BAB I - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68938/potongan/S3-2014...BAB I...

31
BAB I PENDAHULUAN Profesi akuntan publik (auditor) merupakan profesi yang sangat penting dalam dunia bisnis yang kian berkembang. Peran penting auditor terutama terletak pada peningkatan kualitas dan kredibilitas atas laporan keuangan yang disusun oleh suatu perusahaan, melalui laporan audit yang diterbitkan oleh auditor tersebut. Dalam penyusunan laporan audit ini, pertimbangan (judgment) auditor memainkan peran yang penting, karena judgment dari auditor inilah yang akan menjadi dasar bagi publik dalam mengambil berbagai keputusan. Penelitian ini bermaksud untuk menguji pengaruh tekanan dalam pekerjaan (role stress) terhadap kinerja (job performance) auditor yang diproksikan dengan judgment auditor. Tekanan dalam pekerjaan diduga akan berpengaruh pada judgment auditor ketika ia dihadapkan pada banyak tekanan di dalam pekerjaannya. 1.1. Latar Belakang Kualitas audit merupakan produk judgment individu dari auditor yang dipengaruhi oleh kompetensinya, sementara kompetensi auditor ditentukan oleh seberapa besar auditor dapat mematuhi standar profesionalnya, baik standar audit maupun kode etik profesi (Watkins et al., 2004). Kualitas judgment ini akan menunjukkan kinerja auditor dalam menjalankan penugasannya. Judgment auditor dipengaruhi oleh banyak hal, baik yang bersifat teknis maupun non teknis (Pflugrath et al.,

Transcript of BAB I - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68938/potongan/S3-2014...BAB I...

BAB I

PENDAHULUAN

Profesi akuntan publik (auditor) merupakan profesi yang sangat penting dalam

dunia bisnis yang kian berkembang. Peran penting auditor terutama terletak pada

peningkatan kualitas dan kredibilitas atas laporan keuangan yang disusun oleh

suatu perusahaan, melalui laporan audit yang diterbitkan oleh auditor tersebut.

Dalam penyusunan laporan audit ini, pertimbangan (judgment) auditor

memainkan peran yang penting, karena judgment dari auditor inilah yang akan

menjadi dasar bagi publik dalam mengambil berbagai keputusan. Penelitian ini

bermaksud untuk menguji pengaruh tekanan dalam pekerjaan (role stress)

terhadap kinerja (job performance) auditor yang diproksikan dengan judgment

auditor. Tekanan dalam pekerjaan diduga akan berpengaruh pada judgment

auditor ketika ia dihadapkan pada banyak tekanan di dalam pekerjaannya.

1.1. Latar Belakang

Kualitas audit merupakan produk judgment individu dari auditor yang dipengaruhi

oleh kompetensinya, sementara kompetensi auditor ditentukan oleh seberapa besar

auditor dapat mematuhi standar profesionalnya, baik standar audit maupun kode

etik profesi (Watkins et al., 2004). Kualitas judgment ini akan menunjukkan

kinerja auditor dalam menjalankan penugasannya. Judgment auditor dipengaruhi

oleh banyak hal, baik yang bersifat teknis maupun non teknis (Pflugrath et al.,

2

2007). Secara teknis, Yustrianthe (2012) mengemukakan bahwa judgment auditor

antara lain dapat dipengaruhi oleh pengalaman, tekanan ketaatan baik dari atasan

maupun entitas, kompleksitas tugas, ataupun gender, sedangkan secara non teknis

Watkins et al. (2004) mengemukakan bahwa judgment auditor dapat dipengaruhi

oleh lingkungan etika (ethical environment). Dengan demikian, tekanan/stress

merupakan salah satu faktor yang dapat memengaruhi judgment auditor.

Stress yang dialami oleh karyawan pada berbagai organisasi, biasa disebut

role stress (Fisher, 2001) atau job stress (Almer and Kaplan, 2002) banyak

menjadi topik penting dalam penelitian di bidang keperilakuan, tak terkecuali di

bidang akuntansi/auditing (Fogarty et al., 2000; Fisher, 2001; Almer and Kaplan,

2002; Pasewark and Viator, 2006). Beberapa penelitian menemukan bahwa stress

akan berpengaruh pada kinerja auditor (Rebele and Michael, 1990; Fisher, 2001;

Viator, 2001; Burney and Widener, 2007, Marginson and Bui, 2009). Rebele and

Michael (1990), Viator (2001), dan Burney and Widener (2007) menguji

anteseden dan konsekuensi dari role stress yang dialami auditor independen.

Bentuk dari role stress yang diuji dalam penelitian tersebut adalah ambiguitas

peran (role ambiguity) dan konflik peran (role conflict). Hasil ketiga penelitian

tersebut menunjukkan bahwa ambiguitas peran berhubungan dengan kinerja

auditor, sementara konflik peran belum mendapatkan dukungan empiris yang

cukup untuk menunjukkan adanya hubungan antara konflik peran dengan kinerja

auditor. Hasil yang berbeda ditunjukkan oleh Marginson and Bui (2009) yang

menguji potential human cost pada berbagai ekspektasi peran, menemukan

adanya hubungan antara konflik peran dan kinerja auditor. Dukungan empiris bagi

3

hubungan antara konflik peran dan kinerja auditor ditunjukkan pula oleh hasil

penelitian Fisher (2001), meskipun ia meneliti role stress sebagai variabel

independen utama dan bukan sebagai variabel mediasi. Dengan adanya hasil

penelitian yang belum konsisten ini perlu dilakukan suatu penelitian yang menguji

hubungan antara role stress dengan kinerja untuk memperkuat dugaan adanya

hubungan antara konflik peran dengan kinerja auditor. Dengan menginvestigasi

hubungan antara stress dengan kinerja auditor, maka KAP dapat mengambil

kebijakan yang sesuai untuk mengurangi dampak negatif dari tekanan yang

dialami oleh auditor di tempat kerja, karena satu opsi mungkin akan sesuai dengan

satu kondisi namun tidak bagi kondisi yang lain.

Hasil penelitian sebelumnya yang masih belum konsisten tersebut

kemungkinan dapat disebabkan oleh penggunaan metode yang diterapkan. Semua

penelitian tersebut menggunakan metode survei dengan instrumen berupa

kuesioner yang dikembangkan oleh Rizzo et al. (1970) yang berbentuk self

perception (penilaian pada diri sendiri), sehingga yang diukur bukan kinerja

auditor yang sesungguhnya namun penilaian auditor terhadap dirinya sendiri.

Hasil penelitian dengan menggunakan metode survei dapat bersifat sangat

subjektif karena jawaban yang diperoleh merupakan judgment subjektif dari

responden (Rahman, 1986). Gould (2002) menyebutkan beberapa kelemahan

survei, antara lain: terjadinya sampling error yang besar ketika jumlah sampelnya

sangat kecil dan/atau tidak mencerminkan populasi; kejujuran dalam menjawab

kuesioner dapat dipertanyakan terutama ketika kebenaran tersebut bertentangan

dengan kebiasaan yang berlaku umum; waktu, usaha, dan biaya yang dikeluarkan

4

cukup mahal dalam mengumpulkan, mengkodifikasi, dan menganalisis data dari

survei; penyusunan kuesioner dan metode pengumpulan data sangat memengaruhi

hasil survei; serta panjangnya kuesioner dapat memengaruhi ketertarikan

responden pada penelitian dan responden menjadi tidak kooperatif. Beberapa

kelemahan lain yang dapat terjadi dalam penggunaan metode survei dengan

menggunakan instrumen kuesioner antara lain adalah terjadinya bias karena

penggunaan kata-kata yang tidak tepat, seperti misalnya responden bingung

terhadap maksud pertanyaan, responden menginterpretasikan pertanyaan dengan

salah, responden sama sekali tidak mengerti maksud pertanyaan, akibatnya

responden dapat menjawab sekenanya atau tidak menjawab sama sekali, yang

disebut sebagai bias tidak merespon/ nonresponse bias (Hartono, 2008).

