BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang...

26
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan Kehidupan sebuah agama tidak mungkin dilepaskan dari identitasnya. Identitas 1 hidup keagamaan adalah spiritualitas, yaitu iman kepercayaan yang mewujud dalam praktek beserta motivasi-motivasi yang mendorong terwujudnya praktek keagamaan tersebut. Sehubungan dengan hal itu, menurut Jan Hendriks 2 , Gereja yang memiliki identitas dan konsepsi identitas yang jelas akan membuat suatu gereja menjadi menarik dan vital. Menurut Chr De Jonge dan Jan Aritonang, Gereja adalah organisasi dan organisme yang mengantar keselamatan Allah didalam Yesus Kristus kepada manusia (segi obyektif). Di situ orang-orang percaya datang ke gereja untuk mendengarkan Firman yang disampaikan dalam kotbah atau ajaran serta menerima sakramen-sakramen yang dilayankan. Gereja juga sekaligus merupakan tempat persekutuan manusia yang menjawab, memberi dan mengungkapkan iman dan ibadah kepada Allah (segi subyektif). Selain itu Gereja adalah persekutuan orang percaya yang diutus untuk mengantar keselamatan Allah kepada seluruh dunia (segi apostoler atau segi ekstravert). Dengan demikian, Gereja tidak hanya merupakan jembatan antara Allah dan orang-orang percaya, tetapi juga jembatan antara Allah dan dunia 3 . Sehingga 1 Identitas adalah kekhasan organisasi, menunjuk pada sesuatu yang mencirikan dan membedakannya dari grup lain. Identitas adalah definisi diri grup tertentu tentang siapa saya? Apa misi saya dalam kultur dan masyarakat ini? 2 J.Hendriks, Jemaat Yang Vital Dan Menarik. Kanisius.Yogyakarta 3 Dr. Chr. De Jonge dan Dr. Jan S.Aritonang, Apa dan Bagaimana Gereja? (Pengantar Sejarah Eklesiologi). BPK Gunung Mulia. Jakarta.1997, hal 5. Didalalam buku tersebut, disebutkan bahwa

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang...

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Permasalahan

Kehidupan sebuah agama tidak mungkin dilepaskan dari identitasnya. Identitas1

hidup keagamaan adalah spiritualitas, yaitu iman kepercayaan yang mewujud

dalam praktek beserta motivasi-motivasi yang mendorong terwujudnya praktek

keagamaan tersebut. Sehubungan dengan hal itu, menurut Jan Hendriks2, Gereja

yang memiliki identitas dan konsepsi identitas yang jelas akan membuat suatu

gereja menjadi menarik dan vital. Menurut Chr De Jonge dan Jan Aritonang,

Gereja adalah organisasi dan organisme yang mengantar keselamatan Allah

didalam Yesus Kristus kepada manusia (segi obyektif). Di situ orang-orang

percaya datang ke gereja untuk mendengarkan Firman yang disampaikan dalam

kotbah atau ajaran serta menerima sakramen-sakramen yang dilayankan. Gereja

juga sekaligus merupakan tempat persekutuan manusia yang menjawab, memberi

dan mengungkapkan iman dan ibadah kepada Allah (segi subyektif). Selain itu

Gereja adalah persekutuan orang percaya yang diutus untuk mengantar

keselamatan Allah kepada seluruh dunia (segi apostoler atau segi ekstravert).

Dengan demikian, Gereja tidak hanya merupakan jembatan antara Allah dan

orang-orang percaya, tetapi juga jembatan antara Allah dan dunia3. Sehingga

1 Identitas adalah kekhasan organisasi, menunjuk pada sesuatu yang mencirikan dan membedakannya dari grup lain. Identitas adalah definisi diri grup tertentu tentang siapa saya? Apa misi saya dalam kultur dan masyarakat ini? 2 J.Hendriks, Jemaat Yang Vital Dan Menarik. Kanisius.Yogyakarta 3 Dr. Chr. De Jonge dan Dr. Jan S.Aritonang, Apa dan Bagaimana Gereja? (Pengantar Sejarah Eklesiologi). BPK Gunung Mulia. Jakarta.1997, hal 5. Didalalam buku tersebut, disebutkan bahwa

Gereja secara terus-menerus ditantang untuk merumuskan identitas dan konsepsi

identitasnya dalam konteks kultur dan masyarakatnya. Menurut Jan Hendriks4,

identitas Gereja hendaknya bersifat pasti dan utuh, namun berdasarkan sejarah

dapat dilihat bahwa penekanan dari ketiga segi obyektif, subyektif dan ektravert

tersebut tidaklah selalu sama. Selama berabad-abad, Gereja telah bergumul untuk

mencari keseimbangan antara segi institusional atau obyektif, segi subyektif dan

segi ekstravert. Sebagai contoh, dalam pengamatan penulis adalah bahwa Gereja

kerap kali memberi penekanan kepada pembinaan spiritualitas yang sifatnya ke

dalam (perjumpaan dengan Tuhan) dan mengabaikan pelayanan-pelayanan sosial

(aspek ekstravert), demikian juga terjadi sebaliknya. Padahal 3 (tiga) aspek

tersebut merupakan pengejawantahan iman Kristen yang menyatu yaitu relasi

vertikal (hubungan dengan Tuhan) dan relasi horisontal (hubungan dengan

sesama) yang semestinya diseimbangkan, menyatu dan tak terpisahkan. Gereja

dalam melaksanakan aspek ekstravert dengan melakukan pelayanan-pelayanan

sosial seharusnya juga selalu dibarengi dengan internalisasi diri dan refleksi

dalam terang hidup iman, sehingga tidak terjebak pada aktivisme dan dilema cara

berpikir yang bias dari iman Kristen. Dan pada gilirannya dengan mudah Gereja

sebagai lembaga yang memiliki kumpulan ajaran, ritus dan kultus akan dipakai

untuk kepentingan-kepentingan ideologis tertentu. Sebaliknya jika aspek obyektif

dan subyektif lebih ditekankan, maka itu berarti bahwa fungsi domestik

(memenuhi kebutuhan jemaat sifatnya ke dalam) sebagai salah satu fungsi agama

menjadi fungsi yang lebih ditonjolkan daripada fungsi kritis inovatifnya yang

berdasarkan teologis sistematis gereja memiliki beberapa segi yaitu: segi obyektif, segi subyektif dan segi apostoler (ekstravert). 4 J. Hendriks, Jemaat Yang Vital dan Menarik, Kanisius. Yogyakarta.

