BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalahrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25263/4/Chapter...

33
1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Pemilihan umum merupakan sarana bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasinya dalam menentuan wakil-wakilnya baik di lembaga legislatif maupun eksekutif juga sebagai sarana ikut serta berpartisipasi dalam kegiatan politik. Demokrasi di indonesia mengalami perubahan yang signifikan pasca runtuhnya rezim orde baru. Kehidupan berdemokrasi menjadi jauh lebih baik, rakyat dapat dengan bebas mengeluarkan pendapat dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan politik yang sangat dibatasi pada orde baru . Dengan lahirnya pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan suatu langkah maju dalam proses demokrasi di indonesia. Melalui pemilihan kepala daerah secara langsung berarti mengembalikan hak-hak dasar masyarakat di daerah untuk berpartisipasi dalam proses politik dalam rangka rekruitmen politik lokal secara demokratis 1 Dalam upaya mewujudkan terlaksananya pemilihan kepala daerah langsung dibentuklah UU No. 24 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah sebagai pengganti UU no. 22 tahun 1999 merupakan landasan hukum bagi pelaksanaan pemilihan kepala daerah langsung . 2 Disamping itu pemerintah juga telah menyiapkan peraturan pemerintah (PP) No. 6/2005 sebagai petunjuk teknis tentang pelaksanaan pilkada langsung. . 1 Joko, j, prihatmoko, pilkada secara langsung, Yogyakarta : pustaka pelajar, 2005, hal. 21 2 Daniel S Salosa, Mekanisme, persyaratan, dan Tata Cara Pilkada Secara Langsung, Yogyakarta: Media presindo, 2005, hal.9

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalahrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25263/4/Chapter...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalahrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25263/4/Chapter I.pdf · 1. Latar Belakang Masalah . ... politik yang sangat dibatasi pada orde

1

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Pemilihan umum merupakan sarana bagi rakyat untuk menyalurkan

aspirasinya dalam menentuan wakil-wakilnya baik di lembaga legislatif maupun

eksekutif juga sebagai sarana ikut serta berpartisipasi dalam kegiatan politik.

Demokrasi di indonesia mengalami perubahan yang signifikan pasca runtuhnya

rezim orde baru. Kehidupan berdemokrasi menjadi jauh lebih baik, rakyat dapat

dengan bebas mengeluarkan pendapat dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan

politik yang sangat dibatasi pada orde baru .

Dengan lahirnya pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan

suatu langkah maju dalam proses demokrasi di indonesia. Melalui pemilihan

kepala daerah secara langsung berarti mengembalikan hak-hak dasar masyarakat

di daerah untuk berpartisipasi dalam proses politik dalam rangka rekruitmen

politik lokal secara demokratis 1

Dalam upaya mewujudkan terlaksananya pemilihan kepala daerah

langsung dibentuklah UU No. 24 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah sebagai

pengganti UU no. 22 tahun 1999 merupakan landasan hukum bagi pelaksanaan

pemilihan kepala daerah langsung

.

2

Disamping itu pemerintah juga telah menyiapkan peraturan pemerintah

(PP) No. 6/2005 sebagai petunjuk teknis tentang pelaksanaan pilkada langsung.

.

1 Joko, j, prihatmoko, pilkada secara langsung, Yogyakarta : pustaka pelajar, 2005, hal. 21 2 Daniel S Salosa, Mekanisme, persyaratan, dan Tata Cara Pilkada Secara Langsung, Yogyakarta: Media presindo, 2005, hal.9

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalahrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25263/4/Chapter I.pdf · 1. Latar Belakang Masalah . ... politik yang sangat dibatasi pada orde

2

Pilkada langsung dapat pula dikatakan atas sebagai koreksi atas sistem pilkada

yang terdahulu yang menggunakan mekanisme perwakilan oleh DPRD. Peralihan

sistem perwakilan ke sistem pilkada langsung menyiratkan bahwa fungsi

perwakilan yang selama ini di jalankan oleh DPRD yang seharusnya merupakan

lembaga perwakilan yang memperjuangkan aspirasi rakyat, tapi justru

berseberangan dengan rakyat. Dengan pelaksanaan pilkada langsung, maka

praktek-praktek kolotif yang sering terjadi diantara eksekutif maupun legislatif

yang sering terjadi pada pemilihan kepala daerah terdahulu diharapkan dapat

dihilangkan.

Melalui azas-azas yang terdapat dalam pilkada langsung yaitu azas

langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil maka pemilihan kepala daerah

langsung dianggap telah memenuhi parameter demokrasi3. Pilkada bukan saja

berfungsi sebagai sarana untuk mengganti, akan tetapi juga berfungsi sebagai

media penyalur aspirasi rakyat, mengubah kebijakan-kebijakan, mengganti

sebagai suatu pemerintahan yang ada dan meminta pertanggungjawaban publik4

Dengan lahirnya UU No. 6 tahun 2005 maka pemilihan kepala daerah

langsung merupakan keputusan hukum yang harus dilaksanakan di seluruh daerah

di Indonesia. Hak hak dasar masyarakat di daerah dikembalikan dengan

memberikan suatu kewenangan penuh kepada masyarakat untuk memilih secara

langsung orang – orang yang akan menjadi pemimpin di dareahnya. Tentu saja

dalam pemilihan ini rakyat dapat diharapkan dapat memilih calon pemimpin yang

3 Ibid, hal.20 4 Syamsul Hadi Thubang,pilkada, Bima 2005, Bima Swagiri: Citra Tuba, hal.7

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalahrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25263/4/Chapter I.pdf · 1. Latar Belakang Masalah . ... politik yang sangat dibatasi pada orde

3

dinilai mampu untuk mewujudkan cita cita dan kehendak rakyat yaitu terciptanya

kesejahteraan. Akan merupakan sumber kekuasaan dalam pemilihan kepala

daerah secara langsung, rakyat memegang suatu peranan penting dalam proses

rekruitmen politik maupun dalam menentukan proses pembuatan kebijakan publik

rakyat bukan hanya dapat memilih calon pemimpinnya tetapi dapat pula

mencalonkan dirinya menjadi seorang pemimpin.

Pengesahan UU No 32 Thn 2004 yang merupakan revisi dari UU No 22

tahun 1999 yang mengamanatkan kepala daerah tingkat I dan tingkat II dipilih

langsung oleh rakyat. Hal ini berarti bahwa sistem pemilihan kepala daerah telah

mengalami perubahan kearah yang lebih demokratis.

Rakyat memiliki kedaulatan penuh atas hak politiknya dalam memilih

pemimpin mereka semangat pemilihan kepala daerah secara langsung adalah

memberikan ruang yang lebih luas bagi partisipasi politik masyarakat untuk

menentukan kepala daerah sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan di daerah masing

– masing. Sehingga diharapkan kebijakan – kebijakan dari pemerintah nantinya

sesuai dengan keinginan rakyat pada umumnya, atau dengan kata lain, lebih

mendekatkan pemerintah kepada rakyatnya.