Survei dengan menggunakan kuesioner yang dikirim lewat pos memiliki

kelemahan antara lain adanya kemungkinan bahwa pihak yang mengisi kuesioner

bukanlah pihak/responden yang dituju oleh peneliti. Dewasa ini telah berkembang

survei dengan berbasis internet. Survei berbasis internet ini memiliki kelebihan

dalam kecepatan respon dari subjek dan tingkat nonresponse bias yang lebih

rendah dibandingkan survei lewat pos (Kwak and Radler, 2002). Nahartyo (2012)

mengungkapkan bahwa kelemahan utama dalam penelitian survei adalah peneliti

tidak memiliki kemampuan untuk mengontrol variabel-variabel lain yang

berpotensi memengaruhi variabel dependen namun tidak relevan dengan tujuan

penelitian (biasa disebut sebagai variabel pengganggu atau extraneous variable).

Meskipun telah diungkapkan beberapa kelemahan dari survei, namun

survei secara umum memiliki beberapa keunggulan di bandingkan metode lain.

5

Beberapa keunggulan survei yang diungkapkan oleh Mathiyazhagan and Nandan

(2000) antara lain: pengumpulan data yang lebih cepat dibandingkan metode lain;

pengumpulan data relatif murah; data survei akan sangat akurat jika samplingnya

probabilistik; cakupan akses partisipan yang luas; menggunakan metode, material,

dan latar belakang dari situasi kehidupan yang nyata saat pengambilan data

sehingga memberikan keyakinan validitas ecological; merupakan satu cara

mendapatkan kembali informasi tentang pengalaman masa lalu responden; dan

merupakan satu-satunya metode dimana generalisasi informasi dapat dikumpulkan

dari hampir seluruh populasi manusia.

Penelitian dalam disertasi ini mencoba untuk mengatasi kelemahan metode

survei kuesioner tersebut, terutama berkaitan pengukuran kinerja dengan

menggunakan self rating dalam metode survei diganti dengan pengukuran

judgment auditor dengan menggunakan metode eksperimen. Pengerjaan dan

pengumpulan data eksperimen ini dilakukan melalui media website di internet,

sehingga penelitian ini disebut sebagai eksperimen berbasis internet, dengan

memberikan perlakuan konflik peran, ambiguitas peran, dan kelebihan beban

kerja pada auditor sebagai subjek eksperimen. Penggunaan metode eksperimen

dalam penelitian ini diharapkan mampu melengkapi penelitian tentang role stress

sehingga dapat memperkaya literatur yang ada. Pengujian dampak tekanan dalam

pekerjaan yang dialami auditor dengan metode eksperimen sangat mungkin

memberikan hasil yang berbeda dengan pengujian yang dilakukan melalui survei.

Kekuatan utama dari penelitian eksperimen seperti diungkapkan Nahartyo (2012)

adalah adanya kontrol yang dimiliki peneliti terhadap variabel independen yang

6

akan menyebabkan perubahan pada variabel dependen. Melalui manipulasi dari

satu atau lebih variabel, dan dengan mengontrol variabel-variabel pengganggu,

peneliti dapat memperoleh tingkat keyakinan yang tinggi terhadap kejadian-

kejadian mana yang menyebabkan suatu efek dan menentukan secara tepat

mengenai bentuk yang tepat dari hubungan yang terjadi (Gould, 2002). Dengan

demikian metode eksperimen lebih tepat digunakan untuk menguji hubungan

sebab akibat antara dua atau lebih variabel. Dalam eksperimen, peneliti secara

aktif memanipulasi variabel independen dan mengukur dampaknya pada variabel

dependen, sedangkan pada metode lain, seperti survei misalnya, peneliti bersifat

pasif terhadap variabel independen dan hanya mengukurnya bersama dengan

proses pengukuran variabel dependen, oleh karena itu metode eksperimen dapat

juga disebut sebagai metode riset aktif (Nahartyo, 2012). Keunggulan metode

eksperimen dalam penelitian ini adalah peneliti dapat memanipulasi variabel

konflik peran, ambiguitas peran, dan kelebihan beban kerja yang kemudian

mengukur dampaknya pada kinerja auditor berupa judgment pengendalian internal

klien. Dengan demikian, diharapkan pengukuran judgment auditor ini merupakan

dampak dari variabel konflik peran, ambiguitas peran, ataupun kelebihan beban

kerja, dan bukan karena variabel lain.

Penelitian dengan menggunakan eksperimen berbasis internet memiliki

keunggulan dibandingkan eksperimen tradisional dengan menggunakan kertas dan

pena. Salganik and Watts (2009) menyebutkan keunggulan dari metode ini adalah

meminimalisasi interaksi antar subjek dalam melakukan penugasan eksperimen

karena partisipan diminta untuk membuat keputusan saat ini juga. Penelitian ini

7

akan memberikan kontribusi dalam metodologi karena sepanjang pengetahuan

dan bacaan peneliti, belum ada penelitian yang menghubungkan antara ketiga

bentuk tekanan dalam pekerjaan dan kinerja auditor dengan menggunakan metode

eksperimen.

Berkaitan dengan karakteristik individu, beberapa penelitian menemukan

bahwa karakteristik individu mampu memengaruhi capaian pekerjaan dari

seseorang (Keenan and McBain, 1979; Liedtka et al. 2008). Individu dengan

karakteristik tertentu akan mengalami reaksi yang berbeda ketika dihadapkan pada

masalah dan situasi yang sama. Sebagai contoh, Fisher (2001) menyebutkan

bahwa individu tipe A (TAPB) dideskripsikan sebagai individu yang hiperaktif

terhadap tekanan lingkungan. Ketika individu tersebut dihadapkan pada situasi

pekerjaan yang tertekan maka ia cenderung akan bereaksi dengan usaha yang

lebih keras untuk mencapai suatu tujuan, memiliki rasa persaingan yang tinggi,

permusuhan, agresif, tidak sabar, dan mudah marah (Glass, 1977a, 1977b).

Penelitian tentang karakteristik individu dalam hubungannya dengan tekanan

dalam pekerjaan dan kinerja auditor, dilakukan oleh Fisher (2001) dengan

memasukkan karakteristik individu tipe A sebagai moderasi hubungan antara

tekanan dalam pekerjaan dengan kinerja dan kepuasan kerja dari auditor. Individu

tipe A tentunya akan bereaksi secara berbeda terhadap tekanan dalam

pekerjaannya dibandingkan dengan individu tipe B. Namun hasil penelitian gagal

untuk menemukan dukungan terhadap hipotesis yang diajukan.

Keenan and McBain (1979) melakukan penelitian di bidang psikologi

yang mengkaitkan karakteristik TAPB dan tingkat toleransi terhadap ambiguitas

8

pada hubungan antara role stress dengan capaian pekerjaan. Hasil penelitian

menunjukkan adanya korelasi antara ambiguitas peran dengan kepuasan kerja

yang lebih tinggi pada grup yang tidak menoleransi ambiguitas dibandingkan grup

yang menoleransi ambiguitas.

