BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/86774/potongan/S2...2 BAB...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/86774/potongan/S2...2 BAB...
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Bahasa adalah komponen terpenting dalam komunikasi manusia. Dengan
bahasa, manusia bisa saling mentransfer serta menginterpretasikan pemikirannya
dengan sesamanya. Menurut Oka (1994:1), manusia sebagai makhluk sosial selalu
membutuhkan bahasa sebagai salah satu alat primer dalam pembentukan
masyarakat. Hal itu dapat berarti bahwa bahasa memiliki hubungan yang erat
dengan kebudayan. Ini sesuai dengan pengertian bahasa yang disampaikan oleh
Silzer (dalam Chaer dan Leonie, 2010: 168) bahwa bahasa dan kebudayaan
merupakan dua buah fenomena yang terikat bagai dua anak kembar siam, atau
sekeping mata uang, yang pada satu sisi berupa sistem bahasa dan pada sistem
yang lain adalah sistem budaya, sehingga apa yang tampak dalam budaya akan
tercermin dalam bahasa, begitupula sebaliknya.
Di samping itu, melalui bahasa, manusia dapat mengidentifikasi segala
sesuatu yang ada di lingkungannya. Ia dapat menandai segala yang ada di
sekitarnya menggunakan leksikon atau kata-kata. Leksikon ini sangat berguna
untuk menandai segala sesuatu yang dikenal manusia, baik sesuatu yang konkret,
maupun yang abstrak.
Menurut Kridhalaksana (2011: 142), leksikon diartikan sebagai komponen
bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam
bahasa.
3
Bahasa Indonesia memiliki kekayaan di bidang leksikon. Leksikon-leksikon
tersebut tidak hanya merujuk kepada segala hal yang konkret, akan tetapi ada
kalanya, leksikon digunakan untuk merujuk pada hal-hal yang abstrak, yang tidak
dapat dijangkau dengan pandangan manusia. Salah satu leksikon yang referennya
berwujud abstrak yakni leksikon makhluk halus, khususnya hantu.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat yang ditulis oleh Tim
Penyusun dari Pusat Bahasa (2008: 863), yang selanjutnya akan ditulis dengan
KBBI, makhluk halus diartikan sebagai makhluk yang dianggap hidup di alam
gaib yang berada di luar alam fisik (misalnya: setan, jin). Dikatakan halus, karena
makhluk ini tidak kasat mata, sehingga tidak ada perwujudan konkret dari bentuk
makhluk tersebut.
Selain itu, tidak semua orang dapat melihat wujud makhluk tersebut,
sehingga melalui bahasa, khususnya leksikon tentang makhluk halus, dapat
menandai wujud makhluk halus, sehingga menjadi lebih konkret dan dapat
dibayangkan oleh akal manusia yang tidak dapat melihatnya secara langsung.
Sejak jaman dahulu hingga jaman modern seperti saat ini, kepercayaan
terhadap adanya makhluk halus ataupun hantu, tetap ada dalam masyarakat.
Bahkan di dalam masing-masing kepercayaan (agama), juga disebutkan
keterangan tentang kepercayaan akan adanya makhluk halus ini. Dalam agama
Islam, misalnya, makhluk halus dipercayai benar-benar ada. Mempercayai tentang
adanya makhluk halus atau makhluk gaib termasuk ciri mukmin yang bertakwa
kepada Allah.
4
Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam kitab suci al-Quran, yang
berbunyi: “Al-Quran itu tiada keraguan padanya, menjadi petunjuk bagi mereka
yang bertakwa, yaitu mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan
sembahyang, dan menggunakan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada
mereka” (Q.S. Al-Baqarah: 2-4).
Selain itu, ada beberapa nama dalam masing-masing agama untuk menyebut
jenis-jenis makhluk halus. Dalam Islam, misalnya, dikenal istilah jin, setan, iblis,
malaikat. Sementara itu, Lucifer adalah salah satu nama setan yang dikenal oleh
umat Kristen. Nama lain untuk setan yang ditemukan dalam Perjanjian Baru
adalah Ba’alzabul (Shihab, 2007:132).
Di samping itu, kisah tentang makhluk halus telah menjadi mitos yang
dipercayai masyarakat. Masyarakat kita, utamanya, telah mengenal makhluk halus
secara turun-temurun. Dalam sejarah, diceritakan bahwa nenek moyang kita
seringkali menggunakan bantuan makhluk halus.
