BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar...

19
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan Malioboro merupakan salah satu kawasan wisata yang sangat terkenal di Kota Yogyakarta. Pesonanya tidak hanya dikenal oleh wisatawan lokal, tetapi juga oleh para wisatawan asing yang sering berkunjung kesana. Malioboro sudah ada sejak 200-an tahun yang lalu dan menjadi saksi bisu perjalanan Kota Yogyakarta dari waktu ke waktu. Hal ini menjadikan Malioboro sebagai kawasan strategis yang memiliki nilai sejarah, budaya, dan nilai filosofis Yogyakarta yang melekat didalamnya. Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Yogyakarta disebutkan bahwa Kawasan Malioboro merupakan kawasan strategis citra kota. Citra Kota Yogyakarta adalah citra yang melekat kepada Kota Yogyakarta yang mencerminkan aspek pendidikan, perjuangan, pariwisata, dan pelayanan jasa yang berbasis budaya. Hal itu berarti kawasan Malioboro merupakan salah satu kawasan strategis yang mencerminkan aspek-aspek yang melekat pada citra Kota Yogyakarta. Sedangkan maksud dari kawasan strategis dalam RTRW Kota Yogyakarta yaitu wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kota terhadap ekonomi, sosial, budaya, budaya, dan/atau lingkungan. Berbeda dengan Malioboro pada zaman dahulu, saat ini kawasan Malioboro telah tumbuh menjadi sebuah kawasan yang padat. Berbagai kegiatan ada di Malioboro mulai dari kegiatan jasa dan perdagangan, kegiatan wisata, serta seni

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar...

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kawasan Malioboro merupakan salah satu kawasan wisata yang sangat

terkenal di Kota Yogyakarta. Pesonanya tidak hanya dikenal oleh wisatawan lokal,

tetapi juga oleh para wisatawan asing yang sering berkunjung kesana. Malioboro

sudah ada sejak 200-an tahun yang lalu dan menjadi saksi bisu perjalanan Kota

Yogyakarta dari waktu ke waktu. Hal ini menjadikan Malioboro sebagai kawasan

strategis yang memiliki nilai sejarah, budaya, dan nilai filosofis Yogyakarta yang

melekat didalamnya. Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Yogyakarta

disebutkan bahwa Kawasan Malioboro merupakan kawasan strategis citra kota.

Citra Kota Yogyakarta adalah citra yang melekat kepada Kota Yogyakarta yang

mencerminkan aspek pendidikan, perjuangan, pariwisata, dan pelayanan jasa yang

berbasis budaya. Hal itu berarti kawasan Malioboro merupakan salah satu kawasan

strategis yang mencerminkan aspek-aspek yang melekat pada citra Kota

Yogyakarta. Sedangkan maksud dari kawasan strategis dalam RTRW Kota

Yogyakarta yaitu wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena

mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kota terhadap ekonomi, sosial,

budaya, budaya, dan/atau lingkungan.

Berbeda dengan Malioboro pada zaman dahulu, saat ini kawasan Malioboro

telah tumbuh menjadi sebuah kawasan yang padat. Berbagai kegiatan ada di

Malioboro mulai dari kegiatan jasa dan perdagangan, kegiatan wisata, serta seni

budaya. Malioboro yang sarat dengan nilai-nilai budaya dan filosofis ini menjadi

daya tarik tersendiri untuk berbagai kalangan. Mulai dari kalangan wisatawan dan

pengunjung yang berwisata, kalangan PKL, Juru Parkir, Juru andong, dan becak

yang menyediakan kebutuhan para wisatawan, serta kalangan swasta yang

mendirikan pertokoan serta hotel disana. Mereka semua memiliki kepentingan yang

beragam di Malioboro. Dalam penelitian Joko Winarno yang berjudul Dinamika

Peran Stakeholder dalam Implementasi Kebijakan Penataan Pedagang Kaki Lima,

disebutkan bahwa “Menurut pengamat ekonomi, Malioboro adalah sebuah CBD

(Central Business District) di Kota Yogyakarta. CBD akan mengalami

penumpukan karena masyarakat memperebutkan fasilitas umum yang

dimilikinya”(Winarno, 2004:5). Saat ini hal tersebut sudah terjadi, contohnya

fasilitas trotoar di Malioboro lebih banyak digunakan untuk area Parkir dan PKL

berjualan daripada fungsi utamanya yaitu sebagai area untuk para pejalan kaki. Hal

ini menyebabkan wisatawan pejalan kaki hanya mendapatkan sedikit tempat untuk

berjalan. Melihat kondisi Malioboro saat ini, Pemerintah Propinsi DIY dan

Pemerintah Kota Yogyakarta melakukan perencanaan untuk penataan Malioboro.