Perlunya memasukkan karakteristik individu dalam penelitian ini

disebabkan perbedaan karakteristik seseorang akan memberikan perbedaan respon

terhadap perlakuan yang diberikan, sehingga mungkin akan memengaruhi hasil

penelitian. Auditor yang memiliki karakter yang toleran atau tidak toleran

terhadap ambiguitas diduga akan memengaruhi judgment yang dibuatnya. Auditor

yang memiliki karakteristik yang tidak toleran terhadap ambiguitas akan memiliki

perasaan tidak nyaman jika dihadapkan pada situasi yang ambigu dan akan selalu

berusaha untuk menyangkalnya, sehingga akan mempengaruhi judgment yang

dibuatnya. Di sisi lain, jika auditor memiliki karakteristik yang toleran terhadap

ambiguitas, tidak akan mempengaruhi judgment yang dibuatnya meskipun pada

kondisi ambiguitas peran yang tinggi. Terdapat dugaan bahwa tingkat toleransi

terhadap ambiguitas ini akan memperlemah atau memperkuat hubungan antara

ambiguitas peran dan judgment auditor. Sepanjang pengetahuan peneliti, masih

sangat jarang penelitian di bidang psikologi, teori organisasi, dan terutama

akuntansi, yang menguji dampak variabel tingkat toleransi terhadap ambiguitas

pada hubungan antara role stress dengan kinerja. Dengan memahami karakteristik

individu, KAP dapat mengambil kebijakan yang dapat mengurangi hubungan

negatif antara stress dengan kinerja auditor.

9

Disertasi ini bertujuan untuk menguji pengaruh tekanan dalam pekerjaan

yang bersumber dari konflik peran, ambiguitas peran, dan kelebihan beban kerja,

terhadap judgment yang diberikan oleh auditor. Selain itu, penelitian ini juga ingin

menguji apakah variabel karakteristik individu, yaitu tingkat toleransi terhadap

ambiguitas memoderasi hubungan antara ambiguitas peran dengan judgment yang

dibuat oleh auditor. Tekanan yang dihadapi oleh auditor ini dapat berdampak

positif (eustress) maupun negatif (distress) pada auditor (Jarinto, 2010; Saether,

2011), dan tingkat toleransi terhadap ambiguitas diduga akan memperkuat atau

memperlemah hubungan antara ambiguitas peran dan kinerja auditor tersebut.

Baker (1977) menyatakan bahwa profesi akuntan publik memiliki potensi

konflik dan ketidakjelasan peran yang tinggi. Murtiasri (2007) menyebutkan

bahwa salah satu sumber dari stress adalah terperangkapnya auditor dalam situasi

di mana auditor tidak dapat lepas dari tekanan dalam pekerjaan. Sebagai boundary

spanners, yaitu orang yang berinteraksi dengan banyak orang, baik dari dalam

maupun dari luar organisasi, dengan tuntutan dan ekspekstasi yang berbeda,

profesi akuntan publik memiliki tingkat stress yang tinggi berkaitan dengan

kebutuhan untuk memahami dan memenuhi ekspektasi dari banyak pihak tersebut

(Fisher, 2001).

Beberapa penelitian menemukan bahwa stress dapat berdampak pada

tingkat turnover auditor pada Kantor Akuntan Publik (Fogarty et al. 2000; Almer

and Kaplan, 2002; Pasewark and Viator, 2006). Dengan demikian, tingginya

tingkat stress pada auditor dapat diindikasikan dari tingginya pergantian auditor

(employee turnover) di KAP. Pasewark and Viator (2006) menyatakan bahwa

10

turnover auditor di KAP merupakan masalah yang cukup serius, tingkat turnover

di beberapa tahun terakhir berkisar antara 10% sampai 16% per tahun. Survei

pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di beberapa KAP terkemuka di

Yogyakarta, menunjukkan bahwa terdapat turnover auditor yang tinggi, terutama

di level auditor junior. Dari jumlah karyawan yang berkisar antara 25 hingga 30

orang pada satu KAP, rata-rata terjadi perekrutan 10-15 karyawan baru setiap

tahunnya. Hasil wawancara dengan beberapa auditor yang telah keluar

menyebutkan bahwa mereka keluar dengan alasan banyaknya pekerjaan yang

harus mereka tangani sehingga terkadang mereka harus melakukan lembur selama

berhari-hari untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Banyaknya pekerjaan

yang harus ditangani atau kelebihan beban kerja ini merupakan salah satu bentuk

tekanan dalam pekerjaan.

Hasil survei awal tersebut menemukan bahwa auditor dihadapkan pada

berbagai macam bentuk tekanan, namun tekanan yang dialami tersebut pada

intinya dapat dibedakan ke dalam dua hal, yaitu tekanan yang dialami oleh auditor

pada level atas (yaitu partner atau manajer) dan tekanan yang dihadapi oleh

auditor level bawah (auditor junior dan senior). Berdasarkan hasil wawancara

dengan partner di beberapa KAP, tekanan yang dihadapi oleh auditor level bawah,

terutama auditor junior pada dasarnya lebih disebabkan oleh keterbatasan

kecakapan atau ketrampilan yang dimiliki olehnya. Auditor junior akan lebih

mengalami tekanan dalam pekerjaan (role stress) dikarenakan ia belum terbiasa

dengan kondisi dan situasi kerja saat melaksanakan penugasannya. Tekanan

tersebut dapat berasal dari ambiguitas peran, konflik peran, maupun kelebihan

11

beban kerja yang dihadapinya saat menjalankan penugasan audit. Berbeda halnya

dengan tekanan yang dihadapi oleh auditor level atas. Auditor level atas tidak lagi

menghadapi tekanan yang berasal dari ambiguitas peran, konflik peran maupun

kelebihan beban kerja, hal ini disebabkan karena auditor level atas telah terbiasa

dalam melakukan penugasan audit, sehingga ia cenderung dapat mengelola

pekerjaan dan waktunya dengan baik. Tekanan yang dihadapi oleh auditor level

atas lebih disebabkan oleh adanya pemeriksaan, baik oleh teman sejawat (peer

review) maupun oleh instansi lain, seperti misalnya dari kantor pajak. Hal yang

paling dikhawatirkan dan menimbulkan tekanan, lebih pada ketakutan dalam

menghadapi adanya ancaman litigasi dari klien. Smith and Everly (1990)

menunjukkan bahwa orang yang memiliki kekuasaan (power) dan jaminan kerja

(job security) lebih besar (misalnya tenured individual) baik yang berasal dari

akademisi maupun dari praktisi, dilaporkan mempunyai penyebab stress dan

gejala fisik yang berhubungan dengan stress yang secara signifikan lebih rendah,

serta memiliki perilaku pengatasan stress yang relatif lebih tinggi dibandingkan

yang masih level junior. Berdasarkan alasan tersebut, maka perlu untuk dibedakan

antara penelitian yang menguji tekanan yang dihadapi oleh auditor level atas dan

level bawah. Penelitian ini mencoba untuk menguji tekanan dalam pekerjaan yang

dihadapi oleh auditor level bawah yang bersumber dari ambiguitas peran, konflik

peran, dan kelebihan beban kerja, yang dikaitkan dengan kualitas penilaiannya

dalam melaksanakan penugasan audit.

