BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...

33
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyelundupan dan perdagangan manusia merupakan salah satu bagian dari kejahatan transnasional yang sangat sulit untuk diprediksi dan tidak cukup sanksi pada pelakunya dibandingkan dengan kejahatan-kejahatan transnasional lainnya seperti halnya penyelundupan obat-obatan terlarang. Pada kenyataannya hal ini diperburuk dengan lemahnya kesadaran negara anggota ASEAN dalam meminimalisir tindak kejahatan semacam ini. Fakta menunjukkan bahwasanya kejahatan ini melibatkan pula perdagangan buruh illegal dari Indonesia dan Philipina ke Malaysia dan dari Asia Selatan 1 . Secara umum kita ketahui perempuan dan anak-anak paling sering menjadi korban dalam kasus ini. Fenomena perdagangan manusia khususnya perempuan dan anak pada umumnya adalah untuk tujuan eksploitasi seksual, mereka banyak dijadikan sebagai pekerja seks komersial (eksploitasi tenaga kerja dan diperlakukan secara seksual) untuk kepentingan lainnya dengan mengabaikan kepentingan korban dan meperlakukan mereka bukan lagi sebagai manusia seutuhnya tetapi cenderung sebagai komoditas. 2 Thailand dan Kamboja merupakan tujuan utama, tidak hanya di Asia Tenggara namun juga salah satu tujuan bagi para pedagang wanita dan anak di seluruh belahan dunia lainnya. 1 Bambang Cipto, 2010, Hubungan Internasional di Asia Tenggara Teropong Terhadap Dinamika, Realitas, dan Masa Depan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2 Budi Winarno, 2011, Isu-Isu Global Kontemporer, Jakarta : PT. Buku Seru.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Penyelundupan dan perdagangan manusia merupakan salah satu bagian dari

kejahatan transnasional yang sangat sulit untuk diprediksi dan tidak cukup sanksi

pada pelakunya dibandingkan dengan kejahatan-kejahatan transnasional lainnya

seperti halnya penyelundupan obat-obatan terlarang. Pada kenyataannya hal ini

diperburuk dengan lemahnya kesadaran negara anggota ASEAN dalam

meminimalisir tindak kejahatan semacam ini. Fakta menunjukkan bahwasanya

kejahatan ini melibatkan pula perdagangan buruh illegal dari Indonesia dan Philipina

ke Malaysia dan dari Asia Selatan1.

Secara umum kita ketahui perempuan dan anak-anak paling sering menjadi

korban dalam kasus ini. Fenomena perdagangan manusia khususnya perempuan dan

anak pada umumnya adalah untuk tujuan eksploitasi seksual, mereka banyak

dijadikan sebagai pekerja seks komersial (eksploitasi tenaga kerja dan diperlakukan

secara seksual) untuk kepentingan lainnya dengan mengabaikan kepentingan korban

dan meperlakukan mereka bukan lagi sebagai manusia seutuhnya tetapi cenderung

sebagai komoditas.2 Thailand dan Kamboja merupakan tujuan utama, tidak hanya di

Asia Tenggara namun juga salah satu tujuan bagi para pedagang wanita dan anak di

seluruh belahan dunia lainnya.

1 Bambang Cipto, 2010, Hubungan Internasional di Asia Tenggara – Teropong Terhadap Dinamika,

Realitas, dan Masa Depan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2 Budi Winarno, 2011, Isu-Isu Global Kontemporer, Jakarta : PT. Buku Seru.

2

Selain dipekerjakan dalam prostitusi, korban perdagangan manusia yang

terjadi di Thailand juga dipekerjakan sebagai buruh dengan upah rendah. Pada

umumnya yang menjadi korban adalah penduduk dari negara Thailand itu sendiri.

Pada tahun 2010, 23% penduduk Kamboja yang menjadi korban perdagangan

manusia di deportasi oleh Pemerintah Thailand di perbatasan Poipet. Berdasarkan

hasil dari salah satu studi dari UNIAP (United Nations Inter-Agency Project on

Human Trafficking) mencatat bahwa setiap tahunnya Pemerintah Thailand melakukan

deportasi terhadap lebih dari 23.000 penduduk Kamboja yang menjadi korban

perdagangan manusia. Disaat yang sama 57% pekerja migran Myanmar mengalami

kekerasan di sektor perikanan.3

Indonesia sendiri menunjukkan bahwa data dari lembaga International

Labour Organization (ILO) terdapat 218 juta anak terjerat dalam eksploitasi tenaga

anak pada tahun 2004. Data tersebut diklasifikasikan dalam persentase yakni usia 5-

11 tahun, anak laki-laki 49% dan anak perempuan 51% dan kelompok usia 12-14

tahun, anak laki-laki 55% dan anak perempuan 45%.4

Walaupun semua negara anggota ASEAN telah meratifikasi konvensi ataupun

protokol PBB terkait pencegahan dan perlawanan kejahatan transnasional ini, namun

pada kenyataannya proses realisasi dari hukum dan aturan itu tidak begitu mampu di

3Anti Labor Trafficking,2012.Thailand Tier 2 Watch List [Online] dalam http://anti-labor-

trafficking.org/component/content/article/17-News/143-THAILAND-%28Tier-2-Watch-List%29.html [Diakses pada 11 Juni 2014]. 4International Labour Organization,Fakta tentang pekerja anak perempuan,pada

http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-

jakarta/documents/publication/wcms_160832.pdf diakses tanggal 9 Oktober 2014 Pukul 15.20. WIB

3

adaptasi dan di maksimalkan daya gunanya sebagai sebuah bentuk aturan atau norma

di masing-masing negara. Penulis merasa setiap negara tidak hanya Indonesia sama-

sama memiliki tujuan dan kepentingan dalam mensejahterakan masyarakatnya untuk

tidak secara serta merta mereka melegalkan kejahatan yang terjadi di negara mereka

masing-masing, apalagi berkenaan dengan kejahatan transnasional yang secara

gamblang kita ketahui dampaknya sangat merugikan dan sangat signifikan terhadap

aspek yang ada dalam suatu negara itu.

Melihat dari banyak sudut pandang yang berbeda membuat permasalahan ini

kemudian menjadi sangat penting bagi penulis untuk mengkaji perwujudan atas

tujuan negara bangsa Indonesia dalam mencapai penyelesaian atau keselarasan dari

permasalahan yang kian lama kian meresahkan masyarakat internasional itu sendiri.

Pasalnya adalah walaupun tiap bangsa dan negara di setiap belahan dunia berusaha

memperkuat sistem keamanan dan pertahanan negaranya untuk meminimalisir

terjadinya tindak kejahatan transnasional terorganisir ini namun semakin kuat sebuah

tameng negara itu maka tidak menutut kemungkinan semakin kuat dan berkembang

pula kejahatan terorganisir ini, karena banyaknya problematika di era globalisasi ini

membuat negara terkadang menjadi tidak mampu mengimbangi antara permasalahan

dan solusi dalam setiap permasalahan itu bagi kesejahteraan individu didalamnya,

dalam arti lain negara akan bersikap tidak fokus kepada satu problem yang lama

demi menindak lanjuti problem baru yang lebih krusial mengingat komplektisitas

problematika era globalisasi saat ini sangat meningkat, itu mengapa penulis juga

ingin mencoba melihat bahwasanya negara tidak akan mampu mengontrol individu,

sistem dan bahkan keamaan negara bangsanya sendiri tanpa peran serta negara lain

4

atau bahkan organisasi terkait seperti PBB yang bergerak dalam setiap bidang

promblematika yang krusial di setiap negara annggotanya demi mewujudkan

kepentingan nasionalnya dalam mencapai keamanan dan kesejahteraan

masyarakatnya di semua bidang atau aspek yang ada.