mengharuskan gereja memainkan peran katalisator bagi perubahan-perubahan

sosial. Oleh karena itu demi sebuah kesimbangan Hendriks mengusulkan 3 (tiga)

unsur identitas Gereja yaitu: doa, persahabatan, dan pelayanan kepada kaum yang

paling miskin. Sedangkan Jim Herrington5 menambahkan ketiga unsur identitas

Gereja yaitu spiritualitas dan relasi yang vital. Menurut Herrington, spiritualitas

dan relasi yang vital adalah jantung dan sumber energi dari suatu proses

transformasi. Tanpa sebuah tingkatan spiritualitas dan vitalitas yang cukup, maka

suatu gereja tidak akan mampu mendukung proses transformasi. Jemaat yang

tidak memiliki komitmen untuk mentaati Allah atau mengalami perpecahan-

perpecahan serius juga tidak akan dapat melaksanakan transformasi, karena

sesungguhnya antara spiritualitas dan proses transformasi memiliki keterkaitan

erat. Proses transformasi adalah segala daya upaya Gereja untuk mewujudkan

Kerajaan Allah dan dalam melaksanakan proses transformasi, Gereja

membutuhkan kekuatan atau Roh untuk tahan uji. Spiritualitas transformatif

berarti menyatukan sikap dan praktek iman sebagai pelaksana tugas perutusan

Gereja menjadi mitra Allah dalam mewujudkan Kerajaan Allah. Penulis

menduga bahwa salah satu penyebab adanya pemisahan antara spiritualitas dan

pelayanan sosial disebabkan tidak jelasnya gereja dalam memahami istilah

spiritualitas dalam sebuah pemahaman yang utuh dan padu. Hal ini juga

merupakan bukti bahwa makna spiritualitas mengalami berbagai penyempitan dan

pendangkalan arti, dalam cara berpikir yang dikotomis. Menurut Banawiratma

5 Jim Herrington Cs, Leading Congregational Change Wordbook, Jossey-Bass A Willey Company. New York. Th 2000. Lihat dalam pendahuluan.

dkk6 spiritualitas sebenarnya mempunyai pengertian yang lebih luas yang

harusnya terwujud dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik.

Spiritualitas merupakan kesadaran dan sikap hidup manusia untuk tahan uji dalam

mewujudkan tujuan dan pengharapan perwujudan Kerajaan Allah7. Dengan

demikian yang dimaksud dengan spiritualitas transformatif adalah iman

kepercayaan yang terwujud dalam praktek beserta motivasi yang mendorong

praksis gereja dan masyarakat.

1.1 Sejarah Pergulatan Spiritualitas dan Maknanya

Menurut Juergen Moltmann8 memahami spiritualitas tidak bisa dipisahkan dari

sejarah yang membentuknya. Kenyataan secara historis membuktikan bahwa

pemahaman tentang spiritualitas mengalami dinamika dalam makna dan

cakupannya, misalnya: pada abad ke V, pemahaman spiritualitas Kristen dilihat

sebagai pemisahan antara yang rohani dan yang materi dalam praktek hidup

asketis serta anti materi. Pada abad XII sampai abad XVI, pemahaman

spiritualitas Kristen bergeser ke suatu bidang teologi yang terkait dengan

kesempurnaan hidup dan cara-cara untuk mencapainya. Selanjutnya pada abad

XVII, usaha hidup kudus semakin mendapat perhatian yang besar khususnya di

6 JB. Banawiratma (Editor) Spiritualitas Transformatif: Suatu Pergumulan Ekumenis. Penerbit Kanisius. 1990. Jogjakarta, hal 58 7 Menurut Penulis, Gereja tidak identik dengan Kerajaan Allah. Kerajaan Allah dimulai oleh Allah yang menunjuk pada pemerintahan Allah yaitu kawasan dimana kehadiran dan kuasa Allah berlaku dan dialami. Sedangkan Gereja adalah perhimpunan atau persekutuan yang mengalami kuasa Allah. Kerajaan Allah menciptakan gereja dan bekerja melalui gereja untuk mewartakannya. Gereja adalah saksi, alat dan sekaligus pemelihara Kerajaan Allah. 8 Lihat dalam Bab IV The Spirit of live: Spirituality or Vitality? Dalam buku karangan Juergen Moltmann: The Spirit of live: A Universal Affirmation. Fortress Press. Minneapolis.1992. p 84-85. Dalam buku ini Moltmann menegaskan bahwa spiritualitas yang sesungguhnya meliputi dimensi-dimensi kehidupan yang utuh dan luas yang digerakkan oleh Roh Kudus sebagai Roh kehidupan.

kalangan Moravian dan Methodis. Penekanan hidup ilahi dan kudus

mencerminkan adanya tradisi-tradisi spiritualitas yang lebih merupakan

pengalaman mistis, meskipun ada juga yang memandang spiritualitas sebagai

ilmu yang mempelajari anugerah-anugerah dalam doa-doa mistis di kalangan

orang-orang percaya9. Lebih lanjut Juergen Moltmann10 mengatakan bahwa

dalam sejarahnya spiritualitas sering diartikan sebagai cara hidup yang

meninggalkan dunia, secara khusus menekankan pengalaman akan Allah yang

dihubungkan dengan hidup asketis, meditasi dan kontemplasi. Setiap corak

spiritualitas yang dipilih oleh Gereja pasti tidak terpisahkan dari konteks

masyarakatnya dan zamannya. Sejarah membuktikan bahwa Gereja pernah

menempatkan tujuan-tujuan spiritualitas terpisah dengan panggilan kehidupan

Kristen di dunia dan kepada dunia. Bertolak dari deskripsi sejarah tersebut,

nampaknya Gereja jaman sekarang mempunyai tugas untuk mengintegrasikan

spiritualitas dengan panggilan Kristen di dunia dan kepada dunia. Salah satunya

adalah mengintegrasikan spiritualitas dan pelayanan-pelayanan sosial sebagai

wujud karya dan pelayanan di tengah-tengah konteksnya.

1.2 Antara Hambatan dan Peluang

Pada abad ke XXI ini, sesungguhnya telah terjadi perubahan paradigma dalam

dunia ilmu pengetahuan yang melihat dunia termasuk manusia secara keseluruhan

9 Aristarkhus Sukarto, Modernitas dan Spiritualitas: Refleksi Misi atas Pergumulan Untuk Memahami Spiritualitas Kristen dan Aplikasinya dalam Era ini. Paper bahan kuliah Misi Gereja Dalam Konteks. Tanpa tanggal dan tahun, hal 2 10 Juergen Moltamann, The Spirit of Live: A Universal Affirmation. Fortress Press. Minneapolis.1992. p-85