Teori yang mendukung penelitian di bidang ini adalah Teori Peran (Role

Theory) yang dikemukakan oleh Kahn et al. tahun 1964 sebagaimana yang

12

disebutkan dalam Pfeffer (1982) bahwa teori Peran menekankan sifat individual

sebagai pelaku sosial yang mempelajari perilaku sesuai dengan posisi yang

ditempatinya di lingkungan kerja dan masyarakat. Individu akan mengalami

konflik dalam dirinya apabila terdapat dua tekanan atau lebih yang terjadi secara

bersamaan yang ditujukan pada diri seseorang. Salah satu sumber stress yang

pada umumnya dihadapi oleh banyak individu dalam setting pekerjaan adalah role

stress (Fisher, 2001) atau job stress (Almer and Kaplan, 2002).

Tekanan dalam pekerjaan (role stress) menunjukkan seberapa luas

ekspektasi serangkaian peran anggota organisasi menghadapi situasi yang

mengandung tiga konstruk, yaitu: a) ketidakjelasan peran (ambiguity), b) ketidak-

sesuaian peran sehingga antar peran bertentangan satu dengan lainnya (conflict)

dan c) beratnya tekanan dalam pekerjaan (overload) (Wolfe and Snoek, 1962).

Sementara Almer and Kaplan (2002) yang memperluas penelitian yang dilakukan

oleh Fogarty et al. (2000) menyebutkan tiga bentuk job stressors, yaitu: a) konflik

peran (role conflict), b) ambiguitas peran (role ambiguity), dan c) kelebihan beban

kerja (role overload). Konflik peran terjadi ketika karyawan menghadapi

ketidakcocokan harapan seperti kepatuhan pada satu ekspektasi akan membuatnya

sulit atau tidak mungkin untuk secara efektif memenuhi ekspektasi yang lain

(Kahn et al. 1964), sementara ambiguitas peran muncul ketika karyawan tidak

cukup informasi untuk kinerja yang efektif dari peran tertentu (Senatra, 1980).

Role overload dinyatakan oleh Schick et al.(1990) terjadi ketika auditor memiliki

beban pekerjaan sangat berat yang tidak sesuai dengan waktu dan kemampuan

yang dimiliki. Penelitian ini akan menguji tekanan dalam pekerjaan yang

13

bersumber dari konflik peran, ambiguitas peran, dan kelebihan beban kerja,

seperti halnya yang dilakukan oleh Fogarty (2000) dan Almer and Kaplan (2002).

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada penggunaan

metode eksperimen untuk mendapatkan hasil penelitian yang lebih objektif, serta

memasukkan karakteristik tingkat toleransi terhadap ambiguitas untuk

memoderasi hubungan antara ambiguitas peran dengan kinerja auditor.

Pentingnya memasukkan karakteristik ini karena auditor yang toleran terhadap

ambiguitas mungkin akan bereaksi berbeda dibandingkan dengan auditor yang

tidak toleran terhadap ambiguitas, karena individu yang tidak toleran terhadap

ambiguitas akan merasa tidak nyaman pada situasi yang ambigu sehingga ia

cenderung akan melakukan penyangkalan atas ketidaknyamanan tersebut sehingga

akan berpengaruh pada judgment yang dibuatnya, namun tidak demikian halnya

pada individu yang toleran terhadap ambiguitas.

Sejumlah penelitian telah menguji beberapa anteseden dari tekanan dalam

pekerjaan, antara lain Boundary Spanning Activity (Rebele and Michaels, 1990);

Strategic Performance Measurement System dan Job Relevant Information

(Burney and Widener, 2007); Iklim Organizational (Senatra, 1980), Status

Organisasional (Pei and Davis, 1989), dan Mentor (Viator, 2001). Sementara role

stress akan membawa pada beberapa konsekuensi dari job outcome, seperti:

Kepuasan Kerja (Almer and Kaplan, 2002; Fisher, 2001; Pasewark and Strawser,

1996; Collins and Killough, 1992; Senatra, 1980); Job Performance (Burney and

Widener, 2007; Fisher, 2001; Rebele and Michael, 1990); Turnover Intention

14

(Almer and Kaplan, 2002; Viator, 2001; Collins and Killough, 1992; Senatra,

1980); dan Job-Related Tension (Rebele and Michael, 1990; Senatra, 1980).

Terdapat dua isu pokok dalam penelitian ini, yaitu: (1) tekanan dalam

pekerjaan dan (2) tingkat toleransi terhadap ambiguitas. Berkaitan dengan isu

yang pertama, penelitian ini bermaksud untuk menguji pengaruh tekanan dalam

pekerjaan terhadap pertimbangan (judgment) yang dibuat oleh auditor. Penilaian

kinerja dari auditor menjadi hal yang penting bagi Kantor Akuntan Publik (KAP),

mereka bahkan bersedia untuk memakai metode yang rumit yang mengonsumsi

banyak waktu dan sumberdaya, untuk dapat mengukur kinerja anggotanya dengan

baik (Fogarty, 1994). Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) menjadi

pedoman bagi auditor dalam menjalankan pekerjaannya.

Dalam SPAP disebutkan bahwa tujuan audit atas laporan keuangan oleh

auditor independen adalah untuk menyatakan pendapat tentang kewajaran dalam

semua hal yang material, posisi keuangan, hasil operasi, serta arus kas sesuai

dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum. Tanggung jawab

manajemen adalah menyelenggarakan pengendalian intern yang memadai dan

menyajikan laporan keuangan yang wajar atas jalannya operasi yang dilakukan

perusahaan. Sementara tanggung jawab auditor adalah merencanakan dan

melaksanakan audit guna memperoleh kepastian yang layak tentang apakah

laporan keuangan telah bebas dari salah saji yang material, baik yang disebabkan

oleh kekeliruan ataupun kecurangan/kesengajaan.

Dalam kaitannya dengan tujuan audit yang berkaitan dengan saldo suatu

akun/rekening, auditor dihadapkan pada beberapa pekerjaan, antara lain:

15

memastikan eksistensi jumlah yang tercantum memang ada, memeriksa

kelengkapan jumlah yang dicantumkan, mengecek keakuratan jumlah yang

tercantum telah dinyatakan dengan benar, dan lain-lain, ataupun saat auditor

menilai pengendalian internal dari perusahaan klien. Berkaitan dengan hal itu,

auditor dihadapkan pada sejumlah pertimbangan (judgment) dan keputusan

(decision) yang harus dibuat berkaitan dengan pekerjaannya.

Beberapa penelitian mencoba menguji kinerja auditor berdasarkan

pertimbangan (judgment) yang dibuat oleh auditor. Hasil penelitian yang

dilakukan Arnold et al. (2000) menunjukkan bahwa limit waktu memengaruhi

waktu yang dibutuhkan individual untuk membuat keputusan, mengganggu proses

pembuatan keputusan, namun nampaknya memengaruhi grup secara berbeda

tergantung pada lingkungan keputusan. Penelitian lain dilakukan oleh Guess et al.

(2000) menemukan bahwa risiko dan ambiguitas secara signifikan memengaruhi

estimasi waktu audit yang dianggarkan oleh auditor. Sejalan dengan penelitian-

penelitian tersebut, diduga bahwa tekanan dalam pekerjaan akan memberikan

pengaruh pada judgment auditor ketika auditor dihadapkan pada banyak tekanan

di dalam pekerjaannya.

