Bab I -...

28
1 Bab I A. Latar Belakang Masalah Melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 ,desentralisasi dan otonomi daerah dialamatkan pada pembangunan dan juga demokratisasi di daerah yang selama orde baru terjadi ketimpangan ekonomi politik yang luar biasa. Adanya realitas obyektif itulah mengapa semangat desentralisasi digulirkan dengan harapan memberikan ruang otonomi bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan inovasi pembangunan di daerahnya. Dalam prosesnya, implementasi desentralisasi dan otonomi daerah selalu diwarnai kontestasi dan juga dinamika yang semakin kompleks. Artinya, pelaksanaan desentralisasi dan otonomi bukanlah semata-mata proses teknik, administrasi, demi efisiensi dan efektifitas, melainkan sebuah proses interaksi yang dinamis dari berbagai faktor, yang sering sulit untuk diperhitungkan terlebih dahulu dan inilah yang sering disebut sebagai process of political interaction. 1 Banyak faktor, baik sosial, politik, ekonomi, maupun tingkah laku yang sedikit banyak mempunyai andil menentukan arah gerak implementasi kebijakan. Kenyataan ini bisa dipahami mengingat konfigurasi politik yang ada di tingkat lokal sangat beragam dan kompleks, sesuai dengan kondisi politik lokal setempat. 2 Dengan ragam dinamika dan realitas obyektif yang terjadi, imbasnya setiap daerah harus berusaha keras dalam memajukan daerahnya masing-masing. Salah satu instrumen yang dilakukan, yaitu melalui branding kota atau daerah sebagai upaya pengenalan awareness kepada masyarakat luas baik di tingkat lokal, regional, maupun internasional. Hal ini agaknya memiliki kesamaan dengan definisi versi American Marketing Association,yang menekankan peranan merk sebagai identifier dan 1 B.C Smith dalam Warsito Utomo , Peranan dan Strategi Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, Jurnal Ilmu Sosial Politik Vol. 1, No. 1, Juli 1997. Hal,100 2 Hendra Try Ardianto, Pembentukan Struktur Negosisasi Kota Surakarta: Kritik Nalar ‘Best Practices’ dalam Penyelenggaraan Pemerintahan. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vo. 15, No. 2, November 2011. Hal, 125

Transcript of Bab I -...

1

Bab I

A. Latar Belakang Masalah

Melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 ,desentralisasi dan otonomi daerah dialamatkan

pada pembangunan dan juga demokratisasi di daerah yang selama orde baru terjadi ketimpangan

ekonomi politik yang luar biasa. Adanya realitas obyektif itulah mengapa semangat desentralisasi

digulirkan dengan harapan memberikan ruang otonomi bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan

inovasi pembangunan di daerahnya.

Dalam prosesnya, implementasi desentralisasi dan otonomi daerah selalu diwarnai

kontestasi dan juga dinamika yang semakin kompleks. Artinya, pelaksanaan desentralisasi dan

otonomi bukanlah semata-mata proses teknik, administrasi, demi efisiensi dan efektifitas, melainkan

sebuah proses interaksi yang dinamis dari berbagai faktor, yang sering sulit untuk diperhitungkan

terlebih dahulu dan inilah yang sering disebut sebagai process of political interaction.1 Banyak faktor,

baik sosial, politik, ekonomi, maupun tingkah laku yang sedikit banyak mempunyai andil

menentukan arah gerak implementasi kebijakan. Kenyataan ini bisa dipahami mengingat konfigurasi

politik yang ada di tingkat lokal sangat beragam dan kompleks, sesuai dengan kondisi politik lokal

setempat. 2

Dengan ragam dinamika dan realitas obyektif yang terjadi, imbasnya setiap daerah harus

berusaha keras dalam memajukan daerahnya masing-masing. Salah satu instrumen yang dilakukan,

yaitu melalui branding kota atau daerah sebagai upaya pengenalan awareness kepada masyarakat

luas baik di tingkat lokal, regional, maupun internasional. Hal ini agaknya memiliki kesamaan dengan

definisi versi American Marketing Association,yang menekankan peranan merk sebagai identifier dan

1 B.C Smith dalam Warsito Utomo , Peranan dan Strategi Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, Jurnal Ilmu Sosial Politik Vol. 1, No. 1, Juli 1997. Hal,100

2 Hendra Try Ardianto, Pembentukan Struktur Negosisasi Kota Surakarta: Kritik Nalar ‘Best Practices’ dalam Penyelenggaraan Pemerintahan. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vo. 15, No. 2, November 2011. Hal, 125

2

differentiator.3 Harapannya dengan adanya deferensiasi, hal tersebut dapat menarik minat investasi

di daerah dalam upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hal ini memungkinkan untuk

diterapkan mengingat trend good governance sedang digemari di Indonesia, yang pada intinya

memberikan peluang bagi daerah untuk berinteraksi dengan pasar dan juga masyarakat secara lebih

intens.

Dengan maraknya penggunaan branding yang dilakukan oleh pemerintah daerah/kota,

setidaknya mengindikasikan bahwasannya Indonesia sedang mengikuti trend dunia dengan selera

serta greget yang sama, karena beberapa kota di banyak belahan dunia telah melakukan hal serupa

sebagai instrumen identitas dan promosi.4 Sebut saja Malaysia dengan “The Trully Asia”, Brisbane

“City of Sun Sunday”, ataupun Singapura dengan “Uniquely Singapore. Di Indonesia sendiri dapat

dijumpai branding daerah, Bali “Shanti, Shanti, Shanti”,Yogyakarta “Jogja Never Ending Asia”, dan

juga Solo dengan “Solo the Spirit of Java”.

Pembangunan identitas kota secara historis memang pernah dilakukan di Indonesia, dan

arus akan hal tersebut semakin marak (khususnya) di era otonomi daerah. Sebelum ini identitas yang

dimaksudkan cakupannya lebih bersifat lokal dan internal, seperti misalnya menyangkut

penghargaan Adipura. Lihat saja slogan-slogan di daerah seperti halnya, Semarang Kota ATLAS, Solo

Berseri, Banjarnegara Gilar-Gilar, dan lain sebagainya.5 Dengan situasi global yang kian dinamis

kemudian menuntut berbagai negara termasuk di dalamnya tiap daerah untuk mulai menggeser

orientasi mereka dalam pengelolaan kawasan dari local oriented ke global-cosmopolit orientation.6

Adanya perkembangan tersebut membuat berbagai daerah dihadapkan pada persaingan yang

konteksnya tidak lagi lokal, namun lebih dari itu sifatnya yang global. Untuk saat ini Yogyakarta

misalnya, tidak lagi hanya bersaing dengan Bali, Jakarta atau Bandung tapi juga sekaligus dengan

3 Riyadi.’Fenomena City Branding Pada Era Otonomi Daerah’ dalam Jurnal Bisnis dan Kewirausahaan, Vol. 5, No.1, Maret 2009. Hal. 2 4 Ibid, hl. 2

5 Oop.cit, hal.3 6 Hermawan Kartajaya & Yuswohady.2005. Attracting Tourist, Traders, and Investors : Strategi Memasarkan Daerah di Era Otonomi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, hal,3

3

Kuala Lumpur, Phuket atau Singapura.

Oleh Ohmae, salah satu elemen keberhasilan suatu daerah- dan juga negara - ini adalah

kemampuannya untuk memberikan merek atau image pada dirinya sendiri dan menawarkan sesuatu

yang berbeda dan memisahkannya dari persaingan.7 Persaingan dalam hal ini merujuk pada

kemampuan daerah untuk menciptakan persepsi yang baik bagi iklim bisnis dan ivestasi di daerah.

