BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...

23
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bali Democracy Forum (BDF) adalah forum kerjasama negara-negara demokrasi di Asia-Pasifik yang mengadakan pertemuan tahunan di Bali sejak tahun 2008. Forum ini bertujuan untuk memperkuat kapasitas demokrasi dan institusi demokrasi serta mempromosikan pembangunan politik melalui dialog dan tukar pengalaman antar-negara serta membentuk platform bagi kerjasama dan saling membantu dalam bidang demokrasi dan pembangunan politik. Sebagai sebuah forum pertemuan tahunan, BDF diikuti oleh perwakilan dari negara-negara di Asia-Pasifik, baik pemimpin pemerintahan, menteri, maupun tokoh- tokoh penting (prominent figure) yang inklusif, terbuka untuk semua negara di kawasan Asia-Pasifik baik yang telah menganut demokrasi ataupun yang berinspirasi untuk menjadi lebih demokratis. Forum ini juga berprinsip homegrown democracy, artinya berpatokan pada praktek-praktek nyata nilai-nilai demokrasi oleh negara peserta dengan tidak berpretensi untuk menyalahkan atau membenarkan praktek nyata tersebut. 1 Pada pertemuan pertama tahun 2008, BDF telah menetapkan 14 area prioritas kerjasama yaitu memperkuat dan mengembangkan proses pemilu, meningkatkan peran partai politik, penegakan hukum dan memperkuat integritas dan kapasitas lembaga 1 “Forum Demokrasi Bali” dalam http://www.setneg.go.id ., diakses pada tanggal 10 Juli 2012

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Bali Democracy Forum (BDF) adalah forum kerjasama negara-negara

demokrasi di Asia-Pasifik yang mengadakan pertemuan tahunan di Bali sejak tahun

2008. Forum ini bertujuan untuk memperkuat kapasitas demokrasi dan institusi

demokrasi serta mempromosikan pembangunan politik melalui dialog dan tukar

pengalaman antar-negara serta membentuk platform bagi kerjasama dan saling

membantu dalam bidang demokrasi dan pembangunan politik.

Sebagai sebuah forum pertemuan tahunan, BDF diikuti oleh perwakilan dari

negara-negara di Asia-Pasifik, baik pemimpin pemerintahan, menteri, maupun tokoh-

tokoh penting (prominent figure) yang inklusif, terbuka untuk semua negara di

kawasan Asia-Pasifik baik yang telah menganut demokrasi ataupun yang berinspirasi

untuk menjadi lebih demokratis. Forum ini juga berprinsip homegrown democracy,

artinya berpatokan pada praktek-praktek nyata nilai-nilai demokrasi oleh negara

peserta dengan tidak berpretensi untuk menyalahkan atau membenarkan praktek nyata

tersebut.1

Pada pertemuan pertama tahun 2008, BDF telah menetapkan 14 area prioritas

kerjasama yaitu memperkuat dan mengembangkan proses pemilu, meningkatkan peran

partai politik, penegakan hukum dan memperkuat integritas dan kapasitas lembaga

1 “Forum Demokrasi Bali” dalam http://www.setneg.go.id., diakses pada tanggal 10 Juli 2012

2

hukum, mengembangkan dan mempertahankan check and balance di antara lembaga

pemerintah, meningkatkan tata kelola pemerintahan yang baik, akses bagi informasi

kepada publik, akses bagi kebutuhan publik, meningkatkan peran wanita dan

kesetaraan gender, menegakkan kebebasan beragama dan toleransi beragama,

meningkatkan peran masyarakat madani dan pemuda, mendorong udaya demokrasi,

perdamaian dan kehidupan yang harmonis, meningkatkan peran media massa dalam

masyarakat yang demokratis, menggunakan teknologi informasi untuk meningkatkan

komunikasi serta mendorong demokrasi dan pembangunan sosial ekonomi.2

Sebagai penggagas dan tuan rumah forum tahunan ini Indonesia sangat aktif

dalam rangka menjaga agar demokrasi tetap berjalan di Indonesia, selain berusaha

untuk memulihkan citra sebagai negara demokrasi setelah reformasi. Di samping itu,

Indonesia menganggap perlu untuk bertukar pengalaman dan belajar dari negara lain

tentang demokrasi khususnya dalam memperkuat institusi demokrasi melalui

kerjasama internasional. Kerjasama ini diperlukan untuk memperoleh pengalaman

terbaik yang bisa dijadikan contoh bagi penerapan prinsip-prinsip demokrasi di negara

peserta.

Demokrasi adalah salah satu identitas nasional Indonesia sebagaimana

tercermin dalam pasal-pasal konstitusi yang menyatakan bahwa Indonesia merupakan

negara demokrasi dengan kedaulatan di tangan rakyat yang pelaksanaannya kemudian

diatur dalam pasal-pasal konstitusi, UUD 1945. Dalam perkembangannya demokrasi

di Indonesia telah berkembang jauh mengikuti dinamika zaman dengan dipengaruhi

faktor internal maupun eksternal. 2 Ibid.

3

Pasca kemerdekaan Indonesia tahun 1945 hingga akhir tahun 2007, Indonesia

telah berganti tampuk kepemimpinan sebanyak enam kali yang tidak pernah

meninggalkan retorika Indonesia sebagai negara demokrasi. Sejarah mencatat adanya

dua rezim sangat berkuasa yang pernah memerintah Indonesia. Pertama adalah rezim

pemerintahan Soekarno dan kedua adalah rezim pemerintahan Soeharto. Kedua rezim

ini mampu menguasai hampir seluruh aspek kehidupan dan membuat elemen-elemen

masyarakat Indonesia, baik elemen sosial maupun politik, tunduk pada kehendaknya.

