BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang -...
-
Upload
vuongquynh -
Category
Documents
-
view
223 -
download
1
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang -...
1
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Topik yang dibicarakan dalam penulisan tesis ini tidak lepas dari pengalaman
Penulis secara pribadi. Sebagai seorang pendeta GKE (Gereja Kalimantan Evangelis)
yang mengenyam pendidikan teologi sejak pertengahan tahun 90-an, Penulis hidup
dalam lingkungan pemikiran teologis yang lebih menekankan upaya untuk berteologi
secara kontekstual. Sepanjang yang Penulis ketahui, penekanan pada upaya berteologi
dalam konteks ini dilatarbelakangi oleh munculnya kesadaran gereja-gereja di
Indonesia akan konteks di mana ia berada, konteks di mana atau ke mana ia menerima
tugas panggilan, pengutusan dan pelayanannya.
Sesuai dengan bidang minat studi Penulis di PPST-UKDW Yogyakarta, yakni
Teologi Publik, secara khusus pada persoalan-persoalan yang menyangkut hubungan
antara teologi dan politik, penulisan tesis ini dilatarbelakangi oleh pergumulan akan
konteks perubahan-perubahan yang terjadi dalam dunia politik di Indonesia beberapa
tahun terakhir, khususnya yang juga dialami oleh warga jemaat GKE (Gereja
Kalimantan Evangelis). Perubahan-perubahan yang Penulis maksudkan itu antara lain
adalah pemberlakuan otonomi daerah, pemekaran wilayah, serta sistem pemilihan
kepala daerah yang dilaksanakan secara langsung. Menurut Penulis, perubahan-
perubahan realitas politik beberapa tahun terakhir yang relatif cepat dan sulit
2
diprediksi1 ini mau tidak mau, langsung atau tidak langsung, akan melibatkan dan
memberikan pengaruh terhadap kehidupan warga jemaat GKE sebagai bagian dari
masyarakat Kalimantan khususnya ataupun sebagai bagian dari bangsa Indonesia pada
umumnya.2
1.1. Agama dan Politik
Sejarah memperlihatkan dinamika peran agama atau teologi dalam kehidupan
politik manusia. Misalnya masyarakat pra industri (bahkan sampai sekarang)
meyakini bahwa struktur kekuasaan berhubungan erat dengan agama atau sistem
kepercayaan. Agama atau sistem kepercayaan itu diyakini menjadi sumber nilai-nilai
yang berfungsi untuk mempertahankan masyarakat.3 Lain hahlnya sejak
“Pencerahan, aufklarung” di Eropa Barat, sains mengambil alih kedudukan yang
paling tinggi sebagai “Queen of the Sciences” dari teologi. Seperti apa yang pernah
terjadi pada teologi sebelumnya, Sains diagung-agungkan bisa menjawab semua
persoalan-persoalan manusia secara logis. Harapan ini gagal ketika ternyata sains
tidak mampu memenuhi semua pertanyaan manusia.4
1 Dengan mengutip komentar salah seorang profesor di Leeds University, Yahya Wijaya menyatakan bahwa apa yang terjadi dalam dunia politik Indonesia sejak 1997 adalah fenomena yang sangat menarik pengamat politik manapun. Fenomena itu antara lain tumbangnya rezim Soeharto yang telah berkuasa 30 tahun, dilanjutkan dengan hiruk pikuk perombakan yang diberi label “reformasi”, terbentuknya sekian banyak partai politik baru dan naik turunnya beberapa presiden dalam waktu yang relatif singkat. Lih. Yahya Wijaya, “Memahami Teologi dan Politik” dalam Gema Duta Wacana, edisi 59 tahun 2004, hlm. 4. 2 Mengutip pernyataan EG Singgih, kontekstualisasi dapat dipahami secara sederhana sebagai usaha menemukan harga diri sendiri sebagai orang Kristen dalam konteks kita berada. Menghayati iman di dalam konteks kita sendiri berarti bagaimana saya menghayati harga diri sebagai orang Kristen Indonesia, yang betul-betul Kristen, tetapi juga betul-betul Indonesia. Lih. E.G Singgih, Berteologi Dalam Konteks Indonesia, Jakarta-Yogyakarta: BPK Gunung Mulia-Kanisius, 2000 , hlm. 22. 3 Sartono Kartodirdjo (ed), Kepemimpinan Dalam Dimensi Sosial, Jakarta: LP3ES, 1986, hlm. vii-viii. 4 Bdk. Hardiman, F. Budi, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2003, hlm. 173-175.
3
Di tengah pergulatan itu, akhir abad dua puluh malah menyodorkan fenomena
kontras: tahun 1970-an menjadi masa yang disebut Riccardi sebagai “masa kejutan
Ilahi” (divine surprises) atau era kebangkitan agama-agama.5 Agama kembali bangkit
di negara-negara di mana sekularitas telah diajarkan atau ditanamkan, bahkan di
mana doktrin anti-agama ditanamkan. Agama-agama ternyata tetap mampu bertahan
atau muncul kembali sebagai faktor penting dalam kehidupan politik di banyak
negara di dunia.
Coba kita lihat beberapa contoh faktual berikut. Pada sebagian besar negara-
negara mayoritas Muslim di luar Indonesia, seperti Saudi Arabia, Tunisia, al-Jaza’ir,
Mesir, Suriah, Pakistan, Bangladesh, Iran, Yordania, dan Malaysia, orang yang
beragama non-Muslim tidak dapat atau sangat sulit untuk duduk dalam jabatan
sebagai sebagai presiden atau jabatan kepemimpinan lainnya. Hal ini, menurut
Masykuri Abdillah, pada sebagian besar negara-negara mayoritas Muslim di Timur
Tengah yang dalam konstitusinya terdapat ketentuan hanya seorang Muslim saja
yang bisa menjadi kepala negara, secara jelas mencerminkan adanya diskriminasi
politik terhadap minoritas non-Muslim.6 Fakta semacam itu juga terjadi negara-
negara yang mayoritas penduduknya beragama Kristen, Hindu, Budha, atau lainnya.
