BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang -...

download BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - blog.unnes.ac.idblog.unnes.ac.id/.../uploads/sites/2353/2015/12/Laporan-Strategis.pdf · Berbagai kejadian bencana ... dan Jl Citarum, bahkan

If you can't read please download the document

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang -...

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Banjir merupakan peristiwa karena terjadinya genangan di dataran banjir

    sebagai akibat terjadinya limpasan air dari sungai yang disebabkan debit air yang

    mengalir di sungai tersebut melebihi kapasitas pengalirannya. Selain akibat dari

    limpasan sungai, genangan banjir dapat pula terjadi akibat terjadinya hujan yang

    terus terus menerus terjadi, serta akibat terjadinya air laut pasang atau rob. Ketiga

    peristiwa tersebut bisa terjadi secara bersamaan maupun terpisah.

    Peristiwa banjir dapat menimbulkan kerugian dapat tidak. Apabila tidak

    menimbulkan kerugian dan gangguan terhadap manusia, tidak perlu dilakukan

    penanganan apapun terhadap peristiwa banjir tersebut. Sebab, adakalanya, banjir

    malah menguntungkan bagi umat manuisa karena luapan sungai dapat mengisi

    rawa-rawa sehingga sedimen yang tertinggal menimbulkan kolmatase dan

    meningkatkan kesuburan tanah. Namun, peristiwa tersebut dapat pula

    menimbulkan masalah bagi manusia, yang dapat terjadi dimana-mana di dunia ini,

    tidak perduli pada negara yang telah maju/berkembang maupun di negara yang

    sedang berkembang.

    Masalah banjir telah ada sejak manusia bermukim dan melakukan

    berbagai kegiatan di dataran banjir (flood plain) suatu sungai. Pesatnya

    perkembangan/pertumbuhan di dataran banjir hilir sungai berkaitan dengan

    terdapatnya berbagai kemudahan dan daya tarik, antara lain kondisi topografi

    yang relatif datar serta tanahnya yang subur.

    Di Indonesai kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, Surabaya,

    Bandung, Medan, Padang, Palembang, Pekabaru, Jambi, Pontianak, Banjarmasin,

    Samarinda, Balikpapan, Ujungpadang, Ambon, masing-masing terletak di dataran

    banjir satu atau beberapa sungai. Demikian pula deaerah pertanian/irigasi yang

    luas dan subur sebagian besar terletak pada dataran banjir. Contohnya di

    sepanjang pantai utara Pulau Jawa.

    Berbagai kejadian bencana berupa banjir dan tanah longsor dipicu oleh

    berkurangnya luasan penutupan hutan akibat penebangan hutan terjadi dimana-

    mana. Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berfungsi utama sebagai pengatur siklus

  • 2

    air dan siklus hara mengalami penurunan fungsi dan kualitas yang sangat besar.

    Kerusakan lingkungan dan kekritisan DAS merupakan salah satu penyebab

    bencana yang melanda ibukota Provinsi Jawa Tengah. Banjir ini bukan pertama

    kalinya melanda Ibukota Provinsi Jawa Tengah, bahkan hampir setiap musim

    penghujan Kota Semarang selalu dilanda banjir.

    Di Kota Semarang terdapat tiga jenis banjir, yaitu banjir lokal akibat

    tersumbatnya saluran, banjir kiriman akibat luapan sungai pengendali banjir, dan

    banjir rob (Fauzi, 2006). Beberapa sungai yang berpotensi menimbulkan banjir

    kiriman, antara lain Kali Garang, Banjirkanal Barat, Banjirkanal Timur, dan Kali

    Babon. Rob secara rutin juga hadir di daerah pesisir Kota Semarang bahkan sudah

    menjamah wilayah perkotaan. Luas genangan rob semakin tahun semakin

    bertambah. Dua bulan terakhir (Mei 2009) mencapai 3000 hektare (Fauzi, 2009).

    Selanjutnya disampaikan oleh Fauzi (Kepala Dinas Pengelolaan Sumber Daya

    Daya Air dan Energi Sumber Daya Mineral PSDA dan ESDM Kota Semarang),

    bahwa rob atau air pasang laut itu masuk ke kota Semarang melalui tiga sungai

    sebagai pintu masuk utama. Ketiga sungai itu adalah Kali Semarang, Kali Baru,

    dan Kali Banger. Genangan rob yang cukup parah terjadi di daerah langganan rob,

    seperti Bandarharjo, Jl. Petek, Jl Peres, Jl Layur, Jl Hasanuddin, Kantor Pos Johar,

    Pasar Johar, Purwodinatan, Jl Kol. Sugiono, dan Jl Imam Bonjol, Statsiun KA

    Tawang, Jl Ronggowarsito, Pengapon, Bubakan, Jl Empu Tantular, Kemijen, Jl

    Citanduy, Jl Baroti, dan Jl Citarum, bahkan Stadion Citarum. Peristiwa alam

    tersebut, antara lain akibat naiknya permukaan air laut dan penurunan permukaan

    tanah.

    Berdasarkan data Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat

    (Kesbanglinmas) Kota Semarang, dari 177 kelurahan di 16 kecamatan se-Kota

    Semarang, terdapat 42 kelurahan di 10 kecamatan yang masuk dalam kategori

    rawan banjir. Secara umum penyebab banjir di Kota Semarang antara lain adalah

    dataran rendah di bawah permukaan laut waktu pasang, peningkatan kepadatan

    penduduk yang tidak diikuti pembangunan infrastruktur yang memadai, kesadaran

    warga terhadap lingkungan masih rendah, membuang sampah di sembarang

    tempat sehingga terjadi penumpukan sampah baik di daratan maupun sungai.

  • 3

    Banjir, terkait dan berpengaruh langsung terhadap kehidupan masyarakat,

    oleh karena itu, upaya untuk mengatasinya merupakan upaya bersama antara

    Pemerintah Kota, Masyarakat, dan Industri/Swasta. Terbatasnya kemampuan

    pemerintah dalam membangun sarana dan parasarana penanggulangan banjir

    menjadi perlu adanya upaya untuk mengoptimalkan pemberdayaan masyarakat

    dalam menumbuhkan perilaku tanggap diri terhadap bencana banjir melalui upaya

    yang progresif dan strategis. Kondisi inilah yang melatarbelakangi penelitian yang

    akan dilakukan.

    1.2 Tujuan Khusus

    Tujuan penelitian secara umum menyusun model pemberdayaan masyarakat

    untuk pengendalian banjir di kota Semarang dalam bentuk sosialisasi, capacity

    building, stimulasi, dan pendampingan, serta menyusun buku ajar/modul

    pemberdayaan masyarakat membentuk perilaku tanggap diri terhadap bencana

    banjir.

    Secara khusus tujuan penelitian dijabarkan sebagai berikut:

    1) menyusun peta Kawasan Banjir Kota Semarang,

    2) menggali kondisi faktor penyebab banjir kota Semarang yang meliputi

    penggunaan lahan, kondisi drainase aliran sungai,

    3) menggali informasi tentang sikap dan pengetahuan masyarakat terhadap

    pengendalian banjir untuk membentuk perilaku tanggap diri masyarakat

    terhadap bencana banjir,

    4) mengetahui upaya masyarakat dalam mengendalikan banjir untuk membentuk

    perilaku tanggap diri masyarakat terhadap bencana banjir,

    5) menyusun model pembelajaran masyarakat dalam pengendalian banjir untuk

    membentuk perilaku tanggap diri masyarakat terhadap bencana banjir,

    6) membuat perangkat pembelajaran tentang pengendalian banjir untuk

    membentuk perilaku tanggap diri masyarakat terhadap bencana banjir dalam

    bentuk modul/brosur, kurikulum, silabi, dan buku ajar, dan

    7) membuat model pembelajaran meliputi sosialisasi, capacity building,

    stimulasi, pendampingan, untuk membentuk perilaku tanggap diri masyarakat

    terhadap bencana banjir.

  • 4

    1.3 Keutamaan Penelitian

    Kota Semarang adalah salah satu kota yang sering terkena bencana banjir. Dilihat

    dari jenisnya ada tiga jenis banjir yaitu banjir lokal akibat tersumbatnya saluran,

    banjir kiriman akibat luapan sungai pengendali banjir, dan banjir rob. Sedangkan,

    bila dilihat dari frekuensinya terdapat enam golongan banjir, yaitu banjir setiap hari,

    setiap hujan, setahun sekali, setahun dua kali, 1-5 tahun sekali, dan lebih dari lima

    tahun sekali. Bisa saja terjadi satu wilayah dilanda banjir setiap hari yang

    disebabkan rob, tetapi setiap kali hujan juga menambah banjir di daerah tersebut.

    Kecamatan Semarang Utara dan Semarang Timur, misalnya, selain dilanda banjir

    harian (setiap hari), juga dilanda banjir setiap kali habis hujan, bahkan, fenomena

    banjir tahunan juga melanda daerah ini.

    Bencana banjir tersebut sangat mengganggu aktivitas perekonimian Kota

    Semarang dan sekitarnya. Untuk itu, Pemerintah Kota telah banyak melakukan

    pembangunan fisik dan non fisik dalam menanggulangi banjir, tetapi dari seluruh

    pembangunan yang telah dilakukan belum memperoleh hasil yang memuaskan.

    Padahal alokasi dana pembangunan yang telah dikeluarkan cukup besar.

    Selain mitigasi, hal penting lainnya yang perlu dilakukan terhadap

    masyarakat korban bencana adalah memberdayakan masyarakat, yaitu berperilaku

    tanggap diri terhadap bencana banjir. Hal ini penting agar mereka tidak tergantung

    terhadap pemberian bantuan dari pihak lain. Pemberdayaan yang bisa dilakukan,

    harus didasarkan pada kekuatan dan potensi lokal setempat. Masyarakat juga

    perlu dilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program

    pemberdayaan tersebut. Disadari bahwa waktu yang diperlukan untuk

    memberdayakan masyarakat bangkit dan tumbuhnya perilaku tanggap diri

    terhadap bencana banjir membutuhkan saat yang cukup panjang.

    Ada sejumlah faktor yang menghambat upaya memberdayakan masyarakat

    rawan bencana banjir, antara lain menyatukan pemikiran masyarakat yang

    memiliki banyak keinginan. Hal itu bisa diatasi dengan cara berdiskusi dan

    mendengarkan langsung apa, mengapa, dan bagaimana keinginan masyarakat.

    Dan, yang tak kalah penting adalah mengakomodasikan kepentingan masyarakat

    tersebut. Syarat agar masyarakat yang berada pada daerah rawan banjir menjadi

    berdaya adalah dengan melaksanakan program secara terintegrasi dan progresif,

  • 5

    mencakup aspek fisik, sosial, dan ekonomi. Ketiga hal tersebut perlu dilakukan

    secara bersama-sama. Dari ketiga aspek tersebut, yang paling sulit adalah aspek

    sosial dan kesadaran. Upaya pemberdayaan masyarakat sangat penting dilakukan

    agar mereka bisa mandiri, bardaya, dan tidak tergantung pada bantuan pihak lain.

    Sebagai langkah awal, diperlukan komitmen politis untuk menyediakan

    informasi peta kawasan banjir (geografi, penggunaan lahan, kondisi sosial

    ekonomi masyarakat, pemanfaatan sumber daya air, dan kondisi aliran sungai) di

    Kota Semarang; kedua, faktor penyebab banjir di Kota Semarang yang meliputi

    penggunaan lahan, kondisi drainase aliran sungai; ketiga, informasi mengenai

    sikap dan pengetahuan masyarakat di Kota Semarang terhadap pengendalian

    banjir; dan keempat, informasi tentang upaya masyarakat di Kota Semarang

    dalam mengendalikan banjir untuk membentuk perilaku tanggap diri terhadap

    bencana banjir, baik banjir lokal akibat tersumbatnya saluran, banjir kiriman

    akibat luapan sungai pengendali banjir,maupun banjir rob, masyarakat daerah

    hulu, tengah, dan hilir.

