamil, ibu menyusui, anak dibawah dua tahun, kader-

    kader masyarakat, perguruan tinggi, organisasi profesi, organisasi kemasyarakatan dan

    keagamaan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah, media massa, dunia usaha dan

    lembaga swadaya masyarakat dan mitra pembangunan.

    Dalam rangka pelaksanaan GNPPG dibentuk Gugus Tugas GNPPG yang

    berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Adapaun tugas dari

    Gugus Tugas GNPPG antara lain adalah mengkoordinasikan dan menyinkronkan

    penyusunan rencana dan program kerja GNPPG pada kementerian dan lembaga

    pemerintah non kementerian, mengkoordinasikan penyusunan program prioritas,

    memobilisasi sumber dana, sarana dan daya, mengkoordinasikan penyelenggaraan

    advokasi, dan melaksanakan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan GNPPG. Ketua

    Pengarah dari GNPPG adalah Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dengan

    wakil ketua I Menteri Dalam Negeri dan wakil ketua II Menteri Kesehatan, serta sekretaris

    adalah Deputi Bidan Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan, BAPPENAS dengan 11

    Kementerian sebagai anggota. Pelaksanaan GNPPG di daerah adalah Pemerintah Daerah

    dengan mengacu pada rencana dan prgram kerja yang disusun oleh Gugus Tugas yang

    dalam pelaksanaannya dapat bekerjasama dengan Pemerintah, perguruan tinggi, organisasi

    profesi, organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan, lembaga swadaya masyarakat,

    media massa, pelaku usaha dan anggota masyarakat.

    Pada tahun 2017, Pemerintah melalui Tim TNP2K mencoba membuat terobosan

    dalam rangka menurunkan masalah stunting melalui 5 Pilar penanganan Stunting, yaitu 1)

    Komitmen dan Visi Pimpinan Tertinggi Negara,; 2) Kampanye Nasional berfokus pada

  • 10

    pemahaman, perubahan perilaku, komitmen politik dan akuntabilitas,; 3) Konvergensi,

    Koordinasi dan konsolidasi Program Nasional, Daerah, dan Masyarakat,; 4) Mendorong

    Kebijakan “Nutritional Food Security,; 5) Pemantauan dan Evaluasi. Seperti yang

    ditunjukkan pada gambar 2.

    Tujuan dari Pilar ke 3 adalah untuk memperkuat konvergensi, koordinasi, dan

    kolaborasi serta memperluas cakupan program yang dilakukan oleh

    Kementerian/Lembaga terkait. Disamping itu dibutuhkan perbaikan kualitas dari layanan

    program yang ada (Puskesmas, Posyandu, Paud, BP SPAM, PKH, dll) terutama dalam

    memberikan dukungan kepada ibu hamil ibu menyusui dan balita pada 1000 HPK serta

    pemberian insentif dari kinerja program intervensi di wilayah sasaran yang berhasil

    menurunkan angka stunting di wilayahnya. Selain itu juga dapat dilakukan dengan

    memaksimalkan pemanfaatan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Desa untuk

    mengarahkan pengeluaran tingkat daerah ke intervensi prioritas intervensi stunting. Agar

    tujuan Pilar ke 3 dapat tercapai dengan maksimal maka dalam

    melaksanakan/menjalankannya diperlukan suatu pedoman atau petunjuk pelaksanaan yang

    dapat digunakan sebagai dasar, pegangan, acuan, atau petunjuk untuk menentukan atau

    melaksanakan kegiatan serta ketentuan atau langkah-langkah yang harus diikuti.

    Oleh karena itu pemerintah dalam hal ini Sekretariat Wakil Presiden dan Kemenko

    PMK telah mengeluarkan Buku tentang Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Anak

    Stunting (Kerdil) Periode 2018-2024. Tujuan dibuatnya dokumen ini adalah untuk

    mendorong terjadinya kerja sama antar lembaga untuk memastikan konvergensi seluruh

    program/kegiatan terkait pencegahan anak stunting, terutama untuk meningkatkan

    cakupan dan kualitas intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif pada kelompok

    1000 hari pertama kehidupan (HPK), mulai dari ibu hamil, ibu menyusui dan anak usia

    0-23 bulan.

    Gambar 3. 5 Pilar Penanganan Stunting

    PILAR 1

    •Komitmen dan Visi Pimpinan

    Tertinggi Negara

    PILAR 2

    •Kampanye Nasional

    berfokus pada pemahaman,

    perubahan perilaku,

    komitmen politik dan

    akuntabilitas

    PILAR 3

    •Konvergensi, Koordinasi dan

    konsolidasi Program Nasional,

    Daerah, dan Masyarakat

    PILAR 4

    •Mendorong Kebijakan

    “Nutritional Food Security

    PILAR 5

    •Pemantauan dan Evaluasi

  • 11

    Gambar 4 berikut ini adalah program dan kegiatan dari masing-masing sektor dalam

    upaya konvergensi program pencegahan dan penanggulangan stunting.

    Gambar 4. Program / Kegiatan Intervensi Gizi Spesifik dan Intervensi Gizi Sensitif

    2.1.3 Kerangka Teori Integrasi/Kolaborasi

    Beberapa tahapan yang harus dilakukan sebelum tercapainya suatu integrasi (kolaborasi)

    adalah perlu adanya Komunikasi, Kerjasama dan Koordinasi. Seperti ditunjukkan pada

    gambar berikut :

    Sumber : https://www.researchgate,ne....llection_of_Recent_Papers

    Gambar 5. Hubungan antara Koorporasi, komunikasi, dan koordinasi dalam

    mencapai Kolaborasi

    Communication

    Coordination Cooporation

    Collaboration

    https://www.researchgate,ne....llection_of_/

  • 12

    Pengertian Kolaborasi adalah suatu proses interaksi yang kompleks dan beragam,

    yang melibatkan beberapa orang untuk bekerjasama dengan menggabungkan pemikiran

    secara berkesinambungan dalam menyikapi suatu hal dimana setiap pihak terlibat aling

    ketergantungan di dalamnya. Apapun bentuk dan tempatnya dalam kolaborasi terdapat

    pertukaran pandangan atau ide yang memberikan perspektif kepada seluruh kolaborator.

    Tujuan utama kolabaorasi pada sektor publik adalah untuk peningkatan pelayanan pada

    masyarakat.

    Namun demikian sebelum terjadinya kolaborasi harus diawali dengan adanya

    komunikasi untuk memperoleh komitmen sebagai bentuk dedikasi atau kewajiban yang

    mengikat seseorang pada sesuatu atau tindakan tertentu. yang perlu ditindaklanjuti dengan

    adanya suatu koordinasi. Pengertian koordinasi adalah upaya memadukan

    (mengintegrasikan), menyerasikan dan menyelaraskan berbagai kepentingan beserta

    segenap gerak, langkah dan waktu dalam rangka pencpaian tujuan dan sasaran bersama .

    Selain itu menurut Dr. Awaluddin Djamin M.P.A, koordinasi juga diartikan sebagai suatu

    usaha kerjasama antara badan, instansi, unit dalam pelaksanaan tugas-tugas tertentu

    sehingga terdapat saling mengisi, membantu dan melengkapai (LAN, 2015). Setelah

    adanya koordinasi maka perlu ditindaklanjuti dengan adaanya suatu kerjasama yaitu

    sebuah pekerjaan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih supaya dapat mencapai tujuan

    ataupun target yang sudah direncanakan sebelumnya dan juga disepakati bersama

    (www.gurupendidikan.co.id)

    2.2. Kerangka Konsep

    Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah serta kerangka teori bahwa

    dalam penanggulangan masalah stunting, bukan hanya menjadi tanggungjawab sektor

    kesehatan melainkan juga oleh beberapa sektor terkait. Oleh karena itu diperlukan adanya

    koordinasi dan kerjasama antar lintas sektor terutama dalam perencanaan program dan

    kegiatan serta pada saat pelaksanaan intervensi di lapangan disesuaikan dengan tupoksi

    masing-masing sektor. Oleh karena itu penelitian ini akan mengembangkan suatu Model

    Integrasi Lintas Sektor dalam upaya menurunkan masalah stunting pada Balita melalui

    “Kampung Gizi”. Dengan adanya “Kampung Gizi” diharapkan dapat meningkatkan akses

    masyarakat untuk mendapatkan Pelayanan Kesehatan, memiliki Ketersediaan Pangan

    yang cukup, memiliki Sanitasi, Jamban Sehat, dan sarana air bersih yang baik,

    mendapatkan Pendidikan yang optimal, serta memiliki akses ekonomi yang baik, seperti

    yang ditunjukkan pada gambar 6.

  • 13

    ----------------- : Output yang akan dihasilkan

    Gambar 6. Kerangka Konsep Pengembangan Model Integrasi Lintas Sektor dalam rangka

    Penurunan Stunting melalui “Kampung Gizi”

    Strategi yang digunakan dala penelitian ini adalah berupa pendampingan yang

    dilakukan kepada stakeholder terkait yang ada di tingkat kabupaten, kecamatan dan desa

    serta di masyarakat. Diharapkan dengan adanya integrasi lintas sektor diharapkan

    memberikan kontribusi cukup besar terhadap upaya peningkatan 5 Akses masyarakat

    dalam Upaya Penurunan Stunting melalui “Kampung Gizi”. Adapun sektor yang terkait

    adalah adalah sektor kesehatan, sektor pertanian dan pangan, sektor pendidikan, sektor

    PU dan perumahan, sektor agama, sektor pemberdayaan dan peran serta masyarakat, dan

    sektor ekonomi.

    Gambar 7, menjelaskan rencana alur kegiatan dan output yang diharapkan dari

    Model Integrasi Lintas Sektor Melalui “Kampung Gizi” sebagai Upaya dalam

    Penurunan Masalah Stunting. Output yang diharapakan adalah adanya komitmen dari

    pimpinan di semua level, mulai Bupati, Camat dan Kepala Desa terhadap upaya

    penanggulangan stunting yang diperkuat dengan adanya PerBup atau SK Bupati, PerCam

    atau SK Camat, PerDes atau SK Kepala Desa tentang pembentukan Tim Koordinasi

    Penanggulangan Stunting. Keberadaan Kebijakan atau aturan ini dirasakan sangat penting

    oleh hampir stakeholder Tim Koordinasi sangat penting karena merupakah suatu wadah

    atau sarana untuk melakukan komunikasi, koordinasi dan kerjasama hingga terjadinya

    kolaborasi.