Soekarno yang berkuasa pada awal masa kemerdekaan berusaha mengatur tertib

politik Indonesia melalui apa yang dinamakannya Demokrasi Terpimpin dengan tiga

kekuatan utama; Soekarno, PKI, dan tentara- utamanya Angkatan Darat- sebagai pilar

utama. Sejarah mencatat meletusnya peristiwa berdarah 30 September 1965 yang

menewaskan enam perwira tinggi dan satu perwira pertama Angkatan Darat

mengakhiri eksperimen demokrasi ala Soekarno di Indonesia sekaligus mengawali

rezim Soeharto yang kemudian dikenal sebagai Orde Baru.3

Pada masa di mana sudah cukup berkuasa, Soeharto meletakkan “revolusi” dan

“pembangunan”, serta “politik” dan “ekonomi” dalam posisi dikotomis. Istilah

“revolusi” dan “politik”, yang akrab dipergunakan oleh Soekarno, berada dalam posisi

inferior. Kedua istilah tersebut menjadi istilah yang merepresentasikan ambisi pribadi

untuk berkuasa, elitis dan kegiatan-kegiatan berkonotasi negatif. Akibat terlalu

“revolusioner” dan “politis”, pemerintahan lama dianggap mengorbankan stabilitas

dan kesejahteraan komunal, yang menjadi esensi dari “pembangunan” dan “ekonomi.”

3 Manan, Munafrizal. 2005. Gerakan Rakyat Melawan Elite. Yogyakarta : Resist Book. Hal 40.

4

Dalam rangka upaya memperkuat hegemoninya, Soeharto pun memperkuat

kesan sukses dan keberhasilan dalam memimpin Indonesia melalui pembangunan dan

pertumbuhan ekonomi. Soeharto memulai otobiografinya dengan pidato di depan

United Nations Food and Agriculture Organization (FAO) terkait swasembada

pangan yang berhasil dicapai Indonesia. Soeharto menjadikan dirinya sebagai ikon

ketahanan pangan dan kebangkitan pertanian Indonesia. Namun, sebenarnya, prestasi

ini merupakan prestasi semu. Indonesia baru berhasil mencapai swasembada pangan

pada tahun 1984 dan kembali menjadi pengimpor beras pada awal dekade 1990-an.4

Sukses lain yang menjadi senjata Soeharto untuk mempertahankan hegemoni

adalah pertumbuhan GNP (gross national product) Indonesia yang mencapai 7% per

tahun. Namun, kembali ini merupakan sebuah ilusi, kalau tidak ingin disebut sebagai

kebohongan. Meski GNP Indonesia terus mengalami pertumbuhan sampai

pertengahan tahun 1990-an, namun di saat yang sama, hutang luar negeri Indonesia

juga terus meningkat. Pada tahun 1990, hutang luar negeri Indonesia dua kali lipat dari

tahun 1980. Jumlah hutang luar negeri Indonesia pun mencapai 66% GNP. RAPBN

tahun 1989-1994 mengandalkan 56% anggarannya dari hutang luar negeri5. Akibatnya

tingkat inflasi Indonesia menjadi relatif tinggi pada masa itu, apabila dibandingkan

dengan negara-negara Asia lainnya.

Walaupun menerapkan sistem pemerintahan yang represif dengan

mengandalkan aparat birokrasi dan militer sebagai kekuatan utama, Orde Baru tetap

4 Tabor, Steven R. 1992. “Agriculture in Transition,” dalam Booth, Anne., The Oil Boom and After : Indonesian Economic Policy and Performance in Soeharto Era. Singapura :Oxford University Press. Hal 37 5 The Economist Intelligence Unit : Country Profile 1992-3.

5

mengklaim dirinya sebagai rezim yang menerapkan demokrasi yang khas Indonesia,

yang disebutnya sebagai demokrasi Pancasila.

Struktur Orde Baru sebagai penguasa Indonesia mengalami kehancuran pada

21 Mei 1998, dengan mundurnya Soeharto dari kursi kepresidenan. Jatuhnya

pemerintahan Orde Baru ini dipicu oleh krisis moneter yang menghantam Asia, mulai

dari Thailand, Malaysia, Korea Selatan dan terakhir Indonesia. Dari semua negara

yang terkena krisis tersebut, Indonesia ternyata mengalami dampak yang paling parah.

Mata uang rupiah pun merosot tajam terhadap dollar AS, membuat harga-harga barang

naik sampai 300%.6

Akibat aksi demonstrasi dan tekanan dari berbagai organisasi masyarakat,

pada tanggal 20 Mei 1998, pimpinan DPR mengeluarkan pernyataan yang meminta

Soeharto untuk mengundurkan diri. Harmoko, Ketua MPR, mengumumkan tanggal 22

Mei 1998 sebagai batas waktu pengunduran diri Soeharto. Jika sampai batas tersebut

ia tidak mengundurkan diri, pimpinan DPR/MPR akan melakukan rapat dengan

seluruh fraksi pada tanggal 25 Mei untuk menggelar Sidang Istimewa MPR. Akhirnya,

karena menyerah pada tekanan masyarakat, Soeharto mengundurkan diri pada tanggal

21 Mei 1998. Jabatan presiden pun berpindah ke tangan Wakil Presiden B.J. Habibie.7

Dengan transformasi dari Presiden Soeharto ke Habibie yang kemudian

menjadi tonggak reformasi di Indonesia, demokrasi di Indonesia mengalami dinamika

yang lebih kompleks. Pada kepemimpinan dua presiden berikutnya, Abdurrahman

Wahid dan Megawati Sukarnoputri demokrasi Indonesia tumbuh semakin baik.