Contoh kasus nyata terkait human trafficking itu sendiri yakni menurut

laporan ILO menyebutkan bahwa seorang anak perempuan yang masih berumur

belasan tahun haus mengalami nasib buruk akibat tidak adanya perlindungan bagi

anak tersebut. Sebut saja namanya Wati yang dijelaskan oleh ILO sebagai nama

samaran, sejak berusia 10 tahun Wati telah putus sekolah dan menjadi pedagang

asongan, namun selang beberapa waktu, Wati bertemu dengan oknum yang mengaku

sebagai pencari agen guide di Bali, namun pada kenyataannya selain memandu wisata

para turis dan pelancong mancanegara tersebut Wati juga menjadi budak, pasalnya

adalah Wati harus menuruti nafsu para pelaku dan oknum-oknum nakal terkait

kejahatan transnasional tersebut.5 Kasus Wati disini mampu menunjukkan realita

yang ada di sekitar kita terkait kasus human trafficking yang melibatkan wanita dan

anak-anak untuk diperlakukan tidak layak sebagai pelaku seks komersial.

Data UNICEF menunjukkan data dan fakta bahwasanya masih ada perempuan

dibawah umur terbukti melakukan perbuatan illegal yang ditaksir mencapai 30%

akhirnya menjadi pekerja seks komersial yang seharusnya mereka yang berumur 18

tahun tidak melakukan hal yang demikian, jangankan umur 18 tahun bahkan kasus

yang ada di lapangan juga menunjukkan adanya anak berumur berkisar 10 tahunan-

pun terjerat kasus yang demikian. Hal ini kemudian dilaporkan bahwasanya sekitar

5Ibid.

5

40.000-70.000 anak benar-benar dijerumuskan kedalam kehidupan kelam yang kita

kenal sebagai eksploitasi seks. Dibuktikan pula kurang lebih 100.000 anak

dikorbankan sebagai komoditas setiap tahunnya. Semakin besar dan berkembangnya

fenomena kejahatan yang demikian menjadikan hal ini semakin marak terjadi hingga

lintas negara seperti fakta yang ada dikatakan bahwasanya tujuan dari korban ini

paling utama yakni di perdagangkan ke Malaysia, Singapura, Brunei, Taiwan, Jepang

dan Arab Saudi. 6

Telah banyak protokol-protokol PBB yang telah di adopsi oleh negara-negara

dibelahan dunia ini, khususnya beberapa negara Asia Tenggara yang merupakan

kelompok negara dunia ketiga yang mana setiap negara anggotanya memiliki banyak

kelemahan dalam proses kekebalan dari kejahatan baik dari dalam dan bahkan dari

luar (kejahatan transnasional). Indonesia merupakan negara anggota ASEAN dan

anggota PBB yang secara berkesinambungan berupaya untuk meminimalisir atau

bahkan mencegah segala kejahatan transnasional tersebut terjadi di dalam negeri

Indonesia itu sendiri atau secara langsnng mampu menertibkan setiap anggota lain di

Asia Tenggara untuk mulai bangkit dan memerangi kejahatan trannsnasional dan

nasional itu sendiri. Maka dengan inilah penulis merasa tertantang untuk mencoba

merealisasikan asumsinya mengenai hukum dan UU yang telah berhasil di ratifikasi

beberapa negara anggota ASEAN dan Indonesia pada khususnya yang terlebih

dahulu meratifikasi Protocol United Nation Convention Againts Transnational

6Data unicef : di akses pada tanggal 20 oktober 2014, pukul 9.15 di :

http://www.unicef.org/indonesia/id/Factsheet_CSEC_trafficking_Indonesia_Bahasa_Indonesia.pdf

6

Organized Crime7 yang telah direalisasikan dalam bentuk UU No.5 Tahun 2009

yang sangat terikat sekali dengan tujuan utama kepentingan Indonesia dalam

mencapai kemananan nasional dalam mensejahterakan masyarakatnya yang hal ini

kemudian menjadi penting untuk diteliti menjadi sebuah skripsi yang berjudul

“Upaya Indonesia dalam Mendorong Negara-Negara Asia Tenggara Agar

Mengoptimalkan Protocol UNTOC Terkait Human Trafficking dalam Prostitusi

dan Perdagangan Anak”

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana upaya Indonesia dalam mendorong Negara-Negara Asia Tenggara

agar mengoptimalkan protokol UNTOC ?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Mengamati apa saja upaya-upaya yang dilakukan Indonesia terkait usahanya

dalam meminimalisir ancaman fenomena human trafficking di Indonesia dan Asia

Tenggara.

1.3.2 Manfaat Penelitian

a. Manfaat akademis

Adapun manfaat penelitian yang diharapkan penulis adalah mampu

menganalisa fenomena maraknya Human Trafficking serta cara dan upaya

Indonesia dalam meminimalisir tindak kejahatan transnasional dalam

7Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 2009, di akses 24 april 2014. Pukul 05:00 WIB

dihttp://www.bpkp.go.id/uu/file/2/26.bpkp.

7

prostitusi dan perdagangan anak yang terorganisisr yang terjadi di Asia

Tenggara pada umumnya dan Indonesia pada khususnya.

b. Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah menambah pengetahuan

penulis dan khalayak banyak terhadap pola keterkaitan hukum dan keamanan

di negara-negara anggota Asia Tenggara.

1.4 Penelitian Terdahulu

Anissa Jihan Andari dalam Jurnalnya yang berjudul Analisa Viktimisasi

Struktural Terhadap Tiga Korban Perdagangan Perempuan dan Anak8 tersebut

penulisnya menganalisis dari kacamata kriminal yang dikaitkan dengan bagaimana

sudut pandang kriminolog dalam memandang setiap kasus kejahatan yang marak

terjadi lebih-lebih di era globalisasi yang semakin lama semakin tiada batasan antara

negara, tiada batasan waktu dan tiada batasan individu dan individu, penulisnya pun

berusaha berargumen dalam konteks secara global dimana dalam prespektif

kriminologis setidaknya ada 4 isu yang dibahas yakni (1) kejahatan, (2) pelaku

kejahatan, (3) korban kejahatan dan (4) reaksi sosial masyarakat. Hal ini memiliki

sudut pandang kajian yang sama pembahasan skripsi ini. Namun ada perbedaan

mendasar yakni secara gamblang penulis jurnal ini menjelaskan permasalahan ini

dengan menggunakan eksplanatif karena penulisnya menjelaskan secara jelas dan

runtut asal muasal permasalahan hingga proses penyelesaian konflik atau masalah

yang tertuai di dalam jurnal ini. Dalam jurnal ini juga menggunakan penelitian secara

8Annisa Jihan Andari, Analisis Viktimisasi Struktural Terhadap Tiga Korban Perdagangan Perempuan

Dan Anak Perempuan, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 7 No.Iii Desember 2011 : 307 – 319.