    Intervensi

    Spesifik

    Intervensi

    Sensitif

    Integrasi

    Lintas

    Sektor

    Peningkatan : 1. Akses Pelayanan Kesehatan 2. Akses Ketersediaan Pangan 3. Akses Sanitasi , Jamban sehat

    dan Sarana air bersih 4. Akses Pendidikan 5. Akses Ekonomi

    Penurunan

    Prevalensi

    Stunting

    Pedoman

    Umum

    Pre-Post

    K

    a

    m

    p

    u

    n

    g

    G

    i

    z

    i

    Status

    Kesmas

  • 14

    Gambar 7. Pendekatan Model Integrasi Lintas Sektor Melalui “Kampung Gizi” sebagai

    Upaya dalam Penurunan Masalah Stunting

    Untuk menilai keberhasilan model Integrasi Lintas Sektor melalui “Kampung

    Gizi” dalam upaya penurunan Stunting maka perlu dilakukan penilaian atau evaluasi

    mulai dari input, process dan output serta akan dibandingkan kondisi antara sebelum dan

    sesudah pendampingan serta apa saja yang dilakukan dan yang terjadi selama proses

    pendampingan. Seperti yang ditunjukkan dalam alur pikir penelitian pada gambar 8

    berikut ini :

    Gambar 8. Alur Pikir Penilaian dan Evaluasi Pendekatan Model Integrasi Lintas Sektor

    Melalui dalam Upaya dalam Penurunan Masalah Stunting

    INP

    UT -Prevalensi Stunting

    -Program dan Kegiatan masing-masing SKPD termasuk dasar perencanaan penetapan lokus dan sasaran intervensi

    -Capaian Indikator Spesifik

    -Capaian Indikator Sensitif

    -Komitmen Lintas Sektor dalam upaya penanggulangan masalah stunting

    PR

    OSE

    S

    - Kesepatan bersama penetapan lokus dan sasaran intervensi

    - Meningkatnya Partisipasi masing-masing sektor

    - Meningkatnya Partisipasi Masyarakat

    - Proses Pelaksanaan komunikasi, koordinasi, kolaborasi/kerjsama dan integrasi program dan kegiatan lintas sektor

    - Pelaksanaan proses Monev

    OU

    TPU

    T 1. Keberhasilan Kampung Gizi yang ditandai dengan : - Terjadinya komunikasi, koordinasi, integrasi dan kegiatan lintas sektor

    - Terjadinya perubahan positif beberapa capaian indkator spesifik dan sensitif

    - Meningkatnya peran serta masyarakat

    2. Diperolehnya draft pedoman Model Integrasi Lintas Sektor

    PENURUNAN

    STUNTING

    OUTCOME

    Perlu adanya Pedoman Teknis Integrasi Lintas Sektor

  • 15

    Evaluasi Input dilakukan terhadap segala sumberdaya yang ada di masing-masing sektor

    yang diperlukan dalam upaya penurunan Stunting. Seperti dasar kebijakan perencanaan

    dalam upaya penurunan stunting, penetapan lokus dan sasaran target, pelaksanaan dan

    evaluasi, alokasi anggaran, dan SDM. Selain itu juga akan dikumpulkan baseline data

    prevalensi stunting, capaian indikator intervensi spesifik dan sensitif dari masing-masing

    sektor.

    Evaluasi Process dilakukan untuk menilai bagaimana proses pelaksanaan kebijakan,

    program dan kegiatan dijalankan oleh masing-masing sektor serta bagaimana proses

    komunikasi, koordinasi, dan kolaborasi dari semua sektor terkait upaya penurunan

    Stunting.

    Evaluasi Output dilakukan untuk menilai perubahan-perubahan capaian indikator spesifik

    dan indikator sensitif.

    Evaluasi Outcome dilakukan untuk menilai apakah telah terjadi penurunan prevalensi

    Stunting

    2.3 Desain Penelitian

    Penelitian ini merupakan penelitian operasional dengan menggunakan desain

    Kuasi Eksperimen. Adapun bentuk intervensi yang diberikan adalah berupa

    Pendampingan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya dan masyarakat dalam

    upaya penurunan masalah Stunting dengan menggunakan pendekatan Model Integrasi

    Lintas Sektor melalui “ Kampung Gizi”. Adapun yang dimaksud dengan “Kampung Gizi”

    adalah merupakan suatu gerakan yang melibatkan integrasi lintas sektor dan peran serta

    masyarakat dalam upaya penanggulangan masalah stunting.

    Dari penelitian ini diharapkan akan menghasilkan suatu pedoman yang berisikan

    tentang langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan agar terbangun Integrasi Lintas

    Sektor serta dapat berfungsi secara efektif dalam upaya menurunkan masalah Stunting.

    Pedoman tersebut nantinya dapat digunakan sebagai pelengkap dari Kebijakan

    Pemerintah tentang Penetapan Percepatan Penanganan Stunting di 1000 Desa dari 100

    Kabupaten/ Kota Prioritas Penanganan Kemiskinan dan Stunting pada tahun 2017-2020

    dan dapat digunakan sebagai panduan atau acuan teknis bagi daerah (kabupaten,

    Kecamatan, Desa dan Masyarakat) untuk melakukan Integrasi Lintas Sektor dalam upaya

    menurunkan stunting melalui “Kampung Gizi”. Selanjutnya diharapkan adanya

    peningkatan Akses masyarakat terhadap Pangan, Pelayanan Kesehatan, Pendidikan,

  • 16

    Sanitasi, Jamban sehat dan Air Bersih, dan Ekonomi yang pada akhirnya dapat

    menurunkan permasalahan Stunting.

    Untuk menilai efektifitas dari Model Integrasi Lintas Sektor melalui “Kampung

    Gizi” dalam upaya menurunkan permasalahan Stunting maka perlu dilakukan

    pengumpulan baseline data terkait dengan indikator spesifik dan indikator sensitif

    (terlampir) yang akan dibandingkan antara sebelum, selama proses dan setelah

    pendampingan dan rencanya penelitia ini akan dilakukan selama tiga tahun.

    Berikut ini adalah gambaran tentang tahapan dan kegiatan penelitian yang akan

    dilakukan selama tiga tahun termasuk target sasaran dan indikator output yang akan

    dihasilkan.

    1. Tahap I Tahun 2018

    1.1.Judul Penelitian : Pengembangan Model Integrasi Lintas Sektor dalam Rangka

    Penurunan Masalah Stunting pada Balita melalui “Kampung Gizi” di Kabupaten

    Tasikmalaya

    1.2.Target Sasaran Pendampingan :

    - Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya (Pimpinan Daerah, Sekda,

    ASDA, Kepala Dinas yang terkait dengan upaya penurunan masalah Stunting,

    Pejabat eselon 3 dan 4 di masing-masing SKPD terkait.

    - Pemerintahan di 4 Kecamatan (Camat, Sekcam dan Kasubag Perencanaan,

    Kasubag Keuangan, Kasi Pemerintahan, Kasi Pembangunan, Kasi Kesra)

    - 5 Puskesmas di wilayah intervensi (Kepala Puskesmas, PJ Program, Tenaga

    kesehatan yang menjadi pembina di 5 desa intervensi))

    - Pemerintahan di 5 Desa (Kepala Desa, Sekdes, Kaur Pemerintahan, Kaur

    Pembangunan, Kadus, Pamong, BPD dan PKK)

    - Masyarakat di 5 Desa intervensi

    - LSM (NU, Muhammadiyah, dll)

    - Poltekkes Tasikmalaya, Universitas Respati Tasikmalaya

    - Mitra Pembangunan

    1.3.Output :

    - Diperolehnya Komitmen yang kuat dari Pemerintah Daerah Kabupaten

    Tasikmalaya dalam upaya menurunkan masalah Stunting yang dituangkan

    dalam sebuah Peraturan Bupati tentang pembentukan Tim Penanggulangan

    masalah Stunting yang terintegrasi dan melibatkan seluruh sektor terkait serta

    melibatkan peran aktif dari masyarakat.

  • 17

    - Selanjutnya Tim tersebut diharapkan dapat berfungsi secara efektif dalam

    melakukan berbagai upaya penurunan masalah Stunting mulai di tingkat

    Kabupaten, Kecamatan, Desa sampai di tingkat masyarakat.

    - Diperolehnya Komitmen Bersama dari seluruh Sektor dan Masyarakat mulai

    dari Pemerintahan Tingkat Kabupaten, Kecamatan, Desa dan Masyarakat

    dalam penentuan Lokus dan Sasaran serta rencana intervensi bersama dalam

    rangka penurunan masalah Stunting.

    - Diperolehnya Komitmen Bersama dari seluruh Sektor dan Masyarakat untuk

    berpartisipasi aktif secara bersama-sama dan terintegrasi dalam melakukan

    intervensi terhadap upaya penurunan masalah Stunting sesuai dengan Lokus

    dan Sasaran yang telah disepakati dan disesuikan dengan tupoksi masing-

    masing sektor.

    - Diperolehnya baseline data tentang :

    o Program dan kegiatan serta capaian indikator intervensi spesifik dan

    indikator intervensi sensitif di masing-masing Sektor / SKPD yang

    terkait dengan upaya penurunan masalah Stunting, baik di tingkat

    Kabupaten, Kecamatan, Desa dan Masyarakat.

    o Gambaran tentang permasalahan gizi dan kesehatan di ke-lima desa

    intervensi.

    o Gambaran tentang permasalahan rawan pangan di ke-lima desa

    intervensi.

    o Gambaran tentang tingkat kemiskinan di ke-lima desa intervensi.

    - Diperolehnya data tentang proses yang dilakukan selama dilakukannya

    pendampingan mulai di tingkat pemerintahan Kabupaten termasuk di masing-

    masing sektor terkait, di tingkat Kecamatan, Desa dan Masyarakat.