Ini terbukti, misalnya, dalam cerita legenda Candi Prambanan yang telah
menjadi cerita turun-temurun di kalangan masyarakat Indonesia. Dalam legenda
ini, dikisahkan bahwa Bandung Bondowoso diminta oleh Roro Jonggrang
menciptakan candi dalam satu malam. Masyarakat percaya, bahwa hal ini hanya
bisa diwujudkan dengan bantuan makhluk halus.
Selain itu, ada juga kisah legendaris tentang sang penguasa laut selatan yang
konon berpakaian serba hijau, Nyi Roro Kidul, yang untuk menghormatinya
dilakukan upacara larung sesaji yaitu melarungkan hasil panen masyarakat ke laut
selatan sebagai luapan rasa syukur dan harapan keselamatan.
5
Sementara itu, hantu (KBBI, 2008: 480) adalah roh jahat (yg dianggap
terdapat di tempat-tempat tertentu). Sama halnya dengan makhluk halus, hantu
juga merupakan makhluk yang tidak kasat mata. Genderuwo, kuntilanak, dan
tuyul adalah contoh leksikon yang menandai jenis hantu. Selain itu, di Bali,
adapula Leak dan Rangda yakni jenis hantu yang dipercayai keberadaannya oleh
masyarakat, dan menjadi cerita yang turun-temurun.
Tidak semua orang dapat melihat wujud hantu, bahkan orang yang
mempercayai keberadaan hantu, belum tentu pernah melihat wujud hantu secara
langsung. Kalaupun ada yang „mengaku‟ dapat melihat perwujudannya, bisa jadi
pengakuan antara pihak yang satu dengan yang lain terdapat perbedaan dan tidak
dapat dibuktikan secara ilmiah. Akan tetapi, merujuk dari keterangan pihak-pihak
yang mengaku dapat menyaksikan wujud hantu atau makhluk halus yang lain
tersebut, kemudian diperoleh gambaran umum yang diwujudkan melalui leksikon-
leksikon, baik yang menerangkan perwujudan hantu, maupun yang pada akhirnya
digunakan untuk menamai jenis hantu tertentu.
Dalam hal ini, bahasa melalui leksikon-leksikon tentang hantu adalah
perantara yang tepat untuk mewujudkan konsep hantu yang semula hanya ada
dalam pikiran, menjadi dapat didespripsikan menjadi lebih konkret. Dengan
adanya leksikon-leksikon tentang hantu tersebut, juga dapat ditarik simpulan
mengenai kognisi masyarakat mengenai hantu, yaitu gambaran apa yang ada
dalam pikiran masyarakat mengenai hantu, sekalipun dalam kenyataannya mereka
belum pernah melihat wujud hantu secara langsung.
6
Istilah-istilah mengenai hantu tidak muncul secara mendadak, akan tetapi
karena kepercayaan masyarakat terhadap makhluk-makhluk tersebut memang
sangat tinggi. Menurut Shihab (2007: 15), jauh sebelum mengenal agama-agama
besar, bahkan sejak masa awal sejarah kemanusiaan, kepercayaan tentang
makhluk halus telah ada. Dalam kepercayaan mereka, makhluk itu bermacam-
macam, ada yang tidak dapat dilihat sama sekali, ada yang menampakkan dirinya
pada orang-orang tertentu melalui mantra atau jimat, dan ada juga yang merasuk
pada sesuatu sehingga siapapun berkesempatan melihatnya.
Shihab (2007:17) menyebut bahwa pertanyaan mengenai mengapa manusia
sejak dahulu hingga kini percaya tentang adanya makhluk halus, juga sudah coba
dijawab oleh para peneliti, namun upaya tersebut belum juga tuntas. Ada yang
berpendapat bahwa kepercayaan tersebut lahir dari manusia primitive akibat
mimpi-mimpi yang dialaminya, sementara yang lain berpendapat bahwa
kepercayaan tentang adanya makhluk halus lahir dari keyakinan terhadap adanya
ruh bagi segala sesuatu yang ada di alam raya ini, walaupun secara lahiriah
kelihatan tidak hidup.
Selain itu, Shihab (2007: 18) menambahkan bahwa faktor bahasa ikut
mengukuhkan hal ini, yakni melalui adanya bahasa yang kaya dan miskin akan
kosakata. bahasa yang miskin pun mengenal makna hakiki dan metafora. Apabila
seseorang mendengar kata “ibu pertiwi”, boleh jadi ia menduga bahwa bumi
adalah ibunya karena pertiwi antara lain bermakna bumi, atau ia menduga bahwa
ada dewi di bumi ini atau pada setiap yang berwujud. Ini karena pertiwi juga
berarti dewi yang menguasai bumi.