    Dengan tersedianya informasi tersebut, selanjutnya ditindak lanjuti dengan

    tersedianya model pemberdayaan masyarakat diharapkan tumbuh kepedulian

    masyarakat akan cinta wilayah dan lingkungan. Model pemberdayaan masyarakat

    tersebut mencakupi perangkat pembelajaran dan bahan ajar pengendalian banjir

    yang meliputi sosialisasi, capacity building, stimulasi, dan pendampingan untuk

    membentuk perilaku tanggap diri terhadap bencana banjir. Tanggap diri

    dimaksud, baik terhadap banjir lokal akibat tersumbatnya saluran, banjir kiriman

    akibat luapan sungai pengendali banjir, maupun banjir rob, masyarakat daerah

    hulu, tengah, dan hilir, serta terhadap enam golongan banjir, yaitu banjir setiap

    hari, setiap hujan, setahun sekali, setahun dua kali, 1-5 tahun sekali, dan lebih dari

    lima tahun sekali.

    Tersusunnya model dan modul/buku ajar pemberdayaan masyarakat untuk

    memiliki perilaku tanggap diri terhadap banjir menjadi keutamaan penelitian ini,

    sebab masyarakat akan memiliki sikap dan pengetahuan dini tentang banjir. Selain

    itu, masyarakat akan menyikapi dengan penuh kesadaran bahwa banjir adalah

    urusan semua warga Kota Semarang bukan hanya Pemerintah Kota, Swasta dan

    Masayarakat Semarang saja. Diharapkan, dari sikap dan kesadaran seperti itu akan

  • 6

    tumbuh mentalitas peduli banjir dengan cara membangun Kota Semarang secara

    bersama-sama dalam mengurangi bencana banjir.

    BAB II

    STUDI PUSTAKA

    2.1 Pemberdayaan Masyarakat

    Pemberdayaan sebenarnya terjemahan bebas dari empowerment, yang

    merupakan konsep perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayaan

    Barat. Pemahaman konsep ini secara tegas memerlukan upaya pemahaman latar

    belakang kontekstual yang melahirkannya. Pemberdayaan masyarakat merupakan

    suatu konsep bagaimana mengajak suatu kelompok masyarakat agar mampu

    melakukan tindakan yang terbaik bagi kepentingan bersama. Prinsipnya

    sederhana, yakni perlunya pemberian kekuasaan (empowerment) kepada pihak

    yang pertama-tama dan terutama akan menanggung suatu akibat dari aktivitas

    pembangunan.

    Chambers dalam Zubaidi (2007:42) menyatakan bahwa pemberdayaan

    masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-

    nilai sosial. Konsep ini mencerminkan adanya paradigma baru dalam

    pembangunan yang bersifat people centered, participatory, empowering dan

    sustanaible. Dengan demikian, konsep pemberdauaan lebih luas dari sekedar

    upaya untuk memenuhi kebutuhan dasar atau sekedar upaya mencegah proses

    pemiskinan lebih lanjut.

    Proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan, yaitu (1) proses

    pemberdayaan yang menekankan kepada proses memberikan atau mengalihkan

    sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan kepada masyarakat agar individu

    atau masyarakat menjadi lebih berdaya; dan (2) menekankan kepada proses

    menstimulasi, mendorong dan memotivasi individu agar mempunyai kemampuan

    dan keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui

    proses dialog. Dengan kata lain, masyarakat dituntut untuk melakukan inovasi

    atau pembaharuan untuk menemukan kemampuan diri sendiri, menentukan

    prioritas kebutuhannya, serta penguasaan atas sumber daya yang ada. Prinsip ini

  • 7

    mengandaikan bahwa apabila suatu pekerjaan sudah dapat dilakukan oleh lapisan

    masyarakat, hendaknya tidak diambil alih oleh pemerintah atau birokrasi (prinsip

    subsidiritas).

    Memberdayakan masyarakat harus didahului dengan empat pendekatan

    penting, yakni (1) sosialisasi permasalahan untuk mengantar masyarakat agar

    makin mengetahui dan terampil; (2) pengorganisasian diri oleh masyarakat itu

    sendiri; (3) motivasi yang kontinyu oleh fasilitator; dan (4) internalisasi nilai-nilai

    oleh masyarakat yang bersangkutan (Gumilar, (1997). Namun, untuk

    menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam suatu program pembangunan harus

    memperhatikan kultur masyarakat setempat dan siapa model partisipasinya.

    Sebuah ilustrasi, sebagaimana dikatakan oleh Taruna (1997) yang mengutip

    pendapat Cochrane pada kasus masyarakat India, yaitu saat mereka diberdayakan

    untuk mendiami rumah sehat. Ketika pengembang membangun dapur di luar

    rumah induk, maka masyarakat setempat tidak sepakat karena kultur mereka

    adalah dapur ada di dalam rumah induk. Padahal pembangunan dapur itu hanya

    bonus saja dari pengembang. Singkatnya, inti pemberdayaan masyarakat adalah

    kemampuan masyarakat dalam mengambil keputusan dan peran partisipan atau

    pemerintah hanya sekedar fasilitator belaka.

    Pemberdayaan masyarakat akan lebih mudah berhasil jika: (1) dilakukan

    sosialisasi dan dialog dalam skala kecil serta sederhana atau mudah dipahami; (2)

    ada manajemen politik yang orientasinya semata-mata ditujukan kepada

    kepentingan masyarakat; dan (3) masyarakat bebas menentukan pilihannya, dan

    fasilitator mengaspirasinya (Taruna, 1997:4). Artinya nilai-nilai yang sudah

    berkembang di masyarakat, jika positif terus dikembangkan dan didorong maju,

    kalau negatif dihilangkan secara perlahan.

    Pandangan di atas dapat dipahami karena dasarnya, sesederhana dan

    sebodoh apapun suatu kelompok masyarakat, mereka memiliki nilai-nilai rasional

    yang objektif. Secara umum, masyarakat seperti ini akan sulit menerima suatu

    inovasi baru meskipun sudah terasa manfaatnya. Beberapa faktor psikis dan non

    psikis lainnya sering menghambat untuk menerima inovasi. Karenanya, peran

    fasilitator yang tekun, giat, aktif, sikap, niat, dan kejujuran, amat menentukan

    perubahan sikap itu. Dengan kata lain, latar belakang budaya, gaya hidup, adat-

  • 8

    istiadat, tipe wilayah, kondisi wilayah, dan sebagainya harus diperhatikan para

    fasilitator jika menginginkan perubahan sikap suatu kelompok masyarakat.

    Menurut Iqbal (1993) bahwa untuk melakukan perubahan sikap suatu

    komunitas ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu : (1) perubahan itu ditujukan

    untuk kepentingan mereka dan dapat dimanfaatkan secara praktis dan realistis;

    dalam hal ini masyarakat perlu diberitahu tentang inovasi baru yang dekat dengan

    pengalaman mereka sehari-hari; (2) perlunya stimulasi dan motivasi yang kuat

    melalui katalis yang dapat menimbulkan gerak perubahan, misalnya melalui

    gerakan-gerakan sosial lewat gencarnya pemberitahuan (promosi), kerjasama

    dengan tokoh masyarakat dan kredibilitas fasilitator.

    Banyak para fasilitator yang gagal memberdayakan masyarakat karena tidak

    memiliki empati yang berorientasi kepada pemahaman dan penghayatan nilai-nilai

    yang berkembang dalam masyarakat. Harus ada semacam equal partnership

    antara fasilitator dan masyarakat. Mempersepsikan masyarakat sebagai suatu

    kelompok yang lebih rendah dari fasilitator akan membawa implikasi negatif yang

    berupa gagalnya memperkenalkan suatu inovasi baru. Di samping itu, fasilitator

    seharusnya senantiasa berada di lapangan atau ditengah-tengah masyarakat untuk

    merumuskan kepentingan mereka dan tidak sekedar duduk di belakang meja.

    Pemberdayaan juga dapat dikatakan adalah sebuah proses dan tujuan

    (Suharto, 2005:60). Sebagai proses, pemberdayaan merupakan serangkaian

    kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam

    masyarakat, termasuk individu-indivudu yang mengalami masalah kemiskinan.

    Sebagai tujuan, pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin

    dicapai oleh sebuah perubahan sosial, yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki

    kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi

    kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial, seperti

    memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata

    pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam

    melaksanakan tugas-tugas kehidupan.

    Hal lain yang penting diperhatikan dalam pemberdardayaan masayarakat

    adalah harus dilakukan melalui tiga arah (Zubaidi, 2007). Pertama, menciptakan

    suasana iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling).

  • 9

    Artinya setiap masyarakat telah memiliki potensi yang dapat dikembangkan.

    Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering)

    dengan langkah-langkah nyata seperti pelatihan, pemberian informasi, pasar,

    sarana prasarana. Ketiga, melindungi masyarakat (protection), hal ini berarti

    dalam pemberdayaan masyarakat diupayakan jangan sampai terjadi praktik

    eksploitasi atas yang lemah.

    2.2 Konsep Pembangunan Partisipatif

    Pembangunan sebagai upaya bersama dalam peningkatan kesejahteraan

    masyarakat. Oleh karena itu pembangunan harus dilaksanakan bersama pula, yaitu

    Pemerintah, masyarakat, dunia usaha/swasta, perguruan tinggi, Lembaga Swadaya

    Masyarakat, dll. Masing-masing institusi memiliki fungsi sendiri-sendir sesuai

    dengan posisinya.

    Pemerintah, misalnya berfungsi melakukan pengaturan, penyediaan

    barang/jasa public, dan pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu perlu

    mewujudkan pemerintahan yang baik/good governance. Adapun tata kelola yang

    baik meliputi peengembangan dan penerapan partisipasi, penegakan hukum,

    transparansi, kesetaraan, daya tanggap, wawasan kedepan, akuntabilitas

    pengawasan, efisiensi dan efektifitas, serta profesionalisme. Konsekuensinya

    dengan terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik akan tercipta pembangunan

    partisipatif yang tepat dalam pelaksanaan pembangunan.

    Lingkup pembangunan partisipatif sebagai kesatuan kegiatan yang tidak

    terputus dapat dikelompokkan dalam 4 kegiatan besar, yaitu perencanaan,

    pelaksanaan, pengendalian, dan pelestarian. Perencanaan pembangunan

    partisipatif adalah proses pengkajian keadaan desa, pemilihan tindakan dan

    pengambilan keputusan oleh kelompok masyarakat desa untuk memecahkan

    masalah yang dihadapi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat

    secara efisien dan efektif. Prinsip perencanaan disusun secara demokratis,

    memperhatikan kesetaraan, berwawasan ke depan, transparansi, efisiensi dan

    efektif. Perencanaan dilakukan dengan memperhatikan ciri umum dan khusus.

    Ciri umum yaitu masyarakat adalah sebagai pelaku utama, keakraban hubungan

    masyarakat dengan stakeholder, keerat-sinergian yang terus menerus, sesuai

  • 10

    dengan kondisi masyarakat setempat. Ciri khusus yaitu memiliki sifat terbuka,

    selektif, kecermatannya memadai, proses berulang, penggaian informasi secara

    sistemik, melakukan pendekatan triangulasi dalam mengumpulkan data.

    Teknik yang perlu dikembangkan adalah Participatory Rural Appraisal

    (PRA), Rapid Rural Appraisal (RRA), Pemetaan Partisipatif, Diagram

    Kelembagaan, Matrik Ranking, Matrik Scoring, Kecenderungan dan Perubahan,

    Transect Walk, Wawancara Semi Struktur/Focus Group Discussion, Analisa

    Gawat-Mendesak-Penyebaran (GMP), dan P3MD.

    Langkah-langkah pembangunan partisipatif mencakupi pengenalan

    masalah atau kebutuhan dan potensi setara penyadaran, perumusan masalah dan

    penetapan prioritas, identifikasi alternatif-alternatif pemecahan

    masalah/pengembangan gagasan, pemilihan alternatif pemecahan masalah yang

    tepat, perencanaan penetapan gagasan pemecahan masalah dan penyajian rencana

    kegiatan, pelaksanaan/pengorganisasian, pemantauan dan pengarahan kegiatan,

    serta evaluasi dan rencana tindak lanjut.