Masykuri menjelaskan, diskriminasi politik itu bisa terjadi secara de facto atau secara
de yure. Di Amerika Serikat yang mayoritas Kristen misalnya, minoritas Muslim
5 Andrea Riccardi, “Antara Kebebasan dan Dialog: Agama di Abad Dua Puluh”, dalam Wim Beuken dan Karl-Josef Kuchel, Agama Sebagai Sumber Kekerasan?, (diterjemahkan dari buku aslinya “Religion as a Source of Violence” oleh Imam Baehaqie), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 127-128. 6 Lih. Syarif, Mujar Ibnu, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, Tinjauan dari Perspeltif Politik Islam dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006, hlm. 5.
4
secara de yure atau secara hukum di atas kertas memang tidak mengalami
diskriminasi politik. Akan tetapi secara de facto sesungguhnya mereka mengalami
diskriminasi politik, sehingga mustahil bagi minoritas Muslim di Amerika Serikat
dapat tampil sebagai presiden AS.
Argumen bahwa agama itu penting atas politik memang bukan hal yang baru.
Menurut hasil penelitian Wald,7 masyarakat Amerika hampir selalu memiliki
perasaan kedekatan dengan kelompok keagamaan tertentu dan terlibat dalam praktik
keagamaan dengan frekuensi yang tinggi. Mereka memiliki tingkat keterlibatan
keagamaan yang jauh lebih luas dibandingkan dengan keterlibatan mereka dalam
politik. Keterlibatan yang luas ini diperkirakan memiliki pengaruh agama atas politik.
Jika di Amerika saja (yang sering dianggap sekuler) agama begitu besar
pengaruhnya, bagaimana di tempat kita sendiri?
Menjawab pertanyaan ini, kita bisa memperhatikan fenomena pasca gerakan
dan era reformasi, di mana banyak kalangan orang Kristen (seperti halnya yang
terjadi di kalangan lain) yang mendirikan partai politik berlabel Kristen.8 Atau
fenomena yang cukup menarik perhatian berbagai kalangan adalah kemunculan
partai PDS (Partai Damai Sejahtera). Ketika menghadapi Pemilu Presiden 2004 yang
lalu, para pendukung Ruyandi Hutasoit (Ketua umum PDS) membuat proyek yang
diberi nama “Proyek Yusuf 2004”. Sesuai namanya, proyek ini diambil dari kisah
Nabi Yusuf yang berhasil menjadi penguasa di negeri asing (Mesir) dan dalam
7 Untuk lebih lengkapnya lih. Leege, David C. Dan Lyman A. Kellstedt (eds), Agama dalam Politik Amerika, (diterjemahkan oleh Debbie A. Lubis dan A. Zaim Rofiqi dari buku “Rediscovering the Religious Factor in American Politics”), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dalam kerja sama dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta dan Freedom Institute, 2006. 8 Salah seorang almuni PPST-UKDW, yakni Sdr. Anselmus Puasa telah menulis tesis berjudul “Pendeta dan Partai Politik, Suatu Tinjauan Teologi Sosial”, Yogyakarta, 2005.
5
kondisi sebagai minoritas. Proyek ini menyerukan agar seluruh pemeluk Kristiani
bersatu padu mendukung hamba Tuhan menjadi presiden RI pada pemilu presiden
2004.9 Salah satu fenomena yang juga dijadikan topik tesis di PPST-UKDW adalah
meningkatnya keterlibatan pendeta dalam politik yang telah ditulis oleh Pdt.
Anselmus Puasa tahun 2005 yang lalu.
1.2. Realitas Politik di Era Reformasi
Era reformasi mestinya menyebabkan jabatan kepala daerah menjadi lebih
berat. Mengapa? Karena di era reformasi ini seorang kepala daerah (Gubernur,
bupati, wali kota) tidak hanya berhadapan dengan posisi DPRD yang kuat, tetapi juga
karena meningkatnya keberanian masyarakat untuk mengkritik dan menuntut hak-
haknya kepada pemerintah daerah, serta kondisi sosial ekonomi masyarakat yang
masih rendah. Namun fenomena reformasi sekarang ini justru menimbulkan
pertanyaan menarik: Di balik bayang-bayang beratnya tugas dan kewajiban kepala
daerah, justru proses pemilihan kepala daerah di era reformasi sekarang ini
memperlihatkan meningkatnya calon-calon yang berminat untuk memperebutkan
jabatan tersebut. Apakah pemilihan kepala daerah bukan hanya sekadar permainan
spekulatif? Keraguan ini bukannya tanpa alasan. Laporan dari berbagai media massa
selama ini bisa memperlihatkan hal itu. Salah satu contoh adalah, meskipun sulit
dibuktikan secara hukum, namun sudah menjadi rahasia umum bahwa praktek politik
uang nampaknya tidak bisa dihapuskan oleh sistem pemilihan kepala daerah secara
langsung. Jika dulu penerima suap adalah anggota-anggota DPRD, maka politik uang
(yang terkenal dengan “serangan fajar” itu) di era reformasi ini menjadikan
9 Sabili, No. 2, tahun XI, 14 Agustus 2003, hlm. 107.
6
masyarakat sebagai sasarannya. Bentuknya pun bervariasi, dari yang disebut biaya
akomodasi, tanda terima kasih, syukuran, sampai kepada yang benar-benar jual beli
suara.
1.2.1. Otonomi Daerah dan Pemekaran
Seingat Penulis, gerakan reformasi 1998 dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan
masyarakat Indonesia akan politik sentralisasi kekuasaan yang diperparah dengan
maraknya KKN (Korupsi, kolusi dan nepotisme) selama pemerintahan Orde Baru di
negara ini. Walaupun sang penguasa rezim Orde Baru, Soeharto yang sudah berkuasa
selama 32 tahun telah “lengser ke prabon”, harapan reformasi tidak begitu saja mudah
tercapai. Wajar memang, karena menjelang dan sesudah jatuhnya Soeharto bangsa
Indonesia harus menghadapi munculnya berbagai masalah: krisis moneter, krisis
ekonomi, krisis politik, krisis kebudayaan, yang dilanjutkan dengan penilaian krisis
moral.10
Hasil yang cukup cepat diputuskan oleh para pemimpin bangsa Indonesia
pasca reformasi adalah pemberlakuan otonomi daerah11 dengan tujuan utamanya
adalah "membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam
menangani urusan domestik".12 Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah ini
diberlakukan sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
10 J.B.Banawiratma, “Transformasi Indonesia”, dalam Gema Duta Wacana, edisi 54 tahun 1998, hlm. 59. 11 Menurut berbagai literatur yang Penulis dapatkan, diskursus mengenai otonomi daerah di Indonesia sebenarnya sudah lama didiskusikan, bahkan setua negara ini. Frekuensi pembicaraan mengenai otonomi daerah mulai populer sebagai wacana publik pada era 90-an. Bdk. D.R.Nugroho, Otonomi Daerah, Desentralisasi Tanpa Revolusi: Kajian dan Kritik Atas Kebijaksanaan Desentralisasi di Indonesia, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2000, hlm. 5-6. 12 Syaukani, Afan Gaffar, dan Ryaas Rasyid, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 172.