7
Kepercayaan terhadap makhluk halus ataupun hantu terbukti melalui
banyaknya ritual yang dilakukan. Ada ritual khusus untuk mengundang hantu,
maupun ritual khusus untuk meminta pertolongan hantu yang ditandai dengan
memberi sesaji-sesaji yang disertai mantra-mantra khusus. Belum lagi, dengan
adanya kepercayaan masyarakat terhadap dukun atau paranormal yang dianggap
sebagai sosok yang memahami dunia perhantuan. Hal ini terbukti dari masih
banyaknya praktik perdukunan yang ramai didatangi masyarakat.
Dari sisi bahasa, kepercayaan masyarakat terhadap hantu juga dapat terbukti
dari banyaknya leksikon mengenai hantu yang dikenal dan dipercayai
keberadaannya oleh masyarakat. Perbedaan budaya dapat mengakibatkan
perbedaan konsep maupun jenis leksikon hantu yang ada di setiap daerah. Hantu
pocong, misalnya, sangat khas dan hanya ada di wilayah Nusantara dan Melayu.
Hantu ini tidak dikenal di Amerika atau Eropa, di sana lebih dikenal hantu
semacam vampire, dracula atau zombie.
Sementara itu, setiap leksikon hantu memiliki wujud fisik yang khas.
Misalnya, leksikon hantu kuntilanak, diyakini memiliki wujud berupa sosok
wanita cantik berpakaian putih dengan tawa cekikikan yang khas, sementara tuyul
berwujud anak-anak berkepala gundul dan suka mencuri uang.
Dalam pandangan agama, istilah hantu yang dikenal berbeda jenisnya
dengan yang dipercayai dalam kebudayaan masyarakat. Dalam Islam, misalnya,
lebih dikenal jenis makhluk halus semisal malaikat, jin, syetan, dan sebagainya
(Shihab, 2007). Sementara itu dalam budaya masyarakat lebih dikenal istilah
siluman, lelembut, dan berbagai macam jenis hantu (Zein, 2014). Khusus dalam
8
penelitian ini, penulis akan mencoba mengangkat leksikon mengenai hantu yang
banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia secara umum, yang sumbernya
diperoleh dari sumber tertulis seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
kamus Tesaurus Bahasa Indonesia (TBI), serta beberapa rujukan lain seperti film
dan buku-buku tentang hantu untuk menambah kevalidan data. Pada salah satu
bab juga akan dibahas mengenai perbedaan pandangan mengenai leksikon hantu
secara agama maupun budaya, serta bagaimana gambaran yang ada dalam pikiran
masyarakat Indonesia terhadap leksikon hantu melalui ungkapan-ungkapan atau
istilah-istilah yang digunakan.
Tentu menjadi sangat menarik untuk mengetahui alasan di balik semua
perbedaan tersebut, serta mengetahui kaitannya dengan kebudayaan masyarakat.
Di samping itu, hantu sebagai mitos dalam masyarakat juga merupakan salah satu
aset budaya bangsa yang telah ada dan dikenal sejak jaman nenek moyang bangsa
Indonesia. Dengan berdasar pada alasan tersebut, maka penelitian ini
dimaksudkan untuk menambah khasanah kebudayaan dan kebahasaan mengenai
hantu yang selama ini belum begitu banyak dibahas secara mendalam.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1) Apa saja leksikon hantu dalam bahasa Indonesia?
2) Bagaimana klasifikasi leksikon hantu dalam bahasa Indonesia?
3) Bagaimana kognisi orang Indonesia dalam memikirkan tentang hantu?
9
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Sesuai rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:
1) Menginventarisasi dan mendeskripsikan leksikon hantu dalam bahasa
Indonesia.
2) Mengklasifikasikan leksikon hantu dalam bahasa Indonesia.
3) Mendeskripsikan kognisi orang Indonesia dalam memikirkan tentang
hantu.
1.4 MANFAAT PENELITIAN
Secara teoretis, penelitian harus bermanfaat bagi ilmu pengetahuan,
sedangkan secara praktis, penelitian harus bermanfaat bagi kepentingan negara/
masyarakat. Untuk itu, manfaat yang dapat diharapkan dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1.4.1 Manfaat Teoretis
Secara teoretis, dengan adanya penelitian ini diharap dapat memberi
manfaat dalam ilmu linguistik, khususnya yang berkaitan dengan kebudayaan.
Dalam hal ini yaitu teori-teori dalam ranah linguistik antropologis, sekaligus
untuk menambah pengetahuan mengenai kebudayaan yang berkaitan dengan
leksikon hantu.
