BAB I PENDAHULUAN 1 Latar Belakang...

16
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Teknologi telah menjadi bagian dalam kehidupan sosial-kultural kita. Ia tidak hanya berperan besar dalam meningkatkan kualitas kehidupan, tetapi juga telah mengubah cara kita berinteraksi dalam kehidupan sosial-kultural sehari- hari. Hampir setiap saat kita bersentuhan dengan benda-benda teknologi dan mengonsumsinya. Di kantor, sekolah, pasar, taman bermain, tempat hiburan, rumah dan tempat-tempat lainnya tidak luput dari peran teknologi. Semuanya telah mengubah pola kehidupan secara berbeda. Salah satu jenis teknologi yang mengalami perkembangan yang demikian pesat adalah teknologi informasi dan komunikasi, khususnya telepon seluler yang telah berevolusi menjadi smart- phone. Bagi masyarakat Indonesia, telepon seluler telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI), hingga akhir tahun 2011 jumlah pelanggan ponsel di Indonesia telah mencapai 250 juta, padahal jumlah

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1 Latar Belakang...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Teknologi telah menjadi bagian dalam kehidupan sosial-kultural kita. Ia

tidak hanya berperan besar dalam meningkatkan kualitas kehidupan, tetapi juga

telah mengubah cara kita berinteraksi dalam kehidupan sosial-kultural sehari-

hari. Hampir setiap saat kita bersentuhan dengan benda-benda teknologi dan

mengonsumsinya. Di kantor, sekolah, pasar, taman bermain, tempat hiburan,

rumah dan tempat-tempat lainnya tidak luput dari peran teknologi. Semuanya

telah mengubah pola kehidupan secara berbeda. Salah satu jenis teknologi yang

mengalami perkembangan yang demikian pesat adalah teknologi informasi dan

komunikasi, khususnya telepon seluler yang telah berevolusi menjadi smart-

phone.

Bagi masyarakat Indonesia, telepon seluler telah menjadi bagian dari

kehidupan sehari-hari. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Asosiasi

Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI), hingga akhir tahun 2011 jumlah

pelanggan ponsel di Indonesia telah mencapai 250 juta, padahal jumlah

2

penduduk Indonesia sekitar 240 juta jiwa.1 Perbandingan angka tersebut

menunjukan bahwa penetrasi seluler di Indonesia sebesar 110 persen. Masih

berdasarkan data ATSI, pelanggan yang menggunakan kartu prabayar sekitar

95%. Sementara jumlah pesan singkat atau Short Message Service (SMS) yang

terkirim mencapai 260 miliar SMS dengan jumlah transaksi data mencapai 27

ribu terrabyte.2

Bahkan data terakhir yang dirilis oleh CIA, Indonesia menjadi negara ke-

5 dari 6 negara yang paling agresif dalam menerima perkembangan teknologi

telepon seluler. CIA mencatat ada lebih dari 236.800.000 pelanggan telepon

seluler di Indonesia. Dari jumlah itu, belum terdata berapa orang yang memiliki

ponsel lebih dari satu. Namun tidak bisa dipungkiri, pasar terbesar ponsel di

Indonesia adalah feature phone, alias telepon seluler yang belum dapat

dikategorikan sebagai smart-phone yang hanya menawarkan fungsi komunikasi

dasar seperti sambungan telepon dan SMS.3

Tampaknya fenomena ini pula yang menyebabkan maraknya layanan

SMS Premium. Berbagai layanan yang disediakan melalui SMS Premium ini pun

bervariasi dan spesifik seperti; ramalan jodoh, nasihat-nasihat bijak, langganan

1 Hal ini diduga disebabkan oleh kecenderungan sebagian masyarakat Indonesia yang memiliki

perangkat telepon seluler lebih dari satu. 2 http://jia-xiang.biz/read/konsumsi-ponsel-di-indonesia-sudah-menggila 3 http://theglobejournal.com/teknologi/6-negara-ini-penduduknya-pengguna-hp-

terbanyak/index.php

3

musik favorit, pesan-pesan keagamaan hingga hal-hal yang berbau klenik.