8

kualitatif dimana setiap data yang diperoleh sebagian besar didapatkan dari hasil

tulisan atau kutipan penelitian orang terdahulu mengenai pembahasan ini, dan di

orisinilkan ke dalam jurnal dalam kajian kasus yang berbeda dan menarik. Topik

ataupun kasus yang dibahas dalam jurnal ini mengenai tindak kejahatan transnasioal

yang semakin marak terjadi dalam skala global, yang secara jelas sangat berbeda

dengan sudut dan batasan masalah dalam penelitian skripsi ini.

Dalam jurnal ini penulisnya juga memandang kasus ini dari kacamata

kriminologi realis, yang melihat adanya dua isu besar yang diabaikan yaitu isu

mengenai kejahatan kekerasan dan isu perempuan sebagai korban kejahatan. Ini

dibuktikan dari adanya laporan dari United Office on Drugs and Crime (UNODC)

yang mengungkapkan bahwa pada tahun 2006 dari 136 negara yang melaporkan

tindak pidana perdagangan perempuan dua pertiga dari korban tersebut adalah

perempuan dan 79 persen merupakan korban untuk tujuan eksploitasi seksual. Hal ini

juga didukung data korban dari International Organization for Migration (IOM) yang

telah diolah oleh United States Government Accountability Office (GAO) yang

menunjukkan bahwa korban perdagangan manusia untuk tujuan eksploitasi seksual

sebesar 81 persen, dan untuk tujuan ekonomi atau perburuhan sebesar 14 persen dan

sebesar 5 persen untuk tujuan ekspolitasi lainnya. Dari hasil pengumpulan data di atas

asumsi penulis mengarah pada hasil persentasi itu mampu membuktikan arah dari

tindak kejahatan itu berujung pada pengeksploitasian massa yang dijadikan korban

tindakan bejat tersebut.

Dalam asumsi dasarnya pun dijelaskan bahwasanya walaupun secara implisit

faktor kemiskinan dan ketidaksetaraan gender menjadi poin utama dalam kejahatan

9

ini, namun ditariklah keselarasan dari konsep feminism yang pada akhirnya

membuktikan bahwasanya penyebab anak-anak dan perempuan rentan menjadi

korban perdagangan manusia adalah pertama, menguatnya ideologi patriarki dalam

masyarakat dan Negara. Ideologi ini melihat posisi anak dan perempuan sebagai

objek, dan bukan subjek patriarki, sehingga mereka mendapatkan posisi kedua atau

subordinat di mana anak dan perempuan tidak memiliki posisi tawar terhadap

keinginan orang tuanya. Dua, tingkat pendidikan yang rendah bagi perempuan, lalu

kekerasan terhadap perempuan yang merupakan alat bagi laki-laki untuk

menunjukkan kekuasaannya, dan juga pernikahan dini (early marriage).

Kemudian pada pemaparan Thamrin A. Tomagola dalam jurnal ini berasumsi

bahwasanya kekerasan terhadap perempuan terjadi karena posisi vertikal laki-laki dan

perempuan di dalam masyarakat. Persamaan yang paling mencolok antara masyarakat

yang mengenal, menerima, mentolerir, bahkan merestui kekerasan terhadap

perempuan adalah meluasnya pola-pola hubungan vertikal-dominatif dan pola

hubungan diagonal-dominatif dalam bidang ekonomi, sosial, dan politik antara laki-

laki dan perempuan. Maksudnya adalah laki-laki menempati posisi superordinat

dimana laki-lakilah yang mendominasi perempuan dalam setiap aspek, baik itu aspek

ekonomi, aspek sosial, dan bahkan aspek politik.

Dalam buku karangan Bambang Cipto ini terdapat sub-bab yang bertema

Perdagangan Obat-Obatan9, dimana didalamnya dipaparkan tentang bagaimana

ASEAN menjadi pusat perdagangan obat-obatan terlarang di dunia, dalam buku ini

penulisnya melihat permasalahan ini kemudian dijabarkan dengan sangat jelas yang

9 Bambang Cipto, Op.Cit. hal.228.

10

bermula dari sejarahnya terlebih dahulu, maka dengan demikian dapat dikatakan

penulisnya memakai metode eksplanatif untuk merangkai tulisannya, dan setidaknya

dalam problematika ini ASEAN secara langsung mengajak organisasi bangsa yakni

PBB dan bahkan China untuk secara formal membahas permasalahan ini dan

berusaha mencari titik temu permasalahan ini, dimana dalam kacamata hubungan

internasional hal yang demikian disebut dengan konsep liberal, dimana negara

bangsa berusaha memecahkan masalahnya baik dalam sekala nasional maupun skala

regional atau bahkan internasional dengan menegosisasikannya dengan negara lain

sebagai bentuk saling peduli antar bangsa dan atau dengan mengajukan permohonan

terhadap PBB untuk disegerakannya bertindak demi keamanan dan ketentraman

negara yang berkonflik tersebut. Dalam pembahasan buku ini sangat jalas ada

perbedaan sudut pandang penelitiannya dengan proposal skripsi ini, karena dalam

buku ini penulisnya lebih kearah penjabaran secara eksplanatif sedangkan dalam

kajian skripsi ini penulis lebih pada deskriptif analitik, walaupun demikian memiliki

sedikitnya kemiripan terhadap konsepsi secara liberalis dan juga pembahasan dalam

karangan buku inimengangkat fenomena kejahatan transnasional namun dari segi

perdagangan obat-obatan terlarang.

Di dalam buku tersebut dikatakan bahwasanya The Golden Triangle atau

segitiga emas adalah sebuah kawasan yang terletak di Asia Tenggara. Segitiga emas

ini terdiri dari daerah Thailand utara, Laos bagian barat, dan Myanmar bagian timur.

Di kawasan inilah narkotika, heroin, dan amphetamine diproduksi dan disebarkan

keseluruh penjuru dunia. Bisnis dengan keuntungan berlipat-lipat ini membuat

pelaku-pelaku utamanya, khususnya di kawasan Myanmar sangat sulit ditaklukkan.

11

Junta Myanmar bahkan cederung mengambil garis lunak dan memberi otonomi bagi

etnis Wa yang dikenal sebagai produsen utama amphetamine. Dari kawasan segitiga

emas ini obat-obatan terlarang kemudian disalurkan ke Thailand. Jalur lain melalui

Yunan, Guang Dong, Hongkong dan Makau. Jalur transit lain adalah Vietnam,

Kamboja, dan Philipina dan dari kawasan ini obat-obatan terlarang tersebut akan

diedarkan keseluruh dunia termasuk ke Asia, yang mulai meningkat daya serapnya

terhadap amphetamin.

Dalam kajian buku ini dijelaskan pula bahwasanya dalam rangka menertibkan

problematika obat-obatan terlarang ini negara-negara ASEAN tidak hanya melibatkan

negara-negara anggotanya, namun persoalan ini mendorong ASEAN untuk bertindak

hingga mengajak PBB, dalam hal ini United Nation Office of Drug Control and

Crime Prevention (UNDP). Kemudian pertemuan ini menghasilkan Bangkok

Politikal Declaration in Persuit of a Drug-Free ASEAN 2015. Bukan hanya itu

namuan ASEAN juga telah mengembangkan kerjasamanya untuk penyelesaian kasus

ini dengan melayangkan kerjasama khusus dengan China guna menanggulangi

ancaman kejahatan transnasional ini melalui ACCORD (ASEAN and China

Cooperative Operations in Response to Dangerous Drugs). Dengan kerjasama ini

pula dapat meningkatkan wilayah kegiatan dari ASEAN ke kawasan Asia Timur,

khususnya lewat pelewatan Cina di dalamnya. Rencana aksi yang yang dicakup oleh

kerjasama regional ini adalah sebagai berikut : (1) pro-aktif meningkatkan kesadaran

publik tentang bahaya obat-obatan terlarang, (2) memperkuat kepastian hukum

dengan memperluas jaringan pengawasan dan meningkatkan kerjasama penegakan

hukum, (3) membangun konsensus dan berbagi pengalaman praktik baik

12

pengurangan permintaan atas obat-obatan terlarang, (4) menghancurkan suplai obat-

obatan terlarang dengan mendorong program pembangunan alternatif dan partisipasi

masarakat dalam pemusnahan tanaman obat terlarang.