Lahirnya mekanisme pemilihan kepala dareah langsung adalah satu wujud

dari upaya untuk membangun kembali prinsip – prinsip demokrasi, kemudian

kepala daerah langsung merupakan efek dari lahirnya otonomi daerah menjadikan

rakyat didaerah dapat secara langsung memilh pemimpin didaerahnya dan

mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat. Rakyat adalah pemegang kedaulatan

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalahrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25263/4/Chapter I.pdf · 1. Latar Belakang Masalah . ... politik yang sangat dibatasi pada orde

4

tertinggi dari kedaulatan, keinginan harus lebih banyak didengarkan, namun yang

selama ini terjadi rakyat tidak diberikan kesempatan untuk memberikan pendapat.

Melalui pemilihan kepala daerah secara langsung ini diharapkan perubahan arus

politik menuju demokrasi yang sesungguhnya.

Proses pemilihan kepala daerah di laksanakan melalui beberapa tahapan.

Dimulai dari tahap pendaftaran, penyaringan, penetapan pasangan calon, rapat

paripurna khusus, pengiriman berkas pemilihan, pengesahan dan pelantikan.

Dalam rangka penyelenggaraan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab,

kepala daerah dan wakil kepala daerah memiliki peranan yang sangat penting

dibidang penyelenggaraan pemerintahan, pengembangan dan pelayanan

masyarakat dan bertanggung jawab sepenuhnya tentang jalannya pemerintahan

daerah5

Pemilihan kepala daerah langsung ini merupakan salah satu bentuk

penghormatan terhadap kedaulatan rakyat, karena malalui pemilihan kepala

daerah langsung ini menandakan terbukanya ruang yang cukup agar rakyat bebas

memilih pemimpinnya. Pemilihan kepala daerah secara langsung, yang diawali

setelah diberlakukannya Undang-undang No. 32 tahun 2004 telah menjadi

momentum baru bagi proses demokrasi di tingkat lokal. Melalui pelaksanaan

otonomi daerah sebagai media untuk menyebarkan sistem demokrsi yang semakin

disempurnakan, termasuk pemilihan kepala daerah memacu tumbuhnya kekuatan

pro demokrasi di daerah. Artinya melalui pemilihan kepala daerah yang secara

.

5 Deddy Supriady Bratakusuma, Ph.D dan Dadang Solihin, MA, otonomi penyelenggaraan Pemerintah Daerah, Jakarta: Gramedia pustaka utama, 2002, hal.61

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalahrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25263/4/Chapter I.pdf · 1. Latar Belakang Masalah . ... politik yang sangat dibatasi pada orde

5

langsung ini akan melahirkan aktor-aktor demokrasi di daerah, yang kemudian

diharapkan mampu melakukan gerakan-gerakan baru bagi perubahan. Jika

beberapa tahun lalu kepala daerah dipilih oleh sekelompok elit politik di DPRD

(dewan perwakilan daeraah rakyat) maka melalui pemilihan kepala daerah

langsung, merupakan sebuah model baru dalam sejarah bangsa Indonesia. Yang

diharapkan mampu memunculkan pemimpin-pemimpin yang baru ditingkat lokal

yang berjiwa reformis. Inilah yang disebut sebagai langkah awal dari proses

pendemokrasian ditingkat lokal.

Salah satu yang terjadi dari pilkada hingga saat ini adalah tingginya angka

pemilih yang tidak ikut dalam pemilihan. Di sejumlah wilayah, angka ini bahkan

mencapai hampir separuh seperti yang terjadi dalam Pilkada Kota Surabaya, Kota

Medan, Kota Banjarmasin, Kota Jayapura, Kota Depok dan Provinsi Kepulauan

Riau. Tidak jarang, jumlah ini lebih tinggi dibandingkan dengan perolehan suara

pemenang Pilkada. Jika dibuat rata-rata, tingkat pemilih yang tidak menggunakan

hak pilihnya selama pelaksanaan Pilkada mencapai angka 27.9%6

6 Eriyanto, Golput Dalam Pilkada, Kajian Bulanan LSI Edisi 05-September 2007,dikutip dari www.lsi.co.id

. Hal ini sangat

berbeda pada pemilu sebelumnya. Pemilu selama Orde Baru mempunyai

partisipasi pemilih rata-rata di atas 90%. Atau tingkat pemilih yang tidak

menggunakan hak pilih rata-rata di bawah 10%. Pemilu 1999, diikuti oleh 93.3%

dari total pemilih terdaftar. Atau hanya 6.7% saja pemilih yang tidak

menggunakan hak pilihnya. Partisipasi pemilih ini turun menjadi 84.1% pada

Pemilu Legislatif 2004. Angka partisipasi pemilih ini makin turun saat Pemilu

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalahrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25263/4/Chapter I.pdf · 1. Latar Belakang Masalah . ... politik yang sangat dibatasi pada orde

6

presiden, baik putaran pertama maupun kedua, dan turun lagi selama pelaksanaan

Pilkada.

Tabel 1

Tingkat Partisipasi Pemilih

Pemilu/Pilkada Partisipasi Pemilih

1971 94.0 %

1977 90.6 %

1982 91.2 %

1987 91.3 %

1992 90.9 %

1997 88.9 %

1999 93.3 %

2004 84.1 %

Pemilu Presiden Putaran I 78.5 %

Pemilu Presdiden Putaran II 76.7 %

Pilkada (Juni-Juli 2005) 73.1 %

Sumber : Eriyanto, Golput Dalam Pilkada, Kajian Bulanan LSI Edisi 05-

September 2007, hal. 2

Di Indonesia orang-orang yang tidak ikut memilih disebut dengan istilah

golput (golongan putih). Istilah ini muncul tahun 1970-an, mengacu pada sikap

dan tindakan politik untuk tidak berpartisipasi dalam pemilu orde baru karena

dinilai tidak demokratis. Menurut Arbi Sanit, fenomena golput ini memiliki

keterkaitan terhadap legitimasi penguasa dan legitimasi sistem politik7

7 Tim Libang Kompas, Geliat Golongan Putih Makin Tampak Dari Masa ke Masa, Kompas Edisi 24 Februari 2004, hal. 7

.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalahrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25263/4/Chapter I.pdf · 1. Latar Belakang Masalah . ... politik yang sangat dibatasi pada orde

7

Pada Pemilu 1971, misalnya, Golput diproklamasikan sebagai cara protes

terhadap penguasa Orde Baru yang cenderung memusatkan kekuasaan sehingga

menghambat pengembangan demokrasi. Di mata para pemprotes, Pemilu 1971

tidak lebih sebagai ajang pemberian legitimasi kepada penguasa. Demikian juga

pada Pemilu 1977 sampai 1987 yang difungsikan untuk menghimpun legitimasi

bagi keutuhan format politik Orde Baru, yang terkonsentrasi pada satu pusat

kekuasaan. Di samping itu, mereka memprotes pemilu yang tidak lebih cuma

bertujuan mencari legitimasi bagi pembangunan yang ditandai oleh pertumbuhan

ekonomi dan melebarnya ketimpangan sosial.

Pada masa reformasi sekarang ini pemaknaan istilah golput telah

mengalami pergeseran. Hal itu tidak terlepas adanya perubahan paradigma bahwa

memilih bukanlah kewajiban seperti yang terjadi pada masa orde baru melainkan

hak pemilih untuk ikut atau tidak dalam pemilu/pilkada. Seiring dengan

perubahan paradigma tersebut istilah golput pada saat ini merupakan penyebutan

untuk orang-orang yang tidak ikut dalam pemilu atau pilkada. Dengan hanya

melihat hasil pemilu atau pilkada maka golput tidak mungkin terdeteksi dengan

baik. Sebab, hasil pemilu tidak pernah disertai informasi alasan mengapa pemilih

ikut memilih, tidak ikut memilih, atau memilih secara salah.