    Pengelompokan Teknik PRA berdasakan informasi yang dikumpulkan

    dan diolah meliputi:

    1) Teknik-teknik yang bersifat mengumpulkan Informasi Umum (tahap awal

    pengembangan program dan bersifat penjajagan/eksporatif).

    2) Teknik-teknik yang berkenaan dengan Tata Ruang (spatial).

    3) Teknik-teknik yang berkenaan dengan Waktu (temporal).

    4) Teknik-teknik yang berkenaan dengan Kelembagaan (institusional)

    5) Teknik-teknik yang berkenaan dengan aspek-aspek kemasyarakatan (sosial).

    6) Teknik-teknik yang berkenaan dengan aspek-aspek ekonomi dan mata

    pencaharian.

    7) Teknik-teknik yang berkenaan dengan teknik tertentu (topikal/teknikal)

    seperti tentang hama, kesehatan, dll

    Pelaksanaan pembangunan partisipatif adalah upaya untuk melaksanakan

    seluruh rencana kegiatan yang telah disepakati sesuai dengan peran masing-

    masing pelaku dan dilakukan dengan efisien dan efektif. Prinsip yang harus

    diperhatikan yaitu akuntabilitas, transparansi, efisien dan efektif. Bentuknya dapat

    berupa pola swakelola, pola kejasama operasional, pola built transfer overed

  • 11

    (BTO), dengan mempertimbangkan aspek teknis, nilai proyek/kegiatan, sumber

    pendanaan

    Pengendalian pembangunan partisipatif adalah upaya untuk memperoleh

    data dan informasi secara silang dari berbagai sumber untuk menjaga agar

    pelaksanaan kegiatan berjalan sesuai prosedur dan mekanisme yang telah

    ditetapkan serta untuk mengetahui keberhasilan yang dicapai. Prinsip yang harus

    diperhatikan yaitu daya tanggap, akurasi, transparan, efisien dan efektifitas.

    Bentuk pelaksanaan : monitoring dan evaluasi partisipatif, sedangkan teknik dapat

    berupa curah pendapat, tanya jawab, diskusi kelompok, diskusi pleno, peragaan,

    forum pengaduan masyarakat dan penyelesaian masalah.

    Pelestarian pembangunan partisipatif adalah upaya untuk

    mengoptimalkan hasil pelaksanaan kegiatan baik yang berbentuk fisik, hasil usaha

    ekonomi masyarakat maupun non fisik seperti sosial budaya. Pelestarian meliputi:

    pemanfaatan, pemeliharaan secara berkelanujutan dan pengembangan hasil-hasil

    pembangunan. Prinsip: wawasan kedepan, demokratis dan kesetaraan. Bentuk dan

    fungsi hasil pembangunan: Fisik dan non fisik serta kepentingan umum dan

    kepentingan kelompok/individu. Proses: diserahterimakan kepada masyarakat dan

    dikelola oleh lembaga masyarakat setempat

    2.3 Ilmu Perilaku dan Teori-Teori Pendukung

    Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta

    interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk

    pengetahuan, sikap, dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan

    respons/reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun

    dari dalam dirinya (Sarwono, 2004). Lebih lanjut dikatakan oleh Sarwono bahwa

    respons ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan: berpikir, berpendapat, bersikap)

    maupun aktif (melakukan tindakan). Perilaku aktif dapat dilihat, sedangkan

    perilaku pasif tidak tampak atau tidak dapat dilihat, seperti misalnya pengetahuan,

    persepsi, atau motivasi. Beberapa ahli membedakan bentuk-bentuk perilaku.

    Bloom (1980) dan Sarwono (2004) misalnya, membedakan antara perilaku

    kognitif (yang menyangkut kesadaran atau pengetahuan, afektif (emosi), dan

    psikomotor yang dapat berupa tindakan atau gerakan. Sementara itu, Ki Hajar

  • 12

    Dewantoro (dalam Sarwono, 2004; Soedarsono, 2004) menyebutnya sebagai cipta

    atau peri akal, rasa atau peri rasa, dan karsa atau peri tindak.

    Konsep yang paling mendasar dalam ilmu perilaku ialah masyarakat.

    Masyarakat ialah sekelompok orang yang memiliki identitas sendiri dan

    mendiami wilayah atau daerah tertentu, serta mengembangkan norma-norma yang

    harus dipatuhi oleh para anggotanya. Dalam memahami suatu gejala sosial dalam

    masyarakat studi dalam sosiologi dilakukan dengan menggunakan dua macam

    pendekatan, yaitu pendekatan etik dan emik (Pelto, 1970; Sarwono, 2004).

    Dengan pendekatan emik ilmuwan berusaha memahami perilaku

    individu/masyarakat dari sudut pandang si pelaku sendiri, sedangkan dengan

    pendekatan etik ilmuwan menganalisis perilaku atau gejala sosial dari pandangan

    orang luar serta membandingkannya dengan budaya lain. Dengan demikian,

    pendekatan etik bersifat lebih objektif karena dapat diukur dengan ukuran dan

    indikator tertentu, sedangkan pendekatan emik relatif lebih subjektif dan banyak

    menggunakan kata/bahasa dalam menggambarkan perasaan individu yang

    menjadi objek studinya.

    Kehidupan masyarakat tidak lepas dari kepemilikan akan suatu

    kepercayaan, yaitu berupa sikap untuk menerima suatu pernyataan atau pendirian

    tanpa menunjukkan sikap pro atau anti. Artinya, jika orang percaya bahwa

    minum-minuman yang mengandung alkohol menyebabkan kerusakan organ-organ

    tubuh, hal itu dianggap benar, terlepas dari apakah dia suka atau tidak suka

    minuman yang mengandung alkohol tersebut. Sering suatu kepercayaan tumbuh

    dan berkembang dalam masyarakat yang anggota-anggotanya mempunyai

    kepentingan dan tujuan yang sama. Tidak jarang pula kepercayaan kelompok

    ditumbuhkan oleh pihak yang berwenang atau pemimpin masyarakat yang

    disebarluaskan kepada anggota masyarakat yang lain. Menurut polisi, dokter,

    ulama atau kyai, dan guru judi itu (misalnya) sangat merugikan dan merusak

    mental seseorang, ada manfaatnya tapi banyak sekali mudaratnya, dan tidak ada

    orang kaya karena judi.

    Kepercayaan merupakan masalah keyakinan. Oleh sebab itu, berdasarkan

    pengalaman kepercayaan sulit diubah apalagi kepercayaan kelompok. Hal itu

    terjadi karena kepercayaan individu sifatnya lebih subjektif dan relatif, sedangkan

  • 13

    kepercayaan kelompok memiliki intensitas yang lebih kuat karena didukung oleh

    individu-individu lain yang besar jumlahnya, apalagi jika kepercayaan itu

    didukung oleh tokoh-tokoh masyarakat.

    Kepercayaan tentang apa yang dianggap baik/benar dan apa yang tidak

    baik/salah disebut nilai. Nilai sosial mencerminkan budaya suatu masyarakat dan

    berlaku bagi sebagian besar anggota masyarakat penganut kebudayaan tersebut.

    Jika seorang individu menerima suatu nilai tertentu, dia dapat menjadikannya

    sebagai tujuan hidupnya (Sarwono, 2004). Guna mengatur individu dalam

    kelompok agar sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku, dibuatlah norma-norma

    (hukum, kesusilaan, kesopanan, agama), yang berupa peraturan-peraturan yang

    disetujui oleh anggota masayarakat.

    2.4 Konsep Bencana Banjir

    Bencana ialah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh

    alam, manusia dan atau keduanya yang mengakibatkan korban dan penderitaan

    manusia, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, kerusakan

    sarana/prasarana, dan utilitas umum serta menimbulkan tata kehidupan dan

    penghidupan masyarakat (Keppres No.43/1990 dan Kepsekwilda Tk.I Jawa

    Tengah No. 460.85/017201).

    Pada musim penghujan rawan akan bencana banjir dan genangan, sedang

    pada musim kemarau rawan kekeringan. Usaha penanggulangan banjir diperlukan

    hal-hal seperti luas genangan, lama genangan, kedalaman genangan, frekuensi

    banjir dan sumber penyebab banjir pada daerah yang rawan terhadap banjir serta

    kerusakan yang diakibatkan oleh banjir. Bencana alam (dalam hal ini banjir)

    merupakan interaksi antara manusia dan alam yang timbul dari tindakan manusia

    dalam memanfaatkan alam dan penyesuaian terhadap sistem alam itu sendiri.

    Banjir adalah genangan air sampai melebihi atau melampaui batas tertentu,

    sehingga menyebabkan kerugian. Banjir merupakan salah satu bencana alam yang

    sering melanda berbagai daerah di Indonesia dan biasanya terjadi pada lahan

    rendah. Meskipun setiap tahun dilakukan penanggulangan banjir, tetapi kerugian

    dan kerusakan akibat banjir masih cukup besar (Tjaturrahono dan Saptono, 2005).

  • 14

    Banjir merupakan salah satu bencana alam yang sangat menggelisahkan

    penduduk di daerah pantai. Curah hujan yang tinggi dan pasang naik air laut dapat

    menyebabkan banjir di daerah-daerah rendah seperti wilayah pantai utara Jawa

    Tengah. Oleh karena itu, untuk usaha-usaha penanggulangan banjir sangatlah

    perlu menentukan luas genangan, lama genangan, kedalaman genangan, frekuensi

    banjir, dan mengetahui sumber penyebab banjir pada daerah yang rawan terhadap

    banjir serta kerusakan yang diakibatkan oleh banjir.

    Beberapa permasalahan bagi pengembangan di kawasan pantai pada

    khususnya dan Kota Semarang pada umumnya adalah masalah banjir pasang atau

    rob. Banjir yang terjadi di kawasan pantai terjadi karena banjir kiriman, banjir

    lokal, dan banjir pasang/rob. Penyebab banjir kiriman dan lokal adalah, kondisi

    lahan di daerah aliran sungai (DAS) yang tidak memenuhi fungsi hidrologi akibat

    terjadinya penggunaan lahan yang menyebabkan meningkatnya aliran permukaan

    (surface run off) baik di hilir maupun di hulu. Penyebab lain adalah kapasitas

    sungai di bagian hulu lebih besar dibandingkan kapasitas dibagian hilir, sehingga

    sungai tersebut tidak mampu menampung aliran air yang masuk.

    Banjir pasang/rob terjadi diakibatkan oleh:

    1) Perubahan penggunaan lahan di wilayah pantai, lahan tambak, rawa, dan

    sawah yang dulu secara alami dapat menampung pasang air laut telah berubah

    menjadi lahan permukiman, kawasan industri, dan pemanfaatan lainnya

    dengan jalan pengurukan, sehingga pasang air laut tidak tertampung lagi

    meluap dan menggenangi daerah lain yang lebih rendah.

    2) Penurunan muka tanah, yang disebabkan karena beban daratan oleh

    bangunan, pengurukan pantai, dan aktivitas manusia yang terlalu berat.

    3) Naiknya muka air laut sebagai akibat dari efek pemanasan global.

    4) Pengambilan air tanah (ABT) yang berlebih di daerah perkotaan, sehingga

    terjadi rongga-rongga dalam tanah yang memungkinkan terjadi pemampatan

    dan penurunan muka tanah.

    5) Penurunan permukaan air tanah yang berkaitan dengan berkurangnya

    kawasan resapan, kemampuan gunung dan perbukitan dalam menyimpan air.

    Kegiatan yang dapat dilakukan untuk menanggulangi permasalahan banjir dan

    rob ini adalah:

  • 15

    1) Pengerukan sedimen sungai-sungai sebagai wadah luapan air pasang air laut

    dan air hujan.

    2) Pelebaran kapasitas sungai terutama pada bagian hilir.