Irdayanti dalam jurnalnya yang berjudul Penguatan Hubungan Kerjasama

Indonesia-Malaysia Dalam Menangani Kejahatan Transnasional10

, dalam jurnal

ini di jelaskan mengenai bagaimana kondisi saat sekarang ini yang semakin marak

akan kasus-kasus kriminalitas baik lingkup nasional maupun internasional, baik yang

awalnya bipolar menjadi multipolar dimana semua tatanan secara politik, sosial, dan

budaya mampu dilampaui hanya dengan perkembangan zaman dalam lingkup

teknologi modern. Banyaknya dan maraknya saluran, chanel dan situs bahkan sarana

dan prasarana yang difasilitasi oleh globalisasi ini menjadikan angka kriminalitas

semakin bertambah setiap tahunnya, ini terlihat dengan bagaimana sebuah individu

ataupun kelompok dengan mudah menjadikan internet dan saluran lainnya sebagai

sebuah sarana pencetus kriminalitas baik itu nasional ataupun internasional yang

sering kita sebut kejahatan transnasional. Semakin maraknya hal yang demikian

menjadikan setiap negara yang memiliki kedekatan geografis menjadi sangat intens

dan saling menjaga dalam ketergantungan kebutuhan akan sekuritisasi negaranya baik

dengan cara dibentuknya kerjasama atau bahkan opini atau kesepakatan antar state

actor.

10

Irdayanti, Kerjasama Indonesia-Malaysia Dalam Menangani Kejahatan Transnasional (Irdayanti) 915 Penguatan Hubungan Kerjasama Indonesia-Malaysia Dalam Menangani Kejahatan Transnasional, Jurnal Transnasional, Vol. 5, No. 1, Juli 2013.

13

Kejahatan yang melintasi batas negara ternyata memberikan ancaman bagi

stabilitas suatu negara, kawasan bahkan sistem internasional. Salah satu munculnya

kejahatan transnasional adalah kedekatan geografis sebuah wilayah negara. Hal inilah

yang sedang dialami Indonesia dan Malaysia dimana kejahatan transnasional telah

mengancam pembangunan kehidupan sosial dua negara tersebut. Dengan maraknya

serangkaian kejahatan transnasional yang terjadi melewati batas wilayah Indonesia

dan Malaysia seperti perdagangan manusia, narkotika, terorisme yang terjadi tidak

serta merta sebuah negara mampu menanganinya sendiri karena kejahatan seperti ini

melibatkan lebih dari satu negara yang memiliki regulasi dan aturan yang berbeda-

beda dalam menangani kasus ini dalam hukum nasional masing-masing negara

sehingga butuh kerjasama yang efektif guna menanggulangi kejahatan transnasional,

seperti kerjasama bilateral yaitu scope yang paling kecil terjadinya kejahatan

transnasional.

Pembahasan dalam jurnal ini lebih menitik beratkan pada bagaimana

kemudian Indonesia dan Malaysia mampu menginkat diri mereka dalam hubungan

bilateral dalam meminimalisisr tingkat kejahatan transnasional yang terjadi antar

negara tersebut. Kemudian dijelaskan bagaimana setelah berkembangnya teknologi

dewasa ini mampu memudahkan para pelaku dalam melaksanakan aksinya, dalam

kajian disini diperjelas bagaimana tindak kejahatan yang terjadi berkenaan dengan

kejahatan transnasional adalah tidak hanya pada human trafficking saja, namun

banyak sekali indikasi baru dalam perkembangan istilah kejahatan transnasional,

dimana pola pikir atau mindset seseorang telah bermetamorfosa untuk menolak dan

tidak patuh akan adanya hukum. Malaysia dan Indonesia adalah dua kubuh yang

14

mana Indonesia sering sekali menjadi korban dalam kasus kejahatan transnasional itu

sendiri.

Dinamika interaksi Indonesia-Malaysia sesungguhnya tidak terlepas dari

ketergantungan mereka satu sama lainnya. Keuntungan bekerjasama lebih besar

pengaruhnya dibanding konflik yang terjadi akibat kedekatan geografis. Namun tidak

demikian semakin maraknya hal yang demikian terjadi kemungkinan akan

menyebabkan kedua negara akhirnya berontak dan mampu menimbulkan ketegangan

jika keduanya tidak mampu menjaga negaranya dengan sifat yang saling optimis satu

sama lain demi terciptanya visi dan misi kerjasama antar dua negara tersebut.

Maka dengan demikian dapat terlihat perbedaan antara penelitian yang

dilakukan oleh Irdayanti ini dengan penelitian penulis dalam skripsi ini, yakni

berbeda dari sisi pemaparan fenomenanya yang hanya terbatas pada upaya Indonesia

dan Malaysia dalam menjalani kerjasama untuk memenuhi keamanannya masing-

masing. Namun terdapat persamaan pada kajiannya yakni sama-sama mengkaji

tentang kejahatan transnasional atau perdagangan manusia secara lintas batas.

Robinson dalam tesisnya yang berjudul Kejahatan Perdagangan Anak

Sebagai Predicate Crime Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian

Uang11

. Tesis ini menjelaskan beberapa bahasan, namun secara jelas penulis tesis

bertujuan mengangkat bagaimana kemudian dengan adanya tindak pidana pada salah

satu elemen, baik itu secara sengaja atau tidak akan mampu berimbas pada

11

Robinson Perangin-Angin (077005021), 2009, Kejahatan Perdagangan Anak Sebagai Predicate Crime Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, Tesis Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.

15

problematika yang akhirnya akan menjadi sangat rumit. Dalam Tesis ini dijelaskan

bahwasanya Penelitian tentang kajian hukum perdagangan orang akan lebih sempurna

apabila dianalisis dengan menggunakan teori yang mengatakan bahwa sistem hukum

terdiri dari materi hukum (substance of law), struktur hukum (structure of law) dan

budaya hukum (legal of culture). Materi hukum (substance of law) adalah peraturan-

peraturan yang dipakai oleh para pelaku hukum pada waktu melakukan perbuatan-

perbuatan serta hubungan-hubungan hukum. Struktur hukum (structure of law)

adalah pola yang memperlihatkan tentang bagaimana hukum itu dijalankan menurut

ketentuan formalnya yakni memperlihatkan bagaimana pengadilan, pembuat hukum

dan lain-lain badan serta proses hukum itu berjalan dan dijalankan. Sangat terlihat

bahwasanya kemudian secara normatif hukum positif di Indonesia akan sangat

berperan penting dalam prosesnya menuju kemaksimalan usaha dalam meminimalisir

tindak pidana perdagangan anak yang akhirnya merujuk pada keamanan nasional,

maka disusunlah UU dalam pelaksanaannya meminimalisir hal tersebut dengan

berbagai variasi dan rujukan, baik yang terbentuk karena proses ratifikasi hukum

yang kemudian menjadi saran untuk membentuk dasar hukumnya. Disamping

undang-undang tersebut terdapat Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang

Ratifikasi Konvensi Hak Anak Tahun 1986.