6 Raharjo, M. Dawam. 1999. Orde Baru dan Orde Transisi, Yogyakarta : UII Press, hal. 67-68. 7 Ibid.

6

Keadaan ini terus berlanjut hingga pada tahun 2013 di bawah kepemimpinan Presiden

Susilo Bambang Yudhoyono Indonesia telah berkembang sebagai negara yang terbuka

dan demokratis yang jauh lebih baik jika dibandingkan dengan rezim-rezim

sebelumnya.

Dari rezim Soeharto hingga Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia telah

mengalami dinamika yang menarik mengenai demokrasi. Masing-masing memiliki

kelebihan dan kekurangan karena seperti pada prinsipnya demokrasi merupakan

sebuah ketentuan yang relatif, seperti perkataan Gareth Porter8 yang menyatakan

bahwa :

“...demokrasi di negara-negara berkembang menjadi hal yang bersifat subyektif dan relatif. Kasus di Indonesia menjadi bukti bahwa perkembangan demokrasi menjadi sebuah konsep yang ambigu karena masyarakat sebagai subyek politik merasa tidak nyaman dengan kebebasan itu sendiri dan sebagian besar kalangan grass root mendambakan kembalinya rezim otokratis karena secara faktual dapat memberikan jaminan stabilitas dan pemenuhan hak-hak dasar.”9

Mengacu pada proposisi di atas maka dapat diketahui bahwa sebenarnya

dinamika demokrasi di Indonesia memiliki perkembangan yang sangat longgar. Dalam

prakteknya demokrasi di Indonesia ternyata sangat dipengaruhi oleh kondisi

lingkungan di sekitarnya. Demokrasi Terpimpin era Soekarno tidak bisa dilepaskan

dari upaya Soekarno untuk melepaskan diri dari pengaruh dan memanfaatkan

persaingan dua negara adikuasa dalam era Perang Dingin, dan Soeharto kemudian

menggantikannya dengan Demokrasi Pancasila karena menganggap model inilah yang 8Gareth Porter merupakan analis sekaligus pengajar dari Universitas Cambridge yang pada bulan November hingga Desember 2008 mengadakan penelitian tentang perbandingan partisipasi politik di Indonesia dan Thailand pasca reformasi. 9Gareth Porter. 2008. “Indonesia After Reformation : The Prospect of Liberation and Democracy”, The Journal of Public Policy, Vol III, New York : Vintage Publishing, hal.18.

7

menurut penafsirannya lebih cocok dengan kebutuhan Indonesia mencari bantuan dan

hutang luar negeri dari negara-negara blok Barat. Inilah yang kemudian menjadi bukti

kuat bahwa komunikasi dan kerjasama antara negara-negara regional dan internasional

menjadi salah satu instrumen penting untuk mempengaruhi perkembangan demokrasi

di Indonesia.

Pasca reformasi, dalam upaya melindungi praktek demokrasi Indonesia yang

dianggap sudah on the right track dari pengaruh buruk lingkungan regional dan

internasional, beberapa forum regional diikuti dan diselenggarakan oleh pemerintah

Indonesia. Salah satunya adalah Bali Democracy Forum (BDF), sebuah forum

pertemuan tahunan negara-negara demokrasi di Asia-Pasifik yang diadakan di Nusa

Dua, Bali. Forum ini bertujuan untuk memperkuat kapasitas demokrasi dan institusi

demokrasi melalui diskusi antar-negara partisipan. Acara ini digelar pertama kali pada

10-11 Desember 2008 dengan tema Building and Consolidating Democracy: A

Strategic Agenda for Asia.10

Hingga tahun 2013 BDF sudah berhasil diselenggarakan sebanyak enam kali,

dengan yang terakhir diselenggarakan pada tanggal 7-8 November 2013 di Nusa Dua

Convention Center, Bali, dengan mengusung tema Mengonsolidasikan Demokrasi di

Dalam Masyarakat Majemuk, dan dua sub tema yaitu Menyelenggarakan Pemilu yang

Bebas dan Adil dan Membangun dan Memperkuat Institusi Demokratis.

Bali Democracy Forum merupakan forum tahunan antar pemerintah yang

inklusif dan terbuka pada perkembangan demokrasi di kawasan Asia-Pasifik,

10“Buka Bali Forum Demokrasi, SBY Singgung Persoalan Demokrasi” dalam http://www.news.detik.com., diakses pada tanggal 10 Juli 2012.