Namun demikian, menata sebuah kawasan kompleks seperti Malioboro bukanlah

suatu hal yang mudah. Hal ini tercermin dari banyaknya gejolak yang muncul

selama proses perencanaan tersebut berlangsung.

1.1.1. Kawasan Malioboro sebagai Pusat Berbagai Kegiatan

Kawasan Malioboro merupakan pusat berbagai kegiatan, mulai dari

perdagangan dan jasa, pelayanan masyarakat, wisata, dan sosial budaya. Di

Malioboro terdapat banyak komunitas. Secara garis besar berikut komunitas-

komunitas yang ada di Malioboro (Data UPT Malioboro, 2014).

• Bidang pedagangan (sekitar 2680 orang) terdiri dari pengusaha,

pedagang kaki lima makanan, pedagang kaki lima non kuliner.

• Bidang transportasi (sekitar 1400 orang) yang terdiri dari Juru andong,

becak, dan Parkir.

• Bidang pariwisata (sekitar 300 orang) yaitu hotel, seniman, guide, dan

usaha jasa pariwisata lainnya.

Berbagai komunitas tersebut melakukan kegiatan di Malioboro setiap

harinya dan berkembang menjadi semakin “sibuk” saat ini. Banyaknya toko-toko

yang berderet di sepangjang Jalan Malioboro dan Jalan A.Yani serta para PKL yang

mendirikan lapak dagangan menjadi bukti bahwa Malioboro merupakan pusat

perdagangan dan jasa. Mereka menjadikan Malioboro sebagai tempat untuk

mencari penghasilan sehari-hari. Sebagian besar dari mereka menjual berbagai

kebutuhan para wisatawan yang berkunjung ke Malioboro, yaitu barang dan

makanan khas Yogyakarta.

Wisatawan yang berkunjung ke Malioboro dapat dikatakan cukup banyak.

Pada harihari tertentu, wisatawan yang berkunjung ke Malioboro bisa naik secara

drastis. Pada libur Hari Raya Idul Fitri tahun 2015, H-7 Lebaran pengunjung naik

500 persen dibandingkan dengan hari-hari biasa (Radar Jogja,2015). Wisatawan

juga naik 200 persen dari biasanya pada saat libur Nyepi, Maret 2015 lalu

(Rusqiyati,2015). Selain itu pada hari-hari biasa, Malioboro juga menjadi tempat

yang sering dikunjungi.

Bukan hanya para pedagang dan wisatawan yang memiliki kepentingan di

Malioboro. Malioboro juga kerap dijadikan tempat untuk atraksi seni budaya.

Mereka dari kalangan budayawan maupun seniman seringkali menggelar pameran

hasil karya seninya di sepanjang Malioboro. Tiap tahun, banyak event budaya yang

diselenggarakan di Malioboro. Kegiatan seni dan budaya ini juga menjadi salah satu

daya tarik wisata bagi para wisatawan untuk berkunjung ke Malioboro. Selain itu,

di Malioboro juga terdapat kepatihan yang merupakan tempat pemerintahan

Propinsi DIY yang semakin melengkapi fungsinya sebagai pusat berbagai kegiatan.

Berbagai kegiatan yang ada di Malioboro ini sudah ada sejak dulu. Jadi dapat

dikatakan bahwa kegiatan wisata, perdagangan, serta kegiatan lainnya sudah

menjadi kegiatan tetap yang dilakukan di Malioboro.

1.1.2. Masalah Kemacetan dan Kesemrawutan di Kawasan Malioboro

Sebagai sebuah kawasan yang menjadi pusat berbagai kegiatan, Malioboro

tidak lepas dari permasalahan. Malioboro saat ini sudah menunjukkan kondisi yang

semakin kompleks. Masalah kemacetan dan kesemrawutan menjadi masalah utama

yang dapat dilihat secara langsung di Malioboro. Masalah kemacetan sering terjadi

ketika jumlah pengunjung Malioboro tinggi. Misalnya ketika hari libur dan ada

event penting atau atraksi seni budaya di Malioboro. Sebagian besar dari mereka

menggunakan kendaraan bermotor sehingga menyebabkan tingginya angka

kendaraan bermotor. Tingginya jumlah pengunjung yang menggunakan kendaraan

bermotor ini membuat jalan di Kawasan Malioboro sesak. Berdasarkan data dari

Kepala UPT Malioboro, volume kendaraan di Jalan Malioboro mencapai 0,8 jika

titik ambang jenuhnya berada pada angka 1 (Sudiaman,2015).

