BAB I EDITAN

110
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan Tema Pada bulan Desember 2002 saya masih seorang siswa di SLTA menghadiri suatu pesta adat pernikahan di desa Pakkat, kampung halaman saya sendiri. Saya senang tidak hanya karena pesta itu tetapi juga karena mempelai putrinya adalah kakak saya sendiri. Saya juga merasa senang acara pemberkatan di gereja dan acara adat pada umumnya berlangsung dengan baik. Pada waktu itu penulis memiliki saudara yang paling sulung adalah seorang religius dan calon imam. Sebenarnya sebagai anak sulung dari keluarga asal pengantin putri , abangku ini seharusnya memberi ulos (mangulosi) kedua mempelai. 1

Transcript of BAB I EDITAN

Page 1: BAB I EDITAN

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Pemilihan Tema

Pada bulan Desember 2002 saya masih seorang siswa di SLTA

menghadiri suatu pesta adat pernikahan di desa Pakkat, kampung halaman saya

sendiri. Saya senang tidak hanya karena pesta itu tetapi juga karena mempelai

putrinya adalah kakak saya sendiri. Saya juga merasa senang acara pemberkatan

di gereja dan acara adat pada umumnya berlangsung dengan baik. Pada waktu

itu penulis memiliki saudara yang paling sulung adalah seorang religius dan

calon imam. Sebenarnya sebagai anak sulung dari keluarga asal pengantin putri ,

abangku ini seharusnya memberi ulos (mangulosi) kedua mempelai.

Ketika giliran itu tiba saya melihat saudaraku ini bergegas untuk melakukan tugas

itu. Dan pada saat bersamaan juga bapa tua (abang dari bapa) seraya berbicara

kepada hadirin, katanya : “karena anak kami ini belum diberkati ( tarpasu-pasu)

maka ia belum layak memberi berkat (mamasu-masu)”. Oleh karena itu anak

Dalam tradisi lisan adat Batak Toba biasa dipraktekkan bahwa saudara sulung laki-laki pengntin putri seharusnya memberikan ulos kepada kedua mempelai. Saudara sulung tersebut boleh diwakili kalu umurnya belum mencukupi, atau karena berhalangan hadir. Alasan berhalangan untuk orang yang sudah dewasa namun belum menikah tidak selalu sama untuk semua daerah adat di Toba. Mangulosi dijadikan lambang untuk memberikan berkat kepada kedua mempelai.

1

Page 2: BAB I EDITAN

kami ini akan memberikan ulos dan saya akan mewakilinya memberikan kata-

kata berkat. Saudaraku yang punya hak secara adat tidak dapat melaksanakan hak

tersebut secara bebas karena dia belum diberkati (belum menikah). Dia

dikecualikan dari adat karena status yang tidak menikah.

Tanpa menaruh rasa anti kepada bapa tua atau siapa saja yang patuh dan

hormat pada hukum adat, saya melihat bahwa sistim adat Batak Toba sangat

menekankan pentingnya pernikahan dan keturunan. Berbicara tentang adat

biasanya akan dihubungkan dengan adat perkawinan .

Lebih dari status menikah arah dan tujuan Masyarakat Batak Toba ialah

meneruskan keturunan (marga). Kendatipun seorang pria telah menikah namun kalau ia

tidak mempunyai keturunan, kedudukannya dalam adat akan kurang dihormati. Dan

walaupun pria tersebut berketurunan tetapi hanya putri saja maka ia tidak sempurna

dihadapan adat .

Bdk Lothar Schreiner, telah kudengar dari ayahku ; Perjumpaan adat dengan Imam kekristenan di tanah Batak (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1978) hal.1. Makna adat sangat khas untuk Masyarakat Bapak Toba dan tidak dapat begitu saja disamakan dengan costum (Ing) , siste (Jerman) dan Zeden en Gewoonten (Belanda). Tema adat ini masih akan dibahas secara lebih mendalam pada bab berikut.

Bdk. T.M. Sihombing, Jambar Hata : Dongan tu Ulaon Adat (Jakarta : Tulus Jaya,1985). Bdk. Juga W.Hutagalung, Adat Taringot Tu Ruhut-ruhut Ni Pardongan saripeon di halak Batak (Jakarta : N.V.Pusaka, 1963)

Bdk. W. M. Hutagalung, Ende Sidedeng : Taringot Tu Si Boru Tombaga (Jakarta: Saksama,1955). Buku ini berkisah tentang Ompu Gulasa yang memiliki dua orang anak putri dan tanpa putra , pada waktu Ompu Gulasa Meninggal banyak hal yang menghalanginya untuk dimakamkan selayaknya menurut adat , secara hukum akibatnya juga mengena kepada kedua putri yang ditinggalkannya.

2

Page 3: BAB I EDITAN

Saya pun menyadari betapa pentingnya adat bagi orang Batak Toba . Sebagai

orang Batak Toba sayapun meyakini keluhuran nilai-nilai adat tersebut. Saya merasa

bangga sebagai orang Batak Toba dengan Dalihan Na Tolu sebagai falsafah hidup dan

saya menghargai kerinduan orang Batak akan hamoraon (upaya mencari kemakmuran),

hagabeon (banyak keturunan dan umur panjang), dan hasangapon (kehormatan dan

kemulian) .

Dari gambaran tersebut diatas saya melihat bahwa falsafah dan cita-cita orang

Batak Toba mengarah pada status hidup perkawinan (pardongan saripeon) yang

membuahkan keturunan. Orang Batak Toba sangat merindukan keturunan yang banyak.

Kerinduan tersebut diungkapkan dengan umpasa yang sering diucapkan dalam adat

perkawinan yaitu “Bintang narumiris, ombun nasumorop, anak pe riris, boru pe torop”

. Dengan kata lain, orang Batak Toba sangat mengelakkan status tidak berketurunan.

Mereka yang mandul disebut sebagai orang yang tidak berguna (na so hasea). Mereka

yang meninggal tanpa keturunan kendati memang subur disebut sebagai orang yang

telah punah (punu) Orang yang kendati mempunyai putri tanpa putra untuk meneruskan

marga dan warisan diberi nama orang yang sirna (pupur) .

Bdk. W. Hutagalung, Adat Taringot tu Ruhut-ruhut Ni Pardongan Saripeon di Halak Batak (Jakarta : N.V.Pusaka, 1963), hal 13

Basyral Hamidy Harahap dan Hotman.M.Siahaan, Orientasi Nilai – nilai Batak (Jakarta : Sanggar Williem Iskandar, 1987). Hal.9

S.S Sidabutar, pananggahan manala sisia sia ni hata Batak ( Medan, 1990 ), Hal 14

A.B.Sinaga,”Menggali Permata Perkawinan Batak Toba”, dalam SAWI Sarana Karya Kepausan Gereja (Jakarta: karya kepausan Indonesia dan komisi karya Misioner Konferensi Wali Gereja Indonesia,1990) hal.34

3

Page 4: BAB I EDITAN

1.2 Perumusan dan Pembatasan Masalah

Disatu pihak, dapat dikatakan bahwa para imam Katolik hidup dalam status

selibat (tidak menikah). Status hidup selibat dengan segala motif yang mendasarinya

hingga kini merupakan syarat mutlak untuk seorang pengemban imamat. Hal itu

nampak dalam rumusan-rumusan dekrit Konsili Vatikan II dan masih diserukan

kembali dalam Anjuran Apostolik yang dikeluarkan oleh Paus Paulus Yohanes II , 27

tahun setelah Konsili Vatikan II.

Dipihak lain, sebagai penganut agama katolik orang Batak Toba menghidupi

suatu falsafah yang disebut dengan Dalihan Na Tolu. Masyarakat ini mendasarkan

hidupnya dalam Dalihan Na Tolu bukan hanya sebagai sistim kekerabatan melainkan

juga suatu falsafah hidup. Falsafah Dalihan Na Tolu ini dianggap sebagai nilai tertinggi

dari suatu masyarakat dan sekaligus menjadi kriteria bagi segala tindakan yang berciri

khas Batak. Nilai norma ini begitu tinggi karena diyakini berasal dari Tuhan. Maka

diharapkan bahwa setiap orang Batak Toba harus menaatinya .

Berbicara tentang Dalihan Na Tolu secara logis harus dihubungkan dengan

masalah perkawinan karena perkawinan adalah faktor utama sendi-sendi Dalihan Na

A.B.Sinaga,”Menggali Permata Perkawinan Batak Toba”, dalam SAWI Sarana Karya Kepausan Gereja (Jakarta: karya kepausan Indonesia dan komisi karya Misioner Konferensi Wali Gereja Indonesia,1990) hal.34

Bdk. Konsili Vatikan II, Presbyterorum Ordinis, no.16 (terjemahan Hardawiryana, Jakarta : Obor,1992). Hal yang kurang lebih sama juga disebut dalam Lumen Gentium, no.43

Bdk. Yohanes Paulus II, Pastores Dabo Vobis (Gembala-gembala akan kuangkat bagimu),no.29. Penerjemah :R.Hardawiryana, (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI,1992), hal.55-57.

4

Page 5: BAB I EDITAN

Bdk.HiddinSitumorang,”Mitos Dasar Kebudayaan Batak Toba ,” Basis (Agustus,1988),hal.293

Tolu yakni hula-hula, boru dan dongan tubu. Relasi antara ketiga sendi tersebut

ditentukan oleh adanya perkawinan . Selain itu perkawinan juga dilihat sebagai suatu

lembaga yang luhur dan mulia untuk mencapai cita-cita hagabeon, hasangapon dan

hamoraon. Untuk menjadi gabe masyarakat Batak Toba yakin mencapainya melalui

perkawinan. Perkawinan menjadi satu-satunya jalan untuk mencapai hagabeon tersebut.

Oleh karena itu orang Batak Toba sangat menghindarkan status tidak menikah dan itu

dianggap aib. Maka untuk dapat hidup dalam masyarakat Toba dalam falsafah Dalihan

Na Tolu setiap orang harus menikah dan berketurunan .

Selibat imam dalam gereja Katolik dan perkawinan Batak Toba merupakan dua

arah yang bertentangan dalam diri seorang katolik sebagai masyarakat Batak Toba yang

hendak menjadi imam. Hal ini kerap kali menjadi kendala bagi putra – putra Batak Toba

yang berniat menjadi imam. Bagi seorang Batak yang ingin menjadi imam atau

biarawan kerapkali adat, dalam hal ini Dalihan Na Tolu, menjadi penghalang karena

dalam adat Batak Toba falsafah Dalihan Na Tolu sangat dijunjung tinggi.