    3) Pembangunan sistem polder dan waduk penampungan terutama di daerah

    yang sering mengalami banjir atau rob.

    4) Penghijauan kawasan gunung dan perbukitan serta kawasan bagian atas yang

    pada umumnya termasuk kawasan DAS dan cathment area.

    Oleh karena itu perlu dicari upaya untuk mengurangi bahaya yang

    ditimbulkan oleh banjir. Langkah penanganan bencana banjir yang dilakukan di

    Jawa Tengah sebagai berikut.

    1) Koordinasi intern Dinas PSDA Provinsi Jawa Tengah, dengan

    Satkorlak/Satlak penanganan bencana kesiapan petugas piket banjir.

    2) Persiapan sistem komunikasi dan peringatan dini.

    3) Penyediaan bahan, berupa karung plastik dan bronjong.

    4) Penyediaan peralatan kondisi prabencana, bencana dan pasca.

    5) Penanggulangan masa banjir dengan kesiapan bahan dan peralatan untuk

    bencana banjir, kesiapan petugas dan masyarakat dalam menghadapi dan

    menanggulangi.

    6) Penanganan darurat dan permanen (pasca bencana) terutama oleh Pemerintah.

    2.5 Pengendalian Banjir

    Banjir dapat terjadi karena air yang mengalir atau jatuh di permukaan bumi

    tidak tertampung lagi oleh sungai dan sistem drainasi yang tersedia. Karenanya,

    manajemen sungai merupakan alternatif pengendalian yang penting artinya.

    Kegiatan pengendalian sebagai suatu upaya pengelolaan sungai dapat dilakukan

    melalui beberapa cara, misalnya: (1) mencegah atau mengendalikan banjir dan

    sedimentasi untuk memperbesar kemampuan sungai; (2) memperbaiki pengaturan

    tata guna lahan; (3) membuat kolam penampung atau polder; (4) pembuatan

    tanggul dan pompa di beberapa tempat; (5) konservasi lahan di bagian atas; dan

    (6) pembuatan sumur peresap yang dilakukan secara swadaya oleh anggota

    masyarakat (Martopo, 1994). Sementara itu, itu untuk menanggulangi banjir

    karena air rob, selain peningggian tanggul, perlu penanganan sejumlah proyek

  • 16

    untuk penanganan rob dan banjir yang lebih komprehensif. Penanganan banjir

    untuk Kota Semarang (yang sudah akan dimulai) yakni pembuatan Waduk

    Jatibarang, normalisasi drainase perkotaan, dan kolam resapan. Sementara itu,

    sejauh belum melimpas (overtopping) rob masih bisa diatasi dengan pemompaan (

    (Fauzi, 2009).

    Peresap adalah proses penambahan air ke dalam lapisan air tanah dari

    sebagian air hujan, yang dapat menaikkan muka air tanah. Bangunan peresap

    adalah sarana untuk menampung danmeresapkan air hujan atau air permukaan ke

    dalam tanah. Debit peresap rencana adalah jumlah air yang harus diresapkan

    sebagai pengganti peresap alami dan diusahakan sama dengan jumlah daya resap

    bangunan peresap. Daya resap bangunan peresap adalah kapasitas resapan yang

    bergantung pada tingkat presentasi efisiensi dari bangunan peresap.

    Tujuan dari keberadaan bangunan peresap adalah untuk menggantikan

    peresap alami yang hilang atau berkurang akibat meluasnya lahan pembangunan

    yang menjadikan tanah kedap karena tertutup bangunan dan jalan, dengan cara

    mendrainasikan sebagai aliran permukaan sebagai subtitusi peresap alami yang

    terjadi sebelum dilakukan pembangunan. Bangunan peresap ini lazimnya

    dibangun pada lingkungan yang mengalami permasalahan: (1) adanya tendensi

    bahwa lahan peresap alami akan makin menyempit; (2) melimpahnya air

    permukaan di musim penghujan; dan (3) sumur penduduk mengalami kekeringan

    di musim kemarau. Hal-hal yang perlu menjadi pertimbangan adalah (1) daya

    resap lapisan batuan yang mendasari bidang resapan harus cukup besar; (2)

    kondisi dan kualitas lingkungan alam dan keairan sekitar bangunan peresap harus

    memenuhi prasyarat konservasi; dan (3) biaya pembangunan serta pemeliharaan

    hendaknya realistis (Puslitbang PU, 2002).

    Bentuk bangunan peresap dapat berupa sumur resapan, parit, perkerasan

    lulus air, saluran drainasi berlubang, situ retensi di lapangan parkir. Bangunan

    dipilih berdasarkan tujuan penerapan bangunan peresapan, kondisi alam, dan

    lingkungan pada daerah sekitar rencana, estetika, aspek keamanan, serta biaya

    yang tersedia. Keuntungan bangunan peresap ini adalah (1) mengimbangi

    perubahan penggunaan lahan; (2) mengurangi banjir dan genangan lokal; serta

    mencegah kerusakan sarana drainasi permukaan.

  • 17

    Pembuatan sumur peresap ini nampaknya cukup menarik untuk masyarakat.

    Secara teoritik jika setiap anggota masyarakat mempunyai sumur peresap, maka

    diperkirakan aliran permukaan akan berkurang. Dengan demikian banjir dapat

    dicegah sejak awal. Pada prinsipnya sumur peresap akan menampung kelebihan

    air hujan. Konsep ini sesungguhnya sudah lama dikembangkan oleh nenek

    moyang kita yakni pemanfaatan sumur mati sebagai penampung air hujan serta

    lubang-lubang di halaman rumah untuk menampung kelebihan air hujan.

    Keuntungan model sumur peresap adalah membebaskan banjir sekaligus

    konservasi air, dan akibat selanjutnya adalah menekan intrusi air laut, mereduksi

    jaringan drainasi, memperkecil probabilitas banjir daerah hilir, menurunkan

    konsentrasi pencemaran air tanah, mempertahankan tinggi muka air tanah dan

    mencegah penurunan kawasan atau land subsidence.

    BAB III

    METODE PENELITIAN

    3.1 Lokasi Penelitian

    Penelitian ini dilakukan di Kota Semarang. Pemilihan lokasi didasarkan

    pada adanya kenyataan bahwa sekitar 42 kelurahan yang ada dan pada umumnya

    tersebar di Semarang bawah, mempunyai kerentanan banjir yang cukup tinggi.

    Banjir yang terjadi dapat berupa rob, limpahan dari sungai lokal, dan banjir

    kiriman dari lahan atas. Berdasarkan karakteristik lokasi penelitian tersebut,

    sampel lokasi penelitian meliputi KelurahanTelogosari Wetan, Kelurahan

    Melatiharjo, kelurahan Terboyo Kulon, Kelurahan Banget Ayu Kulon, Kelurahan

    Sadeng, Kelurahan Gayamsari, Kelurahan Kuningan, Kelurahan Kalipancur, dan

    kelurahan Muktiharjo Lor.

    3.2 Data Penelitian

    Data yang diperlukan dalam penelitian ini dapat dikelompokan ke dalam data

    primer dan data sekunder.

    a) Data Primer

  • 18

    Data ini merupakan data yang diambil langsung di lapangan, baik melalui

    wawancara terstruktur dengan informan maupun dengan dengan penduduk.

    Data yang dikumpulkan meliputi:

    1) Data Kawasan banjir, berupa lokasi, kedalaman, frekuensi, lama, dan

    sumber banjir,

    2) Data Demografis dan Sosial ekonomi masyarakat pada kawasan banjir

    3) Data sikap dan pengetahuan masyarakat tentang bencana banjir

    4) Data perilaku tanggap diri terhadap bencana banjir.

    b) Data Sekunder

    Data ini diperoleh dari beberapa instansi terkait, antara lain:

    1) Data banjir di Kota Semarang diperoleh dari Kantor PSDA Kota Semarang

    2) Data kependudukan Kota Semarang diperoleh dari kantor BPS

    3.3 Teknik Pengumpulan Data dan Analisis Data

    Teknik pengumpulan data dilakukan menggunakan pengamatan,

    wawancara, daftar isian, dan analisis dokumen. Teknik analisis data terhadap data

    hasil wawancara, hasil dokumen, dan hasil pengamatan dilakukan dengan

    langkah-langkah: (1) reduksi data, yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian

    pada penyederhanaan atau menyingkat data dalam bentuk uraian secara rinci dan

    sistematis, yakni menonjolkan hal-hal pokok yang penting agar lebih mudah

    dikendalikan, (2) display data, yaitu upaya menyajikan data dengan melihat

    gambaran keseluruhan atau bagian tertentu dari penelitian, (3) kesimpulkan dan

    verifikasi, yaitu upaya untuk mencari makna terhadap data yang dikumpulkan

    dengan mencari pola, hubungan, persamaan yang sering timbul dan sebagainya.

    Sedangkan untuk data hasil isian atau tes pengetahuan dan skala sikap, dianalisis

    dengan teknik deskriptif persentase.

    Pemeriksaan keabsahan data dilakukan melalui ketekunan pengamatan dan

    triangulasi. Ketekunan pengamatan merupakan pemusatan diri pada hal-hal

    tertentu secara teliti, rinci, dan berkesinambungan terhadap faktor-faktor yang

    menonjol sehubungan dengan fokus penelitian. Dengan demikian, dapat

    ditemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang relevan dengan masalah.

    Triangulasi merupakan upaya untuk mencari kebenaran data dengan jalan

    membandingkan antara satu data dan data lainnya. Triangulasi bukan untuk

  • 19

    mencari pemahaman tentang beberapa fenomena, tetapi lebih pada peningkatan

    pemahaman peneliti terhadap apa yang ditemukan (Sugiono, 2006:270).

    3.4 Tahapan Kerja Penelitian

    3.4.1 Tahap Persiapan

    Kegiatan yang dilakukan dalam tahap persiapan penelitian ini adalah:

    1) Persiapan dasar, berupa pengkajian data dan literatur yang telah ada

    terutama yang berkaitan dengan zona kawasan rawan bencana banjir.

    2) Persiapan teknis, berupa persiapan peta dasar lapangan, panduan

    lapangan (instrumen), dan peralatan lapangan.

    3) Mengidentifikasi kegiatan yang dilaksanakan dalam penelitian ini

    secara terprogram agar tidak terdapat kekurangan dalam

    mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan.

    3.4.2 Tahap Pelaksanaan

    Kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini adalah:

    1) Pengumpulan data sekunder dari instansi yang terkait dan

    pengumpulan peta agihan bencana banjir, data bencana banjir.

    2) Pengujian (ceking lapangan) kondisi biofisik dan lokasi kerusakan pada

    kawasan rawan bencana banjir.

    3) Pengamatan dan wawancara tentang upaya pengelolaan dan penanganan

    bencana banjir yang telah dilakukan di lapangan.

    4) Wawancara dengan penduduk untuk mengetahui informasi tentang

    bencana banjir yang pernah terjadi yaitu banjir, rob, dan kegiatan

    penduduk yang menimbulkan tekanan pada lingkungan, perilaku

    masyarakat pada kawasan rawan bencana banjir, kebijakan pemerintah

    serta penerapan peraturan di lapangan.

    3.4.3 Tahap Analisis Data

    Kegiatan yang diperoleh dalam tahap analisis data antara lain:

    1) Analisis keruangan (spatial distribution) untuk mengetahui faktor

    penyebab terjadinya bencana berdasarkan kombinasi informasi spasial,

    data sekunder, dan data lapangan.

  • 20

    2) Analisis PSR (Pressure-State-Response) yang meliputi gambaran umum

    lingkungan dari tiga sudut pandang yaitu kegiatan manusia terhadap

    lingkungan, kondisi lingkungan, dan kegiatan untuk menanggulangi

    bencana alam baik dari pemerintah maupun masyarakat setempat.

    3) Mengidentifikasi kegiatan yang dilaksanakan dalam penelitian ini secara

    terprogram agar tidak terdapat kekurangan dalam mengumpulkan data

    dan informasi yang dibutuhkan.