Bagi daerah yang biasa-biasa saja tentu tidak akan menjadi pilihan investor untuk menanamkan

investasinya. Untuk itu diperlukan suatu aktivitas pengelolaan image di suatu daerah (brand image)

agar daerah tersebut tidak terkena cap yang jelek bagi investor. Mengutip pernyataan Al Ries dan

Trout bahwa ‘perception is better than reality’.8

Keberhasilan dalam membangun image sebuah kota barangkali layak disematkan kepada

Kota Bandung. Kota ini memang telah familiar bagi banyak orang dengan julukkanya sebagai Paris

van Java, artinya dari situ dibangun sebuah persepsi bahwa kota ini merupakan duplikat dari kota

Paris dengan segala hingar bingar destinasi wisata dan sajian tourisme lainnya. Hal ini terbukti

dengan apresiasi yang dilakukan oleh internasional yang menobatkan Bandung sebagai peringkat 26

dalam The Best City In Asia mengalahkan Jakarta (peringkat 28) versi majalah Asiaweek.

Di Indonesia sendiri, city branding merupakan hal baru yang kini mulai menjadi tren di

hampir tiap pemerintah daerah. Seiring dengan adanya semangat otonomi daerah, daerah harus

berkompetisi agar tetap bertahan dengan mengandalkan potensi yang dimilikinya. Itu pula-lah yang

mendasari pemikiran tiap-tiap pemerintah daerah untuk melakukan branding. City Branding banyak

digunakan oleh negara-negara di dunia dalam upaya meningkatkan atau merubah citra suatu

tempat/daerah, dengan menonjolkan kelebihan dan keunikan daerah tersebut.9Jack Trout, seorang

pakar pemasaran marketing misalnya mengatakan bahwa suatu daerah harus bertekat untuk

berbeda dengan daerah lain, yang olehnya diistilahkan sebagai diferensiasi. Perbedaaan karena

kinerja ekonomi bagus, kapasitas pemerintahan hebat, lebih efisien, infrastruktur memadai serta 7 Oop.cit, hal. 3 8 Ibid, hal.2 9 Fitri Murfianti. Membangun City Branding Melalui Solo Batik Carnival dalam Jurnal Bisnis dan Kewirausahaan, Vol.2, No. 1, Juni 2010.

4

iklim usaha kondusif dan dinamis. 10

Kota Surakarta barangkali menjadi salah satu dari sekian banyak daerah yang mencoba

peruntungan melalui city branding, dan Solo the Spirit of Java merupakan merek resmi yang

dicanangakan oleh pemerintah daerah setempat. Merek yang secara resmi diluncurkan sejak 14

Februari 2007 ini diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan daerah –khususnya- melalui

sektor pariwisata.

Sektor pariwisata sendiri belakangan menunjukkan perkembangan yang kian menjanjikan,

setidaknya sektor ini diproyeksikan menjadi fenomena baru dalam perekonomian global di abad 21.

Khusus bagi Indonesia, sektor pariwisata menjadi andalan dikarenakan pertumbuhan pariwisata

Indonesia selalu di atas pertumbuhan ekonomi Indonesia. Secara riil, tahun 2011 perolehan devisa

dari pariwisata mencapai USD 8,5 Milliar, naik 11,8% dibandingkan tahun 2010. Prosentase ini

melebihi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berada di kisaran 6,5% dan pertumbuhan pariwisata

dunia yang hanya berkisar 4,5%.11 Besaran ini tentunya turut pula mempengaruhi pendapatan

daerah, dimana destinasi pariwisata tersebut berada. Terlebih bagi daerah yang mengandalkan

pariwisata sebagai sumber pendapatan bagi pembangunan.

Sebagai kota yang sudah berusia lebih dari 250 tahun, Surakarta memiliki banyak kawasan

dengan situs budaya dan sejarah . Keberadaan keraton Kasunanan dan Mangkunegaran merupakan

wujud eksistensi warisan budaya lokal yang masih terus dijaga eksistensinya sebagai warisan dari

masa lalu dan sejarah. Selain itu keberadaan pasar-pasar tradisional maupun daya tarik kuliner

menjadi bargaining tersendiri bagi pengembangan pariwisata kota Surakarta ke depan. Sebagai kota

kedua terbesar di propinsi Jawa Tengah kota ini dikenal sebagai kota yang fokus terhadap sektor

manufaktur diikuti dengan perdagangan, restoran dan hotel. Dengan keanekaragaman budaya,

sejarah, dan kesenian yang telah dikenal oleh masyarakat luas, termasuk keterbukaan dan

10 Oop.cit, hal.4 11 Soebagyo. Strategi Pengembangan Pariwisata Di Indonesia dalam Jurnal Liquidity Vol. 1, No. 2, Juli-Desember, hal. 154

5

keramahan masyarakat beserta kekayaan kuliner yang dimiliki dipercaya akan memberi andil besar

bagi tumbuh kembangnya industri pariwisata kota Surakarta ke depan.

Melalui modal berbagai potensi budaya yang dimiliki, maka dukungan dalam bentuk non-

materi seperti halnya image, identitas, ataupun merek bagi sebuah kota merupakan hal lain yang

diharapkan mampu membangun sinergi yang konstruktif bagi tumbuh dan berkembangnya Kota

Surakarta. Dengan pengembangan merek daerah menjadi langkah awal untuk mengarahkan daerah

tersebut di masa yang akan datang. Oleh karena itulah pentingnya merumuskan City Branding agar

benar-benar dapat dibedakan dari daerah lain sebagai salah satu strategi meraih keunggulan

bersaing baik di tingkat lokal, regional, bahkan internasional.12

B. Rumusan Masalah

Bagaimana efektivitas implementasi kebijakan City Branding dalam meningkatkan PAD

sektor pariwisata Pemerintah Kota Surakarta?

C. Tujuan Penelitian

Studi ini mendokumentasikan bagaimana Pemda menjalankan kebijakan dengan

mengikuti wacana publik dengan mengelola city branding. Dalam hal ini, City

Branding adalah strategi pemasaran daerah yang tidak secara langsung bermuara pada

peningkatan PAD. Kalau pun City Branding akhirnya nanti dapat meningkatan PAD

dapat menjadi inspirasi bagi pemerintah daerah yang lain, ada rantai ekonomi yang

panjang yang harus dikelola, dimana rantai ekonomi yang dimaksud salah satunya

bertumpu pada sektor pariwisata. Dalam rangka tersebut melalui penelitian ini akan

terlihat sejauh mana efektivitas pengelolaan –implementasi- kebijakan yang dilakukan

oleh pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan PAD, yang tentunya dengan

mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan itu sendiri.

12 Ibid, hal.24

6

D. Review Literatur

Penelitian sebuah kebijakan (publik) merupakan inti dari lokus kajian ilmu politik dan

pemerintahan. Meski dalam hal ini, begitu banyak jenis penelitian serupa yang menjadikan

khasanah keilmuan – politik dan pemerintahan – terasa kian kaya dan dinamis. Umumnya,

penelitian sebuah kebijakan berusaha untuk fokus pada proses inkremental berkaitan dengan

formulasi, evaluasi, maupun evaluasi sebuah kebijakan. Begitu juga dalam hubungannya

dengan konstelasi politik yang tentunya tidak bisa dipisahkan dalam diskursus kebijakan itu

sendiri.

Pada kesempatan ini, peneliti berusaha menempatkan penelitian ini sebagai

pengkayaan perspektif dengan menempatkan proses normatif dari sebuah kebijakan yang

dihasilkan oleh sebuah pemerintah daerah. Adapun yang menjadi pembeda adalah fokus

kajian yang berusaha melihat proses inovatif yang relatif jarang dikaji dalam lokus ilmu

politik dan pemerintahan, yakni terkait city branding. Terminologi branding tidak dapat

dipungkiri lekat dengan nomenklatur ekonomi. Seiring dengan dinamika kajian yang kian

kompleks membuat diksi ini (baca; branding) kian populer, khususnya menyangkut

kampanye politik.

Terbukanya keran otonomi daerah telah mendorong kompetisi horizontal antar-daerah

yang berimplikasi pada pilihan sebuah strategi. Branding yang dalam disiplin ilmu

marketing merupakan upaya untuk ‘menjual’ sebuah produk, oleh daerah

dieksperimentasikan menjadi inovasi baru – city branding - dalam bidang pemerintahan.