Tak dapat disangkal bahwa praktis hidup orang Batak didasarkan pada sendi-

sendi Dalihan Na Tolu. Selanjutnya timbul pertanyaan: “Apakah ada kemungkinan

untuk hidup selibat dalam sistem kepercayaan orang Batak Toba”? Dalam salah

satu unsur budaya Batak Toba yakni mitologinya ditemukan banyak mitos

menceritakan beberapa profil Dewa atau orang yang disebut “tidak menikah”

Bdk. Hiddin Situmorang, “Mitos dasar kebudayaan Batak Toba, “Basis (Agustus, 1988), hal. 294-295.

5

Page 6: BAB I EDITAN

Wawancara dengan Bapak MT Simamora (Raja huta di desa Pakkat Hauagong)

Bdk. Boelaars, op.cit., hal 24-25

karena alasan-alasan suci (teologis-liturgis). Disini diadakan analisa sejauh mana

konsep yang dianut oleh agama Katolik dan kepercayaan Batak Toba dapat

ditemukan.

Judul skripsi ini adalah “SELIBAT DALAM PANDANGAN ADAT –

ISTIADAT BATAK TOBA”.

Suatu refleksi kultural atas peluang hidup tidak menikah dalam adat Batak Toba

bagi para pemudanya yang mau menjadi imam Katolik.

Judul besar ini memaparkan praktek hidup tidak menikah (selibat) dalam budaya

Batak Toba yang sangat menjungjung tinggi status perkawinan dan tuntutan

adanya keturunan. Sebagai suatu refleksi kultural, tulisan ini mencoba meninjau

bagaimana pandangan kepercayaan tradisional Batak Toba terhadap status tidak

menikah dengan motif-motif suci. Yang dimaksud dengan kata “peluang” ialah

kemungkinan –kemungkinan untuk tidak menikah tetapi dihormati dalam praktek

adat. Peluang yang dimaksud akan dicari dalam ajaran dan prektek kepercayaan

tradisional Batak Toba, secara lebih jelas, sebagaimana yang dihidupi oleh datu

sebagai imam dalam kepercayaan tersebut. Kemungkinan-kemungkinan tersebut

menyangkut ajaran tentang kewajiban seseorang yang harus hidup dalam status

selibat karena kebutuhan kultus religius atau dengan kata lain, peluang selibat

adalah “ruang” yang tersedia dimana orang Batak Toba yang merasa terpanggil,

dapat dengan bebas memilih status hidup tidak menikah demi atau karena

tuntutan kultus atau tugas suci dalam ajaran kepercayaan tradisional Batak Toba.

6

Page 7: BAB I EDITAN

Dengan kata para pemudanya, penulis ingin membatasi tulisan ini untuk selibat

para imam saja.

Dengan anak judul tersebut diatas tulisan ini lebih banyak memuat ide-ide

antropologis kendatipun ada unsur-unsur teologis dan fisolofis baik dari sisi

Batak maupun dari sisi kekristenan.

1.3 Tujuan dan Kegunaan Pembahasan

Melalui pembahasan ini penulis bermaksud untuk mendalami tujuan dari hidup

selibat para imam, baik dalam agama katolik maupun dalam kepercayaan tradisional

Batak Toba. Dengan demikian, tulisan ini kiranya berguna bagi setiap orang Batak Toba

yang mau menjadi imam atau siapa saja yang ingin mendalami makna dan nilai selibat

karena panggilan ilahi.

1.4 Metode Penelitian dan Penyajian

Pengalaman saya sendiri sebagai orang Batak Toba yang melihat beberapa

halangan-halangan bagi orang Batak Toba yang mau mengikuti status hidup tidak

menikah (selibat). Hampir semua masalah tulisan ini terkumpul berkat metode

penelitian perpustakaan (library research) dan berbicara dengan beberapa tokoh-tokoh

adat budaya Batak Toba yang disebut Raja Huta di desa pakkat hauagong. Bahan ini

akan dianalisa secara kultural. Segi-segi adat dan makna terdalamnya akan dianalisa

sehingga nantinya dapat dilihat sejauh mana adat itu dapat dipertemukan dengan ajaran

katolik dalam hal selibat para imam.

7

Page 8: BAB I EDITAN

Dalam penyajian bahan, penulis kadang-kadang menampilkan suatu pernyataan

yang dianggap umum tanpa menunjuk referensinya. Hal itu terjadi karena masih

banyaknya tradisi lisan yang menyangkut adat yang masih diyakini oleh banyak orang

dalam masyarakat Batak Toba. Atau penulis sendiri belum menemukan sumber tradisi

tertulis pernyataan tersebut.

1.5 Sistimatika Penyajian

Tulisan ini menempuh beberapa kerangka susunan. Bagian awal diisi dengan:

Kata Pengantar, Halaman Abstaksi yang memuat inti sari permasalahan, Daftar Isi. Bab

pertama berisi Pendahuluan yang memaparkan latar belakang pemilihan tema,

Perumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Pembahasan, Metode Penelitian dan

Penyajian serta Sistimatika Penyajian.

Bab kedua mencoba menguraikan apa itu selibat, bagaimana dan mengapa

Gereja Katolik memutlakan para imamnya hidup dalam status selibat. Pada bab ini akan

dibahas sendi-sendi selibat serta motif-motif yang mendasarinya. Dengan menguraikan

topik ini akan nampak bahwa status selibat itu begitu mengikat bagi jabatan imamat.

Bab ketiga membahas tentang perkawinan masyarakat Batak Toba yang

menganut falsafah hidup Dalihan Na Tolu. Dengan penguraian falsafah hidup tersebut

akan nampak bahwa Masyarakat Batak Toba sangat menjunjung tinggi status

perkawinan serta menentang status tidak menikah. Dengan latar belakang ini penulis

memasuki suatu pencaharian atas ada atau tidaknya peluang tidak menikah secara sah

dalam sistim adat masyarakat Batak Toba secara khusus dalam ajaran kepercayaan

tradisionalnya.

8

Page 9: BAB I EDITAN

Dalam bab keempat penulis pertama-tama akan membahas kebudayaan Batak

Toba teristimewa yang menyangkut adat dan kepercayaan tradisional. Dari ajaran

kepercayaan tradisional tersebut akan dicoba untuk menganalisa bentuk-bentuk mahluk

hidup mitologis dan para datu. Tujuan yang hendak dicapai dengan analisa ini ialah

untuk menjawab ada tidaknya status hidup selibat dalam sistim kepercayaan Batak Toba

yang secara khusus dalam pribadi para datu.

Bab kelima adalah bab penutup. Pada bab ini penulis akan menampilkan

kesimpulan yang menyangkut status selibat imamat dalam ajaran gereja katolik dengan

status selibat para datu dalam kepercayaan tradisional Batak Toba. Bagian akhir dari

bab ini ditutup dengan refleksi pribadi penulis.

9

Page 10: BAB I EDITAN

BAB IIADAT ISTIADAT BATAK TOBA

Sebagai dasar hidup bermasyarakat, falsafah hidup orang Batak Toba yakni

Dalihan Na Tolu seolah-olah memutlakkan status perkawinan sebagai satu-satunya

status dan tidak memberikan kemungkinan lain untuk menghidupi salah satu bentuk

status lain (misalnya : tidak menikah yang juga sebagai tuntutan hidup) selain yang

ditawarkan dan digariskan dalam falsafah hidup tersebut. Realitas ini tampak dalam

ajaran Dalihan Na Tolu dan Adat Perkawinan Batak Toba.

Dalihan Na Tolu sebagai Weltanschaung, adalah falsafah orang Batak Toba

yang mendasari hidup masyarakatnya dan meresapi nilai-nilai perkawinan yang termuat

didalamnya. Falsafah Dalihan Na Tolu ini begitu mengikat setiap orang Batak Toba.

Oleh karena itu agar ajaran itu tampak lebih jelas, maka dalam bab II ini lebih dulu akan

ditampilkan secara singkat profil masyarakat Batak Toba yang menghidupi falsafah

Dalihan Na Tolu sebagai dasar praksis hidup. Pembahasan tentang hal ini akan mengacu

pada pencaharian makna perkawinan dalam adat Batak Toba dan kokohnya Dalihan Na

Tolu sebagai falsafah hidup yang mengikat dan mendasari sikap hidup setiap orang

10

Page 11: BAB I EDITAN

Batak Toba. Pertanyaan selanjutnya ialah: adakah peluang bagi suatu status hidup tidak

menikah dalam sistim adat Batak Toba ini ?

2.1 Masyarakat Batak Toba Selayang Pandang.

Pembicaraan tentang masyarakat atau orang Batak Toba tidak dapat dilepaskan

dari pembicaraan tentang suatu suku besar yang bernama Batak. Nama Batak menunjuk

pada enam (6) sub suku yang percaya bahwa mereka berasal dari satu nenek moyang

yang sama. Keenam sub suku tersebut ialah : Batak-Toba, Pakpak-Dairi, Karo,

Simalungun, Mandailing Angkola, dan Pardembanan .

Secara historis asal – usul orang Batak Toba dapat diusut kembali sampai pada

serentetan perpindahan-perpindahan dari sekitar daratan Cina Selatan, Yunnan dan

Vietnam Utara pada suatu masa selama abad kedelapan dan ketujuh sebelum Kristus.

Orang–orang Batak pertama diyakini mendiami daerah sekitar Danau Toba.

Kemungkinan besar mereka itu adalah orang yang hidup berpindah-pindah tempat.

Mereka hidup dengan cara bercocok tanam umbi-umbian, tumbuh-tumbuhan atau

kemungkinan besar mereka sudah menanam padi dengan teknologi yang tidak memakai

alat logam. Agama yang mereka anut memiliki persamaan-persamaan dengan

kebudayaan Proto – Malaya lainnya. Dalam agama yang mereka anut itu ditemukan

unsur pemujaan kepada kuasa-kuasa alam dan kepercayaan yang kuat bahwa roh para

leluhur sangat menaruh perhatian kepada kelakuan keturunannya .