    - Draft Pedoman Model Integrasi Lintas Sektor dalam upaya penurunan

    masalah Stunting

    2. Tahap II tahun 2019

    2.1. Judul Sementara (Evaluasi Proses Pelaksanaan Model Integrasi Lintas Sektor

    dalam Penurunan Masalah Stunting)

    2.2. Target Sasaran Pendampingan :

    a. Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya (Pimpinan Daerah, Sekda,

    ASDA, BAPPEDA, Kepala Dinas yang terkait dengan upaya penurunan

    masalah Stunting, Pejabat eselon 3 dan 4 di masing-masing SKPD terkait.

  • 18

    b. Pemerintahan di 4 Kecamatan (Camat, Sekcam dan Kasubag Perencanaan,

    Kasubag Keuangan, Kasi Pemerintahan, Kasi Pembangunan, Kasi Kesra)

    c. 5 Puskesmas di wilayah intervensi (Kepala Puskesmas, PJ Program, Tenaga

    kesehatan yang menjadi pembina di ke-lima desa intervensi))

    d. Pemerintahan di ke-lima Desa (Kepala Desa, Sekdes, Kaur Pemerintahan,

    Kaur Pembangunan, Kadus, Pamong, BPD dan PKK)

    e. Masyarakat di ke-lima Desa intervensi

    f. LSM (NU, Muhammadiyah, dll)

    g. Poltekes Tasikmalaya

    h. Mitra Pembangunan

    2.3. Output penelitian :

    a. Tim Penanggulangan Stunting masih berfungsi secara aktif

    b. Peningkatan alokasi anggaran dalam APBD Tahun 2019 yang terkait dengan

    program intervensi Spesifik dan intervensi Sensitif dalam upaya penurunan

    masalah Stunting

    c. Adanya penambahan Lokus dan Sasaran target dalam upaya penurunan

    masalah Stunting

    d. Adanya Peningkatan Akses Pangan, Akses Kesehatan, Akses Pendidikan,

    Akses Sanitasi, Jamban Sehat dan Air Bersih dan Akses Ekonomi indikator

    intervensi Spesifik dan intervensi Sensitif

    3. Penyempurnaan draft Pedoman Model Integrasi Lintas Sektor dalam upaya

    penurunan masalah stunting

    4. Tahap III Tahun 2020

    4.1. Judul Sementara (Faktor Determinan yang berhubungan dengan Perubahan

    Prevalensi Stunting di 5 Desa Intervensi Model Inegrasi Lintas Sektor melalui

    “Kampung Gizi”

    4.2. Target Sasaran Pendampingan :

    a. Pemerintah Daerah Kabupaten

    b. BAPPEDA

    c. SKPD terkait penurunan masalah Stunting (indikator Spesifik dan indikator

    Sensitif)

    d. Pemerintahan Tingkat Kecamatan

    e. Pemerintahan Tingkat Desa

    f. Masyarakat

  • 19

    4.3. Output penelitian :

    a. Data perubahan indkator spesifik dan indikator sensitif

    b. Penurunan prevalensi Stunting

    5. Pedoman Model Integrasi Lintas Sektor dalam upaya penurunan masalah

    stunting

    Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Mix Mehtode yaitu gabungan

    antara metode Kuantitatif dan Kualitatif. Metode Kuantitatif digunakan untuk mengukur

    perubahan status gizi-kesehatan, masyarakat, status rawan pangan, perubahan indikator

    intervensi spesifik dan indikator intervensi sensitif di ke-lima wilayah desa intervensi

    sedangkan Metode Kualitatif digunakan untuk mendapatkan gambaran tentang proses

    pelaksanaan Model Integrasi Lintas Sektor dengan cara mengggali informasi dari masing-

    masing informan yang terlibat dalam upaya penurunan masalah Stunting pada setiap

    tingkat pemerintahan (Kabupaten, Kecamatan, Desa dan Masyarakat) dalam hal penetapan

    kebijakan, penetapan lokus dan sasaran intervensi, rencana program dan kegiatan

    intervensi dan proses pelaksanaan dari intervensi yang telah disusun serta proses

    monitoring dan evaluasi.

    2.4. Lokasi dan Waktu Penelitian

    Lokasi penelitian disesuaikan dengan 10 Desa Prioritas Stunting dari Tim Nasional

    Percepatan Penanggulangan Kemiskinakan (TP2NK) di bawah koordinasi Kantor Wakil

    Presiden.pp (Kemiskinan, Stunting dan lokasi geografis). Selanjutnya dari 10 desa lokus

    teresebut dipilih secara purposive berdasarkan beberapa pertimbangan, antara lain adalah

    banyaknya jumlah Balita, jumlah ibu hamil, tingkat kemiskinan, geografis dan masukan

    dari Dinas Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya, misalnya : sudah dilakukan pendataan PIS-

    PK dan lain-lain. Dalam penelitian ini akan diambil 5 desa, terdiri dari yaitu Desa

    Banjarsari (Lokus stunting), Desa Mandalahayu (Lokus stunting), Desa Pusparahayu (Non

    Lokus stunting), Desa Tanjungsari (Non Lokus Stunting) dan Desa Sukaratu (Non Lokus

    Stunting)

  • 20

    Tabel 1. Gambaran Kependudukan dan Masalah Gizi di 5 Kecamatan Lokus Stunting

    No Kecamatan Jumlah

    penduduk

    (jiwa)

    Jumlah

    Penduduk

    Miskin

    (Jiwa)

    Jumlah

    Balita

    Stunting*

    Jumlah

    Ibu

    Hamil

    Kesulitan Geografis

    (indeks)**

    1 Sukaresik 3.781 632 687 809 40,34

    2 Sukahening 3.712 553 266 632 24,58

    3 Puspahiang 5.808 705 133 618 31,00

    4 Jatiwaras 4.752 1.100 387 667 28,11

    5 Salopa 4.494 848 858 995 23,82

    *Sumber : Hasil Bulan Penimbangan dan Laporan Tahunan Dinkes Tahun 2015

    ** Sumber : TNP2K

    2.5. Populasi dan Sampel

    Populasi :

    Populasi Target adalah Pemerintah Daerah dan seluruh Masyarakat Kabupaten

    Tasikmalaya

    Populasi Studi :

    - Jajaran Pemerintahan Kabupaten Tasikmalaya

    - Seluruh SKPD di Kabupaten Tasikmalaya

    - Jajaran Pemerintahan Tingkat Kecamatan di Kabupaten Tasikmalaya

    - Jajaran Pemerintahan Tingkat Desa di Kabupaten Tasikmalaya

    - Seluruh Masyarakat di 5 wilayah Kecamatan Intervensi

    Sampel :

    Sampel pada penelitian ini dibedakan menjadi 2 jenis yaitu sampel untuk studi

    kuantitatif dan sampel untuk studi kualitatif

    Sampel untuk Studi Kuantitaif :

    a. Sampel untuk mendapatkan baseline data

    Baseline data yang akan dikumpulkan antara lain adalah data tentang gambaran

    status gizi-kesehatan masyarakat, gambaran rawan pangan di masyarakat, capaian

    indikator spesifik dan indikator sensitif di ke-lima desa intervensi dengan

    menggunakan metode survei cepat.

    Sampel penelitian ini adalah Keluarga terpilih (mempunyai Balita dan atau Anak

    sekolah, remaja, WUS, ibu hamil, ibu menyusui) di ke-lima desa intervensi.

  • 21

    Jumlah sampel yang diperlukan adalah sebanyak 300 rumah tangga per desa jadi

    totalnya adalah sebanyak 1500 rumah tangga di ke-lima desa intervensi.

    Teknik penentuan sampel :

    1) Melakukan penentuan Kluster dalam Desa

    Tahap 1. Penentuan Kluster RT (Rukun Tetangga)

    a) Setiap desa terpilih dipilih 30 RT sebagai kluster

    b) Pemilihan kluster di desa dilakukan dengan acak sistematik berdasarkan

    Probability Proportional to Size (PPS)

    Tahap 2. Penentuan Kluster

    Cara melakukan acak sistematik berdasarkan PPS sebagai berikut :

    a) Buat daftar RT, termasuk jumlah penduduk per RT

    b) Tentukan interval dengan cara membagi jumlah penduduk dengan jumlah

    klaster.

    c) Tentukan klaster pertama dengam menggunakan Tabel Acak, misalnya

    dengan menjatuhkan pensil di atas tabel acak.

    d) Klaster kedua dan seterusnya sampai klaster ke 30 dipilih berdasarkan

    perhitungan jumlah kumulatif penduduk dan interval

    e) Selanjutnya pemilihan sampel rumah tangga dilakukan secara acak

    menggunakan kerangka sampel dari hasil Pendataan Keluarga Sehat di

    masing-masing desa

    b. Sampel sebagai sasaran target intervensi program dan kegiatan dalam upaya

    penurunan masalah Stunting di ke-lima desa intervensi.