10
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat antara lain:
1) sebagai salah satu usaha pelestarian bahasa dan budaya yang merupakan
kearifan lokal bangsa Indonesia, 2) sebagai bentuk pendokumentasian mengenai
leksikon hantu yang ada di Indonesia, yang dapat dimanfaatkan dalam
penyusunan kamus dan ensiklopedi, serta 3) sebagai acuan bagi penelitian-
penelitian lain yang sejenis.
1.5 TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian maupun tulisan terdahulu mengenai hantu sudah pernah
dilakukan. Akan tetapi, penelitian/tulisan tersebut kebanyakan membahas
mengenai hantu bukan dari segi kebahasaan. Penelitian terdahulu mengenai hantu
di antaranya pernah dilakukan oleh Ahmadi (2012) tentang “Legenda Hantu
Kampus di Surabaya: Kajian Folklor Hantu (Ghostlore) Kontemporer”,
Golodstein (2007) tentang Haunting Experiences: Ghost in Contemporary
Folklore, Geerts (1960) yang dituangkan dalam bukunya “Religion of Java”, dan
Koven (2008) tentang “Film, Folklore, & Urban Legend”.
Penelitian yang dilakukan Ahmadi (2012) menghasilkan jenis dan pola
(pattern) tipologis hantu kampus di Surabaya. Penelitian ini dilakukan pada 7
kampus di Surabaya dan dikaji menggunakan kajian folklor hantu (Ghostlore).
Penelitian Goldstein (2007) membandingkan antara hantu tradisional
dengan hantu modern, yang di dalamnya di antaranya membahas tentang
11
“kegunaan hantu” untuk meningkatkan pemahaman antara kedua alam—yakni
alam supranatural dengan pandangan dan budaya kita, “gender dan hantu”, serta
“komodifikasi kepercayaan” terhadap hantu yaitu bahwa adanya kepercayaan
terhadap hantu dapat menghasilkan keuntungan semisal melalui wisata hantu,
promosi penjualan real estate angker, dan sebagainya.
Penelitian yang dilakukan Geertz (1960) yang dituangkan dalam bukunya
Religion of Java yang juga diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul
Agama Jawa, dilakukan di Mojokuto (Mojokerto) Jawa Timur yang di antaranya
membagi kelompok hantu di Jawa ke dalam 3 golongan, yaitu jenis
memedi,lelembut, dan tuyul. Penelitian ini menggunakan tinjauan antropologi,
meskipun di kalangan antropolog Indonesia sendiri penelitian Geertz ini
menimbulkan perdebatan.
Penelitian Koven (2008) yang dituangkan dalam bukunya film, folklore, &
urban legend dilakukan dengan meneliti film-film Hollywood di antaranya film
Alligator, Candyman, The Curve, Dead Man on Campus, I Know What You Did
Last Summer, Urban Legend, Weekend at Bernie's, The Wicker Man, dan lain-
lain. Dibagi menjadi 5 bagian, penelitian Koven ini berfokus pada studi tentang
urban legend dan bagaimana narasi ini digunakan sebagai inspirasi dalam
sejumlah film.
Sementara itu, tulisan mengenai hantu juga banyak ditemukan. Tulisan-
tulisan tersebut di antaranya adalah tulisan yang meninjau hantu dari segi ilmu
budaya (termasuk folklore), seperti tulisan Endraswara (2004) tentang Dunia
hantu orang Jawa, Ahmadi (2014) tentang Literasi hantu sungai dalam sastra
12
lisan Jawa Timur; maupun yang meninjau hantu dari segi ilmu agama seperti
Shihab (2007) tentang Jin, Iblis, Setan, dan Malaikat: Yang Tersembunyi, serta
Basalamah (1993) tentang Manusia dan Alam Gaib.
Selain itu, ditemukan pula penelitian lain yang walaupun tidak meneliti
tentang leksikon hantu akan tetapi dapat dijadikan sebagai acuan, karena dianggap
sejenis serta memiliki beberapa kesamaan, di antaranya penelitian tersebut di
dalamnya terkandung analisis leksikon serta analisis menggunakan kajian
etnolinguistik/ linguistik antropologis. Penelitian-penelitian tersebut antara lain;
penelitian berupa skripsi oleh Dhimas Damarwarih (2014) mengenai “Leksikon
Warna dalam Bahasa Indonesia”, penelitian berupa tesis oleh Nur Fatehah (2008)
tentang “Leksikon Perbatikan di Pekalongan (Kajian Etnolinguistik)”, tesis oleh
Novita Purnaningsih (2014) mengenai “Jargon Wartawan : Leksikon Khas
Cermin Kehidupan Profesi Jurnalis”, tesis oleh Nuril Hidayah (2011) mengenai
“Leksikon untuk Perempuan Berdasarkan Ciri-ciri Fisiknya dalam Bahasa
Arab”, tesis oleh Rina Susanti (2009) mengenai “Leksikon tentang Lelaki dan
Perempuan dalam Bahasa Arab: Kajian Etnosemantik”, dan penelitian berupa
tesis oleh Arif Humaini (2007) mengenai “Leksikon Unta dalam Bahasa Arab
Kajian Etnosemantik”. Sementara itu, penelitian yang berupa disertasi dilakukan
oleh Suhandano (2004) mengenai “Klasifikasi Tumbuh-Tumbuhan dalam Bahasa
Jawa (Sebuah Kajian Linguistik Antropologis)”.