8

mempromosikan dan mendorong kerjasama regional dan internasional dalam bidang

perdamaian dan demokrasi melalui dialog, tukar pengalaman dan praktik mengenai

demokrasi yang berdasarkan pada prinsip kesetaraan, saling menghormati dan

pengertian. Pada setiap pertemuan BDF, Indonesia sebagai negara pemrakarsa

berupaya menjaring partisipasi negara-negara di luar kawasan Asia Pasifik untuk

berbagi pengalaman terkait pengalaman dan penerapan nilai-nilai demokrasi.11

Pertemuan BDF menjadi menarik karena melibatkan negara-negara yang

masih dalam taraf memulai menerapkan prinsip-prinsip demokrasi, maupun negara

yang berkomitmen untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi meskipun dianggap

belum demokratis. Pelaksanaan BDF selanjutnya diharapkan dapat menghasilkan

komitmen yang lebih konkrit mengenai penerapan prinsip demokrasi di tingkat global,

serta lebih banyak melibatkan partisipasi Kepala Negara/Pemerintahan dalam rangka

berbagi pengalaman, sekaligus best practices mengenai pelaksanaan demokrasi. Ini

tentu penting untuk menghindari terjadinya kemunduran bagi proses demokratisasi

yang tengah berlangsung di negara-negara peserta,karena tidak tertutup kemungkinan

terjadinya proses gelombang balik jika mereka gagal mengatasi penghalang dan

memanfaatkan peluang dari proses demokratisasi yang sedang berlangsung di negara

masing-masing.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, penulis menarik dua

rumusan masalah, yaitu :

11 Ibid

9

1. Mengapa Indonesia menyelenggarakan Bali Demokrasi Forum (BDF) sejak

tahun 2008?

2. Apa peran Bali Democracy Forum (BDF) bagi demokrasi Indonesia?

1.3 Tinjauan Pustaka (Literature Review)

Kajian mengenai demokrasi di Indonesia telah banyak ditulis oleh para analis

atau akademisi, namun dalam perkembangannya ternyata hanya sedikit yang mengulas

tentang pengaruh rezim demokrasi regional terhadap dinamika demokrasi di

Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah mengenai pengaruh

rezim demokrasi regional terhadap demokrasi di Indonesia.

Daniel S. Lev dalam karyanya yang berjudul The Transition to Guide

Democracy : Indonesia Politic menyatakan bahwa demokrasi di Indonesia memiliki

karakter yang berbeda dengan negara-negara Asia lainnya karena banyak dipengaruhi

oleh kultur dan aspek sosio-religius, sehingga ini menjadi sangat sulit jika harus

diperbandingkan dengan demokrasi di negara-negara Barat dan diperkirakan

demokrasi di Indonesia akan berkembang dengan sendirinya dengan melepaskan diri

dari pengaruh demokrasi dari negara lain.12

Daniel S. Lev juga menyatakan bahwa perkembangan demokrasi di Indonesia

dipengaruhi oleh bentuk-bentuk kombinasi antara pengaruh sipil dan militer.

Keduanya membangun kolaborasi untuk mengembangkan supremasi sipil, sekaligus

tertib sipil, dimana hal ini tidak lazim ditemui pada negara-negara maju. Konsep ini

12Daniel S. Lev. 2009. The Transition Guide of Democracy : Indonesia Politics (Third Edition), Singapore : Equinoq Publishing. hal. 23.

10

berhasil diterima oleh masyarakat luas, namun menjadi bagian dari kritik kelas

menengah di Indonesia.13

William Case dalam Politics in Southeast Asia Democracy or Less ketika

membahas Indonesia menyatakan bahwa selama rezim Orde Baru berkuasa Indonesia

mempraktekkan apa yang disebutnya pseudo-democracy dengan ciri kebebasan sipil

yang terbatas dan pemilu yang reguler walau penuh kecurangan.14 Case menambahkan

bahwa rezim ini bisa stabil dengan kebersamaan elit yang tidak sepenuhnya bersatu

atau terpecah-belah yang dikendalikan oleh seorang pemimpin puncak yang kuat. Di

saat yang sama, suara masyarakat dibungkam melalui institusi yang korporatis,

mentalitas yang mengagungkan kekuasaan, hasil-hasil pembangunan dan pemaksaaan

kehendak. Keadaan ini berubah total ketika krisis ekonomi membuat Sang Penguasa

puncak, Suharto, kehilangan dukungan dan kontrol atas elit yang tidak pernah

sepenuhnya bersatu. Pertentangan antar-elit yang semakin tajam memicu benturan

sosial yang semakin meluas, maraknya demonstrasi oleh mahasiswa, ketidakpuasan

kelas menengah dan kerusuhan. Keadaan ini kemudian memaksa Suharto untuk

mundur dan menyerahkan kekuasaan kepada Habibie sebagaiWakil Presiden saat itu.

Transisi kekuasaan kepada Habibie berlanjut menuju demokratisasi Indonesia yang

mempunyai prospek lebih stabil pada periode selanjutnya.15

Anders Uhlin dalam Democracy and Diffusion Transnational Lesson Drawing

among Indonesian Pro-Democracy Actors menyatakan adanya ide-ide demokrasi dari

13 Ibid. 14 Case, William. 2002. Politics in Southeast Asia Democracy or Less. London and New York : RoutledgeCurzon. Hal. 79 15 Ibid hal. 80

11

luar yang diserap, mengalami penyesuaian dengan kondisi lokal ataupun ditolak oleh

para pelaku demokratisasi di Indonesia menjelang reformasi Indonesia tahun 1998.16

Richard Robison dalam What Sort of Democracy? Predatory and Neo-liberal

Agendas in Indonesia mempertanyakan demokrasi macam apa yang akan berkembang

setelah reformasi berlangsung di Indonesia, dan mengkhawatirkan apakah

demokratisasi di Indonesia akan mencapai tahap konsolidasi. Ini terjadi karena

dominasi elit politik penentu kebijakan yang mayoritas berasal dari era sebelumnya.