Fenomena ini secara umum telah membuat telepon seluler telah menjadi

sesuatu yang lebih dari sekedar perangkat komunikasi, tetapi juga telah

terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari.

Oleh karena itu, kemunculan simbol-simbol atau makna-makna agama

dalam media bukanlah fenomena baru. Sejak lama agama telah menggunakan

media sebagai corong untuk menyampaikan pesan-pesan religius. Di sisi lain,

perkembangan media yang begitu pesat melahirkan berbagai jenis dan genre

media dengan karakter yang berbeda-beda yang dalam banyak hal telah

mengimplikasikan pergeseran dan perluasan peran media dalam kehidupan

sosial-kebudayaan termasuk agama. Dalam tahap pertentu, hal ini

berkonsekuensi pada pentingnya agama untuk melakukan tindakan akomodatif

terhadap media-media tertentu agar tetap dapat muncul dalam ruang khalayak

media.

Lebih jauh, Hoover (2006) bahkan melihat agama hari ini tidak lagi

dapat dipisahkan dengan media. Secara bersamaan, agama dan media telah

saling berkelindan dalam pengalaman kultural khalayak media. Hal ini

dikonfirmasi oleh pendapat David Morgan (2008) yang mencatat perkembangan

kajian tentang hubungan antara agama dan media yang demikian pesat.

Menurutnya, sebelum tahun 1980-an, bidang kajian agama lebih banyak ditemui

4

pada ranah agamawan, para penyeru dan pendidik agama, namun kemudian

segera mengalami perubahan. Antropologi, cultural studies, media studies, visual

and material culture, film studies, dan religious studies merupakan beberapa

disiplin yang kelak mengkaji tentang agama dan media secara serius (Morgan,

2008: 13).

Hoover dan Clark (2002: 1) mencatat bahwa yang menjadi salah satu

pemicu meluasnya kajian tentang hubungan antara agama dan media adalah

gerakan televangelism yang ditandai dengan “masuknya” kegiatan penginjilan

kedalam tayangan televisi pada tahun 1970-an. Fenomena ini segera

menimbulkan perdebatan mengenai hubungan agama dan media. Saat itu siaran

keagamaan disiarkan melalui televisi sebagai media populer sehingga sejumlah

kalangan akademisi mulai memperdebatkan cakupan media atas agama dan

hubungan diantara keduanya.

Perdebatan ini didasarkan pada cara pandang yang berbeda mengenai

agama dan media sebagai dua entitas yang terpisah dan masing-masing bersifat

independen dan otonom. Akan tetapi pada tahapan selanjutnya terjadi

kompetisi diantara keduanya sehingga salah satu kemungkinan terbaik dalam

menyikapi relasi ganda antara agama dan media melibatkan interkoneksi antara

simbol-simbol keagamaan, kepentingan dan makna serta ruang media modern

dalam kebudayaan yang lebih kontemporer. Dengan kata lain, agama dan media

5

modern dapat berkompromi untuk membangun relasi yang saling

menguntungkan melalui proses mediasi atau mediatisasi.

Sebagai jalan tengah, proses mediatisasi memungkinkan ranah agama

dan media mentransformasi dan sekaligus ditransformasi. Sebagai implikasinya,

agama lebih bersifat publik, bernuansa terapeutik, dan bersifat personal dengan

seperangkat praktik tidak seperti yang telah kita kenal sebelumnya. Pada saat

yang sama, media (film, radio, televisi, media cetak dan elektronik dan

sebagainya) mengambil lebih banyak peran, termasuk peran spiritual dan

transenden yang pada awalnya hanya merupakan wilayah kerja agama. Hal ini

berarti bahwa agama dan media kian mengalami konvergensi dan keduanya

sama-sama berperan dalam kehidupan sehari-hari (Hoover dan Clark, 2002: 2).