Penelitian yang dilakukan Dimas Damarwarih (2014) bertujuan untuk
mendeskripsikan bentuk-bentuk leksikon warna, klasifikasi warna dalam objek
tertentu, serta penggunaannya dalam idiom. Teori analisis data yang digunakan
13
dalam penelitian tersebut adalah teori medan makna dan teori warna dasar
menurut Berlin dan Kay. Perbedaannya dengan penelitian ini yaitu terletak pada
data yang digunakan, serta teori analisis data.
Penelitian berupa tesis yang dilakukan oleh Nur Fatehah (2008) tentang
“Leksikon Perbatikan di Pekalongan (Kajian Etnolinguistik)” ini memiliki tiga
tujuan, yaitu 1. Mengklasifikasikan dan mendeskripsikan leksikon perbatikan di
Pekalongan, 2. Mengungkap fungsi leksikon perbatikan di Pekalongan, dan 3.
Menjelaskan cerminan gejala kebudayaan yang muncul berdasarkan leksikon
perbatikan yang diuraikan pada poin sebelumnya. Perbedaannya dengan penelitian
tentang leksikon hantu ini terletak pada objek penelitian serta rumusan masalah,
sehingga kedua penelitian ini akan menghasilkan tujuan yang berbeda.
Selain itu, ada pula penelitian berupa tesis oleh Novita Purnaningsih (2014)
mengenai “Jargon Wartawan : Leksikon Khas Cermin Kehidupan Profesi
Jurnalis”. Walaupun penelitian ini masih sama-sama membahas mengenai
leksikon, akan tetapi penelitian ini berbeda dengan penelitian tentang leksikon
hantu yang akan dilakukan, sebab penelitian ini menggunakan teori
sosiolinguistik, berbeda dengan penelitian leksikon hantu yang akan dikaji secara
linguistik antropologis.
Penelitian berupa tesis oleh Nuril Hidayah (2011) mengenai “Leksikon
untuk Perempuan Berdasarkan Ciri-ciri Fisiknya dalam Bahasa Arab” ini
bertujuan untuk mendaftar dan mendeskripsikan leksikon perempuan berdasarkan
ciri-ciri fisiknya dalam bahasa Arab, mengungkap fitur-fitur pembeda antara unit-
unit leksikal, serta mengungkap pengaruh faktor budaya dan bahasa terhadap
14
keragaman leksikon tersebut.
Selain itu, tesis oleh Rina Susanti (2009) mengenai “Leksikon tentang
Lelaki dan Perempuan dalam Bahasa Arab: Kajian Etnosemantik” bertujuan
untuk memahami pandangan budaya masyarakat Arab terhadap keberadaan lelaki
dan perempuan berdasarkan keberadaan leksikon-leksikonnya.
Penelitian berupa tesis oleh Arif Humaini (2007) mengenai “Leksikon Unta
dalam Bahasa Arab Kajian Etnosemantik” bertujuan untuk mengetahui peranan
dan pengaruh pemakaian leksikon untuk unta, serta mengetahui alasan banyaknya
leksikon untuk unta dalam bahasa Arab. Penelitian ini dan penelitian tentang
leksikon hantu yang akan dilakukan, memiliki kesamaan yakni sama-sama
menganalisis tentang leksikon, hanya saja penelitian ini menggunakan
etnosemantik, sementara analisis leksikon hantu menggunakan teori linguistik
antropologis.
Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Suhandano (2004) berupa
disertasi mengenai “Klasifikasi Tumbuh-Tumbuhan dalam Bahasa Jawa (Sebuah
Kajian Linguistik Antropologis)” merupakan penelitian yang sangat kompleks. Di
dalamnya, dijelaskan mengenai klasifikasi tanaman secara lengkap, baik
menggunakan taksonomi tumbuh-tumbuhan,maupun klasifikasi secara bahasa.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penutur bahasa jawa
mengklasifikasikan tumbuh-tumbuhan di sekitarnya sebagaimana tercermin dalam
bahasa mereka dan menafsirkan pandangan budaya yang melatarbelakangi
pengklasifikasian tersebut, di samping juga untuk mengetahui kesesuaian prinsip
umum klasifikasi Berlin (1973) pada bahasa Jawa.
