BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang -...

27
1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Topik yang dibicarakan dalam penulisan tesis ini tidak lepas dari pengalaman Penulis secara pribadi. Sebagai seorang pendeta GKE (Gereja Kalimantan Evangelis) yang mengenyam pendidikan teologi sejak pertengahan tahun 90-an, Penulis hidup dalam lingkungan pemikiran teologis yang lebih menekankan upaya untuk berteologi secara kontekstual. Sepanjang yang Penulis ketahui, penekanan pada upaya berteologi dalam konteks ini dilatarbelakangi oleh munculnya kesadaran gereja-gereja di Indonesia akan konteks di mana ia berada, konteks di mana atau ke mana ia menerima tugas panggilan, pengutusan dan pelayanannya. Sesuai dengan bidang minat studi Penulis di PPST-UKDW Yogyakarta, yakni Teologi Publik, secara khusus pada persoalan-persoalan yang menyangkut hubungan antara teologi dan politik, penulisan tesis ini dilatarbelakangi oleh pergumulan akan konteks perubahan-perubahan yang terjadi dalam dunia politik di Indonesia beberapa tahun terakhir, khususnya yang juga dialami oleh warga jemaat GKE (Gereja Kalimantan Evangelis). Perubahan-perubahan yang Penulis maksudkan itu antara lain adalah pemberlakuan otonomi daerah, pemekaran wilayah, serta sistem pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan secara langsung. Menurut Penulis, perubahan- perubahan realitas politik beberapa tahun terakhir yang relatif cepat dan sulit

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang -...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50050192/92e5e... · Latar Belakang Topik yang dibicarakan dalam penulisan

1

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Topik yang dibicarakan dalam penulisan tesis ini tidak lepas dari pengalaman

Penulis secara pribadi. Sebagai seorang pendeta GKE (Gereja Kalimantan Evangelis)

yang mengenyam pendidikan teologi sejak pertengahan tahun 90-an, Penulis hidup

dalam lingkungan pemikiran teologis yang lebih menekankan upaya untuk berteologi

secara kontekstual. Sepanjang yang Penulis ketahui, penekanan pada upaya berteologi

dalam konteks ini dilatarbelakangi oleh munculnya kesadaran gereja-gereja di

Indonesia akan konteks di mana ia berada, konteks di mana atau ke mana ia menerima

tugas panggilan, pengutusan dan pelayanannya.

Sesuai dengan bidang minat studi Penulis di PPST-UKDW Yogyakarta, yakni

Teologi Publik, secara khusus pada persoalan-persoalan yang menyangkut hubungan

antara teologi dan politik, penulisan tesis ini dilatarbelakangi oleh pergumulan akan

konteks perubahan-perubahan yang terjadi dalam dunia politik di Indonesia beberapa

tahun terakhir, khususnya yang juga dialami oleh warga jemaat GKE (Gereja

Kalimantan Evangelis). Perubahan-perubahan yang Penulis maksudkan itu antara lain

adalah pemberlakuan otonomi daerah, pemekaran wilayah, serta sistem pemilihan

kepala daerah yang dilaksanakan secara langsung. Menurut Penulis, perubahan-

perubahan realitas politik beberapa tahun terakhir yang relatif cepat dan sulit

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50050192/92e5e... · Latar Belakang Topik yang dibicarakan dalam penulisan

2

diprediksi1 ini mau tidak mau, langsung atau tidak langsung, akan melibatkan dan

memberikan pengaruh terhadap kehidupan warga jemaat GKE sebagai bagian dari

masyarakat Kalimantan khususnya ataupun sebagai bagian dari bangsa Indonesia pada

umumnya.2

1.1. Agama dan Politik

Sejarah memperlihatkan dinamika peran agama atau teologi dalam kehidupan

politik manusia. Misalnya masyarakat pra industri (bahkan sampai sekarang)

meyakini bahwa struktur kekuasaan berhubungan erat dengan agama atau sistem

kepercayaan. Agama atau sistem kepercayaan itu diyakini menjadi sumber nilai-nilai

yang berfungsi untuk mempertahankan masyarakat.3 Lain hahlnya sejak

“Pencerahan, aufklarung” di Eropa Barat, sains mengambil alih kedudukan yang

paling tinggi sebagai “Queen of the Sciences” dari teologi. Seperti apa yang pernah

terjadi pada teologi sebelumnya, Sains diagung-agungkan bisa menjawab semua

persoalan-persoalan manusia secara logis. Harapan ini gagal ketika ternyata sains

tidak mampu memenuhi semua pertanyaan manusia.4

1 Dengan mengutip komentar salah seorang profesor di Leeds University, Yahya Wijaya menyatakan bahwa apa yang terjadi dalam dunia politik Indonesia sejak 1997 adalah fenomena yang sangat menarik pengamat politik manapun. Fenomena itu antara lain tumbangnya rezim Soeharto yang telah berkuasa 30 tahun, dilanjutkan dengan hiruk pikuk perombakan yang diberi label “reformasi”, terbentuknya sekian banyak partai politik baru dan naik turunnya beberapa presiden dalam waktu yang relatif singkat. Lih. Yahya Wijaya, “Memahami Teologi dan Politik” dalam Gema Duta Wacana, edisi 59 tahun 2004, hlm. 4. 2 Mengutip pernyataan EG Singgih, kontekstualisasi dapat dipahami secara sederhana sebagai usaha menemukan harga diri sendiri sebagai orang Kristen dalam konteks kita berada. Menghayati iman di dalam konteks kita sendiri berarti bagaimana saya menghayati harga diri sebagai orang Kristen Indonesia, yang betul-betul Kristen, tetapi juga betul-betul Indonesia. Lih. E.G Singgih, Berteologi Dalam Konteks Indonesia, Jakarta-Yogyakarta: BPK Gunung Mulia-Kanisius, 2000 , hlm. 22. 3 Sartono Kartodirdjo (ed), Kepemimpinan Dalam Dimensi Sosial, Jakarta: LP3ES, 1986, hlm. vii-viii. 4 Bdk. Hardiman, F. Budi, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2003, hlm. 173-175.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50050192/92e5e... · Latar Belakang Topik yang dibicarakan dalam penulisan

3

Di tengah pergulatan itu, akhir abad dua puluh malah menyodorkan fenomena

kontras: tahun 1970-an menjadi masa yang disebut Riccardi sebagai “masa kejutan

Ilahi” (divine surprises) atau era kebangkitan agama-agama.5 Agama kembali bangkit

di negara-negara di mana sekularitas telah diajarkan atau ditanamkan, bahkan di

mana doktrin anti-agama ditanamkan. Agama-agama ternyata tetap mampu bertahan

atau muncul kembali sebagai faktor penting dalam kehidupan politik di banyak

negara di dunia.