7
Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Pada perkembangan selanjutnya, kedua
Undang-undang tersebut diperbaiki kembali melalui Undang-undang Nomor 32 tahun
2004 tentang pemerintahan daerah dan Undang-undang No. 33 tahun 2004 tentang
perimbangan keuangan Pusat-Daerah.13
Kebijakan atau pemberlakuan otonomi daerah ini pada gilirannya diikuti oleh
fenomena menarik akan kecenderungan terjadinya pemekaran wilayah di seluruh
Indonesia dalam bentuk pemekaran kabupaten dan propinsi baru. Fenomena euforia
pemekaran wilayah itu sendiri telah mengakibatkan jumlah kabupaten dan kota
menjadi meningkat dan dapat diandaikan seperti efek bola salju hasil reformasi yang
terus menggelinding ke berbagai daerah di Indonesia. Menurut data yang dimuat
Kompas, dalam kurun tahun 1999 hingga April 2002 terdapat 57 kabupaten dan 25
kota baru sebagai hasil pembentukan yang terjadi di 58 kabupaten induk dari 20
provinsi. Hingga September 2002, Indonesia sudah memiliki 287 kabupaten dan 88
kota.14 Sedangkan dalam kurun tahun 1999 hingga akhir tahun 2006 di Indonesia telah
terbentuk tujuh propinsi baru, 129 kabupaten baru dan 26 kota baru.15 Hingga April
2007 propinsi di Indonesia berjumlah 33 buah di samping adanya 457 kabupaten/kota.
Jumlah ini belum termasuk delapan daerah baru yang disetujui oleh Presiden dan DPR
pada tanggal 17 Juli 2007 untuk dibentuk. Bila dihitung, maka jumlah daerah
pemekaran saat ini sekitar lima kali lipat dibandingkan keadaan di masa Orde Baru
13 http://www.kpu.go.id/wacana/lihat-dalam.php?ID=20&cat=Wacana, diakses tanggal 12 Nopember 2006. 14 Sisilia Srisuwastuti, “Pemekaran Wilayah setelah Otonomi Daerah: Kebutuhan atau Gaya”, dalam Indonesia Dalam Krisis 1997-2002, Jakarta: Kompas, 2002, hlm. 273. 15 Sumber: Depdagri, April 2007.
8
dan setara dengan pemekaran wilayah yang terjadi pada periode 1956 – 1960.16 (Lihat
tabel 1)
Tabel 1: Jumlah Propinsi, Kabupaten dan Kota Pemekaran di Indonesia Tahun 1950-2006
PERIODE PROPINSI KABUPATEN/KOTA
1950 – 1955 6 99
1956 – 1960 16 145
1961 – 1965 3 16
1966 – 1970 1 11
1971 – 1998 1 33
1999 – 2005 6 136
1999 – 2006 7 155 (129 kab, 26 kota)
Sumber: data tahun 1950 – 2005 bersumber dari DRSP-USAID, sedangkan untuk data tahun 1999 – 2006 diolah dari data Depdagri 2007.
Mengenai motivasi pembentukan daerah baru, Fitriani et al, menyusun empat
hipotesis umum yang kemudian diuji secara empiris dengan menggunakan model logit
terhadap 336 daerah kabupaten/kota. Motivasi-motivasi itu antara lain: penyebaran
geografis, preferensi akan homogenitas, limpahan fiskal (fiscal spoils), dan
pemburuan rente birokratik dan politik (Bureaucratic and Political Rent-Seeking)
yang semuanya dapat saja muncul secara bersamaan.17 Tri Ratnawati menambahkan
16 DRSP-USAID, Decentralization 2006: Stock Taking On Indonesian’s Recent Decentralization Reforms, Jakarta: Depdagri, Agustus 2006. 17 Lih. Fitriani et al, “Unity in Diversity? The Creation of New Local Governments in a Decentralizing Indonesia”, Bulletin of Indonesia Economic Studies No 41/1, 2005, hlm. 57-79.
9
pula bahwa ada faktor politik Gerrymander atau usaha pemenangan Pemilu dengan
melakukan pembedahan daerah pemilihan secara politik.18
Secara politis, dengan adanya pemekaran diharapkan akan tercapai
kesejahteraan masyarakat melalui:19 (a) peningkatan pelayanan kepada masyarakat; (b)
percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah; (c) pertumbuhan
kehidupan demokrasi; (d) percepatan pengelolaan potensi daerah; (e) peningkatan
keamanan dan ketertiban; dan (f) peningkatan hubungan serasi antara pusat dan
daerah.
Namun tampaknya harapan tersebut tidak selalu tercapai. Pemekaran daerah
kini juga tidak jarang menjadi bumerang bagi pemerintah pusat. Misalnya, isu
pemekaran wilayah menimbulkan konflik yang berkepanjangan dalam masyarakat di
tingkat lokal, seperti kasus kerusuhan di Banggai Kepulauan beberapa waktu lalu.
Tujuan dari pemekaran pun menjadi tidak tercapai dan tampak hanya membuang
energi sia-sia. Dengan demikian bisa jadi motif pemekaran tidak selalu identik dengan
motif ekonomi untuk kesejahteraan rakyat an sich. Motif yang sering dimunculkan
terkait dengan pemekaran daerah mulai dari alasan ekonomi hingga alasan politis.