Kemacetan yang terjadi di Malioboro tidak hanya pada hari-hari libur atau

ketika ada atraksi seni budaya yang selalu menarik wisatawan untuk berkunjung ke

sana. Kemacetan juga kerap terjadi di hari-hari biasa pada waktu-waktu tertentu

seperti ketika malam hari. Beberapa faktor yang ditengarai menjadi penyebab

kemacetan di Malioboro yakni tingginya jumlah kendaraan bermotor yang melewati

Malioboro, banyaknya para pejalan kaki yang menyeberang bukan pada zebra

cross, serta bus dan kendaraan umum yang menurunkan penumpang tidak pada

tempatnya. Puncak tingginya angka kendaraan yang melewati

Malioboro terjadi pada pukul 12.00-13.00 dan 18.30-19.30, sedangkan

jumlah para pejalan kaki yang menyeberang tidak pada zebra cross sekitar 73%.1

Faktor-faktor itulah yang kerap kali membuat jalanan di Malioboro terlihat padat

dan berujung pada kemacetan.

Masalah lain yang tidak kalah pentingnya yaitu kesemrawutan dan

ketidaktertiban di kawasan Malioboro. Kondisi yang semrawut ini dapat dilihat di

sisi timur maupun barat Malioboro. Lapak dagangan PKL berdekatan satu sama

lain, baik itu PKL kuliner maupun non kuliner. Para PKL yang ada di sisi barat

harus berbagi tempat dengan para wisatawan yang berjalan kaki. Mereka

menggunakan trotoar sebagai tempat dagangannya. Hal ini berdampak pada kondisi

yang sesak serta menyebabkan wisatawan pejalan kaki berdesakdesakan diantara

lapak PKL tersebut. Kondisi ini juga terjadi di sisi timur jalan. Di sisi timur jalan

ini, bukan hanya PKL yang memenuhi area pejalan kaki, tetapi juga ditambah

1 Cholis Aunurrohman, 2007. Malioboro : Soal Pembangunan Kawasan Pejalan Kaki dan Dusta

Proyek-Proyek di Sana

dengan area Parkir yang penuh dengan sepeda motor. Para wisatawan juga harus

berbagi area dengan PKL serta sepeda motor yang diParkir.

Sebagai perhitungan, lebar jalan di Kawasan Malioboro sekitar 25 meter, 10

meter di sebelah timur untuk pejalan kaki, PKL, dan Parkir, 7 meter sisi tengah

untuk jalur kendaraan bermotor, 3 meter devider untuk alternatif pejalan kaki, dan

5 meter di sisi barat.2 Dapat dilihat bahwa jalan selebar 10 meter di sebelah timur

harus dibagi untuk area pejalan kaki, tempat Parkir, dan PKL. Sebenarnya ini

merupakan suatu hal yang dilematis. Are za Parkir serta PKL yang ada di

trotoar muncul untuk memenuhi kebutuhan dari para wisatawan. Namun demikian,

keberadaannya di tengah area pejalan kaki, dapat membuat kenyamanan para

wisatawan terganggu. Kondisi Malioboro yang demikian ini suatu saat dapat

menimbulkan ketidaknyamanan bagi para wisatawan yang berkunjung ke sana.

Terlepas dari kondisi yang semrawut ini, Malioboro saat ini masih menjadi

daya tarik yang kuat bagi para wisatawan terutama wisatawan dari luar untuk

berkunjung ke sana.

Wisatawan yang berkunjung ke Kota Yogyakarta masih memiliki mindset

Malioboro-sentris. Namun demikian, bukan tidak mungkin jika kondisi Malioboro

saat ini dibiarkan begitu saja suatu saat dapat menurunkan tingkat kenyamanan para

wisatawan.

1.1.3. Kebijakan Penataan Malioboro menjadi Kawasan Pedestrian

Dalam mewujudkan rencana penataan Malioboro, pemerintah sudah

memiliki arah penataan yaitu menjadikan Malioboro sebagai kawasan pedestrian.

2 Data UPT Malioboro,2014.

Dalam RTRW Kota Yogyakarta pasal 80 ayat 2 yang berbunyi “Jalan

Mangkubumi, Jalan Malioboro, Jalan Ahmad Yani diarahkan untuk area khusus

pejalan kaki (pedestrian)”. Jalan Mangkubumi, jalan Malioboro, dan Jalan Ahmad

Yani terletak di Kawasan Malioboro. Saat ini penataan Malioboro menjadi

kewenangan Pemerintah Propinsi DIY karena dalam UU Keistimewaan Malioboro

merupakan bagian dari sumbu filosofis yang tercantum dalam pilar tata ruang.