11

Page 12: BAB I EDITAN

Pada abad ke-16 M kebudayaan Batak dipengaruhi oleh peradaban Hindu-

Budha yang dianut oleh orang-orang yang hidup disekitar bagian Selatan dan pesisir

Sumatra Utara. Bidang-bidang peradaban Hindu-Budha yang berkembang dalam

Wawancara dengan bapak M.T.Simamora ( penatua, tokoh adat di Pakkat Hauagong) tgl 18 Maret 2010

Bdk. Paul B.Perdersen, Darah Batak dan Jiwa Protestan (Jakarta : Bpk Gunung Mulia, 1987 hal 16)budaya Batak Toba tersebut meliputi sistim pengolahan persawahan, kuda, bajak, gaya

kediaman sampai pada peleburan banyak peristilahan asing ke dalam konsep

kosmologis – agamaniah .

Secara mitologis orang Batak percaya bahwa mereka berasal dari Debata

Mulajadi Na Bolon yang diturunkan digunung Pusuk Buhit. Dalam perkembangan

selanjutnya mereka bertempat tinggal disatu kampung yang disebut dengan nama

Sianjur Mula-mula tempat terjadinya penciptaan awal. Kepercayaan bahwa penciptaan

terjadi disana tampak dari untaian kalimat :

Sianjur mula-mula, Sianjur awal penciptaan

Tempat air berpisah, tempat jiwa bersua

Sianjur mula-mula, Sianjur awal penciptaan

Awal dari kampung, awal dari sembah

Sianjur mula-mula, Sianjur awal kejadian

Awal dari sembahyang, awal dari penyembahan .

Dalam perkembangan selanjutnya keenam sub suku tersebut menyebar

keberbagai arah mata angin : Batak Toba mendiami distrik Barat, Pakpak-Dairi

mendiami distrik Utara, Karo mendiami distrik Timur Laut, Simalungun mendiami

distrik Timur. Sementara itu Mandailing – Angkola mendiami bagian Selatan dan

12

Page 13: BAB I EDITAN

Kertas kerja mahasiswa STFT, Pematang Siantar (Mat Kuliah, Imamat,2001) Bdk. Radja Patik Tampubolon, Pustaka Tumbaga Holing : Adat Batak Uhum.

mayoritas mereka adalah muslim .Yang disebut dengan Batak Pardembanan ialah

sekelompok orang Batak yang memisahkan diri sebagai transmigran kedataran rendah

disekitar sungai Asahan. Keenam sub suku ini tetap mengakui suatu hubungan

kekeluargaan dengan suku Batak lainnya, tetapi mengembangkan secara bebas variasi

dalam kebudayaan dan adat istiadat.

2.2 Dalihan Na Tolu Sebagai Falsafah Hidup

2.2.1 Apa itu Dalihan Na Tolu ?

Masyarakat Batak Toba mendasarkan hidupnya dalam suatu falsafah yang

dirangkum dengan istilah Dalihan Na Tolu ( selanjutnya akan disingkat dengan DNT).

Secara harafiah DNT dapat diterjemahkan sebagai Tungku Nan Tiga yang biasa dipakai

sebagai dasar untuk bejana memasak. Ketiga tungku itu diatur sedemikian rupa

sehingga membentuk sudut tertentu diantara ketiganya supaya terjadi keseimbangan

bagi bejana yang ditopangnya. Dengan adanya keseimbangan letak diantara ketiganya

maka bejana memasak yang diletakkan diatasnya tidak akan oleng . Secara analogis

orang Batak menyamakan dirinya sebagai bejana memasak (kuali atau peiuk) dan DNT

adalah tungku penopangnya. Dengan adanya tungku penopang itu maka diharapkan

13

Page 14: BAB I EDITAN

akan terjadi keseimbangan dalam struktur masyarakat. Tungku tersebut diharapkan

menjadi sumber solidaritas yang tidak terpadamkan dikalangan orang Batak Toba .

Bdk.Mgr.A.B. Sinaga OFM Cap, Dendang Bakti, Inkulturasi Teologi dalam budaya batak (Medan, Bina Media, 2009) hal 32

Bdk T.M. Sihombing, Filsafat Batak : tentang Kebiasaan adat Istiadat (Jakarta Balai Pustaka, 1996)

hal 71

Ibid., hal 72

DNT sebagai falsafah hidup dipahami sebagai dasar dan tali pengikat hubungan

kekeluargaan diantara tiga kelompok fungsional yang terdapat pada kalangan orang

Batak Toba. Ketiga kelompok itu ialah dongan sabutuha atau dongan tubu (teman

semarga), hula-hula (keluarga pihak istri atau menantu perempuan), dan boru (keluarga

pihak menantu laki-laki atau suami dari adik perempuan) .

Dalam kerangka pikir religius DNT mendasari dan menjiwai beberapa unsur

dalam konsep kepercayaan. Falsafah ini disebut dasar karena didalamnya terkandung

pengertian atau paham kosmos menurut orang Batak Toba yakni Benua Atas (Banua

Ginjang), Benua Tengah (Banua Tonga) dan benua Bawah (Banua Toru).

Selain itu DNT juga mengandung faham Batak akan trinitas Dewata yakni

Batara Guru, Mangala Bulan dan Bala Debata Sori. Dalam dunia magis para dukun

unsur trinitas DNT ini juga ditemukan dalam lonsep warna yang disebut dengan Bonang

Manalu .

2.2.2 Tritunggal Mulajadi Na Bolon

Sebelum DNT ada sebagai suatu konsep filosofis, suku Batak telah percaya akan

14

Page 15: BAB I EDITAN

adanya Tuhan Yang Maha Esa yang disebut dengan nama Debata Mulajadi Na Bolon.

Debata Mulajadi Na Bolon adalah Debata yang tidak bermula dan Dialah “Allah” yang

maha besar dan maha mutlak. Dialah asal segala-galanya .

Dialah Dewata tertinggi yang dipercayai oleh orang Batak. “Allah” yang

Ibid., hal 73

Diktat mahasiswa STFT, Pematang Siantar ( Mata Kuliah Allah Trinitas,2001)

Bdk.Tampubolon, Op.cit., hal 13.

diyakini oleh orang Batak Toba direpresentasikan dalam paham trinitas DNT. “Allah”

tersebut memiliki tiga pribadi menurut fungsinya yang bersatu dalam nama Mulajadi na

Bolon.

Pribadi pertama adalah Debata Batara Guru. Debata Batara Guru diyakini

sebagai sumber segala kebijaksanaan dan misteri (hahomion). Dalam diri Batara Guru

“Allah” merepresentasikan pancaran kuasa kebijaksanaan. Semua yang ada adalah

melalui Batara Guru dan justru Batara Gurulah kebijakan itu (idea) .

Pribadi kedua adalah Debata Sori Sohaliapan . Debata Sori Sohaliapan yang

diyakini adalah wujud kuasa kesucian dan kuasa kebenaran dan sekaligus sebagai

hukum kesucian dan hukum kebenaran. Dalam keyakinan orang Batak Toba, konsep

Debata Sori Sohaliapan dipertentangkan dengan kesalahan.Ide ini muncul dari

keyakinan bahwa kesalahan dilihat sebagai dosa.

Pribadi ketiga adalah Debata Bala Bulan atau Mangala Bulan atau Bane Bulan.

Unsur ketiga Debata ini diyakini sebagai sumber yang memancarkan kekuatan.

2.2.3 Tritunggal Dongan Tubu, Hula-Hula dan Boru

15

Page 16: BAB I EDITAN

Yang dimaksud dengan dongan tubu atau dongan sabutuha ialah kerabat

semarga. Dengan istilah teman semarga orang Batak Toba mengalami suatu citarasa

persaudaraan dan solidaritas antar semarga. Persaudaraan yang dimaksud akan semakin

Dj. Gultom Raja Matpodang, Dalihan Na Tolu :Nilai Budaya Suku Batak (Medan, Armada, 1992) hal 54

Bdk. Sinaga, “Daya Ikat Perkawinan Batak Toba” hal 2. dan juga Bdk.Tampubolon, op.cit.,

hal 35

semarga. Dengan istilah teman semarga orang Batak Toba mengalami suatu citarasa

persaudaraan dan solidaritas antar semarga. Persaudaraan yang dimaksud akan semakin

terasa apabila semakin jauh dari kampung halaman. Kesamaan marga itu membuat

relasi personal antar mereka akan semakin terjalin akrab dan mengikat.

Hula-Hula adalah pihak / asal mempelai wanita. Sementara itu boru adalah

kelompok marga penerima mempelai wanita. Ketiga sendi itu direpresentasikan dalam

diri ketiga dewata yang tersebut diatas. Batara Guru adalah representasi hula-hula, sori

sohaliapan adalah representasi dongan sabutuha dan Bala Bulan adalah representasi

boru .

Masyarakat Batak Toba sangat memegang prinsip adatnya dalam relasi antar

ketiga sendi ini. Orang Batak mendirikan suatu falsafah atau norma yang mengatur

relasi-relasi tersebut. Orang Batak mengatakan bahwa setiap orang harus berhati-hati

dan bijaksana terhadap saudara semarga, bersikap membujuk terhadap pihak boru dan

bersikap menyembah terhadap hula-hula . Diyakini bahwa harmoni hidup antara

orang-orang Batak Toba akan tercapai apabila kesatuan dan relasi antara ketiga sendi ini

dijaga, dipelihara dan dihidupi dengan baik dalam praksis hidup orang Batak Toba.

16

Page 17: BAB I EDITAN

Sebagai saudara semarga (mardongan tubu) seorang Batak Toba harus bersikap manat

(hati-hati) dalam setiap hidupnya. Manat mardongan tubu, merupakan dasar relasi antar

semarga dalam keluarga batih (inti). Persaudaraan semarga ini diyakini akan mencapai

. Kertas Kerja mahasiswa STFT (Gereja dalam masa transisi) Pematang Siantar, 2001

Wawancara dengan bapak M.T.Simamora (19 Maret 2010).”Manat mardongan tubu, elekmarboru, somba marhula-hula relasi yang harmonis apabila setiap orang saling mengerti, bijaksana dan penuh dengan

kehati-hatian. Kendatipun demikian untuk menciptakan suatu persaudaraan yang utuh

dan terpadu orang Batak Toba tidak mengelakkan kemungkinan bertengkar atau

berselisih. Perselisihan kadang-kadang dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan

mungkin penting. Prinsip dasar yang diyakini bahwa mardongan tubu diandaikan

seperti air yang tidak terpisahkan. Yang semarga sama seperti air yang dipenggal .

Somba marhula-hula. Pihak boru harus menghormati (somba) hula-hulanya .