    1). Pemerintah Daerah :

    - Pimpinan Daerah : Bupati, Wakil Bupati, Sekda, ASDA

    - Kepala BAPPEDA

    - Kepala Dinas Kesehatan

    - Kepala Badan Ketahanan Pangan dan Perikanan

    - Kepala Dinas Pertanian

    - Kepala Dinas Pendidikan

    - Kepala Dinas Industri dan Perdagangan

    - Kepala Dinas PU dan Penataan Ruang

    - Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman

    - Kepala Dinas Sosial

    - Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, Perlindungan Anak dan KB

  • 22

    - Kepala Kantor Agama

    - Kepala Puskesmas dan PJ Program di 5 Puskesmas intervensi

    - Pembina Desa di 5 desa intervensi

    - Kepala Desa dan Staf di 5 desa intervensi

    2). Masyarakat (Keluarga, TOMA, LSM, dll) di 5 Desa intervensi

    Berdasarkan hasil pendataan Keluarga Sehat (telah dilakukan oleh Puskesmas

    setempat) dan Survey Cepat maka keluarga-keluarga yang ada di masing-masing

    desa akan dikelompokkan menjadi 8 kelompok sasaran, yaitu :

    1. Keluarga miskin dan atau rawan pangan, punya balita stunting/wasting dan

    atau bumil KEK, tidak punya sumber air bersih dan jamban sehat

    2. Keluarga miskin dan atau rawan pangan, punya balita stunting/wasting, dan

    atau bumil KEK, punya sumber air bersih dan jamban sehat

    3. Keluarga miskin dan atau rawan pangan, tidak punya balita stunting/wasting,

    dan atau bumil KEK, punya sumber air bersih dan jamban sehat

    4. Keluarga miskin dan atau rawan pangan, tidak punya balita stunting/wasting,

    dan atau bumil KEK, tidak punya sumber air bersih dan jamban sehat

    5. Keluarga tidak miskin dan atau tidak rawan pangan, punya balita

    stunting/wasting dan atau bumil KEK, punya sumber air bersih dan jamban

    sehat

    6. Keluarga tidak miskin dan atau tidak rawan pangan, punya balita

    stunting/wasting dan atau bumil KEK, tidak punya sumber air bersih dan

    jamban sehat

    7. Keluarga tidak miskin dan atau tidak rawan pangan, tidak punya balita

    stunting/wasting dan atau bumil KEK, punya sumber air bersih dan jamban

    sehat

    8. Keluarga tidak miskin dan atau tidak rawan pangan, tidak punya balita

    stunting/wasting dan atau bumil KEK, punya sumber air bersih dan jamban

    sehat

    Jumlah keluarga per masing-masing kelompok tidak dapat ditetapkan dari

    awal tergantung dari hasil Pendataan PIS-PK, Survey Cepat dan data sekunder

    lainnya (misal:data kemiskinan) sedangkan bentuk intervensi dan siapa yang akan

    melakukan intervensi tergantung dari permasalahan yang ada dan disesuaikan

  • 23

    dengan Tupoksi dari masing-masing Sektor serta kesepakatan masyarakat. Secara

    rinci akan dijabarkan ke dalam bentuk matriks (lampiran1).

    Untuk tahun 2018 direncanakan akan dilakukan pendampingan selama 6

    bulan dengan 4 kali kunjungan. Selanjutnya pada bulan ke-tujuh akan dilakukan

    evaluasi kembali untuk mengetahui bagaimana proses pelaksanaan Model Integrasi

    Lintas Sektor dalam Upaya Penurunan Stunting serta indikator spesifik dan indikator

    sensitif mana saja yang sudah mengalami perubahan (lampiran 2).

    Sampel untuk Studi Kualitatif :

    Informan di Tingkat Kabupaten :

    - Bupati/Wakil Bupati

    - Sekretariat Daerah

    - Asisten Daerah Bidang Kesra

    - Kepala Dinas Kesehatan dan penanggung jawab program di Dinas Kesehatan

    Kabupaten Tasikmalaya

    - Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan

    - Kepala Dinas PU dan Tata Ruang Pemukiman

    - Kepala Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman

    - Kepala Bappeda

    - Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan

    - Kepala Dinas Pertanian

    - Kepala Kantor Agama

    - Kepala Dinas Sosial

    - Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Desa, Perlindungan Anak dan KB

    - Kepala Dinas Industri dan Perdagangan

    Informan di Tingkat Kecamatan :

    - Camat, Sekcam, Kasubag Pemerintahan, Kasi Pembangunan di wilayah intervensi

    - Kepala Puskesmas, PJ Program, Tenaga Kesehatan, Pembina Wilayah di wilayah

    intervensi

    - Penyuluh Pertanian/Pangan, Pengawas Sekolah, Penyuluh Agama, Penyuluh KB,

    Pendamping PNPM, Pimpinan PAUD, LSM di wilayah intervensi

    Informan di Tingkat Desa dan Masyarakat

    - Kepala Desa, Sekdes, Kaur Pemerintahan, Kaur Pembangunan, Kadus, Pamong,

    BPD dan PKK di wilayah intervensi

  • 24

    - Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Kader Kesehatan, Tim PKK di wilayah

    intervensi

    - Keluarga yang memiliki Balita, anak, remaja atau Ibu Hamil atau WUS di

    wilayah intervensi

    2.6. Variabel dan Definisi Operasional

    Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa penelitian ini adalah penelitian

    operasional berupa pendampingan kepada Pemerintah Daerah (tingkat Kabupaten,

    kecamatan dan desa serta masyarakat di ke-5 lokus penurunan masalah Stunting di

    Kabupaten Tasikmalaya yang akan dilakukan selama 3 tahun (tahun 2018-2020). Oleh

    karena itu dalam rangka mencapai kerangka pikir yang digunakan dalam penelitian ini

    adalah berdasarkan pada Input, Proses dan Output.

    Variabel Dependen Definisi Operasionel

    Prevalensi Stunting Besaran masalah stunting pada Balita per masing-

    masing desa

    Variabel Independen Definisi Operasionel

    Program dan Kegiatan Jenis program dan kegiatan yang ada di dalam DPA

    masing-masing SKPD termasuk anggarannya

    Capaian indikator spesifik Capaian dari indikator di sektor kesehatan

    Capaian indikator sensitif Capaian dari indikator di sektor non kesehatan

    Komitmen Lintas Sektor Janji atau Kesepakatan dari semua sektor untuk bekerja

    secara bersama-sama sesuai dengan tupoksinya yang

    dituangkan dalam sebuah SK atau Peraturan Bupati

    Kesepakatan Bersama dalam

    penetapan lokus dan target

    sasaran

    Diperolehnya kesepakatan terkait penetapan lokus dan

    target sasaran program dan kegiatan secara bersama

    berdasarkan pada lokus daerah tinggi stunting

    Partisipasi masing-masing sektor Keterlibatan secara aktif dari setiap sektor dalam

    kegiatan upaya penurunan stunting sesuai tupoksi

    masing-masing

  • 25

    Partisipasi Masyarakat Keterlibatan secara aktif dari masyarakat dalam

    berbagai upaya pencegahan masalah stunting

    Proses Komunikasi, Koordinasi

    dan Kolaborasi

    Bagaimana proses komunikasi, koordinasi dan

    kolaborasi yang dibangun oleh Tim dalam upaya

    penurunan masalah stunting

    Monitoring dan Evaluasi Proses pelaksanaan monitoring dan evaluasi terhadap

    upaya apa saja yang dilakukan untuk melakukan

    komunikasi, koordinasi dan kolaborasi yang dilakukan

    oleh Tim penurunan masalah stunting

    Keberhasilan Kampung Gizi Keberhasilan Kampung Gizi yang dinilai dengan

    terjadinya komunikasi, koordinasi dan kolaborasi dari

    semua sektor terkait upaya penurunan masalah stunting

    serta terjadinya perubahan positif dari indikator

    spesifik dan sensitif

    Draft Pedoman Model Integrasi

    Lintas Sektor dalam upaya

    penurunan masalah stunting

    Draft pedoman yang berisi tentang langkah-langkah

    yang harus diikuti dan dilaksanakan terkait

    perlaksanaan komunikasi, koordinasi dan kolaborasi

    lintas sektor dalam upaya menurunkan masalah

    stunting

    Status Ekonomi Status ekonomi keluarga yang dibagi dalam kuintil

    1,2,3,4, dan 5 (sumber data : BPS)

    Status Kemiskinan Status kemiskinan keluarga apakah termasuk keluarga

    miskin dan tidak miskin (sumber data : Dinsos)

    Status Rawan Pangan Status ketahanan pangan keluarga

    Status pekerjaan Status pekerjaan dari responden

    Status Pendidikan Status pendidikan dari responden

    Status Merokok Status merokok responden

  • 26

    Status rumah sehat Status rumah yang ditinggali keluarga

    Status akses air bersih Akses keluarga terhadap air bersih

    Status akses ke Yankes Pengethauan keluarga terhadap akses ke Yankes

    Tingkat Pengetahuan Tingkat pengetahuan ibu terhadap pengasuhan anak

    Status Kehamilan Status kehamilan responden umur 10-59 tahun

    Status Gizi Status gizi seluruh anggota keluarga berdasarkan

    pengukuran antropometri

    Paritas Jumlah kelahiran dari responden perempuan umur 10-

    59 tahun

    Status Keseahatan Status kesehatan berdasarkan pengakuan responden

    Status Imunisasi Status imunisasi dasar responden Balita

    PMT Makanan tambahan pabrikan yang diberikan oleh

    pemerintah

    KEK Kurang energi kronis yang dialami responden umur 10-

    59 tahun

    ANC Pemeriksaan kehamilan yang dilakukan responden

    selama hamil

    Tablet Tambah Darah Tablet tambah darah yang diterima dan diminum oleh

    responden

    Kelas Ibu Kegiatan kelas ibu yang ada di masing-masing desa

    Buku KIA Kepemilikan buku KIA oleh ibu hamil dan balita

    Konsumsi Garam Beryodium Jenis garam yang dikonsumsi oleh keluarga

    Persalinan di Faskes Tempat persalinan yang digunakan oleh ibu bersalin

    Konsumsi Vitamin A Pemberian kapsul vitamin A pada bayi 6 bulan dan

    Balita

  • 27

    Pemantauan Pertumbuhan Frekuensi penimbangan berat badan Balita

    Pemantauan Perkembangan Frekuensi pemantauan perkembangan Balita

    Pelayanan KN1 Pelayanan kesehatan yang diberikan pada bayi baru

    lahir selama periode 6 jam sampai 48 jam setelah

    melahirkan

    PMBA Praktek pemberian makan pada bayi dan anak

    Obat cacing Frekuensi pemberian obat cacing pada Balita

    Perilaku penggunaan air bersih Perilaku sehari-hari responden dalam penggunaan air

    bersih

    Perilaku penggunaan Jamban

    Sehat

    Perilaku sehari-hari responden dalam penggunaan

    Jamban

    KB Kepersertaan responden (perempuan 10-59 tahun)

    dalam program KB

    PKH Kepersertaan keluarga dalam program Keluarga

    Harapan

    KRPL Kepersertaan keluarga dalam program KRPL dari

    Badan Ketahanan Pangan

    PAUD Kepersertaan anak usia 3-5 tahun dalam program

    PAUD

    PHBS Status responden dalam praktek PHBS

    Pemilihan Lokus Dasar pemilihan tempat dan traget sasaran program dan

    kegiatan dari masing-masing sektor

    Komitmen Bersama Penetapan

    Lokus dan Target sasaran

    Kesepakatan bersama dari seluruh sektor terkait dalam

    peneapan lokus dan target sasaran program

    Program dan Kegiatan SKPD Jenis program dan kegiatan dari masing-masing SKPD

    terkait

  • 28

    Partisipasi lintas sektor dan

    Partisipasi Masyarakat

    Tingkat pasrtisipasi masing-masing sektor dan

    masyarakat dalam upaya penurunan stunting

    2.7. Metode Pendampingan

    “Kampung Gizi” adalah merupakan suatu gerakan yang melibatkan integrasi

    lintas sektor dan peran serta masyarakat dalam upaya penanggulangan masalah stunting

    pada Balita. Kegiatan utama yang akan dilakukan pada “Kampung Gizi” adalah upaya

    integrasi dan kolaborasi dalam perencanaan dan pelaksanaan program serta kegiatan antar

    lintas sektor, pemberdayaan, dan peningkatan peran serta masyarakat dalam upaya

    penurunan masalah stunting. Kegiatan “Kampung Gizi” diharapkan dapat meningkatan

    akses dan kualitas pelayanan kesehatan, akses kebutuhan pangan, akses sanitasi yang baik