Salah satu bentuk kontrol pada anak yang cenderung dijadikan sebagai sarana

untuk mencapai tujuan orang-orang yang tidak bertanggung jawab adalah pekerja

anak, dimana anak-anak yang seharusnya mendapatkan masa mudanya harus rela di

sabotase hidupnya demi keinginan nafsu orang-orang tersebut. Dan Indonesia telah

meratifikasi Konvensi ILO No. 138 dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 1999

16

yang menetapkan tentang batas usia minimum untuk diperbolehkan bekerja, dalam

undang-undang tersebut dilampirkan Deklarasi Pemerintah Indonesia bahwa batas

usia minimum untuk bekerja di Indonesia adalah 15 tahun. Dalam konteks ini dapat

terlihat kemiripan pembahasan ataupun kajiannya yakni tesis tersebut mengkaji

mengenai tindak kejahatan pelanggaran HAM dan beberapa kilasan terhadap

ratifikasi beberapa protokol, namun disamping itu perbedaannya terlihat ketika dalam

pemaparannya penulis mengkaji dari pendekatan kajian hukum positif Indonesia

secara kontekstual.

17

1.4.1 Tabel Penelitian Terdahulu

NO JUDUL DAN NAMA

PENELITI

JENIS

PENELITIAN DAN

ALAT ANALISA

HASIL

1 E-Jurnal : Analisa

Viktimisasi Struktural

Terhadap Tiga Korban

Perdagangan

Perempuan dan Anak

Oleh: Annisa Jihan

Andari

Pendekatan:

kriminologis

- Terlihat bahwasanya

semakin maraknya

kegiatan prostitusi pada

wanita dan bahkan anak.

- Globalisasi mulai

merabah kerana rentan

kriminalitas yang dilihat

dari berbagai bukti nyata

dalam persentasi tahun

ke tahun.

- Munculnya

gerakan/organisasi

transnasional yang

secara terang-terangan

dilakukan sebagai

kebiasaan.

- PBB mengeluarkan

aturan dan batasan

hukum dalam menindak

lanjuti dan

meminimalisir tindak

pidana ini.

- Perbedaan : dengan

penelitian ini yakni di

dalam kajiannya lebih

mengglobal, beda

halnya dalam penelitian

ini hanya berkisar

Indonesia dan kawasan

Asia Tenggara.

- Persamaan : Sudut dan

fokus serta topiknya

sama-sama mengkaji

human trafficking

terhadap perempuan dan

anak.

18

2 Buku : Hubungan

Internasional di Asia

Tenggara” Perdagangan

Obat-Obatan”

Oleh: Bambang Cipto

Pendekatan:

konsep liberal

- Dalam Penelitian

tersebut dikatakan

bahwasanya The Golden

Triangle atau segitiga

emas adalah sebuah

kawasan yang terletak di

Asia Tenggara. Segitiga

emas ini terdiri dari

daerah Thailand utara,

Laos bagian barat, dan

Myanmar bagian timur

- Jalur lain melalui Yunan,

Guang Dong, Hongkong

dan Makau. Jalur transit

lain adalah Vietnam,

Kamboja, dan Philipina

dan dari kawasan ini

obat-obatan terlarang

tersebut akan diedarkan

keseluruh dunia

termasuk ke Asia, yang

mulai meningkat daya

serapnya terhadap

amphetamine.

- Perbedaan : penelitian ini

lebih kepada kajian

kejahatan perdagangan

obat-obatan.

- Persamaan : sama-sama

membahas mengenai

kejahatan lintas batas di

daerah kawasan Asia

Tenggara.

3 E-Jurnal : Penguatan

Hubungan Kerjasama

Indonesia-Malaysia

Dalam Menangani

Kejahatan

Transnasional

Oleh : Irdayanti

Pendekatan :

Transnational crimes,

cooperation and

interdependence

- sarana dan prasarana

yang di fasilitasi oleh

globalisasi ini

menjadikan angka

kriminalitas semakin

bertambah setiap

tahunnya.

- menjadikan setiap negara

yang memiliki kedekatan

geografis menjadi sangat

19

intens dan saling

menjaga dalam

ketergantungan

kebutuhan akan

sekuritisasi negaranya

baik dengan cara

dibentuknya kerjasama

atau bahkan opini atau

kesepakatan antar state

actor.

- Salah satu munculnya

kejahatan transnasional

adalah kedekatan

geografis sebuah wilayah

negara.

- Keuntungan

bekerjasama lebih besar

pengaruhnya dibanding

konflik yang terjadi

akibat kedekatan

geografis.

- Perbedaan : kajian

penelitian ini berbatas

hanya pada lingkup dua

negara dalam melihat

fenomena trafficking ini.

- Persamaan : ruang

lingkup penelitian ini

memiliki kesamaan

dalam mengkaji human

trafficking.

4 Tesis : Kejahatan

Perdagangan Anak

Sebagai Predicate Crime

Dalam Undang-Undang

Tindak Pidana

Pencucian Uang.

Oleh: Robinson

Perangin-Angin

(077005021),

deskriptif analisis

Pendekatan :

Predicate Crime

- Secara normatif hukum

positif di Indonesia akan

sangat berperan penting

dalam prosesnya menuju

kemaksimalan usaha

dalam meminimalisir

tindak pidana

perdagangan anak yang

akhirnya merujuk pada

keamanan nasional.

- Disamping undang-

undang tersebut terdapat

20

Keputusan Presiden

Nomor 36 Tahun 1990

tentang Ratifikasi

Konvensi Hak Anak

Tahun 1986.

- Indonesia telah

meratifikasi Konvensi

ILO No. 138 dengan

Undang-Undang No. 20

Tahun 1999 yang

menetapkan tentang

batas usia minimum

untuk diperbolehkan

bekerja, dalam undang-

undang tersebut

dilampirkan Deklarasi

Pemerintah Indonesia

bahwa batas usia

minimum untuk bekerja

di Indonesia adalah 15

tahun.

- Perbedaan : kajian ini

hanya membahas tentang

bagaimana anak yang

dilindungi secara

nasional masih menjadi

korban perdagangan

anak dengan beragam

motif.

- Persamaan : sama-sama

membahas dan mengkaji

sebuah kerangka hukum

baik nasioanl dan

Internasional dalam

memberantas kejahatan

serupa.