dari pada sebagai bagian yang terpisah-pisah11. Danah Zohar dan Ian Marshall

memperkenalkan satu model kecerdasan yaitu kecerdasan spiritual, (SQ) yaitu

kemampuan manusia untuk memecahkan masalah-masalah tentang makna dan

nilai-nilai. Dengan kecerdasan spiritual diyakini manusia dapat menempatkan

tindakan dan hidupnya di dalam konteks yang paling luas dan kaya makna, yaitu

suatu kecerdasan yang dapat membuat tindakan dan bagian hidup manusia

menjadi lebih bermakna. Menurut keyakinan Zohar dan Marshall, SQ akan

mendasari efektivitas berfungsinya IQ dan EQ. Zohar dan Marshal mengutip

Webster’s dictionary yang mendefinisikan spirit sebagai daya hidup atau prinsip-

prinsip vital yang memberikan hidup kepada organisme fisikal yang berbeda

pada dirinya dengan elemen-elemen material. Harus diakui bahwa manusia

secara esensial adalah pencipta spiritual karena diarahkan oleh kebutuhan

pertanyaan yang fundamental atau pertanyaan yang mendasar. Manusia selalu

diarahkan dan akhirnya harus mendifinisikan harapan untuk menemukan makna

dan nilai di dalam karya dan pengalamannya12. Dengan demikian menurut Zohar

dan Marshall dalam bukunya Spiritual Quotient melihat spiritualitas sebagai

kemampuan manusia yang berfungsi sebagai pendorong menciptakan nilai atau

makna yang disebut “God Spot”. Karena perspektif pendekatannya yang lebih

bersifat psikologis, maka pengertian spiritualitas yang dimaksudkan dalam buku

itu tidak terkait dengan pemahaman iman agama tertentu. Jika diperbandingkan

11 Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ Spiritual Intellegence The Ultimate Intellegence. Bloomsbury Publishing. New York and London.2000, hal 18 dibab 2 (dua) yang membahas tentang krisis makna dikutip dari sebuah pernyataan Viktor Frankyl. 12 Ibid, hal 4

dengan pengertian spiritualitas Kristen menurut McGrath13 adalah sesuatu yang

memberi hidup dan memberi semangat, gairah, daya juang kepada manusia.

Spiritualitas terkait dengan kehidupan iman dan segala variabel-variabel yang

mendorong dan memotivasi kehidupan iman. Juga segala sesuatu yang

dieksplorasi untuk menolong, menyokong dan mengembangkan kehidupan iman.

Spiritualitas bekerja dalam kehidupan nyata iman seseorang, yang berkenaan

dengan tindakan dan kepercayaan. Yang dimaksudkan di sini bukan hanya

sekedar ide, meskipun ide-ide dasar tentang iman Kristen penting untuk

memperjelas spiritualitas Kristen. Hal ini berkenaan dengan cara hidup Kristen

yang dipahami dan dihidupi serta pengertian penuh terhadap realitas Allah.

Selanjutnya McGrath14 mengatakan bahwa spiritualitas Kristen sebagai refleksi

dari keseluruhan “Christian enterprise of achieving and sustaining a relationship

with God, which icludes both public worship and private devotion, and the results

of these in actual Christian life”. Spiritualitas Kristen merujuk kepada cara hidup

Kristen yang dipahami dan secara eksplisitit menunjuk pada latihan-latihan rohani

dan penyembahan kepada Allah untuk mengembangkan dan mendukung cara

hidup yang berhubungan dengan Kristus. Spiritualitas Kristen dipahami sebagai

cara Orang Kristen secara pribadi atau kelompok berkenaan dengan pengalaman

perjumpaan dengan Allah. Kekristenan paling tidak terdiri dari 3 (tiga) elemen

pokok15: pertama, suatu sistem kepercayaan (a set of belief) bagian-bagiannya

adalah doktrin, kredo, pernyataan iman. Kedua, suatu sistem nilai-nilai (a set of

values). Kekristenan secara kuat menekankan kehidupan etis iman. Nilai-nilai itu

13 Alister E McGrath, Christian Spirituality. Blackwell Publishers. Malden Massachusetts USA.1999, hal 2 14 Alister E. McGrath, ibid, hal 3 15 Ibid, hal 3

dihubungkan dengan karakter dan pribadi Kristus dari Nazaret yang dihormati dan

diteladani sebagai dasar hidup iman dan teladan utama sebagai pengikut Allah.

Ketiga, suatu cara hidup ( a way of life). Kekristenan tidak hanya berisi

kepercayaan dan nilai-nilai, namun kehidupan nyata yang mengekspresikan ide-

ide dan nilai-nilai dalam suatu cara hidup.

1.3 Wacana tentang Spiritualitas dan Hubungannya dengan Pelayanan

Sosial

Wacana tentang spiritualitas dan hubungannya dengan pelayanan sosial menarik

minat kaum Liberatif. Spiritualitas menurut pandangan liberatif dapat dilihat dari

salah satu tokohnya yaitu Aloysius Pieris yang memberi apresiasi terhadap

Konsili Vatican II yang membuka pintu bagi perumusan komprehensif dari hal

yang secara tradisional telah dikotak-kotakan seperti liturgi, spiritualitas, dan

keterlibatan sekular (sosio-politis). Meskipun ketiga hal tersebut ditempatkan

sejajar, menurut Pieris bisa bergeser kepada pemisahan rangkap tiga yaitu16:

pertama, litugi berhadapan dengan spiritualitas. Kedua, spiritualitas berhadapan

dengan keterlibatan sekular. Ketiga, keterlibatan sekular berhadapan dengan

liturgi. Selanjutnya Pieris mengatakan bahwa ketiga unsur tersebut seharusnya

tidak dilihat secara dikotomis, melainkan sebagai kesatuan yang saling mencakup

dari satu kehidupan Kristiani sejati seperti lingkaran yang tak terputus. Menurut

Pieris, spiritualitas adalah masuknya kawasan Roh ke dalam penghayatan orang

beragama, yang membawa ke dalam kawasan yang melampaui ajaran-ajaran dan

mendekatkannya kepada sesama manusia dan alam, maka selanjutnya manusia 16 Aloysius Pieris SJ, Berteologi Dalam Konteks Asia. Penerbit Kanisius. Yogyakarta, 1996, hal 21

memberi respon dan penyerahan diri yang total, akrab dan intim, personal dan

hangat, dan penuh bakti darinya kepada Roh. Dengan menemukan kembali

hakikat spiritualitas, maka agama dan umat beragama akan memberi sumbangan

yang positif bagi usaha-usaha pembangunan masyarakat yang terarah kepada

persaudaraan dan cinta kasih semesta17. Selain Pieris, seorang teolog Indonesia

Eka Darmaputra18 juga turut mempertanyakan inti atau sari pati agama. Dengan

mengutip pendapat William James (lihat bukunya The Varietes of Religious

Experience: A Study in Human Nature) bahwa yang paling inti dan paling hakiki

dari agama adalah pengalaman, khususnya pengalaman yang unik, lain dari pada

yang lain, yang dasyat dan mengurung, mencengkeram sepenuhnya

(overwhelming) orang yang mengalaminya dan mengubahnya secara total dan

radikal. Jadi inti dari agama adalah religious experience (pengalaman religius)

yang pada akhirnya mampu mengubah orang yang mengalaminya. Namun

menurut Eka Darmaputra harus diakui bahwa kemampuan untuk mengubah ini

bisa mengalami penurunan atau bersurut. Menurut E.Darmaputra, penerusan dan

pewarisan pengalaman keagamaan dilakukan dalam proses, yang mengambil 3

(tiga) bentuk19: pertama, pengalaman agamaniah yang diberi bentuk kognitif yang

selanjutnya direfleksikan dalam bentuk mitos, doktrin dan dogma. Kedua,

pengalaman agamaniah yang diberi bentuk ekspresif, untuk memenuhi kebutuhan

emosional manusia yang diterjemahkan, didramakan, dan diperagakan dalam

bentuk ritus-ritus, upacara-upacara ibadah. Ketiga, pengalaman agamaniah yang

17 Catatan Redaksi, lihat dalam pengantar dengan tema Agama dan Spiritualitas Jurnal Penuntun (Jurnal Teologi dan Gereja) Vol 3, No.12, Juli 1997. Gereja Kristen Indonesia Jawa Barat. Jakarta.1997 18 Lihat “Agama dan Spiritualitas: Suatu Perspektif Pengantar” Eka Darmaputra dalam Ibid, hal 388 19 Ibid, hal 390-391

diberi bentuk praktis, guna memenuhi kebutuhan fungsional manusia.