Dalam konteks ini Hjarvard (2008: 4) kemudian menegaskan bahwa

secara umum kajian mengenai hubungan antara agama dan media dapat

muncul dalam dua tradisi. Tradisi pertama lebih memfokuskan pada agama

dalam media (religion in media), yakni yang mengkaji tentang bagaimana

agama-agama besar seperti Protestan, Katolik, Islam dan agama-agama lainnya

serta teks-teks penting mereka direpresentasikan dalam media dan bagaimana

pengaruhnya pada para penganutnya secara individu, institusi keagamaan dan

dalam konteks yang lebih luas. Sementara tradisi yang kedua lebih banyak

digunakan oleh kalangan culturalist yang lebih menitikberatkan pada pengkajian

6

media sebagai agama (media as religion). Tradisi kedua ini, di satu sisi

menggabungkan pemahaman yang lebih luas tentang agama sebagai praktik

cultural meaning-making berhubungan dengan “things set apart” dengan

pendekatan cultural studies pada media dan komunikasi di sisi lainnya. Semua

ini berkonsekuensi pada fakta bahwa agama sebagai lembaga tidak lagi menjadi

pusat perhatian, akan tetapi lebih difokuskan pada penerimaan audiens dan

penggunaan media sebagai cara beragama. Dari perspektif ini, tidak ada lagi

pembedaan antara agama dan media, sebab sebagaimana ditegaskan Hoover

(2006: 9), agama dan media menempati ruang yang sama, melayani tujuan-

tujuan yang sama dan memperkuat praktik-praktik yang sama.

Di sisi lain, Appadurai (1991) menilai bahwa fenomena hubungan agama

dan media semacam ini merupakan salah satu konsekuensi dari globalisasi,

khususnya sebagai akibat dari perkembangan media yang begitu cepat. Sebab,

sebagaimana dikemukakan Abdullah (2009), globalisasi yang ditandai oleh

perbedaan-perbedaan dalam kehidupan telah mendorong pembentukan definisi

baru tentang berbagai hal dan memunculkan praktik kehidupan yang beragam.

Berbagai dimensi kehidupan mengalami redefinisi dan diferensiasi terjadi secara

meluas menunjukkan sifat relatif praktik sosial. Cara-cara orang

mempraktikkan agama juga mengalami perubahan, bukan karena agama

mengalami proses kontekstualisasi sehingga agama embedded di dalam

7

masyarakat, tetapi juga karena budaya yang mengkontekstualisasi agama itu

merupakan budaya global, dengan tata nilai yang berbeda (Abdullah, 2009: 107).

Dalam ranah kajian komunikasi, dikenal “medium theory” yang

memandang bahwa implikasi media atas kesadaran sosial berujung pada

kecenderungan mereka untuk mengekspos “frontstage” dan “backstage” atas

tindakan-tindakan sosial, kultural, dan politik (Hoover, 2006: 11). Sementara

itu, pihak lain mengklaim bahwa efek media pada modernitas adalah perannya

dalam meruntuhkan klaim kebenaran tradisional.

Demikian juga dengan perdebatan di seputar posmodernitas yang

menitikberatkan peran media yang berimplikasi pada agama sehingga

memungkinkan media memiliki peluang untuk meningkatkan dan memperluas

perannya atas agama. Posmodernitas didasarkan pada pemikiran bahwa

hubungan antara kata-kata, simbol, dan citra dan sesuatu yang mereka

representasikan telah mengalami keruntuhan sehingga dapat dikatakan bahwa

dalam era budaya media (media culture) yakni kehidupan yang didominasi oleh

media yang mempraktikkan dekonstruksi serta rekonstruksi atas makna-makna

tradisional, soliditas hubungan antara “tanda” dengan sesuatu yang dirujuknya

(“referents”) semakin tidak jelas.

Dominasi media atas makna-makna tradisional merupakan salah satu

fenomena mediatisasi. Berbeda dengan paradigma populer dalam teori media

8

yakni media effects dan uses and gratifications, teori mediatisasi berpandangan

bahwa media tidak berada di luar masyarakat, namun merupakan bagian dari

jalinan masyarakat itu sendiri. Media telah terintegrasi kedalam hampir semua

jenis institusi sosial. Justru melalui integrasi sosial media dapat memberikan

pengaruh mereka dan akan terlibat dalam transformasi institusi sosial, termasuk

agama di dalamnya.