Tekanan politik global yang menuntut adanya liberalisasi politik memungkinkan

mereka untuk berkoalisi dengan sesama elit politik membajak agenda proses

demokratisasi yang tengah berlangsung sehingga dapat dikendalikan sesuai dengan

yang mereka kehendaki17.

Lebih lanjut, Marco Bunte dan Andreas Ufen dalam Democratization in Post

Suharto in Indonesia menyatakan bahwa proses demokratisasi di Indonesia banyak

mengalami tantangan dan hambatan dari dalam baik dari aspek struktural maupun civil

society sehingga proses demokratisasnya berlangsung lambat dan kadang hasilnya

bersifat ambigu18 .

Maribeth Erb dan Priyambudi Sulistiyanto dalam Deepening Democracy in

Indonesia? Direct Elections for Local Leaders(Pilkada) menyatakan kekhawatiran

akan tidak berlanjutnya konsolidasi demokrasi Indonesia. Kekhawatiran itu didasari

16Uhlin, Anders. 1995. Democracy and Diffusion Transnational Lesson-Drawing among Indonesian Pro-Democracy Actors. Malmo : Lund University. Hal 2-3. 17 Robison, Richard. 2002. “What Sort of Democracy? Predatory and neo-liberal agendas in Indonesia” dalam Catarina Kinnvall and Kristina Jonsson (eds). Globalization and Democratization in Asia. The Construction of Identity. London : Routledge,hal.93 18 Bunte, Marco and Andreas Ufen (eds.). 2009. Democratization in Post Suharto Indonesia. London : Routledge. hal. 4

12

atas pernyataan Jeff Hayness yang menyatakan bahwa beberapa faktor bisa menjadi

hambatan bagi demokratisasi di negara-negara “dunia ketiga” untuk mencapai tahap

konsolidasi.19 Beberapa faktor itu adalah dominasi eksekutif yang kuat, sistem politik

patrimonial, korupsi yang merajalela di level negara, partai politik yang lemah dan

tidak stabil, masyarakat sipil yang terkooptasi, perpecahan etnis/agama yang serius,

meluasnya kemiskinan, serta lingkungan internasional yang kurang mendukung.

Melalui studi kasus atas beberapa pemilihan umum kepala daerah yang berlangsung

di Indonesia sejak 2004, Erb dan Sulistiyanto menyatakan bahwa patrimonialisme,

korupsi, lemahnya partai politik, serta konflik etnis dan agama dapat menjadi

penghambat bagi konsolidasi demokrasi di Indonesia.20

Berdasar pada beberapa literatur di atas maka dapat difahami bahwa dinamika

demokrasi di Indonesia sampai dengan tahun 2012 belum mengalami fase

pemantapan. Dari tulisan yang dikemukakan oleh Daniel S. Lev di atas maka penulis

dapat mengkritisi bahwa demokrasi di Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh faktor-

faktor domestik, namun juga konstelasi sosial-politik regional dan internasional.

Hanya saja mekanisme pengaruh yang terjadi adalah sebuah hal yang bersifat soft

approach.

Richard Robison dengan diperkuat Marcos Bunte dan Andreas Ufen lebih

banyak membahas mengenai faktor domestik yang mempengaruhi lambatnya proses

transisi demokrasi di Indonesia, dan kurang menekankan adanya pengaruh lingkungan

eksternal dalam proses tersebut. Demikian juga Maribeth Erb dan Priyabudhi 19Erb, Maribeth and Priyambudhi Sulistiyanto (editor). 2009. Deepening Democracy in Indonesia? Direct Elections for Local Leaders (Pilkada). Singapore : ISEAS. Hal. 7 20 Ibid. hal. 29

13

Sulistiyanto yang melalui studi kasus tentang pemilukada langsung melihat masih

banyaknya hambatan bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia, yang umumnya

berasal dari dalam negeri, walaupun proses demokratisasi sudah menuju arah yang

lebih baik.

Meskipun Anders Uhlin menyebutkan adanya pengaruh luar dalam proses

demokratisasi di Indonesia, studi yang dilakukannya lebih menekankan pada adanya

penyerapan, dan penyesuaian ide-ide demokrasi yang datang dari luar oleh para aktor

pro-demokrasi di Indonesia sebelum reformasi dan lebih menitikberatkan pada aktor

non-negara. Berangkat dari beberapa studi di atas maka penulis tertarik untuk meneliti

bagaimana upaya Indonesia untuk mempertahankan praktek demokrasi yang tengah

dilakukannya di tengah banyaknya tantangan yang dihadapi. Pada penelitian ini

penulis akan menguraikan dan membahas bagaimana Indonesia sebagai negara

melalui BDF –forum yang diprakarsai dan dibentuknya- berusaha memperkuat

konstruksi demokrasi yang sedang dijalankannya melalui karya dengan judul Peran

Bali Democracy Forum (BDF) dalam Demokrasi Indonesia.’