Pemerintah Propinsi DIY yang memiliki wewenang penuh dalam merumuskan

konsep penataan Malioboro. Selain itu, Pemprov yang akan membiayai penataan di

sana. Rencananya, seluruh pembiayaan akan menggunakan Dana Keistimewaan

(Danais), sedangkan untuk sosialisasi menjadi wewenang Pemkot Jogja.3 Hal ini

diperkuat dengan hasil wawancara dengan Kepala UPT Malioboro yang

mengatakan bahwa Pemprov DIY memiliki wewenang dalam hal pembiayaan dan

penataan fisik perencanaan sedangkan Pemkot Yogyakarta berwenang untuk

menangani masalah sosial.4 Saat ini, kebijakan penataan Malioboro menjadi

kawasan pedestrian sudah memiliki grand desain penataan yang belum disahkan.

Mewujudkan Malioboro menjadi kawasan pedestrian berarti menyediakan

ruang bagi para pejalan kaki. Sekitar 60% pejalan kaki yang ada di Malioboro

merupakan wisatawan yang berkunjung ke sana.5 Melalui adanya kebijakan

pedestrianisasi Malioboro, pemerintah berusaha memberikan pelayanan bagi

mereka para pejalan kaki tersebut. Namun hal ini ternyata cukup sulit mengingat

3 Radar Jogja (admin), 2014, Percepat Penataan Kawasan Malioboro, dikutip dari

http://www.radarjogja.co.id/blog/2014/09/15/percepat-penataan-kawasan-Malioboro/pada

tanggal 14 Januari 2015 pukul 13.23 4 Wawancara Kepala UPT Malioboro, 2014 5 Ibid. Aunurrohman

bukan hanya wisatawan saja yang memiliki kepentingan di Malioboro. Penataan

Malioboro ini masih menuai pro dan kontra di berbagai komunitas yang ada di

Malioboro. Salah satu pihak yang masih menolak kebijakan pedestrianisasi

Malioboro adalah Juru Parkir. Hal ini dikemukakan oleh Ketua Paguyuban Parkir,

“Saat ini kami masih menolak relokasi Parkir ya karena

bagaimanapun juga itu adalah harus sesuai dengan harapan temen-temen

Juru Parkir ya... Kami merasa belum ada konsep yang pas untuk

menampung kami. 211 Juru Parkir itu kalau pindah ke sana(Taman Parkir

Abu Bakar Ali) apakah bisa tertampung? Ya kalau tidak ya kita mohon

maaf, kita masih ingin menolak”. (Wawancara Ketua Paguyuban Parkir,

2015)

Berdasarkan keterangan dari Ketua Paguyuban Parkir tersebut dapat terlihat

adanya penolakan karena mereka belum mendapatkan konsep yang jelas dari

adanya penataan Malioboro. Kekhawatiran muncul tatkala Parkir harus direlokasi

ke tempat yang sudah memiliki pengelola juga. Masalah jaminan bagi 211 Juru

Parkir masih dipertanyakan oleh Sigit sebagai Ketua Paguyuban Parkir di

Malioboro. Penataan Malioboro menjadi kawasan pedestrian juga masih rawan

terhadap konflik horizontal antar komunitas yang ada di Malioboro. Hal ini karena

masing-masing pihak merasa memiliki kepentingan di Malioboro. Seperti

pernyataan yang dikemukakan oleh seorang Juru Parkir yang juga menolak

kebijakan tersebut. “Kalau memang untuk kepentingan pejalan kaki, kenapa tidak

para penjual makanan saja yang memang menempati trotoar (yang dipindahkan)”.6

Selain Parkir, tentunya masih ada beberapa komunitas di Malioboro yang

pada nantinya mendapatkan dampak langsung dari penataan. Sehingga mereka juga

6 Hamim Tohari, 2015, Juru Parkir Malioboro Tak Setuju Kantung Parkir Motor Dipindahkan,

diakses dari http://jogja.tribunnews.com/2015/01/17/Juru-Parkir-Malioboro-tak-setuju-

kantung-Parkir-motordipindahkanpada tanggal 25 Juni 2015 pukul 15.30.

memiliki berbagai sikap dalam menanggapi adanya penataan ini. Sebenarnya

penataan Malioboro merupakan sebuah isu lama yang tidak kunjung dapat

diimplementasikan. Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono mengatakan

bahwa penataan Malioboro mundur-mundur terus

serta hanya sebatas kajian-kajian (Esa,2014).