Isu kedua berkaitan dengan tipe kepribadian yang tidak atau yang

menoleransi ambiguitas, yang memoderasi hubungan antara ambiguitas peran

dengan kinerja auditor. Seseorang yang memiliki tipe kepribadian yang tidak

menoleransi adanya ambiguitas (ambiguity intolerant), cenderung untuk

menerima situasi yang ambigu sebagai suatu ancaman (Budner, 1962).

Ketidaktoleransian terhadap ambiguitas dapat memengaruhi persepsi dan

16

judgment dalam berbagai bidang, termasuk juga akuntansi. Auditor yang tidak

menoleransi ambiguitas akan memersepsikan proses audit secara berbeda (Gupta

and Fogarty, 1993) dan akan kurang yakin/percaya diri dalam memberikan opini

pada laporan keuangan (Pincus, 1991).

Berhubungan dengan ambiguitas, individual yang tidak menoleransi

ambiguitas biasanya akan bereaksi dengan cara menunjukkan ketidak-

nyamanannya (Liedtka et al. 2008). Satu reaksi yang mungkin dilakukan adalah

penyangkalan, atau mengubah realita yang ada agar sesuai dengan keinginan dari

si penerima. Sebagai contoh, individu yang tidak menoleransi ambiguitas akan

mengecilkan atau mengabaikan petunjuk-petunjuk yang ambigu untuk

menghindari mempertimbangkan informasi yang membuatnya tidak nyaman.

Dengan demikian individu yang memiliki tingkat toleransi ambiguitas yang

rendah atau tidak menoleransi adanya situasi yang ambigu cenderung akan

memandang segala sesuatunya menjadi hitam dan putih.

Beberapa penelitian menemukan bahwa individu yang memiliki tipe

kepribadian yang tidak menoleransi atau menoleransi ambiguitas akan

berpengaruh pada capaian (outcome) pekerjaannya. Keenan and McBain (1979)

menemukan adanya korelasi antara ambiguitas peran dengan kepuasan kerja lebih

tinggi pada grup yang tidak menoleransi ambiguitas dibandingkan grup yang

menoleransi ambiguitas. Sementara Liedtka et al. (2008) mendokumentasikan

bahwa pola dalam mengevaluasi Balanced Scorecards (BSC) bervariasi dengan

kualitas dari evaluator. Hasil penelitiannya menemukan bahwa evaluator yang

tidak menoleransi ambiguitas dapat memengaruhi reaksi mereka pada variasi

17

diantara pengukuran kinerja dalam kategori BSC. Khususnya, variabilitas akan

memengaruhi evaluasi dari individual yang tidak menoleransi ambiguitas ketika

kinerja dalam kategori BSC yang relevan relatif kuat, namun tidak ketika kategori

BSC yang relevan relatif lemah. Sebaliknya, Liedtka et al. (2008) tidak

menemukan bukti bahwa variabilitas kinerja dalam kategori BSC berdampak pada

evaluasi dari evaluator yang menoleransi ambiguitas. Hasil ini konsisten dengan

argumen bahwa individu yang tidak menoleransi ambiguitas lebih mungkin tidak

memperhitungkan atau mengabaikan info yang ambigu ketika ambiguitas tersebut

berkaitan dengan informasi yang positif. Dengan demikian individu yang

memiliki tipe kepribadian yang tidak menoleransi ambiguitas akan mengalami

ambiguitas peran yang rendah sehingga berdampak pada kualitas kinerjanya akan

meningkat. Dalam hal ini diasumsikan bahwa ketidaktoleransian terhadap

ambiguitas akan mendorong individu untuk menghindari peran kerja yang ambigu

kapan saja hal tersebut dimungkinkan.

1.2. Perumusan Masalah

Profesi akuntan publik sangat rentan terhadap kondisi stress yang disebabkan oleh

tuntutan pekerjaan. Sebagai boundary spanners, menyebabkan auditor memiliki

potensi konflik dan ketidakjelasan peran yang tinggi sebagaimana dinyatakan oleh

Baker (1977). Tekanan dalam pekerjaan menunjukkan seberapa luas serangkaian

ekspektasi peran anggota organisasi menghadapi situasi yang berkaitan dengan

ambiguitas peran, konflik peran, dan kelebihan beban kerja.

18

Konsekuensi dan capaian dari tekanan tidak selalu bersifat negatif

(distress), tetapi dapat juga positif (eustress). Hal ini tergantung pada persepsi

individu, interpretasi, reaksi terhadap tekanan dan pemicu stress, serta bagaimana

mereka dapat mengelola sensor mereka untuk mengubah kekurangan menjadi

tantangan untuk meningkatkan kinerja mereka (Al-Khasawneh and Futa, 2013).

Distress akan berdampak pada penurunan kinerja, sementara eustress akan

berdampak pada peningkatan kinerja. Penelitian yang menghubungkan antara

tekanan peran yang berasal dari dalam (tekanan dalam pekerjaan) dan luar

organisasi, menemukan hasil yang masih belum konsisten. Banyak penelitian

yang menemukan adanya hubungan negatif antara tekanan dalam pekerjaan

dengan kinerja (Rebele and Michaels, 1990; Burney and Widener, 2007; Fisher,

2001; Marginson and Bui, 2009; Jamal, 2011), sementara beberapa penelitian

menemukan hasil yang berlawanan, yaitu terdapat hubungan positif antara

tekanan dalam pekerjaan dengan kinerja (Meglino, 1977; Saether, 2011). Hal ini

diperkuat oleh sejumlah peneliti yang menemukan adanya hubungan inverted-U

antara tekanan dalam pekerjaan dengan kinerja (Yerkes and Dodson, 1908;

Onyemah, 2008), penelitian-penelitian ini mengemukakan bahwa individu pada

level tekanan yang sangat rendah atau sangat tinggi akan menghasilkan kinerja

yang rendah, sementara pada tingkat stress menengah akan memicu individu

untuk menghasilkan kinerja yang tinggi.

Hubungan antara tekanan dalam pekerjaan dengan kinerja pada

lingkungan auditor, masih menemukan hasil yang juga belum konsisten. Rebele

and Michaels (1990) dan Burney and Widener (2007) memperlihatkan bahwa

19

ketidakpastian lingkungan dan ambiguitas peran berhubungan negatif dengan

kinerja, sedangkan konflik peran tidak memperoleh dukungan bukti. Pada sisi

yang lain, penelitian Fisher (2001) dan Marginson and Bui (2009) menemukan

bahwa meningkatnya konflik peran akan mendorong pada menurunnya kinerja.

Fisher (2001) mengukur kinerja auditor secara umum, dengan mengambil

sampel 169 responden auditor di dua KAP besar yang termasuk the Big 6 di New

Zealand. Responden yang dipilih adalah responden yang setidaknya telah

mempunyai pengalaman selama 1 tahun (12 bulan). Pengukuran kinerja

menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh Choo (1986). Sementara

Marginson and Bui (2009) mengukur kinerja manajer yang multi fungsi, dalam

hal ini manajer dituntut sebagai pimpinan yang ‘creative innovation’dan juga

dapat mencapai tujuan perusahaan. Sampel yang digunakan sebanyak 229

responden yang merupakan manajer tingkat menengah yang diambil dari empat

diantara delapan bisnis unit di Telserve, yang meliputi bagian mesin,

pengembangan produk, penjualan dan pemasaran, serta operasi. Pengukuran

menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh Mahoney et al.(1963, 1965).