Sebagaimana dipahami bahwa selama ini teori media dalam komunikasi

yang bersifat transmisional didominasi oleh dua paradigma utama, yakni media

effects dan uses and gratifications. Paragdima media effects lebih menaruh

perhatian pada bagaimana media dapat menyebabkan perubahan sikap dan

perilaku pada level sosial dan individual. Sementara paradigma kedua

memfokuskan pada bagaimana individu dan kelompok sosial menggunakan

media dengan berbagai tujuan. Paradigma yang lebih dikenal dengan

pendekatan uses and gratification ini merepresentasikan kajian mengenai

bagaimana penggunaan bentuk-bentuk media tertentu dapat dimotivasi oleh

jenis gratifikasi sosial dan psikologis yang berbeda-beda yang mampu dicapai

seseorang melalui penggunaan media.

Diantara kedua pandangan di atas, teori mediatisasi menempati posisi

ketiga seraya meragukan keduanya karena mengkonseptualisasi media sebagai

sesuatu yang terpisah dari kebudayaan dan masyarakat. Jika paradigma efek

9

menganggap media sebagai faktor independen yang dapat membawa perubahan

bagi individu maupun masyarakat, sementara paradigma kedua sering

melibatkan pandangan kultural dan masyarakat dimana aktor sosial merupakan

pihak yang bebas untuk menggunakan atau tidak menggunakan media untuk

kepentingan mereka. Sebaliknya, teori mediatisasi menekankan pada interaksi

dan transaksi antara aktor dan struktur. Oleh karena itu, kajian media dalam

kerangka mediatisasi lebih menekankan pada negosiasi antara media dengan

agama yang mengindikasikan bahwa keduanya memiliki kepentingan dan logika

masing-masing.

Pandangan ini mengimplikasikan hubungan media dan agama sangat

tergantung pada bargaining power dari pemegang otoritas agama, dalam hal ini

para pemikir dan pemuka agama dan aktor-aktor agama lainnya, didorong

untuk bernegosiasi dengan logika media. Di lain pihak, harus dicatat pula bahwa

masing-masing jenis media memiliki sifat dan karakteristik yang berbeda-beda.

Namun penting dicatat pula bahwa teori mediatisasi lebih banyak

diperbincangkan dalam konteks media massa yang bersifat institusional dan

konvensional.

Lebih spesifik, Schulz (2004) mengungkapkan bahwa mediatisasi

mengimplikasikan perubahan peran media dalam masyarakat, yakni; (1)

extension, yakni media memperluas komunikasi dan interaksi manusia

10

melampaui ruang dan waktu, (2) substitution, yakni media men-substitusi atau

menggantikan bentuk-bentuk komunikasi dan interaksi tatap-muka, (3)

amalgamation, yakni media menggabungkan bentuk-bentuk komunikasi dan

interaksi yang telah ada sebelumnya, dan (4) accommodation, dimana aktor dan

institusi sosial harus mengakomodir logika media untuk tetap dapat diakses

khalayak. Dengan demikian, mediatisasi sesungguhnya merupakan sebuah

proses yang terus berkelanjutan seiring dengan perkembangan media dan pola-

pola baru yang disandangnya.

Oleh karena itu meskipun penggunaan media massa sebagai saluran

untuk mendistribusikan informasi-informasi keagamaan bukanlah hal baru,

namun penggunaan telepon seluler adalah sesuatu yang berbeda, bahkan jika

dibandingkan dengan telepon tradisional. Jika dengan telepon tradisional

misalnya, kita menghubungi tempat, telepon seluler justru sangat bersifat

personal. Misalnya ketika kita mengirim pesan pada nomor tertentu, kita

berasumsi bahwa pesan itu akan sampai pada orang yang kita tuju saat itu,

terlepas dari lokasi orang itu berada dimana. Telepon seluler dan SMS telah

memungkinkan kita untuk melakukan interaksi semacam ini. Selain itu, pesan

teks melalui telepon seluler bersifat asynchronous, yang memungkinkan kedua

belah pihak—antara pengirim dan penerima—masing-masing tidak terikat pada

perhatian penuh untuk berkomunikasi.