21

1.5 Kerangka Teori dan Konsep

Konsep Transnational Organized Crime

Pendapat yang dikemukakan M. Cherif Bassiouni, penulis buku International

Criminal Law, berpendapat bahwasanya kejahatan transnasional merupakan

kejahatan yang diklasifikasikan kedalam tiga unsur yakni (1) unsur Internasional

yang mana datangnya kejahatan ini mampu mengancam keamanan dan perdamaian

dunia secara tidak langsung, (2) unsur transnasional yang mana kejahatan ini mampu

memiliki dampak terhadap lebih dari satu negara, kemudian yang (3) unsur

kebutuhan yang mana maksudnya merupakan kebutuhan negara dalam membentuk

kerjasama dalam menindak lanjuti hal demikian. 12

Dalam pengertian ini maka bisa dikatakan bahwa kejahatan transnasional atau

Transnational Crime merupakan tindak pidana kejahatan yang dilakukan baik secara

terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi yang kaitannya dengan tidak

adanya batasan tindak pidana kejahatan transnational hanya pada satu negara saja,

namun sudah menjadi fokus kajian lintas negara dalam pelaksanaannya. Secara

konsep13

, transnational crime dikatakan tindak pidana lintas batas yang kemudian di

publikasikan secara internasional pada era 1990-an saat pertemuan bangsa-bangsa

yang membahas pencegahan kejahatan.

Kemudian hal ini juga mampu direlevansikan dengan yang dikemukakan oleh

Winarno dalam bukunya yang mengungkapkan bahwa :

12

Haris Semendawai, Abdul, S.H,.LL.M,Buletin Kesaksian No.III Tahun 2012,Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), hal 4-5 13

Ibid.

22

“Manusia dijadikan sebagai komoditas, memindahkan

dengan semena-mena dengan berbagai pelanggaran dan

tindak kejahatan dan kesewenang-wenangan yang

berlandaskan kekuasaan dengan tujuan eksploitasi tenaga

kerja untuk berbagai kepentingan yang merugikan korban

dan menguntungkan pihak lain. Jual beli manusia

semacam ini banyak melibatkan anak dan perempuan

untuk kemudian dipergunakan sebagai pekerja seks

komersial, perdagangan organ, penjualan bayi dan

eksploitasi fisik yang variatif ”.14

Manusia bekerja sebagai pelayan dan pekerja rumah tangga itu sudah biasa

kita jumpai, namun dalam fenomena ini bisa kita lihat kemudian bagaimana semakin

zaman fungsi dan makna pekerja sudah jauh melenceng, dalam arti lain secara jelas

bisa kita lihat fenomena perdagangan manusia untuk dan sebagai pekerja seks

ataupun eksploitasi prostitusi yang saat ini tidak hanya wanita, namun juga anak-anak

telah diperjual belikan sebagai sasaran dagang di rana internasional sebagai

komoditas.

Definisi kejahatan transnasional terorganisir ini tidak diartikan secara asal-

asalan, namun telah benar-benar dikaji oleh badan PBB yang mana PBB kemudian

membentuk konvensi yang berkenaan dengan pemberian sanksi bagi pelaku kejahatan

tersebut. Pasalnya adalah dalam konvensi PBB ini menyatakan bahwasanya ruang

lingkup konvensi ini yakni membahas terkait upaya, pencegahan, penyidikan serta

penuntutan terhadap tindak pidana yang pada kenyataannya telah di atur dalam pasal-

pasal konvensi UNTOC ini. Selain itu pula di dalam pokok konvensi ini mengatur

dan menjabarkan bahwasanya kejahatan transnasional inilah yang kemudian menjadi

penting untuk dikaji karena kompleksnya kasus-kasus semacam ini yang tidak hanya

14

Budi Winarno. Opcit .hal 303

23

melibatkan satu negara saja namun lebih. Konvensi juga mengemukakan bahwa ada

beberapa indikasi dalam menentukan suatu kejahatan itu termasuk kedalam kerangka

kejahatan transnasional atau sebaliknya, yang mana seperti pemaparan dalam berkas

UU No. 5 Tahun 2009 yakni meliputi :

a. Di lebih dari satu wilayah negara;

b. Di suatu negara, tetapi persiapan, perencanaan,

pengarahan atau pengendalian atas kejahatan tersebut

dilakukan di wilayah negara lain;

c. Di suatu wilayah negara, tetapi melibatkan suatu

kelompok pelaku tindak pidana yang terorganisasi yang

melakukan tindak pidana di lebih dari satu wilayah

negara; atau

d. Di suatu wilayah negara, tetapi akibat yang ditimbulkan

atas tindak pidana tersebut dirasakan di negara lain15

.

Maka dengan demikian relevan-lah fenomena yang dikaji peneliti terkait

dengan konseptualisasi yang peneliti compare dengan kajian ini dalam

mengklasifikasikan apa-apa saja yang masuk dalam kategori kejahatan transnasional

secara rinci dan jelas. Human trafficking pada awalnya memang merupakan kajian

sempit dimana tindak kejahatan ini kerap kali terjadi antar wilayah dalam suatu

negara, namun dengan seiring berkembangnya zaman di era millennium ini tidak

hanya teknologi informasi yang mengalami pertumbuhan pesat, nmaun sindikat

kejahatan yang demikian pula senantiasa memngalami pola yang semakin

berkembang dan tumbuh mengikuti perkembangan teknologi dan jaringan yang

semakin kompleks yang pada akhirnya menjadikan ruang lingkup perdagangan

manusia ini juga mulai berkembang ke kanca intra negara atau yang sekarang dikenal

dengan kejahatan transanasional.

15

Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 2009. Op cit.

24

Konsep Kepentingan Nasional

Dalam mendalami kasus-kasus dan fenomena dari politik internasional,

permaslahan utama yang paling tepat untuk dikaji yakni unsur-unsur dari kepentingan

nasional dan kekuatan nasional dari negara bangsa yang terkait. Kepentingan nasional

suatau negara-bangsa timbul akibat terbatasnya sumber daya nasional, atau kekuatan

nasional.16

Maka relevansi kepentingan nasional akan membentuk sebuah korelasi

antara usaha dan upaya sebuah negara dalam memenuhi kepentingan nasional itu

sendiri sesuai kebutuhan masing-masing negara.

Menurut Hans J. Morgenthau dunia ini terdiri dari banyak sekali persaingan

dan pertentangan dari tiap-tiap negara bangsa di dunia ini demi kekuasaan yang di

nilai sebagai sebuah nilai minimum dalam keberlangsungan hidup. Maka dengan

demikian negara senantiasa akan melakukan segala upaya untuk mencapai

kepentingannya masing-masing dengan cara melindungi semua aspek baik itu aspek

fisik, politik dan budaya mereka terhadap gangguan negara-negara lain.17

Hal ini juga sangat relevan dengan apa yang dikemukakan oleh Holsti yang di

kutip dari skripsi Noor Rahmah Yulia mahasiswa UIN Jakarta dimana Holsti lebih

menekankan bahwasanya kepentingan nasional-lah yang nantinya menjadi dasar akan

peranan negara dalam berinteraksi dengan banyaknya aktor lebih-lebih aktor

Internasional. Namun, selain itu juga kepentingan nasional juga menjadi support

16

Tulus Warsito, 1998, Teori-Teori Politik Luar Negeri Relevansi dan Keterbatasannya, Yogyakarta : BIGRAF Publishing. Hal.29 17

Ken Kiyono, “A Study On The Concept Of The National Interest Of Hans J. Morgenthau: As The Standard Of American Foreign Policy”, Nagasaki University’s Accademic Otput SITE.hal.2

25

utama dalam pengimplementasian kebijakan dalam hal ini kebijakan luar negeri

sebuah negara itu sendiri. 18

Dalam skripsi Nanik Zubaidah dipaparkan tentang pendapat yang

dikemukakan Juwono Sudarsono bahasanya kepentingan nasional darat dapat di

klasifikasikan dalam tiga acuan yaitu kepentingan fisik atau material, kepentingan

politik, agama atau ideologi atau ide lain dan kepentingan devaratif.19

Namun dalam

kajian penelitian ini peneliti akan lebih memfokuskan alat kajian berdasarkan konsep

kepentingan nasional dalam acuan kepentingan fisik atau material yakni :

a) Keutuhan wilayah nasional, dimana setiap titik dalam sebauh wilayah ini

merupakan sebuah asset penting yang sejatinya tidak ada yang boleh

mengusik, mengganggu dan lebih-lebih merusak dan mencemarkannya.

b) Keselamatan dan keamanan warga negara disini merupakan sebuah nilai

akhir dalam pencapaian kepentingan nasional Indonesia.

c) Kesejahteraan bangsa merupakan sebuah tolak ukur sebuah kepentingan

nasional bangsa Indonesia ini dalam mengkrangkai setiap kepentingannya.