Pengalaman agamaniah yang dijabarkan dalam bentuk norma-norma dan aturan-

aturan praktis untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari yaitu etika.

Menurut Eka Darmaputera penerusan dan pewarisan pengalaman melalui ketiga

proses tersebut bisa menurun atau surut, maka dari itu ia mengusulkan bahwa

upaya untuk mengatasi penurunan dalam kemampuan agama untuk mengubah

manusia adalah dengan merevitalisasikan spiritualitas 20. Dan yang dimaksudkan

yaitu revitalisasi spiritualitas yang mampu memadukan ketaatan yang mutlak

kepada Allah dan kasih yang total kepada sesama21

1.4 Pergulatan Spiritualitas GKI Manyar Surabaya

GKI Manyar mengalami pergulatan spiritualitas yang agak menonjol untuk

dieksplorasi, khususnya dalam perspektif pembangunan jemaat. Pergulatan

spiritualitas di GKI Manyar sempat menimbulkan pro-kontra karena menekankan

pada aspek-aspek tertentu dalam spiritualitasnya22. Pro-kontra tersebut terbagi dalam

2 (dua) kelompok, pertama: yaitu kelompok jemaat yang ingin bertahan dengan corak

spiritualitas model GKI dan warisan tradisinya serta identitasnya. Kedua, kelompok

yang ingin mengembangkan spiritualitas yang lebih bebas (dalam terminologi

liturgis), menekankan karya Roh Kudus, memberikan tempat pada pengalaman iman

dan unsur perasaan atau emosi, menonjolkan kehidupan doa dan kekudusan hidup dan

sebagainya. Dalam pergulatan spiritualitas GKI Manyar terjadi penekanan pada

20 Ibid, hal 393. 21 Ibid, hal 395 22 Hasil wawancara dengan Pendeta GKI Manyar DS, pada tanggal 3 Januari 2005

aspek pengalaman yang menimbulkan “perpecahan”23 karena hanya hal yang bersifat

supranatural semata yang dikejar24. Sedangkan dampak positif pergulatan spiritualitas

yaitu terjadi pengembangan spiritualitas jemaat. GKI Manyar memiliki aktivitas dan

pembinaan spiritualitas kepada jemaat dengan mengadakan 2 (dua) persekutuan doa

di hari Selasa (dalam bentuk doa kontemplatif/Taize) dan doa malam pada setiap hari

Kamis dalam corak Kharismatik25. Penulis berminat untuk melihat, sejauh mana

aktivitas doa-doa tersebut mentransformasi jemaat baik secara personal maupun

komunal, khususnya hingga dorongan imperatif untuk melakukan aksi pelayanan

sosial.

Sedangkan secara geografis, lokasi GKI Manyar dapat dikategorikan

berada dalam suatu lokasi perumahan “elit”, namun di sekitarnya dikelilingi oleh

perkampungan masyarakat miskin. Posisi demografi yang demikian penting untuk

dieksplorasi, sejauh mana spiritualitas jemaat menjawabi masalah-masalah sosial

masyarakat, khususnya konteks kemiskinan yang ada disekitarnya. Penulis berminat

23 Hal ini tercermin dari visi GKI Manyar yaitu menjadi keluarga besar Allah yang harmonis, bertumbuh dalam iman dan mampu berbagi dengan lingkungan 24 Hasil wawancara dengan aktivis pemuda GKI Manyar PT, pada tanggal 20 Februari 2005. Realita ini juga dicerminkan dengan visi dan misi GKI Manyar 2005-2007 dimana GKI Manyar diibaratkan sebagai keluarga besar Allah yaitu masing-masing anggotanya diikat oleh sebuah komitmen untuk saling peduli, menerima dan saling mendidik. Pentingnya komitmen ini karena ia bersifat mengikat dan memberikan ciri khas yang membedakan gereja dari organisasi sosial lainnya. Realita seluruh keluarga besar adalah adanya keragaman keluarga besar Allah menerima keragaman sebagai kekayaan yang indah. Keragaman meliputi karakter, temperamen, latar belakang pendidikan, suku bangsa dan lain-lain. Untuk itu diperlukan sikap dan pandangan positif serta pengorbanan diri pada satu sisi, serta upaya penataan dan pertanggung jawaban pada nilai yang lain. Keharmonisan dipandang sebagai keseimbangan antara menerima perbedaan dan mendorong supaya penataan dan pertanggung jawaban. Ciri sebuah warga dimanapun adalah adanya pertumbuhan masing-masing anggotanya. 25 GKI Manyar merupakan GKI di Surabaya yang pertama kali mengadakan Persekutuan Doa Taize. Model doa kontemplatif atau Taize dilakukan dengan cara menyanyi lagu-lagu pendek tetapi dalam maknanya secara diulang-ulang, doa dalam keadaan hening, tidak ada khotbah, hanya pembacaan ayat alkitab tanpa ada penjelasan. Penerangan menggunakan lilin-lilin dan lampu diredupkan. Peserta doa ini rata-rata 15-25 orang. Sedangkan doa malam, hari Kamis yang bercorak kharismatik, suasana persekutuan doa lebih semarak. Nyanyian diiringi dengan musik, lagu riang sambil bertepuk tangan, ada khotbah yang disampaikan, beberapa jemaat berdoa dan menyembah Tuhan dengan menggunakan bahasa roh, doa-doa juga diucapkan dengan kalimat-kalimat yang terdengar. Dihadiri rara-rata 30 orang jemaat. (Hasil pengamatan/live-in di GKI Manyar mulai tanggal 1 Januari-31 Maret 2005)

untuk meneliti relasi spiritualitas jemaat dengan realitas masyarakat di sekitar Gereja

sebagai konteksnya. Penulis menfokuskan pada isu tersebut.