Coba kita lihat beberapa contoh faktual berikut. Pada sebagian besar negara-

negara mayoritas Muslim di luar Indonesia, seperti Saudi Arabia, Tunisia, al-Jaza’ir,

Mesir, Suriah, Pakistan, Bangladesh, Iran, Yordania, dan Malaysia, orang yang

beragama non-Muslim tidak dapat atau sangat sulit untuk duduk dalam jabatan

sebagai sebagai presiden atau jabatan kepemimpinan lainnya. Hal ini, menurut

Masykuri Abdillah, pada sebagian besar negara-negara mayoritas Muslim di Timur

Tengah yang dalam konstitusinya terdapat ketentuan hanya seorang Muslim saja

yang bisa menjadi kepala negara, secara jelas mencerminkan adanya diskriminasi

politik terhadap minoritas non-Muslim.6 Fakta semacam itu juga terjadi negara-

negara yang mayoritas penduduknya beragama Kristen, Hindu, Budha, atau lainnya.

Masykuri menjelaskan, diskriminasi politik itu bisa terjadi secara de facto atau secara

de yure. Di Amerika Serikat yang mayoritas Kristen misalnya, minoritas Muslim

5 Andrea Riccardi, “Antara Kebebasan dan Dialog: Agama di Abad Dua Puluh”, dalam Wim Beuken dan Karl-Josef Kuchel, Agama Sebagai Sumber Kekerasan?, (diterjemahkan dari buku aslinya “Religion as a Source of Violence” oleh Imam Baehaqie), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 127-128. 6 Lih. Syarif, Mujar Ibnu, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, Tinjauan dari Perspeltif Politik Islam dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006, hlm. 5.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50050192/92e5e... · Latar Belakang Topik yang dibicarakan dalam penulisan

4

secara de yure atau secara hukum di atas kertas memang tidak mengalami

diskriminasi politik. Akan tetapi secara de facto sesungguhnya mereka mengalami

diskriminasi politik, sehingga mustahil bagi minoritas Muslim di Amerika Serikat

dapat tampil sebagai presiden AS.

Argumen bahwa agama itu penting atas politik memang bukan hal yang baru.

Menurut hasil penelitian Wald,7 masyarakat Amerika hampir selalu memiliki

perasaan kedekatan dengan kelompok keagamaan tertentu dan terlibat dalam praktik

keagamaan dengan frekuensi yang tinggi. Mereka memiliki tingkat keterlibatan

keagamaan yang jauh lebih luas dibandingkan dengan keterlibatan mereka dalam

politik. Keterlibatan yang luas ini diperkirakan memiliki pengaruh agama atas politik.

Jika di Amerika saja (yang sering dianggap sekuler) agama begitu besar

pengaruhnya, bagaimana di tempat kita sendiri?

Menjawab pertanyaan ini, kita bisa memperhatikan fenomena pasca gerakan

dan era reformasi, di mana banyak kalangan orang Kristen (seperti halnya yang

terjadi di kalangan lain) yang mendirikan partai politik berlabel Kristen.8 Atau

fenomena yang cukup menarik perhatian berbagai kalangan adalah kemunculan

partai PDS (Partai Damai Sejahtera). Ketika menghadapi Pemilu Presiden 2004 yang

lalu, para pendukung Ruyandi Hutasoit (Ketua umum PDS) membuat proyek yang

diberi nama “Proyek Yusuf 2004”. Sesuai namanya, proyek ini diambil dari kisah

Nabi Yusuf yang berhasil menjadi penguasa di negeri asing (Mesir) dan dalam

7 Untuk lebih lengkapnya lih. Leege, David C. Dan Lyman A. Kellstedt (eds), Agama dalam Politik Amerika, (diterjemahkan oleh Debbie A. Lubis dan A. Zaim Rofiqi dari buku “Rediscovering the Religious Factor in American Politics”), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dalam kerja sama dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta dan Freedom Institute, 2006. 8 Salah seorang almuni PPST-UKDW, yakni Sdr. Anselmus Puasa telah menulis tesis berjudul “Pendeta dan Partai Politik, Suatu Tinjauan Teologi Sosial”, Yogyakarta, 2005.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50050192/92e5e... · Latar Belakang Topik yang dibicarakan dalam penulisan

5

kondisi sebagai minoritas. Proyek ini menyerukan agar seluruh pemeluk Kristiani

bersatu padu mendukung hamba Tuhan menjadi presiden RI pada pemilu presiden

2004.9 Salah satu fenomena yang juga dijadikan topik tesis di PPST-UKDW adalah

meningkatnya keterlibatan pendeta dalam politik yang telah ditulis oleh Pdt.

Anselmus Puasa tahun 2005 yang lalu.

1.2. Realitas Politik di Era Reformasi

Era reformasi mestinya menyebabkan jabatan kepala daerah menjadi lebih

berat. Mengapa? Karena di era reformasi ini seorang kepala daerah (Gubernur,

bupati, wali kota) tidak hanya berhadapan dengan posisi DPRD yang kuat, tetapi juga

karena meningkatnya keberanian masyarakat untuk mengkritik dan menuntut hak-

haknya kepada pemerintah daerah, serta kondisi sosial ekonomi masyarakat yang

masih rendah. Namun fenomena reformasi sekarang ini justru menimbulkan

pertanyaan menarik: Di balik bayang-bayang beratnya tugas dan kewajiban kepala

daerah, justru proses pemilihan kepala daerah di era reformasi sekarang ini

memperlihatkan meningkatnya calon-calon yang berminat untuk memperebutkan

jabatan tersebut. Apakah pemilihan kepala daerah bukan hanya sekadar permainan

spekulatif? Keraguan ini bukannya tanpa alasan. Laporan dari berbagai media massa

selama ini bisa memperlihatkan hal itu. Salah satu contoh adalah, meskipun sulit

dibuktikan secara hukum, namun sudah menjadi rahasia umum bahwa praktek politik

uang nampaknya tidak bisa dihapuskan oleh sistem pemilihan kepala daerah secara

langsung. Jika dulu penerima suap adalah anggota-anggota DPRD, maka politik uang

(yang terkenal dengan “serangan fajar” itu) di era reformasi ini menjadikan

9 Sabili, No. 2, tahun XI, 14 Agustus 2003, hlm. 107.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50050192/92e5e... · Latar Belakang Topik yang dibicarakan dalam penulisan

6

masyarakat sebagai sasarannya. Bentuknya pun bervariasi, dari yang disebut biaya

akomodasi, tanda terima kasih, syukuran, sampai kepada yang benar-benar jual beli

suara.