11

Berbagai karakteristik yang dimiliki oleh telepon seluler telah

memungkinkan para penggunanya untuk terlibat dalam fenomena mobile

communications atau komunikasi yang tidak terikat ruang dan waktu. Sifat

interaktif, interface dan konvergen yang dimiliki oleh telepon seluler hampir

serupa dengan media-media yang belakangan dikategorikan sebagai new media

(media baru) yang lahir akibat perkembangan computer-mediated

communication yang kemudian membuka sejumlah kemungkinan baru dalam

berkomunikasi.

Salah satu layanan SMS yang juga muncul adalah layanan dengan

konten-konten keagamaan. Diantara sekian banyak layanan konten-konten

agama, SMS Tauhiid merupakan layanan SMS konten agama yang digagas oleh

K.H. Abdullah Gymnastiar atau Aa Gym dan dikelola dari lingkungan Pesantren

Daarut Tauhiid di Jl. Gegerkalong Girang, Bandung. Salah satu ciri khas layanan

SMS Tauhiid adalah gratis diantara hampir semua layanan SMS berbayar

dengan tarif premium. Fenomena inilah yang kemudian menjadi salah satu

faktor yang menyebabkan peneliti merasa tertarik untuk melakukan studi

eksploratif atas fenomena SMS Tauhiid dengan menggunakan kerangka konsep

mediatisasi.

Secara umum, SMS Tauhiid merupakan layanan SMS gratis dengan

konten keagamaan baik bersumber pada Al-Quran, Hadits maupun tausiah dari

12

Aa Gym. Meskipun SMS Tauhiid bukan satu-satunya layanan SMS dengan

konten keagamaan, namun SMS Tauhiid memiliki daya tarik tersendiri karena

statusnya yang tidak memungut biaya alias gratis. Sebagaimana dituturkan

Nurul Hidayah, Manajer Sales dan Marketing SMS Tauhiid, pelanggan SMS

Tauhiid telah mencapai hampir 500.000 orang sejak diluncurkan pada bulan

Oktober 2011 silam.

Kini, SMS Tauhiid telah berkembang menjadi sebuah lembaga dengan

sejumlah divisi tertentu. Divisi-divisi ini juga kemudian melahirkan beberapa

unit yang beberapa diantaranya juga bergerak dalam bidang teknologi informasi

dengan membuat website, televisi dan radio streaming, membuat dan mengelola

akun di jejaring sosial seperti Twitter, Facebook dan Youtube sehingga pesan-

pesan SMS Tauhiid juga dapat menjangkau masyarakat secara lebih luas bahkan

global.

Dengan melihat berbagai fenomena, munculnya pesan-pesan agama

melalui SMS yang diterima secara rutin oleh para pelanggan telah

mentransformasi fungsi media sebagai saluran dan distributor informasi

keagamaan sekaligus, meskipun peran Aa Gym sebagai tokoh agama masih

dapat ditemui. Dengan kata lain, SMS Tauhiid telah mengimplikasikan

perluasan peran media dengan caranya sendiri. Melalui SMS Tauhiid, SMS

13

menjadi sesuatu yang menjalankan peran-peran sosio-kultural dari agama baik

sebagai aktor, teks maupun institusi.

Namun demikian, SMS Tauhiid tidak hanya mengalami perkembangan

pada aspek kelembagaan, tetapi juga pada aspek konten. Konten SMS Tauhiid

yang pada awalnya hanya mengirimkan konten dengan pesan-pesan keagamaan

kini telah berkembang pada pesan-pesan informasi yang bersifat non-agama,

bahkan beberapa diantaranya bernada promosi baik dari pihak SMS Tauhiid

maupun dari pihak ketiga. Fenomena ini memperkuat asumsi bahwa SMS

Tauhiid merupakan salah satu fenomena mediatisasi yang diperlihatkan dengan

dominasi logika media dalam praktik penyampaian pesan agama.