1.5 Keunikan Pergulatan Spiritualitas GKI Manyar dalam Konteks Corak

Spiritualitas GKI Sinwil Jatim (Mainstream)

Berdasarkan wawancara26, diperoleh informasi bahwa nampaknya sulit untuk

menentukan secara pasti corak spiritualitas GKI Sinwil Jatim yang uniform. Hal

tersebut disebabkan oleh banyaknya zending yang mempengaruhi dengan bermacam-

macam corak yang ikut membentuk dan mempengaruhi spiritualitas GKI Sinwil Jatim

yaitu THKTH, Misionaris dari Belanda, dari Amerika (Hudson Tylor), John Sung,

Pietisme dan sebagainya. Maka tidak mengherankan jika pluriformitas corak

spiritualitas terbawa sampai sekarang ini. Berdasarkan wawancara27 juga, pluriformitas

corak spiritualitas di GKI Sinwil Jatim dapat diklasifikasikan dalam 3 (tiga) corak

yaitu: corak spiritualitas Liberal, corak spiritualitas Injili dan corak spiritualitas

Kharismatik28. Namun demikian sejauh yang penulis ketahui, dari ketiga corak di atas

belum pernah diteliti sejauh mana corak spiritualitas di atas mampu mentransformasi

jemaat dan masyarakatnya.

GKI Manyar sebagai bagian dari GKI Sinwil Jatim melakukan pelayanan-

pelayanan sosial kepada warga jemaat dan masyarakat umum sebagai bagian dari

spiritualitasnya. Menurut penulis idealnya, pelayanan-pelayanan sosial merupakan

perwujudan dan dampak nyata dari keyakinan dan praktek iman dalam menjawabi

26 Hasil wawancara dengan pendeta GKI Sinwil Jatim inisial ST 27 Hasil Wawancara dengan pendeta GKI Sinwil Jatim inisial YS 28 Menurut Penulis ketiga corak spiritualitas tersebut memiliki ciri khas yang berbeda. Dan perbedaannya yang paling mencolok adalah dalam pada pemahaman dan penekanan pada transformasi. Misalnya corak spiritualitas Injili lebih menekankan bahwa transformasi personal/pribadi melalui lahir baru.

masalah-masalah sosial sesuai konteks masyarakat dimana gereja berada. Pelayanan

sosial merupakan salah satu barometer untuk mengukur apakah spiritualitas jemaat

sudah transformatif atau belum. Dalam konteksnya sesungguhnya terdapat segudang

masalah sosial di Jawa Timur yang menjadi tantangan utama dan konteks GKI Manyar

adalah29:

1. Kependudukan: Jumlah penduduk 35 Juta orang, 60% berada dibawah usia 30

tahun; penduduk miskin 10 %. Orang miskin di Jatim berdasarkan data BPS pusat

adalah 7.312.475 jiwa.

2. Pendidikan masih jauh dari ideal; penduduk berpendidikan SD ke bawah masih

besar. Motivasi sekolah masih belum konstruktif, mutu SDM memprihatinkan.

3. Pekerjaan: sebagian besar masih bekerja tanpa perlindungan organisasi; struktur

hubungan, musiman, ketrampilan terbatas. Persentetase tertinggi masih bekerja

sendiri: pekerja struktural masih sangat terbatas. Diperlukan investasi besar untuk

membangun kesempatan kerja.

4. Kesehatan: kondisi lingkungan ikut memperburuk, pengeluaran untuk kesehatan

sangat besar. Tidak ada perlindungan dan dukungan publik: indikator kematian

bayi, kematian ibu hamil dan angka sakit masih cukup tinggi. Masih banyak

pekerja formal belum punya jaminan kesehatan.

5. Kondisi sosial lainnya: perkawinan usia dini masih tinggi, angka perceraian dan

perkawinan dibawah usia dewasa makin besar. Pekerjaan asusila antara lain: judi,

narkoba, korupsi merajalela dan sebagainya.

Menurut penulis, masalah-masalah di atas merupakan konteks yang berkaitan erat dengan

panggilan dan perutusan Allah kepada GKI Manyar sebagai gerejaNya. GKI Manyar 29 Kresnayana Yahya, Tantangan Layanan Gereja, dalam bentuk makalah, hal 9

merupakan komunitas umat Allah yang dipanggil sebagai mitra Allah dalam mewujudkan

transformasi di jemaat dan masyarakat demi perwujudan Kerajaan Allah.

1.6 Pentingnya Spiritualitas Dalam Pembangunan Jemaat

Secara umum GKI merumuskan misinya tahun 2002-2010 adalah “membangun

spiritualitas yang berpusat pada hubungan yang hidup dengan Allah30”. Menurut penulis

hal ini penting, karena hal tersebut mencerminkan sebuah kesadaran tentang pentingnya

spiritualitas dalam proses pembangunan jemaat di kalangan GKI Sinwil Jatim. Kesadaran

itu tercermin dengan komentar seorang pendeta GKI mengatakan31 bahwa

“pembangunan jemaat akan sia-sia tanpa pembangunan spiritualitas jemaat itu sendiri”.

Menurut penulis pernyataan ini sungguh tepat dan patut direnungkan. Merujuk tokoh

teologi praktika yaitu Rob Van Kessel32 yang paling peduli dengan masalah spiritualitas,

karena menurutnya umat Kristiani dewasa ini sedang ditantang serta diancam oleh proses

perubahan yang terjadi dalam masyarakat, seperti modernisasi dan sekularisasi. Di

tengah-tengah kondisi seperti itu Gereja diharapkan untuk berpartisipasi kreatif dalam

perkembangan jaman sedangkan di sisi lain warga jemaat merasakan juga efek-efek

negatif dari perubahan tersebut. Pembangunan jemaat menawarkan bermacam-macam

usaha-usaha yang diharapkan dapat menangani proses itu dengan tepat. Pembangunan

jemaat ingin menyediakan program yang menginspirasikan harapan dengan tujuan sentral

30 Dalam penjelasan misi tersebut adalah bahwa pertumbuhan spiritualitas anggota GKI merupakan dasar pelaksanaan keseluruhan misi. Dan untuk mendorong terlaksananya pengembangan spiritualitas yang berpusat pada hubungan yang hidup dengan Allah perlu dilakukan berbagai kegiatan seperti doa, khotbah, pemahaman Alkitab dan katekisasi. Dengan cara bersama-sama pula perlu dilaksanakan membudayakan pembacaan Alkitab, melakukan kebaktian keluarga, berperan serta aktif dalam pemahaman Alkitab dan berdoa bersama. Lihat dalam Visi dan Misi GKI Th 2002-2010 . Badan Pekerja Majelis Sinode GKI. Tahun 2004, hal 2 31 Hasil wawancara dengan Pendeta GKI dengan inisial WA 32 Rob van Kessel, 6 Tempayan Air, Penerbit Kanisius. Yogyakarta

vitalisasi karena fokusnya pada kehidupan yang baru, pemancaran terang yang baru dan

daya tarik yang baru. Pembangunan jemaat mau ikut membangun Gereja dimana orang

dengan semangat baru mau berdiam dan bekerja. Apapun yang dipikirkan tentang gereja

jika tidak ada pengalaman bersama yang distrukturkan dalam salah satu bentuk institusi

nyata maka segala yang baik yang ada dalam pengalaman Kristen lambat laun akan

lenyap dalam sejarah. Inilah keyakinan yang mendasari Pembangunan Jemaat.