1.2.1. Otonomi Daerah dan Pemekaran

Seingat Penulis, gerakan reformasi 1998 dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan

masyarakat Indonesia akan politik sentralisasi kekuasaan yang diperparah dengan

maraknya KKN (Korupsi, kolusi dan nepotisme) selama pemerintahan Orde Baru di

negara ini. Walaupun sang penguasa rezim Orde Baru, Soeharto yang sudah berkuasa

selama 32 tahun telah “lengser ke prabon”, harapan reformasi tidak begitu saja mudah

tercapai. Wajar memang, karena menjelang dan sesudah jatuhnya Soeharto bangsa

Indonesia harus menghadapi munculnya berbagai masalah: krisis moneter, krisis

ekonomi, krisis politik, krisis kebudayaan, yang dilanjutkan dengan penilaian krisis

moral.10

Hasil yang cukup cepat diputuskan oleh para pemimpin bangsa Indonesia

pasca reformasi adalah pemberlakuan otonomi daerah11 dengan tujuan utamanya

adalah "membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam

menangani urusan domestik".12 Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah ini

diberlakukan sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

10 J.B.Banawiratma, “Transformasi Indonesia”, dalam Gema Duta Wacana, edisi 54 tahun 1998, hlm. 59. 11 Menurut berbagai literatur yang Penulis dapatkan, diskursus mengenai otonomi daerah di Indonesia sebenarnya sudah lama didiskusikan, bahkan setua negara ini. Frekuensi pembicaraan mengenai otonomi daerah mulai populer sebagai wacana publik pada era 90-an. Bdk. D.R.Nugroho, Otonomi Daerah, Desentralisasi Tanpa Revolusi: Kajian dan Kritik Atas Kebijaksanaan Desentralisasi di Indonesia, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2000, hlm. 5-6. 12 Syaukani, Afan Gaffar, dan Ryaas Rasyid, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 172.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50050192/92e5e... · Latar Belakang Topik yang dibicarakan dalam penulisan

7

Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang

Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Pada perkembangan selanjutnya, kedua

Undang-undang tersebut diperbaiki kembali melalui Undang-undang Nomor 32 tahun

2004 tentang pemerintahan daerah dan Undang-undang No. 33 tahun 2004 tentang

perimbangan keuangan Pusat-Daerah.13

Kebijakan atau pemberlakuan otonomi daerah ini pada gilirannya diikuti oleh

fenomena menarik akan kecenderungan terjadinya pemekaran wilayah di seluruh

Indonesia dalam bentuk pemekaran kabupaten dan propinsi baru. Fenomena euforia

pemekaran wilayah itu sendiri telah mengakibatkan jumlah kabupaten dan kota

menjadi meningkat dan dapat diandaikan seperti efek bola salju hasil reformasi yang

terus menggelinding ke berbagai daerah di Indonesia. Menurut data yang dimuat

Kompas, dalam kurun tahun 1999 hingga April 2002 terdapat 57 kabupaten dan 25

kota baru sebagai hasil pembentukan yang terjadi di 58 kabupaten induk dari 20

provinsi. Hingga September 2002, Indonesia sudah memiliki 287 kabupaten dan 88

kota.14 Sedangkan dalam kurun tahun 1999 hingga akhir tahun 2006 di Indonesia telah

terbentuk tujuh propinsi baru, 129 kabupaten baru dan 26 kota baru.15 Hingga April

2007 propinsi di Indonesia berjumlah 33 buah di samping adanya 457 kabupaten/kota.

Jumlah ini belum termasuk delapan daerah baru yang disetujui oleh Presiden dan DPR

pada tanggal 17 Juli 2007 untuk dibentuk. Bila dihitung, maka jumlah daerah

pemekaran saat ini sekitar lima kali lipat dibandingkan keadaan di masa Orde Baru

13 http://www.kpu.go.id/wacana/lihat-dalam.php?ID=20&cat=Wacana, diakses tanggal 12 Nopember 2006. 14 Sisilia Srisuwastuti, “Pemekaran Wilayah setelah Otonomi Daerah: Kebutuhan atau Gaya”, dalam Indonesia Dalam Krisis 1997-2002, Jakarta: Kompas, 2002, hlm. 273. 15 Sumber: Depdagri, April 2007.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50050192/92e5e... · Latar Belakang Topik yang dibicarakan dalam penulisan

8

dan setara dengan pemekaran wilayah yang terjadi pada periode 1956 – 1960.16 (Lihat

tabel 1)

Tabel 1: Jumlah Propinsi, Kabupaten dan Kota Pemekaran di Indonesia Tahun 1950-2006

PERIODE PROPINSI KABUPATEN/KOTA

1950 – 1955 6 99

1956 – 1960 16 145

1961 – 1965 3 16

1966 – 1970 1 11

1971 – 1998 1 33

1999 – 2005 6 136

1999 – 2006 7 155 (129 kab, 26 kota)

Sumber: data tahun 1950 – 2005 bersumber dari DRSP-USAID, sedangkan untuk data tahun 1999 – 2006 diolah dari data Depdagri 2007.

Mengenai motivasi pembentukan daerah baru, Fitriani et al, menyusun empat

hipotesis umum yang kemudian diuji secara empiris dengan menggunakan model logit

terhadap 336 daerah kabupaten/kota. Motivasi-motivasi itu antara lain: penyebaran

geografis, preferensi akan homogenitas, limpahan fiskal (fiscal spoils), dan

pemburuan rente birokratik dan politik (Bureaucratic and Political Rent-Seeking)

yang semuanya dapat saja muncul secara bersamaan.17 Tri Ratnawati menambahkan

16 DRSP-USAID, Decentralization 2006: Stock Taking On Indonesian’s Recent Decentralization Reforms, Jakarta: Depdagri, Agustus 2006. 17 Lih. Fitriani et al, “Unity in Diversity? The Creation of New Local Governments in a Decentralizing Indonesia”, Bulletin of Indonesia Economic Studies No 41/1, 2005, hlm. 57-79.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50050192/92e5e... · Latar Belakang Topik yang dibicarakan dalam penulisan

9

pula bahwa ada faktor politik Gerrymander atau usaha pemenangan Pemilu dengan

melakukan pembedahan daerah pemilihan secara politik.18

Secara politis, dengan adanya pemekaran diharapkan akan tercapai

kesejahteraan masyarakat melalui:19 (a) peningkatan pelayanan kepada masyarakat; (b)

percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah; (c) pertumbuhan

kehidupan demokrasi; (d) percepatan pengelolaan potensi daerah; (e) peningkatan

keamanan dan ketertiban; dan (f) peningkatan hubungan serasi antara pusat dan

daerah.

Namun tampaknya harapan tersebut tidak selalu tercapai. Pemekaran daerah

kini juga tidak jarang menjadi bumerang bagi pemerintah pusat. Misalnya, isu

pemekaran wilayah menimbulkan konflik yang berkepanjangan dalam masyarakat di

tingkat lokal, seperti kasus kerusuhan di Banggai Kepulauan beberapa waktu lalu.