15
Berdasarkan pemaparan di atas, diketahui bahwa kajian linguistik
antropologis mengenai leksikon hantu dalam bahasa Indonesia ini belum pernah
dilakukan sebelumnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini berbeda
dengan kajian yang telah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini membahas tentang
jenis-jenis leksikon hantu berdasarkan klasifikasi yang dilakukan dengan melihat
dari sisi kebahasaan. Di samping itu, penelitian ini juga membahas tentang citra
leksikon hantu dalam masyakat Indonesia, yaitu mengenai cara berpikir atau
gambaran yang ada dalam pikiran masyarakat Indonesia dalam memikirkan hantu.
1.6 KERANGKA TEORI
Menurut Kridhalaksana (2011: 142), leksikon diartikan sebagai komponen
bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam
bahasa. Tidak semua kata atau leksem memiliki acuan konkret di dunia nyata.
Misalnya leksem <agama>, <cinta>, <kebudayaan>, dan <hantu>. Leksem-
leksem tersebut tidak dapat ditampilkan referennya secara konkret.
Penelitian tentang leksikon umumnya tercakup dalam teori semantik
leksikal. Menurut Parera (2004: 44), semantik adalah suatu studi dan analisis
tentang makna-makna linguistik. Menurut Chaer (2002: 60), leksikal adalah
bentuk ajektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon (kosa kata). Jadi,
semantik leksikal menyelidiki makna yang terdapat dalam leksem dari bahasa
tersebut (makna leksikal). Menurut Pateda (2001: 74), semantik leksikal berfokus
pada pembahasan sistem makna yang terdapat dalam kata.
16
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, leksikon hantu memiliki
berbagai macam istilah dalam bahasa yang satu dengan bahasa yang lain. Istilah
hantu vampire di Amerika, berbeda dengan hantu vampire di China, lebih berbeda
lagi dengan hantu pocong di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan perbedaan
kebudayaan serta cara pandang penuturnya dalam menafsirkan fenomena hantu di
sekelilingnya.
Penafsiran manusia terhadap lingkungannya dapat dicerminkan melalui
bahasa. Para ahli pun telah sepakat tentang hal ini. Hipotesis Sapir-Whorf atau
teori relativitas bahasa menyatakan bahwa bahasa membentuk cara pandang
penuturnya terhadap dunia. Edward Sapir berpandangan bahwa bahasa, budaya
dan personalitas adalah paduan yang utuh. Sementara itu, kajian Benjamin Lee
Whorf tentang bahasa Hopi melahirkan teori relativitas. Dalam teori relativitas,
gramatika, dan kategori semantik dari setiap bahasa digunakan sebagai sebuah
instrumen untuk mengomunikasikan pikiran manusia, bentuk ide, dan program
aktivitas mental. Ia mengungkapkan bahwa tanda yang pasti dari perilaku
seringkali ditampakkan dari analogi bentuk linguistik, tempat situasi tutur, dan
untuk tataran tertentu dianalisis dan diklasifikasi, secara tidak sadar terbentuk
dalam perilaku bahasa sebuah kelompok (Whorf, 1956: 137). Pandangan Sapir
Whorf tersebut juga dikutip dalam Duranti sebagai berikut:
This intuition was later modified by Sapir and by Whorf who argued that if
a language encodes a particular experience of the world, its use might
predispose its speakers to see the world according to the experience
encoded in it. (Duranti, 1997: 56).
17
Hal tersebut juga sesuai pendapat Wierzbicka (1992: 7), bahwa bahasa
mencerminkan penafsiran manusia terhadap dunia. Apabila dikaitkan dengan
dunia makhluk halus, dalam hal ini khususnya dunia hantu, dapat dikatakan
bahwa penutur bahasa Indonesia dalam memikirkan mengenai hantu dapat dilihat
dari bahasanya. Dalam penelitian ini, bagian bahasa yang menjadi acuan dalam
memikirkan hantu adalah kosakata atau leksikonnya, yaitu leksikon yang
berkaitan dengan dunia hantu atau leksikon hantu, bukan hanya melulu berfokus
pada tata bahasanya saja.