Rebele and Michaels (1990) menguji anteseden dan konsekuensi dari

tekanan peran yang dihadapi oleh auditor. Dinyatakan dalam penelitian ini bahwa

tekanan peran berhubungan dengan kepuasan kerja yang rendah, meningkatnya

tension yang berhubungan dengan pekerjaan, kinerja yang rendah, dan keinginan

yang tinggi untuk keluar dari pekerjaan. Sampel yang digunakan adalah 211

auditor yang bekerja pada empat KAP internasional besar. Penelitian Rebele and

Michaels (1990) ini menggunakan auditor yang telah berpengalaman minimal

20

satu tahun, dan pengukuran kinerja menggunakan instrumen yang dikembangkan

sendiri oleh peneliti. Sementara Burney and Widener (2007) mengeksplorasi

respon perilaku manajerial yang berhubungan dengan sistem pengukuran kinerja

perusahaan yang terhubung dengan strategi dari perusahaan. Penelitian ini

menggunakan 700 responden yang berasal dari manajer yang menjadi anggota

Institute of Management Accountants (IMA). Alasan pemilihan sampel ini karena

diasumsikan bahwa anggota IMA merupakan informan yang berpengetahuan

tentang isi dan pekerjaan dari sistem kinerja organisasi. Pengukuran kinerja yang

digunakan dalam penelitian ini dikembangkan dari literatur-literatur yang

mendasari penelitian ini.

Rebele and Michaels (1990) dan Burney and Widener (2007) menemukan

bahwa konflik peran tidak berpengaruh terhadap kinerja, sementara Fisher (2001)

dan Marginson and Bui (2009) menemukan hasil yang sebaliknya. Rebele and

Michaels (1990) dan Fisher (2001) menggunakan auditor sebagai subjek

penelitian, sementara Burney and Widener (2007) dan Marginson and Bui (2009)

menggunakan manajer sebagai subjeknya, hal ini berarti bahwa subjek penelitian

mungkin bukan merupakan penyebab adanya perbedaan hasil penelitian tersebut.

Jika ditilik dari jumlah responden penelitian, tidak terlalu menampakkan beda

yang besar, sehingga mungkin jumlah responden bukanlah faktor penyebab

perbedaan tersebut. Metode pengumpulan data dari keempat penelitian tersebut

dilakukan dengan survei dan menggunakan instrumen berupa kuesioner yang

berbentuk self perception untuk pengukuran kinerja. Penggunaan pengukuran self

perception memiliki kelemahan berkaitan dengan subjektifitas dari jawaban yang

21

diberikan responden untuk mengukur kinerja dari auditor. Pengukuran berupa self

perception memiliki kelemahan bahwa persepsi ini barangkali tidak

mencerminkan fakta yang sesungguhnya (fakta yang objektif) karena sifatnya

yang sangat subjektif (Rahman, 1986; Saether, 2011). Besar kemungkinan

penggunaan metode survei ini merupakan salah satu penyebab perbedaan hasil

penelitian. Sementara itu, pengukuran dengan menggunakan metode survei

kuesioner dan berbentuk persepsi, tidak mengukur kinerja auditor yang

sesungguhnya, karena tidak berkaitan dengan pekerjaan auditnya. Oleh karena itu

perlu untuk meneliti keterkaitan antara tekanan dalam pekerjaan dengan kinerja

audit yang dihubungkan dengan penugasan audit, misalnya pertimbangan yang

dibuat oleh auditor dalam penugasannya. Tekanan dalam pekerjaan, yang

bersumber dari ambiguitas peran, konflik peran, dan kelebihan beban kerja,

diduga akan memengaruhi judgment yang dibuat oleh auditor. Dengan demikian

pertanyaan penelitian 1 yang diajukan adalah sebagai berikut:

Apakah auditor yang mengalami tekanan dalam pekerjaan akan membuat

judgment yang berbeda dengan auditor yang tidak mengalami tekanan dalam

pekerjaan?

Karakteristik individu diduga menjadi variabel yang memoderasi

hubungan antara tekanan dalam pekerjaan dengan kinerja auditor. Fisher (2001)

memasukkan karakteristik individu tipe A sebagai moderasi hubungan antara

tekanan dalam pekerjaan dengan kinerja dan kepuasan kerja dari auditor. Individu

yang memiliki karakteristik tipe A yang digambarkan sebagai individu yang hiper

reaktif terhadap tekanan lingkungan (kompetitif, agresif, berusaha keras untuk

22

mencapai prestasi, dan seterusnya), tentunya akan bereaksi secara berbeda

dibandingkan dengan individu tipe B yang digambarkan sebagai individu yang

sebaliknya, dalam merespon adanya tekanan dalam pekerjaannya. Namun hasil

penelitian gagal untuk menemukan dukungan terhadap hipotesis yang diajukan.

Kegagalan untuk memperoleh dukungan tersebut menimbulkan pertanyaan,

barangkali ada variabel karakteristik individu yang lain yang mungkin

memoderasi hubungan antara tekanan dalam pekerjaan dengan kinerja dari

auditor, seperti misalnya tingkat toleransi terhadap ambiguitas.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Keenan and McBain (1979) di bidang

psikologi menemukan adanya hubungan kuat antara role ambiguity dengan

ketidakpuasan dalam pekerjaan pada grup yang memiliki kepribadian tipe A

dibandingkan grup yang memiliki kepribadian tipe B. Selain menginvestigasi

karakteristik kepribadian tipe A pada hubungan antara role stress dengan capaian

kerja, Keenan and McBain (1979) juga meneliti tentang karakteristik kepribadian

yang lain, yaitu tingkat toleransi terhadap ambiguitas. Mereka menemukan adanya

korelasi antara ambiguitas peran dengan kepuasan kerja yang lebih tinggi pada

grup yang tidak menoleransi ambiguitas dibandingkan grup yang menoleransi

ambiguitas. Sementara Liedtka et al.(2008) mengkaitkan kepribadian yang tidak

menoleransi ambiguitas dengan pengukuran kinerja menggunakan Balanced

Scorecards (BSC). Mereka mendokumentasikan bahwa pola dalam mengevaluasi

BSC bervariasi sesuai dengan kualitas evaluator. Hasil penelitiannya menemukan

bahwa evaluator yang tidak menoleransi ambiguitas dapat memengaruhi reaksi

mereka pada variasi diantara pengukuran kinerja dalam kategori BSC. Khususnya,

23

variabilitas akan memengaruhi evaluasi individu yang tidak menoleransi

ambiguitas ketika kinerja dalam kategori BSC yang relevan relatif kuat, namun

tidak terjadi ketika kategori BSC yang relevan relatif lemah. Sebaliknya, Liedtka

et al.(2008) tidak menemukan bukti bahwa variabilitas kinerja dalam kategori

BSC berdampak pada evaluasi dari evaluator yang menoleransi ambiguitas.

Kedua penelitian tersebut yang mendasari pemikiran bahwa tingkat

toleransi terhadap ambiguitas yang tinggi (toleran terhadap ambiguitas), meskipun

ambiguitas perannya tinggi tidak akan berpengaruh pada kinerjanya, sehingga

kinerjanya akan tetap baik. Karena subjek yang digunakan dalam penelitian ini

adalah auditor level bawah, maka auditor senior dan auditor junior yang memiliki

karakteristik toleran terhadap ambiguitas akan meminimalisir atau memperkuat

dampak dari ambiguitas peran terhadap judgment yang dibuatnya. Dengan

demikian pertanyaan penelitian 2 yang diajukan adalah sebagai berikut:

Apakah kinerja pada auditor yang mengalami tekanan dalam pekerjaan

akan lebih tinggi pada individu yang toleran terhadap ambiguitas

dibandingkan individu yang tidak toleran terhadap ambiguitas, atau

sebaliknya?