    , ketersediaan jamban sehat dan sarana air bersih, dan akses dalam peningkatan ekonomi

    terutama pada keluarga-keluarga yang kurang mampu dan memiliki ibu hamil dan ibu

    menyusui yang menderita KEK, bayi, balita, anak dan remaja yang menderita stunting

    dan kurang gizi. Apabila akses-akses tersebut dapat terpenuhi maka diharapkan dapat

    menurunkan masalah stunting. Kolaborasi Lintas Sektor terkait kegiatan “Kampung Gizi”

    disesuaikan dengan tupoksi masing-masing sektor.

    Pendampingan akan dilakukan oleh Tim Peneliti Badan Litbang Kesehatan dan

    juga melibatkan Penanggung Jawab Program di Pusat (Kementerian Kesehatan,

    Kementerian Pertanian (BKP), Kementerian Dalam Negeri (Ditjen Bina Bangda, Ditjen

    Bina Pemdes), Kementerian Desa (Ditjen PPMD ), dan TNP2K) dan di tingkat Propinsi

    (Dinas Kesehatan, Dinas Pertanian/Badan Ketahanan Pangan ).

    Jenis Kegiatan yang akan Dilakukan Selama Masa Pendampingan :

    a. Di Tingkat Kabupaten

    1. Melakukan Sosialisasi terkait permasalahan Stunting dan bagaimana solusinya

    dengan sasaran Sektor Pertanian-Perikanan dan Ketahanan Pangan, Sektor

    Kesehatan, Sektor Pemberdayaan dan Peran Serta Masyarakat, Sektor Pendidikan,

    Sektor Agama, Sektor PU-Tarkim, dan Sektor Ekonomi di Pemerintahan Tingkat

    Kabupaten, Kecamatan, Desa dan Masyarakat. Tujuan dilakukannya sosialiasi ini

    adalah diperolehnya pemahaman yang sama dari seluruh sektor terkait dan

    masyarakat tentang rencana penanggulangan masalah Stunting melalui “Kampung

    Gizi”

  • 29

    2. Melakukan identifikasi program dan kegiatan yang ada di masing-masing SKPD

    yang terkait dengan upaya penurunan masalah stunting

    3. Melakukan identifikasi permasalahan gizi-kesehatan masyarakat berdasarkan hasil

    pendataan keluarga sehat, survey status gizi-kesehatan dan status rawan pangan di

    ke-lima desa intervensi.

    4. Melakukan sosialisasi dan advokasi terkait hasil identifikasi masalah di poin 3 dan

    4 kepada seluruh sektor terkait.

    6. Membuat komitmen dan kesepakatan bersama dalam penetapan lokus dan target

    sasaran program dan kegiatan bersama antar lintas sektor, termasuk upaya

    intervensi yang akan dilakukan serta saling berkoordinasi dan bekerjasama dalam

    melakukan intervensi sesuai dengan tupoksi masing-masing SKPD.

    7. Agar proses Komunikasi, Koordinasi dan Kolaborasi/Kerjasama lintas sektor

    dalam upaya penurunan masalah stunting bisa optimal dan berjalan efektif maka

    perlu dibuat Peraturan Bupati tentang Tim Penanggulangan masalah Stunting di

    daerah sebagai payung hukum dan wadah untuk melakukan koordinasi dan

    kolaborasi antar lintas sektor dalam upaya penurunan masalah stunting sesuai

    dengan tupoksi masing-masing sektor. Tim Penanggulangan Stunting ini langsung

    di bawah koordinator Wakil Bupati dan Sekretaris Daerah.

    b. Di Tingkat Kecamatan

    Pendampingan di tingkat kecamatan bertujuan untuk meningkatkan masyarakat

    untuk mendapatkan 5 Akses ( akses pelayanan kesehatan berkualitas akses Pendidikan

    (edukasi gizi dan kesehatan), akses kebutuhan pangan, sanitasi, jamban dan sumber air

    bersih yang baik serta akses ekonomi). Selain itu hal yang sangat penting untuk

    dilakukan adalah bagaimana upaya memberdayakan dan meningkatkan peran serta

    aktif masyarakat dalam hal pemenuhan ke 5 akses tersebut.

    Jenis-jenis kegiatan yang akan dilakukan di tingkat kecamatan antara lain adalah :

    1. Diawali dengan Sosialisasi terkait permasalahan Stunting termasuk penyebab,

    dampak, strategi dan rencana upaya penurunan masalah Stunting

    2. Melakukan Kalakarya di Tingkat Kecamatan terkait strategi dan rencana intervensi

    penurunan masalah Stunting yang akan melibatkan lintas sektor, mitra

    pembangunan dan masyarakat.

    3. Dibuatnya komitmen bersama terkait pelaksanaan intervensi termasuk penetapan

    indikator keberhasilan serta bagaimana proses monitoring dan evaluasinya.

  • 30

    4. Komitmen bersama tersebut akan dituangkan dalam bentuk SK Camat agar dapat

    digunakan sebagai landasan atau dasar dalam melakukan upaya penurunan

    masalah stunting.

    c. Di Tingkat Desa dan Masyarakat

    Sama halnya dengan apa yang dilakukan di tingkat kecamatan maka

    pendampingan di tingkat desa dan masyarakat juga bertujuan untuk meningkatkan

    masyarakat untuk mendapatkan 5 Akses ( akses pelayanan kesehatan berkualitas akses

    Pendidikan (edukasi gizi dan kesehatan), akses kebutuhan pangan, sanitasi, jamban dan

    sumber air bersih yang baik serta akses ekonomi). Pendampingan akan dilakukan baik

    pada aparat pemerintah desa maupun kepada masyarakat langsung terutama pada

    keluarga-keluarga yang kurang mampu dan memiliki ibu hamil dan ibu menyusui yang

    menderita kurang gizi (KEK), bayi dan balita yang memiliki masalah gizi, baik

    underweight, stunting maupun wasting.

    Jenis-jenis kegiatan yang akan dilakukan di tingkat desa antara lain adalah :

    1. Diawali dengan sosialisasi terkait rencana kegiatan penelitian

    2. Melakukan Survey gizi-kesmas dan Survey Rawan Pangan.

    3. Melakukan sosialisasi tentang masalah stunting termasuk apa yang dimaksud

    dengan stunting, penyebab, dan dan dampak yang ditimbulkan.

    4. Melakukan SMD dan MMD di ke-5 desa intervensi terkait upaya apa yang akan

    dilakukan menurunkan masalah stunting. int

    5. Pembentukan kelompok-kelompok target sasaran berdasarkan 8 kelompok

    intervensi.

    6. Selanjutnya masing-masing sektor terlibat aktif untuk melakukan intervensi

    kepada ke-delapan kelompok sasaran sesuai dengan tupoksi masing-masing sektor.

    Berikut ini peranan dan kontribusi yang diharapakan dari masing-masing sektor

    sesuai dengan tupoksi yang mereka miliki dalam upaya penurunan masalah stunting :

    1. DINAS KETAHANAN PANGAN DAN PERIKANAN

    a. Pengembangan “Kebun Gizi” kepada Kelompok-kelompok keluarga miskin atau

    rawan pangan.

    - Pemberian Paket stimulan pembuatan “Kebun Gizi” terdiri dari satu paket

    tanaman sayuran hidroponik yang berisi 180 lubang bibit sayuran dan satu

    paket budidaya ikan lele menggunakan kolam terpal dengan jumlah 2000 ekor

  • 31

    bibit lele ukuran 7-9 cm dengan ukuran kolam 20 m2. Diharapkan dalam waktu

    3 bulan “Kebun Gizi” sudah dapat dipanen.

    - Memberikan pendampingan bagaimana cara menanam sayuran dan

    pemeliharaan ikan yang baik sehingga dapat digunakan sebagai salah satu

    sumber vitamin dan protein bagi kelompok-kelompok keluarga miskin atau

    rawan pangan. Apabila ada kelebihan hasil budidaya dapat dijual di “Warung

    Gizi” sebagai salah satu sumber penghasilan bagi keluarga

    2. DINAS PERTANIAN

    a. Pemberdayaan Kelompok-kelompok Keluarga miskin atau rawan pangan melalui

    Pengembangan Budidaya Pohon Kelor.