    3.4.4 Tahap Penyusunan Laporan

    Kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini yaitu: penyusunan laporan

    pendahuluan, laporan interim, draf laporan akhir, diskusi kelompok

    terfokus, konsultasi dan deseminasi laporan akhir, serta membuat laporan

    akhir.

    3.5 Analisis Data Perilaku Tanggap Diri Masyarakat

    Tindakan analisis data dan informasi dalam penelitian ini dilakukan secara

    terus menerus sejak awal penelitian hingga akhir penelitian. Data yang telah

    diperoleh disusun berdasarkan golongan dalam pola, tema, atau kategori.

    Selanjutnya dilakukan interpretasi, yakni dengan cara memberi makna (secara etik

    dan emik), menjelaskan pola atau kategori dan juga mencari keterkaitan antara

    berbagai konsep.

    Melalui cara tersebut, diharapkan suatu gejala sosial budaya dan sosial

    ekonomi yang bersifat kompleks, dapat dideskripsikan dan dijelaskan dalam suatu

    kualitas yang mendekati kenyataan. Berikut ini dijelaskan tentang model analisis

    data kualitatif dari data perilaku tanggap diri masyarakat seperti disajikan pada

    Gambar 1.

  • 21

    KETERANGAN:

    TS1 = Tulisan Sementara 1

    TS2 = Tulisan Sementara 2

    TA = Tulisan Akhir

    = Chek dan Rechec data

    Gambar 1. Model Analisis Perilaku Masyarakat

    3.6 Luaran dan Indikator Capaian Penelitian

    Luaran dan capaian penelitian ini adalah tersusunnya: (1) Model

    pemberdayaan masyarakat Kota Semarang yang memiliki perilaku tanggap diri

    terhadap bencana banjir lokal akibat tersumbatnya saluran, bencana banjir kiriman

    akibat luapan sungai pengendali banjir, dan bencana banjir karena air rob dan (2)

    Buku ajar/modul pembelajaran pemberdayaan masyarakat Kota Semarang yang

    berperikaku tanggap diri terhadap bencana banjir lokal akibat tersumbatnya

    saluran, bencana banjir kiriman akibat luapan sungai pengendali banjir, dan

    bencana banjir karena air rob. Lebih lanjut, laporan penelitian ini ditulis kembali

    dalam bentuk artikel yang siap dikirim ke jurnal nasional terakriditasi.

    Model pemberdayaan masyarakat yang akan dikembangkan adalah model

    pemberdayaan partisifatif, model pemberdayaan masyarakat berdasarkan masalah, dan

    model pemberdayaan berdasarkan kebutuhan. Sedangkan buku/bahan ajar yang akan

    dikembangkan dulakukan dengan langkah seperti digambarkan dalam bentuk flow

    chart berikut ini.

    FENOMENA

    DATA INFORMAN

    (Emik)

    DATA PENELITI

    (Etik)

    DISINTESA TS1 TS2

    TS1

    TA

  • 22

    Revisi

    Penyusunan buku ajar dilakukan dengan cara mengumpulkan praktisi

    dibidang lingkungan, terutama yang berkaitan dengan kerawan bencana banjir;

    kemudian mereka dimintai masukannya dengan metode curah pendapat. Di

    samping itu Tim Peneliti melakukan observasi ke lapangan untuk melihat

    gambaran/contoh persoalan yang menyebabkan banjir, dampak banjir dan usaha-

    uasaha yang dilakykan untuk mengurangi bencana banjir. Selanjutnya disusun

    materi pembelajarannya dengan melibatkan ahli media pembelajaran dan bahasa.

    Untuk memperoleh kualitas buku ajar yang diharapkan, buku tersebut

    dievaluasi dengan menggunakan instrumen penilaian yang berupa lembar

    penilaian, yang konstruksi butirnya dikembangkan dari 5 indikator, yakni: materi,

    penulisan, tata letak dan perwajahan, penataan dan penyuntingan, serta bahasa.

    Jumlah butir penilaiannya ada 13. Secara rinci format tersebut tertera sebagai

    berikut.

    PERUMUSAN BUTIR-BUTIR

    MATERI BUKU AJAR,

    PERUMUSAN ALAT

    PENGUKUR

    KEBERHASILAN

    PENULISAN

    NASKAH BUKU AJAR

    IDENTIFIKASI

    KEBUTUHAN

    PERUMUSAN

    TUJUAN

    UJI

    COBA

    Exspert Judgement

  • 23

    No Aspek Kriteria Penilaian Pakar

    1 2 3

    1. Materi 1.1 kesesuaian dengan perkembangan warga

    belajar;

    1.2 mempertimbangkan latarbelakang kehidupan

    warga;

    1.3 tingkat kesulitan pokok bahasan

    2. Penulisan 2.1 bertingkat dari pengertian, proses, keterampilan yang

    rendah ke tinggi;

    2.2 mengembangkan urutan belajar mulai dari

    kehidupan nyata ke abstrak

    3. Tata Letak dan

    Perwajahan

    3.1 kerumitan ilustrasi 3.2 kemenarikan tata letak 3.3 kekacauan latar belakang 3.4 kesesuaian dengan tema

    buku

    4. Penataan dan

    penyuntingan

    4.1 teks dan ilustrasi sepadan dan saling memperkuat

    4.2 tata letak teks dan ilustrasi disusun secara logis

    5. Bahasa 5.1 kesulitan kosa kata 5.2 panjang pernyataan

    Adapun langkah-langkah penelitian secara keseluruhan tergambar seperti

    dalam bagan alir berikut.

  • 24

    Gambar 2. Diagram Alir Penelitian

    BAB IV

    HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

    4.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian

    Lokasi Astronomis dan Administrasi

    Kota Semarang sebagai daerah penelitian, secara geografis terletak di

    posisi lintang 6o

    50 7o

    10 LS dan posisi bujur 109o 50 110

    o 35 BT.

    Morfologinya terdiri dari bagian utara dataran, bagian tengah perbukitan, dan

    bagian selatan pegunungan. Kondisi fisik inilah yang menyebabkan kota

    Semarang sangat menarik sekaligus menjadi kelemahan akibat banyaknya

    bencana yang terjadi di daerah ini yaitu longsor lahan dan banjir.

    Secara administratif Kota Semarang terdiri dari 16 kecamatan dan 117

    kelurahan dengan luas keseluruhan mencapai 37.360,974 Ha. Bagian selatan

    berbatasan dengan Kabupaten Semarang, bagian barat berbatasan dengan

  • 25

    Kabupaten Kendal, bagian Timur dengan kabupaten Demak, dan bagian utara

    berbatasan dengan laut Jawa.

    Gambar 3. Peta Administrasi Kota Semarang

    Topografi

    Topografi wilayah Kota Semarang terdiri dari dataran rendah dan dataran

    tinggi. Dibagian Utara yang merupakan pantai dan dataran rendah memiliki

    kemiringan 0-2% sedang ketinggian ruang bervariasi antara 0-3,5 M.Di bagian

    Selatan merupakan daerah perbukitan, dengan kemiringan 2 - 40% dan ketinggian

    antara 90 - 200 M di atas permukaan air laut (DPL).

  • 26

    Gambar 4. Kemiringan Lereng Kota Semarang

    Kondisi Demografi

    Pada akhir tahun 2004 Jumlah penduduk Kota Semarang, mencapai

    1.389.421 jiwa yang terdiri dari 691.275 pria dan 698.146 wanita. Jumlah usia

    produktif cukup besar, mencapai 69.30% dari jumlah penduduk. Ini menunjukkan

    potensi tenaga kerja dan segi kuantitas amat besar, sehingga kebutuhan tenaga

    kerja bagi mereka yang tertarik menanamkan investasinya di sini tidak menjadi

    masalah lagi. Belum lagi penduduk dari daerah hinterlandnya.

    Mata pencaharian penduduk tersebar pada pegawai negeri, sektor industri,

    ABRI, petani, buruh tani, pengusaha; pedagang, angkutan dan selebihnya

    pensiunan. Dari aspek pendidikan dapat kita lihat, bahwa rata-rata anak usia

    sekolah di Kota Semarang dapat melanjutkan hingga batas wajar sembilan tahun,

    bahkan tidak sedikit yang lulus SLTA dan Sarjana. Meskipun masih ada sebagian

    yang tidak mengenyam pendidikan formal, namun demikian dapat dicatat bahwa

    pada tahun 2003 penduduk Kota Semarang telah bebas dan 3 buta (buta aksara,

    buta angka dan buta pengetahuan dasar). Dengan komposisi struktur pendidikan

    demikian ini cukup mendukung perkembangan Kota Semarang, apalagi

    peningkatan kualitas penduduk yang selalu mendapat prioritas utama didalam

    upaya peningkatan kesejahteraan. Tingkat kepadatan penduduk memang belum

  • 27

    merata. Penduduk lebih tersentral di pusat kota. Pertumbuhan penduduk rata-rata

    1,43%/tahun. Ini berarti laju pertumbuhan penduduk dapat ditekan, setidaknya

    terkendali dan kesejahteraan umum segera terealisasi.

    Hidrologi

    Potensi air di Kota Semarang bersumber pada sungai - sungai yang

    mengalir di Kota Semarang antara lain Kali Garang, Kali Pengkol, Kali Kreo, Kali

    Banjirkanal Timur, Kali Babon, Kali Sringin, Kali Kripik, Kali Dungadem dan

    lain sebagainya. Kali Garang yan bermata air di gunung Ungaran, alur sungainya

    memanjang ke arah Utara hingga mencapai Pegandan tepatnya di Tugu Soeharto,

    bertemu dengan aliran kali Kreo dan kaliKripik.

    Kali Garang sebagai sungai utama pembentuk kota bawah yang mengalir

    membelah lembah-lembah Gunung Ungaran mengikuti alur yang berbelok-belok

    dengan aliran yang cukup deras. Setelah diadakan pengukuran debit Kali Garang

    mempunyai debit 53,0 % dari debit total dan kali Kreo 34,7 % selanjutnya kali

    Kripik 12,3 %. Oleh karena kali Garang memberikan airnya yang cukup dominan

    bagi kota Semarang, maka langkah-langkah untuk menjaga kelestariannya juga

    terus dilakukan. Karena kali Garang digunakan untuk memenuhi kebutuhan air

    minum warga kota Semarang.

    4.2 Kawasan Banjir Kota Semarang dan Faktor Penyebabnya

    Banjir yang terjadi di Kota Semarang terdiri atas banjir lokal, banjir

    kiriman, dan banjir pasang surut. Banjir lokal merupakan banjir yang terjadi pada

    lokasi tertentu saja. Di Kota Semarang banjir lokal sering melanda daerah pusat

    kota atau di sekitar simpang lima. Penyebab terjadinya banjir lokal ini antara lain

    karena faktor morfologi dan kondisi saluran. Seperti misalnya di kawasan

    simpang lima, secara geomorfologis merupakan cekungan aluvial, sehingga pada

    tahun 1960 an kawasan ini masih berupa rawa. Namun, saat ini kawasan tersebut

    digunakan sebagai pusat kegiatan bisnis, sehingga oleh pemerintah dilakukan

    penataan dengan cara mengurug/meninggikan dan digunakan sebagai lapangan

    umum. Peninggian ini berakibat banjir yang semula terakumulasi menjadi

    menyebar hingga ke Pleburan, Singosari, Brumbungan dan tempat-tempat rendah

    di sekitar simpang lima. Tempat-tempat lain yang secara morfologis merupakan

  • 28

    daerah cekungan dan menjadi akumuluasi banjir, tetapi digunakan untuk

    permukiman maupun aktifitas lainnya adalah perumahan Sampangan, perumahan

    Tlogosari.

    Banjir kiriman merupakan banjir yang airnya berasal dari sungai bagian

    hulu. Sungai yang seringkali meluap antara lain Kali Plumbon, Kali Bringin, Kali

    Silandak, Kali Garang, dan Banjir Kanal Timur. Sebenarnya di kota Semarang

    sudah ada saluran sabuk (interception drain) berupa kanal yang berfungsi

    menampung air yang berasal dari daerah atas kota Semarang, yaitu Banjir Kanal

    Timur dan Banjir Kanal Barat. Kemampuan kapasitas saluran mengalami

    penurunan, sehingga air meluap dan membanjiri daerah disekitarnya.