Dengan kata lain tidak ada satu negara-pun yang mampu menindak lanjuti

problematika yang ada dengan hanya mengandalkan kapasitas dari negaranya

masing-masing, namun karena adanya desakan akibat munculnya fenomena-

fenomena yang semakin berkembang di ranah Internasional ini menyebabkan

18

Noor Rahmah Yulia, 108083000080, “Diplomasi Kebudayaan Republic of Korea Melalui Film dan Drama : Pencapaian Kepentingan Citra dan Ekonomi Republic of Korea di Indonesia”,Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Di akses dari laman http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24304/1/Noor%20Rahmah%20Yulia_108083000080.pdf pada 11 Desember 2014, pukul 08.00 WIB. 19

Nanik Zubaidah, 05260077, “Kebijakan Pemerintah Indonesia Menandatangani Defence Cooperational Agreement (DCA) Dengan Singapura” , Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang.

26

berkembanglah pula dinamika ancaman itu pula, selain itu di waktu yang bersamaan

sektor-sektor seperti komunikasi dan teknologi yang mengalami perkembangan yang

pada akhirnya menjadi konektor kerjasama antar negara dalam mencapai kepentingan

nasionalnya.20

Seperti halnya juga negara akan senantiasa menjadi sebuah garis depan dalam

membentengi masyarakat-masyarakatnya dari ancaman yang ada dengan mengambil

tindakan-tindakan yang dirasa cukup relevan dalam menanggapi ancaman-ancaman

yang ada, hal ini juga dipertegas oleh Hans J Morgenthau yakni :

“In a world consisting of many competing and opposing

nations for power, their survivals are their necessary and

minimum requisites. "Thus all nations do what they cannot

help but do: protect their physical, political and cultural

identity against encroachments by other nations."21

Dengan demikian Hal ini kemudian sangat relevan dengan fenomen human

trafficking yang akan dijabarkan dalam penelitian ini terkait bagaimana kemudian

kepentingan nasional Indonesia dalam mensejahterakan masyarakatnya atau civil

society yang ada di Indonesia dengan cara dan upaya-upaya yang diambil oleh negara

bangsa Indonesia dengan upaya kerjasama antar bangsa dalam lingkup kerjasama

bilateral ataupun dengan banyak negara yang hal ini masuk dalam lingkup kerjasama

Multilateral ataupun dengan kerjasama antara negara Indonesia dengan organisasi

regional ataupun PBB dalam memenuhi kepentingan nasional Indonesia dalam

merespon fenomena human trafficking di Asia Tenggara demi mewujudkan

20

Edy Prasetyono, Perkembangan Internasional dan Kepentingan Nasional Indonesia, dikutip dari : http://web.iaincirebon.ac.id/ebook/moon/Indonesia/perkembangan_internasional_dan_kennas_indo_ep.pdf , pada 10 Desember 2014, pukul 18.24 WIB. 21

Ken Kiyono.loc.cit.hal-2

27

kepentingan Indonesia untuk memerangi dan melawan tindak pidana perdagangan

orang (human trafficking) dalam proses mensejahterakan masyarakat Indonesia baik

di dalam negeri maupun yang saat ini berada di luar negeri dari ancaman negara-

negara lain yang tidak terkecuali negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Terlepas

dari itu pula kajian human trafficking ini juga merupakan salah satu bentuk fenomena

yang masuk dalam salah satu concern study keamanan non-tradisional yang mana

aspek keamanan telah banyak sekali berubah dan beragam.

First Track Diplomacy

Dalam mencapai sebuah tujuan, sebuah negara sudah tentu akan

mengaplikasikan sebuh kebijakan dan power demi mewujudkan kepentingan nasional

dari masing-masing negara, namun dalam mencapai sebuah kepentingan nasional

disini dibutuhkan sebuah alat dimana yang nantinya akan berfungsi sebagai

penunjang atau koneksi dalam ketercapaian kepentingan nasional tersebut. Dalam

hubungan Internasional kita mengenal istilah “diplomasi” yang mana diplomasi ini

sendiri merupakan tools untuk mengkomunikasikan ataupun memberikan penjelasan

terkait sebuah kebijakan luar negeri sebuah negara yang nantinya bisa menghasilkan

sebuah perjanjian formal ataupun sebaliknya hal ini lah yang dijelaskan oleh

Endmund Burke yang pada akhirnya dikenal dengan “negotiation”22

.

Dewasa ini kita tidak hanya mengenal diplomasi secara luas, namun seiring

berkembangnya zaman dan promblematika yang semakin kompleks, diplomasi yang

awalnya hanya berkisar antara diplomacy track one dan diplomacy track two, namun

22

G. R. Bridge, 2002, Diplomacy Theory and Practice, New York : PALGRAVE

28

sekarang telah berkembang menjadi Sembilan track yang lebih dikenal dengan

sebutan Multi-Track Diplomacy. Dalam hal ini peneliti akan mengkaji sebuah

fenomena menggunakan track one diplomacy yang mana lingkupnya diplomasi track

one ini menjelaskan tentang proses menuju perpolitikan yang damai yang melibatkan

peranan antar negara, dimana nantinya negara-lah yang akan berusaha menemukan

struktur dan pola tata kelola dari masa ke masa tentang sistem hubungan Internasional

dalam rangka menjaga kepentingan suatu bangsa.23

Karena dipercaya bahwa

diplomasi merupakan aktivitas yang bertujuan menjadi peacebuilding dan

peacemaking process. Dalam kekuatan politik, negara yang memiliki kelebihan akan

menggunakan cara untuk mencapai kepentingan nasionalnya dengan cara memaksa,

mengancam, mengontrol sumber daya dan memberikan hukuman sesuai dengan apa

yang telah disepakati.24

Untuk penelitian kali ini terkait isu human trafficking yang terjadi di tingkat

nasional dalam hal ini yakni Indonesia dan regional yakni ASEAN yang semakin

lama semakin marak terjadi yang kemudian hal ini membutuhkan respon besar-

besaran oleh negara terkait yang khususnya Indonesia disini yang secara

berkesinambungan memberikan respon terhadap isu fenomena human trafficking

yang terjadi dewasa ini. Dengan Bali Process yang merupakan sebuah forum yang

kemudian menjadi penting bagi setiap negara anggotanya yang khususnya negara-

negara Asia Tenggara yang nantinya akan mampu mendorong untuk saling

menciptakan dan menjaga kemanan kawasan yang sejatinya telah di rumuskan dalam

23

Dr. Louis Diamond (Ambassador John McDonald), 1996, Multi-Track Diplomacy :A System Approch to Peace, USA : Kumarin Press. 24

Ibid.hal-26

29

naskah protocol palermo yang sebenarnya merupakan implementasi dari forum ini

merupakan tools Indonesia dalam mencapai kepentingan nasionalnya dengan adanya

kebijakan-kebijakan luar negeri yang diaplikasikan dengan sangat baik oleh

Indonesia.