Oleh karena itu, penelitian ini akan mengeksplorasi fenomena SMS

Tauhiid sebagai salah satu bentuk mediatisasi agama. Dengan mengambil fokus

pada mediatisasi agama dalam SMS sebagai fitur mendasar telepon seluler yang

notabene merupakan media baru, penelitian ini bermaksud untuk;

mengeksplorasi tentang proses dan cakupan mediatisasi agama yang terjadi

dalam SMS Tauhiid dan implikasinya terhadap makna-makna agama;

mengeksplorasi tentang dinamika konten-konten SMS Tauhiid yang belakangan

juga memuat pesan-pesan non-keagamaan; serta mengeksplorasi tentang

mediatisasi agama dan kemungkinan dampaknya pada praktik-praktik ekonomi.

14

1.2 Permasalahan Penelitian

Penelitian ini melakukan eksplorasi terkait mediatisasi agama melalui

SMS atau pesan pendek dalam layanan SMS Tauhiid. Penelitian ini didasarkan

pada asumsi bahwa layanan SMS Tauhiid merupakan salah satu bentuk

mediatisasi agama yang dalam jangka panjang dapat berdampak pada resiko

simplifikasi dan banalisasi agama karena peran media yang tidak hanya

memperluas, tetapi juga berpotensi menggantikan peran-peran sosio-kultural

dari agama yang berujung pada penemuan makna-makna baru atas agama. Oleh

karena itu, secara spesifik permasalahan penelitian dapat dikemukakan sebagai

berikut:

1. Bagaimanakah makna dan karakteristik agama yang dikonstruksi dalam

SMS Tauhiid sebagai agama yang termediatisasi?

2. Bagaimanakah tindakan akomodasi dan internalisasi logika media yang

dilakukan oleh SMS Tauhiid sebagai institusi?

3. Bagaimanakah implikasi mediatisasi pada tataran praktik keagamaan

sehari-hari dan bagaimana pula implikasinya pada SMS Tauhiid itu

sendiri secara kelembagaan?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah berupaya untuk mengeksplorasi

fenomena SMS Tauhiid sebagai mediatisasi agama dalam telepon seluler,

15

khususnya SMS Broadcast. Sementara itu secara khusus, penelitian ini diarahkan

untuk:

1. Mengidentifikasi makna dan karakteristik agama yang dikonstruksi

dalam SMS Tauhiid sebagai agama yang termediatisasi.

2. Melakukan eksplorasi tentang tindakan akomodasi dan internalisasi

logika media yang dilakukan oleh SMS Tauhiid sebagai institusi.

3. Melakukan eksplorasi mengenai implikasi mediatisasi pada tataran

praktik keagamaan sehari-hari dan bagaimana pula implikasinya pada

SMS Tauhiid itu sendiri secara kelembagaan.

1.4 Manfaat Penelitian

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu menambah khazanah

pengetahuan teoritis dalam disiplin kajian budaya dan media terkait dengan

proses mediatisasi agama, khususnya dalam beberapa wacana sebagai berikut:

a. Wacana tentang mediatisasi agama yang merupakan salah satu bentuk

perluasan peran media dalam kehidupan sosial dan kebudayaan yang

dalam konteks ini agama;

b. Wacana tentang logika media yang menjadi salah satu kata kunci dalam

praktik mediatisasi dimana logika media menjadi kekuatan dominan

dalam praktik-praktik sosial agama; dan

16

c. Wacana tentang implikasi mediatisasi agama pada makna-makna,

praktik-praktik sosial bentuk-bentuk agama dan juga pada kehidupan

dan interaksi sosial-keagamaan secara lebih luas.

Sementara itu secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memiliki

manfaat antara lain:

a. Memberikan sumbangan pengetahuan baik kepada akademisi, pemuka

agama, dan masyarakat pada umumnya mengenai praktik mediatisasi

agama yang tidak hanya dapat dipandang sebagai aspek positif dari

peran media bagi perkembangan agama dan kebudayaan, tetapi juga

memiliki resiko-resiko yang layak diwaspadai, khususnya tentang

kemungkinan dominasi logika media.

b. Memberikan wawasan dan pengetahuan yang dapat menambah

kesadaran masyarakat bahwa media telah menjadi bagian dari kehidupan

sosial-kebudayaan yang pada tahap tertentu dapat mengubah struktur

perilaku sosial, termasuk pada tataran praktik sosial agama.