Bahkan hal ini juga diungkapkan oleh Kabid Sarana Prasarana Bappeda

DIY,

“Molornya proses penataan kawasan Malioboro juga terkendala

masalah sosial masyarakatnya. Menurut Made, Malioboro merupakan

kawasan yang sudah terbentuk fungsi dan aktivitasnya. Sehingga,

perubahan penataan kawasan menjadi sulit. “Masalah sosial memang

menjadi kendala terbesar. Jangan sampai penataan Malioboro justru

menyusahkan orang,” tandasnya7

Pernyataan yang diungkapkan oleh Kabid Sarana Prasarana Bappeda diatas

mengindikasikan bahwa memang ada kendala sosial dalam melakukan penataan

Malioboro. Hal ini tidak bisa dipungkiri karena untuk menjadikan Malioboro

sebagai kawasan pedestrian akan banyak mengubah tata ruang di dalamnya.

Tentunya ini merupakan suatu tantangan yang besar mengingat orang-orang yang

“menghuni” Malioboro bukan merupakan orang baru, melainkan orang-orang yang

telah lama berada di Malioboro serta memiliki kepentingan yang melekat di sana.

Penelitian ini dilakukan untuk melihat polemik yang terjadi dalam proses

perumusan kebijakan penataan Malioboro menjadi kawasan semi pedestrian.

7Ekasanti Anugraheni, 2013, Penataan Malioboro Masih Sebatas Kajian akademis,

dikutip dari http://jogja.tribunnews.com/2013/12/05/penataan-Malioboro-masih-

sebatas-kajian-akademis/pada tanggal 14 Januari 2015 pukul 14.30

Polemik dalam perumusan kebijakan penataan Malioboro menjadi kawasan

pedestrian dijelaskan melalui dua hal yaitu melalui proses serta aktor yang terlibat

di dalamnya. Penataan Kawasan Malioboro ini menjadi menarik untuk diteliti

karena sampai saat ini masih ada resistensi yang terjadi, padahal penataan ini sudah

menjadi suatu isu lama. Untuk itu, penulis juga memaparkan tentang sikap berbagai

aktor dan kepentingannya dalam menanggapi kebijakan ini. Dengan begitu akan

terlihat siapa saja aktor yang masih resisten beserta faktor penyebabnya.

1.2 Tinjauan Penelitian Sebelumnya

Dalam melakukan penelitian mengenai polemik tentang kawasan semi

pedestrian di Malioboro, penulis telah melihat beberapa penelitian sebelumnya

yang juga terkait dengan penataan Malioboro. Tujuannya adalah agar dalam

penelitian ini dapat terlihat suatu kebaharuan serta perbedaan dengan beberapa

penelitian sebelumnya dengan tidak terlepas dari konteksnya yaitu tentang penataan

di Kawasan Malioboro.

Penelitian yang pertama adalah penelitian skripsi dari Joko Winarno yang

dilakukan pada tahun 2004 dengan judul Dinamika Peran Stakeholder dalam

Implementasi Kebijakan Penataan Pedagang Kaki Lima. Penelitian tersebut

dilakukan untuk melihat bagaimana peran-peran stakeholder dalam penerapan

kebijakan PKL di Malioboro. Hasil yang diperoleh melalui penelitian itu yaitu

bahwa 1)Semangat pendekatan stakeholder dalam desain penataan PKL di

Malioboro masih sulit ditegakkan oleh pemerintah, 2) Kendala-kendala utama

dalam penataan PKL di Malioboro ini yaitu pada faktor banyaknya nilai-nilai dan

kepentingan yang dimiliki oleh aktor-aktor yang terlibat. Sehingga menyebabkan

sulitnya berinteraksi antar stakeholder di sana 3) Dapat dikatakan bahwa

implementasi kebijakan penataan PKL di Malioboro ini gagal karena pada nyatanya

justru banyak PKL liar yang bermunculan di area yang telah ditata. Berdasarkan

hasil penelitian diatas dapat dikatakan bahwa dalam melakukan penataan PKL di

Malioboro cukup sulit. Banyaknya kepentingan antar aktor menjadikan interaksi di

dalamnya kurang dapat terjalin dengan baik. Kebaharuan yang dilakukan oleh

penelitian yang dilakukan oleh penulis yakni penelitian ini melihat persoalan

kebijakan penataan di Malioboro secara lebih luas. Bukan hanya menata dari segi

PKL tetapi juga aspek-aspek lainnya seperti Parkir dan jalan. Penelitian oleh Joko

Winarno memberikan sebuah refleksi bahwa aktor-aktor yang terlibat ketika menata

Malioboro cukup kompleks dengan berbagai kepentingan yang dibawanya.