Pertautan antar motif tidak bisa dielakkan khususnya ketika berhadapan dengan
18 Lih. Tri Ratnawati, “Mengevaluasi Kebijakan Pemekaran Wilayah di Indonesia”, dalam Blue Print Otonomi Daerah, Yayasan Harkat Bangsa bekerja sama dengan Partnership for Governance Reform in Indonesia (PGRI) dan European Union (EU), Jakarta, 2006. Ilmuwan politik pun tidak sedikit yang meyakini pemekaran menjadi salah satu solusi untuk menyelesaikan beberapa masalah nasional yang sangat krusial seperti masalah disparitas pembangunan ekonomi dan sosial, kerapuhan identitas ke-Indonesiaan, dan kerapuhan penjagaan kewilayahan aktif. 19 Cornelius Lay dan Purwo Santoso (eds), Perjuangan Menuju Puncak: Kajian Akademik Rencana Pembentukan Kabupaten Puncak Jaya, Provinsi Papua, Yogyakarta: PLOD UGM, 2006, hlm. 8.
10
persyaratan formal pemekaran yang lebih banyak mengedepankan isu-isu ekonomi
ataupun pelayanan publik sebagai alasan untuk persetujuan pemekaran.
1.2.2. Sistem Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung
Realitas berikutnya yang tak kalah penting adalah Pemilihan presiden (pilpres)
tahun 2004 yang merupakan momentum penting dalam sejarah politik Indonesia.
Untuk pertama kalinya, rakyat Indonesia bisa memilih presiden mereka secara
langsung. Sistem pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat (direct popular vote)
itu mengakhiri sistem lama yang menempatkan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) sebagai lembaga kekuasaan tertinggi dalam struktur kenegaraan dengan fungsi
antara lain memilih presiden dan wakil presiden.20 Perubahan pada makna “langsung”
tersebut sekaligus menegaskan kepentingan atas perlunya memperoleh wakil rakyat
dan wakil daerah, serta presiden dan wakil presiden dengan dukungan yang kuat dari
rakyat.21
Perubahan sistem pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung ini
menggulirkan perkembangan krusial yang selanjutnya terjadi sejak Juni 2005, di mana
bangsa Indonesia bisa dikatakan memasuki babak baru berkaitan dengan
penyelenggaraan tata pemerintahan di tingkat lokal. Kepala Daerah, baik bupati atau
walikota maupun gubernur yang sebelumnya dipilih secara tidak langsung oleh
DPRD, sejak Juni 2005 dipilih secara langsung oleh rakyat, melalui proses pemilihan
20 Jika kita melihat sejarah masa lalu, MPR bahkan mencatat sejarah dengan menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup, dan memilih Soeharto sebagai presiden untuk 7 (tujuh) periode masa jabatan secara berturut-turut. 21 Lih. Penjelasan umum angka 2 UU No. 12 tahun 2003 tentang Pemilihian Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
11
kepala daerah yang sering disingkat dengan Pilkada Langsung.22 Untuk kepentingan
ini, pemerintah telah mensahkan UU nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan
Daerah sebagai pengganti UU nomor 22 tahun 1999. Setelah “amandemen” MK atas
UU tersebut, pemerintah mengeluarkan Perpu Nomor 3 tahun 2005 sebagai perubahan
atas UU Nomor 32 tahun 2004. Seiring dengan itu, pemerintah juga telah
mengeluarkan PP Nomor 17 tahun 2005 sebagai pengganti PP Nomor 6 Tahun 2005
tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah. Salah satu isu penting dalam Undang-Undang, Perpu dan PP
tersebut berkaitan dengan pengaturan pemilihan Kepala Daerah secara langsung.
Dengan pemilihan Kepala Daerah secara langsung, kepala daerah seperti
gubernur (di tingkat propinsi), dan bupati atau walikota (di tingkat kabupaten atau
kotamadya) akan dipilih sendiri oleh rakyat. Pasal 56 ayat (1) UU Nomor 32 tahun
2004 menyebutkan, “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu
pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis, langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil”. Artinya, sejak kepala daerah dipilih secara langsung oleh
rakyat, maka secara konseptual telah terjadi pergeseran pelaksana kedaulatan, yang
sebelumnya dilaksanakan secara tidak langsung oleh DPRD sekarang dilakukan
sendiri oleh rakyat.
22 Asfar, Muhammad, “Pilkada dan Penciptaan Pemerintahan yang Representatif”, dalam Nadir, Ahmad, Pilkada Langsung dan Masa Depan Demokrasi, Studi atas Artikulasi Politik Nahdliyin dan Dinamika Politik dalam Pilkada Langsung di Kabupaten Gresik Jawa Timur, Malang: Averroes Press, 2005, hlm. v.
12
1.3. Jemaat GKE di Tengah Arus Perubahan Realitas Politik
Seperti yang Penulis utarakan di atas, perubahan-perubahan wacana politik di
atas mau tidak mau, langsung atau tidak langsung, akan melibatkan dan memberikan
pengaruh terhadap kehidupan warga jemaat GKE sebagai bagian dari masyarakat
Kalimantan khususnya ataupun sebagai bagian dari bangsa Indonesia pada umumnya.
Sebagai salah satu contohnya adalah, sebelum tahun 2002, propinsi Kalimantan
Tengah terdiri dari satu kota dan lima kabupaten. Mengikuti pemberlakuan Otonomi
Daerah yang diikuti fenomena kecenderungan terjadinya pemekaran wilayah,
Pemerintah Pusat telah menyetujui penambahan delapan kabupaten baru di
Kalimantan Tengah melalui UU Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2002 tanggal 10
April 2002, Lembaran Negara RI Tahun 2002 Nomor 18 tentang Pembentukan
kabupaten Katingan, Seruyan, Sukamara, Lamandau, Gunung Mas, Pulang Pisau,
Murung Raya dan Barito Timur di Kalimantan Tengah. Jadi, kini jumlah kabupaten di
Kalimantan Tengah adalah 13 buah dan satu Kota.23
Selain mengalami pemekaran wilayah, warga GKE di Kalimantan Tengah
juga mengikuti untuk pertama kalinya pemilihan kepala daerah (gubernur dan wakil
gubernur) secara langsung pada tahun 2005. Pada tahun 2007 akan dilaksanakan
pemilihan secara langsung Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Kalimantan Barat.