    - Pemanfaatan lahan pertaninan yang kurang produktif untuk penanaman pohon

    Kelor

    - Pembinaan cara budidaya pohon kelor sebagai salah satu sumber vitamin dan

    mineral bagi keluarga dan sumber penghasilan

    3. DINAS KOPERASI, UKM DAN TENAGA KERJA DAN BAGIAN KESRA

    a. Pemberdayaan ekonomi kelompok-kelompok keluarga miskin atau rawan pangan

    dengan cara pemberian modal usaha dan pembinaan Pengembangan “Warung

    Gizi” untuk menampung kelebihan hasil budidaya tanaman sayuran dan pohon

    kelor serta budidaya ikan

    4. DINAS KESEHATAN a. Optimalisasi Program Yankes

    - Pelaksanaan PIS-PK

    - Pelaksanaan Manajemen Puskesmas b. Optimalisasi Program KIA

    - Pengembangan Surveilans KIA

    - Peningkatan cakupan ANC

    - Peningkatan cakupan Linakes dan PF

    - Pengembangan Rumah Tunggu Kelahiran

    - Peningkatan cakupan KN1-KN lengkap

    - Peningkatan cakupan pemberian dan konsumsi TTD pada ibu hamil dan remaja

    - Peningkatan pelaksanaan MTBS

    - Pendampingan Buku KIA

    - Pemberdayaan Bidan dan Bidan di Desa

  • 32

    c. Optimalisasi Program Gizi

    - Pelaksanaan Surveilans Gizi (reposisi Posyandu, pemantauan pertumbuhan

    dan perkembangan, monitoring dan evaluasi program gizi)

    - Peningkatan cakupan IMD

    - Peningkatan cakupan ASI Ekslusif

    - Peningkatan cakupan PMBA

    - Peningkatan cakupan TTD ibu hamil dan remaja puteri

    - Peningkatan cakupan Vitamin A

    - Peningkatan cakupan Garam beryodium

    - Peningkatan cakupan PMT Balita Kurus

    - Peningkatan cakupan PMT Bumil KEK

    - Pemberdayaan Tenaga Pelaksana Gizi (TPG)

    - Program Pemberian Makanan Tambahasan berbasis pangan lokal

    d. Optimalisasi Program Kesling

    - Peningkatan cakupan rumah sehat (sanling, air bersih dan jamban sehat)

    - Peningkatan cakupan STBM

    e. Optimalisasi Program Promkes

    - Peningkatan cakupan PHBS

    - Edukasi gizi dan kesehatan Strategi dan alat edukasi

    - Pemberdayaan masyarakat SMD/MMD

    - Advokasi Dinkes Prov mendampingi Dinkes Kab (asistensi) utk melakukan

    advokasi kepada Pemda melalui Dana Dekon

    - Kampanye melalui tiga saluran media

    f. Optimalisasi Program P2P

    - Peningkatan cakupan obat cacing

    - Imunisasi Balita dan ibu hamil

    g. Optimalisasi Program BPJS

    5. DINAS PU PR, DINAS PRKP DAN PAMSIMAS

    - Penyediaan sarana air bersih dan jamban sehat bagi kelompok-kelompok keluarga

    miskin atau rawan pangan

    - Peningkatan Kualitas Sanitasi Lingkungan di 5 Desa intervensi

    6. DINAS SOSIAL

    - Optimalisasi Program PKH pada keluarga-keluarga miskin atau rawan pangan

  • 33

    7. KEMENAG

    - Integrasi Program CATIN dengan Program 1000 HPK

    - Pembinaan pondok pesantren

    - Pemberdayaan Penyuluh Agama

    - Pemberian TTD dan Edukasi gizi dan kesehatan reproduksi kepada santriwati

    8. DINAS PMD, PA & KB

    - Penggunaan ADD untuk kesehatan

    - Reposisi Posyandu

    9. DINAS PENDIDIKAN

    - Pemberian edukasi gizi dan kesehatan pada siswa SD, TK dan PAUD dengan cara

    melatih para pengajar PAUD dan Sekolah Taman Kanak-kanak tentang gizi dan

    kesehatan bekerjasama dengan Dinas Kesehatan

    - Pengembangan “Kebun Gizi” di SD, TK dan PAUD

    - Progas (Program gizi anak sekolah)

    10. ORMAS DAN TOMA

    - Sosialiasi dan Pemberdayaan Masyarakat terkait Program-program Kesehatan

    termasuk pencegahan stunting melalui 1000 HPK

    11. PERGURUAN TINGGI

    - Komitmen lokus PKL di 5 Desa Intervensi

    12. MITRA PEMBANGAN DAN UN

    - Supproting Technical Asissten dari FAO dalam upaya Pengembangan Kampung

    Gizi

    2.8. Metode Pengumpulan Data

    Ada 2 cara pengumpulan data dalam penelitian ini, yaitu :

    a. Kuantitatif

    Pengumpulan data kuantitif akan menggunakan metode Survey cepat di masing-

    masing desa pendampingan.

    Pengumpulan data primer kepada masyarakat dan data sekunder di masing-

    masing SKPD terkait akan dilakukan sebanyak 2 kali yaitu pada saat awal

    (sekitar bulan Juli) dan setelah 4 bulan pendampingan (sekitar bulan

    Nopember).

    Pengumpulan data primer akan menggunakan kuesioner terstruktur yang akan

    dilakukan oleh mahasiswa poltekes selama 5 hari

  • 34

    Pengumpulan data sekunder akan menggunakan formulir listing yang akan

    dilakukan oleh Tim Peneliti

    b. Kualitatif

    Pengumpulan data kualitatif akan menggunakan metode wawancara mendalam dan

    diskusi kelompok terarah

    Wawancara mendalam akan dilakukan terhadap informan di tingkat Kabupaten,

    kecamatan dan desa sedangkan diskusi kelompok terarah akan dilakukan di tingkat

    masyarakat.

    2.9. Prosedur Kerja

    1) Tahap Persiapan

    a. Pembentukan tim peneliti

    b. Penyusunna protokol penelitian

    c. Pengadaan sarana dan bahan penelitian

    d. Persiapan administrasi, etik dan ijin penelitian

    e. Penyusunan kuesioner dan pedoman wawancara

    f. Uji coba kuesioner dan pedoman wawancara

    2) Tahap Pelaksanaan

    a. Persiapan lapangan (izin Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten dan ke

    Kesbangpol Kabupaten)

    b. Sosialisasi ke Pemda Kab Tasikmalaya (Bupati/wakil Bupati)

    c. Sosialisasi ke masing-masing sektor terkait

    d. Sosialisasi ke Camat, Kepala Puskesmas, dan Kepala Desa

    e. Sosialisasi ke masyarakat

    f. Wawancara mendalam kepada Pimpinan Daerah dan kepala SKPD terkait

    g. Diskusi kelompok terarah dengan Tokoh masyarakat dan Masyarakat

    h. Melakukan survey cepat untuk mendapatkan status gizi-kesehatan dan status

    rawan pangan indikator spesifik dan sensitif sertadi 5 desa ntervensi

    i. Mengumpulkan data sekunder terkait indikator spesifik dan sensitif

    j. Melakukan Pendampingan di tingkat Kabupaten, kecamatan, desa dan

    masyarat

    3) Tahap Pelaporan

    a. Penyusunan laporan

    b. Diseminasi

    c. Pembuatan Pedoman

  • 35

    2.10. Manajemen Data dan Analisis Data

    1) Data Kuantitatif

    Eumerator untuk pengumpulan data kuantitatif adalah mahasiswa Poltekes

    Tasikmalaya yang akan diberikan pelatihan selama 2 hari. Pada saat proses

    pengumpulan data akan disupervisi Tim Peneliti.

    Selanjutnya hasil wawancara akan dilakukan editing dan entry oleh enumerator

    dan dilakukan cleaning dibawah pengawasan Tim Peneliti.

    Data hasil wawancara dan data sekunder akan dianalisis oleh Tim Peneliti

    untuk dapat menggambarkan permasalahan apa saja yang ada termasuk

    menidentifikasi kontribusi intervensi spesifik dan sensitif melalui besarnya

    alokasi anggaran dan kegiatan di masing-masing program dan sektor dalam upaya

    penurunan masalah Stunting. Selanjutnya akan dibuat semacam pemetaan masalah

    yang nantinya akan disampaikan kepada seluruh terget sasaran pendampingan

    melalui sosialisasi hasil identifikasi masalah kepada seluruh sektor terkait.

    2) Data Kualitatif

    Hasil wawancara mendalam dan diskusi kelompok terarah akan dibuat transkrip

    dan matrik yang selanjutnya akan dilakukan analisis secara substansi dan akan

    digunakan sebagai penguatan dalam rencana intervensi program dan kegiatan

    dalam upaya penurunan masalah stunting.

    2.11. Pertimbangan Etik

    Penelitian ini bukan penelitian klinis sehingga tidak ada pengamblan spesimen

    darah atau lainnya kepada obyek manusia maupun binatang. Metode pengumpulan data

    hanya menggunakan cara wawancara kepada keluarga dan wawancara mendalam/diskusi

    kelompok terarah kepada informan. Oleh karena itu sebelum dilakukan wawancara akan

    diberikan penjelasan dalam bentuk nasakah PSP (Persetujuan Setelah Penjelasan) tentang

    maksud dan tujuan wawancara serta berapa lama waktu yang diperlukan termasuk

    kompensasi yang akan diterima oleh responden. Setelah memperoleh Informed Consent

    dari responden maka proses wawancara akan mulai dilakukan.

    Sebelum melakukan proses pengumpulan data maka akan diusulkan persetujuan

    etik kepada Komisi Etik Penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

    Kemenkes RI.