Tujuan dari pemekaran pun menjadi tidak tercapai dan tampak hanya membuang

energi sia-sia. Dengan demikian bisa jadi motif pemekaran tidak selalu identik dengan

motif ekonomi untuk kesejahteraan rakyat an sich. Motif yang sering dimunculkan

terkait dengan pemekaran daerah mulai dari alasan ekonomi hingga alasan politis.

Pertautan antar motif tidak bisa dielakkan khususnya ketika berhadapan dengan

18 Lih. Tri Ratnawati, “Mengevaluasi Kebijakan Pemekaran Wilayah di Indonesia”, dalam Blue Print Otonomi Daerah, Yayasan Harkat Bangsa bekerja sama dengan Partnership for Governance Reform in Indonesia (PGRI) dan European Union (EU), Jakarta, 2006. Ilmuwan politik pun tidak sedikit yang meyakini pemekaran menjadi salah satu solusi untuk menyelesaikan beberapa masalah nasional yang sangat krusial seperti masalah disparitas pembangunan ekonomi dan sosial, kerapuhan identitas ke-Indonesiaan, dan kerapuhan penjagaan kewilayahan aktif. 19 Cornelius Lay dan Purwo Santoso (eds), Perjuangan Menuju Puncak: Kajian Akademik Rencana Pembentukan Kabupaten Puncak Jaya, Provinsi Papua, Yogyakarta: PLOD UGM, 2006, hlm. 8.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50050192/92e5e... · Latar Belakang Topik yang dibicarakan dalam penulisan

10

persyaratan formal pemekaran yang lebih banyak mengedepankan isu-isu ekonomi

ataupun pelayanan publik sebagai alasan untuk persetujuan pemekaran.

1.2.2. Sistem Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung

Realitas berikutnya yang tak kalah penting adalah Pemilihan presiden (pilpres)

tahun 2004 yang merupakan momentum penting dalam sejarah politik Indonesia.

Untuk pertama kalinya, rakyat Indonesia bisa memilih presiden mereka secara

langsung. Sistem pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat (direct popular vote)

itu mengakhiri sistem lama yang menempatkan Majelis Permusyawaratan Rakyat

(MPR) sebagai lembaga kekuasaan tertinggi dalam struktur kenegaraan dengan fungsi

antara lain memilih presiden dan wakil presiden.20 Perubahan pada makna “langsung”

tersebut sekaligus menegaskan kepentingan atas perlunya memperoleh wakil rakyat

dan wakil daerah, serta presiden dan wakil presiden dengan dukungan yang kuat dari

rakyat.21

Perubahan sistem pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung ini

menggulirkan perkembangan krusial yang selanjutnya terjadi sejak Juni 2005, di mana

bangsa Indonesia bisa dikatakan memasuki babak baru berkaitan dengan

penyelenggaraan tata pemerintahan di tingkat lokal. Kepala Daerah, baik bupati atau

walikota maupun gubernur yang sebelumnya dipilih secara tidak langsung oleh

DPRD, sejak Juni 2005 dipilih secara langsung oleh rakyat, melalui proses pemilihan

20 Jika kita melihat sejarah masa lalu, MPR bahkan mencatat sejarah dengan menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup, dan memilih Soeharto sebagai presiden untuk 7 (tujuh) periode masa jabatan secara berturut-turut. 21 Lih. Penjelasan umum angka 2 UU No. 12 tahun 2003 tentang Pemilihian Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50050192/92e5e... · Latar Belakang Topik yang dibicarakan dalam penulisan

11

kepala daerah yang sering disingkat dengan Pilkada Langsung.22 Untuk kepentingan

ini, pemerintah telah mensahkan UU nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan

Daerah sebagai pengganti UU nomor 22 tahun 1999. Setelah “amandemen” MK atas

UU tersebut, pemerintah mengeluarkan Perpu Nomor 3 tahun 2005 sebagai perubahan

atas UU Nomor 32 tahun 2004. Seiring dengan itu, pemerintah juga telah

mengeluarkan PP Nomor 17 tahun 2005 sebagai pengganti PP Nomor 6 Tahun 2005

tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan

Wakil Kepala Daerah. Salah satu isu penting dalam Undang-Undang, Perpu dan PP

tersebut berkaitan dengan pengaturan pemilihan Kepala Daerah secara langsung.

Dengan pemilihan Kepala Daerah secara langsung, kepala daerah seperti

gubernur (di tingkat propinsi), dan bupati atau walikota (di tingkat kabupaten atau

kotamadya) akan dipilih sendiri oleh rakyat. Pasal 56 ayat (1) UU Nomor 32 tahun

2004 menyebutkan, “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu

pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis, langsung, umum, bebas,

rahasia, jujur, dan adil”. Artinya, sejak kepala daerah dipilih secara langsung oleh

rakyat, maka secara konseptual telah terjadi pergeseran pelaksana kedaulatan, yang

sebelumnya dilaksanakan secara tidak langsung oleh DPRD sekarang dilakukan

sendiri oleh rakyat.

22 Asfar, Muhammad, “Pilkada dan Penciptaan Pemerintahan yang Representatif”, dalam Nadir, Ahmad, Pilkada Langsung dan Masa Depan Demokrasi, Studi atas Artikulasi Politik Nahdliyin dan Dinamika Politik dalam Pilkada Langsung di Kabupaten Gresik Jawa Timur, Malang: Averroes Press, 2005, hlm. v.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50050192/92e5e... · Latar Belakang Topik yang dibicarakan dalam penulisan

12

1.3. Jemaat GKE di Tengah Arus Perubahan Realitas Politik

Seperti yang Penulis utarakan di atas, perubahan-perubahan wacana politik di

atas mau tidak mau, langsung atau tidak langsung, akan melibatkan dan memberikan

pengaruh terhadap kehidupan warga jemaat GKE sebagai bagian dari masyarakat

Kalimantan khususnya ataupun sebagai bagian dari bangsa Indonesia pada umumnya.

Sebagai salah satu contohnya adalah, sebelum tahun 2002, propinsi Kalimantan

Tengah terdiri dari satu kota dan lima kabupaten. Mengikuti pemberlakuan Otonomi

Daerah yang diikuti fenomena kecenderungan terjadinya pemekaran wilayah,

Pemerintah Pusat telah menyetujui penambahan delapan kabupaten baru di

Kalimantan Tengah melalui UU Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2002 tanggal 10

April 2002, Lembaran Negara RI Tahun 2002 Nomor 18 tentang Pembentukan

kabupaten Katingan, Seruyan, Sukamara, Lamandau, Gunung Mas, Pulang Pisau,

Murung Raya dan Barito Timur di Kalimantan Tengah. Jadi, kini jumlah kabupaten di

Kalimantan Tengah adalah 13 buah dan satu Kota.23

Selain mengalami pemekaran wilayah, warga GKE di Kalimantan Tengah

juga mengikuti untuk pertama kalinya pemilihan kepala daerah (gubernur dan wakil

gubernur) secara langsung pada tahun 2005. Pada tahun 2007 akan dilaksanakan

pemilihan secara langsung Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Kalimantan Barat.