Nantinya, penelitian ini akan diarahkan pada sejauh mana city branding yang dirumuskan

oleh pemerintah daerah mampu menjadi senjata, melalui upaya pengelolaan dan

implikasinya terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). PAD dalam hal ini

merupakan tolak ukur paling riil dan sederhana untuk melihat sejauh mana sebuah

pemerintah daerah berhasil melakukan pembangunan.

7

Penelitian terdahulu yang dilakukan Riyadi (2009) yang berjudul ‘Fenomena City

Branding di Era Otonomi Daerah’, berusaha melihat urgensi city branding bagi sebuah

daerah di tengah gelombang otonomi. Dimana fokus penelitian ini terbatas pada kajian

proses pembentukan city branding secara teoritik, dengan melihat pada filosofi, konteks,

dan tujuan praktisnya.

Kemudian, penelitian berikutnya oleh Devy Malalantang (2009) yang berjudul

‘Branding Manado : Membangunkan Pariwisata Manado Yang Sedang Tertidur’. Dalam

hal ini fokus penelitian terletak pada aspek praktis dari penggunaan branding terhadap

daerah dipergunakan untuk mendorong pembangunan sektoral (pariwisata) yang dirasa

menjadi keunggulan daerah tersebut.

Berdasarkan referensi-referensi diatas, dapat dilihat bahwa topik penelitian yang

fokus pada kinerja pemerintah daerah dalam hal pengelolaan rantai ekonomi-melalui

pengelolaan city branding- untuk mendorong peningkatan PAD masih relatif langka. Oleh

karena itu melalui penelitian ini, penulis ingin memberikan sumbangsih perspektif dalam

konteks kajian politik-pemerintahan yang diharapkan mampu memperkaya khasanah

keilmuan.

E. Kerangka Teori

E.1 Evaluasi Implementasi Kebijakan Publik

E.1.1 Implementasi Kebijakan

Implementasi merupakan salah satu tahap penting dalam kebijakan karena sebaik apapun

sebuah kebijakan jika tidak mampu diimplementasikan, maka kebijakan tersebut tidak akan mampu

memberikan perubahan. Ada banyak variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi

sebuah kebijakan, baik yang bersifat individual, kelompok, maupun institusi.

Dalam proses kebijakan publik, implementasi kebijakan adalah suatu tahapan yang penting,

bahkan jauh lebih penting daripada formulasi kebijakan itu sendiri. Kebijakan-kebijakan hanya akan

8

menjadi dokumen jika tidak diimplementasikan.13 Pelaksanaan kebijakan dalam hal ini bukanlah

sebuah proses yang sederhana, sebab kendala yang sering muncul biasanya akan terlihat pada

tahapan implementasi ini. Implementasi dari suatu program dalam hal ini melibatkan upaya-upaya

dari policy makers untuk mempengaruhi perilaku birokrat pelaksana agar bersedia memberikan

pelayanan dan mengatur perilaku kelompok sasaran.14

Oleh Van Horn dan Van Meter, implementasi dimaknai sebagai ‘those action by public an

private individual (or groups) that are directed at the achievement of objectives set fort in prior policy

decisions. Pengertian ini memberikan pemahaman bahwa pada dasarnya sebuah kebijakan baru

dapat diimplementasikan jika tujuan sudah ditetapkan sebelumnya kemudian dioperasionalkan

dalam bentuk tindakan nyata.15

Pengertian Van Horn dan Van Meter diatas dikuatkan oleh Ripley dan Franklin yang

menyatakan bahwa implementasi merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang

ditetapkan sehingga dampak yang diharapkan bisa terwujud dan aktivitas implementasi ini dilakukan

oleh berbagai aktor.16

Sedangkan menurut Grindle, implementasi merupakan pernyataan-pernyataan untuk

mencapai tujuan, sasaran, dan sarana yang diterjemahkan ke dalam program-program tindakan yang

dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang dinyatakan dalam kebijakan.17 Dalam konsep ini –

oleh Grindle- implementasi adalah upaya untuk mewujudkan tujuan kebijakan yang dinyatakan

dalam formula kebijakan, sebagai policy statement, ke dalam policy outcome, yang muncul sebagai

akibat dari aktivitas pemerintah.

Konsep besar implementasi pada dasarnya menyatakan tujuan kebijakan menjadi lokus yang

harus diraih. Implementasi berusaha merupakan upaya sederhana terkait apa yang akan dicapai

13 Udoji dalam Abdul Wahab. 1997. Hal,59 14 AG Subarsono. 2005. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hal,87 15 Dalam Wahab,1997.;Hal, 65 16 Budi Winarno .2008. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta : Media Presindo hal, 145 17 Merilee Grindle.1980. Politics and Policy Implementation in the Third World. New Jersey : Princeton.

9

menjadi apa yang ingin dilakukan. Secara prinsip, implementasi kebijakan adalah cara agar sebuah

kebijakan dapat mencapai tujuannya.18

Dengan implementasi kebijakan mentransmisikan antara tujuan kebijakan dan realisasinya

dengan hasil kegiatan pemerintah. Tugas implementasi menurut Grindle adalah membentuk suatu

kaitan (linkage) yang memudahkan tujuan-tujuan kebijakan bisa direalisasikan sebagai dampak dari

suatu kegiatan pemerintah.

Tugas implementasi mencakup terbentuknya “a policy delivery system” di mana sarana-

sarana tertentu dirancang dan dijalankan dengan harapan sampai pada tujuan-tujuan yang

diinginkan. Kebijakan kemudian diterjemahkan ke dalam program-program tindakan yang

dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang dinyatakan dalam kebijakan.19

Proses implementasi baru akan dimulai apabila tujuan dan sasaran telah ditetapkan,

program kegiatan telah tersusun dan dana telah siap dan telah disalurkan untuk mencapai sasaran.

Proses implementasi dalam hal ini tidak hanya dibayangkan sebagai domain administratif yang nir-

politik, karena pada kenyataannya setiap aktor yang terlibat dalam proses implementasi memiliki

hak yang sama untuk memainkan perannya.

Adapun keberhasilan kebijakan nantinya akan ditentukan oleh banyak faktor, dan masing-

masing faktor tersebut saling berhubungan satu sama lain sehingga menciptkan sebuah sistem

tertentu. Faktor-faktor tersebut determinan untuk menentukan keberhasilan, sekaligus

berkontribusi terhadap kegagalan suatu kebijakan. Dan keberadaan analisis kebijakan dengan

pengetahuan serta antisipasi terhadap faktor-faktor tersebut akan sangat membantu bagi policy

makers dan policy implementors untuk lebih hati-hati dan bijak dalam bertindak.

E.1.2 Evaluasi Kebijakan

18 Riant D Nugroho. 2007. Analisis Kebijakan. Jakarta : PT. Gramedia, Hal,88

19 Budi Winarno.2008. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta : Media Presindo hal, 146-147

10

Dari semua kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah agar dapat diketahui apakah

kebijakan itu sudah dilaksanakan sesuai pedoman pelaksanaan dan mengenai sasaran serta dapat

mencapi tujuan pedoman maka perlu diadakan evaluasi kebijakan. Sebab, dengan evaluasi

kebijakan, kita dapat mengetahui pelaksanaan kebijakan dan pengukuran hasil-hasil yang dicapai.

Pada dasarnya evaluasi kebijakan tersebut bermaksud mengetahui aspek proses pembuatan

kebijakan, proses implementasi, konsekuensi kebijakan, dan efektivitas dampak kebijakan.20

Memang, dalam prakteknya tidak ada batasan yang pasti kapan sebuah kebijakan harus

dievaluasi. Namun umumnya, untuk dapat mengetahui hasil dan juga dampak kebijakan sudah tentu

harus mempertimbangkan rentang waktu tertentu, misalkan saja 5 tahun setelah kebijakan tersebut

diimplementasikan. 21 Dalam melakukan evaluasi, perlu dipertimbangkan model dan karakter

kebijakan itu sendiri, dalama artian semakin strategis suatu kebijakan, maka diperlukan tenggang

waktu yang lebih panjang untuk melakukan evaluasi. Sebaliknya, semakin teknis dari seuatu

kebijakan atau program, maka evaluasi dapat dilakukan dalam kurun waktu yang relatif lebih cepat

semenjak diterapkannya kebijakan.