Mengingat kaitan antara leksikon hantu dengan kebudayaan yang
melatarbelakangi cara pandang penuturnya, maka analisis tentang leksikon lebih
tepat menggunakan teori bahasa yang berkaitan dengan kebudayaan. Hal ini
berguna dalam upaya untuk mengungkapkan budaya penuturnya.
Mengadopsi pendapat Levi-Strauss dalam Ahimsa-Putra (2006: 99), ada
banyak kesamaan antara ilmu bahasa (linguistik) dengan ilmu budaya
(antropologi) dalam hal ciri dan sifat obyek yang dikaji. Salah satu gejala budaya
yang sangat banyak persamaannya dengan gejala bahasa adalah mitos atau myth.
Ini sama halnya dengan leksikon hantu yang merupakan mitos yang diperacayai
masyarakat Indonesia.
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah, yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi/akal), yaitu hal-hal yang berkaitan
dengan budi dan akal manusia (Koentjaraningrat, 2009: 144). Ada berbagai teori
yang dikemukakan oleh para linguis mengenai hubungan antara bahasa dan
kebudayaan.
18
Di Amerika, ilmu yang mengkaji masalah ini dinamakan antropologi
linguistik atau disebut juga linguistik antropologis yang dipelopori oleh Franz
Boas, sedangkan di Eropa digunakan istilah etnolinguistik (Duranti, 1997). Pada
dasarnya, antropologi linguistik, linguistik antropologis dan etnolinguistik
memiliki kesamaan. Menurut Foley (1997), etnolinguistik atau linguistik
antropologis adalah disiplin ilmu yang bersifat interpretatif , yang secara lebih
jauh mengkaji bahasa untuk menemukan pemahaman budaya. Oleh karena itu,
penggunaan kajian antropologi linguistik ini sangat cocok untuk mengkaji
leksikon hantu yang ditinjau dari sisi kebahasaannya, serta menginterpretasikan
pemikiran masyarakat mengenai leksikon hantu tersebut guna memperoleh
pemahaman budaya yang ada dalam masyarakat.
Dalam kaitannya dengan analisis leksikon hantu dalam bahasa Indonesia
ini, teori yang dirasa tepat antara lain teori etnolinguistik yang menghubungkan
antara bahasa dan budaya. Sementara itu, yang dimaksud dengan kosakata atau
leksikon dunia hantu di sini mencakup pengertian yang luas, tidak hanya kata,
tetapi juga bentuk-bentuk bahasa yang lain yang mengandung informasi yang
berkaitan dengan dunia perhantuan.
1.7 METODE PENELITIAN
Menurut Moleong (2002: 13), metode adalah cara yang teratur dan terpikir
baik-baik untuk mencapai maksud; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan
pelaksanaan kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu. Teknik adalah jabaran
metode yang sesuai dengan alat dan sifat alat.
19
Penelitian ini adalah penelitian bahasa yang berkaitan dengan budaya.
Menurut Mathiot (dalam Suhandano, 2004) berkaitan dengan metodologi dalam
penelitian bahasa dan budaya, ada dua kemungkinan arah metodologi yang dapat
ditempuh oleh peneliti, yaitu peneliti berangkat dari bahasa ke budaya, atau
sebaliknya, peneliti berangkat dari budaya ke bahasa. Dalam penelitian ini akan
digunakan arah penelitian yang pertama, yaitu berawal dari fenomena kebahasaan,
dengan cara memeriksa kandungan linguistik yang ada dalam kelas-kelas budaya.
Tahap-tahap penelitian ini akan dibagi menjadi tiga, yaitu tahap
pengumpulan data, tahap analisis data, dan tahap pemaparan hasil analisis data
(Sudaryanto, 1993: 5).
1.7.1 Tahap Pengumpulan Data Penelitian
Tahap yang pertama adalah tahap pengumpulan data. Data adalah hasil
pencatatan penelitian baik yang berupa fakta ataupun angka. Menurut Arikunto
(2002: 98), data adalah segala fakta dan angka yang dapat dijadikan bahan untuk
menyusun suatu informasi. Sedangkan informasi adalah hasil pengolahan data
yang dipakai untuk suatu keperluan.
Dalam penelitian ini data yang utama berupa leksikon-leksikon tentang
hantu yang diperoleh melalui metode simak dengan teknik catat (Kesuma, 2007:
45). Metode tersebut digunakan untuk mengumpulkan data dengan menyimak
leksikon tentang hantu yang dikumpulkan dari sumber data berupa Kamus Besar
Bahasa Indonesia yang selanjutnya akan disebut sebagai KBBI, Tesaurus Bahasa
Indonesia yang selanjutnya akan disebut TBI, dan sumber lain, khususnya film
atau buku yang berkaitan dengan hantu. Sumber data kamus digunakan untuk
20
lebih membatasi data sekaligus karena leksikon yang telah diserap dalam kamus-
kamus tersebut dianggap sebagai leksikon yang sudah baku, sementara sumber
film hanya digunakan untuk menambah kelengkapan data.