Pada tahun 2008, direncanakan pemilihan secara langsung Gubernur dan Wakil

Gubernur Kalimantan Timur. Pada tahun 2008, menurut rencana secara serempak

23 Selain pemakaran kabupaten yang sudah terlaksana, wacana pemekaran propinsi juga sedang berkembang di propinsi Kalimantan Tengah. Propinsi baru yang diusulkan sebagai pemekaran itu ada dua, yakni propinsi Barito Raya dan Kotawaringin Raya. Sampai saat ini wacana pemekaran propinsi masih menjadi bahan pembicaraan di berbagai lapisan masyarakat.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50050192/92e5e... · Latar Belakang Topik yang dibicarakan dalam penulisan

13

dilaksanakan PILKADA untuk 10 (sepuluh) Kabupaten dan 1 (satu) Kotamadya di

Propinsi Kalimantan Tengah.

Pada saat pemilihan kepala daerah (gubernur dan wakil gubernur) secara

langsung pada tahun 2005 di Propinsi Kalimantan Tengah, gubernur yang terpilih

adalah Agustinus Teras Narang yang juga seorang warga GKE yang selama ini

(sebelum dan selama menjadi gubernur Kalteng) selalu terlibat aktif dalam berbagai

kegiatan yang dilaksanakan oleh GKE. Terpilihnya gubernur yang beragama Kristen

ini disambut gembira oleh berbagai kalangan warga jemaat. Keterlibatan aktif warga

GKE di pemerintahan propinsi Kalimantan Tengah sebelumnya juga terlihat dengan

menduduki jabatan kepala daerah (bupati atau wakil bupati), baik di kabupaten lama

ataupun kabupaten baru hasil pemekaran wilayah (Lihat tabel 2).

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50050192/92e5e... · Latar Belakang Topik yang dibicarakan dalam penulisan

14

Tabel 2

Daftar Nama Warga GKE yang Saat ini Menduduki Jabatan Kepala daerah di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah

No Propinsi/Kotamadya/ Kabupaten Nama Jabatan Periode

Tahun 1 Kalimantan Tengah Agustin T. Narang Gubernur 2005-2010 2 Palangkaraya Tuah Pahoe Walikota 2003-2008 3 Kotawaringin Timur - - - 4 Kotawaringin Barat - - - 5 Kapuas Talinting E. Toepak Wakil Bupati 2003-2008 6 Barito Selatan - - - 7 Barito Utara - - - 8 Barito Timur* Mahur Mudel** Wakil Bupati 2003-2008 9 Gunung Mas* Djudae Anom

Hambit Bintih Bupati

Wakil Bupati 2003-2008

10 Katingan* Drs. Duwel Rawing Yantenglie

Bupati Wakil Bupati 2003-2008

11 Murung Raya* Willy M Yoseph Bupati 2003-2008 12 Pulang Pisau* Darius Y.Dupa Wakil Bupati 2003-2008 13 Lamandau* Bustani DJ Mamud Bupati 2003-2008 14 Sukamara* - - - 15 Seruyan* - - -

Keterangan: * Kabupaten-kabupaten baru hasil pemekaran wilayah tahun 2002. ** Telah meninggal dunia.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50050192/92e5e... · Latar Belakang Topik yang dibicarakan dalam penulisan

15

Pilkada langsung di kabupaten Gunung Mas dan kabupaten-kabupaten lainnya

di propinsi Kalimantan Tengah akan dilaksanakan untuk pertama kalinya pada tahun

2008. Nuansa berbeda yang dimunculkan dari peristiwa ini sudah mulai terasa dan

menjadi bahan pembicaraan di berbagai kalangan masyarakat. Calon-calon kepala

daerah sudah mulai dimunculkan melalui berbagai media massa, misalnya koran

harian Kalteng Pos yang setiap hari memuat hasil poling jajak pendapat calon kepala

daerah. Tabel 2 (dua) di atas memperlihatkan keterlibatan aktif warga GKE di

pemerintahan dengan kedudukan mereka di jajaran pemerintahan daerah. Di antara

mereka dan sejumlah nama baru dari kalangan warga jemaat bermunculan sebagai

calon kepala daerah menjelang pilkada 2008.

2. Rumusan Masalah

Bagi Penulis pribadi, apa yang disampaikan melalui latar belakang

permasalahan di atas membawa pergumulan tersendiri dan perlu dipertanyakan lebih

lanjut. Apakah pemberlakuan otonomi daerah yang diikuti kecenderungan terjadinya

pemekaran wilayah dan penerapan sistem pemilihan kepala daerah secara langsung

mampu mendatangkan kesejahteran masyarkat daerah dan memunculkan pemimpin

yang lebih baik sesuai harapan masyarakat? Apa dan bagaimana orang memaknai

jabatan kepala daerah di zaman sekarang? Apakah ada pengaruh dari pemekaran

wilayah terhadap jabatan kepala daerah? Apakah ada perbedaannya dengan masa

sebelum pemberlakuan otonomi daerah dengan sistem pilkada langsung? Apakah ada

jaminan bahwa seorang kepala daerah dari kalangan warga jemaat akan mampu

berbuat lebih baik bagi masyarakat? Apakah yang menjadi motivasi atau yang

melatarbelakangi warga GKE untuk menduduki jabatan-jabatan kepala daerah itu?