Meskipun tingginya angka golput menjadi gejala umum dalam Pilkada di

banyak wilayah dan kemungkinan fenomena Golput ini juga akan menjadi gejala

umum Pemilu Indonesia di masa mendatang hingga saat ini belum ada penjelasan

yang memadai apa yang menyebabkan seorang pemilih memilih tidak

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalahrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25263/4/Chapter I.pdf · 1. Latar Belakang Masalah . ... politik yang sangat dibatasi pada orde

8

menggunakan hak pilihnya. Berbagai penjelasan mengenai golput di Indonesia

hingga saat ini masih didasarkan pada asumsi dan belum didasarkan pada riset

yang kokoh. Pengamat dan penyelenggara Pemilu memang kerap melontarkan

pendapat tentang penyebab rendahnya tingkat partisipasi pemilih. Tetapi berbagai

penjelasan itu didasarkan pada pengamatan dan bukan berdasarkan hasil riset.

Hingga saat ini, ada sejumlah penjelasan yang dikemukakan oleh para

pengamat atau penyelenggara Pemilu tentang penyebab adanya Golput. Pertama,

administratif. Seorang pemilih tidak ikut memilih karena terbentur dengan

prosedur administrasi seperti tidak mempunyai kartu pemilih, tidak terdaftar

dalam daftar pemilih dan sebagainya. Kedua, teknis. Seseorang memutuskan

tidak ikut memilih karena tidak ada waktu untuk memilih seperti harus bekerja di

hari pemilihan, sedang ada keperluan, harus ke luar kota di saat hari pemilihan

dan sebagainya. Ketiga, rendahnya keterlibatan atau ketertarikan pada politik

(political engagement). Seseorang tidak memilih karena tidak merasa tertarik

dengan politik, acuh dan tidak memandang Pemilu atau Pilkada sebagai hal yang

penting. Keempat, kalkulasi rasional. Pemilih memutuskan tidak menggunakan

hak pilihnya karena secara sadar memang memutuskan untuk tidak memilih.

Pemilu (Pilkada) dipandang tidak ada gunanya, tidak akan membawa perubahan

berarti. Atau tidak ada calon kepala daerah yang disukai dan sebagainya8

Maka dari penjelasan di atas, masyarakat golongan putih (golput) terbagi

atas dua bagian, yaitu masyarakat yang tidak terdaftar sebagai pemilih pada

.

8 Eriyanto, op.cit.,hal. 6

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalahrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25263/4/Chapter I.pdf · 1. Latar Belakang Masalah . ... politik yang sangat dibatasi pada orde

9

pemilihan dan masyarakat yang terdaftar sebagai pemilih tetapi tidak

menggunakan hak pilihnya pada pemilihan. Dalam hal ini penulis akan meneliti

masyarakat golongan putih yang telah terdaftar sebagai pemilih tetapi tidak

menggunakan hak pilihnya pada pilkada (pemilihan). Faktor-faktor apa yang

mempengaruhi masyarakat tersebut sehingga tidak menggunakan hak pilihnya

pada pilkada (pemilihan).

Mana penjelasan yang lebih cocok untuk fenomena ini, hal ini menjadi

latar belakang peneliti untuk meneliti fenomena golput sehingga dapat mengetahui

apa yang menyebabkan pemilih tidak menggunakan hak pilihnya. Faktor-faktor

apa yang menimbulkan perilaku ini yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini.

Kecamatan Pamatang Sidamanik merupakan salah satu Kecamatan yang

berada dan terletak di Kabupaten Simalungun, letaknya sangat strategis dalam

berbagai bidang kehidupan bermasyarakat. Secara geografis letaknya cukup dekat

dengan Kota Pematang Siantar yang merupakan pusat kegiatan ekonomi, politik,

sosial budaya dan lain-lain. Dalam kegiatan perekonomian Kecamatan Pematang

Sidamanik merupakan Kecamatan yang mayoritas penduduknya mayoritas

bermata pencaharian sebagai Petani. Dalam bidang sosial budaya penduduk di

Kecamatan Pamatang Sidamanik cukup heterogen yang terdiri dari berbagai etnis

seperti suku Batak Toba, Batak Simalungun, Jawa, dan lain-lain.

Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur secara langsung pada tanggal 16

April 2008 berlangsung serentak di seluruh daerah di Sumatera Utara termasuk di

Kecamatan Sidamanik. Kecamatan Pamatang Sidamanik yang merupakan salah

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalahrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25263/4/Chapter I.pdf · 1. Latar Belakang Masalah . ... politik yang sangat dibatasi pada orde

10

satu Kecamatan yang berada di Kabupaten Simalungun juga melaksanakan

pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur secara bersamaan. Dalam hasil

pemilihan, ternyata masih didapati jumlah Masyarakat yang terdaftar sebagai

pemilih tetapi tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilihan Gubernur dan

Wakil Gubernur yaitu sekitar 34,25 %. Padahal jumlah suara yang tidak ikut

memilih cukup besar dan sangat berpengaruh pada hasil pemilihan Gubernur dan

Wakil Gubernur tersebut. Sedangkan rakyat telah diberikan hak untuk memilih

secara langsung pasangan mana yang dianggap mampu menjadi Gubernur dan

Wakil Gubernur Sumatera Utara periode 2008 – 2013. Dengan harapan, Gubernur

dan Wakil Gubernur yang terpilih nantinya mampu mendengarkan aspirasi rakyat

untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Sumatera Utara. Dengan

alasan inilah yang menjadi salah satu alasan penulis memilih Kecamatan

Pamatang Sidamanik sebagai lokasi penelitian.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka masalah yang ingin

peneliti rumuskan adalah :

Mengapa Masyarakat di Kecamatan Pematang Sidamanik yang telah

terdaftar sebagai Daftar Pemilih Tetap (DPT), tetapi tidak menggunakan

hak pilihnya pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera

Utara 2008?

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalahrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25263/4/Chapter I.pdf · 1. Latar Belakang Masalah . ... politik yang sangat dibatasi pada orde

11

3. Tujuan Penelitian

Setiap penelitian ilmiah senantiasa diupayakan kearah terwujudnya tujuan

yang diinginkan. Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :

Untuk mengetahui alasan pemilih mengapa tidak menggunakan hak

pilihnya pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur 2008 di

Kecamatan Pamatang Sidamanik.

4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan yang bermanfaat

kepada semua pihak yang secara umum akan bermanfaat bagi :

1. Secara akademis penelitian ini bermanfaat bagi penulis, yaitu memperluas

dan memperdalam pemahaman dan melatih penulis dalam membuat

sebuah karya ilmiah.

2. Secara teoritis penelitian ini diharapkan jadi salah satu pendukung dalam

pengembangan dari pada teori-teori politik yang telah ada seperti perilaku

pemilih dan teori-teori politik lainnya.