Sedangkan untuk pengertian evaluasi itu sendiri seperti yang dirumuskan oleh William Dunn

adalah prosedur analisis kebijakan yang digunakan untuk menghasilkan aksi di masa lalu dan atau

masa depan.22Muhadjir Darwin dan Wahtu Nurhadjadmo (1997;12) berpendapat bahwa evalusi

kebijakan dimaknai sebagai proses untuk mneilai seberapa jauh suatu kebijakan membuahkan hasil

yaitu dengan membandingkan antara hasil yang diperoleh dengan tujuan dan target kebijakan yang

ditentukan.

Dari berbagai pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa evaluasi kebijakan adalah

merupakan penilaian terhadap serangkaian tindakan yang telah direncanakan, diputuskan, dan

dilakukan; dimana tujuan dilakukannya evaluasi untuk mengetahui sejauh mana kebijakan mencapai

20 Samodra Wibawa.1994. Evaluasi Kebijakan Publik. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Hal,9 21 AG Subarsono. 2005. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hal, 119 22 Muhadjir Darwin.1998. Pengantar Analisa Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hal, 132

11

tujuan yang telah ditetapkan sebagai pertimbangan dalam peninjauan dan peningkatan pelaksanaan

kebijakan pada masa yang akan datang. Namun prakteknya, masih terdapat kerancuan dalam

membedakan aktivitas pemantauan (monitoring) dan evaluasi itu sendiri. Jika monitoring

didefinisikan sebagai aktivitas untuk menjaga agar proses kebijakan tidak melenceng dari desain

yang sudah digariskan, maka aktivitas evaluasi lebih didefiniskan sebagai aktivitas untuk menilai

efektivitas kebijakan dalam mencapai tujuan kebijakan yang dikehendaki.23

Secara keseluruhan evaluasi kebijakan memiliki empat fungsi.24 Pertama, fungsi eksplanasi,

melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan program dan dapat dibuat suatu generalisasi

tentang pola-pola hubungan antar berbagai dimensi realitas yang diamatinya. Disini evaluator dapat

menemukan variabel-variabel kebijakan yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan suatu

program. Dengan demikian evaluator dapat mengidentifikasi tujuan-tujuan apa yang tercapai,

mengapa tujuan itu harus dicapai dan bagaimana mencapainya.

Kedua, fungsi kepatuhan, dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan oleh para pelaku,

baik birokrasi maupun pelaku lain, sesuai dengan standar dan prosedur yang ditetapkan oleh

kebijakan. Ketiga, fungsi auditing, melalui evaluasi model ini dapat diketahui apakah output benar-

benar sampai ke tangan kelompok sasaran maupun penerima lain yang dimaksudkan oleh pembuat

kebijakan.25 Dan yang terakhir adalah akunting, dimana fungsi evaluasi ini untuk mengetahui apa

akibat sosial ekonomi dari kebijakan tersebut.

Dalam prakteknya, seorang analis –atau evaluator- kebijakan seringakali menemui beberapa

kendala. Diantaranya adalah tujuan-tujuan dalam kebijakan publik jarang dilakukan –ditulis- secara

cukup jelas, dalam artian seberapa jauh tujuan-tujuan kebijakan publik itu harus dicapai.

Pengembangan ukuran-ukuran yang tepat dan dapat diterima semua pihak pada dasarnya sangat

sulit dilakukan.

23 Purwo Santoso. 2010. Modul Pembelajaran : Analisa Kebijakan Publik. Yogyakarta : POLGOV. Hal, 153 24 Dunn dan Ripley dalam Samodra. 1994;10-11

25 Penerima lain dalam hal ini adalah individu, keluarga, birokrasi desa, dan lain-lain sesuai dengan jenis dan karakteristik program kebijakan.

12

Kesulitan yang lain –dan yang paling besar- dalam melakukan evaluasi kebijakan adalah

memastikan dampak yang dihasilkan kebijakan bukan karena kebetulan atau diibaratkan menang

lotere. Kebijakan ini terkait erat dengan problem-problem metodologis yang dihadapi dalam

pengambilan keputusan kebijakan, yaitu26 :

1. Keragaman dimensi dari berbagai tujuan kebijakan

2. Informasi yang sangat tidak lengkap

3. Keragaman alternatif untuk bisa menentukan dampak-dampak yang ditimbulkan dari tiap

alternatif

4. Keterbatasn yang beragam dan, bisa jadi, saling berkonflik satu sama lain

5. Kebutuhan akan kesederhanaan dalam menggambarkan dan mempresentasikan

kesimpulan di tengah-tengah kompleksitas-kompleksitas di atas.

Sedangkan terkait dengan aktivitas evaluasi umumnya diidentifikasi menjadi dua jenis.27

Pertama, evaluasi implementasi yang berusaha melihat proses pelaksanaan/implementasi, yang

terkait adalah pelaksana dan bagaimana pelaksanaanya. Dan kedua, adalah evaluasi dampak

kebijakan (impact evaluation) dengan memberi perhatian lebih besar pada output, outcome dan

dampak (impact) kebijakan dibandingkan pada proses pelaksanaannya.

Sedangkan, untuk menilai keberhasilan suatu kebijakan perlu dikembangkan beberapa

indikator. Seperti yang ditawarkan oleh Willian Dunn bahwasannya aktivitas evaluasi ditujukan untuk

melihat kondisi-kondisi ; efektivitas, kecukupan, pemerataan, responsifitas, dan ketepatan.28 Terkait

dengan penelitian ini sendiri kebutuhan untuk melihat seberapa jauh efektivitas kebijakan lebih

ditekankan, dimana hal tersebut nantinya didasarkan pada besaran dampak –impact- yang dirasakan

oleh pemerintah daerah. Dimana dalam prosesnya tentu dipengaruhi oleh berbagai faktor yang akan

dijelaskan dalam sub bab berikutnya.

26 Oop.cit, hal. 153-154

27 Riant D Nugroho. 2007. Analisis Kebijakan. Jakarta : PT. Gramedia, Hal, 26 28AG Subarsono. 2005. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hal, 126

13

E.1.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Evaluasi Implementasi Kebijakan

Secara konseptual, aktfitas implementasi kebijakan berada dalam domain penting kebijakan,

yakni politik dan administratif. Hal ini memiliki konsekuensi tersendiri bahwa dengan cara pendang

yang demikian, evaluasi kebijakan nantinya diarahkan untuk turut mempertimbangkan faktor-faktor

–khususnya politik- baik internal maupun eksternal kebijakan itu sendiri. Dengan kata lain, kebijakan

publik yang nyatanya menjadi domain kerja birokrasi menjadi mustahil dikatakan hampa politik

seperti yang diasumsikan dalam birokrasi rasional ala Weber.

Ortodoksi kajian kebijakan publik, telah dikenal beberapa konsep implementasi kebijakan

beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Sebut saja model Grindle, Van Horn & Van Meter,

Mazmanian & Sabatier, maupun Edwards III, dengan masing-masing kelebihan dan kekurangannya.29

Konteks penelitian ini sendiri, nantinya akan menggunakan model yang ditawarkan oleh

George Edwards III dengan asumsi bahwa evaluasi terhadap implementasi kebijakan dipengaruhi

oleh empat variabel, yakni : komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi. Variabel

tersebut nantinya akan bermanfaat untuk melihat sejauh mana efektifitas kebijakan dengan

melakukan analisis terhadap kondisi-kondisi yang melingkupi implementasi kebijakan itu sendiri.