1.4 Kerangka Berfikir

Dalam upaya menjawab rumusan masalah penulis menggunakan beberapa

teori yang dipergunakan dalam melakukan penelitian, sehingga penelitian menjadi

jelas, sistematis dan ilmiah. Menurut Masri Singarimbun, teori adalah serangkaian

asumsi, konsep, definisi, dan proporsi yang menerangkan suatu fenomena sosial secara

sistematis dengan cara merumuskan hubungan antara konsep.21 Sedangkan menurut

21Masri Singaribun dan Sofian Effendi. 1983. Metode Penelitian Survey, Yogyakarta : LP3S, hal. 32

14

Mochtar Mas’oed suatu konsep adalah abstraksi yang mewakili suatu objek, sifat

suatu objek atau suatu fenomena tertentu.22

Dalam penelitian ini untuk menjawab rumusan masalah penulis menggunakan

kerangka berpikir konstruktivis sebagaimana dikemukakan oleh Alexander Wendt dan

Christian Reus-Smit. Christian Reus-Smit dengan mengutip pernyataan Alexander

Wendt menyatakan bahwa ada tiga proposisi dasar untuk memahami konstruktivisme

dalam hubungan internasional. Masing-masing adalah:

a. Pertama, bahwa struktur normatif dan ideasional sama pentingnya dengan

struktur material dalam membentuk kebiasaan negara sebagai aktor dalam

hubungan internasional.

b. Kedua, untuk memahami kebiasaan negara dan aktor lain dalam hubungan

internasional diperlukan pula pemahaman atas identitas sosial yang

menentukan kepentingan dan tindakan yang dilakukannya. Karena identitas

sosial aktor bisa bermacam-macam, maka demikian pula kepentingan dan

tindakan yang dipilih untuk dilakukannya.

c. Ketiga, walaupun konstruktivisme sangat menekankan kekuatan struktur

normatif dan ideasional, namun keduanya hanya ada melalui praktek rutin

yang dilakukan oleh aktor yang membuat ide dan norma itu menjadi nyata

dalam dinamika kehidupan manusia. Konstruktivis sangat menekankan pada

alasan untuk bertindak dan memfokuskan kajian tidak hanya pada kesesuaian

antara tindakan dan norma yang mendasari, namun juga logika dalam

22Mochtar Mas’oed. 1999. Ilmu Hubungan Internasional : Disiplin dan Metodologi, Yogyakarta : LP3S, hal. 93-94.

15

berargumentasi dengan cara membentuk norma dan ide dalam kerangka kerja

tentang strategi, tujuan dan lembaga apa yang sah untuk digunakan. Alasan

bertindak itu mempunyai dimensi internal dan eksternal atau dimensi privat

dan dimensi publik. Struktur normatif dan ideasional merupakan bukti nyata

alasan suatu aktor untuk bertindak dalam dua dimensi ; melalui proses

sosialisasi mereka membentuk definisi diri tentang siapa mereka dan apa yang

mereka kehendaki ; dan melalui pembenaran publik mereka membentuk

kerangka berargumen 23.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa menurut kerangka berfikir

konstruktivis, setiap aktor hubungan internasional dalam melakukan tindakan apapun

terkait kepentingannya itu akan mencerminkan identitas sosialnya. Kepentingan dan

kebiasaan bertindak akan tercermin dalam praktek rutin yang mereka lakukan dalam

kegiatan sehari-hari.

Terkait dengan pengaruh internasional terhadap demokratisasi, Jon C.

Pevehouse menyatakan pada pokoknya ada tiga premis utama mengenai bagaimana

lingkungan internasional mempengaruhi demokratisasi di suatu negara: melalui diffusi

dan pengaruh praktek nyata; melalui komunitas epistemik dan mekanisme spill-over;

serta melalui penggunaan paksaan.24 Diffusi dan pengaruh praktek nyata terjadi

manakala demokratisasi di suatu negara akan “menular” ke negara tetangganya yang

dengan motif yang sama akan melakukan perubahan ke arah demokrasi.

23 Reus-Smit, Christian. (editor) 2004. The Politics of International Law. Cambridge : Cambridge University Press. p. 21-22 24 Pevehouse, Jon C. 2005.Democracy from Above Regional Organization and Democratization. Cambridge : Cambridge University Press. Hal. 9

16

Meningkatnya perdagangan global dan kemudahan komunikasi menyediakan

kemudahan bagi penyebaran ide dan gerakan demokratisasi di suatu negara yang dapat

menjadi pemicu bagi demokratisasi di negara lain. Pengaruh komunitas epistemik dan

mekanisme spill-over biasanya sering dikaitkan dengan aktivitas kelompok

kepentingan atau kelompok informal lain yang membawa dan menyebarkan nilai-nilai

demokrasi. Penggunaan paksaan oleh suatu negara terhadap negara lain terjadi seperti

pada kasus demokratisasi Jerman dan Jepang oleh Amerika Serikat setelah Perang

Dunia II yang mempersyaratkan demokratisasi bagi pemberian bantuan ekonomi

untuk rekonstruksi negara pasca perang yang menyebabkan kerusakan parah di dua

negara tersebut.25

Selanjutnya terkait demokratisasi di negara sedang berkembang Caroline Shaw

menyatakan bahwa konstruksi demokrasi pada kelompok negara-negara dunia ketiga

dewasa ini tidak akan memungkinkan lagi diwujudkan dalam ketentuan-ketentuan

ofensif. Pergeseran konstelasi politik internasional pasca Perang Dingin tidak akan

memungkinkan lagi bagi kelompok negara maju untuk mengintervensi proses

demokratisasi secara langsung. Hal yang paling ideal adalah bagaimana aktor-aktor

internasional membangun sebuah imperium demokrasi untuk mempengaruhi

perkembangan demokrasi itu sendiri dalam konteks regional dan internasional.26

Dengan kata lain kerjasama antar-negara demokratis diperlukan untuk mendukung

perkembangan demokrasi di negara-negara tersebut dengan berdasarkan nilai-nilai 25 Ibid.hal 10 26Shaw, Caroline and SE. Davis. 2009. The Democracy and The State Athority. London and New York : Vintage Book Publishing. Hal. 29