Sehingga dapat sedikit memberikan gambaran bagi penelitian yang penulis lakukan

ini.

Penelitian yang kedua adalah penelitian skripsi oleh Aditya Suryantaka pada

tahun 2014 dengan judul Analisis Pemanfaatan Trotoar di Jalan Malioboro-Margo

Mulyo : Perspektif Ruang dan Waktu. Tujuan dari penelitian tersebut adalah

mendeskripsikan karakteristik geometri trotoar di Jalan Malioboro-Margo Mulyo,

mendeskripsikan pemanfaatan trotoar berdasarkan distribusi ruang dan waktu di

Jalan Malioboro-Margo Mulyo, dan mengetahui arti penting trotoar di Jalan

Malioboro-Margo Mulyo. Hasil yang didapat dari penelitian tersebut yakni trotoar

yang ada di Jalan Malioboro-Margo Mulyo memiliki nilai ruang yang tinggi.

Tingginya nilai ruang di trotoar tersebut membuat ruang ini menjadi penting bagi

para penggunanya. Secara umum trotoar di Jalan Malioboro-Margo Mulyo

memiliki beberapa arti penting yang dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu

sudut pandang pejalan kaki dan para pemanfaat trotoar di sektor informal sah

seperti PKL dan Parkir. Sedangkan untuk menata trotoar di Kawasan Malioboro

yang sudah dipenuhi oleh PKL dan Parkir, dibutuhkan suatu penataan Kawasan

Malioboro agar lebih rapi dan teratur serta nyaman bagi para pemanfaatnya yang

meliputi para pejalan kaki, PKL, dan petugas Parkir. Melalui penelitian yang

dilakukan oleh Aditya, penulis mengetahui bahwa trotoar yang ada di Malioboro

memiliki nilai ruang yang tinggi. Sehingga perlu adanya penataan secara

komprehensif untuk menciptakan kenyamanan. Namun pada nyatanya penataan

Kawasan Malioboro masih mengalami kendala resistensi. Penelitian ini dilakukan

untuk melihat resistensi tersebut di tengah urgensi penataan Kawasan Malioboro

itu sendiri.

Penelitian selanjutnya yaitu penelitian Tesis dari Yustina Niken R.H. dengan

judul Efektivitas Penataan Kawasan Pedestrian di Malioboro terhadap Kinerja

Jalan dan Tingkat Polusi Udara di Sekitarnya. Penelitian yang dilakukan pada

tahun 2014 ini bertujuan untuk melakukan pemodelan jaringan jalan yang ditinjau

pada kondisi eksisting dan skenario penutupan Jalan Malioboro serta skenario

penerapan alternatif solusi kantong Parkir baru. Melalui penataan dengan

penutupan Jalan Malioboro serta memberikan akses alternatif baru untuk keluar dan

masuk di kawasan sekitar Malioboro, diperlukan alternatif kantong Parkirbaru yang

didistribusikan secara merata. Hasil dari penelitian ini yaitu bahwa penerapan

skenario terbaik adalah pada skenario 3 yaitu penyediaan kantong Parkir di Abu

Bakar Ali, Kantor Dinas Pariwisata, dan gedung bekas Bioskop Indra. Penerapan

kantong Parkir pada skenario tersebut dapat memfasilitasi kebutuhan Parkir secara

merata karena kantong-kantong Parkir diletakkan secara menyebar di utara dan

selatan kawasan Malioboro. Penelitian dari Yustina Niken tersebut mencoba

merangcang pemodelan jaringan jalan jika Malioboro menjadi kawasan pedestrian.

Melalui penelitian tersebut dapat diketahui bahwa penataan kawasan pedestrian

Malioboro diperlukan kantong-kantong Parkir di sekitarnya. Perbedaannya dengan

penelitian yang dilakukan oleh penulis yaitu bahwa penelitian ini membahas

tentang kebijakan penataannya, sedangkan penelitian oleh Yustina Niken lebih

fokus pada teknis pemodelan sebuah kawasan pedestrian di Malioboro.