Penghormatan ini didasarkan pada keyakinan bahwa hula-hula menghadirkan “Allah”.

Hula-hula disebut sebagai “Debata” yang nampak. Hula-hula dianggap sebagai wakil

Tuhan .

Relasi dengan hula-hula diatur dengan norma yang ketat. Seorang boru harus

bersikap sopan dan hormat. Cara bicara dan pola tingkah laku terhadap hula-hula sangat

berbeda bila dibandingkan dengan relasi kepada dongan tubu. Sikap ini didasarkan pada

keyakinan bahwa hula-hula merupakan representasi Debata yang menyampaikan rahmat

dan berkat kepada borunya .

Elek marboru adalah falsafah hidup pihak hula-hula kepada borunya. Hula-hula

sebagai pemilik sahala (roh-kekuatan magis) harus menunjukkan sikap mengayomi,

17

Page 18: BAB I EDITAN

mengerti dan membujuk (mangelek) borunya. Hula-hula harus mampu menunjukkan

dirinya sebagai saluran rahmat. Ia akan menjadi peneguh dan pemulih semangat apabila

Sihombing, Op.cit., hal 74”tampulon aek do namar sabutuha”.

Ibid., hal 76

Ibid., hal 76

terjadi bencana dipihak boru. Walaupun demikian, pihak boru dengan segala

kerendahan hati seharusnya memberi pendapat dan kebijakan-kebijakan apabila terjadi

percekcokan dikalangan hula-hula .

2.3 Adat Perkawinan Batak Toba

Tujuan yang hendak dicapai dalam bagian ini adalah untuk mencari dasar

intrinsik perkawinan hingga akhirnya manusia Batak Toba dinilai sempurna sebagai

manusia. Paham yang dihidupi oleh masyarakat Batak Toba ialah bahwa perkawinan

merupakan salah satu pilar yang menentukan manusia Batak Toba sebagai manusia.

Penilaian orang Batak Toba menimbulkan kesan bahwa perkawinan itu sebagai sesuatu

yang mutlak. Orang Batak akan merasa dirinya bukan manusia Batak apabila ia tidak

menikah atau kalau ia menikah tetapi tidak berketurunan. Karena itu keturunan dalam

perkawinan sangat didambakan dan hal itu menjadi tujuan perkawinan .

2.3.1 Dimensi Pribadi Dalam Adat Perkawinan Batak Toba

Proses yang ditempuh sebelum terkadinya suatu perkawinan resmi melalui

beberapa tahapan, yakni : tahap saling mengenal (martandang), tahap menentukan

pilihan, tahap pertunangan dan akhirnya tahap akad nikah .

18

Page 19: BAB I EDITAN

Ibid., hal 7

Wawancara dengan bapak M.T.Simamora (tgl 13 Maret 2010)

Bdk.Sinaga,”Daya Ikat Perkawinan Batak Toba”, hal 41-42

Tahap martandang adalah suatu proses perkenalan antara seseorang pemuda

dengan seorang pemudi yang selalu dimulai dengan pertanyaan tentang marga dan

susunan kekerabatan. Perkenalan tersebut biasanya terjadi dalam suasana gembira

dengan berbagai acara permainan adu pantun, bernyanyi atau hanya berbincang-bincang

saja namun tetap dalam pengawasan tak langsung pemilik rumah partandangan .

Dapat dimengerti bahwa kesempatan martandang memberi akses bagi seorang

pemuda untuk mengenal cukup banyak gadis pada beberapa kelompok gadis dan pada

beberapa kampung. Dengan demikian pilihan cukup luas dan seseorang dapat menguji

kesungguhan cinta pribadi dan kecocokan. Karena itu dimensi kebebasan pribadi dalam

hal menentukan pilihan sangat dimungkinkan .

Tahap selanjutnya ialah menentukan pilihan. Pada tahap ini prakarsa orang tua

sudah mulai dilibatkan. Sebelum seorang pemuda menentukan pilihannya, orang tua

dengan beberapa kerabat dekat sudah menentukan calonnya, yakni pariban (putri

saudara ibu). Bila pariban tersebut bersedia padahal sang pemuda tidak bersedia, maka

ia harus lebih dulu permisi kepada orang tua sang putri untuk menentukan pilihannya

.Pada tahap ini pihak orang tua tetap menghargai pilihan pribadi sianak.

19

Page 20: BAB I EDITAN

Martandang secara harafiah dapat meninggalkan kandang sendiri untuk memasuki kandang

orang lain. Secara khusus martandang diartikan : mengunjungi seseorang kerumahnya untuk

berbincang-bincang, bersenang-senang dan tidak selalu karena urusan penting. Bdk. Hutagalung, op.cit.,

hal. 123

Bdk. Ibid., hal.124

)37 Bdk. Sinaga,”Daya perkawinan Batak Toba”, hal 22

Bdk. Hutagalung, op.cit., hal 134-135

Setelah beberapa tahap penentuan pilihan maka langkah selanjutnya ialah tahap

pertunangan dan akhirnya akad nikah. Pada tahap pertunangan peranan seorang domu-

domu (penghubung) sangat penting. Penghubung tersebut menyampaikan kesepakatan

kedua calon kepada pihak orang tua putri dan sekaligus menyampaikan peminangan.

Apabila peminangan tersebut diterima maka urusan selanjutnya adalah tanggung jawab

pemuda pemudi tersebut. Akhirnya mereka saling memberikan tanda ikatan dengan

disaksikan oleh beberapa teman .

Praktek yang dijalankan menuju jenjang perkawinan dilimpahkan kepada kaum

muda. Dengan ini yang mau dikatakan adalah bahwa tanggung jawab dan penentuan

pilihan pribadi untuk suatu status hidup perkawinan berada ditangan para calon

mempelai. Peranan pribadi para calon mempelai tidak diremehkan dalam seluruh

dimensi perkawinan. Dengan demikian calon istri atau calon suami mempunyai hak

prerogatif untuk menentukan pilihan dan masa depannya. Akan tetapi perlu dicatat

bahwa meskipun mereka memiliki hak prerogatif sang calon suami atau istri juga harus

tetap memperhatikan aspek pilihan pribadi dengan aspek keselarasan dalam keluarga .

Terjadinya tahapan diatas merupakan indikasi bahwa perkawinan yang terjadi

dikalangan kaum muda Batak Toba berlangsung dalam suasana kebebasan pribadi tanpa

harus ada campur tangan orang tua untuk menentukan calon mempelai.

20

Page 21: BAB I EDITAN

Bdk. Ibid., hal 140

Bdk. Sinaga,”Daya Ikat Perkawinan Batak Toba”, hal 42

2.3.2 Dimensi Sosio Kosmologis Dalam Adat Perkawinan Batak Toba.

Yang dimaksud dengan dimensi sosio-kosmologis ialah keterlibatan unsur-unsur

sosial yakni ketiga unsur kemasyarakatan DNT, keluarga besar, roh nenek moyang dan

unsur ilahi dalam proses perkawinan. Dalam paham kepercayaan tradisional Batak Toba

dimensi sosio kosmologis perkawinan tersebut meliputi ikatan hula-hula dengan boru,

ikatan marga dan dimensi kosmis perkawinan .

2.3.2.1 Ikatan Hula-hula Dengan Boru

Apabila sepasang muda-mudi telah sampai pada suatu konsensus untuk menikah

maka langkah selanjutnya menjadi urusan orang tua masing-masing calon mempelai.

Pernikahan itu disetujui, di saksikan dan di ikat pada sifat monogami, yaitu setia sampai

mati dan tak terpisahkan. Pihak-pihak yang berperanan dalam hal ini ialah hula-hula /

tulang sihabolonan- mertua pengantin pria, paman (tulang) pengantin pria,dan sijalo

todoan dan paranak. Persetujuan, penyaksian dan daya ikat perkawinan dari keluarga

dekat dirasa sangat kuat sehingga maknanya melebihi meterai administrasi apapun.

Uskup Anicetus Sinaga mengatakan bahwa persetujuan, penyaksian dan pengesahan

21

Page 22: BAB I EDITAN

mereka mendapat meterai pada waktu para saksi menerima jambar yakni jambar

juhut dan jambar sinamot

Sinaga. Ibid ., hal 43-45

Bdk. Sihombing, op.cit., hal 23

Seluruh pribadi, jiwa dan badan terikat dan tersahkan. Urusan perkawinan suatu

pasangan bukan lagi “suami istri” melainkan seluruh anggota kedua keluarga secara

keseluruhan. Maka dengan itu prokreasi sebagai tujuan perkawinan bukan saja

dilaksanakan sepasang mempelai melainkan oleh pasangan hula-hula dan boru .

2.3.2.2 Keterlibatan dan Keterikatan Marga

Bagi orang Batak Toba perkawinan bukan hanya perpanjangan antara boru dan

Hula-hula melainkan juga semakin meluasnya dua marga yang berbeda. Perkawinan

dilihat sebagai suatu pelestarian sistim marga sebagai hasil dari penyatuan antara boru

dan hula-hula. Dalam arti yang lebih menyeluruh perkawinan dan daya ikatnya dihayati

menyangkut seluruh marga dan bertujuan melanjutkan kesuburan seluruh marga .

Perkawinan tersebut pada suatu saat akan menciptakan suatu jalur baru dari

seorang perempuan. Maka perempuan inipun kelak akan dianggap sebagai seorang

leluhur perempuan yang telah membangun suatu mata rantai akan keturunannya dengan

mereka yang berasal dari kelompok agnata (hula-hula) dari mana perempuan itu

dilahirkan. Pihak hula-hula ini dianggap sebagai bona ni ari (permulaan dari hari-hari)

akan tetap diikat oleh perkawinan terdahulu. Mereka, bona ni ari ini harus selalu

dihormati dan dimohonkan berkat .

22

Page 23: BAB I EDITAN

Bdk. Sinaga. Op. cit., hal 43

Bdk.Sihombing. op. cit., hal 25 (jambar hata)

Wawancara dengan bapak M.T. Simamora tgl 19 maret 2010

2.3.2.3 Dimensi Kosmis Dalam Adat Perkawinan

Dimensi kosmis dalam bagian ini tampak dalam peristiwa mangulosi (memberi

selandang). Ulos (selendang) yang diterima dalam acara perkawinan mempunyai makna

ritual yang mempunyai arti penyerahan, penggiatan dan penyucian daya kesuburan

kosmis kepada penerimanya. Pada waktu ulos diterimakan, permohonan dipanjatkan

dalam bentuk pantun yang isinya menyangkut kesuburan manusia dan alam. Bapak

Simamora mengatakan bahwa ulos yang diterima oleh kedua mempelai bermakna

kesuburan bagi perkawinan manusia dan juga pada kesuburan kosmis (hewan dan

tumbuh-tumbuhan). Semoga kalian mendapat putra dan putri, semoga berbiaklah ternak

dan panen pun melimpah . Ide yang sama muncul dalam bait-bait pantun lainnya yang

biasa dilantunkan pada waktu pesta pernikahan. Sihombing mencatat beberapa pantun

yang memuat ide tentang kesuburan kosmis dan manusia.