    Banjir pasang air laut atau dikenal sebagai ROB merupakan banjir yang

    disebabkan oleh pasang surut air laut, umumnya terjadi pada daerah dekat pantai.

    Daerah yang terkena banjir rob umumnya mempunyai elevasi permukaan tanah

    antara +1 meter sampai +1,5 meter. Kejadian banjir pasang air laut atau rob terjadi

    hampir setiap hari pada saat air laut pasang dengan kedalaman yang bervariasi.

    Ketiga jenis banjir ini sebenarnya bisa saling terkait pada satu kejadian.

    Pada saat terjadi hujan merata dan sangat deras akan menimbulkan banjir lokal

    dan banjir kiriman. Namun bila bersamaan dengan kejadian pasang air laut maka

    ketiga jenis banjir ini akan datang bersamaan dengan lokasi banjir sangat luas dan

    mengganggu aktivitas penduduk.

    Secara geomorfologis, kota Semarang dikelompokan menjadi 3 (tiga) unit

    geomorfologi, yaitu: 1) Unit Geomorfologi Dataran Aluvial; 2) Unit

    Geomorfologi Perbukitan; 3) Unit Geomorfologi Kaki Volkan.

    Di wilayah Unit geomorfologi Dataran Aluvial dapat dibedakan menjadi

    dua bagian yaitu dataran aluvial pantai dan dataran aluvial sungai. Secara fisik

    bentuklahan dataran aluvial mempunyai kemiringan lereng datar, merupakan hasil

    endapan dengan materialnya aluvium. Material endapan ini belum matang

    sehingga masih mengalami pemadatan yang berakibat pada penurunan muka

    tanah (subsidensi). Penurunan muka tanah ini diperparah dengan adanya aktivitas

    pengambilan air tanah yang berlebih oleh mesyarakat setempat, serta munculnya

    bangunan-bangunan bertingkat, sehingga menambah terjadinya subsidensi

    tersebut. Dari peta Subsidensi Kota Semarang yang diterbitkan oleh Departemen

  • 29

    Energi dan Sumberdaya Mineral tersebut diketahui bahwa kedalaman amblesan

    yang paling parah berada di daerah pantai, kemudian semakin jauh dari garis

    pantai semakin sedikit amblesannya. Sebaran daerah yang mengalami subsidensi

    dapat dilihat pada peta berikut ini.

    Gambar 5. Kawasan Amblesan di Kota Semarang

    Penurunan muka tanah diidentifikasi sebagai faktor penyebab meluasnya

    kawasan genangan di kota Semarang. Dari peta tersebut di atas, lokasi penurunan

    muka tanah menunjukan perbedaan, untuk daerah aluvial pantai (bagian utara)

    mempunyai angka penurunan yang lebih besar dibandingkan dengan perbukitan

    (bagian selatan). Penurunan muka tanah di daerah pantai Utara Semarang yang

    semakin meningkat ini menyebabkan air laut semakin terdorong ke arah daratan

    melalui Kali Semarang, Kali Baru, dan Kali Banger.

    Kawasan pantai (jalan Arteri dan Pelabuhan) mengalami penurunan lebih

    besar. Penurunan muka tanah ini banyak terjadi pada areal permukiman, PLTU,

    dan tempat rekreasi, yang dulunya merupakan daerah bekas rawa dan tambak.

    Tanah-tanah di daerah bekas rawa dan tambak merupakan tanah yang berongga

    atau bukan merupakan tanah yang padat. Bila pada tanah yang berongga ini

    dijadikan sebagai areal permukiman, industri, dan lainnya mengakibatkan

    terjadinya tekanan antar butir tanah, relokasi partikel tanah, dan keluarnya air atau

  • 30

    udara dari dalam tanah. Penambahan muatan di atas tanah ini mengakibatkan

    material tanah cepat terkompres atau memadat atau memampat. Secara

    keseluruhan, pemampatan tanah pada areal yang luas menyebabkan terjadinya

    penurunan muika tanah atau subsidensi.

    Kondisi saluran air atau drainase lokal sangat berperan untuk kelancaran

    air. Dari pengamatan lapangan diketahui bahwa kondisi drainase lokal yang ada di

    daerah penelitian sangat jelek. Saluran drainase di sini mengalami pendangkalan,

    yang berakibat tidak dapat menampung aliran air hujan secara maksimal.

    Sebagian besar sistem drainase di beberapa kelurahan antara lain kelurahan

    Bandarharjo, Kemijen, Panggung Lor tidak berfungsi dengan baik, sehingga

    mengjambat aliran air.

    Banjir yang terjadi di kota Semarang sudah terjadi sejak dahulu, sehingga

    menjadi rutinis pada setiap musim hujan. Bahkan banjir Rob saat ini sudah terjadi

    setiap hari terutama dimulai jam 15.00 dan mulai menyusut mulai jam 17.00. Dari

    peta banjir yang dibuat oleh Pemerintah Kota Semarang (2008) diketahui bahwa

    sebaran banjir di kota Semarang banyak tersebar di Semarang Utara, Semarang

    Timur, dan Genuk. Wilayah genangan di Semarang Utara meliputi kelurahan

    Tanjung Mas, Panggung Kidul, Dadapsari, Kuningan, Plombokan, dan Purwosari.

    Genangan di wilayah Semarang Timur meliputi kelurahan Kemijen, Bugangan,

    Karangtempel, Karangturi, Kebonagung, Mlatibaru, Mlatiharjo, Rejomulyo,

    Rejosari dan Sarirejo. Genangan di wilayah Genuk meliputi kelurahan Bangetayu

    Kulon, Bangetayu Wetan, Banjardowo, Gebangsari, Genuksari, Karangroto,

    Muktiharjo Lor, Penggaron Lor, Sambungharjo, Terboyo Kulon, Terboyo Wetan,

    dan Trimulyo.

    Berdasarkan data Pemkot Semarang (2008) luas wilayah yang rawan

    genangan banjir lokal maupun kiriman seluas 8.773 hektar dan daerah yang

    rawan terkena Rob seluas 3.400 hektar. Sedangkan jumlah penduduk yang rawan

    terkena bencana banjir ini diperkirakan sebanyak 120.000 orang. Sebaran spasial

    banjir di wilayah kota Semarang dapat di lihat berikut ini

  • 31

    Gambar 6. Peta Sebaran Banjir Kota Semarang

    4.3 Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Tanggap Diri Masyarakat Kota

    Semarang terhadap Bencana Banjir

    Pengetahuan

    Pengetahuan masyarakat (sampel) tentang tanggap diri terhadap bencana

    banjir dengan indikator macam bencana banjir di Kota Semarang, dampak bahaya

    bencana banjir, perencanaan pengendalian bencana banjir yang dilakukan oleh

    Pemerintah Kota Semarang, perbuatan atau perilaku yang dapat mengakibatkan

    bencana banjir, upaya-upaya yang harus dilakukan dalam penanggulangan

    bencana banjir berada dalam posisi atau kategori baik (skor nilai 5.586; skor

    terendah 0, tertinggi 7.200). Hal ini mengisyaratkan bahwa macam banjir yang

    sering terjadi di KotaSemarang seperti banjir karena hujan lebat, banjir karena air

    rob, dan banjir karena saluran tersumbat telah diketahui oleh masyarakat.

    Demikian juga dampak bahaya banjir seperti terganggunya transportasi, rusaknya

    sarana dan prasaran jalan, kekumuhan wilayah sudah diketahui oleh masyarakat.

    Perencanaan yang harus dilakukan oleh masyarakat juga telah diketahui dengan

    baik oleh masyarakat. Selain itu, perbuatan yang mengakibatkan bencana banjir

    seperti membuang sampah pada sembaranagn tempat, menebang pohon,

    Daerah

    Ban

    jir

  • 32

    menempati tempat yang mengakibatkan bencana seperti pada daerah aliran

    sungai, mendirikan bangunan pada tempat yang riskan bencana, dan membakar

    semak atau atau tanaman sudah diketahui dengan baik. Dengan demikian, dari

    aspek pengetahuan masyarakat sudah mengeataui. Namun, di lapangan masih

    terdapat perilaku yang tidak sesuai dengan pengetahuan yang mereka miliki,

    seperti masih terlihat ada masyarakat yang membuang sampah di sungai atau di

    saluran. Masih terdapat masyarakat yang menggali pasir di sungai, membakar

    hutan lindung dan menebang pohon penahan erosi air. Demikian juga masih

    terdapat masyarakat menempati daerah aliran sungai, membuat bangunan ditepi

    sungai dan sebagainya.

    Secara rinci pengetahuan tanggap diri masyarakat per-kelurahan terhadap

    bencana tersebut adalah sebagai berikut.

    Tabel 1. Pengetahuan Tanggap Diri Masyarakat terhadap Bencana Banjir dari

    Sembilan Kelurahan di Kota Semarang

    Kelurahan N Skor Pengetahuan Kategori

    Telogosari Wetan 20 728 baik

    Melatiharjo 20 672 baik

    Terboyo Kulon 20 630 baik

    Bamget Ayu Kulon 20 464 baik

    Sadeng 20 596 baik

    Gayam Sari 20 644 baik

    Kuningan 20 610 baik

    Kalipancur 20 638 baik

    Muktiharjo Lor 20 604 baik

    Jumlah 180 5.586 baik

    Sikap

    Sikap tanggap diri masyarakat terhadap bencana banjir yang mencakupi indikator

    sikap andil terhadap bencana banjir, sikap penyebab bencana banjir, sikap

    terhadap pengaruh bencana banjir, sikap terhadap upaya penanggulangan

    bencana banjir, sikap terhadap langkah penanganan bencana banjir, sikap

    terhadap perlunya tidak melakukan hal-hal yang menyebabkan bencana banjir,

    sikap terhadap peduli lingkungan sekitar dalam kategori baik (skor 20.447; skor

    terendah 414, tertinggi 20.700). Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya bahwa

    pengeprasan bukit dan reklamasi dataran rendah, membuang sampah yang tidak

    pada tempatnya, membangun/mengembangkan rumah tanpa memberikan

    kompensasi fungsi lahan, meninggikan lantai rumah tanpa memperhatikan

    kondisi sekitarnya, mengambil air tanah berlebihan, mengabaikan perawatan

  • 33

    drainase lingkungan, membuat bangunan di atas saluran drainase, sungai, adalah

    perbuatan yang akan mengakibatkan bencana banjir disikapi dengan sangat

    setuju. Demikian juga, bahwa bencana (banjir, tanah longsor, gunung meletus,

    gempa bumi kekeringan, dsb) adalah rangkaian peristiwa yang yang disikapi

    sebagai bencana yang disebabkan oleh alam, manusia dan atau keduanya

    sehingga mengakibatkan korban dan penderitaan manusia.

    Banjir, terkait dan berpengaruh langsung terhadap kehidupan masyarakat, disikapi

    dengan sangat setuju. Upaya untuk mengatasinya merupakan upaya bersama

    antara Pemerintah (Kota Semarang) dan Masyarakat (Kota Semarang) juga

    disadari oleh para responden. Kegiatan yang dapat dilakukan untuk

    menanggulangi permasalahan banjir antara lain adalah dengan penghijauan

    kawasan perbukitan bagian atas, langkah penanganan mengurangi bencana

    banjir antara lain adalah adanya persiapan sistem komunikasi dan peringatan

    dini, penanggulangan pada masa banjir adalah dengan kesiapan bahan dan

    peralatan untuk bencana banjir, kesiapan petugas dan masyarakat dalam

    menghadapi dan menanggulangi bencana Kegiatan pengendalian banjir dapat

    dilakukan dengan beberapa cara antara lain pembuatan sumur resapan yang

    dilakukan secara swadaya oleh anggota masyarakat, membuang sampah ke

    sungai dan saluran air dapat menyebabkan banjir, mengurug atau meninggikan

    rumah tanpa mempertimbangkan lingkungan (rumah tetangga) akan

    mengakibatkan banjir dan rob, drainase yang kurang baik dapat mengakibatkan

    banjir dan rob, mengambil, mendirikan bangunan (rumah, warung, toko) di

    tanggul atau sempadan sungai membahayakan keselamatan jiwa serta harta

    benda material (pasir, kerikil, batu) dari dalam sungai membuat rusak dasar

    sungai, terbatasnya kemampuan pemerintah dalam membangun sarana dan

    prasarana penanggulangan banjir, perlu adanya upaya mengoptimalkan

    pemberdayaan masyarakat dalam menumbuhkan perilaku tanggap diri terhadap

    bencana banjir, membuat sumur resapan di halaman rumah dapat mengurangi

    aliran permukaan (air hujan) adalah hal-hal yang disikapi dengan sadar dan

    sangat setuju.