Selanjutnya ada penelitian tesis dari Berton Sembiring dengan judul

Perencanaan dan Perancangan Fasilitas Pejalan Kaki : Studi Kasus Jalan

Malioboro. Penelitian tersebut fokus pada perencanaan trotoar di Jalan Malioboro

dari segi teknisnya. Hasil yang diperoleh yaitu bahwa dalam kondisi eksisting lebar

efektif trotoar di Malioboro yaitu pada sisi timur 0,6m sampai dengan 0,9m.

Sedangkan trotoar pada sisi barat dipenuhi dengan pedagang kaki lima sehingga

lebar efektifnya menjadi 0,6m sampai 1m. Oleh karena itu permintaan kebutuhan

pelayanan pejalan kaki untuk berjalan di trotoar Jalan Malioboro tidak dapat

terlayani dengan baik. Melalui penelitian tersebut penulis dapat mengetahui bahwa

sebenarnya memang trotoar yang diperuntukkan bagi pejalan kaki tidak berfungsi

sebagaimana mestinya sehingga butuh suatu penataan. Namun karena penataan

bukan hanya menyangkut tentang fisik suatu ruang, muncul persoalan sosial di

dalamnya. penelitian ini mencoba melihat masalah dari sisi persoalan tersebut.

Secara umum penelitian diatas memang menjadikan Malioboro sebagai

objek penelitian. Tetapi belum ada yang melihat persoalan Malioboro dari segi

kebijakannya. Padahal persoalan kebijakan penataan Malioboro itu yang sampai

saat ini menjadi pertanyaan besar terkait dengan urgensi penataan serta hambatan

yang terjadi di dalamnya.

Dalam penelitian yang berjudul Dinamika Peran Stakeholder dalam

Implementasi Kebijakan Penataan Pedagang Kaki Lima oleh Joko Winarno

menjelaskan tentang peran stakeholders dalam penataan PKL di Malioboro.

Pembelajaran yang dapat diambil dari penelitian Joko Winarno yaitu bahwa dalam

melakukan penataan itu bukanlah suatu hal yang mudah. Adanya heteogenitas

kepentingan aktor menyulitkan mereka dalam berinteraksi. Lalu penelitian di

nomor 2,3, dan 4 lebih menjelaskan pada penataan dari segi teknis. Penelitian yang

berjudul Analisis Pemanfaatan Trotoar di Jalan Malioboro-Margo Mulyo :

Perspektif Ruang dan Waktu oleh Aditya Suryantakan dan penelitian Berton

Sembiring yang berjudul Perencanaan dan perancangan fasilitas pejalan kaki :

Studi Kasus jalan Malioboro memaparkan tentang fungsi-fungsi yang diemban oleh

trotoar di Kawasan Malioboro. Trotoar yang ada di Malioboro ternyata memiliki

banyak fungsi selain fungsinya sebagai area untuk pejalan kaki.

Sedangkan penelitian Yustina Niken yang berjudul Efektivitas Penataan

Kawasan Pedestrian di Malioboro terhadap Kinerja Jalan dan Tingkat Polusi

Udara di Sekitarnya mencoba memberikan alternatif tentang pemodelan jaringan

jalan untuk area pedestrian di Malioboro. Penelitian-penelitian diatas secara umum

belum ada yang membahas penataankawasan Malioboro menjadi kawasan

pedestrian dari sisi kebijakan serta kepentingan dan pengaruh stakeholders yang

terlibat didalmnya . Untuk itu dalam penelitian ini, peneliti mencoba melihat

penataan kawasan Malioboro dari sisipemangku kepentingan yang terlibat

didalamnya serta masalah dan kendala yang terjadi dalam penataan Malioboro

menjadi kawasan pedestrian, yaitu adanya resistensi dari aktor-aktor yang ada di

sana.Melalui penelitian ini dapat terlihat bagaimana perkembangan terakhir

mengenai kebijakan penataankawasan Malioboro, kemudian seperti sikap dan

pengaruh masing-masing stakeholders yang terlibat didalamnya.

1.3. Rumusan Masalah

Berdasarkan masalah diatas, penelitian ini ingin melihat seperti pemetaan

pemangku kepentingan serta pengaruh dan kekuatan stakeholders dalam formulasi

kebijakan terjadi dalam proses perumusan penataan Malioboro menjadi kawasan

pedestrian yang saat ini masih berada pada tahap grand desain beserta faktor-faktor

penyebab adanya resistensi terhadap kebijakan tersebut. Rumusan masalah

penelitian ini, yaitu :

Bagaimana Pemetaan Pemangku Kepentingan dan pengaruhnya dalam

Formulasi Kebijakan Penataan Malioboro Sebagai Kawasan Semi Pedestrian ?