Gambar 1.1

Model Implementasi Kebijakan Menurut Edwards III

Sumber : AG Subarsono (2006;91)

29 Lihat Nugroho (2007); Subarsono (2006); dan Wibawa (1997).

komunikasi

Struktur birokrasi

Sikap (disposisi)

Sumber daya

implementasi

14

Dalam model ini, kegiatan implementasi kebijakan dimulai dari dua masalah yang mendasar

yaitu, terkait kondisi-kondisi seperti apa yang mempengaruhi keberhasilan kebijakan dan juga

hambatan yang menyebabkan kegagalan. Untuk membantu dalam menjawab permasalahan

tersebut, oleh Edwards III digunakan empat variabel penting dalam implementasi kebijakan.

Variabel-variabel tersebut adalah sebagai berikut.30

Pertama, komunikasi. Prasyarat pokok bagi impelemntasi kebijakan yang efektif bahwa

implementor kebijakan haruslah paham mengenai apa yang harus dilakukan. Untuk itulah segala

aspek baik dalam bentuk perintah atau petunjuk harus disampaikan secara cermat dan tepat,

sehingga nantinya mudah dipahami dan sebaliknya tidak membingungkan. Pada dasarnya faktor

komunikasi ini nantinya sebagai proses transmisi baik dalam tataran yang substansial maupun teknis

dalam operasionalisasi kebijakan.

Kedua, adalah sumber daya. Ketersedian sumber daya yang diperlukan dalam pelaksanaan

kebijakan sangat mempengaruhi efektivitas pelaksanaan kebijakan. Adapun sumber daya yang

pokok dan harus ada biasanya meliputi kapasitas sumber daya kewenangan, manusia maupun daya

dukung anggaran maupun infrastruktur penunjang lainnya.

Ketiga, disposisi (kecenderungan). Kecenderungan yang dimiliki oleh pelaksana kebijakan

merupakan faktor yang relatif dominan dalam fase impelentasi kebijakan. Karena dalam prosesnya,

kecenderungan ini nantinya akan bekerja mempengaruhi pola pikir dan tindakan dari pelaksana

kebijakan itu sendiri. Sehingga visi atau interpretasi biasanya menjadi penjelas dalam menjawab pola

kerja dari implementasi kebijakan itu sendiri.

Dan yang terakhir adalah struktur birokrasi. Kebijakan publik tidak dapat dipisahkan dari

keberadaan birokrasi, begitupun sebaliknya. Karena memang hal tersebut –kebijakan publik-

merupakan domain kerja dari birokrasi itu sendiri. Untuk itulah peran variabel ini sangat penting

untuk menentukan keberhasilan implementasi kebijakan.

30 Budi Winarno. 2008. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta : Media Presindo hal, 175

15

E.2 City Branding Sebagai Strategi Menggalakkan Pariwisata

Potensi daerah ibarat sebuah produk atau jasa yang dikemas dan diberi merk

(branding) agar memiliki ciri yang dapat membedakan dengan potensi daerah lainnya. Hal

ini agaknya menjadi dasar yang cukup rasional, karena bersamaan dengan era otonomi

daerah berbagai daerah kemudian berlomba-lomba menonjolkan identitasnya sehingga

bisa merasa berbeda dari daerah lain. Branding yang baik akan dapat membuat sebuah

daerah ‘lebih diinginkan’, sebaliknya semakin buruk branding sebuah daerah maka hal ini

membuatnya semakin ditinggalkan persaingan.31

City Branding adalah upaya membangun identitas tentang sebuah kota. Identitas lebih

banyak berkaitan dengan apa yang dipikirkan seseorang terhadap orang lain, apa yang

dipercayai, dan apa yang seseorang lakukan. Namun, identitas bukanlah sesuatu hal yang

sifatnya given atau taken for granted. Identitas dalam hal ini adalah sebuah konstruksi,

sebuah konsekuensi dari sebuah proses interaksi antar manusia, institusi, dan praksis

dalam kehidupan sosial. 32 Identitas tidak hanya dipengaruhi oleh peristiwa, aksi, dan

konsekuensi masa lalu, tetapi juga dipengaruhi bagaimana sebuah peristiwa atau aksi

diinterpretasikan secara retroaktif.

Dalam upaya membangun sebuah identitas, penggunaan merk atau branding bagi

sebuah kota merupakan strategi tersendiri. Merk atau brand bukan hanya sebuah

rangkaian kata atau gambar yang ditempel pada produk ataupun jasa tanpa sebuah makna

yang mengikutinya. Brand atau merk, secara tradisional dapat diartikan sebagai nama,

terminologi, logo, simbol atau desain yang dibuat untuk menandai atau mengidentifikasi

produk yang ditawarkan kepada konsumen Sebuah brand atau merk merupakan identitas

31 Julia Winfield Pfefferkom.2005.The Branding of Cities:Exploring City Branding and The Importance of Brand Image.Syracuse University. Hal, 8 32 Ibid, hal.14

16

yang unik dari sebuah produk atau jasa di dalam benak konsumennya, yang mencerminkan

tingkat perbedaan dari kompetitor.33

Sedangkan menurut Anholt, branding adalah proses mendesain, merencanakan dan

mengomunikasikan nama dan identitas dengan tujuan untuk membangun atau mengelola

reputasi. Dalam pengertian ini, branding merupakan proses deliberasi memilih dan

menghubungkan atribut-atribut tersebut karena mereka diasumsikan memberi nilai

tambah pada produk atau jasa.

City Branding dapat dipandang sebagai sebuah pendekatan yang tepat untuk

mempromosikan suatu tempat/wilayah jika melihat dunia sebagai pasar global dan suatu

tempat/wilayah merupakan sebuah produk atau sebuah perusahaan yang sedang bersaing

dengan tempat/wilayah lainnya dalam upaya untuk menjaga atau mempertahankan posisi

mereka di tengah persaingan. Hal ini menjadi relevan di tengah globalisasi dengan

paradigma pembangunannya yang dari orientasi local orientation ke global-cosmopolit

orientation.34

Fenomena serupa –global cosmopolit orientation- agaknya berlaku pula dalam

memahami perkembangan sektor pariwisata di era kekinian. Hal ini memang beralasan,

mengingat prospek dari sektor ini dimana pariwisata merupakan industri terbesar dan

terkuat dalam pembiayaan ekonomi global. Sektor pariwisata disebut akan menjadi

pendorong utama perekonomian dunia pada abad ke-21. Oleh karenya banyak negara

maupun daerah yang berlomba mengembangkan industri pariwisata.

Sebagai bangsa yang memiliki tingkat segregasi, baik alam, sosial, dan budaya yang

tinggi,Indonesia berpotensi menjadi primadona sektor pariwisata. Setidaknya dengan penduduk

yang tersebar di sekitar 17 ribu pulau, 470 suku bangsa, 19 daerah hukum adat, dan tidak kurang 33 Tony Yeshin.2004.Integrated Marketing Communications,The Holistic Approach. Oxford :

ElseiverButterworth-Heinemann.hal.15 34 Hermawan Kartajaya & Yuswohady.2005. Attracting Tourist, Traders, and Investors : Strategi Memasarkan Daerah di Era Otonomi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, hal.3

17

dari 300 bahasa, serta ragam –warisan- budaya yang tinggi merupakan aset utama yang dapat

dikemas sebagai produk wisata. Atas realitas dan prospek yang dimiliki, maka secara khusus

Indonesia sejak tahun 2009 memilik Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan.