Pada tahun 2008, direncanakan pemilihan secara langsung Gubernur dan Wakil
Gubernur Kalimantan Timur. Pada tahun 2008, menurut rencana secara serempak
23 Selain pemakaran kabupaten yang sudah terlaksana, wacana pemekaran propinsi juga sedang berkembang di propinsi Kalimantan Tengah. Propinsi baru yang diusulkan sebagai pemekaran itu ada dua, yakni propinsi Barito Raya dan Kotawaringin Raya. Sampai saat ini wacana pemekaran propinsi masih menjadi bahan pembicaraan di berbagai lapisan masyarakat.
13
dilaksanakan PILKADA untuk 10 (sepuluh) Kabupaten dan 1 (satu) Kotamadya di
Propinsi Kalimantan Tengah.
Pada saat pemilihan kepala daerah (gubernur dan wakil gubernur) secara
langsung pada tahun 2005 di Propinsi Kalimantan Tengah, gubernur yang terpilih
adalah Agustinus Teras Narang yang juga seorang warga GKE yang selama ini
(sebelum dan selama menjadi gubernur Kalteng) selalu terlibat aktif dalam berbagai
kegiatan yang dilaksanakan oleh GKE. Terpilihnya gubernur yang beragama Kristen
ini disambut gembira oleh berbagai kalangan warga jemaat. Keterlibatan aktif warga
GKE di pemerintahan propinsi Kalimantan Tengah sebelumnya juga terlihat dengan
menduduki jabatan kepala daerah (bupati atau wakil bupati), baik di kabupaten lama
ataupun kabupaten baru hasil pemekaran wilayah (Lihat tabel 2).
14
Tabel 2
Daftar Nama Warga GKE yang Saat ini Menduduki Jabatan Kepala daerah di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah
No Propinsi/Kotamadya/ Kabupaten Nama Jabatan Periode
Tahun 1 Kalimantan Tengah Agustin T. Narang Gubernur 2005-2010 2 Palangkaraya Tuah Pahoe Walikota 2003-2008 3 Kotawaringin Timur - - - 4 Kotawaringin Barat - - - 5 Kapuas Talinting E. Toepak Wakil Bupati 2003-2008 6 Barito Selatan - - - 7 Barito Utara - - - 8 Barito Timur* Mahur Mudel** Wakil Bupati 2003-2008 9 Gunung Mas* Djudae Anom
Hambit Bintih Bupati
Wakil Bupati 2003-2008
10 Katingan* Drs. Duwel Rawing Yantenglie
Bupati Wakil Bupati 2003-2008
11 Murung Raya* Willy M Yoseph Bupati 2003-2008 12 Pulang Pisau* Darius Y.Dupa Wakil Bupati 2003-2008 13 Lamandau* Bustani DJ Mamud Bupati 2003-2008 14 Sukamara* - - - 15 Seruyan* - - -
Keterangan: * Kabupaten-kabupaten baru hasil pemekaran wilayah tahun 2002. ** Telah meninggal dunia.
15
Pilkada langsung di kabupaten Gunung Mas dan kabupaten-kabupaten lainnya
di propinsi Kalimantan Tengah akan dilaksanakan untuk pertama kalinya pada tahun
2008. Nuansa berbeda yang dimunculkan dari peristiwa ini sudah mulai terasa dan
menjadi bahan pembicaraan di berbagai kalangan masyarakat. Calon-calon kepala
daerah sudah mulai dimunculkan melalui berbagai media massa, misalnya koran
harian Kalteng Pos yang setiap hari memuat hasil poling jajak pendapat calon kepala
daerah. Tabel 2 (dua) di atas memperlihatkan keterlibatan aktif warga GKE di
pemerintahan dengan kedudukan mereka di jajaran pemerintahan daerah. Di antara
mereka dan sejumlah nama baru dari kalangan warga jemaat bermunculan sebagai
calon kepala daerah menjelang pilkada 2008.
2. Rumusan Masalah
Bagi Penulis pribadi, apa yang disampaikan melalui latar belakang
permasalahan di atas membawa pergumulan tersendiri dan perlu dipertanyakan lebih
lanjut. Apakah pemberlakuan otonomi daerah yang diikuti kecenderungan terjadinya
pemekaran wilayah dan penerapan sistem pemilihan kepala daerah secara langsung
mampu mendatangkan kesejahteran masyarkat daerah dan memunculkan pemimpin
yang lebih baik sesuai harapan masyarakat? Apa dan bagaimana orang memaknai
jabatan kepala daerah di zaman sekarang? Apakah ada pengaruh dari pemekaran
wilayah terhadap jabatan kepala daerah? Apakah ada perbedaannya dengan masa
sebelum pemberlakuan otonomi daerah dengan sistem pilkada langsung? Apakah ada
jaminan bahwa seorang kepala daerah dari kalangan warga jemaat akan mampu
berbuat lebih baik bagi masyarakat? Apakah yang menjadi motivasi atau yang
melatarbelakangi warga GKE untuk menduduki jabatan-jabatan kepala daerah itu?
16
Adakah pengaruh teologis atau iman Kristen di balik semua itu? Apa atau bagaimana
bentuk dukungan para pendeta dan fungsionaris gereja lainnya ataupun GKE sebagai
sebuah lembaga terhadap warganya yang menjadi kepala daerah itu?24
Pertanyaan-pertanaan di atas cukup kompleks, sehingga perlu dirumuskan
secara lebih matang. Sebelum merumuskan masalah dalam tesis ini, Penulis merasa
perlu menggambarkan kembali latar belakang permasalahan yang dihadapi: a)
Reformasi telah menggulirkan wacana otonomi daerah di seluruh Indonesia; wacana
otonomi daerah ini diikuti oleh fenomena kecenderungan terjadinya pemekaran
wilayah di Indonesia dan membuka peluang yang lebih besar bagi berbagai kalangan
untuk menduduki jabatan kepala daerah; b) Pada tahun 2008 Pilkada langsung di
kabupaten Gunung Mas dan kabupaten-kabupaten lainnya di propinsi Kalimantan
Tengah akan dilaksanakan untuk pertama kalinya. Daerah atau tempat akan
dilaksanakannya Pilkada-pilkada tersebut merupakan wilayah / tempat pelayanan
GKE dan domisili warga GKE. Warga GKE yang ada di wilayah tersebut, adalah
warga negara yang mempunyai hak untuk memilih dan dipilih. Di tingkat Kabupaten
dan Kota khususnya di Provinsi Kalimantan Tengah, akan muncul warga GKE
menjadi calon Kepala Daerah dalam wilayah yang sama. PARPOL atau pendukung
peserta PILKADA berusaha dengan berbagai upaya untuk memenangkan
kandidatnya. Hal ini akan menimbulkan perbedaan sikap politik. Adanya perbedaan
di dasari oleh masing-masing kepentingan Parpol dan pendukung calon.