Selain itu, untuk menambah kevalidan data, digunakan juga sumber data
lisan yang diperoleh melalui metode cakap/wawancara kepada narasumber yang
dianggap memahami permasalahan hantu, yaitu dukun/ paranormal dan kyai, di
samping juga digunakan responden awam untuk pendukung dan penguat data
sekaligus untuk memberikan gambaran awal tentang pendapat masyarakat
mengenai jenis-jenis hantu tertentu. Dari pengumpulan data awal diperoleh
sampel sekurang-kurangnya 67 leksikon tentang hantu.
1.7.2 Tahap Analisis Data
Teknik analisis data adalah cara bagaimana mengorganisasikan dan
mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat
ditemukan tema dan dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja
seperti yang disarankan oleh data (Moleong, 2002: 103). Sementara itu, menurut
Sudaryanto (1993: 6), analisis data merupakan upaya yang dilakukan peneliti
untuk menangani masalah yang terkandung dalam data.
Dalam peneitian ini, data yang telah berhasil dikumpulkan kemudian
diinventarisasi. Data yang dianggap tidak memenuhi syarat kemudian disisihkan.
Selanjutnya, analisis data dilakukan dengan menggunakan metode analisis
deskriptif kualitatif (Moleong, 2002: 288). Metode ini dilakukan dengan
mengklasifikasi data yang terkumpul yaitu berupa elemen-elemen kebahasaan
21
yang diteliti secara akurat, lalu menyajikannya secara deskriptif baik melalui
tulisan maupun tabel dan bagan.
Selain itu, digunakan juga metode introspeksi, sesuai dengan saran
Wierzbicka (dalam Suhandano, 2004). Metode introspeksi dilakukan dengan cara
mengajukan pertanyaan pada diri sendiri secara intensif mengenai objek yang
diteliti sampai diperoleh jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan. Jawaban
tersebut selanjutnya dicek kembali kepada informan untuk memperoleh verifikasi.
Adapun untuk mengetahui kognisi orang Indonesia terhadap hantu akan
digunakan metode etnosemantik. Etnosemantik adalah pendekatan yang
menggabungkan antara studi bahasa tentang makna (semantik) dengan budaya
yang dimiliki suatu etnik tertentu. Untuk menerapkan metode tersebut, peneliti
akan menafsirkan fakta-fakta bahasa dengan fakta-fakta budaya untuk mengetahui
pengaruh-pengaruh budaya di Indonesia terhadap pemakaian leksikon hantu.
1.7.3 Tahap Penyajian Analisis Data
Dalam tahapan ini, akan disajikan hasil analisis data mengenai leksikon
hantu, yakni tentang klasifikasinya, serta dijelaskan bagaimana kognisi orang
mengenai leksikon tersebut. Hasil analisis data akan disajikan secara informal atau
secara deskriptif, yaitu perumusan atau pengungkapan hasil analisis data dengan
menggunakan kata-kata atau dengan kalimat-kalimat (Mahsun, 2005: 70).
Di samping itu, hasil analisis ini juga akan dipaparkan melalui metode
formal yang dilakukan dengan menyajikan data berupa bagan-bagan dan tabel.
Bagan dan tabel tersebut akan berisi bab-bab yang akan dibahas di dalam tesis ini.
22
1.8 SISTEMATIKA PENYAJIAN
Penelitian ini akan disajikan dalam empat bab, yaitu:
BAB I berjudul „Pendahuluan‟. Bab ini berisi latar belakang, ruang lingkup
penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori,
metode penelitian, serta sistematika penyajian.
BAB II berjudul “Jenis-Jenis Leksikon Hantu” berisi tentang jenis-jenis leksikon
hantu sesuai klasifikasi berdasarkan segi kebahasaan.
BAB III berjudul “Citra Leksikon Hantu dalam Bahasa Indonesia” berisi tentang
kognisi masyarakat Indonesia dalam memikirkan leksikon hantu, dan
BAB IV „Penutup‟ berisi simpulan dan saran penelitian.
Pada bagian akhir tesis ini dilampirkan daftar pustaka sebagai daftar
referensi pustaka yang digunakan dalam penyusunan tesis ini. Selain daftar
pustaka, pada bagian akhir juga terdapat lampiran.