1.6 Metodologi Penelitian

1.6.1 Metode Penelitian

Metode penelitian yang dilakukan penulis adalah metode deskriptif-analitik,

dimana penulis bermaksud untuk menjelaskan fenomena yang sedang marak terjadi

yang didasarkan dengan data berkenaan dengan pembahasan dalam skripsi ini yang

kemudian akan dijelaskan secara kompleks. Namun tidak hanya berhenti dalam

penggambaran dan penjabaran fenomenanya saja, akan tetapi terlebih penulis akan

menganalisa setiap data dan fenomena terkait dengan kajian penelitian dalam skripsi

ini.

1.6.2 Teknik Analisa Data

Teknik analisa data yang digunakan adalah deduktif, dimana maksudnya

adalah peneliti mencari teori terlebih dahulu kemudian meneliti ataupun menganalisa

fenomenanya, maka dengan teori ataupun konsep penulis akan mampu memetakan

penelitian dan mencari data dengan acuan teori ataupun konsep yang telah mampu

dipahaminya dan kemudian di komparasikan dengan fenomena yang dimaksudkan.

1.6.3 Teknik Pengumpulan Data

Penulis menggunakan literature review dalam pengumpulan data dalam

penelitian ini. Maksudnya adalah setiap data yang ada di peroleh dari Internet ( situs-

30

situs terpercaya dan dapat dipetanggung jawabkan ) dan juga dari buku, jurnal dan

surat kabar yang terkait dengan penelitian yang diangkat oleh penulis.

1.6.4 Ruang Lingkup Penelitian

a. Batasan Waktu

Dari hasil pengamatan sementara pembahasan mengenai perdagangan

manusia, maka penulis membatasi penelitiannya dalam kurun waktu tahun 2000

hingga 2014, karena peneliti ingin mengkaji sejauh mana upaya Indonesia sejak di

ditanggapinya kajian tentang United Nations Convention against Transnational

Organized Crime di Palermo Itali pada Desember tahun 2000 yang kemudian kita

kenal dengan Protocol Palermo. Karena pada kurun waktu tahun 2000-2014

Indonesia banyak mengeluarkan kebijakan-kebijakan terkait proses minimalisasi

fenomena human trafficking yang terjadi di Indonesia dan Asia Tenggara. Pada tahun

2002 Indonesia merumuskan dan mengesahkan UU Perlindungan Anak25

, begitu juga

dengan tahun 2007 Indonesia merumuskan dan mengesahkan UU tentang PTPPO

(Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang)26

, kemudian pada kurun waktu

2002 hingga 2014 Indonesia gencar mengadakan pertemuan setingkat menteri dari

beberapa negara yang kemudian konsisten mengupayakan proses minimalisir tindak

kejahatan transnasional dan khususnya fenomena human trafficking itu sendiri yang

dikenal dengan Bali Process.

25

UU No 23 Tahun 2002 : http://www.ipadi.or.id/ipadi/wp-content/uploads/UUNo23tahun2003PERLINDUNGANANAK.pdf Diakses tanggal 22 Oktober 2002, pukul 08.08 WIB 26

UU No. 23 Tahun 2007 :http://www.depkop.go.id/attachments/article/1465/04.%20UU-21th2007-pemberantasan%20tindak%20pidana%20perdagangan%20orang.pdf , Diakses pada 22 Oktober 2014, pukul 08.16 WIB

31

b. Batasan Materi

Batasan materi pada penelitian ini berkisar antara upaya yang dilakukan

Indonesia baik dalam proses realisasi terkait protokol UNTOC dalam fenomena

Human Trafficking yang marak terjadi dalam prostitusi dan perdagangan anak serta

maupun konvensi atau forum terkait yang memiliki kemiripan secara substansial

dalam kajiannya.

1.7 Argumen Pokok

Argumen pokok penelitian ini yakni dalam memenuhi kepentingan nasionalnya

(national interest), Indonesia senantiasa melakukan upaya untuk mencapai

kepentingan-kepentingan yang dimaksud yakni untuk meningkatkan perlindungan

terhadap warga negara Indonesia (WNI) dengan mencegah, penuntutan, dan

perlindungan khususnya dalam fenomen human trafficking dalam prostitusi dan

perdagangan anak yang menyangkut WNI baik di dalam maupun diluar negeri. Bali

Process merupakan upaya Indonesia dalam mendorong negara-negara Asia Tenggara

untuk sama-sama memerangi tindak kejahatan transnasional terorganisir khususnya

human trafficking dalam prostitusi dan perdagangan anak. Hal ini di gagas oleh

Indonesia mengingat human trafficking saat ini tidak hanya menjadi fenomena lintas

kawasan di dalam negeri saja namun saat ini semakin kompleksnya permasalahan

global menjadikan hal ini semakin lama semakin berkembang hingga lintas negara

yang pada akhirnya disebut kejahatan transanasional yang terorganisir atau yang lebih

di kenal Transnational Organized Crime (TOC).

32

1.8 Sistematika Penulisan

BAB I. Pada bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, penelitian terdahulu, table penelitian terdahulu,

teori dan konsep, metode penelitian, teknik analisa data, teknik pengumpulan

data, batasan materi, argumen pokok.

BAB II. Human Trafficking dalam Kajian UNTOC

Dalam BAB II ini penulis akan mengkaji human trafficking dalam perspektif

TOC (Transnational Organized Crime) dan selain itu juga penulis akan menjabarkan

konvensi PBB terkait kejahatan transnasional yakni United Nation Against

Transnational Organized Crime.

2.1 Human Trafficking dalam Prespektif TOC

Dalam sub bab ini akan dijabarkan definisi dari human trafficking

dalam

2.2 Protokol United Nation Convention Against Transnational

Organized Crime

2.2.1 Latar belakang lahirnya UNTOC

Sub bab ini akan menjelaskan tentang asal usul munculnya

UNTOC.

2.2.2 Tujuan UNTOC

Sub bab ini akan memaparkan mengenai tujuan daripada

terciptnya UNTOC.

33

2.2.3 Pokok dari UNTOC

Sub bab ini akan menjabarkan dan menuangkan isi dari

UNTOC.

BAB III. Analisa Upaya Indonesia dalam Mendorong Negara-Negara Asia

Tenggara Agar Mengoptimalkan Protokol UNTOC.

Didalam BAB III ini penulis akan mengembangkan analisanya terkait

kepentingan nasional Indonesia dalam memerangi dan memberantas human

trafficking di ASEAN serta Bali Process sebagai upaya Indonesia mendorong

negara-negara Asia Tenggara mengoptimalkan Protokol UNTOC.

3.1 Kepentingan Nasional Indonesia dalam Memerangi dan Memberantas

Human Trafficking di Asia Tenggara

3.2 Bali Process Sebagai Upaya Indonesia Mendorong Negara-Negara Asia

Tenggara Mengoptimalkan Protokol UNTOC

BAB IV. PENUTUP (Kesimpulan dan Saran)