Melalui UU ini kegiatan pariwisata dipahami sebagai keseluruhan kegiatan yang terkait dengan

pariwisata dan bersifat multidimensi serta mutidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan

setiap orang dan negara serta interaksi anatara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama

wisatawan, pemerintah, pemda, dan pengusaha. Dari definisi tersebut setidaknya dapat diambil

benang merah bahwa sektor pariwisata merupakan industri yang multidimensi sekaligus

kompleks. Jauh sebelum itu, hal ini dikemukan oleh Pendit (1990) disebutkan bahwa pariwisata

merupakan sektor yang kompleks, yang juga melibatkan industri-industri klasik, seperti kerajinan

tangan dan cinderamata, serta usaha-usaha penginapan, restoran dan transportasi. Sekaligus

pariwisata itu sendiri mempunyai lingkup yang luas, meliputi wisata bahari (beach and sun

tourism), wisata pedesaan (rural and agro tourism), wisata alam (natural tourism), wisata budaya

(cultural tourism), dan perjalanan bisnis (business travel)35. Oleh karena itu sektor pariwisata di

era kekinian memang diakui memberikan prospek cerah bagi pengembangan perekonomian, baik

di tingkat nasional maupun daerah. Bahkan secara pragmatis adanya kebijakan terkait

pengelolaan sektor pariwisata di daerah-daerah memang diarahkan dalam rangka meningkatkan

pendapatan daerah.

Itulah mengapa adanya City Branding sebagai strategi pengemasan identitas daerah-

sekaligus promosi- agaknya selaras dengan perkembangan sektor pariwisata yang memang

menjanjikan. Ibarat sebuah produk, pariwisata membutuhkan dukungan marketing yang

komprehensif dimana di dalamnya mencakup informasi akan potensi dan keunggulan yang

dimiliki. Sehingga dalam praksisnya, keduanya dapat berjalan sinergis sesuai dengan visi dan

tujuan yang dicanangkan oleh pemerintah daerah.

E.3 4 City Branding Sebagai Strategi Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) 35 (lihat Pendit,1990; Nugroho,2010)

18

Dalam rangka menuju persaingan, di Indonesia tren penggunaan City Branding

tengah menjadi primadona di berbagai daerah. Termasuk dalam rangka persaingan

pariwisata di daerah yang tengah menjadi sektor unggulan Terlebih dengan potensi

ekonomi dan pariwisata yang dimiliki di tiap-tiap daerah, city branding merupakan

penonjolan akan sebuah kebanggaan sekaligus identitas yang membedakan satu daerah

dengan daerah lainnya. Tindakan-tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu

tempat/wilayah pada saat ini atau nanti, termasuk cara promosinya, pariwisatanya, cara

mereka bersikap dalam lingkup domestik maupun asing, cara mereka merepresentasikan

identitas budayanya, serta bagaimana mereka ditampilkan dalam media dunia

memberikan perbedaan yang sangat besar pada kemampuan suatu wilayah dalam scope

internal maupun eksternal.

Citra kota memiliki kekuatan dalam membentuk merk untuk sebuah kota,

mempengaruhi bahkan membentuk kota itu sendiri. Dan merk yang melekat pada kota

sangat bergantung pada identitas kota. Setiap kota akan memiliki identitasnya, kota

memiliki emosinya sendiri-sendiri, sebuah dialektis antara masyarakat dan fisik kotanya

(Murfianti, 2010). Ini seperti halnya sebuah mata uang dengan dua sisinya, bahwa

pembangunan fisik kota sekalipun tidak dapat dilepaskan begitu saja dari masyarakat dan

budaya yang dimiliki. Membangun fisik (city) pada dasarnya adalah membangun roh dan

jiwa masyarakatnya. Kota yang berhasil membangun identitas yang kuat tidak hanya dari

aspek fisik tetapi juga kehidupan sosial masyarakatnya. Kemampuan kota untuk

mempertahankan karakter dan identitasnya dan bahkan mempengaruhi daerah lainnya

disebut dengan Local Genius.36

Untuk konteks Indonesia saat ini, keterbatasan platform serta strategi dalam

memasarkan sebuah daerah menjadikan pembangunan dan pertumbuhan menjadi sedikit

36 Paulus Hariyono. 2007. Sosiologi Kota Untuk Arsitek. Jakarta : Bumi Aksara, hal. 89

19

terhambat. Hal ini disebabkan para pemasar daerah masih belum mempunyai sebuah tool

memadai yang dapat mereka gunakan untuk membangun daya saing dan memasarkan

daerah kepada target pasar yang dibidik. Berbagai pengamatan menunjukkan, di tengah

era otonomi daerah ini, banyak para bupati dan para pejabat daerah yang menjadi

bingung karena tak tahu strategi apa yang harus digunakan untuk memasarkan daerah

sehingga mampu berdampak pada peningkatan pendapatan daerah (PAD).

Dalam hal ini, PAD merupakan konsekuensi dari diterapkannya desentralisasi fiskal

dalam semesta otonomi daerah. Artinya, daerah diberikan kewenangan untuk mengelola

anggaran atau keuangan yang sebelumnya tersentralisasi.

Sebagai bagian dari proses ekonomi, city branding berorientasi pada pertumbuhan

dan pembangunan ekonomi. Dalam konteks ini -otonomi daerah- city branding berperan

strategi yang komprehensif untuk menarik masuk akumulasi modal. Kondisi ini

memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk melakukan inovasi-inovasi

yang dapat mendukung kegiatan perdagangan dan investasi. Hal ini berarti, city branding

sebagai produk inovasi diarahkan untuk menciptkan iklim yang kondusif bagi usaha dan

investasi dan selanjutnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.

Seiring dengan semakin terbukanya keran investasi di daerah, maka hal menjadi

peluang bagi Pemerintah Daerah dalam penetrasi di bidang fiskal. Tentunya dengan

kewengan yang dimiliki, manajemen fiskal yang dilakukan harus pula menyesuaikan

dengan potensi yang dimiliki daerah. Upaya manajemen menjadi sebuah keharusan,

mengingat kecenderungan yang terjadi justru dengan adanya otonomi fiskal kian

menyingkirkan pesona investasi akibat ekonomi biaya tinggi. Hal ini seringkali

disebabkan adanya perspesi yang keliru dari elit daerah (Gubernur/Bupati dan DPRD)

tentang konsep desentralisasi sebagai kebebasan dan kewenangan yang luas untuk

memungut pajak dan retribusi demi pemasukan daerah. Motifnya peningkatan PAD

20

tanpa mau bekerja keras dan mengembangkan daya kreasi daerah yang

berkesinambungan. Kondisi semacam ini pada akhirnya justru menciptkan deprivasi

antara kemampuan Pemerintah Daerah dalam menciptakan sumber pajak (tax policy)

dengan potensi yang dimiliki. Terlebih dengan terbatasnya cakupan PAD sebagai

pendapatan yang spesifik membuat faktor inovasi dan kehati-hatian mutlak diperlukan.

Ditinjau dari aspek legal-formal, Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan

pernerimaan yang diterima oleh pemerintah daerah setelah memberikan pelayanan

tertentu kepada penduduk yang mendiami wilayah yuridiksinya. 37Dalam UU No. 32

Tahun 2004 komponen PAD meliputi, hasil pajak daerah, retribusi daerah, hasil

pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain Pendapatan Asli Daerah

(PAD) yang sah.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) memberikan sumbangsih yang tidak sedikit dalam

mendukung dan memelihara hasil-hasil pembangunan yang telah dilaksanakan dan yang

akan dilaksanakan pada masa mendatang (Mamesah, 1995). Hal ini menujukkan betapa

dengan otonomi daerah kejelian dan juga sensitivitas dalam membaca peluang sangat

dibutuhkan oleh tiap-tiap pemerintah daerah. Tentu kejelian dan sensitivitas harus pula

dibarengi dengan kemampuan (strategi) pemasaran yang cukup jitu.

Upaya memasarkan daerah berarti mendesain suatu daerah agar mampu memenuhi

dan memuaskan keinginan dan ekspektasi pelanggan. Pelanggan daerah dalam hal ini

yang pertama dan utama, tentu saja adalah penduduk dan masyarakat daerah tersebut

yang membutuhkan layanan publik yang memadai. Kedua, adalah TTI (Traders,

Tourist,Investor) baik dari dalam maupun luar daerah. Ketiga adalah talent (SDM

37 Mohammad Riduansyah.Kontribusi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Guna Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah (Studi Kasus Pemerintah Daerah Kota Bogor). Jurnal Sosio-Humaniora, Vol. 7, No. 2, Desember 2003. Hal, 50

21

berkualitas), developer, dan organizer – disingkat menjadi TDO – dan seluruh pihak

yang memiliki sumbangsih dalam membangun keunggulan bersaing suatu daerah.