24 Khusus mengenai hal ini, Tawar Soewardji, mantan ketua umum Majelis Sinode GKE dalam tulisannya mengakui bahwa untuk program-program yang berkaitan dengan peranan GKE dalam kehidupan politik masih kurang. Lih. Tawar Soewardji, “Langkah-langkah GKE Mewujudkan Kemandiriannya”, dalam Marko Mahin dan Rama Tulus (eds), 70 Tahun GKE, Pergumulan dan Upaya GKE Menuju Kemandirian, Banjarmasin: MS-GKE, 2005, hlm. 69.
17
Dari berbagai wacana yang tergambar dalam uraian-uraian yang telah
dikemukakan di atas, maka dibuatlah rumusan permasalahan yang hendak dijawab
dalam tesis ini:
a. Apakah fungsi kepala daerah dan kriteria apa saja yang semestinya dilekatkan
pada jabatan kepala daerah itu? Pertanyaan ini akan diperinci dengan beberapa
pertanyaan: Apakah sebenarnya arti jabatan kepala daerah? Bagaimana landasan
hukumnya di Indonesia? Bagaimana kaitannya dengan perkembangan situasi
politik terkini bangsa Indonesia seperti otonomi daerah, pemekaran wilayah dan
pilkada?
b. Bagaimana pandangan warga jemaat GKE tentang fungsi dan kriteria kepala
daerah? Apa yang melatarbelakangi pandangan jemaat tersebut?
c. Apa persoalan teologis yang muncul dari pembahasan mengenai fungsi dan
kriteria kepala daerah ini? Pertanyaan ini akan diperinci dengan pertanyaan: Apa
dan bagaimana hubungan teologi dan politik? Refleksi teologis apa yang bisa
dikemukakan untuk menanggapinya? Bagaimana teologi politis kontekstual yang
bisa ditawarkan terhadap hal demikian?
18
3. Batasan Masalah
Agar permasalahan dalam tesis ini lebih fokus, maka Penulis akan membatasi
permasalahannya pada:
a. Undang-Undang Republik Indonesia yang berbicara tentang pemerintahan daerah
cukup banyak. Oleh karena itu, walaupun Undang-Undang lainnya juga tetap
dibicarakan, Penulis akan lebih banyak merujuk kepada UU No. 32 tahun 2004
yang merupakan produk hukum terbaru mengenai pemerintahan daerah.
b. Wilayah penelitian: Propinsi Kalimantan Tengah, Kabupaten Gunung Mas, Kota
Kuala Kurun. Penulis menetapkan Kuala Kurun sebagai tempat penelitian dengan
beberapa pertimbangan: pertama, kabupaten Gunung Mas dengan ibu kota
kabupatennya Kuala Kurun adalah salah satu kabupaten baru hasil pemekaran dari
kabupaten Kapuas tahun 2002 yang lalu. Sebagai sebuah kabupaten baru,
diharapkan penghayatan dan harapan masyarakat masih murni dan segar;
pemilihan kepala daerah secara langsung baru akan dilaksanakan tahun 2008.
Kedua, di kabupaten Gunung Mas terdapat mayoritas masyarakat Kristen dengan
prosentase mencapai hampir 70 %. Ketiga, kepala daerah, baik bupati dan wakil
bupati yang saat ini memimpin pemerintahan di kabupaten Gunung Mas adalah
warga Kristen GKE.
c. Ruang lingkup penelitian ini terbatas pada umat Kristen, secara khusus warga
jemaat GKE yang ada di kota Kuala Kurun.
19
4. Hipotesis
Adapun hipotesis yang melatarbelakangi dan akan dibuktikan dalam penulisan
tesis ini adalah sebagai berikut:
a. Fungsi jabatan kepala daerah di sebuah kabupaten baru hasil pemekaran (seperti
Gunung Mas) yang terutama adalah sesegera mungkin memimpin pembangunan
daerah agar bisa bersaing seperti kabupaten lainnnya yang telah mapan. Sementara
itu kriteria yang digunakan untuk memilih kepala daerah dipengaruhi faktor
primordialisme (seperti identitas suku dan agama) dan faktor popularitas.
b. Jemaat memandang kepala daerah sebagai figur pemimpin kharismatik yang
sangat diharapkan mampu memenuhi harapan mereka akan peningkatan
kesejahteraan yang dihasilkan dari pembangunan daerah. Sedangkan untuk
memilih seorang kepala daerah, sebagian besar jemaat GKE Kuala Kurun akan
memilih kepala daerah dengan mempertimbangkan faktor mayoritas (seperti
kriteria agama dan suku) yang dibarengi pertimbangan akan kriteria-kriteria
rasional (misalnya tingkat pendidikan atau pekerjaan).
c. Di kalangan jemaat ada dimensi teologi ekslusif yang melahirkan semacam
perasaan “takut dipimpin orang lain, orang yang berbeda”. Padahal, Otonomi
daerah menempatkan rakyat sebagai subyek utama yang mesti diperhatikan dalam
pembangunan. Oleh karena itu, teologi yang kontekstual di sebuah kabupaten
pemekaran seperti Gunung Mas juga mesti menekankan penghormatan atau
penghargaan yang tinggi terhadap keutuhan manusia.