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50050192/92e5e... · Latar Belakang Topik yang dibicarakan dalam penulisan

16

Adakah pengaruh teologis atau iman Kristen di balik semua itu? Apa atau bagaimana

bentuk dukungan para pendeta dan fungsionaris gereja lainnya ataupun GKE sebagai

sebuah lembaga terhadap warganya yang menjadi kepala daerah itu?24

Pertanyaan-pertanaan di atas cukup kompleks, sehingga perlu dirumuskan

secara lebih matang. Sebelum merumuskan masalah dalam tesis ini, Penulis merasa

perlu menggambarkan kembali latar belakang permasalahan yang dihadapi: a)

Reformasi telah menggulirkan wacana otonomi daerah di seluruh Indonesia; wacana

otonomi daerah ini diikuti oleh fenomena kecenderungan terjadinya pemekaran

wilayah di Indonesia dan membuka peluang yang lebih besar bagi berbagai kalangan

untuk menduduki jabatan kepala daerah; b) Pada tahun 2008 Pilkada langsung di

kabupaten Gunung Mas dan kabupaten-kabupaten lainnya di propinsi Kalimantan

Tengah akan dilaksanakan untuk pertama kalinya. Daerah atau tempat akan

dilaksanakannya Pilkada-pilkada tersebut merupakan wilayah / tempat pelayanan

GKE dan domisili warga GKE. Warga GKE yang ada di wilayah tersebut, adalah

warga negara yang mempunyai hak untuk memilih dan dipilih. Di tingkat Kabupaten

dan Kota khususnya di Provinsi Kalimantan Tengah, akan muncul warga GKE

menjadi calon Kepala Daerah dalam wilayah yang sama. PARPOL atau pendukung

peserta PILKADA berusaha dengan berbagai upaya untuk memenangkan

kandidatnya. Hal ini akan menimbulkan perbedaan sikap politik. Adanya perbedaan

di dasari oleh masing-masing kepentingan Parpol dan pendukung calon.

24 Khusus mengenai hal ini, Tawar Soewardji, mantan ketua umum Majelis Sinode GKE dalam tulisannya mengakui bahwa untuk program-program yang berkaitan dengan peranan GKE dalam kehidupan politik masih kurang. Lih. Tawar Soewardji, “Langkah-langkah GKE Mewujudkan Kemandiriannya”, dalam Marko Mahin dan Rama Tulus (eds), 70 Tahun GKE, Pergumulan dan Upaya GKE Menuju Kemandirian, Banjarmasin: MS-GKE, 2005, hlm. 69.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50050192/92e5e... · Latar Belakang Topik yang dibicarakan dalam penulisan

17

Dari berbagai wacana yang tergambar dalam uraian-uraian yang telah

dikemukakan di atas, maka dibuatlah rumusan permasalahan yang hendak dijawab

dalam tesis ini:

a. Apakah fungsi kepala daerah dan kriteria apa saja yang semestinya dilekatkan

pada jabatan kepala daerah itu? Pertanyaan ini akan diperinci dengan beberapa

pertanyaan: Apakah sebenarnya arti jabatan kepala daerah? Bagaimana landasan

hukumnya di Indonesia? Bagaimana kaitannya dengan perkembangan situasi

politik terkini bangsa Indonesia seperti otonomi daerah, pemekaran wilayah dan

pilkada?

b. Bagaimana pandangan warga jemaat GKE tentang fungsi dan kriteria kepala

daerah? Apa yang melatarbelakangi pandangan jemaat tersebut?

c. Apa persoalan teologis yang muncul dari pembahasan mengenai fungsi dan

kriteria kepala daerah ini? Pertanyaan ini akan diperinci dengan pertanyaan: Apa

dan bagaimana hubungan teologi dan politik? Refleksi teologis apa yang bisa

dikemukakan untuk menanggapinya? Bagaimana teologi politis kontekstual yang

bisa ditawarkan terhadap hal demikian?

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50050192/92e5e... · Latar Belakang Topik yang dibicarakan dalam penulisan

18

3. Batasan Masalah

Agar permasalahan dalam tesis ini lebih fokus, maka Penulis akan membatasi

permasalahannya pada:

a. Undang-Undang Republik Indonesia yang berbicara tentang pemerintahan daerah

cukup banyak. Oleh karena itu, walaupun Undang-Undang lainnya juga tetap

dibicarakan, Penulis akan lebih banyak merujuk kepada UU No. 32 tahun 2004

yang merupakan produk hukum terbaru mengenai pemerintahan daerah.

b. Wilayah penelitian: Propinsi Kalimantan Tengah, Kabupaten Gunung Mas, Kota

Kuala Kurun. Penulis menetapkan Kuala Kurun sebagai tempat penelitian dengan

beberapa pertimbangan: pertama, kabupaten Gunung Mas dengan ibu kota

kabupatennya Kuala Kurun adalah salah satu kabupaten baru hasil pemekaran dari

kabupaten Kapuas tahun 2002 yang lalu. Sebagai sebuah kabupaten baru,

diharapkan penghayatan dan harapan masyarakat masih murni dan segar;

pemilihan kepala daerah secara langsung baru akan dilaksanakan tahun 2008.

Kedua, di kabupaten Gunung Mas terdapat mayoritas masyarakat Kristen dengan

prosentase mencapai hampir 70 %. Ketiga, kepala daerah, baik bupati dan wakil

bupati yang saat ini memimpin pemerintahan di kabupaten Gunung Mas adalah

warga Kristen GKE.

c. Ruang lingkup penelitian ini terbatas pada umat Kristen, secara khusus warga

jemaat GKE yang ada di kota Kuala Kurun.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50050192/92e5e... · Latar Belakang Topik yang dibicarakan dalam penulisan

19

4. Hipotesis

Adapun hipotesis yang melatarbelakangi dan akan dibuktikan dalam penulisan

tesis ini adalah sebagai berikut:

a. Fungsi jabatan kepala daerah di sebuah kabupaten baru hasil pemekaran (seperti

Gunung Mas) yang terutama adalah sesegera mungkin memimpin pembangunan

daerah agar bisa bersaing seperti kabupaten lainnnya yang telah mapan. Sementara

itu kriteria yang digunakan untuk memilih kepala daerah dipengaruhi faktor

primordialisme (seperti identitas suku dan agama) dan faktor popularitas.

b. Jemaat memandang kepala daerah sebagai figur pemimpin kharismatik yang

sangat diharapkan mampu memenuhi harapan mereka akan peningkatan

kesejahteraan yang dihasilkan dari pembangunan daerah. Sedangkan untuk

memilih seorang kepala daerah, sebagian besar jemaat GKE Kuala Kurun akan

memilih kepala daerah dengan mempertimbangkan faktor mayoritas (seperti

kriteria agama dan suku) yang dibarengi pertimbangan akan kriteria-kriteria

rasional (misalnya tingkat pendidikan atau pekerjaan).

c. Di kalangan jemaat ada dimensi teologi ekslusif yang melahirkan semacam

perasaan “takut dipimpin orang lain, orang yang berbeda”. Padahal, Otonomi

daerah menempatkan rakyat sebagai subyek utama yang mesti diperhatikan dalam

pembangunan. Oleh karena itu, teologi yang kontekstual di sebuah kabupaten

pemekaran seperti Gunung Mas juga mesti menekankan penghormatan atau

penghargaan yang tinggi terhadap keutuhan manusia.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50050192/92e5e... · Latar Belakang Topik yang dibicarakan dalam penulisan

20

5. Judul

Sesuai dengan latar belakang dan pokok permasalahan yang diuraikan di atas,

maka tesis ini diberi judul: “TINJAUAN ETIS-TEOLOGIS TERHADAP JABATAN

KEPALA DAERAH DI ERA REFORMASI, Suatu Sumbangan Pemikiran Teologi

Politis Kontekstual di Jemaat GKE Kuala Kurun, Kalimantan Tengah”

6. Kerangka Teori

Penulis akan menggunakan “teori elit” dalam rangka membantu menganalisis

persoalan munculnya elit-elit di wilayah-wilayah baru hasil pemekaran. Teori elit

memandang bahwa setiap masyarakat terbagi dalam dua kategori yang luas yang

mencakup:25 (a) sekelompok kecil manusia yang berkemampuan dan karenanya

menduduki posisi untuk memerintah; dan (b) sejumlah besar massa yang menduduki

posisi untuk diperintah. Elit sering diartikan sebagai sekumpulan orang sebagai

individu-individu yang superior, yang berbeda dengan massa dan menguasai jaringan-

jaringan kekuasaan, atau kelompok yang berada di lingkaran kekuasaan maupun yang

sedang berkuasa.