Melalui city branding diharapkan akan menanamkan sebuah citra (positif) terhadap

segmen pasar yang dituju. Citra ini akan mempengaruhi sejauh mana orientasi

pelanggan-atau dalam hal ini TTI – TDO – terhadap potensi investasi dan pengembangan

sebuah daerah. Oleh Kartajaya (2005), model pemasaran daerah (city branding) dapat

ditempuh melalui tiga langkah strategis. Pertama, yakni menjadi tuan rumah yang baik

(be a good host) bagi pelanggan daerah. Kedua, memperlakukan mereka secara baik

(treat your guest properly). Dan terakhir, membangun sebuah ‘rumah’ yang nyaman

bagi mereka (buliding a home sweet home).

Langkah strategis pertama merupakan upaya untuk menarik dan mengakusisi

pelanggan. Untuk menjadi tuan rumah yang baik maka harus terjadi kolaborasi kohesif

antara masyarakat, kalangan bisnis, dan pemerintah daerah (Kartajaya, 2005). Bentuk

kolaborasi semacam ini diperlukan agar aktivitas masyarakat, operasional bisnis, dan

kebijakan pemerintah daerah selaras dan saling menunjang sehingga terbentuk iklim

yang baik yang mampu menarik TTI-TDO.

Yang kedua adalah langkah untuk memuaskan mereka. Memperlakukan TTI-TDO

secara semestinya berati bahwa dibutuhkan kemampuan sebuah daerah untuk

mengidentifikasi keinginan dan ekspektasi mereka, dan secara responsif memenuhi

keinginan tersebut. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga keberadaan dan minat investor

agar mereka betah dan menjalankan aktivitasnya secara baik dan berkelanjutan. Dalam

praksisnya, strategi ini berhubungan dengan kemampuan untuk memperbaiki kondisi

liveability, investability, dan visitability.

Sementara langkah yang terakhir merupakan upaya mempertahankan pelanggan,

maka daerah harus memiliki kemampuan untuk menyediakan wahana penunjang yang

22

memadai bagi aktivitas TTI-TDO. Wahana penunjang dalam hal ini dapat berupa

infrastruktur fisik, seperti halnya telekomunikasi canggih, akses ke pusat-pusat bisnis,

hingga perguruan tinggi untuk menarik orang-orang berbakat.

F. DEFINISI KONSEPTUAL

1. Evaluasi Implementasi Kebijakan

Bahwa keberadaan kebijakan publik sebagai alat pelayanan terhadap masyarakat

maka fase implementasi haru dipastikan mampu menjangkau tujuan dan output kebijakan

yang ingin dicapai. Implementasi kebijakan dalam prakteknya merupakan cerminan

keinginan dan konsistensi pemerintah sebagai pelayan masyarakat dengan menerapkan

standar kerja yang jelas dan terarah. Sementara itu, dalam prosesnya sebuah kebijakan

niscaya akan mengalami distorsi dalam implementasinya. Oleh karena itu keinginan untuk

selalu melakukan evaluasi kebijakan dalam hal ini adalah manifestasi dari konsistensi

pemerintah untuk memastikan bahwa tujuan kebijakan dapat tercapai dengan menggunakan

ukura-ukuran tertentu.

2. Pengelolaan City Branding

Dengan adanya perubahan paradigma pengelolaan pemerintahan daerah membuat

persaingan antar daerah menjadi suatu hal yang tidak dapat dihindarkan. Oleh karena itu

dibutuhkan sebuah strategi yang komprehensif guna menciptakan sebuah citra daerah yang

kondusif bagi iklim investasi dan pembangunan. City branding tidak lain adalah sebuah

upaya menanamkan persepsi terhadap target pasar sebuah daerah dengan mengidentifikasi

ciri khas serta potensi yang dimilki yang pada akhirnya akan menciptakan sebuah identitas

daerah. Identitas tersebut diperlukan sebagai upaya mendeferensiasi bahwa sebuah daerah

23

paling pantas dan baik sebagai destinasi dan investasi. Hal ini kemudian dijabarkan dalam

bentuk produk hukum pemerintah daerah, yang dijadikan pedoman bagi pengelolaan city

branding.

3. Pendapatan Asli Daerah

Sektor pariwisata tidak dapat dipungkiri tengah menjadi primadona bagi

pengembangan –khususnya- ekonomi daerah. Hal ini lumrah karena pengelolaan sektor ini

pada dasarnya membutuhkan treatment khusus. Pembangunan pariwisata tidak lain adalah

kegiatan mengelola atraksi (attraction) menjadi potensi sekaligus aset dalam kerangka

sistem pariwisata dimana melibatkan banyak stakeholders serta didukung dengan

pengembangan infrastruktur pendukung, sehingga nantinya dapat diarahkan sebagai sumber

pendapatan asli –PAD- bagi sebuah daerah.

G. DEFINISI OPERASIONAL

Sebagai produk inovasi Pemda, city branding merupakan upaya pengembangan sektor

ekonomi daerah. Namun paradigma pembangunan ekonomi daerah kontemporer menekankan

pada pentingnya ketersediaan daya dukung yang memudahkan aktivitas pengelolaan city

branding itu sendiri. Maka dalam kerangka evaluasi implementasi kebijakan, penting untuk

dilihat kesesuaian arah kebijakan –dalam tujuan dan output- nantinya apakah efektif atau tidak

dalam pembangunan sektor pariwisata periode tahun 2007-2010, sehingga untuk memudahkan

dalam analisis evaluasi penelitian ini menggunakan tipe impact evaluation, dengan melihat

sejauh mana efektifitas dampak yang ditimbulkan dari pengelolaan kebijakan. Tolak ukur yang

digunakan untuk evaluasi kebijakan implementasi adalah :

a) Disposisi

Pada fase ini akan dilihat peran kepemimpinan politik daerah dalam

menjembatani pembangunan daerah, baik dilevel gagasan maupun tindakan.

b) Komunikasi

24

Komunikasi dalam penelitian ini diterjemahkan sebagai proses sosialisasi yang

dilakukan oleh Pemerintah daerah dengan stakeholder terkait.

c) Sumber daya

Tolak ukur sumber daya dalam penelitian ini disederhanakan menjadi dua,

yakni dengan melihat sumber daya berupa kewenangan dan juga anggaran.

Faktor Struktur Birokrasi, dalam penelitian ini tidak digunakan dengan pertimbangan

bahwa hal ini dapat terjelaskan pada poin ketiga –sumber daya- dengan mengelaborasi

regulasi maupun hubungan antar organisasi, baik di dalam birokrasi itu sendiri maupun

dengan organisasi di luar birokrasi.

Sedangkan tolak ukur untuk dalam melihat komponen PAD sektor pariwisata adalah

sebagai berikut :

a) Pajak Pariwisata

Pajak pariwisata dalam hal ini bisanya dihitung dengan banyaknya tingkat

okupansi –hunian- hotel maupun restoran, yang prosentasenya telah

ditentukan oleh pemerintah daerah. Semakin menarik sebuah daerah, akan

banyak wisatawan yang datang dan sekaligus merupakan peluang bagi

meningkatnya hunian hotel sebagai industru pendukung yang outputnya tentu

saja pada akslerasi pajak yang diterima daerah.

b) Retribusi Pariwisata

Diukur dengan melihat jumlah penerimaan yang diterima daerah sebagai

kontraprestasi langsung atas pelayanan pariwisata yang diberikan. Retribusi

berasal dari insentif obyek wisata yang dikenakan kepada wisatawan.