    Demikian juga sikap, jika pemilik pabrik tidak membuang limbah ke sungai, jika

    pada setiap rumah dimohon membangun sumur resapan, sikap jika semua warga

    secara rutin membersihkan saluran drainase, sikap jika semua warga (hulu,

    tengah, hilir) tidak membuang sampah ke sungai dan saluran air, sikap jika

    semua warga hulu sungai tidak merubah tata guna lahan yang sudah ditetapkan

    oleh pemerintah, sikap jika semua warga tidak memanfaatkan bantaran sungai

    untuk pertanian, rumah, atau toko adalah perbuatan yang terpuji dan sangat

    disetujui oleh para responden.

    Begitu pula, para responden bersikap tidak akan mengolah tanah

    (pertanian) di bantaran sungai meskipun saya sedang menganggur, tidak akan

    menebang pohon/bambu dipinggir sungai meskipun sangat membutuhkan, tidak

    akan membuang sampah ke saluran drainase atau sungai meskipun tempat

    pembuangan sampah itu jauh. Secara rinci sikap masyarakat tersebut adalah

    sebagai berikut.

  • 34

    Tabel 2. Sikap Tanggap Diri Masyarakat terhadap Bencana Banjir dari Sembilan

    Kelurahan di Kota Semarang

    Kelurahan N Skor Sikap Kategori

    Telogosari Wetan 20 2348 baik

    Melatiharjo 20 2395 baik

    Terboyo Kulon 20 2233 baik

    Bamget Ayu Kulon 20 2264 baik

    Sadeng 20 2191 baik

    Gayam Sari 20 2172 baik

    Kuningan 20 2750 baik

    Kalipancur 20 2197 baik

    Muktiharjo Lor 20 1897 baik

    Jumlah 180 20.447 baik

    Perilaku Tanggap Diri Masyarakat Kota Semarang Terhadap Banjir

    Masyarakat memerlukan akses informasi yang baik untuk mensikapi

    kondisi lingkungan sekitarnya Berdasarkan data yang dikumpulkan mayoritas

    masyarakat pernah mendapat informasi mengenai upaya pengendalian banjir yang

    dilakukan Pemerintah Kota Semarang, terutama dari Koran dan TV. Sumber

    informasi lain berasal dari pamplet, kantor kelurahan, kantor kecamatan, poster,

    pos kamling, di sekitar pasar Johar, majalah bulanan terbitan pemkot, dari teman,

    penyuluhan langsung, dari orang-orang, dari pertemuan PKK, dan di buku

    pelajaran anak. Namun demikian, hanya sedikit masyarakat yang pernah

    mendapat penyuluhan pelatihan, atau pendidikan mengenai pengendalian banjir

    dari pemerintah yang berupa penghijauan, sumur resapan, sumur penampungan,

    dan perbaikan sungai. Kurang dari 20% responden yang tingggal di daerah

    Kelurahan Bangetayu Wetan dan Sawah Besar yang menjadi salah satu pusat

    banjir yang pernah mendapat penyuluhan tersebut, baik dalam bentuk selebaran

    atau brosur. Ada beberapa responden menyatakan pernah ada kegiatan yang

    dilakukan oleh instansi terkait mengajak masyarakat berpartisipasi aktif

    membersihkan saluran air dan kebersihan lingkungan.

    Pemberian bantuan stimulasi dalam rangka pengendalian banjir belum

    maksimal dinikmati masyarakat, terbukti sebagian besar responden menyatakan

    belum pernah menerima bantuan tersebut. Sebagian kecil responden menyatakan

    pernah, tapi dalam bentuk perbaikan tanggul dan perbaikan jalan.

  • 35

    Terhadap kondisi banjir yang sering dialami warga, sebagian responden

    menyatakan pernah melaksanakan pertemuan membahas tentang banjir di RT atau

    di RW masing-masing. Waktunya bervariasi, ada yang menyatakan di setiap

    pertemuan warga, 3 bulan sekali, diawal musim penghujan, dan ketika akan

    dilaksanakan kerja bakti. Responden yang tinggal di Kelurahan Muktiharjo Lor

    menyatakan biasanya setelah terjadi banjir, masyarakat selalu membicarakan

    masalah banjir dalam pertemuan tertentu, biasanya juga dibicarakan masalah

    kebersihan lingkungan, cara mengatasi masalah banjir, dan memperbaiki saluran

    air. Responden yang tinggal di Kelurahan Sadeng menyatakan bahwa setiap

    minggu ke-2 selalu dilaksanakan pertemuan warga, materinya bermacam-macam,

    diantaranya masalah banjir, kebersihan lingkungan, dan masalah social lain.

    Kontribusi yang diberikan masyarakat dalam menghadapi banjir yang

    setiap saat terjadi berdasarkan pernyataan responden bentuknya bervariasi,

    diantaranya berupa jimpitan, iuran tiap minggu Rp.1000, kerja bakti, gotong

    royong dan kegiatan lain yang diikuti oleh warga masyarakat. Namun demikian

    beberapa responden menyatakan masih ada masyarakat yang tidak berpartisipasi.

    Masyarakat Kelurahan Muktiharjo Lor menggunakan kentongan sebagai

    sistem peringatan dini penanda datangnya banjir. Hal tersebut juga diakui oleh

    beberapa responden yang tinggal di Kelurahan Tlosari Wetan, Kaligawe, dan

    Bangetayu Kulon. Sistem lain yang digunakan berdasarkan data yang diperoleh

    adalah menggunakan pengeras suara dari masjid atau musholla dan berteriak dari

    mulut kemulut. Namun demikian, sebagian besar responden menyatakan tidak ada

    peringatan dini yang berkaitan dengan datangnya banjir.

    Simulasi kesiap-siagaan masyarakat menghadapi bencana banjir

    berdasarkan pernyataan responden tidak pernah ada. Sebagian responden

    menyatakan sudah terbiasa dengan kejadian banjir yang selalu menimpa wilayah

    mereka. Tempat pengungsian yang digunakan jika banjir datang menurut

    pernyataan sebagian besar responden juga tidak ada. Ada sebagian kecil

    responden yang menyatakan jika banjir datang biasanya menjadikan sekolah,

    masjid, dan rumah tetangga yang lebih tinggi sebagai tempat mengungsi.

    Menurut masyarakat, banjir dianggap sebagai kehendak alam sehingga

    masyarakat pasrah, menerima kejadian tersebut tanpa menyalahkan siapapun

  • 36

    meskipun sebagian responden juga mengakui menggerutu dan jengkel karena

    banjir mengganggu aktifitas mereka. Ada juga responden yang menyalahkan

    pemkot karena tidak segera memperbaiki fasilitas yang ada, dan menganggap

    reklamasi pantai menyebabkan banjir. Sebagian responden yang tinggal di

    Kelurahan Tlogosari Wetan menggap jika terjadi banjir maka masyarakat sendiri

    yang harus bertanggungjawab.

    Tanggapan masyarakat jika banjir datang bervariasi. Sebagian

    menyatakan akan mengungsi ketempat yang lebih aman, menyelamatkan keluarga

    dan harta benda yang berharga, ada juga yang siap siaga dengan membuat tanggul

    buatan di sekitar rumah, dan sebagian responde menyatakan pasrah saja karena

    sudah terbiasa sambil berharap ada bantuan.

    Sebagian responden menyatakan tidak pernah menyampaikan usulan

    sesuatu yang berkaitan dengan bencana banjir dalam hal aliran sungai, saluran

    drainase, penggunaan lahan, penghijauan, dan perilaku tangap diri masyarakat.

    Namun demikian, ada sebagian kecil responden yang mengusulkan kepada

    pemerintah agar melaksanakan penghijauan, peninggian saluran, pembersihan

    sampah di sungai, dan pembuatan tanggul. Ada juga responden dari Kelurahan

    Kaligawe yang menyampaikan usul melalui kantor kelurahan tetapi tidak

    mendapatkan tanggapan.

    Seluruh responden setuju bahwa banjir merupakan masalah bersama dan

    Pemerintah Kota Semarang telah banyak melakukan pembangunan fisik untuk

    menanggulangi banjir tersebut. Secara umum masyarakat mengusulkan agar

    menjaga kebersihan lingkungan, membuang sampah pada tempatnya,

    membersihkan sampah sungai, menjaga kebersihan, meninggikan jalan, dan

    meningkatkan kesadaran masyarakat tentang banjir sebagai bentuk pemberdayaan

    masyarakat menuju perilaku tanggap diri dalam menghadapi banjir, sehingga

    masyarakat bias mandiri, berdaya, dan tidak tergantung kepada bantuan pihak

    luar.

    Seluruh responden menyatakan pemerintah perlu menyusun dan

    menerbitkan buku tentang pemberdayaan masyarakat menuju perilaku tanggap

    diri pada daerah rawan banjir. Tujuannya agar masyarakat lebih mengetahui

    bagaimana cara mengantisipasi jika bencana banjir datang. Buku tersebut minimal

  • 37

    diberikan kepada tiap RT, dan kalau perlu masyarakat gratis mendapatkannya.

    Siapapun penerbitnya masyarakat tidak mempermasalahkan.

    4.4 Upaya Masyarakat dan Pemerintah Memberdayakan Masyarakat Kota

    Semarang Berperilaku Tanggap Diri terhadap Bencana Banjir

    Beberapa upaya penanggulangan banjir telah dilakukan baik oleh

    Masyarakat maupun oleh Pemerintah secara mandiri maupun secara bersama-

    sama. Gambaran yang telah dilakukan oleh masyarakat maupun pemerintah dapat

    dijelaskan sebagai berikut.

    Upaya Masyarakat

    Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pada umumnya masyarakat

    yang terkena banjir menyatakan pasrah, sedangkan upaya mengurangi dampak

    banjir dilakukan dengan meninggikan lantai rumah sampai batas aman.

    Peninggian ini dilakukan terus menerus hampir setiap tahun sementara atap dan

    plafon rumah tidak ditinggikan sehingga jarak antara lantai dengan atap semakin

    pendek.

    Upaya lain yang dilakukan masyarakat untuk mengatasi banjir adalah

    dengan mengaktifkan sistem pintu air, pompanisasi, peninggian jalan, dan

    melakukan kerja bakti secara rutin. Seperti yang dilakukan warga di kawasan

    perumahan TanahMas dan kawasan Perumahan Puri Anjasmoro, Perumahan

    Marina. Masyarakat di daerah tersebut secara bergotong royong (dengan iuran

    bulanan) memelihara, dan membiayai pelaksanaan pompanisasi.

    Upaya Pemerintah

    Upaya yang dilakukan Pemkot Semarang untuk mengatasi dampak banjir

    sudah banyak dilakukan baik upaya yang bersifat struktur, maupun non struktur.

    Upaya yang bersifat struktur misalnya dengan membangun tanggul, sistem pintu

    air, normalisasi saluran air, membuat embung, waduk, polder dan sumur-sumur

    resapan. Sedangkan upaya yang bersifat non struktur misalnya dengan

  • 38

    memperbaiki sistem pengelolaan DAS, mengembangkan sistem peringatan dini,

    pengendalian pengambilan air tanah dan penegakan hukum.