Pohon tambinsu berdaun rimbun

Pohon nangka bakal berbuah

Semoga lahirlah putra yang bijak

Demikian juga putri yang berhati lembut.

Bintang yang bertaburan

Embun yang menyelimuti

23

Page 24: BAB I EDITAN

Semoga lahirlah putra berturut

Bdk. Sihombing op.cit., hal 30,

Wawancara dengan Bapak Simammora

Demikian juga banyak putri .

Dalam beberapa untaian pantun diatas baik Simamora maupun Sihombing

menyebutkan beberapa unsur dari kosmis yakni, manusia, hewan dan tumbuh-

tumbuhan, cuaca dan benda-benda langit yang semuanya memberi arti bagi perkawinan

tersebut.Dengan menyebutkan unsur-unsur kosmis tersebut terbersitlah ide Batak Toba

tentang harmoni alam yang dilambangkan oleh pemberian ulos tersebut.

Disini jelas tertemukan adanya kesinambungan orde dan kesuburan insani, flora

dan fauna yang secara simbolis dilambangkan dengan ulos yang diberikan pada

kesempatan pesta perkawinan tersebut.

2.3.3 Dimensi Ilahi Adat Perkawinan

Dalam jenjang peristiwa-peristiwa seluruh proses perkawinan kehadiran seorang

datu (imam, dokter, ahli dan shaman dalam satu pribadi) sangat dibutuhkan. Jasa

seorang datu sungguh diperlukan untuk merestui, memberi berkat, penyaksian dan

pengesahan serta jaminan kesatuan dan kesuburan sebuah perkawinan. Disini

tertemukan ide kepercayaan masyarakat Batak Toba bahwa restu, kesaksian dan ikatan

tidak hanya terbatas dari pihak manusia dan orde kosmis melainkan juga dari “Allah”

Sihombing, op.cit., hal 170

24

Page 25: BAB I EDITAN

Marbulung ma tanbinsu Marjengga-jengga ma pinasa Tubu ma anak na bisukDohot boru na uli basa

Bintang na rumiris Ombun na sumorop Anak pe riris Boru pe torop

sendiri. Dengan demikian segala konsekwensi yang terjadi dalam perkawinan

dipertanggungjawabkan kepada otoritas “Allah” yang memberi berkat tersebut .

2.3.4 Perkawinan Dan Kelanjutan Silsilah

Pada hakikatnya perkawinan dikalangan orang Batak Toba bersifat Patrilinear.

Tujuannya ialah untuk melestarikan jalur suami dalam garis keturunan kaum lelaki .

Maka konsekwensi dari adat perkawinan ini ialah keturunan laki-laki mutlak ada dalam

setiap perkawinan. Akan terasa berat bagi seorang Batak Toba apabila perkawinannya

tidak membuahkan anak laki-laki yang akan menyambung silsilah dari ayahnya.

Apabila seorang suami meninggal tanpa meninggalkan keturunan laki-laki, biasanya

janda yang ditinggalkan akan dinikahkan pada adik atau salah seorang keluarga dekat

almarhum. Tujuannya ialah selain untuk menghindarkan kesulitan ekonomi tetapi

terutama agar suami yang telah meninggal itu memiliki keturunan laki-laki. Maka hal

itu sesuai dengan prinsip perkawinan Batak Toba bahwa seorang wanita melahirkan

seorang anak untuk suami yang sah .

Selain untuk melanjutkan silsilah, sehubungan dengan kepercayaan akan roh.

Orang yang mempunyai keturunan laki-laki yang banyak dianggap lebih bertuah. Orang

Batak Toba mewarisi suatu keyakinan dari nenek moyangnya yang mengajarkan bahwa

apabila seseorang yang mempunyai banyak keturunan laki-laki meninggal, maka relasi

25

Page 26: BAB I EDITAN

Bdk.Sinaga ,”Daya Ikat Perkawnan Batak Toba”, hal 45-46

Wawancara dengan Bapak MT Simamora tgl 19 Maret 2010

Bdk. Siahaan, Sejarah Kebudayaan Batak hal 79-80

dengan keluarga yang masih hidup akan tetap terjalin. Akibatnya ialah martabat roh itu

semakin terangkat di antara roh-roh yang menghuni “dunia lain“ itu. Sebaliknya

seorang yang tidak berketurunan atau seseorang yang hanya memiliki keturunan

perempuan meninggal maka diyakini roh itu akan kesepian. Ia akan kesepian karena

tidak ada orang yang menghormatinya, misalnya melalui sajian. Sekiranyapun ia

memiliki perempuan toh akhirnya akan masuk ke marga yang lain .

Bagi kalangan orang Batak Toba perkawinan yang tidak menghasilkan

keturunan atau hanya menghasilkan keturunan perempuan dianggap sebagai orang yang

sial. Orang Toba menyebut orang yang demikian sebagai orang yang tidak berguna

(naso hasea), punah (punu) dan sirna (pupur). Disebut tidak berguna apabila seorang

dari pasangan perkawinan itu mandul. Bagi seorang yang meninggal sebelum

berketurunan kendatipun sebenarnya ia subur disebut punah. Sementara seorang yang

meninggal dan berketurunan namun hanya perempuan saja disebut sirna .

26

Page 27: BAB I EDITAN

Bdk. Ibid., hal 45-46

Bdk. Sihombing. Jambar Hata: Dongan Tu Ulaon Adat (Jakarta: Tulus Jaya,1989) hal 215-

223

BAB IIISELIBAT DALAM GEREJA KATOLIK

Hidup tidak menikah atau selibat seringkali menjadi bahan pembicaraan atau

diskusi yang menarik diantara imam maupun umat sendiri. Selain diskusi tentang

pendalaman, pemahaman dan pengertian tentang hidup selibat, juga muncul diskusi

yang berorientasi pada sikap anti dan menolak. Banyak orang yang mempertanyakan,

”Mengapa para imam Katolik itu tidak menikah atau hidup selibat”? Pertanyaan dan

sikap menolak itu juga hidup dikalangan orang Batak Toba, terutama umat Katolik dan

orang-orang yang begitu menghargai adat dan kebudayaannya sendiri.

Barangkali diskusi serta munculnya sikap anti atau menolak status hidup selibat,

khususnya bagi para imam disebabkan oleh kurangnya pengertian dan pemahaman

tentang selibat tersebut. Atau barangkali karena ajaran Gereja sendiri tentang tema

selibat ini belum sampai secara jelas dan terang untuk banyak orang.

Topik selibat dan imamat merupakan pembahasan yang luas. Oleh karena itu

langkah-langkah yang hendak ditempuh dalam pembahasan ini akan diuraikan dengan

27

Page 28: BAB I EDITAN

lebih sederhana. Penulis membatasi diri untuk tidak membahas semua unsur dalam

selibat imam Katolik tetapi lebih melihat apa itu status selibat dan nilai apa yang

terkandung didalamnya sehingga ia menjadi norma yang mengikat dalam jabatan

imamat.

3.1 Pengertian Selibat

3.1.1 Pengertian Secara Etimologis

“Hidup Selibat” atau “Hidup tidak menikah” merupakan perkembangan gagasan

dari praktek “pantang seksual” atau “tarak seksual”, yakni seorang suami tidak

melakukan hubungan seksual dengan istri selama waktu tertentu karena alasan tertentu.

Secara etimologis kata selibat berasal dari bahasa Latin : Caelebs, ibis yang berarti

“tidak kawin”, “perjaka” atau “duda” . Dengan kata lain, istilah tersebut menunjuk

pada situasi seorang pria yang tidak terikat dalam hubungan berkeluarga, entah karena

kehendak sendiri maupun karena terpaksa oleh keadaan .

Paham tidak menikah tersebut semakin lama semakin berkembang. Dalam

prakteknya, paham tidak menikah tersebut sering dihubungkan dengan upacara religius,

misalnya dalam pranata hidup para imam dalam Gereja Katolik .

Disebut “pantang seksual” atau “tarak seksual” karena pelaku (subjek) adalah

seorang yang telah berkeluarga dan mempunyai istri. Akan tetapi karena alasan khusus

sisuami dapat dengan izin istri berpantang atau tidak melakukan hubungan seksual

untuk waktu tertentu.

28

Page 29: BAB I EDITAN

Bdk. K. Prent et al., Kamus Latin – Indonesia (Yogyakarta : Kanisius,1969) hal.103.

Bdk. St. Darmawijaya, Hidup Murni : Budaya Indonesia dan Tradisi Kitab Suci (Yogyakarta : Kanisius,1987) hal.12-13

Bdk. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta, Erlangga 2003

3.1.2 Pengertian Secara Katolik

Dalam Gereja Katolik paham selibat memiliki arti yang khusus dan khas, yang

lebih dari sekedar “tidak menikah” atau “pantang seksual” (bertarak seksual) untuk

beberapa waktu (sementara). Praktek “hidup selibat” diartikan sebagai “suatu status

hidup dimana para imam tidak menikah secara permanen”, bukan hanya terbatas pada

pantang atau bertarak seksual. Selain pengertian selibat diatas juga dimengerti bahwa

orang yang berpantang itu dengan status perkawinan sedangkan “berpantang permanen”

tidak terikat dalam suatu status perkawinan .

Berpantang permanen merupakan terjemahan dari kata Continentia Perfecta.

Status tersebut kemudian menjadi ketentuan kanonik dalam Gereja Katolik Roma.

Bertarak sempurna menjadi mutlak karena alasan mau mengabdi Allah secara total

dalam jabatan sebagai imam. Pemutlakan motivasi ilahi dari selibat menjadikan status

dikukuhkan, khususnya bagi para gembala, pemelihara jiwa-jiwa dalam Gereja Latin

maupun Gereja Timur .