17

demokrasi sendiri yaitu persamaan derajat, sehingga tidak ada pemaksaan suatu negara

atau kelompok negara terhadap negara atau kelompok negara yang lain.

Caroline Shaw juga menyatakan bahwa pembentukan imperium demokrasi

memiliki ciri yang dapat mengesampingkan atau menghilangkan adanya pemaksaaan

dan kepentingan terselubung diantara pihak-pihak yang berada di dalam dan di luar

spektrum politik. Gambaran mengenai hal ini dapat lihat skema 1.1. sebagai berikut :

Skema 1.1. Spill Over Rezim Demokrasi Internasional

Sumber : Caroline Shaw and SE. Davis. 2009. The Democracy and The State Athority. London and New York : Vintage Book Publishing. Hal. 30 Melalui skema di atas Caroline Shaw menekankan bahwa peran rezim

demokrasi internasional memiliki arti penting dalam konstruksi demokrasi suatu

negara. Artinya pengaruh yang ada nantinya akan bersifat sebagai soft diplomasi yang

18

bersifat mempengaruhi karena bagaimanapun juga demokrasi merupakan sebuah

faham yang relatif dan kesemuanya mengacu pada aktor negara (pembuat kebijakan)

yang memiliki hak secara penuh atas perubahan demokrasi itu sendiri ke arah yang

lebih baik.

Caroline Shaw memproposisikan bahwa soft diplomasi memiliki keterkaitan

yang erat dengan spill over diplomasi. Artinya berkembangnya konstelasi politik

internasional ternyata hanya menyisakan anasir-anasir kekuatan penekan yang

semakin lama semakin lenyap. Dengan kata lain, rezim demokrasi internasional tidak

lagi dapat menjalankan tindakan-tindakan pemaksaan, namun hanya pengaruh-

pengaruh (influencer) sehingga negara yang menjadi obyek demokratisasi akan

dengan sendirinya menerima nilai-nilai demokrasi sebagai faham yang ideal dan

mengandung nilai kebenaran.27

Keberadaan negara adikuasa dengan demokrasi yang lebih dulu berkembang

dan berupaya mengembangkan nilai-nilai demokrasi internasional dihadapkan pada

konstruksi demokrasi dalam negeri negara yang hendak menerapkan demokrasi itu

sendiri. Forum internasional menjadi wadah bagi pembelajaran mengenai konstruksi

demokrasi itu sendiri. Dengan demikian, soft diplomasi mampu melingkupi transfer

nilai-nilai demokrasi itu sendiri, dimana pemimpin berhak menolak, menyortir atau

menerapkan secara langsung ketentuan-ketentuan yang didapat atau dipelajarinya dari

forum demokrasi itu sendiri.28

27 Caroline Shaw and Alfred Regall. 2004. Democracy and Soft Diplomacy. New York : Blackwell Reference Publishing, hal.38. 28 Ibid, hal.29.

19

Dengan demikian maka dapat ditarik benang merah bahwa keberadaan BDF

sebagai rezim demokrasi regional ternyata mampu memberikan pengaruh positif bagi

perkembangan konstruksi demokrasi Indonesia. Di bawah kepemimpinan Presiden

Susilo Bambang Yudhoyono Indonesia dapat mempertimbangkan, memiliki, sekaligus

mengaplikasikan nilai-nilai demokrasi universal secara parsial atapun secara

komperehensif sesuai dengan konteks lokal Indonesia. Kesemuanya, baik nilai

demokrasi universal maupun lokal, memberi pengaruh secara persuasif terhadap

praktek demokrasi di Indonesia tanpa adanya tekanan dan paksaan dari pihak manapun

yang tergabung dalam forum BDF.

1.5 Hipotesis

Berdasarkan pada kerangka pemikiran di atas maka penulis berargumen bahwa

Indonesia sejak tahun 2008 menyelenggarakan Bali Democracy Forum (BDF) karena :

1. Demokrasi Indonesia dianggap sudah berkembang di jalan yang benar (on the

right track) menuju konsolidasi sehingga perlu dilindungi dari pengaruh buruk

lingkungan eksternal agar tidak terjadi proses kemunduran (setback).

2. Demokrasi Indonesia mampu berkembang dengan memiliki corak yang khas,

berdasarkan pada nilai-nilai lokal dan begitu juga demokrasi di negara-negara

lain sehingga perlu sebuah forum kerjasama antar negara di Asia-Pasifik untuk

mempromosikan praktek demokrasi yang berdasar kearifan lokal (homegrown

democracy).

3. Transisi menuju demokrasi yang berhasil terkonsolidasi di Indonesia perlu

dipromosikan untuk memperkuat citra Indonesia sebagai negara demokratis.