    Sistem pembuatan pintu air terutama diterapkan pada daerah yang

    terletak di antara Kali Semarang dengan Kali Asin yaitu dengan menutup semua

    outlet saluran-saluran drainase yang masuk ke Kali Semarang dan Kali Asin.

    Sewaktu terjadi pasang maka pintu air akan ditutup sehingga air laut tidak masuk

    ke Kali Semarang dan Kali Asin. Untuk menutup outlet saluran drainase tersebut

    digunakan pintu geser untuk outlet yang besar dan pipa pralon untuk menutup

    outlet yang kecil.

    Selain pintu air yang sudah ada, pemerintahpun sedang berencana

    membangun pompa air di beberapa outlet sungai. Biaya yang digunakan berasal

    dari Pemkot, bantuan Pemerintah Pusat dan Bantuan Luar Negeri. Rencana ini

    sudah matang dan disetujui oleh pemerintah pusat, sedangkan pelaksanaannya

    dimulai tahun 2009 hingga tahun 2010.

    Gambar Citra di bawah ini secara berturut-turut menunjukan lokasi

    rencana pembanguna lokasi pompa, dan suasan muara Kali Semarang, Kali Asin,

    dan Kali Banger.

    Gambar 6. Kondisi Muara Kali Semarang dan Kali Asin

  • 39

    Gambar 8. Kondisi Muara Kali Banger

    Selain rencana pembuatan pompanisasi, Pemkot juga sedang membenahi

    sistem drainase kota. Upaya ini dilakukan karena banjir lokasi seringkali berasal

    daribat kurang berfungsinya saluran setempat. Untuk itu maka Pemkot sudah

    membagi-bagi sistem drainase kota menjadi 3 sistem yaitu sistem drainase

    Semarang Barat, sistem drainase Semarang Tengah dan sistem drainase semarang

    Timur. Untuk jelasnya pembagian sistem drainase kota Semarang dapat dilihat

    pada gambar berikut.

  • 40

    Gambar 9. Sistem Drainase Kota Semarang

    Upaya lainnya dari pemerintah untuk mengatasi banjir kota Semarang

    adalah dengan rencana membangun waduk Jatibarang, dan Kegungsuren. Di

    samping itu juga pembuatan embung penampung air yang harus dibuat oleh

    pengembang/developer, misalnya pada pembangunan waduk di Kawasan Bukit

    Semarang Baru, Kawasan UNDIP, Kawasan Bukit Kencana Jaya)

    4.5 Model-Model Pemberdayaan Masyarakat Kota Semarang Berperilaku

    Tanggap Diri terhadap Bencana Banjir

    Dalam upaya pembangunan sosial, baik langsung maupun tidak langsung

    harus disadari bahwa pembangunan sosial tidaklah semata-mata harus dengan

    melibatkan aspek pembangunan fisik/infrastruktur. Meskipun demikian dalam

    pembangunan fisik/infrastruktur dalam upaya peningkatan kualitas hidup

    masyarakat dengan penyediaan prasarana dasar masyarakat dalam menuju hidup

    sehat, sejahtera tidaklah akan berarti sama sekali tanpa adanya pembangunan

    penyadaran terhadap masyarakat. Untuk mencapai pembangunan yang bersinergi

  • 41

    antara pembangunan sosial dan pembangunan fisik/infratsruktur maka diperlukan

    adanya intervensi.

    Intervensi yang dilakukan dalam kaitannya dengan pembangunan sosial

    adalah intervensi yang diarahkan menuju penyadaran munculnya perubahan

    perilaku dan sikap dalam masyarakat yang meliputi aspek pengetahuan

    (knowledge), keyakinan (belief), sikap (attitude) dan niat individu (intention).

    Dengan keterbatasan yang ada pada Pemerintah terutama yang

    menyangkut dana untuk pembangunan prasarana dan sarana fisik pengendali

    banjir, maka peran serta swasta dan masyarakat harus lebih ditingkatkan. Agar

    banjir tidak menimbulkan masalah yang besar pada masyarakat, dan juga agar

    masyarakat mengetahui dan menyadari adanya berbagai penyebab terjadinya

    masalah yang datangnya sebagian besar dari masyarakat sendiri, serta menyadari

    atas segala keterbatasan yang ada pada setiap uapaya mengatasi masalah banjir,

    maka masyarakat perlu diberi pengertian yang benar. Dengan mengetahui

    permasalahan secara benar diharapkan masyarakat dapat berpatisipasi aktif untuk

    ikut mengatasi dan menhindarkan timbulnya masalah.

    Upaya menyadarkan dan menjadikan masyarakat mengerti dan mau

    berpatisipasi dalam rangka mengatasi masalah banjir masih perlu ditingkatkan

    lewat penyuluhan dengan menggunakan media massa berupa pers, televisi, radio

    maupun dari rumah kerumah oleh petugas RT dan pemuka masyarakat agar

    mencintai sungai. Dengan mencintai sungai maka masyarakat tidak akan merusak

    sarana yang telah dibangun, mempersempit alur sungai dengan membangun

    bangunan liar, mengotori sungai dengan membuang sampah dan limbah padat dan

    cair, memanfaatkan sungai tanpa ijin dan sebagainya.

    Kesadaran masyarakat terhadap peraturan yang telah ada baik berupa

    undang-undang, perturan pemerintah dan peraturan daerah yang terkait dengan

    masalah ini perlu ditingkatakan lewat penyuluhan huku, yang diawali dengan

    penyuluhan kepada seluruh aparat terkait di daerah. Masalah lain yang juga perlu

    mendapat perhatian adalah menyangkut pengawasan dan pemberian sanksi.

    Seluruh kegiatan yang dilaksanakan oleh masyarakat di DAS baik di hulu,

    tengah dan hilir harus diupayakan agar bersahabat dengan lingkungan, sehingga

    tidak menimbulkan perubahan watak banjir yang merugikan, erosi, dan

  • 42

    pencemaran lingkungan. Upaya yang dapat dilakukan antara lain dengan

    membangun sumur resapan, jalan lingkungan dengan conblok, membangun

    kolam-kolam/waduk penampungan air hujan, kolam retensi banjir, dsb.

    4.5.1 Model Pendekatan Pemberdayaan Partisipatif

    Pendekatan partisipatif dalam pemberdayaan masyarakat antara lain:

    Pendekatan partisipatif proses, dibagi 4 garis besar:

    1) Pendekatan partisipatif yang memberikan kepercayaan kepada msyarakat

    bahwa masyarakat dan lingkungannya mempunyai potensi yang dapat

    ditumbuh kembangkan, kesempatan menggunakan waktu, belajar, berbuat,

    bertanggungjawab dan berkontribusi serta keleluasaan untuk menggunakan

    kepercayaan dan kesempatan yang ada untuk berpartisipasi dan berperan aktif

    dari semenjak menemukan, menentukan kebutuhan, perencanaan,

    pelaksanaan, evaluasi sampai dengan tindak lanjut yang berkelanjutan dan

    berkesinambungan serta terus menerus sampai masyarakat mandiri.

    2) Model yang memberikan kepercayaan, kesempatan dan peluang kepada

    masyarakat dari sejak perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan tindak lanjut.

    Dalam model ini masyarakat tidak diikut sertakan dalam menemukan dan

    menentukan kebutuhan.

    3) Model yang memberikan kepercayaan, kesempatan dan peluang hanya sejak

    pelaksanaan, evaluasi sampai tindak lanjut saja. Dalam model ini penentuan

    kebutuhan dan perencanaannya dilaksanakan oleh pihak penggerak.

    4) Model yang kepada masyarakat diberikan kepercayaan, kesempatan dan

    keleluasaan pada tahap pelaksanaan dan tidak lanjut saja. Dalam model ini

    penentuan kebutuhan perencanaan dan evaluasinya menjadi wewenang dan

    tugas penggerak.

    Pendekatan Partisipatif Hasil.

    Pada pendekatan ini masyarakat hanya dilibatkan dalam tahap pelaksanaan

    sampai dengan hasil saja. Masyarakat mau dan aktif berpartisipasi kalau hasilnya

    sesuai dengan kebutuhan yang diharapkan atau hasilnya dapat memberikan

    manfaat bagi kehidupannya. Sebaliknya apabila hasilnya tidak sesuai dengan

  • 43

    yang diharapkan, masyarakat enggan bertanggungjawab dalam pemeliharaan dan

    tindaklanjutnya.

    Gambar 10. Model Pemberdayaan Tanggap Diri Masyarakat terhadap

    bencana Banjir Berbasis Pendekatan Partisipatif

    Pendekatan Partisipatif Top Down

    Dalam pendekatan ini kepada masyarakat tidak diikutsertakan dalam

    proses pemberdayaan. Masyarakat langsung hanya menerima hasilnya saja. Ini

    merupakan salah satu kemungkinan penyebab masyarakat tidak/kurang

    bertanggung jawab baik dalam penggunaan maupun dalam pemeliharaannya.

    PELAKSANA

    AN

    EVALUASI TINDAK

    LANJUT

    PROSES HASIL

    MODEL

    PEMBERDAYA

    AN

    PARTISIPATI

    F

    KEBUT

    UHAN

    PEREN

    CANAA

    N

    PELAKS

    ANAAN

    EVALUA

    SI

    TINDAK

    LANJUT

    PELAKS

    ANAAN

    TINDAK

    LANJUT

    PERENCA

    NAAN

    PELAKSA

    NAAN

    EVALUASI TINDAK

    LANJUT

    PELAKSA

    NAAN

    HASIL

  • 44

    Sifat

    Pemberdayaan masyarakat pada dasarnya ditujukan kepada warga

    masyarakat dan lembaganya dan dilakukan melalui kegiatan-kegiatan atau

    program-program yang bersifat:

    a. Edukatif (Pendidikan, Pembelajaran)

    Program pemberdayaan harus dapat merangsang dan menciptakan proses

    pembelajaran di dalam dan antar masyarakat atau antar lembaga

    masyarakat.

    b. Stimulatif (Perangsangan)

    Pemberdayaan masyarakat melibatkan kegiatan/program rangsangan

    (stimulan) yang dapat berasal dari dalam masyarakat atau dari luar

    masyarakat.

    c. Komunikatif

    Program pemberdayaan masyarakat menciptakan kesepahaman diantara

    seluruh warga masyarakat dan antar lembaganya yang pada gilirannya

    membuat transparansi, saling membantu.

    d. Partisipatif (Peranserta)

    Ketiga sifat tersebut diatas bermuara pada partisipasi masyarakat. Artinya

    partisipasi akan muncul dari masyarakat jika ketiga sifat tersebut ada

    didalam masyarakat.

    Faktor Penghambat dan Pendorong Percepatan Pemberdayaan Masyarakat

    Edukatif

    Stimulatif

    Komunikatif

    PARTISIPATIF

    Warga

    Masyarakat

    Lembaga

    Masyarakat

    Berdaya

  • 45

    Pemberdayaan masyarakat pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk

    mengadakan suatu perubahan dalam masyarakat.Upaya perubahan dalam sauatu

    masyarakat pada umumnya tidak dapat berjalan dengan cepat dan mulus, karena

    perubahan tersebut termasuk perubahan sikap dan pola-pola yang sudah mapan

    dan membudaya. Oleh karena itu tidak jarang kalau masyarakat seringkali

    menunjukkan sikap menentang perubahan.Sikap-sikap manakah yang bersifat

    menghambat dan harus dirubah untuk kepentingan pembangunan. Sikap-sikap

    tersebut antara lain:

    a) Cara berfikir irasional harus dirubah menjadi cara berfikir yang rasional.

    Orang yang berfikir rasional tidak mau melihat atau menggunakan metode

    atau cara-cara, alat-alat yang cocok untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

    b) Cara berfikir tidak kritis harus dirubah menjadi cara berfikir kritis. Orang

    yang berfikir kritis menuntut adanya pengawasan melalui suatu manajemen

    yang terbuka, mempertimbangkan secara mendalam semua yang pro dan

    kontra dari suatu rencana