  • 36

    BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN

    3.1. Gambaran wilayah penelitian

    3.1.1. Gambaran Umum Kabupaten Tasikmalaya

    Kabupaten Tasikmalaya, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat

    ,Indonesia dengan ibukotanya adalah Singaparna , sekitar 380 km sebelah tenggara

    Jakarta. Kabupaten Tasikmalaya secara geografis terletak di antara 7º02’29’’ dan

    7º49’08’’ Lintang Selatan serta 107º54’10’’ dan 108º25’42’’ Bujur Timur, dengan batas-

    batas wilayah :

    - Sebelah Utara : Kabupaten Ciamis dan Kota Tasikmalaya

    - SebelahTimur : Kabupaten Ciamis

    - SebelahSelatan : Samudra Indonesia

    - SebelahBarat : Kabupaten Garut

    Gambar 8. Peta Wilayah Kabupaten Tasikmalaya

    Wilayah Kabupaten Tasikmalaya memiliki ketinggian berkisar antara 0 – 2.500

    meter di atas permukaan laut (dpl). Secara umum wilayah tersebut dapat dibedakan

    menurut ketinggiannya, yaitu : bagian Utara merupakan wilayah dataran tinggi dengan

    ketinggian berkisar antara 1.000 – 2.500 meter dpl dan bagian Selatan merupakan wilayah

    dataran rendah dengan ketinggian berkisar antara 0 – 100 meter dpl. Sebagian kecil

  • 37

    wilayahnya yaitu 0,81 % berada pada ketinggian diatas 1.500 m, keadaan iklim umumnya

    bersifat tropis dan beriklim sedang dengan rata - rata suhu di dataran rendah antara 20°-

    34° C dan di dataran tinggi berkisar 18°-22° C. Curah hujan rata -rata 2,072 mm/tahun,

    jumlah hari hujan rata -rata 82 hari. Wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten

    Tasikmalaya terdiri dari : Secara Administratif wilayah Pemerintah Kabupaten

    Tasikmalaya terdiri dari 39 Kecamatan dan 351 Desa, dengan luas wilayah 270.879 Km2.

    Demografi

    Jumlah penduduk Kabupaten Tasikmalaya berjumlah 1.733.222 jiwa, dengan

    tingkat kepadatan penduduk rata-rata 637 jiwa/Km2. Terdiri dari penduduk laki-laki

    sebanyak 883.122 jiwa dan perempuan sebanyak 850.100 jiwa . Apabila dibandingkan

    dengan jumlah penduduk tahun 2016 terdapat kenaikan sebesar 25.986 jiwa (1,5%).

    Luas wilayah kecamatan yang kurang sebanding dengan jumlah penduduk di

    Kabupaten Tasikmalaya berdampak pula pada persebaran penduduk. Luas wilayah yang

    tidak bertambah sedangkan jumlah penduduk dari tahun ketahun terus mengalami

    peningkatan menyebabkan kepadatan penduduk menjadi bertambah padat, dengan jumlah

    penduduk Kabupaten Tasikmalaya sebanyak 1.733.222 yang terdiri dari 883.122 laki-laki

    dan 850.100 perempuan beberapa Kecamatan yang luasnya tidak sebanding dengan

    jumlah penduduk diantaranya : Kecamatan Bojonggambir, Cipatujah, Karangjaya serta

    Pancatengah.

    Kepadatan penduduk Kabupaten Tasikmalaya setiap tahun cenderung terus

    meningkat, dengan rata-rata kepadatan penduduk untuk tahun 2015 sebesar 618 jiwa/Km2,

    untuk tahun 2016 sebesar 600 jiwa/Km2

    sedangkan untuk tahun 2017 kepadatan penduduk

    dengan bertambahnya jumlah penduduk sebanyak 25.986 jiwa rata-rata apabila

    dibandingkan dengan kepadatan penduduk tahun-tahun sebelumnya tidak mengalami

    perubahan yang sangat berarti.

    Seperti pada tahun-tahun sebelumnya pesebaran penduduk di Kabupaten

    Tasikmalaya tidak merata, dengan demikian kepadatan penduduk per kecamatanpun tidak

    merata. Penyebaran penduduk di Kabupaten Tasikmalaya masih didominasi oleh

    Kecamatan-kecamatan di sekitaran Wilayah Ibu Kota kemudian diikuti oleh Kecamatan

    di wilayah Tasikmalaya Utara diantaranya Ciawi dan Rajapolah. Kecamatan dengan

    kepadatan penduduk tertinggi masih tetap sama seperti tahun-tahun yang lalu yaitu

    Kecamatan Singaparna dengan kepadatan penduduk sebesar 2.691 jiwa/Km2, hal ini dapat

    dimaklumi karena Kecamatan Singaparna merupakan ibu kota Kabupaten Tasikmalaya,

  • 38

    sedangkan yang terendah kepadatan penduduknya adalah Kecamatan Pancatengah yaitu

    221 jiwa/Km2.

    Ekonomi

    Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Tasikmalaya pada tahun 2008 sebesar 4,02

    terjadi penurunan sebesar 0,31% sedangkan untuk tahun 2009 Laju Pertumbuhan Ekonomi

    sebesar 4,15%, untuk tahun 2010 sebesar 4,27% sedangkan untuk tahun 2011 sebesar

    4,32% ada kenaikan sebesar 0.05% apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

    Sebagai perbandingan bisa dilihat pada tabel 2 tentang laju pertambahan ekonomi selama

    kurun waktu 4 (empat) tahun.

    Tabel 2.

    Tingkat Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi

    Kab. Tasikmalaya dengan Jawa Barat

    2008 – 2011

    TAHUN

    L P E (%)

    TASIKMALAYA WIL.PRIATIM JABAR Ket

    2008

    2009

    2010

    2011

    4,02

    4,15

    4,27

    4,32

    -

    -

    -

    -

    -

    6,12

    6,20

    6,48

    Sumber :RJPMD Kab. Tasikmalaya

    Dari tabel di atas terlihat bahwa selama periode 2008-2011 laju pertumbuhan

    ekonomi Kabupaten Tasikmalaya secara umum masih terlihat di bawah LPE Jawa Barat.

    Gambaran Pendapatan perkapita atau Product Domestik Regional Bruto (PDRB)

    Kabupaten Tasikmalaya dapat dilihat pada tabel berikut.

  • 39

    Tabel 3.

    Product Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Berlaku Kab.

    Tasikmalaya dan Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2011- 2014

    No

    Tahun

    PDRB (Rp.)

    Berlaku perkapita

    1 2011 17,56 10,33

    2 2012 19,03 11,13

    3 2013 21,31 12,39

    4 2014 23,42 13,55

    5 2015

    6 2016

    Sumber : PDRB BPS Kabupaten Tasikmalaya

    Angka Pendapatan Perkapita diperoleh dengan cara membagi PDRB dengan

    jumlah penduduk pertengahan tahun. PDRB Kabupaten Tasikmalaya terlihat kecenderung

    terus mengalami kenaikan untuk tahun 2009 dari jumlah 6.942.553,00 menjadi

    7.384.790,88 (2010) dan untuk tahun 2011 berjumlah 8.211.479,85, meskipun demikian

    kenaikan PDRB Kabupaten Tasikmalaya masih berada dibawah kenaikan Provinsi Jawa

    Barat yang mencapai 15,28%. Besarnya pendapatan per kapita tersebut masih jauh dari

    besarnya pendapatan Propinsi Jawa Barat. Bila pendapatan per kapita tersebut dikonversi

    dalam dollar Amerika, maka pendapatan perkapita Kabupaten Tasikmalaya besarnya

    dibawah US$ 500, sedangkan Provinsi Jawa Barat sudah diatas US$ 500.

    Gambar 9

    Prosentase Kenaikan PDRB Per Tahun

    di Kabupaten Tasikmalaya dari Tahun 2011 s/d 2014

    0.00%

    200.00%

    400.00%

    600.00%

    800.00%

    1000.00%

    1200.00%

    1400.00%

    2011 2012 2013 2014

    1033.00% 1113.00%

    1239.00%

    1355.00%

  • 40

    Dengan kenaikan pendapatan per kapita ini mencerminkan bahwa pertumbuhan

    ekonomi Kabupaten Tasikmalaya dapat mengimbangi laju pertumbuhan penduduk,

    sehingga diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Adanya kenaikan

    PDRB atas dasar harga konstan 2009 walau dalam persentase tidak begitu besar itu

    mengindikasikan bahwa pendapatan masyarakat mengalami peningkatan searah dengan

    keberhasilan disegala sektor. Adapun data terakhir PDRB Kabupaten Tasikmalaya untuk

    tahun 2007 berdasarkan harga berlaku Rp. 9.360.909,63 naik sebesar 17,05% dari tahun

    2006. Untuk tahun 2009, PDRB Kabupaten Tasikmalaya atas dasar harga berlaku adalah

    Rp. 6.942.553,00 tahun 2010 sebesar Rp. 7.621.947,57 sedangkan untuk tahun 2011

    sebesar Rp. 8.167.499,46 berikut dibawah ini PDRB Kabupaten Tasikmalaya sejak tahun

    2007 hingga tahun 2011

    Tingkat Pendidikan

    Tingkat pendidikan masyarakat di Kabupaten Tasikmalaya pada tahun 2008 -

    2012, dapat dilihat pada tabel 2.3 dan gambar 2.9 berikut ini. Dari tabel 2.3 tampak bahwa

    meskipun berfluktuasinya trend pendidikan di Kabupaten Tasikmalaya, namun pada

    umumnya terdapat peningkatan kuantitas pendidikan sejak dari SD ke jenjang yang lebih

    tinggi yaitu ke tingkat SLTA terjadi kenaikan rata-rata sebesar 10%.

    Untuk tingkat pendidikan setingkat Akademi & Universitas di Kabupaten

    Tasikmalaya sampai dengan saat ini kita masih menggunakan data tahun 2012 karena data

    yang kita perlukan tidak tersedia di Dinas Pendidikan Kabupaten Tasikmalaya. Berikut

    dibawah dapat dilihat persentase tingkat pendidikan di Kabupaten Tasikmalaya selama

    tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 tanpa perguruan tinggi.

    Tahun 2014 tingkat pendidikan di Kabupaten Tasikmalaya tidak bisa kami

    tampilkan sedangkan untuk tahun 2015 tingkat pendidikan belum sekolah : 318.493 orang

    belum tamat SD berjumlah 159.448, SD/Sederajat : 773.205, SMP/Sederajat : 239.063,

    SMA /Sederajat 147.090 Diploma I & II : 4.621, Diploma III : 6.197, Diploma IV/Strata I

    berjumlah : 24.944 orang Strata 2 : 1.294 dan Strata 3 berjumlah 107 orang.

  • 41

    Gambar 10

    Persentase Tingkat Pendidikan di Kabupaten Tasikmalaya

    Tahun 2008-2012 (Dalam Persen)

    Salah satu indikator sektor pendidikan yang berperan dalam Indek Pembangunan

    Manusia (IPM) adalah angka melek huruf, angka melek hurup yang didefinisikan menurut

    Dinas Pendidikan Kabupaten Tasikmalaya adalah jumlah penduduk yang buta aksara dan

    telah mengikuti pelatihan/kursus baca tulis baik huruf latin maupun huruf lainnya.