Al. Bagus Irawan, MSF.”Seks, Selibat dan Persahabatan sebagai Karisma”

(Jakarta:Obor – 2009), hal 1-2

29

Page 30: BAB I EDITAN

Ibid, hal 1-2

3.1.3 Seputar Istilah Yang Dipakai

Ternyata ada banyak istilah yang dipakai untuk mengungkapkan arti status

“hidup tidak menikah” ini. Dari banyak istilah yang dipakai secara umum Nampak

artinya sama namun nuansa perbedaan tetap bisa dilihat.

Istilah yang lazim dipakai untuk mengungkapkan arti status “hidup tidak

menikah” ini ialah “selibat” sebagaimana diterangkan diatas. Selain itu lazim juga

dipakai istilah “keperawanan”. Istilah ini pertama-tama menunjuk pada status

seksualnya masih utuh dan belum dicemari oleh hubungan kelamin. Dalam bahasa Latin

disebut Virginitas yang mempunyai kadar dan pola pemikiran yang sama dengan

keperawanan .

Dalam lingkungan masyarakat Jawa ada istilah wadat yang sering juga dipakai

untuk mengungkapkan status hidup tidak menikah. Nampaknya kata ini berasal dari

bahasa Arab . Namun makna yang hendak diungkapkan dengan kata ini lebih

menunjuk pada status “sendiri”, “sifat mandiri” dan tidak ada hubungan dengan orang

lain.

Istilah “hidup murni” lebih menunjuk pada keaslian (tulen) yang belum ditandai

oleh ikatan perkawinan. Istilah ini dapat dikenakan pada pria dan wanita untuk

menunjuk sifat keasliannya. Ibarat emas, perak atau benda lainnya dapat disebut murni

30

Page 31: BAB I EDITAN

bila orang tanpa ragu menyebut keasliannya. Demikian halnya dengan pikiran. Hati dan

perasaan yang tulus kerapkali disebut murni.

Bdk. Darmawijaya, Op.cit,. hal 13

Imam dalam Pemikiran Aneka Suku (kertas kerja STFT, Pematang Siantar 2001)

3.2 Alasan-alasan Selibat Imam Katolik

3.2.1 Demi Kerajaan Allah

Konsili Vatikan II dalam dekrit PO, no.16 ”lebih mudah terpaut kepada Allah

dengan hati yang tak terbagi,lebih bebas dalam Kristus dan melalui Dia

membangkitkan diri dalam pengabdian kepada Allah dan sesama” menegaskan bahwa

diantara nasehat-nasehat Injili yang berdasarkan rahmat ilahi, selibat atau keperawanan

adalah suatu jalan yang lebih mudah untuk membaktikan diri seutuhnya kepada Allah

dan dengan hati tak terbagi. Dekrit ini menandaskan bahwa motivasi selibat ialah demi

Kerajaan Allah. Tarak sempurna demi Kerajaan Allah ini sangat dihargai oleh Gereja

secara istimewa sebagai tanda dan dorongan cinta kasih dan sebagai sumber kesuburan

rohani yang luar biasa didunia .Sebagai salah satu nasehat Injili untuk mencapai

kesucian Gereja, selibat dianggap oleh Bapa-bapa Konsili sebagai rahmat spiritual

khusus yang diberi kepada para imam. Dengan selibat tersebut para imam dapat

memberikan dirinya secara menyeluruh kepada pelayanan akan Kristus demi pewartaan

Kerajaan Allah didunia .

Status hidup tidak menikah sebagai pilihan dan sekaligus sebagai ketentuan

kanonik didorong oleh keyakinan akan Kerajaan Allah yang kian mendekat (Mat19: 12)

.

31

Page 32: BAB I EDITAN

Bdk. PO. No. 16.Dekrit ini begitu hati-hati untuk tidak mengatakan suatu monopoli pelayanan Kerajaan Allah dan keputraan Allah yang dialami dengan selibat. Karena itu berkali-kali disebutkan kata “lebih mudah”, ”lebih bebas”,“lebih tepat guna”. Dalam hal ini para imam menjadi saksi relasi yang berkaitan dengan pengantin diantara Kristus dan Gereja-Nya, dengan imam dan kasih telah dihadirkan dimana anak-anak kebangkitan tidak menikah ataupun mengambil istri-istri. Bdk. LG. no 42

Meninggalkan Keluarga Demi Kerajaan Allah (Diktat STFT, Pematang Siantar, 2001)

Bdk. PO no.16

Dalam hal ini selibat dianggap sebagai jawaban dari seseorang yang ditangkap oleh

misteri Kristus dengan misi-Nya didunia yang dimengerti dalam perspektif Kerajaan

Allah atau Kerajaan Surga yang ditemukan dalam konsep biblis .Salah satu alasan

teologis tentang pentingnya status hidup selibat adalah misteri Kristus sebagai dasar

tertinggi yang mendorongnya. Sambil mengutip perikop Yoh 1:13, para Bapa Konsili

mengaitkan misi Kristus dalam hal Kerajaan Allah tersebut dalam hidup keperawanan-

Nya. Dalam usaha mencapai tujuan terwujudnya Kerajaan Allah tersebut para Bapa

Konsili melihat caranya dalam status hidup Yesus yang tetap perawan .

3.2.2 Mengikuti Kristus Secara Total

Ide tentang selibat sebagai jalan untuk mengikuti Kristus secara total dapat

dilihat dalam butir-butir ajaran PO,no.16, walaupun tidak selalu secara eksplisit

disebutkan. Para rasul dipanggil untuk mengikuti dan untuk bersatu dengan Kristus

secara total. Sebagai pengganti para rasul, para imam pada masa kini adalah instrumen

Kristus Sang Imam Abadi. Oleh karena itu para imam mempunyai model dan ideal

langsung dalam diri secara total kepada kehendak Bapa-Nya. Melalui selibat sebagai

pemberian diri secara total para imam bertindak sebagai saksi bahwa Kristus adalah

nilai tertinggi. Dengan memeluk selibat artinya seorang imam menunjukkan pilihan

32

Page 33: BAB I EDITAN

akan Kristus sebagai nilai tertinggi dan permanen sehingga nilai-nilai lain

dikemudiankan.

Pendapat tersebut diatas lebih menekankan penyerahan total sebagai syarat

Meninggalkan keluarga demi Kerajaan Allah (Diktat STFT Pematang Siantar, 2001

Allah Trinitas ( Diktat STFT Pematang Siantar, Teologos)untuk mengikuti Kristus. Beliau mengatakan bahwa Yesus Kristus menuntut syarat-

syarat yang sedemikian keras dari para pengikut-Nya, terutama mereka yang menjadi

rasul-rasul-Nya. Yesus menuntut ‘lebih’ dari mereka yang dipanggil-Nya secara khusus

untuk mengikuti-Nya sebagai rasul. Petrus, Andreas, Yakobus dan Yohanes

meninggalkan segalanya untuk mengikuti Kristus (Mrk 1:16-20). Secara implisit

Garrone menunjukkan bahwa meninggalkan segalanya demi mengikuti Kristus secara

total juga mencakup meninggalkan hak untuk status hidup menikah. Garrone

menambahkan bahwa rasul Paulus, yang secara pribadi menghidupi radikalisme

pewartaan, menganggap bahwa selibat adalah rahmat ilahi yang dengan hati yang tak

terbagi, total dan menyeluruh, seseorang dapat mengabdi Allah dengan lebih baik .

3.2.3 Pelayanan Kepada Allah dan Cinta Kegembalaan

Dalam suratnya kepada jemaat dikorintus Santo Paulus sudah mengingatkan

bahwa orang yang tidak menikah dengan mudah dapat memusatkan perhatian kepada

Tuhan dan dengan status itu ia semakin dapat menyenangkan Tuhan (1Kor 7:32-35). Ide

yang kurang lebih sama juga disampaikan oleh Bapa-bapa Konsili Vatikan II dalam

dekrit PO,no.16. Butir –butir dalam dekrit ini menyebutkan bahwa status selibat

berhubungan erat dengan cinta kasih kegembalaan. Penghayatan akan status hidup

selibat demi Kerajaan Allah menjadikan para imam. Dalam kerangka tugas pastoral,

33

Page 34: BAB I EDITAN

selibat membuat pelayanan para imam lebih lancar. Penghayatan atas status selibat ini

membuat seseorang menyerahkan seluruh hidupnya demi pelayanan kepada Allah dan

manusia dengan hati yang tak terbagi dalam cinta kasih kegembalaan .

Meninggalkan keluarga demi Kerajaan Allah, Op.cit., hal 4

Ibid.,

3.3 Dimensi Dogmatis Selibat

3.3.1 Dimensi Religius

Manusia Yesus tidak menikah. Hal itu terjadi bukan demi kepentingan pribadi

yang sifatnya sederhana tetapi demi Kerajaan Allah dimana Dia sendiri ada untuk

sesama-Nya. Yesus memasuki suatu pernikahan yang bersifat perawan dengan Gereja

sebagai mempelaiNya (Ef 5:23), namun seringkali terjadi bahwa kedatangan Yesus

kedunia ini ditafsirkan secara sosial politis ekonomis. Pernikahan Yesus dengan

GerejaNya menjadi petunjuk bahwa kerajaanNya bukan dari dunia ini. Dengan itu

sekaligus ingin disampaikan nilai transenden yang menjadi dasar hidupNya dan untuk

itu Ia menyerahkan dan mengurbankan segala-galanya.

Aspek selibat yang dibeberkan disini harus dipandang dari sudut manusia Yesus,

dan bukan tafsiran atas keputraanNya yang ilahi. Selibat Yesus harus dilihat sebagai

suatu peristiwa unik yang tidak dapat didasarkan pada selibat manusiawi. Inkarnasi

terutama mengungkapkan bahwa Yesus adalah Putra Allah dalam kemanusiaanNya.