3. Hasil penelitian ini secara praktis kiranya bermanfaat bagi

lembaga/instansi pemerintah seperti Departemen Dalam Negeri,

Pemerintah Daerah, dan KPU dalam kaitannya dengan perilaku pemilih.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalahrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25263/4/Chapter I.pdf · 1. Latar Belakang Masalah . ... politik yang sangat dibatasi pada orde

12

5. Kerangka Teori

Setiap penelitian memerlukan penjelasan titik tolak ataupun landasan

pemikirannya dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu perlu

disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pemikiran yang

menggambarkan sudut mana masalah penelitian yang akan disorot9

Kerangka teori merupakan landasan untuk melakukan penelitian dan teori

dipergunakan untuk menjelaskan fenomena sosial yang menjadi objek penelitian.

Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, kontrak, defenisi dan proposisi

menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematik dengan cara merumuskan

hubungan antar konsep

.

10

5.1. Perilaku Pemilih

.

Secara teoritis ada dua penjelasan teori mengapa seseorang tidak ikut

memilih dalam pemilihan. Penjelasan pertama bersumber dari teori-teori

mengenai perilaku pemilih (voter behavior). Penjelasan ini memusatkan perhatian

pada individu. Besar kecilnya partisipasi pemilih (voting turnout) dilacak pada

sebab-sebab dari individu pemilih. Secara umum analisa-analisa mengenai “voting

behaviour” atau perilaku pemilih didasarkan pada tiga pendekatan atau model

yaitu:

9 Hadawi nawawi, metode penelitian bidang sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1995 hal.40 10 Masri Singarimbun dan Sofyan Efendy, metode penelitian sosial survei, Jakarta: Rajawali pers, 1999, hal.112

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalahrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25263/4/Chapter I.pdf · 1. Latar Belakang Masalah . ... politik yang sangat dibatasi pada orde

13

d. Pendekatan Sosiologis

Pendekatan sosiologis sering disebut Mazhab Columbia (The Columbia

School of Electoral Behavior) merupakan pendekatan yang menekankan pada

peranan faktor-faktor sosiologis dalam membentuk perilaku politik seseorang.

Seseorang tidak ikut dalam pemilihan dijelaskan sebagai akibat dari latar belakang

sosiologis tertentu, seperti agama, pendidikan, pekerjaan, ras dan sebagainya.

Faktor jenis pekerjaan juga dinilai bisa mempengaruhi keputusan orang ikut

pemilihan atau tidak. 11

e. Pendekatan Psikologis

Berbeda dengan pendekatan sosiologis, pendekatan psikologis, yang

sering disebut dengan Mazhab Michigan (The Michigan Survey Research Center)

lebih menekankan pada pengaruh faktor psikologis seseorang dalam menentukan

perilaku politik. Pendekatan psikologi ini mengembangkan konsep psikologi,

khususnya konsep sikap dan sosialisasi dalam menjelaskan perilaku sesorang.

Konsep sikap merupakan variabel sentral dalam menjelaskan perilaku

pemilih karena Menurut Greenstein ada 3 fungsi sikap yakni ; pertama, sikap

merupakan fungsi kepentingan. Artinya, penilaian terhadap suatu obyek diberikan

berdasarkan motivasi, minat dan kepentingan orang tersebut. Kedua, sikap

merupakan fungsi penyesuaian diri. Artinya, seseorang bersikap tertentu sesuai

dengan keinginan orang itu untuk sama atau tidak sama dengan tokoh atau

11 Muhammad Asfar, Beberapa Pendekatan Dalam Memahami Prilaku Pemilih, Jurnal Ilmu Politik Edisi No. 16, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, hal. 52

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalahrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25263/4/Chapter I.pdf · 1. Latar Belakang Masalah . ... politik yang sangat dibatasi pada orde

14

kelompok yang dikaguminya. Ketiga, sikap merupakan fungsi eksternalisasi dan

pertahanan diri. Artinya, sikap seseorang itu merupakan upaya untuk mengatasi

konflik batin atau tekanan psikis, yang mungkin berwujud mekanisme pertahanan

(defense mechanism).

Pembentukan sikap tidaklah bersifat begitu saja terjadi, melainkan proses

sosialisasi yang berkembang menjadi ikatan psikologis yang kuat antara seseorang

dengan partai politik atau kandidat tertentu. Kedekatan inilah yang menentukan

seseorang ikut memilih atau tidak. Makin dekat seseorang dengan partai atau

kandidat tertentu makin besar kemungkinan seseorang terlibat dalam pemilihan.12

f. Pendekatan Rasional

Dua pendekatan diatas menempatkan pemilih pada waktu dan ruang

kosong baik secara implisit maupun eksplisit. Mereka beranggapan bahwa

perilaku pemilih bukanlah keputusan yang dibuat pada saat menjelang atau ketika

ada di bilik suara, tetapi sudah ditentukan jauh sebelumnya, bahkan jauh sebelum

kampanye dimulai. Karakteristik sosiologis, latar belakang keluarga, pembelahan

kultural atau identifikasi partai melalui proses sosialisasi dan pengalaman hidup,

merupakan variable yang secara sendiri-sendiri maupun komplementer

mempengaruhi perilaku atau pilihan politik sesorang.

Tetapi pada kenyataannya, ada sebagian pemilih yang mengubah pilihan

politiknya dari satu pemilu ke pemilu lainnya. Ini disebabkan oleh ketergantungan

12 Ibid, hal .52

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalahrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25263/4/Chapter I.pdf · 1. Latar Belakang Masalah . ... politik yang sangat dibatasi pada orde

15

pada peristiwa-peristiwa politik tertentu yang bisa saja mengubah preferensi

pilihan politik seseorang. Hal ini berarti ada variabel-variabel lain yang ikut

menentukan dalam mempengaruhi perilaku politik seseorang. Ada faktor-faktor

situasional yang ikut berperan dalam mempengaruhi pilihan politik seseorang

dalam pemilu. Dengan begitu, pemilih bukan hanya pasif melainkan juga individu

yang aktif. Ia tidak terbelenggu oleh karakteristik sosiologis, melainkan bebas

bertindak. Faktor-faktor situasional, bisa berupa isu-isu politik atau kandidat yang

dicalonkan, seperti ketidakpercayaan dengan pemilihan yang bisa membawa

perubahan lebih baik. Atau ketidakpercayaan masalah akan bisa diselesaikan jika

pemimpin baru terpilih, dan sebagainya. Pemilih yang tidak percaya dengan

pemilihan akan menciptakan keadaan lebih baik, cenderung untuk tidak ikut

memilih13

Berdasarkan pendekatan ini Him Helwit mendefinisikan perilaku pemilih

sebagai pengambilan keputusan yang bersifat instant, tergantung pada situasi

sosial politik tertentu, tidak berbeda dengan pengambilan keputusan lain

.

14

13 Ibid,hal.53 14 Ibid.hal. 54

. Jadi

tidak tertutup kemungkinan adanya pengaruh dari faktor tertentu dalam

mempengaruhi keputusannya.

Penjelasan kedua mengapa pemilih tidak memilih bersumber dari sudut

struktur atau sistem suatu negara, yaitu :

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalahrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25263/4/Chapter I.pdf · 1. Latar Belakang Masalah . ... politik yang sangat dibatasi pada orde

16

a. Sistem Pendaftaran Pemilih

Untuk bisa memilih, umumnya calon pemilih harus terdaftar sebagai

pemilih terlebih dahulu. Kemudahan dalam pendaftaran pemilih bisa

mempengaruhi minat seseorang untuk terlibat dalam pemilihan. Sebaliknya,

sistem pendaftaran yang rumit dan tidak teratur bisa mengurangi minat orang

dalam pemilihan.