Pembangunan Jemaat berarti mencari cara berpikir serta bertindak fungsional untuk

bereaksi terhadap permasalahan yang sedang dialami dewasa ini. Pembangunan Jemaat

mempergunakan metode-metode bertindak yang baru yang tampaknya akan membawa

pemecahan. Metode-metode tersebut harus diuji validitasnya secara kritis melalui

penelitian empiris. Setiap masalah dalam gereja harus dideskripsikan sejelas-jelasnya

sehingga ditemukan relasi antara masalah dan harapan-harapan yang ada. Selanjutnya

dikaji sebab-sebab permasalahan sambil dicari perspektif baru dan metode pemecahan

yang mempunyai arti dan fundamental tentang kesejahteraan manusia. Itu berarti dalam

teologi, tujuan pembangunan jemaat perlu dirumuskan dengan jelas dan teliti dalam

kerangka kebijakan Kristiani yang lebih luas dan diselaraskan dengan pengertian manusia

tentang yang baik dan membahagiakan yang diperoleh dari refleksi pengalaman bersama

Allah berdasarkan Alkitab dan keikutsertaannya pada Yesus Kristus demi sebuah

pencapaian Gereja yang vital. Tapi bagaimanakah mengukur vitalitas gereja? Apa yang

menjadi ciri-cirinya dan sifat-sifatnya? Kriteria itu dapat dibagi dalam tiga kelompok33:

pertama, vitalitas itu tergantung pada apakah dan sejauh manakah jemaat beriman

menemukan dirinya dalam penghayatan Injil? (maka kriteria pertama adalah menanyakan

identitas jemaat). Kedua, sejauh mana struktur intern, dan pemenuhan fungsi dalam 33 Rob van Kessel, ibid, hal 7

jemaat berlangsung? Bagi vitalitas, perlu bahwa relasi-relasi intern, tugas-tugas dan

kompetensi-kompetensi diorganisasikan secara efesien. Pembangunan jemaat harus

memperhatikan pengorganisasiannya dengan seksama. Bukan hanya caranya tapi juga

efisiensinya. Ketiga, sejauh mana Injil relevan, bermakna dan mencolok dalam

penampilan serta penghayatan anggota jemaat sendiri secara de facto. Selain itu, juga

mempertanyakan sejauh manakah jemaat termotivasi untuk berpartisipasi dalam

perwujudan Gereja kedalam dan keluar (Kriteria ini mempertanyakan spiritualitas pribadi

orang beriman yang bersangkutan). Menurut Rob van Kessel34 vitalitas Gereja terkait

dengan spiritualitas. Menurutnya, spiritualitas adalah keseluruhan hidup yang terdiri dari

kata, gambaran dan perbuatan. Keseluruhan itu berasal dari tradisi Gerejawi maupun dari

pengalaman dan penemuan mengenai segala sesuatu yang baik dan membahagiakan

dalam cara berpikir, merasa dan bertindak. Pengalaman itu memberi motivasi.

Menurut van Kessel, istilah spiritualitas identik dengan model etis. Ada banyak

model etis yang telah dipakai gereja menjadi perwujudan keseluruhan yang konsisten

tentang norma-norma kelakuan yang oleh gereja dijadikan keharusan bagi anggotanya

agar sebagai persekutuan bisa bertahan dan berkembang. Pertanyaannya adalah model

spiritualitas seperti apakah yang dapat menjadikan gereja menjadi vital dan menarik?

Gereja adalah vital dan mempunyai identitas kalau anggota dan pemimpinnya membuka

mata, telinga dan hati terhadap penderitaan disekelilingnya, kongkret, dekat dan lebih

jauh dalam terlibat dalam mencurahkan kekuatannya untuk membebaskan manusia dari

penderitaan. Spiritualitas yang diperlukan disini adalah spiritualitas yang melihat,

merasakan dan mengerti kehadiran Allah dalam orang yang mengalami penderitaan dan

ketidak-adilan. Dalam mereka yang walaupun menderita mempunyai keberanian dan 34 Ibid, hal 9

harga diri untuk tetap mau hidup secara manusiawi. Itulah spiritualitas yang mengabdikan

dirinya kepada manusia yang tersalib. Menurut van Kessel dalam sebuah proses

pembangunan jemaat, spiritualitas salib merupakan dasar yang fundamental. Sebab tanpa

itu, maka pembangunan jemaat bisa terjebak dalam aktivisme dan dilema cara berpikir

liberalistis dan sosialistis, tanpa kemungkinan untuk merefleksikan didalamnya identitas

etis sendiri. Dalam konteks GKI Manyar corak spiritualitas seperti apa yang dihidupi dan

dipraktekan oleh jemaat dalam rangka menjawabi konteksnya?

II. Perumusan Masalah

1. Dengan latar belakang tersebut, sebenarnya pertanyaan yang mau dijawab dalam

tesis ini adalah bagaimana hubungan spiritualitas jemaat dengan pelayanan-

pelayanan sosial dalam konteks pembangunan jemaat di GKI Manyar? Apakah

ada kausalitas atau berdiri sendiri secara terpisah? Apakah diintegrasikan atau

diceraikan? Bagaimana membangun spiritualitas yang transformatif dalam

konteks pembangunan jemaat GKI Manyar? Dalam hal ini yang penulis maksud

adalah apakah GKI Manyar yang telah merumuskan misinya untuk membangun

spiritualitas yang hidup, masih dipengaruhi oleh warisan tradisinya dan teologi

yang merupakan hasil dari para zending? atau dalam perkembangannya GKI

Manyar mereformulasikan model spiritualitasnya? Khususnya dalam konteks

pembangunan jemaat di GKI Manyar, sudahkah pergulatan spiritualitas yang

terjadi di GKI Manyar diarahkan kepada proses transformasi secara luas dari aras

personal ke komunal bahkan sosial dimana pengalaman pribadi diakui dan

difungsikan dalam pembangunan jemaat dan praksis masyarakat?

2. Penulis menganggap bahwa spiritualitas adalah sesuatu yang penting dalam

kehidupan gereja, akan tetapi sejauh yang penulis ketahui spiritualitas yang

transformatif belum terdefinisikan, khususnya yang merangkum praksis gereja

dan praksis masyarakat. Oleh karena itu, penulis menganggap perlu

mengupayakan mendefinisikan spiritualitas transformatif dalam ranah dua praksis

tersebut. Penulis berangkat dari Teologia Praktika, khususnya ilmu-ilmu

Pembangunan Jemaat untuk mengangkat pergulatan spiritualitas yang terjadi di

GKI Manyar Surabaya.

III. Perumusan Topik/Judul

Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan dan pertimbangan diatas, maka penulis memilih

topik/judul bagi tesis ini dengan:

Merajut Spiritualitas Transformatif:

Studi Pembangunan Jemaat Tentang Spiritualitas di GKI Manyar Surabaya

IV. Hipotesa:

1. GKI Manyar mengalami pergulatan spiritualitas yang menonjol, namun

diduga pergulatan spiritualitas GKI Manyar belum sepenuhnya

mentransformasi masyarakatnya. Salah satu penyebabnya diduga karena

dipengaruhi oleh model spiritualitasnya yang dihidupi khususnya model

spiritualitas yang memisahkan diri dengan dunia melalui keterlibatan dalam

pelayanan-pelayanan sosial.