Dalam konteks lokal, elit terbagi dalam dua kategori yaitu elit politik lokal

dan elit non politik lokal.26 Elit politik lokal merupakan seseorang yang menduduki

jabatan-jabatan politik (kekuasaan) di eksekutif dan legislatif yang dipilih melalui

25 Haryanto, Kekuasaan Elit, Suatu Bahasan Pengantar, Yogyakarta: Program Pascasarjana (S2) Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM bekerja sama dengan Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, 2005, hlm. Vi; Maurice Duverger, Sosiologi Politik, Jakarta: Rajawali Press, 1982, hlm. 179. 26 Massa dan Pareto membagi stratifikasi masyarakat dalam tiga kategori yaitu elit yang memerintah (governing elite), elit yang tidak memerintah (non-governing elite) dan massa umum (non-elite). Lihat Maurice Duverger, Sosiologi Politik, Jakarta: Rajawali Press, 1982, hlm. 179.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50050192/92e5e... · Latar Belakang Topik yang dibicarakan dalam penulisan

21

pemilihan umum dan dipilih dalam proses politik yang demokratis di tingkat lokal.

Mereka menduduki jabatan politik tinggi di tingkat lokal yang membuat dan

menjalankan kebijakan politik. Elit politik kategori ini meliputi gubernur, bupati,

walikota, ketua DPRD, anggota DPRD, dan pemimpin-pemimpin partai politik.

Sedangkan elit non-politik lokal adalah seseorang yang menduduki jabatan-jabatan

strategis dan mempunyai pengaruh untuk memerintah orang lain dalam lingkup

masyarakat. Elit non-politik lokal ini meliputi elit keagamaan, elit organisasi

kemasyarakatan, kepemudaan, profesi dan lain sebagainya.27

Selain teori elit, persoalan pemekaran daerah juga bisa dilihat dari latar

belakang pembentukan sebuah kabupaten baru. Untuk membantu menganalisis

pengaruh komposisi penduduk kabupaten Gunung Mas sebagai sebuah kabupaten

baru yang mayoritas penduduknya Kristen, Penulis akan memakai konsep pemikiran

“Minority-complex”. “Minority-complex”adalah kesulitan psikologis yang dialami

sekelompok orang yang berjumlah kecil/sedikit ketika berhadapan dengan komunitas

lain yang lebih besar dan menjadi mayoritas. Kelompok minoritas ini sulit menerima

keadaan mereka secara realistik. Menanggapi gaya politik gereja di masa lalu, EG

Singgih mengemukakan pendapatnya bahwa minority-complex ini bisa dilihat dalam

kehidupan orang Kristen di Indonesia yang mengakibatkan kecenderungan menempel

pada yang berkuasa dan tidak lagi merasa kecil.28

Selain itu wacana yang muncul berkaitan dengan kriteria yang dikenakan

kepada jabatan kepala daerah perludicermati. Untuk keperluan ini Penulis akan

27 Nurhasim (ed.), Konflik Antar Elit Politik Lokal dalam Pemilihan Kepala Daerah, Jakarta-Yogyakarta: LIPI-Pustaka Pelajar, 2005, hlm. 13. 28 EG Singgih, Iman dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004, hlm. 33.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50050192/92e5e... · Latar Belakang Topik yang dibicarakan dalam penulisan

22

memakai “Teori Keadilan” dari Michael Walzer.29 Michael Walzer dipilih karena ia

sangat menghargai penghayatan masyarakat di mana “barang sosial” (dalam hal ini

jabatan kepala daerah) itu berada. Menurut Walzer, masyarakat di tempat di mana

‘barang sosial” itulah yang semestinya memberi makna kepada jabatan kepala daerah

sesuai dengan penghayatan dan aspirasi mereka sendiri. Teori ini akan digunakan

untuk mengkritisi fungsi dan kriteria kepala daerah.

Menurut Walzer masyarakat-manusia pada dasarnya adalah komunitas yang

distributif. Manusia menyusun/merencanakan dan menciptakan barang-barang, lalu

mendistribusikannya kepada manusia-manusia lainnya. Barang-barang itu sendiri

tidaklah bebas nilai, namun terikat oleh arti/makna sosial yang dikenakan kepada

barang tersebut. Dengan konsep itu, Walzer menyatakan bahwa semua distribusi

barang bisa dikatakan adil atau tidak adil tergantung pada makna sosial yang

diberikan pada barang tersebut. Di sini Walzer hendak memperlihatkan kepada kita

bahwa keadilan juga merupakan sebuah “barang”, hasil konstruksi manusia yang

didistribusikan di antara manusia-manusia itu sendiri. Karenanya, konsep dan praktek

“keadilan” itu relatif, bisa saja berbeda-beda, jika dilihat dari sejarah, kebudayaan,

atau “membership” (keanggotaan) masing-masing masyarakat. Dengan teori ini

Penulis akan dibantu melihat makna jabatan kepala daerah yang dihayati oleh warga

jemaat GKE di Kuala Kurun sebagai bagian dari masyarakat.

29 Lih. Michael Walzer, Spheres of Justice, A Defence of Pluralism and Equality, New York: Basic Books, 1983.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50050192/92e5e... · Latar Belakang Topik yang dibicarakan dalam penulisan

23

7. Metodologi

Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dan teori-teori yang akan digunakan,

maka penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang

mengkombinasikan metode penelitian kepustakaan (library research) dan metode

penelitian lapangan (field research).

7.1. Penelitian Kepustakaan

Metode penelitian kepustakaan bertujuan untuk mendapat data dari sumber-

sumber tertulis baik teologi maupun non-teologi yang berkaitan dengan topik tesis ini.