Ke-Allah-an Yesus menjadi jelas hanya dalam cara bertindak satu pribadi yang Ia

hubungkan dengan BapaNya. Oleh karena itu sudah seharusnyalah bila selibat Yesus

diterangkan dalam perspektif kemanusiaanNya. Dengan kata lain, seharusnya status

34

Page 35: BAB I EDITAN

selibat Yesus dimengerti dalam aspek psikologis manusiawi dan nilai pengalaman

sebagai manusia. Selibat Yesus bukanlah suatu implikasi otomatis dari ke-Allah-an-

Nya, melainkan suatu panggilan yang dipilih dengan bebas dalam pengabdian dan

Bdk.Al.Bagus Irawan,MSF, hal113

pelayanan untuk perwujudan suatu nilai. Secara dogmatis harus dikatakan bahwa dalam

diri manusia yang adalah Putra Allah nilai absolut keilahian menginkarnasikan diri-Nya

sendiri dalam kehendak kemanusiaan-Nya, membentuknya dalam suatu hasrat

manusiawi untuk menyerahkan diriNya sendiri secara menyeluruh dan total demi nilai

absolut tersebut.Karena Allah telah memberikan diri-Nya sendiri kepada manusia

sebagai nilai tertinggi, demikian juga hidup kemanusiaan Yesus melakukan hal itu

dalam suatu cara yang khusus. Karena itu, dalam hidup-Nya, Yesus sebagai manusia

telah menunjukkan kepada kita bentuk hidup yang mungkin dan penuh arti untuk siapa

saja yang merasa dipanggil untuk menyerahkan dirinya sendiri secara menyeluruh

dalam suatu cara yang khusus demi nilai religius yang sama ini.

Selibat Yesus hanya dimengerti fenomenologis yang didasarkan pada nilai tinggi

perkawinan dan penilaian yang lebih tinggi atas nilai religius Kerajaan Allah yang mana

untuk itulah Yesus datang. Motif Kristologis adalah dasar yang nyata dan penuh arti

untuk selibat yang tidak memberikan diriNya dimitologisasi. Oleh hidup aktual, Yesus

sebagai manusia telah menunjukkan dengan nyata suatu kemungkinan terpanggil.

3.3.2 Dimensi Eklesial

Bapa-bapa Konsili dalam LG, no.5 mengatakan: “…Gereja, yang dilengkapi

dengan kurnia-kurnia pendirinya, dan yang dengan setia mematuhi perintah-

35

Page 36: BAB I EDITAN

perintahNya tentang cinta kasih, kehendak hati dan ingkar diri, menerima perutusan

untuk mewartakan Kerajaan Kristus dan Kerajaan Allah, dan mendirikannya ditengah

semua bangsa. Gereja merupakan awal benih dan awal mula kerajaan itu didunia.

Sementara itu Gereja lambat laun berkembang, mendambakan kerajaan yang sempurna,

dan dengan sekuat tenaga berharap dan menginginkannya, agar kelak dipersatukan

dengan raja-Nya dalam kemuliaan.”

Dengan kalimat diatas, Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium menunjukkan dua

motif untuk hidup selibat dalam gereja yakni demi Aku dan demi Injil . Dalam

rumusan tersebut dimunculkan aspek kesetiaan personal kepada Yesus Kristus dan misi

Apostolis. Inilah nilai-nilai religius fundamental gereja sebagai fungsi Kerajaan Allah.

Selibat kristiani mempunyai suatu sifat eklesial yakni melayani gereja. Gereja

menuntut dari setiap anggotanya untuk memperluas warta Kerajaan Allah dalam mana

mereka harus mengorbankan banyak hal untuk itu. Disinilah dilihat aspek selibat

sebagai suatu wujud ‘diakonia’ untuk gereja dan sekaligus menekankan persatuan

dengan Kristus. Pemimpin-pemimpin gereja yang diilhami secara kharismatis dengan

selibatnya diharapkan untuk tetap dalam pelayanan misi ganda yakni persatuan personal

dengan Kristus dan penyelamatan umat manusia .

Dalam hubungan dengan dimensi eklesial selibat, aspek peranan Maria juga

memberikan arti dalam motivasi .Dengan semangat konsili aspek peranan Maria

dimunculkan sebagai teladan bagi suatu motif eklesial yang benar. Maria memilih hidup

menjadi seorang perawan pertama-tama timbul karena persatuan yang personal dan

amat intim dengan putranya Yesus Kristus dengan segala tugas hidupNya. Bapa-bapa

konsili mengatakan bahwa Maria adalah model Gereja dan dia menunjukkan dengan

36

Page 37: BAB I EDITAN

Ibid.,hal 114

Ibid., hal115

Ibid., hal 116

benar dalam hidup aktualnya bentuk tertinggi kehidupan kristen. Walaupun secara

eksplisit barangkali pembenaran tidak selalu akurat, namun ingin dikatakan bahwa

dengan ini praktek selibat dapat dibenarkan dalam Gereja Purba pada dasar intuisi iman

kedalam arti hidup Yesus Kristus dan Maria.

3.3.3 Dimensi Eskatologis

Selibat mengarah kepada titik fokus dan memberikan daya dorong untuk cinta

imamat. Dengan itu selibat para imam dimungkinkan untuk menyempurnakan cinta

dalam satu jalan yang nyata untuk mengantisipasi hidup cinta masa depan dengan

Kristus yang bangkit .Dengan selibat, memeluk dan hidup dalam Kerajaan Surga,

seorang imam menjawab panggilannya untuk hidup meniru Kristus sebagaimana

Kristus sendiri telah mengantisipasi dunia yang akan datang melalui imam dan kasih.

Selibat sebagai suatu kurban merupakan suatu tanda pengharapan eskatologis, suatu

tanda profetis atas realitas yang akan datang yakni bila mana semua manusia yang

dipersatukan dengan Kristus oleh roh-Nya akan hidup hanya untuk memuliakan Allah

.Ide ini memuat makna antisipatif atas status tidak menikah dalam Kerajaan Surga

(Mat 22:30).Setiap orang kristen mempunyai suatu kewajiban untuk dipersatukan

dengan cinta Kristus dan menjadi saksi atas cinta tersebut. Karena itu hidup kristiani

sesungguhnya diresapi dengan suatu sifat eskatologis, dari kemartiran kepada hidup

religius, dari imamat kepada status perkawinan. Dengan itu ingin dikatakan bahwa

37

Page 38: BAB I EDITAN

selibat tidaklah suatu perbandingan atas sifat eskatologis pada imamat. Para imam

seharusnya telah memiliki sifat eskatologis ini dalam dirinya sebagaimana setiap orang

Ibid., hal 102

Allah Trinitas, Op.cit.., hal 32

Kristen dalam segala status dan panggilan yang lain memiliki sifat itu dalam dirinya

sendiri . Dalam hal ini selibat imamat menemukan fungsinya untuk menyelaraskan

dan menguatkan aspek eskatologis tersebut dan meningkatkan iman yang sepenuhnya

diserap dalam cinta sempurna Kristus yang bangkit.

3.4 Hubungan Hidup Selibat dengan Imamat

Hubungan antara selibat dan imamat tampak seluruhnya dengan lebih jelas

sebagai aspek Kristologis, Eklesiologis dan Eskatologis selibat dalam aspek

Kristologis, diyakini bahwa Kristus tersembunyi dalam keperawanan. Selain itu aspek

Eklesiologis menunjuk pada panggilan setiap imam, sama seperti panggilan setiap orang

kristen lainnya, untuk mencapai kesucian di dalam dan melalui Gereja. Aspek

Eskatologis selibat menunjuk pada jalan menuju kepemulihan terakhir dalam Kristus.

Sebab keperawanan adalah suatu tanda mengenal Kristus yang telah bangkit dan suatu

tanda pemulihan terakhir dalam Kristus .

Seorang imam adalah wakil yang menghadirkan pribadi Kristus. Dengan

tahbisannya ia diwakilkan untuk membangun umat Allah melalui pelayanan Sabda dan

Ekaristi untuk menunjukkan cinta persaudaraan dalam cara yang unik dengan muatan

sakramental .Undangan Yesus kepada para rasul untuk mengikutiNya dengan

konsekwensi meninggalkan segalanya merupakan jalan agar mereka

38

Page 39: BAB I EDITAN

Bdk, PO. No. 16

Bdk. LG. no 43

Imam tanda Kristus (Diktat STFT, Sinaksak)

Ibid (Diktat STFT,Pematang Siantar)

semakin dimampukan untuk layak pada kedatangan Kerajaan Allah kelak. Jawaban atas

undangan itu membuat para imam mempunyai kesempatan untuk memasuki persatuan

Apostolik dimana mereka dapat mengalami relasi interpersonal yang dalam dan kaya .

Selibat imam, sebagai wujud penyerahan total kepada Allah, adalah suatu

persatuan dalam selibat Kristus. Pembaharuan imamat Katolik dalam suatu

keikutsertaan yang intim dalam Kristus. Seorang imam yang sungguh-sungguh ambil

bagian dalam imamat Kristus Sang Penebus menemukan didalamnya suatu model dan

ideal tertinggi. Disini nampak bahwa kaitan antara selibat dan tahbisan suci ialah

menjadikan imam serupa dengan Yesus Kristus, kepala dan mempelai gereja.

Sebagaimana Yesus Kristus mengasihi gereja sebagai mempelai demikian juga kiranya

kasih imam kepada gereja secara menyeluruh dan eksekutif. Dengan kata lain, selibat

imam merupakan penyerahan diri dalam dan bersama Kristus kepada gereja, serta

mengungkapkan pelayanan imam kepada gereja dalam dan bersama Tuhan .

39

Page 40: BAB I EDITAN

Diktat STFT Pematang Siantar

Bdk PDV no 29

BAB IVKEDUDUKAN ORANG YANG HIDUP TIDAK MENIKAH

(SELIBAT) DALAM BUDAYA BATAK TOBA

4.1 Budaya Batak Toba

Berbicara tentang kebudayaan suatu bangsa tentulah merupakan suatu topik

yang sangat luas. Topik tersebut biasanya meliputi arti (hakekat), unsur, sejarah dan

sebagainya. Hal yang sama juga berlaku bagi budaya Batak Toba. Oleh karena itu,

untuk tidak masuk dalam pembahasan yang sangat luas penulis membatasi diri pada

beberapa unsur kebudayaan yakni Adat Batak Toba dan Sistim Kepercayaannya .

Tujuan yang hendak dicapai dengan pembahasan ini ialah untuk melihat dan

menganalisa elemen-elemen adat dan sistim kepercayaan Batak Toba sehubungan

dengan topik yang hendak dibahas dalam tulisan ini. Maka berikut ini penulis akan

membahas tiga pokok penting sebagai dasar penyelidikan, yakni adat dalam praksis

hidup orang Batak Toba, kepercayaan tradisional dan mitologi sebagai suatu kisah suci

tentang relasi manusia dengan yang ilahi dan seluruh alam ciptaan.