Adapun urutan komponen tolak ukur diatas tentunya spesifik yang berhubungan

langsung dengan aktivitas pemerintah dalam pengelolaan city branding sekaligus dalam

rangka menggiatkan pembangunan di sektor pariwisata kota Surakarta.

25

G. METODE PENELITIAN

G. 1 Jenis Penelitian

Dalam sebuah penelitian diperluakan metode sebagai alatnya. Penelitian ini dilakukan dengan

menggunakan metodologi kualitatif dengan tujuan untuk lebih menggali lebih dalam sebuah

fenomena yang ada. Studi Kasus sebagai bagian dari metode ini pun dalam penelitian ini dipilih guna

mendapatkan pengetahuan yang lebih mendalam dari proses pengelolaan city branding yang

dilakukan Pemkot Surakarta.

Studi Kasus sebagai metode yang diturunkan dari metodologi intepretif ini diharapkan dapat

membantu dalam memperoleh data dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk selanjutnya

diinformasikan pada khalayak dalam bentuk temuan maupun kesimpulan penelitian. City branding

sebagai bagian dari strategi pemasaran belakangan memang tengah digemari oleh banyak

Pemerintah Daerah. Sebagai bagian dari rantai ekonomi, city branding mewujud sebagai investasi

non fisik –dalam bentuk slogan- yang bertujuan mencipatkan sebuah persepsi (image) terhadap

target pasar Pemda. Dengan persepsi tersebut, diharapkan arus modal dan investasi akan masuk ke

daerah, dan pada gilirannya akan berdampak pada suplai fiskal daerah dalam bentuk Pendapatan

Asli Daerah (PAD), baik melalui pajak, retribusi, maupun lain-lain pendapatan yang sah. Dalam hal

ini, kelebihan studi kasus akan memfokuskan penelitian pada obyek kajian tanpa harus melebar pada

hal-hal diluar obyek tersebut. Sekaligus, melalui metode ini peneliti membatasi aktor-aktor yang

akan dilibatkan dalam penelitian. Karena menurut Berg, studi kasus adalah metode yang secara

sistematis menggali informasi tentang seseorang, setting sosial, peristiwa, atau kelompok yang

kemungkinan peneliti untuk mengerti bagaimana proses tersebut berlangsung dan berfungsi (Yin,

2003).

Terpilihnya case study atau studi kasus sebagai metode penelitian ini tentunya didasarkan pada

kebutuhan-kebutuhan peneliti dalam mengumpulkan data yang akan berpengaruh pada tahap

26

penganalisisan data. Keterbatasan waktu penelitian yang tersedia menjadi salah satu faktor

mengapa peneliti memilih metode ini dalam penelitian, hal tersebut berkaitan dengan sifat case

study yang cenderung tidak membutuhkan waktu penelitian yang lama seperti halnya yang

diperlukan oleh etnografi (Buingin 2008: .22). Alasan lain peneliti menggunakan studi kasus dalam

pengolahan data tak lain adalah kelebihan dari studi kasus yang menurut Black dan Champion

mengindikasikan keluwesan dalam pengumpulan data, penerapannya yang dapat dilakukan dalam

banyak lingkungan sosial serta kesempatan untuk menguji teori (Buingin 2008: 23). Keluwesan yang

dimasudkan disini adalah multi sumber bukti atau sumber keterangan yang melibatkan lebih dari

satu orang ataupun satu pihak. Selain itu, keluwesan juga diperlukan ketika pengumpulan data yang

membutuhkan berbagai cara dalam mengumpulkannya, seperti wawancara, observasi serta tinjauan

pustaka.

Mengingat dalam pertanyaan penelitian yang melihat efektifitas kebijakan pariwisata dari tahun

2006-2010. Maka penelitian ini menggunakan deret waktu (time series), untuk melihat dinamika

pengelolaan kebijakan publik yang terjadi.

Adapun data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua macam, yakni apa yang disebut dengan

data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung oleh peneliti

berdasarkan pengamatan dan juga wawancara langsung di lapangan. Sumber primer ini diperoleh

dengan melalui wawancara indepth interview dengan intansi-intansi pemerintah terkait, khusunya

menyangkut dinamika dalam pengelolaan City Branding. Sedangkan data sekunder adalah data yang

diperoleh secara tidak langsung , yang didapatkan peneliti dengan berbasisikan pada data yang

berupa dokumen-dokumen terkait yang mendukung jalannya penelitian. Data ini berupa dokumen

perencanaan pembangunan daerah, PAD dari sisi pajak dan juga retribusi daerah yang berkaitan

dengan pariwisata yang menjadi basis dari pengelolaan city branding tersebut.

Data primer yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah berbagai macam informasi yang didapat

berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dengan narasumber pihak – pihak yang dinilai secara

langsung terlibat dalam masalaha yang sedang diteliti. Sementara kebutuhan akan data sekunder

27

dapat dilakukan dengan melakukan telaah teoritis terhadap sejumlah literatur, baik itu yang

berwujud penelitian, jurnal, surat kabar, maupun dokumen – dokumen terkait yang dapat

membantu peneliti untuk menganalisis temuan yang ada di lapangan yang dibktikan dengan

keberadaan dari data primer yang telah diperoleh sebelumnya.

G. 2 Teknik Pengumpulan Data

G.2.1 Sumber Data

Lazimnya penelitian ilmiah, dua pilahan besar menjadi sumber data atas penelitian ini yakni

data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari hasil wawancara

melalui metode indepth interview dengan instansi pemerintahan daerah terkait yang merupakan

bagian dari pemangku kepentingan tata kelola pemerintahan. Adapun instansi-instansi tersebut

meliputi Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), Dinas Kebudayaan dan

Pariwisata, Dinas Pendapatan Pengeloaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD), Perhimpunan Hotel

dan Restoran Indonesia (PHRI) Cabang Surakarta, Association of The Indonesia Tours and Travel

Agencies (ASITA) chapter Surakarta, dan instansi-instansi lain yang terkait. Data sekunder dalam

penelitian ini diperoleh dari kajian dokumen berupa literatur pendukung, dokumen Rencana

Pembangunan Daerah, dokumen rincian Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan, lain-lain dokumen yang

kiranya mendukung dalam menghasilkan data penelitian.

G.2.2 Teknik Analisa Data

Sejak pengumpulan data itu pula, maka akan dimulai pula mencari arti peristiwa, mencatat

keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat dan

proposisi.38

Setelah data-data diperoleh, akan dilakukan analisis. Pertama dimulai dengan pereduksian

data. Reduksi data bukanlah suatu hal yang terpisah dari analisis. Ia merupakan bagian dari analisis.

Pilihan-pilihan peneliti tentang bagian data mana yang diperlukan, mana yang dibuang, pola-pola

38 Mustika Zed (2004), Metode Penelitian Kepustakaan.. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Hal 57

28

mana yang meringkas sejumlah bagian yang tersebar, cerita apa yang sedang berkembang,

semuanya itu merupakan pilihan-pilihan analitis. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang

menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data

secara sedemikian rupa hingga kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi.39

Pembuatan kesimpulan pun akan dilakukan berdasarkan alur kejadian yang sudah

diruntutkan sehingga rumusan masalah yang ditulis dalam penelitian ini dapat terjawab. Bahkan

dimungkinkan sejak pengambilan data.

H. Sistematika Penulisan

Penulisan ini akan dibagi kedalam lima bab. Bab pertama memuat latar belakang, rumusan

masalah, serta tujuan dari penulisan ini. Dalam bab ini pula dipaparkan teori mengenai arti penting

kehadiran city branding bagi sebuah daerah sebagai sebuah strategi persaingan menuju peningkatan

PAD.

Bab kedua berisi tentang Sayembara pencetusan City Branding ‘Solo The Spirit of Java’.

Bab ketiga akan ditulis tentang City Branding dan Gairah Pengembangan Pariwisata Daerah.

Bab keempat akan ditulis analisis tentang Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Efektifitas

Kebijakan.

Bab lima akan ditutup dengan kesimpulan dari penulis.

39 Ibid, hal. 16