    Angka Melek Huruf (AMH) Kabupaten Tasikmalaya sejak 5 (lima) tahun

    terakhir terus terjadi peningkatan untuk tahun 2010 sebesar 99,14 tahun 2011 sebesar

    99,15 tahun 2012 sebesar 99,22, sedangkan untuk tahun 2013 angka melek hurup sebesar

    99,26. Angka melek huruf Kabupaten Tasikmalaya untuk tahun 2014 sebesar 99,24.

    Sedangkan untuk tahun 2015 angka melek hurup (AMH) sebesar 99,25

    Gambar 11

    Grafik Kecenderungan Angka Melek Huruf (AMH)

    Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2011 s/d 2015

    Sumber : IPM Kab Tasikmalaya Tahun 2015

    99.08

    99.1

    99.12

    99.14

    99.16

    99.18

    99.2

    99.22

    99.24

    99.26

    2011 2012 2013 2014 2015

    99.15

    99.22

    99.26

    99.24 99.25

  • 42

    Berdasarkan data dari Dinas Kependudukan dan Tenaga Kerja Kabupaten

    Tasikmalaya , terdapat 915.948 orang yang bekerja di berbagai sektor. Tiga terbesar mata

    pencaharian yaitu petani (34,81%), buruh tani (30,08%) dan buruh swasta (10,76%).

    Terdapat sebanyak 376.045 jiwa (21,75%) penduduk miskin dan sebagian bersar bekerja

    sebagai buruh tani .

    Sektor pertanian merupakan sektor penyedia lapangan kerja terbesar yaitu sekitar

    43,22 persen kesempatan kerja berasal dari sektor pertanian, diikuti perdagangan

    (24,75%) dan jasa (11,08%). Sektor pertanian merupakan penyedia utama kebutuhan

    pangan masyarakat juga menyediakan pasar yang sangat besar untuk produk manufaktur

    karena jumlah penduduk perdesaan yang besar dan terus mengalami peningkatan . Dengan

    demikian, sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang paling efektif untuk

    mengentaskan kemiskinan di wilayah perdesaan melalui peningkatan pendapatan mereka

    yang bekerja di sektor pertanian. Komoditas unggulan sektor pertanian Kabupaten

    Tasikmalaya yang sudah berorientasi ekspor antara lain: Padi Organik (SRI) dengan sentra

    di 7 (tujuh) Kecamatan. (Sukaresik, Cisayong, Sukaraja, Manonjaya, Cineam, Sukahening

    dan Salawu), Manggis dengan sentra di Puspahiang, Mendong dan Golok Galonggong

    Manonjaya. Sedangkan pada sektor industri adalah kerajinan dengan sentra di Rajapolah

    dan bordir dengan sentra di Sukaraja.

    3.1.2. Permasalahan Kesehatan di Kabupaten Tasikmalaya

    Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat’ (IPKM) adalah pemeringkatan dari

    30 indikator yang dikelompokkan menjadi 7 kelompok indikator yaitu 1) Indikator

    kesehatan balita, 2) Kesehatan Reproduksi, 3) Pelayanan Kesehatan, 4) Perilaku Sehat, 5)

    Penyakit tidak menular ,6) Penyakit Menular, 7) Kesehatan Lingkungan. Selanjutnya

    diperhitungkan secara bersama-sama untuk melihat akumulasi status kesehatan

    masyarakat di 440 kab/kota yang datanya berasal dari Riskesdas, Susenas dan Survey

    Potensi Desa .

    Kabupaten Tasikmalaya berdasarkan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat atau

    IPKM tahun 2013 mempunyai peringkat sangat rendah (0,4595) yaitu peringkat ke 423

    dari 497 kabupaten di Indonesia dan peringkat ke 25 dari 26 kabupaten di propinsi Jawa

    Barat .

    Berdasarkan permasalahan kesehatan balita, kabupaten Tasikmalaya mempunyai

    permasalahan gizi balita akut dan kronis yaitu prevalensi balita pendek 41,7 persen,

    balita gizi kurang 17,2 persen dan balita kurus 16,2 persen. Faktor penyebab langsung

    permasalahan kesehatan balita antara lain tingginya penyakit infeksi pada balita seperti

  • 43

    diare 14,65 persen dan ISPA 40,28 persen. Sedangkan penyebab tidak langsung yaitu

    faktor kesehatan lingkungan antara lain akses sanitasi 16,11 persen dan akses sumber air

    bersih 13,95 persen. Selain itu nilai yang rendah terlihat pada perilaku sehat yaitu

    presentase merokok sebesar 55,87 persen, cuci tangan dengan benar 45,48 persen, buang

    air besar dengan benar 63,65 persen dan aktifitas fisik 25,35 persen.

    3.1.3. Implementasi Program Intervensi Gizi Spesifik dan Intervensi Gizi Sensitif

    A. Pencapaian Program Intervensi Gizi Spesifik

    Pencapaian program spesifik di peroleh dari data sekunder di Dinas kesehatan

    yaitu “Profil Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya tahun 2017” , data status gizi balita

    hasil Bulan Penimbangan Balita (BPB) tahun 2017, Laporan Survei Cepat Anemia pada

    Ibu Hamil tahun 2015, dan Laporan Survei Cepat Pemantauan Konsumsi Gizi tahun 2013

    di Kabupaten Tasikmalaya . Ada 7 indikator yang terkait dengan program spesifik .

    Capaian kinerja indikator spesifik pada ibu hamil di kabupaten Tasikmalaya disajikan

    pada tabel 4

    Tabel 4.

    Capaian Kinerja Indikator Spesifik pada Ibu Hamil

    di Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2017

    No Indikaktor Spesifik Capaian (%)

    1 Cakupan penerima FE3 pada bumil (90 tablet) 89,2*

    2

    3

    Cakupan ibu hamil mendapat vaksinasi TT1

    Cakupan ibu hamil mendapat vaksinasi TT2

    72,4*

    69,20*

    3 Prevalensi bumil anemia 49,06**

    4 Cakupan bumil K1 95,02*

    5 Cakupan bumil K4 88,35*

    6 Cakupan pengobatan kecacingan Tidak ada data

    7 Cakupan ibu hamil KEK mendapat PMT Tidak ada data

    Sumber data :*Profil Dinas Kesehatan tahun 2017

    ** Survei cepat tahun 2015

    Prevalensi anemia gizi pada ibu hamil di Indonesia masih tinggi dan

    membutuhkan perhatian yang serius. Penyediaan Tablet Tambah Darah (TTD)

    untuk semua ibu hamil setidaknya 90 tablet selama kehamilan telah menjadi

    strategi utama untuk mengurangi prevalensi anemia pada ibu hamil sejak tahun

  • 44

    1980-an. Pada tabel 4. menunjukkan bahwa cakupan ibu hamil yang mendapat

    TTD FE3 (90 tablet) cukup tinggi 89,2 persen, demikian juga pemeriksaan

    kehamilan K1 (95,02%) dan K4 (88,35%) namun prevalensi anemia pada ibu

    hamil masih tinggi (49,06%)**.

    Kemudian cakupan pengobatan kecacingan dan cakupan ibu hamil Kurang

    energi kronis (KEK), tidak tersedia datanya. Menurut pengelola program KIA ,

    bahwa sejak tahun 2013, kabupaten Tasikmalaya sudah memasuki tahun ke 3

    melaksanakan program pemberantasan Filariasis karena termasuk daerah endemis

    Filariasis. Program ini ditujukan kepada seluruh penduduk usia > 2 tahun kecuali

    wanita hamil. Dengan demikian sudah tidak ada program kecacingan secara

    khusus bagi ibu hamil.

    Informasi capaian kinerja indikator spesifik pada ibu Nifas disajikan pada

    tabel 5. Terlihat bahwa semua cakupan capaian program mulai dari persalinan

    ditolong nakes , neonatal risti yang ditangani , bayi mendapat imunisasi dasar

    lengkap, dan KN3, serta ibu nifas mendapat Vitamin A, sudah melebihi 90 persen

    atau baik .

    Tabel 5.

    Capaian Kinerja Indikator Spesifik pada Ibu Nifas

    di kabupaten Tasikamalaya Tahun 2017

    No Indikaktor Spesifik Capaian (%)

    1 Cakupan persalinan ditolong nakes 96,7**

    2 Cakupan neonatal risti ditangani 100,0*^

    3 Cakupan imunisasi dasar lengkap bayi 92,8*

    4 Cakupan kunjungan neonatus 1 (KN1) 87,8*

    5 Cakupan kunjungan neonatus 3 (KN3) 97,0*

    6 Cakupan pemberian Vit A pada ibu nifas 98,02*

    Sumber data :*Profil Dinas Kesehatan tahun 2017

    ** Profil Dinas Kesehatan tahun 2015

    Informasi capaian kinerja indikator spesifik pada bayi usia 0-6 bulan meliputi bayi

    BBLR, Inisiasi Menyusu Dini, ASI Eksklusif, pemberian vitamin A pada bayi dan

    imunisasi dasar bayi disajikan pada tabel 6.

  • 45

    Tabel 6.

    Capaian Kinerja Indikator Spesifik pada Bayi Usia 0-6 bulan

    di kabupaten Tasikamalaya Tahun 2015

    No Indikaktor Spesifik Capaian (%)

    1. Prevalensi bayi BBLR 3,2**

    2 Cakupan Inisiasi Menyusui Dini /IMD 60,0**

    3 Capaian ASI Eksklusif 60,8**

    4 Cakupan Pemberian kapsul vitamin A pada bayi 95,31*

    5 Cakupan imunisasi dasar lengkap bayi 93,66*

    Sumber data :*Profil Dinas Kesehatan tahun 2017

    ** Profil Dinas Kesehatan tahun 2015

    Inisiasi Menyusu Dini adalah proses bayi menyusu segera setelah dilahirkan, di

    mana bayi dibiarkan mencari puting susu ibunya sendiri (tidak disodorkan ke puting susu)