Penelitian ini menguji tekanan dalam pekerjaan yang dihadapi oleh

auditor level bawah yang bersumber dari ambiguitas peran, konflik peran, dan

kelebihan beban kerja, yang dikaitkan dengan kualitas penilaiannya dalam

melaksanakan penugasan audit. Dengan demikian subjek yang diteliti dalam

penelitian ini adalah auditor level bawah, khususnya auditor junior.

24

1.3. Motivasi Penelitian

Kantor Akuntan Publik (KAP) sangat berkepentingan dengan penilaian kinerja

dari anggotanya, mereka bahkan memakai metode yang rumit, yang

mengkonsumsi waktu dan sumber daya yang besar, hanya untuk mengukur

kinerja (Fogarty, 1994). Kinerja tidak saja merupakan pengukuran kepatuhan

individu terhadap tuntutan profesinya, tetapi juga merupakan internalisasi standar

dari keunggulan yang telah dicapai.

Sejumlah penelitian telah menguji hubungan antara tekanan peran dan

kinerja. Rebele and Michaels (1990) dengan menggunakan 155 auditor dari empat

perusahaan sebagai sampel penelitiannya menemukan bahwa ketidakpastian

lingkungan dan ambiguitas peran berhubungan negatif dengan kinerja auditor.

Namun hal serupa tidak terjadi pada hubungan antara konflik peran dengan

kinerja. Sementara hasil penelitian yang dilakukan oleh Fisher (2001)

menunjukkan bahwa ambiguitas peran dan konflik peran berhubungan dengan

kinerja auditor.

Penelitian-penelitian terkait di beberapa tahun terakhir, antara lain

dilakukan oleh Burney and Widener (2007) yang menguji anteseden dan

konsekuensi dari tekanan peran yang dialami oleh auditor independen. Hasil

penelitian menunjukkan hasil yang sama dengan Rebele and Michaels (1990)

bahwa ambiguitas peran dan ketidakpastian lingkungan berhubungan negatif

dengan kinerja, namun hubungan konflik peran dengan kinerja tidak memperoleh

dukungan yang cukup. Penelitian yang dilakukan oleh Marginson and Bui (2009)

25

memberikan hasil yang mendukung Fisher (2001) bahwa meningkatnya konflik

peran akan mendorong pada menurunnya kinerja.

Hasil dari keempat penelitian di atas memperlihatkan hasil yang belum

konsisten, hal ini menunjukkan bahwa pengukuran yang digunakan untuk

mengukur kinerja auditor mungkin belumlah tepat. Mereka menggunakan

pengukuran self perception yang memiliki kelemahan berkaitan dengan

subjektifitas dari jawaban yang diberikan responden untuk mengukur kinerja dari

auditor. Selain itu penggunaan metode survei juga masih memungkinkan adanya

faktor-faktor lain di luar variabel penelitian yang diteliti yang dapat memengaruhi

hubungan antara tekanan dalam pekerjaan dan kinerja. Pengukuran dengan

menggunakan metode survei kuesioner dan berbentuk persepsi, tidak mengukur

kinerja auditor yang sesungguhnya, karena tidak berkaitan dengan pekerjaan

auditnya. Oleh karena itu perlu untuk meneliti keterkaitan antara tekanan dalam

pekerjaan dengan kinerja audit yang dihubungkan dengan penugasan audit,

misalnya auditor diminta untuk membuat pertimbangan dalam melaksanakan

penugasan penelitian, dengan demikian kinerja auditor yang diteliti merupakan

pencerminan kinerja auditor yang sesungguhnya. Pemberian perlakuan dalam

penelitian disertasi ini yang berupa tekanan dalam pekerjaan yang bersumber dari

ambiguitas peran, konflik peran dan kelebihan beban kerja diduga akan

berdampak bagi auditor dalam menjalankan penugasannya, sehingga akan

memengaruhi pertimbangan/judgment-nya. Sejalan dengan Nahartyo (2012),

dengan penggunaan metode eksperimen peneliti dapat mengontrol variabel lain

yang tidak relevan dengan tujuan penelitian yang berpotensi memengaruhi

26

variabel dependen, dan peneliti dapat secara aktif memanipulasi variabel

independen dan mengukur dampaknya pada variabel dependen, sehingga dapat

diambil kesimpulan bahwa kinerja auditor yang terjadi memang disebabkan oleh

perlakuan ambiguitas peran, konflik peran, dan kelebihan beban kerja yang

diberikan oleh peneliti. Sepanjang pengetahuan dan bacaan peneliti, masih belum

ada penelitian yang menguji hubungan antara tekanan dalam pekerjaan yang

berasal dari ambiguitas peran, konflik peran, dan kelebihan beban kerja, dengan

kinerja auditor yang sesungguhnya dengan menggunakan desain eksperimen

sehingga mendorong peneliti untuk mengembangkan penelitian ini. Selama ini,

sebagian besar penelitian yang menghubungkan tekanan dalam pekerjaan dan

kinerja auditor menggunakan desain survei, sehingga pengukuran kinerja

dilakukan dengan menggunakan ukuran self perception atau superior rating yang

sifatnya sangat subjektif dalam menilai kinerja dari individu.

Memasukkan karakteristik individu dalam menguji hubungan tersebut,

penting karena tipe individu yang berbeda tentunya akan merespon tekanan yang

dihadapinya juga secara berbeda. Fisher (2001) memasukkan karakteristik

individu tipe A sebagai pemoderasi hubungan antara tekanan dalam pekerjaan

dengan kinerja dan kepuasan kerja dari auditor. Namun hasil penelitian gagal

untuk menemukan dukungan terhadap hipotesis yang diajukan. Kegagalan untuk

memperoleh dukungan tersebut memberikan motivasi bagi peneliti, barangkali

ada variabel karakteristik individu yang lain yang mungkin memoderasi hubungan

antara tekanan dalam pekerjaan dengan kinerja dari auditor, seperti misalnya

tingkat toleransi terhadap ambiguitas. Tingkat toleransi terhadap ambiguitas

27

merupakan salah satu karakteristik individu yang berkaitan dengan tekanan dalam

pekerjaan. Keenan and McBain (1979) di bidang psikologi meneliti karakteristik

tingkat toleransi ambiguitas terhadap hubungan antara ambiguitas peran dan

kepuasan kerja. Mereka menemukan adanya korelasi antara ambiguitas peran dan

kepuasan kerja yang lebih tinggi pada grup yang tidak menoleransi ambiguitas

dibandingkan grup yang menoleransi ambiguitas. Penelitian di bidang akuntansi

dilakukan oleh Liedtka et al.(2008) yang mengkaitkan kepribadian yang tidak

menoleransi ambiguitas dengan pengukuran kinerja menggunakan BSC. Hasil

penelitiannya menunjukkan bahwa evaluator yang tidak menoleransi ambiguitas

dapat memengaruhi reaksi mereka pada variasi diantara pengukuran kinerja dalam

kategori BSC. Berdasar penelitian-penelitian tersebut, masih belum ada penelitian

di bidang akuntansi yang mengkaitkan antara tingkat toleransi terhadap

ambiguitas pada hubungan antara tekanan dalam pekerjaan dan capaian kinerja

yang dilakukan oleh auditor, khususnya dalam membuat judgment audit.