Metode penelitian ini juga mengarahkan penelitian ini pada pengumpulan dan analisis

data berupa dokumen-dokumen dari segenap teks, baik dari media massa (koran,

majalah, internet, dan lain-lain) melalui pemakaian analisis isi. Dari hasil penelitian

kepustakaan diharapkan Penulis dapat mendiskripsikan secara sistematis, faktual dan

aktual mengenai fakta-fakta serta hubungan antara fenomena yang berkaitan dengan

topik tesis.30

7.2. Penelitian Lapangan

Penggunaan metode penelitian lapangan (field study) dilakukan untuk

mengumpulkan data berupa pernyataan, perilaku, dan peristiwa-peristiwa melalui

pemakaian metode survei dan wawancara mendalam (depth interview) untuk

kemudian diolah dan dianalisis melalui metode interpretative. Selain itu, Penulis

merasa perlu untuk mendapat data pembanding berupa kecenderungan pandangan

mayoritas jemaat terhadap topik tesis ini. Data pembanding ini akan diusahakan

30 Bdk. Moh. Nazir, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia, 1985, hlm. 63.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50050192/92e5e... · Latar Belakang Topik yang dibicarakan dalam penulisan

24

melalui penyebaran angket. Penelitian lapangan ini sendiri dilaksanakan di Kuala

Kurun31, ibukota kabupaten pemekaran Gunung Mas, Kalimantan Tengah.

Subyek yang diperlukan dalam penelitian ini antara lain: Pejabat Publik yang

beragama Kristen, Pengurus Partai politik yang beragama Kristen, KPUD, pejabat

GKE (Gereja Kalimantan Evangelis), termasuk juga Jemaat GKE (Gereja

Kalimantan Evangelis). Untuk waktu penelitian ini dilaksanakan kurang lebih satu

bulan, dari pertengahan Mei 2007 sampai dengan pertengahan Juni 2007. Wawancara

akan dilakukan dengan teknik menyiapkan pertanyaan-pertanyaan panduan terlebih

dahulu. Walaupun demikian, Penulis tetap melakukan interview bebas32 mengingat

wacana topik tesis ini cukup sensitif berkaitan dengan rencana pelaksanaan Pilkada di

kabupaten Gunung Mas pada tahun 2008 yang akan datang.

31 Kuala Kurun adalah ibukota kabupaten baru Gunung Mas sebagai hasil pemekaran dari kabupaten Kapuas. Menurut data statistik GKE 2007, di Resort GKE Kuala Kurun terdapat: 16 jemaat definitif, 4 calon jemaat, 1.715 Kepala Keluarga, 2.669 anggota sidi, 5.989 jiwa, dengan 11 orang pendeta, 102 penatua dan 101 diakon. 32 Penulis akan menggunakan berusaha menciptakan suasana santai dalam wawancara, misalnya menjadikan bahasa daerah Dayak Ngaju sebagai bahasa pengantar wawancara dan mengusahakan suasana tanya-jawab seperti obrolan biasa, agar informan tidak merasa terbeban memberi data yang diperlukan. Walaupun demikian, Penulis dituntut tetap fokus pada data apa yang dikumpulkan. Suharsimi, A., Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: RinekeCipta, 1998, hlm. 145.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50050192/92e5e... · Latar Belakang Topik yang dibicarakan dalam penulisan

25

8. Tujuan Penulisan

Penulisan tesis ini diharapkan bisa menjadi salah satu upaya berteologi secara

kontekstual bagi GKE yang mengalami secara langsung proses perubahan politik di

daerah, dan bisa memberikan dukungan berupa sumbangan pemikiran etis-teologis

yang menjadi fondasi moral-spiritual kepada siapa saja yang menduduki jabatan

kepala daerah, secara khusus orang-orang GKE yang mendapat kesempatan untuk

itu. Bahkan, walapun tidak ada orang Kristen GKE yang menduduki jabatan kepala

daerah, tesis ini diharapkan bisa memberi pemikiran dan semangat bagi umat Kristen

agar tetap bisa menghayati dan mendukung peran kepala daerah di tempatnya

masing-masing. Selain itu tentu saja tesis ini juga diharapkan dapat memberi kritik

etis-teologis terhadap jabatan Kepala Daerah yang sering disalahgunakan, dengan

harapan bahwa hal-hal tersebut tidak terulang lagi di kemudian hari.

9. Sistematika Penulisan

Dalam rangka pemaparan penelitian ini, penulis mencoba membuat

sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I. PENDAHULUAN.

Bab ini akan membahas latar belakang permasalahan, rumusan masalah,

hipotesis yang akan dibuktikan, judul, kerangka teori, metodologi dan sistematika

penulisan.

BAB II. DINAMIKA JABATAN KEPALA DAERAH DI INDONESIA

Bab ini mendeskripsikan dan menganalisis sejarah jabatan kepala daerah di

Indonesia secara umum, baik pada masa Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50050192/92e5e... · Latar Belakang Topik yang dibicarakan dalam penulisan

26

serta perkembangan terakhir. Unsur pokok yang akan diperhatikan adalah bagaimana

pelaksanaan atau penggunaan jabatan kepala daerah selama ini. Unsur ini penting

untuk diperhatikan, dengan harapan bab ini sekaligus bisa menggambarkan

persoalan-persoalan yang muncul dan perlu ditanggapi secara teologis nantinya.

BAB III. HASIL PENELITIAN PANDANGAN JEMAAT TENTANG

FUNGSI DAN KRITERIA KEPALA DAERAH

Bab ini memaparkan deskripsi serta analisis dari hasil penelitian yang

dilaksanakan di kabupaten pemekaran Gunung Mas, propinsi Kalimantan Tengah.

Penelitian ini berupaya menggali dan mengungkapkan persepsi atau pemahaman

warga Kristen secara khusus warga jemaat GKE di Kuala Kurun mengenai berbagai

hal yang berkaitan dengan persoalan makna jabatan kepala daerah.

BAB IV. REFLEKSI TEOLOGIS

Bab ini akan menguraikan pemikiran mengapa teologi perlu berbicara tentang

masalah-masalah publik, seperti halnya persoalan jabatan kepala daerah. Dengan

berdasar pada teologi publik itu, bab ini juga berupaya mencari atau membangun

makna teologis dari jabatan kepala daerah yang pada gilirannya diharapkan mampu

memberi landasan dan semangat etis-spiritual tentang bagaimana orang Kristen

memahami, menerima atau menggunakan “kuasa” yang melekat dalam jabatan kepala

daerah tersebut.

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50050192/92e5e... · Latar Belakang Topik yang dibicarakan dalam penulisan

27

BAB V. PENUTUP

Bab terakhir ini merupakan kesimpulan tesis dan sekaligus sebagai wadah

untuk menyampaikan beberapa saran atau pemikiran lanjutan yang muncul dari

pergumulan tesis ini.