20
5. Judul
Sesuai dengan latar belakang dan pokok permasalahan yang diuraikan di atas,
maka tesis ini diberi judul: “TINJAUAN ETIS-TEOLOGIS TERHADAP JABATAN
KEPALA DAERAH DI ERA REFORMASI, Suatu Sumbangan Pemikiran Teologi
Politis Kontekstual di Jemaat GKE Kuala Kurun, Kalimantan Tengah”
6. Kerangka Teori
Penulis akan menggunakan “teori elit” dalam rangka membantu menganalisis
persoalan munculnya elit-elit di wilayah-wilayah baru hasil pemekaran. Teori elit
memandang bahwa setiap masyarakat terbagi dalam dua kategori yang luas yang
mencakup:25 (a) sekelompok kecil manusia yang berkemampuan dan karenanya
menduduki posisi untuk memerintah; dan (b) sejumlah besar massa yang menduduki
posisi untuk diperintah. Elit sering diartikan sebagai sekumpulan orang sebagai
individu-individu yang superior, yang berbeda dengan massa dan menguasai jaringan-
jaringan kekuasaan, atau kelompok yang berada di lingkaran kekuasaan maupun yang
sedang berkuasa.
Dalam konteks lokal, elit terbagi dalam dua kategori yaitu elit politik lokal
dan elit non politik lokal.26 Elit politik lokal merupakan seseorang yang menduduki
jabatan-jabatan politik (kekuasaan) di eksekutif dan legislatif yang dipilih melalui
25 Haryanto, Kekuasaan Elit, Suatu Bahasan Pengantar, Yogyakarta: Program Pascasarjana (S2) Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM bekerja sama dengan Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, 2005, hlm. Vi; Maurice Duverger, Sosiologi Politik, Jakarta: Rajawali Press, 1982, hlm. 179. 26 Massa dan Pareto membagi stratifikasi masyarakat dalam tiga kategori yaitu elit yang memerintah (governing elite), elit yang tidak memerintah (non-governing elite) dan massa umum (non-elite). Lihat Maurice Duverger, Sosiologi Politik, Jakarta: Rajawali Press, 1982, hlm. 179.
21
pemilihan umum dan dipilih dalam proses politik yang demokratis di tingkat lokal.
Mereka menduduki jabatan politik tinggi di tingkat lokal yang membuat dan
menjalankan kebijakan politik. Elit politik kategori ini meliputi gubernur, bupati,
walikota, ketua DPRD, anggota DPRD, dan pemimpin-pemimpin partai politik.
Sedangkan elit non-politik lokal adalah seseorang yang menduduki jabatan-jabatan
strategis dan mempunyai pengaruh untuk memerintah orang lain dalam lingkup
masyarakat. Elit non-politik lokal ini meliputi elit keagamaan, elit organisasi
kemasyarakatan, kepemudaan, profesi dan lain sebagainya.27
Selain teori elit, persoalan pemekaran daerah juga bisa dilihat dari latar
belakang pembentukan sebuah kabupaten baru. Untuk membantu menganalisis
pengaruh komposisi penduduk kabupaten Gunung Mas sebagai sebuah kabupaten
baru yang mayoritas penduduknya Kristen, Penulis akan memakai konsep pemikiran
“Minority-complex”. “Minority-complex”adalah kesulitan psikologis yang dialami
sekelompok orang yang berjumlah kecil/sedikit ketika berhadapan dengan komunitas
lain yang lebih besar dan menjadi mayoritas. Kelompok minoritas ini sulit menerima
keadaan mereka secara realistik. Menanggapi gaya politik gereja di masa lalu, EG
Singgih mengemukakan pendapatnya bahwa minority-complex ini bisa dilihat dalam
kehidupan orang Kristen di Indonesia yang mengakibatkan kecenderungan menempel
pada yang berkuasa dan tidak lagi merasa kecil.28
Selain itu wacana yang muncul berkaitan dengan kriteria yang dikenakan
kepada jabatan kepala daerah perludicermati. Untuk keperluan ini Penulis akan
27 Nurhasim (ed.), Konflik Antar Elit Politik Lokal dalam Pemilihan Kepala Daerah, Jakarta-Yogyakarta: LIPI-Pustaka Pelajar, 2005, hlm. 13. 28 EG Singgih, Iman dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004, hlm. 33.
22
memakai “Teori Keadilan” dari Michael Walzer.29 Michael Walzer dipilih karena ia
sangat menghargai penghayatan masyarakat di mana “barang sosial” (dalam hal ini
jabatan kepala daerah) itu berada. Menurut Walzer, masyarakat di tempat di mana
‘barang sosial” itulah yang semestinya memberi makna kepada jabatan kepala daerah
sesuai dengan penghayatan dan aspirasi mereka sendiri. Teori ini akan digunakan
untuk mengkritisi fungsi dan kriteria kepala daerah.
Menurut Walzer masyarakat-manusia pada dasarnya adalah komunitas yang
distributif. Manusia menyusun/merencanakan dan menciptakan barang-barang, lalu
mendistribusikannya kepada manusia-manusia lainnya. Barang-barang itu sendiri
tidaklah bebas nilai, namun terikat oleh arti/makna sosial yang dikenakan kepada
barang tersebut. Dengan konsep itu, Walzer menyatakan bahwa semua distribusi
barang bisa dikatakan adil atau tidak adil tergantung pada makna sosial yang
diberikan pada barang tersebut. Di sini Walzer hendak memperlihatkan kepada kita
bahwa keadilan juga merupakan sebuah “barang”, hasil konstruksi manusia yang
didistribusikan di antara manusia-manusia itu sendiri. Karenanya, konsep dan praktek
“keadilan” itu relatif, bisa saja berbeda-beda, jika dilihat dari sejarah, kebudayaan,
atau “membership” (keanggotaan) masing-masing masyarakat. Dengan teori ini
Penulis akan dibantu melihat makna jabatan kepala daerah yang dihayati oleh warga
jemaat GKE di Kuala Kurun sebagai bagian dari masyarakat.
29 Lih. Michael Walzer, Spheres of Justice, A Defence of Pluralism and Equality, New York: Basic Books, 1983.
23
7. Metodologi
Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dan teori-teori yang akan digunakan,
maka penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang
mengkombinasikan metode penelitian kepustakaan (library research) dan metode
penelitian lapangan (field research).
7.1. Penelitian Kepustakaan
Metode penelitian kepustakaan bertujuan untuk mendapat data dari sumber-
sumber tertulis baik teologi maupun non-teologi yang berkaitan dengan topik tesis ini.