Secara umum ada dua sistem pendaftaran pemilih, yaitu sistem aktif dan

sistem pasif15

Sedangkan sistem pasif adalah sistem pendaftaran pemilih dengan cara

petugas pendata atau pencacah untuk mencacah atau mendaftar sebagai pemilih.

Sistem yang pertama akan menghasilkan partisipasi pemilih (voting turnout) yang

tinggi. Misalnya di Prancis. Warga yang berumur 18 tahun secara otomatis akan

didaftar sebagai pemilih. Tidak mengherankan jikalau Prancis adalah salah satu

negara yang mempunyai tingkat voting turnout lumayan tinggi. Rata-rata voting

turnout dalam sejumlah pemilihan umum di Prancis adalah 76 %

. Sistem aktif adalah sistem pendaftaran pemilih dengan cara warga

sendirilah yang aktif mendatangi panitia atau petugas pendaftaran atau

pencacahan untuk didaftar sebagai pemilih. Pemilih punya hak untuk menolak

didaftar sebagai pemilih jika tidak menginginkannya.

16

.

15 Joko Prihatmoko, hal. 201 16 Rafael Lopez Pintor and Maria Gratschew, Voter Registration and Inclusive Democracy: Analysing Registration Practices Worldwide dalam IDEA, Voter turnout Since 1945: A Global Report, 2002, dikutip dari Eriyanto, op.cit., hal. 7

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalahrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25263/4/Chapter I.pdf · 1. Latar Belakang Masalah . ... politik yang sangat dibatasi pada orde

17

b. Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum

Sejumlah penelitian menunjukkan, sistem dua partai relatif bisa

mengurangi tingkat partisipasi pemilih. Motivasi pemilih untuk ikut memilih bisa

surut ketika partai atau calon yang maju dalam pemilihan tidak ada yang disukai.

Sebaliknya negara yang menganut sistem multipartai relatif bisa memancing

partisipasi pemilih yang lebih tinggi. Hal ini karena pemilih lebih punya banyak

pilihan dan alternatif. Sejumlah penelitian juga menunjukkan, sistem proporsional

lebih membuat partisipasi pemilih lebih tinggi dibandingkan dengan pemilihan

sistem distrik. Keterwakilan proporsional pada umumnya dipercaya dapat

meningkatkan kehadiran pemilih karena semua partai dapat meningkatkan

keterwakilan mereka (Russel J. Dalton dan Martin P. Wattenberg, 1993)17

Ada negara yang menganut paham bahwa pemilihan umum adalah hak

bagi warga negara, karenanya warga bisa memilih dan bisa juga tidak memilih.

Tidak ada hukuman bagi warga negara yang tidak ikut memilih. Tetapi ada juga

negara yang memandang pemilihan umum sebagai kewajiban dari warga negara.

Warga diwajibkan untuk ikut pemilihan dan jika tidak ikut akan mendapat

hukuman. Bentuk hukuman ini bermacam-macam dari hukuman denda,

penambahan pajak hingga ancaman tidak mendapat jaminan atau asuransi dari

.

c. Sifat Pemilihan

17 Eriyanto, op.cit., hal.10

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalahrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25263/4/Chapter I.pdf · 1. Latar Belakang Masalah . ... politik yang sangat dibatasi pada orde

18

negara. Negara yang menerapkan hukuman bagi warga yang tidak terlibat dalam

pemilihan bisa dipastikan mempunyai tingkat partisipasi pemilih yang tinggi.

Salah satu contoh adalah Australia. Rata-rata tingkat voter turnout di

Australia adalah 95%. Australia dikenal sebagai salah satu negara dengan tingkat

partisipasi pemilih paling tinggi di dunia. Australia menerapkan hukuman denda

bagi pemilih yang tidak ikut memilih. Hukuman ini bisa berujung penjara jika

calon pemilih ini tidak membayar denda yang harus dibayar. Australia bukan satu-

satunya negara yang menerapkan denda bagi warga yang tidak ikut memilih.

Swis, Austria, Ciprus, Argentina, Peru adalah contoh negara lain yang

menerapkan hukuman denda. Selain hukuman, mekanisme lain untuk

“mewajibkan” pemilih datang di hari pemilihan adalah memberikan surat

keterangan. Surat keterangan ini dipakai ketika seseorang melamar pekerjaan

terutama di kantor-kantor pemerintah. Di Belgia dan Mexico, pemilih yang tidak

ikut pemilihan tanpa alasan jelas, bisa dipastikan akan kesulitan mendapat

pekerjaan di kantor pemerintah. Kesulitan yang sama juga dialami ketika

mengurus surat dan dokumen dari kantor pemerintah. Semua negara yang

mewajibkan warga negaranya ikut memilih ini, dikenal mempunyai tingkat voter

turnout tinggi18

18 Maria Gratschew, Compulsory Voting, dalam IDEA, Voter turnout Since 1945: A Global Report, 2002, dikutip dari Eriyanto, loc.cit.

.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalahrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25263/4/Chapter I.pdf · 1. Latar Belakang Masalah . ... politik yang sangat dibatasi pada orde

19

5.2. Partisipasi Politik

Partisipasi merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Partisipasi

merupakan taraf partisipasi politik warga masyarakat dalam kegiatan – kegiatan

politik baik yang bersifat aktif maupun pasif dan bersifat langsung maupun yang

bersifat tidak langsung guna mempengaruhi kebijakan pemerintah.

Wahyudi Kumorotomo mengatakan,

”Partisipasi adalah berbagai corak tindakan massa maupun individual yang memperlihatkan adanya hubungan timbal balik antara pemerintah dan warganya”19

”Partisipasi adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah, partisipasi bisa bersifat pribadi-pribadi atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif.”

.

Lebih jauh dia mengingatkan bahwa secara umum corak partisipasi warga

negara dibedakan menjadi empat macam, yaitu: pertama, partisipasi dalam

pemilihan (electoral participation), kedua, partisipasi kelompok (group

participation), ketiga, kontak antara warga negara dengan warga pemerintah

(citizen government contacting) dan keempat, partipasi warga negara secara

langsung.