20

Sejak penyelenggaraan BDF tahun 2008 hingga 2013 citra Indonesia sebagai

negara demokratis berkembang semakin baik, itu membuktikan bahwa BDF berperan

sebagai penguat demokrasi Indonesia terutama dalam membentuk citra sebagai negara

demokratis yang bertindak demokratis.

1.6 Metodologi Penelitian

1.6.1 Metode Penelitian

Penelitian dalam tesis ini dilakukan dengan metoda kualitatif. Menurut Casel

and Symon, metode kualitatif merupakan metode penelitian ilmu sosial yang berusaha

melakukan deskripsi dan interpretasi secara akurat mengenai makna dari gejala yang

terjadi dalam konteks sosial. Metode ini menekankan pada pengumpulan dan analisis

teks tertulis atau terucapkan. Metode kualitatif juga berusaha memberikan gambaran

menyeluruh tentang situasi yang sedang dipelajari oleh peneliti.29

1.6..2 Strategi Penelitian

Salah satu strategi penelitian yang dikembangkan dalam metode kualitatif

adalah studi kasus. Studi kasus, menurut Noeng Muhadjir adalah usaha menemukan

kebenaran ilmiah secara mendalam dan dalam jangka waktu lama. Studi ini berusaha

menemukan kecenderungan, pola arah dan interaksi banyak faktor yang dapat memacu

atau menghambat perubahan. Studi kasus sangat bermanfaat untuk memahami suatu

kasus secara menyeluruh dan mengetahui prospeknya di masa depan.30

Berdasarkan pertimbangan di atas, metode untuk penelitian ini dapat disebut

sebagai metode studi kasus interpretatif. Dalam pengertian, bahwa metode ini akan 29Catherine Cassel and Gillian Symon (ed) 1994. Qualitative Methods in Organizational Research, London : Sage Publications, hal.3-4. 30Robert K. Yin. 1996. Studi Kasus : Desain dan Metode. Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada. hal.4.

21

menekankan pada upaya interpretasi dan bukan kuantifikasi dari data yang

dikumpulkan. Penelitian ini lebih berorientasi pada studi kepustakaan dengan

menelaah dokumen tertulis, baik berupa artikel, buku, berita surat kabar, dan juga

dokumen resmi, serta publikasi data di internet..

1.6.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi dalam studi

kepustakaan yaitu dengan mengumpulkan dan menganalisis dokumen. Dokumen yang

digunakan berupa teks-teks tertulis dalam bentuk artikel, buku, berita surat kabar, dan

juga dokumen resmi, serta publikasi data di internet.

1.7 Jangkauan Penelitian

Karya penelitian ini dibatasi pada periode tahun 2008-2013. Dipilih tahun 2008

karena pada tahun inilah Bali Democracy Forum (BDF) untuk pertama kali

diselenggarakan, sedangkan tahun 2013 dipilih karena merupakan tahun

diselenggarakannya BDF terakhir (BDF VI, sebelum penyelenggaraan tahun

berikutnya). Jangkauan di luar interval tahun tersebut dibahas selama masih ada

keterkaitan dengan tema pokok dalam penelitian ini.

1.8 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian dalam karya tesis ini memiliki tujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui latar belakang mengapa Indonesia menyelenggarakan Bali

Democracy Forum (BDF) dan apa peran BDF bagi demokrasi Indonesia.

22

2. Sebagai salah satu syarat dalam melengkapi, sekaligus untuk memperoleh

gelar master pada program pascasarjana jurusan Ilmu Hubungan Internasional,

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

1.9 Sistematika Pembahasan

Karya penelitian ini terbagi atas lima bab yang masing-masing berisi sebagai

berikut :

BAB I yang merupakan pendahuluan berisi tentang latar belakang masalah,

rumusan masalah, kerangka berfikir, tinjauan pustaka, hipotesis, metodologi

penelitian, jangkauan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika

pembahasan.

BAB II membahas tentang dinamika demokrasi Indonesia dalam konteks

internasional yang berubah. Ini diperlukan untuk memberikan gambaran umum

mengenai pasang surut demokrasi Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan

internasional yang melingkupinya. Pengaruh internasional yang buruk bisa membuat

demokratisasi Indonesia menjadi mundur kembali. Oleh karena itu belajar dari

pengalaman sejarah dalam mempraktekkan demokrasi sangat penting untuk menjaga

demokrasi Indonesia tetap berkembang di jalur yang tepat.

BAB III membahas tentang Bali Democracy Forum (BDF) sebagai forum

demokrasi regional yang mempromosikan demokrasi berbasis kearifan lokal

(homegrown democracy) sehingga mampu berkembang menjadi forum yang semakin

penting dalam dinamika demokrasi di kawasan Asia-Pasifik.

23

BAB IV membahas tentang BDF sebagai sarana penguat demokrasi Indonesia

melalui perannya sebagai media soft diplomasi, sarana bertukar pengalaman dan

belajar bersama tentang homegrown democracy, serta media promosi untuk

pemulihan citra Indonesia sebagai negara demokratis. BDF ternyata memberikan

dampak positif sebagai penguat bagi demokrasi di Indonesia karena karakteristik dari

BDF yang mengedepankan soft approach, terbukti dari adanya respon positif dari

masyarakat internasional atas perkembangan demokrasi Indonesia.

BAB V merupakan bab yang berisi kesimpulan dari uraian pembahasan bab-

bab sebelumnya.