Untuk menjawab rumusan masalah diatas, ada beberapa hal yang dijelaskan melalui

penelitian ini yaitu.

1. Alur formulasi kebijakan penataan Malioboro menjadi kawasan semi

pedestrian.

2. Pemetaan stakeholders dalam formulasi kebijakan penataan kawasan

Malioboro menjadi kawasan semi pedestrian

3. Sikap dan kepentingan aktor-aktor dalam formulasi kebijakan penataan

Malioboro menjadi kawasan semi pedestrian.

4. Faktor-faktor yang menyebabkan sikap aktor mendukung atau resistan

terhadap penataan Malioboro menjadi kawasan semi pedestrian.

1.4. Tujuan Penelitian

1. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pemetaan stakeholders

dalam formulasi kebijakan penataan kawasan Malioboro sebagai kawasan

semi pendestrian, menganalisis siapa saja yang terlibat dalam pelaksanaan

peraturan, baik lembaga pelaksana peraturan, target kebijakan, serta pihak-

pihak yang terkena dampak dari kebijakan.

2. Tujuan selanjutnya adalah untuk mengetahui sikap dan pengaruh

stakeholders yang terlibat dalam proses formulasi kebijakan penataan

kawasan Malioboro sebagai kawasan semi pedestrian.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Bagi penulis, penelitian ini dapat menjadikan penulis lebih kritis dalam melihat

berbagai persoalan yang terjadi dalam suatu pembuatan kebijakan publik.

2. Bagi Pemerintah, yaitu dapat menjadi sebuah refleksi tentang pembuatan suatu

kebijakan publik agar nantinya dapat menjadi pembelajaran ke depannya.

3. Bagi Masyarakat, penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai

dinamika kebijakan penataan Malioboro yang sebenarnya isunya sangat dekat

dengan masyarakat.

1.6. Sistematika Penulisan

Pada bagian ini akan di jelaskan sistematika penulisan skripsi dari awal sampai

selesai, adapun sistematika penulisan skripsi ini sebagai berikut:

BAB 1.PENDAHULUAN

Bab I memaparkan latar belakang masalah , rumusan masalah, tujuan

penelitian dan manfaat penelitian , untuk menggambarkan tentang apa yang ingin

dicari dalam penelitian ini.

BAB II. LANDASAN TEORI

Menjelaskan mengenai stakeholders mapping dalam kebijakan penataan

kawasan Malioboro sebagai kawasan semi pedestrian, yang meliputi konsep

kebijakan publik, model formulasi kebijakan publik, stakeholder mapping dalam

kebijakan publik serta pelaku atau aktor kebijakan serta nilai-nilai yang

mempengaruhi pelaku kebijakan dan lingkungan kebijakan. kemudian membahas

studi literature atau tinjauan pustaka yang berhubungan. Pada bab ini nanati akan

menjelaskan teori yang relevan yang digunakan untuk menjawab pertanyaan

penelitian.

BAB III.METODE PENELITIAN

Bab ini memaparkan tentang pemilihan metode penelitian, unit analisis,

teknik pengumpulan data, analisa serta sistematika pembahasan. Dengan metode

ini maka diharapkan akan memberikan gambaran tentang langkah-langkah yang

harus ditempuh peneliti dalam penelitian , dan mencari jenis penelitian yang tepat..

BAB IV.DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN

Deskripsi wilayah dalam penelitian ini meliputi instansi tempat peneliti

mencari data, yaitu lembaga eksekutif, lembaga legislative dan semua stakeholder

yang terlibat dalam proses perumusan kebijakan penataan kawasan Malioboro

daerah istimewa Yogyakarta, serta gambaran mengenai substansi penataan

kawasan Malioboro sebagai kawasan semi pedestrian

BAB V. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi tentang analisis dan pembahasan mengenai analisis

stakeholder dengan menggunakan stakeholder mapping atau pemetaan stakeholder

dalam formulasi kebijakan yang dilihat dari kepentingan dan pengaruhnya dalam

proses penataan kawasan Malioboro sebagai kawasan semi pedestrian. Dalam bab

ini juga akan medeskripsikan model yang digunakan dalam formulasi kebijakan

penataan kawasan Malioboro serta keterlibatan masyarakat kususnya stakeholder

yang terlibat.

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran berkaitan dengan hasil

penelitian mengenai stakeholder mapping dalam proses penataan kawasanma

Malioboro sebagai kawasan semi pedestrian kemudian juga termasuk rekomendasi

serta opini terhadap penelitian ini.