Metode penelitian ini juga mengarahkan penelitian ini pada pengumpulan dan analisis
data berupa dokumen-dokumen dari segenap teks, baik dari media massa (koran,
majalah, internet, dan lain-lain) melalui pemakaian analisis isi. Dari hasil penelitian
kepustakaan diharapkan Penulis dapat mendiskripsikan secara sistematis, faktual dan
aktual mengenai fakta-fakta serta hubungan antara fenomena yang berkaitan dengan
topik tesis.30
7.2. Penelitian Lapangan
Penggunaan metode penelitian lapangan (field study) dilakukan untuk
mengumpulkan data berupa pernyataan, perilaku, dan peristiwa-peristiwa melalui
pemakaian metode survei dan wawancara mendalam (depth interview) untuk
kemudian diolah dan dianalisis melalui metode interpretative. Selain itu, Penulis
merasa perlu untuk mendapat data pembanding berupa kecenderungan pandangan
mayoritas jemaat terhadap topik tesis ini. Data pembanding ini akan diusahakan
30 Bdk. Moh. Nazir, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia, 1985, hlm. 63.
24
melalui penyebaran angket. Penelitian lapangan ini sendiri dilaksanakan di Kuala
Kurun31, ibukota kabupaten pemekaran Gunung Mas, Kalimantan Tengah.
Subyek yang diperlukan dalam penelitian ini antara lain: Pejabat Publik yang
beragama Kristen, Pengurus Partai politik yang beragama Kristen, KPUD, pejabat
GKE (Gereja Kalimantan Evangelis), termasuk juga Jemaat GKE (Gereja
Kalimantan Evangelis). Untuk waktu penelitian ini dilaksanakan kurang lebih satu
bulan, dari pertengahan Mei 2007 sampai dengan pertengahan Juni 2007. Wawancara
akan dilakukan dengan teknik menyiapkan pertanyaan-pertanyaan panduan terlebih
dahulu. Walaupun demikian, Penulis tetap melakukan interview bebas32 mengingat
wacana topik tesis ini cukup sensitif berkaitan dengan rencana pelaksanaan Pilkada di
kabupaten Gunung Mas pada tahun 2008 yang akan datang.
31 Kuala Kurun adalah ibukota kabupaten baru Gunung Mas sebagai hasil pemekaran dari kabupaten Kapuas. Menurut data statistik GKE 2007, di Resort GKE Kuala Kurun terdapat: 16 jemaat definitif, 4 calon jemaat, 1.715 Kepala Keluarga, 2.669 anggota sidi, 5.989 jiwa, dengan 11 orang pendeta, 102 penatua dan 101 diakon. 32 Penulis akan menggunakan berusaha menciptakan suasana santai dalam wawancara, misalnya menjadikan bahasa daerah Dayak Ngaju sebagai bahasa pengantar wawancara dan mengusahakan suasana tanya-jawab seperti obrolan biasa, agar informan tidak merasa terbeban memberi data yang diperlukan. Walaupun demikian, Penulis dituntut tetap fokus pada data apa yang dikumpulkan. Suharsimi, A., Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: RinekeCipta, 1998, hlm. 145.
25
8. Tujuan Penulisan
Penulisan tesis ini diharapkan bisa menjadi salah satu upaya berteologi secara
kontekstual bagi GKE yang mengalami secara langsung proses perubahan politik di
daerah, dan bisa memberikan dukungan berupa sumbangan pemikiran etis-teologis
yang menjadi fondasi moral-spiritual kepada siapa saja yang menduduki jabatan
kepala daerah, secara khusus orang-orang GKE yang mendapat kesempatan untuk
itu. Bahkan, walapun tidak ada orang Kristen GKE yang menduduki jabatan kepala
daerah, tesis ini diharapkan bisa memberi pemikiran dan semangat bagi umat Kristen
agar tetap bisa menghayati dan mendukung peran kepala daerah di tempatnya
masing-masing. Selain itu tentu saja tesis ini juga diharapkan dapat memberi kritik
etis-teologis terhadap jabatan Kepala Daerah yang sering disalahgunakan, dengan
harapan bahwa hal-hal tersebut tidak terulang lagi di kemudian hari.
9. Sistematika Penulisan
Dalam rangka pemaparan penelitian ini, penulis mencoba membuat
sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I. PENDAHULUAN.
Bab ini akan membahas latar belakang permasalahan, rumusan masalah,
hipotesis yang akan dibuktikan, judul, kerangka teori, metodologi dan sistematika
penulisan.
BAB II. DINAMIKA JABATAN KEPALA DAERAH DI INDONESIA
Bab ini mendeskripsikan dan menganalisis sejarah jabatan kepala daerah di
Indonesia secara umum, baik pada masa Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi
26
serta perkembangan terakhir. Unsur pokok yang akan diperhatikan adalah bagaimana
pelaksanaan atau penggunaan jabatan kepala daerah selama ini. Unsur ini penting
untuk diperhatikan, dengan harapan bab ini sekaligus bisa menggambarkan
persoalan-persoalan yang muncul dan perlu ditanggapi secara teologis nantinya.
BAB III. HASIL PENELITIAN PANDANGAN JEMAAT TENTANG
FUNGSI DAN KRITERIA KEPALA DAERAH
Bab ini memaparkan deskripsi serta analisis dari hasil penelitian yang
dilaksanakan di kabupaten pemekaran Gunung Mas, propinsi Kalimantan Tengah.
Penelitian ini berupaya menggali dan mengungkapkan persepsi atau pemahaman
warga Kristen secara khusus warga jemaat GKE di Kuala Kurun mengenai berbagai
hal yang berkaitan dengan persoalan makna jabatan kepala daerah.
BAB IV. REFLEKSI TEOLOGIS
Bab ini akan menguraikan pemikiran mengapa teologi perlu berbicara tentang
masalah-masalah publik, seperti halnya persoalan jabatan kepala daerah. Dengan
berdasar pada teologi publik itu, bab ini juga berupaya mencari atau membangun
makna teologis dari jabatan kepala daerah yang pada gilirannya diharapkan mampu
memberi landasan dan semangat etis-spiritual tentang bagaimana orang Kristen
memahami, menerima atau menggunakan “kuasa” yang melekat dalam jabatan kepala
daerah tersebut.
27
BAB V. PENUTUP
Bab terakhir ini merupakan kesimpulan tesis dan sekaligus sebagai wadah
untuk menyampaikan beberapa saran atau pemikiran lanjutan yang muncul dari
pergumulan tesis ini.