Menurut Samuel P. Hutington dan Joan Nelson dalam No Easy Choice :

Political participation in developing :

20

19 Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, Jakarta: Rajawali pers, 1999, hal.112 20 Samuel P Hutington dan Joan M. Nelson, No easy choice : Political Participation In Developing Countries (cambridge, mass : harvard universiry press 1997). Hal 3, dalam Miriam Budiarjo.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalahrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25263/4/Chapter I.pdf · 1. Latar Belakang Masalah . ... politik yang sangat dibatasi pada orde

20

Sedangkan Ramlan Surbakti mendefinisikan, partisipasi politik adalah

kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi pembuatan dan pelaksanaan

kebijakan umum dan dalam ikut menentukan pemimpin pemerintah.21

Dengan demikian, pengertian Hutington dan Nelson dibatasi beberapa hal,

yaitu: pertama, Hutington dan Nelson mengartikan partisipasi politik hanyalah

mencakup kegiatan-kegiatan dan bukan sikap-sikap. Dalam hal ini, mereka tidak

memasukkan komponen-komponen subjektif seperti pengetahuan tentang poiltik,

keefektifan politik, tetapi yang lebih ditekankan adalah bagaimana berbagai sikap

dan perasaan tersebut berkaitan dengan bentuk tindakan politik. Kedua, yang

dimaksud dengan partisipasi politik adalah warga negara biasa, bukan pejabat-

pejabat pemerintah. Hal ini didasarkan pada pejabat-pejabat yang mempunyai

pekerjaan profesional di bidang itu, padahal justru kajian ini pada warga negara

biasa. Ketiga, kegiatan politik adaalah kegiatan yang dimaksud untuk

mempengaruhi keputusan pemerintah. Kegiatan yang dimaksudkan misalnya

membujuk atau menekan pejabat pemerintah untuk bertindak dengan cara-cara

tertentu untuk menggagalkan keputusan, bahkan dengan cara mengubah aspek-

aspek sistem politik. Dengan itu protes-protes, demonstrasi, kekerasan bahkan

bentuk kekerasan pembrontak untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah dapat

disebut sebagai partisipasi politik. Keempat, partisipasi juga mencakup semua

kegiatan yang mempengaruhi pemerintah, terlepas tindakan itu efektif atau tidak,

berhasil atau gagal. Kelima, partisipasi politik dilakukan langsung atau tidak

langsung, artinya langsung oleh pelakunya sendiri tanpa menggunakan, tetapi ada

21 Arifin Rahmat, Sistem Politik Indonesia, Surabaya : Penerbit SIC, 1998, hal. 128

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalahrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25263/4/Chapter I.pdf · 1. Latar Belakang Masalah . ... politik yang sangat dibatasi pada orde

21

pula yang tidak langsung melalui orang-orang yang dianggap dapat menyalurkan

kepemerintah.

Perilaku politik seseorang dapat dilihat dari bentuk partisipasi politik yang

dilakukannya. Bentuk partisipasi politik dilihat dari segi kegiatan dibagi menjadi

dua, yaitu:

a. Partisipasi aktif, bentuk partisipasi ini berorientasi kepada segi masukan dan

keluaran suatu sistem politk. Misalnya, kegiatan warga negara mengajukan

usul mengenai suatu kebijakan umum, mengajukan alternatif kebijakan umum

yang berbeda dengan kebijakan pemerintah, mengajukan kritik dan saran

perbaikan untuk meluruskan kebijaksanaan, membayar pajak, dan ikut serta

dalam kegiatan pemilihan pimpinan pemerintahan.

b. Partisipasi Pasif, bentuk partisipasi ini berorientasi kepada segi keluaran suatu

sistem politik. Misalnya, kegiatan mentaati peraturan/perintah, menerima, dan

melaksanakan begitu saja setiap keputusan pemerintah.22

Selain kedua bentuk partisipasi diatas tetapi ada sekelompok orang yang

menganggap masyarakat dan sistem politik yang ada dinilai telah menyimpang

dari apa yang dicita-citakan sehingga tidak ikut serta dalam politik. orang-orang

yang tidak ikut dalam politik mendapat beberapa julukan, seperti apatis, sinisme,

alienasi, dan anomie.

1. Apatis (masa bodoh) dapat diartikan sebagai tidak punya minat atau tidak

punya perhatian terhadap orang lain, situasi, atau gejala-gejala.

22 Sudijono Sastroadmojo, Perilaku politik, IKIP Semarang Press, 1995, hal. 74

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalahrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25263/4/Chapter I.pdf · 1. Latar Belakang Masalah . ... politik yang sangat dibatasi pada orde

22

2. Sinisme menurut Agger diartikan sebagai “kecurigaan yang busuk dari

manusia”, dalam hal ini dia melihat bahwa politik adalah urusan yang kotor,

tidak dapat dipercaya, dan menganggap partisipasi politik dalam bentuk

apapun sia-sia dan tidak ada hasilnya.

3. Alienasi menurut Lane sebagai perasaan keterasingan seseorang dari politik

dan pemerintahan masyarakat dan kecendrungannya berpikir mengenai

pemerintahan dan politik bangsa yang dilakukan oleh orang lain untuk orang

lain tidak adil.

4. Anomie, yang oleh Lane diungkapkan sebagai suatu perasaan kehidupan nilai

dan ketiadaan awal dengan kondisi seorang individu mengalami perasaan

ketidakefektifan dan bahwa para penguasa bersikap tidak peduli yang

mengakibatkan devaluasi dari tujuan-tujuan dan hilangnya urgensi untuk

bertindak.23

Menurut Rosenberg ada 3 alasan mengapa orang enggan sekali

berpartisipasi politik

24 :

Pertama bahwa individu memandang aktivitas politik merupakan ancaman terhadap beberapa aspek kehidupannya. Ia beranggapan bahwa mengikuti kegiatan politik dapat merusak hubungan sosial, dengan lawannya dan dengan pekerjaannya karena kedekatannya dengan partai-partai politik tertentu. Kedua, bahwa konsekuensi yang ditanggung dari suatu aktifitas politik mereka sebagai pekerjaan sia-sia. Mungkin disini individu merasa adanya jurang pemisah antara cita-citanya dengan realitas politik. Karena jurang pemisah begitu besarnya sehingga dianggap tiada lagi aktifitas politik yang kiranya dapat menjembatani. Ketiga, beranggapan bahwa memacu diri untuk

23 Michael rush dan althoff, pengantar sosiologi politik, PT Rajawali, Jakarta, 1989, hal.131 24 Ibid.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalahrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25263/4/Chapter I.pdf · 1. Latar Belakang Masalah . ... politik yang sangat dibatasi pada orde

23

tidak terlibat atau sebagai perangsang politik adalah sebagai faktor yang sangat penting untuk mendorong aktifitas politik. Maka dengan tidak adanya perangsang politik yang sedemikian, hal itu membuat atau mendorong kearah perasaan yang semakin besar bagi dorongan apati. Disini individu merasa bahwa kegiatan bidang politik diterima sebagai yang bersifat pribadi sekali daripada sifat politiknya. Dan dalam hubungan ini, individu merasa bahwa kegiatan-kegiatan politik tidak dirasakan secara langsung menyajikan kepuasan yang relatif kecil. Dengan demikian partisipasi politik diterima sebagai suatu hal yang sama sekali tidak dapat dianggap sebagai suatu hal yang sama sekali tidak dapat dianggap sebagai suatu yang dapat memenuhi kebutuhan pribadi dan kebutuhan material individu itu.

5.3. Motivasi untuk Melakukan Aktivitas Politik

Partisipasi politik merupakan bentuk tingkah laku, baik menyangkut aspek

sosial maupun aspek politik. Tindakan-tindakan dan aktivitas politik baik

menyangkut aspek sosial maupun aspek politik. Tindakan-tindakan aktivitas

politik tidak hanya menyangkut apa yang telah dilakukan saja, tetapi juga

menyangkut hal-hal yang mendorong individu untuk berpartisipasi. Menurut Max

Weber, ada beberapa jenis motivasi seorang melakukan aktivitas politik25

1. Motif yang rasional

.

Motif ini merupakan motif yang mendorong tingkah laku untuk

beraktivitas atas dasar pertimbangan logis dan rasional terdapat suatu kelompok.