2. Diduga bahwa pergulatan spiritualitas yang terjadi di GKI Manyar belum

sepenuhnya diarahkan kepada proses transformasi secara luas dari aras

pengalaman personal ke pembangunan jemaat secara komunal hingga praksis

sosial dimana pengalaman pribadi diakui dan ditempatkan dalam konteks

pembangunan jemaat dan praksis masyarakat. Karena pengalaman merupakan

unsur yang penting dalam spiritualitas.

V. Metode Penulisan

1. Rancangan Penelitian

Lokasi penelitian empiris dilaksanakan di GKI Manyar yang berlokasi di Jalan

Manyar Tirtoasri VII/2 Surabaya (wilayah Surabaya Timur), berada dalam kompleks

perumahan Tompotika di wilayah Surabaya Timur. Perumahan tersebut tergolong

perumahan ”elite” dan dikelilingi perkampungan yang dapat dibagi menjadi 4 (empat)

bagian, yaitu: sebelah selatan (Manyar sabrangan), sebelah barat (Mleto), sebelah

timur (Kedung Tomas) dan Utara (Klampis Ngasem). Perkampungan tersebut rata-

rata berada dalam kehidupan ekonomi masyarakat kelas menengah kebawah.

2. Cara memperoleh Data dan Alasan Pemilihan Sampel

Cara untuk mendapatkan data yaitu melalui pengamatan langsung35 untuk menggali

informasi yang bersifat lisan maupun tertulis dan wawancara36 dengan beberapa

35 Penulis melakukan pengamatan langsung dengan cara tinggal didalam (live in) di gereja GKI Manyar. Antara Januari 2005-Maret live in di GKI Manyar, (surat ijin penelitian dan live in dilampiran) 36 Menurut John Mansford Prior dalam bukunya Meneliti Jemaat: Pedoman Riset Partispatoris dikatakan bahwa wawancara merupakan kelanjutan metode pengamatan yang menjelaskan dan menempatkan apa yang kita lihat dan alami dalam konteks yang lebih luas. Dari wawancara kepada subjek, kita memperoleh data (kisah yang merupakan sudut pandang kelompok sosial tertentu atau pelaku tertentu. Dalam hal ini

tokoh, aktivis serta pendeta-pendetanya. Pengamatan yang penulis lakukan di GKI

Manyar didasarkan suatu pemilihan. Pemilihan gereja tersebut untuk menunjukkan

gambaran mengenai corak spiritualitas dan berdasarkan beberapa pertimbangan yang

terkait dengan judul dan tujuan tesis ini.

3. Metode Penelitian

Penulis menggunakan metode penelitian kualitatif. Pendekatan-pendekatan kualitatif

lebih bersifat induktif dan fenomenologis dengan memberi tekanan utama pada

pemahaman akan kerangka yang unik (khas), lewat penemuan pemahaman dan

makna terhadap perasaan-perasaan, pikiran, kepercayaan dan tingkah laku. Strategi-

strategi demikian memperhatikan cakrawala atau lingkup yang lebih luas dari

pengalaman37. Teknik penelitian melalui obsevasi partisipan dan menggunakan

wawancara terbuka38 sifatnya kepada beberapa informan. Metodologi adalah sebuah

cara untuk menjawab dan memecahkan masalah-masalah yang ada. Berkenaan

dengan subyek yang penulis pilih adalah masalah spiritualitas dalam ranah theologia

praktika dan pembangunan jemaat, maka penulis akan memakai teori Gerben

Heitink39 khususnya lingkaran hermenutis. Menurut Heitink, Teologia Praktika

adalah teori teologis yang berorientasi empiris tentang perantaraan tradisi Kristen

dalam praksis masyarakat. Dalam masalah ini, Heitink mendekati dalam tiga

kita tidak pernah bisa memperoleh data yang bebas nilai, yang penting menyadari sisi atau sudut mana yang terungkap dalam data yang kita peroleh itu. Penerbit Grasindo. Jakarta.1997, hal 93 37 Angela Hope, Psikologi dan Penelitian, Majalah Gema Duta Wacana No.42 Tahun1992, hal 106 38 Wawancara terbuka merupakan tipe wawancara dengan mengajukan pertanyaan untuk ditanggapi, diolah dan diperbaiki, dianalis. Sifatnya fleksibel untuk menemukan kategori pemahaman budaya stempat (emik, memahami pandangan orang dan membandingkannya dengan persepsi orang lain. Yang selanjutnya membantu kita untuk menemukan nilai-nilai yang dimiliki bersama untuk mengarahkan tingkah laku. John Mansford Prior, Meneliti Jemaat: Pedoman Riset Partisipatoris. Grasindo. Jakarta. 1997, hal 96 39 Gerben Heitink, Teologi Praktis (Pastoral dalam Era Modernitas dan Postmodernitas). Kanisius. Yogyakarta, 1999, hal 36

perspektif yaitu perspektif hermeneutis, empiris dan strategis. Penulis akan memakai

ketiga perspektif tersebut dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:

1. Perspektif hermeunutis (memahami). Penulis akan mengadakan studi literatur

tentang spiritualitas dari teori Alister Mc Grath, mengeksplorasi teorinya dan

merumuskan item-item pokok dan melakukan analisa kritis untuk melakukan

penelitian empiris.

2. Perspektif empiris (menjelaskan). Penulis akan mengadakan penelitian lapangan

melalui wawancara dan penelitian kualitatif (live in) GKI Manyar Surabaya untuk

mengamati secara langsung corak spiritualitas yang dihidupi jemaat dan

pelayanan sosial-sosial yang dilaksanakan sesuai dengan konteksnya. Selain itu

penulis akan melihat adakah kausalitas keduanya, apakah disatukan atau

diceraikan? Mengapa sebuah jemaat memilih corak spiritualitas tertentu dan

sejauh mana sudah mentransformasi jemaat dan masyarakatnya?

3. Perspektif strategis (mengubah). Penulis akan mengadakan refleksi hermeunutis

dan selanjutnya mengajukan usulan-usalan perbaikan untuk membangun

spiritualitas yang transformatif kepada GKI Manyar dalam rangka revitalisasi.

Dalam studi literatur Penulis mendalami teori McGrath40 yang melihat beberapa faktor

yang membentuk spiritualitas yaitu:

1. Faktor Personal

Faktor personal khususnya menyoroti hubungan spiritualitas dan kepribadian (aspek

personal dan pengalaman). Tiap orang Kristen memiliki latar belakang, kepribadian,

40 Alister E. McGrath, Christian Spirituality. Blackwell Publishers. Malden Massachusetts USA.1999, hal 8-9

lokasi sosiologis, penekanan pada tema-tema iman Kristen secara berbeda-beda. Hal-

hal yang bersifat pribadi memiliki relasi penting sebagai pembentuk spiritualitas.