1.4. Kontribusi Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sejumlah kontribusi dalam

pengembangan teori, metodologi penelitian, dan praktik. Hasil penelitian ini

diharapkan dapat memberikan bukti empiris tentang kesahihan teori peran melalui

eksperimen lapangan. Dalam Positive Accounting Theory (PAT) yang

diungkapkan oleh Watts and Zimmerman (1986), sebuah teori positif dibangun

dengan menggabungkan penelitian-penelitian empiris. Pengembangan teori

28

berawal dari pemikiran peneliti untuk menjelaskan beberapa fenomena. Hasil

penelitian ini diharapkan mampu memberikan dukungan empiris pada teori peran.

Teori peran menyatakan bahwa individu akan mengalami konflik dalam

dirinya apabila terdapat dua tekanan atau lebih yang terjadi secara bersamaan

yang ditujukan pada dirinya (Kahn et al. 1964). Sumber stress atau tekanan yang

dihadapi oleh banyak individu dalam setting pekerjaan inilah yang disebut sebagai

role stress atau job stress. Banyak penelitian yang menghubungkan bentuk dari

tekanan dalam pekerjaan ini, yaitu ambiguitas peran, konflik peran, dan kelebihan

beban kerja dengan kinerja dari auditor. Namun hasil penelitian-penelitian

tersebut masih belum memberikan hasil yang konsisten. Sejumlah penelitian

menyebutkan bahwa ambiguitas peran saja yang berhubungan dengan kinerja,

sementara konflik peran tidak berhubungan dengan kinerja (Burney and Widener,

2007; Rebele and Michaels, 1990), sementara penelitian yang dilakukan oleh

Fisher (2001) dan Marginson and Bui (2009) menemukan hasil yang berbeda,

konflik peran berhubungan dengan kinerja, dengan semakin meningkatnya konflik

peran maka akan menurunkan kinerja. Keempat penelitian yang tidak konsisten

tersebut belum terkait erat dengan pekerjaan audit, dengan demikian hasil

penelitian dengan menggunakan pertimbangan auditor dalam penugasan

pembuatan judgment yang sesungguhnya ini, diharapkan mampu memperjelas

arah hubungan antara konflik peran dengan kinerja dari auditor. Teori peran yang

dikemukakan oleh Kahn et al. (1964) menyatakan bahwa individu akan

mengalami konflik dalam dirinya apabila terdapat dua tekanan atau lebih yang

terjadi secara bersamaan yang ditujukan pada dirinya. Peneliti sebelumnya

29

menguji ketiga bentuk dari tekanan dalam pekerjaan secara terpisah, namun

penelitian ini mencoba untuk mengkombinasikan ketiga bentuk peran tersebut

karena seorang auditor mungkin tidak hanya mengalami satu bentuk tekanan saja

di dalam pekerjaannya, namun kemungkinan ia dapat mengalami lebih dari satu

tekanan secara bersamaan. Sepanjang pengetahuan peneliti, belum ada penelitian

yang melakukan hal ini, dengan demikian diharapkan hasil penelitian ini mampu

memberikan kontribusi bagi pengembangan teori peran. Penelitian ini

memberikan kontribusi bagi akuntansi karena penugasan dalam penelitian ini

adalah penugasan pembuatan kertas kerja audit dan pengambilan judgment atas

pengendalian internal klien, sehingga meskipun penelitian ini banyak mengambil

teori dari psikologi namun fenomena yang terjadi adalah bidang akuntansi. Dalam

bidang audit, penelitian ini diharapkan mampu memperkaya literatur bahwa

auditor mungkin tidak hanya mengalami satu bentuk tekanan saja dalam dirinya

seperti konflik peran saja, ambiguitas peran saja, atau kelebihan beban kerja saja,

namun sangat mungkin ia mengalami lebih dari dua tekanan secara bersamaan

sehingga dapat mempengaruhi judgment yang dibuat olehnya. Ketika tekanan

dalam pekerjaan mempengaruhi judgment auditor, maka selanjutnya akan

berdampak pada laporan audit yang dihasilkannnya.

Kontribusi teori yang kedua adalah memperkuat literatur tentang pengaruh

karakteristik individu pada hubungan antara role stress dengan kinerja auditor.

Penggunaan variabel tingkat toleransi terhadap ambiguitas sebagai variabel

moderasi dalam hubungan antara ambiguitas peran dengan kinerja auditor, diduga

akan memperlemah atau memperkuat hubungan antara ambiguitas peran dengan

30

kinerja. Tingkat toleransi terhadap ambiguitas yang tinggi (toleran terhadap

ambiguitas), meskipun terdapat ambiguitas peran yang tinggi, cenderung tidak

akan memengaruhi kinerjanya. Sepanjang literatur yang peneliti baca, belum

banyak penelitian yang menghubungkan tingkat toleransi terhadap ambiguitas

pada hubungan antara tekanan dalam pekerjaan dengan kinerja, khususnya di

bidang akuntansi. Hasil penelitian diharapkan mampu memberikan sumbangan

pada literatur pengaruh karakteristik individu terhadap hubungan antara role stress

dan kinerja auditor, yang masih belum terjawab dari penelitian yang telah

dilakukan oleh Fisher (2001).

Sementara kontribusi penelitian di bidang metodologi adalah, penelitian

ini mencoba untuk menggunakan desain eksperimen untuk menguji dampak

tekanan dalam pekerjaan terhadap kinerja auditor dengan menggunakan

penugasan audit atas laporan keuangan dan pembuatan judgment pengendalian

internal klien untuk mengukur kinerja auditor tersebut. Selama ini kebanyakan

penelitian di bidang ini menggunakan survei kuesioner dengan memakai

pengukuran self perception atau superior rating untuk mengukur kinerja dari

auditor, yang dalam hal ini pengukuran tersebut merupakan persepsi yang sifatnya

sangat subjektif, sehingga tidak mencerminkan kinerja dari auditor yang berkaitan

dengan penugasan audit.

Penelitian ini juga berkontribusi bagi praktik karena penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui dampak tekanan dalam pekerjaan yang berasal dari

konflik peran, ambiguitas peran, dan kelebihan beban kerja terhadap kinerja

auditor, maka jika terbukti ketiga dimensi role stress tersebut memiliki dampak

31

terhadap kinerja, maka KAP dapat memprioritaskan cara untuk mengurangi agar

tekanan dalam pekerjaan tersebut tidak terlalu mengganggu kinerja auditor atau

justru akan mampu mendorong kinerja auditor. Peneliti mengharapkan penelitian

ini dapat dipergunakan oleh KAP dalam mengambil kebijakan yang sesuai untuk

mengatasi tekanan peran yang dialami oleh auditor, khususnya auditor yang masih

junior, karena satu opsi mungkin sesuai dengan satu kondisi namun tidak untuk

kondisi yang lain. Sebagai contoh, untuk kondisi kelebihan beban kerja, ketika

kelebihan beban kerja berdampak negatif pada kinerja, dapat diatasi dengan cara

KAP membuat skedul kerja/prioritas pekerjaan bagi auditor. Untuk kondisi

konflik peran, ketika konflik peran berdampak negatif terhadap kinerja, dapat

diatasi dengan menggunakan mentoring pada auditor junior. Sedangkan untuk

mengurangi kondisi ambiguitas peran yang berdampak negatif terhadap kinerja,

maka sebelum menerima penugasan dari klien, auditor sebaiknya mencari

informasi terlebih dahulu tentang kondisi klien, terutama jika ini merupakan

penugasan yang pertama untuk klien tersebut.