Hal ini berarti tindakan seseorang dalam aktivitas politik telah didukung oleh

penilaian-penilaian objektif terhadap suatu kelompok tertentu. Artinya, bukan

berarti motif ini terlepas dari unsur-unsur subjektif, tetapi seorang individu telah

25 Sudijono sastroadmojo, op.cit, hal. 83-84

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalahrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25263/4/Chapter I.pdf · 1. Latar Belakang Masalah . ... politik yang sangat dibatasi pada orde

24

dibekali cara-cara rasional, melalui pertimbangan-pertimbangan yang rasional dan

menentukan pilihan sikapnya atau dalam menilai organisasi sosial tertentu.

2. Motif yang efektual-emosional

Motif ini didasarkan atas kebencian tertentu yang melekat pada individu

dalam menilai gagasan, organisasi atau individu lainnya. Dorongan ini pula

membentuk katidaksamaan terhadap suatu kelompok yang kemudian dalam

bentuknya yang konkrit menjadi bentuk apatisme politik.

3. Motif yang tradisional

Motif ini didasarkan atas penerimaan norma tingkah laku individu dalam

suatu kelompok sosial. Yang menyebabkan individu tersebut mau bergabung

dengan partisipasi dalam kelompok sosial tersebut.

4. Motif rasional – bertujuan

Motif ini didasarkan atas pertimbangan keuntungan pribadi. Bila aktifitas

tersebut tidak memberikan keuntungan apa-apa padanya, ia tidak akan ikut serta,

demikian juga sebaliknya.

5.4. Pemilihan Kepala Daerah Langsung

David Easton, teoritisi politik pertama yang memperkenalkan pendekatan

sistem dalam politik, menyatakan bahwa suatu sistem delalu memiliki

sekurangnya tiga sifat. Ketiga sifat tersebut adalah (1) terdiri dari banyak bagian-

bagian, (2)bagian-bagian itu saling berinteraksi dan tergantung, dan (3)

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalahrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25263/4/Chapter I.pdf · 1. Latar Belakang Masalah . ... politik yang sangat dibatasi pada orde

25

mempunyai perbatasan yang memisahkan dari lingkungannya yang juga terdiri

dari sistem-sistem lain.26

26 Ibid.,hal.200

Sebagai suatu sistem, sistem pilkada langsung mempunyai bagian-bagian

yang merupakan sistem sekunder atau sub-sub sistem. Bagian-bagian tersebut

adalah electoral regulation, electoral process, dan electoral law enforment.

Elecroral regulation adalah segala ketentuan atau aturan mengenai pilkada

langsung yang berlaku, bersifat mengikat dan menjadi pedoman penyelenggara,

calon dan pemilih dalam menuaikan peran dan fungsi masing-masing. Electoral

process dimaksudkan seluruh kegiatan yang terkait secara langsung dengan

pilkada yang merujuk pada ketentuan perundang-undangan baik yang bersifat

legal maupun tehnikal. Electoral law enforcement yaitu penegakan hukum

terhadap aturan-aturan pilkada baik politis, administratif atau pidana.

Atas dasar itu, sistem pilkada langsung merupakan sekumpulan unsur yang

melakukan kegiatan atau menyusun skema atau tata cara melakukan proses untuk

memilih kepala daerah. Sebagai suatu sistem, sistem pilkada memiliki ciri-ciri

antara lain bertujuan memilih kepala daerah, setiap komponen yang terlibat dan

kegiatan mempunyai batas, terbuka, tersusun dari berbagai kegiatan yang

merupakan sub sistem, masing-masing kegiatan saling terikat dan tergantung

dalam suatu rangkaian utuh, memiliki mekanisme control, dan mempunyai

kemampuan mengatur dan menyesuaikan diri.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalahrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25263/4/Chapter I.pdf · 1. Latar Belakang Masalah . ... politik yang sangat dibatasi pada orde

26

6. Definisi konsep

Konsep adalah unsur penelitian yang penting dalam penelitian dan

merupakan definisi yang dipakai para peneliti untuk menggambarkan secara

abstrak suatu fenomena sosial atau alam. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi

kesalahan atau makna ganda dari definisi konsep yang ada. Maka yang menjadi

batasan penelitian ini adalah:

1. Perilaku tidak memilih adalah perilaku pemilih yang tidak ikut

memilih pada saat pemilihan atau pilkada berlangsung.

2. Sistem pilkada adalah penyeleksian rakyat terhadap tokoh-tokoh yang

mencalonkan diri sebagai kepala daerah, baik gubernur maupun wakil

gubernur ataupun bupati/wakil bupati, atau walikota/wakil walikota.

7. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah penjelasan bagaimana variabel-variabel akan

diukur. Dalam penelitian ini yang akan diteliti, yaitu Perilaku tidak memilih,

dengan indikator :

1. Perilaku pemilih

- Pendekatan sosiologis dengan indikator : pendidikan, ras,

agama, pekerjaan.

- Pendekatan psikologis dengan indikator : kedekatan emosional

dengan calon gubernur, keterlibatan dalam partai politik yang

mengusung calon Gubernur/wakil gubernur.

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalahrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25263/4/Chapter I.pdf · 1. Latar Belakang Masalah . ... politik yang sangat dibatasi pada orde

27

- Pendekatan rasional dengan indikator : kepercayaan terhadap

isu-isu politik yang ditawarkan calon Gubernur dan wakil

Gubernur.

2. Sistem Pemilihan Kepala Daerah

- Sifat pemilihan dengan indikator : ketiadaan sanksi yang

diberikan pemerintah bagi yang tidak memilih.

- Sistem pencalonan dengan indikator : jalur pencalonan.

8. Metodologi Penelitian

8.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan metode studi

kasus, Yin (1984), mendefinisikan penelitian studi kasus sebagai penelitian

empiris yang menyelidiki suatu fenomena (gejala) kontemporer dalam konteks

senyatanya (real life) dimana batas-batas antara fenomena dan konteks tersebut

masih belum jelas27

1. Masalah pemilih yang tidak memilih merupakan isu kontemporer yang

banyak menarik perhatian peneliti untuk mengetahuinya lebih jauh. Dalam

setiap pemilihan umum masalah ini selalu menjadi bahan pembicaraan

sehingga menarik untuk mengetahui masalah yang sebenarnya.

. Peneliti menggunakan metode studi kasus dengan alasan

sebagai berikut :

27 Robert K.Yin, Studi Kasus Desain dan Metode, Rajawali Pers, Jakarta, 1996, hal. 1

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalahrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25263/4/Chapter I.pdf · 1. Latar Belakang Masalah . ... politik yang sangat dibatasi pada orde

28

2. Gejala dan konteks yang terjadi dalam setiap pemilihan umum tersebut

dalam situasi senyatanya belum jelas sehingga diperlukan penelitian yang

mendalam.

3. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap beberapa pertanyaan penelitian

yang berkaitan dengan “apa”, “mengapa” dan “bagaimana” gejala yang

terjadi dalam masalah penelitian ini.

4. Penelitian ini menggunakan berbagai sumber dan teknik pengumpulan

data sebagai upaya untuk menjawab pertanyaan penelitian.

8.2. Lokasi Penelitian

Lokasi tempat penelitian adalah Kecamatan Pamatang sidamanik,

Kabupaten Simalungun. Penelitian ini akan meneliti 10 nagori yang ada di

Kecamatan Pamatang Sidamanik.