2. Hubungan spiritualitas dan denominasi (teologi, doktrin atau ajaran)

Kekristenan bukanlah entitas tunggal. Sebab masing-masing komunitas terbagi dalam

denominasi karena melakukan penekanan pada teologi, doktrin atau ajaran tertentu

yang membedakan satu dendan yang lainnya. Dalam penelitian lapangan penulis

berfokus pada penekanan-penekanan teologi dan pengajaran di GKI Manyar yang

mempengaruhi corak spiritualitasnya. Demikian pula corak spiritualitas denominasi

yang memberi warna pada pergulatan spiritualitasnya.

3. Hubungan spiritualitas dan sikap terhadap dunia

Beberapa corak spiritualitas secara kuat memiliki sikap meninggalkan dunia.

Mendukung pilihan bahwa kekristenan sejati adalah meninggalkan dunia. Akan tetapi

corak spiritualitas lainnya terlibat dengan dunia dan kepada dunia.

Sedangkan perspektif Pembangunan Jemaat, penulis menggunakan gagasan-gagasan

Rob van Kessel yang mengatakan bahwa spiritualitas sebagai indikator untuk mengukur

vitalitas sebuah jemaat. Menurut Kessel ada beberapa hal yang dapat ditanyakan dalam

melihat spiritualitas jemaat yaitu:

1. Penghayatan Kenyataan

Segala yang hidup ditempatkan dan menempatkan diri dalam ruang dan waktu. Pada

diri manusia, hal itu terjadi melalui kesadaran yang berbeda-beda dan dalam

hubungan timbal-balik yang terus menerus antara pengalaman dan pilihan, antara

pengamatan dan penentuan diri. Adakalanya sebagai manusia, kita ditempatkan pada

fakta yang sudah ada dan tidak bisa kita pilih. Meski fakta penting, akan tetapi

penghayatan terhadap fakta juga penting. Maka, patut dipertanyakan bagaimana

penghayatan jemaat terhadap kenyataan yang dialami?

2 Penebusan dan Pembebasan

Apakah Gereja menarik diri dari keseluruhan kenyataan manusia dan hanya mengurus

kenyataan adikodrati? Apakah jemaat mengalami pendewasaan eksistensial dan moril

(belajar) serta bertindak-tanduk bersama untuk mengalahkan penderitaan dan

kemiskinan (pelayanan)? Apakah Gereja menyelenggarakan pelayanan pemeliharaan

manusia? Bagaimana diakonia dijalankan? Menurut Kessel, diakonia adalah

termasuk inti vitalitas gereja.

3. Gambaran-gambaran Mengenai Allah:

Bagaimanakah Allah hadir pada manusia? Apakah pergaulan dengan Allah dalam doa

dianggap sebagai praktek yang bermakna oleh jemaat? Bagaimanakah bentuk-bentuk

doa dipraktekkan dalam liturgi, kelompok belajar jemaat dan wujudnya dalam

pelayanan? Bagaimana dan dimana jemaat mengalami kehadiran Kristus dan

RohNya? Apakah dalam praksis hidup, dalam perhimpunan orang beriman, dalam

orang-orang miskin dan menderita, atau dalam sabda (warta) dan tanda (sakramen)?

Bagaimanakah keempat cara itu dikombinasikan dalam proses pembangunan jemaat

melalui fungsi, struktur, tujuan dan tugas serta kompetensi-kompetensi yang dimiliki

jemaat?

4. Pewahyuan dan Komunikasi Iman

Relasi antara manusia (di dunia modern) dengan Allah adalah hal yang patut

dicermati. Sebab relasi itu telah mengalami pergeseran dari relasional kepada

obyektif, lalu kepada kebimbangan hingga penyangkalan. Dalam kondisi seperti itu

bagaimana sarana-sarana gerejawi dapat ditransformasikan kepada bertindak

komunikatif?

5. Hubungan Gereja dan Masyarakat

Konteks sosial yang menyekitari gereja merupakan faktor yang perlu

dipertimbangkan karena turut menentukan dan mempengaruhi gereja. Demikian pula

gambaran dan model gereja merupakan aspek yang penting untuk didiskusikan karena

konsep eklesiologi sedang mengalami pergumulan dan dilema. Khususnya tarik ulur

antara pemahaman gereja tradisional dan modern antara struktur hirarki dan

kongregational dan seterusnya.

6. Fungsi dan Jabatan

Gereja secara kongkret dapat dilihat secara keseluruhan mengacu pada jemaat

setempat. Di dalam jemaat nampak struktur yang memperlihatkan garis-garis yang

disebut fungsi. Fungsi terbagi dalam sejumlah tugas yang berbeda-beda. Dalam

jemaat fungsi–fungsi tersebut dilaksanakan oleh banyak orang diantaranya ada yang

disebut pejabat gerejawi (yaitu orang yang melalui penahbisan atau diangkat dan

diakui untuk melaksanakan fungsi dan tugas tertentu secara professional dan

mendampingi pemenuhan fungsi dan tugas tertentu bersama orang lain).

VI. Sistematika Penulisan

Tesis ini akan dipaparkan dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab I: Pendahuluan

7. Latar Belakang

8. Perumusan Pokok Permasalahan

9. Perumusan topik/judul

10. Hipotesa

11. Metode Penulisan

12. Sistematika Penulisan

Bab II: Kerangka Teoritis Spiritualitas Kristen

8. Latar Belakang ketertarikan terhadap tema spiritualitas

9. Tesis Allister McGrath tentang spiritualitas

10. Faktor-Faktor Pembentuk spiritualitas

Faktor Kepribadian

Faktor Denominasi

Sikap Terhadap Dunia

11. Dasar-Dasar Teologis Spiritualitas

12. Gambaran-Gambaran Biblis Spiritualitas

13. Tinjauan Kritis

14. Kesimpulan

Bab III: Penelitian Empiris Spiritualitas GKI Manyar Surabaya

1. Penjabaran Alat Penelitian

2. Sampel

3. Hasil Penelitian

4. Analisa Penelitian

5. Kesimpulan

Bab IV: Pergumulan Iman

1. Pergumulan Iman

1.1 Refleksi atas subyektifitas pengalaman pribadi sehingga menimbulkan

pengelompokan

Refleksi atas interaksi dan pengaruh antar berbagai corak spiritualitas denominasi

Refleksi atas sikap terhadap orang miskin dan motif pelayanan sosial

2. Dari refleksi ke aksi

2.1 Mewujudkan kehadiran Allah dan perjumpaan dengan Allah dalam semua

dimensi kehidupan

2.2 Memperluas pemahaman tentang pengalaman dan sharing pengalaman

2.3 Membangun spiritualitas yang kontekstual dengan menggali pemahaman

dan penghayatan jemaat terhadap realitas dan konteks

2.4 Merajut spiritualitas transformatif

2.5 Memberi arahan –arahan teologis dan operatif yang mendukung

pengembangan spiritualitas

Bab V: Kesimpulan