8.3. Populasi dan Sampel

Populasi adalah seluruh objek yang terdiri dari manusia, benda, hewan,

tumbuh-tumbuhan, gejala, nilai, atau peristiwa sebagai sumber data yang memiliki

karakteristik tertentu dalam penelitian28

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat di Kecamatan

Pamatang Sidamanik yang terdaftar sebagai pemilih, tetapi tidak memilih pada

pemilihan Gubernur Sumatera Utara 2008. Jumlah Nagori di Kecamatan

Pamatang Sidamanik ada sebanyak 10 Nagori. Dari total Nagori tersebut peneliti

.

28 Hadari Nawawi,Op. cit, hal.63

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalahrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25263/4/Chapter I.pdf · 1. Latar Belakang Masalah . ... politik yang sangat dibatasi pada orde

29

mengambil semua Nagori sebagai populasi. Untuk menentukan jumlah sampel

dalam panelitian ini,penulis menggunakan rumus Taro Yamane29

1. 2 +dNN

:

Yaitu : n = keterangan :

n = jumlah sampel

N = Jumlah populasi

d2 = Presisi ditetapkan 10% dengan tingkat kepercayaan 90%.

No Nama nagori

Masyarakat yang

terdaftar sebagai

pemilih

Masyarakat

yang terdaftar

sebagai pemilih

dan

menggunakan

hak pilihnya

Masyarakat yang

terdaftar sebagai

pemilih tetapi tidak

menggunakan hak

pilihnya

1 Bandar Manik 923 603 320

2 Gorak 372 274 38

3 Jorlang Huluan 821 418 403

4 Sait Buntu Saribu 2648 1863 785

5 Pamatang Sidamanik 1423 856 567

6 Pem.Tambun Raya 744 354 390

7 Siaporas 431 315 116

8 Sarimattin 1038 763 275

9 Simattin 1106 793 313

10 Sipolha Horizon 835 500 335

Jumlah 10341 6739 3602

Sumber : Data KPU Kabupaten Simalungun, 2008.

29 Burhan, bungin, Metode Penelitian kuantitatif, Jakarta : Prenada media, 2005, hal. 105

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalahrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25263/4/Chapter I.pdf · 1. Latar Belakang Masalah . ... politik yang sangat dibatasi pada orde

30

Dari rumus diatas maka diambil sampel sebagai berikut :

101,0.3602

3602+

=n

02,37

3602=n

n = 97 orang

Untuk menentukan jumlah sampel masing-masing sampel di setiap nagori

tersebut maka jumlah seluruh sampel didistribusikan kepada tiap-tiap nagori/

kelurahan berdasarkan jumlah persentase responden yang ada di setiap nagori

masing-masing.30

1. Bandar manik 6. Pem. Tambun raya

9%1003602320

=x 11%1003602390

=x

2. Gorak 7. Sihaporas

1%1003602

38=x 3%100

3602116

=x

3. Jorlang Huluan 8. Sarimattin

11%1003602403

=x 8%1003602275

=x

4. Sait buntu 9. Simattin

21%1003602785

=x 8%1003602313

=x

30 Husaini,M.Pd., Metode penelitian sosial, Jakarta, Bumi Aksara, 2004, hal. 45

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalahrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25263/4/Chapter I.pdf · 1. Latar Belakang Masalah . ... politik yang sangat dibatasi pada orde

31

5. Pamatang sidamanik 10. Sipolha Horizon

16%1003602567

=x 9%1003602335

=x

Maka jumlah sampel yang digunakan adalah sebesar 97 orang.

8.4. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara sistem snowball sampling

(pengambilan sampel seperti bola salju). Dalam tehnik ini, pengumpulan data

dimulai dari beberapa orang yang memenuhi kriteria untuk dijadikan anggota

sample. Mereka kemudian menjadi sumber informasi tentang orang-orang lain

yang juga dapat dijadikan anggota sampel. Orang-orang yang ditunjukkan ini

kemudian dijadikan anggota sampel dan selanjutnya diminta menunjukkan orang

lain yang memenuhi kriteria menjadi anggota sampel. Demikian prosedur ini

dilanjutkan sampai jumlah anggota sampel yang diinginkan terpenuhi.31

a. Penelitian kepustakaan, yaitu mempelajari buku-buku, peraturan-peraturan,

laporan-laporan serta bahan-bahan lain yang berhubungan dengan penelitian.

8.5. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data atau informasi, keterangan-keterangan atau fakta-

fakta yang diperlukan, peneliti menggunakan teknik penelitian data sebagai

berikut :

b. Penelitian lapangan, yaitu pengumpulan data dengan menggunakan

kuesioner.

31Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial, Bandung, PT.Remaja Rodakarya, 1998, hal. 63

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalahrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25263/4/Chapter I.pdf · 1. Latar Belakang Masalah . ... politik yang sangat dibatasi pada orde

32

8.5. Teknik Analisa Data

Pada penelitian ini teknik analisa data yang digunakan adalah teknik

kualitatif, yaitu teknik tanpa menggunakan alat bantu atau rumus statistic. Adapun

langkah-langkah yang ditenpuh adalah sebagai berikut: Pertama, pengumpulan

data. Pada tahap ini peneliti mengumpulkan data dan bahan baik dari buku,

majalah, koran, jurnal kliping dan situs-situs yang memuat tentang perilaku

pemilih dan juga dari bahan kuesioner. Kedua, penilaian atau menganalisis data.

Dalam tahap ini setelah peneliti mengumpulkan dan mendapatkan semua data

yang mendukung atau membantu dan memang sangat dibutuhkan dalam

penelitian ini maka penulis akan menelaah, kategorisasi, melakukan tabulasi data

dan atau mengkombinasikan bukti untuk menjawab pertanyaan penelitian. Ketiga,

penyimpulan data yang diperoleh. Tahap ini adalah tahap terakhir pada penelitian

ini. Dari hasil penilaian dan analisis yang penulis lakukan maka penulis

mengambil kesimpulan yang dapat lebih bermanfaat dalam memahami penelitian

ini.

9. Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian ini akan disajikan ke dalam 4 bab, yakni :

Bab I Pendahuluan : pada bab ini terdapat latar belakang masalah

penelitian, perumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, kerangka teori

penelitian dan metodologi penelitian.

Pada Bab II deskripsi lokasi penelitian : akan menggambarkan segala

sesuatu mengenai objek penelitian yaitu gambaran umum wilayah kecamatan

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalahrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25263/4/Chapter I.pdf · 1. Latar Belakang Masalah . ... politik yang sangat dibatasi pada orde

33

pamatang sidamanik di lihat dari segi geografis dan luas wilayah, komposisi

kependudukan, perekonomian masyarakat sarana dan prasarana yang ada serta

struktur organisasi dan personalia.

Pada Bab III penyajian dan analisa data : nantinya akan berisikan tentang

penyajian data dan fakta yang didapat dari lapangan dan juga akan menyajikan

pembahasan dan analisis dari data dan fakta tersebut

Pada Bab IV kesimpulan dan saran : pada penulisan penelitian ini adalah

bab penutup yang didalamnya akan berisi kesimpulan dan saran yang diperoleh

dari bab-bab sebelumnya.