4.1.1 Pengertian Umum Adat Batak Toba

40

Page 41: BAB I EDITAN

Konsep adat dalam kerangka pikir Indonesia sangat berbeda artinya dari

pemahaman orang-orang eropa karena adat memiliki pengertian yang sangat khas untuk

Bdk. Nalom Siahaan, Sejarah Kebudayaan Suku Batak ( medan;C.V.Napitupulu) hal 21

masing-masing suku di Indonesia. Dalam sejarah kekristenan di Indonesia, secara

khusus di Tanah Batak yang dimulai oleh para misionaris barat terbukti bahwa adat

yang dihayati oleh suku-suku di Indonesia tampak berbeda dari pemahaman orang-

orang barat. Oleh karena itu, pengertian adat sangat sulit dipahami oleh para misionaris

yang datang ke Indonesia. Kata Costum (Inggris) tidak memadai sebagai terjemahan

kata adat .

Dalam konteks pemikiran dan penghayatan suku-suku di Indonesia, kata Adat

berasal dari kata Arab yang berakar pada kata ada, yang artinya berbalik kembali atau

datang kembali. Secara etimologis kata adat pertama-tama berarti peristiwa yang

berulang-ulang datang kembali atau yang secara teratur datang kembali. Dengan kata

lain adat berarti yang lazim, biasa atau kebiasaan. Dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia kata adat diartikan sebagai:

- aturan yang lazim dituruti atau dilakukan sejak dulu kala (misalnya dalam hal

pengaturan ahli waris)

- kebiasaan, cara yang menyangkut kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan

- wujud gagasan kebudayaanyang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum

dan aturan-aturan yang satu dengan yang lainnya berkaitan menjadi satu

sistim .

Dari pemakaian kata tersebut diatas kiranya dapat dikatakan bahwa kata adat

dan kebiasaan memiliki arti yang sinonim. Dari kedua kata tersebut dapat dibentuk dua

41

Page 42: BAB I EDITAN

Kamus Bahasa Inggris Jakarta Balai Pustaka 2009

Bdk. Tim Penyusun kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar

Bahasa Indonesia 2007

kata kerja mengadatkan yang sama artinya dengan membiasakan, yakni membuat

sesuatu menjadi kebiasaan atau menjadi adat. Dengan demikian kebiasaan dan

kelaziman yang tentu saja sesuai dengan norma dan karena itu diturun alihkan. Karena

itu adat atau kebiasaan memperoleh kedudukan (status) sebagai suatu yang mengikat

baik untuk suatu golongan tertentu maupun untuk perorangan didalam golongan

tersebut .

4.1.2 Arti Adat Dalam Praksis Hidup Batak Toba

Dalam praksis hidup orang Batak Toba kata adat juga diartikan sebagai ugari.

Tetapi dalam pemakaian sehari-hari pengunaan kata ugari tidak sesering kata adat.

Pemakaian kata adat ini tidak terbatas pada masyarakat pesisir dan suku Jawa yang

diislamkan tetapi pelan-pelan menerobos masuk kedalam suku bangsa purba.

Hutagalung berpendapat bahwa sebenarnya kata ugari dan adat memiliki kata yang

sama walaupun ugari masih dapatmenerima arti lain yang lebih sempit yakni isara

(cara) . Secara yuridis Hutagalung mengatakan bahwa adat dan ugari itu didasarkan

pada patik (perintah) yang ditetapkan oleh Allah yang disebut dengan nama Mulajadi

Na Bolon . Dikatakan bahwa adat adalah ugari suatu perjanjian yang didirikan, yang

seharusnya menjadi kebiasaan dalam hidup masyarakat Batak Toba. Adat yang lahir

dari perjanjian dengan Mulajadi Na Bolon berkembang menjadi undang-undang yang

42

Page 43: BAB I EDITAN

Bdk. Siahaan. Sejarah Kebudayaan …… hal 81

Kertas Kerja Mahasiswa STFT Pematang Siantar 2001 (Debata dalam pandangan Budaya

Batak Toba) Bdk. Ibid., hal 13

berdaya mengikat setiap orang Batak Toba yang dimatereikan dengan darah kurban.

Darah kurban sebagai meterai diharapkan menjadikan adat sebagai undang-undang

tetap, kokoh dan kuat .

Dalam konsep kepercayaannya, orang Batak Toba yakin bahwa adat adalah

manifestasi iman kepada Dewata tertinggi. Agar relasi dengan Dewata tertinggi

berlangsung baik, langgeng dan lestari, orang Batak Toba dan masyarakatnya harus

memperhatikan dan memelihara adatnya. Jika tidak akibatnya sangat buruk .

Pendapat yang lebih tegas disampaikan oleh Radja Patik Tampubolon dalam

Kitab Tumbaga Holing. Tampubolon mengatakan bahwa sebagai undang-undang, adat

dipahami dan dihayati sebagai patik (perintah) dan uhum (hukum). Adat Batak dapat

diidentikkan sebagai hidup bagi orang Batak, atau dengan rumusan lain dikatakan

bahwa didalam hukum itulah ada hidup bagi orang Batak. Karena itu manusia, orang

dan bangsa Bataklah yang menghidupi adatnya yakni adat Batak. Selanjutnya ia

menegaskan bahwa setiap orang, manusia dan bangsa Batak harus beradat Batak,

berpatik dan beruhum Batak karena itulah hidup dan kerja Batak. Maka harus dikatakan

bahwa perintah tak boleh diingkari dan hukum tak boleh diubah begitu saja. Kebalikan

dari pendapat tersebut, oleh Radja Patik Tampubolon ditambahkan, ialah yang bukan

manusia, orang dan bangsa Batak tidak menghidupi adat Batak .

43

Page 44: BAB I EDITAN

Bdk. Ibid., hal 14

Bdk. Ibid., hal 14

Bdk.Radja Patik Tampubolon, Pustaha Tumbaga Holing (Pematang Siantar) hal 65

4.2 Sistim Kepercayaan Tradisional

Pada umumnya agama-agama suku di Indonesia secara hakiki bertipe sama

meskipun jumlah nama dan mitos dewa-dewi mereka berbeda. Agama-agama tersebut

didasarkan pada pandangan animistik tentang roh. Inti agama kuno adalah pemujaan

kepada roh-roh dan rasa takut terhadap arwah-arwah .

Pandangan tersebut dapat juga berlaku untuk agama tradisional Batak Toba.

Namun harus dikatakan bahwa agama tradisional Batak Toba memiliki kekhasan dalam

hal ajaran, ritus liturgi, kepemimpinan dan moral serta dogmanya.

Dari segi ajaran agama kuno (tradisional), kepercayaan Batak Toba memiliki

tiga konsepsi tentang kosmos. Kosmologi mereka dibagi tiga bagian yakni: dunia atas

sebagai kerajaan Dewata Tertinggi dan tempat roh nenek moyang yang sudah

meninggal, dunia tengah sebagai gelanggang untuk kegiatan manusia dan dunia bawah

sebagai tempat tinggal para hantu dan setan yang dikepalai oleh Naga Padoha.Konsepsi

mereka tentang para dewa, gagasan tentang tondi (roh) atau kekuatan jiwa mereka

dsianggap sebagai sesuatu yang berwujud nyata .

Dalam paham kepercayaan tradisional orang Batak Toba percaya bahwa

Mulajadi Na bolon adalah pencipta langit dan bumi, air dan segala isinya dan

memiliki malaikat-malaikat. Dialah sumber segala hidup dan darinya berkat diterima

oleh segala yang hidup . Selain itu dalam mitologi Batak ditemukan adanya

44

Page 45: BAB I EDITAN

Bdk. Leo Joosten, Samosir Selayang Pandang,(Pematang Siantar: Kapusin Regio Medan, 1993) hal 40 Bdk. Tampubolon, op.cit..hal 38

Bdk Ibid., hal 40

Bdk. Ibid., hal 14

pohon kehidupan yang tingginya dimulai dari dunia bawah hingga dunia atas. Pohon itu

dianggap sebagai simbol Dewata Tertinggi Mulajadi Na Bolon yang menyatukan segala

kehidupan dan mewakili seluruh tata tertib kosmis .

Secara liturgis agama ini menjalankan praktek keagamaannya menurut

penanggalan yang disebut dengan parhalaan. Upacara liturgis orang Batak Toba

mengenal ritus upacara pembersihan (manguras) yang kerap kali dilaksanakan untuk

melindungi atau membersihkan roh manusia dari kecemaran roh-roh jahat dan tindakan

asusila. Setiap Upacara ini menuntut adanya korban persembahan.

Salah satu upacara liturgis yang pantas disebut dalam tulisan ini ialah pesta

perayaan Tahun Baru yang disebut dengan pesta Mangase Taon. Dari banyak upacara

liturgis yang ada dalam agama tradisional Batak Toba pesta mangase taon dapat

diartikan sebagai persembahan hasil panen padi tahunan yang biasanya dilaksanakan

pada bagian akhir tahun (mamele taon) .

Dari segi kepemimpinan, dalam masyarakat yang tradisional seringkali tidak

jelas perbedaan antara kepemimpinan religius dan duniawi. MT Simamora mengatakan

bahwa datu dalam kepercayaan Batak Toba berfungsi sebagai imam, dokter, tabib dan

raja yang mengepalai desa . Fungsi datu Batak (hadatuon) ialah menggabungkan

unsur-unsur magis dengan tugas-tugas yang bersifat medis-religius secara mendasar.

Implementasi dari jabatan itu disebut dengan horja .

45

Page 46: BAB I EDITAN

Bdk. Ibid., hal 19

Bdk. Ibid ., hal 22

Wawancara MT Simamora (20 Maret 2010)

Ibid

Sebagai perantara umat manusia dengan dunia magis, segala yang bersifat datu

dianggap magis dan memiliki banyak sahala. Para datu dalam kepemimpinannya sangat

dihormati sebagai sumber kehidupan, kesejahteraan dan kebahagiaan serta peruntungan

baik bagi mereka yang bergabung dengan dia. Dalam sejarah Batak, raja dan imam yang

dianggap paling berpengaruh ialah Sisingamangaraja. Ia yang tidak mendasarkan

kewibawaannya pada kekuatan senjata melainkan pada kepercayaan agamaniah,

mendapat pengakuan dari masyarakat Batak Toba sebagai imam dan raja .

Disamping jabatan datu masih ada jabatan si Baso yang juga berfungsi sebagai

perantara rohani antara orang-orang Batak dan roh-roh nenek moyangnya. Jabatan ini

biasanya diemban oleh wanita. Pada awalnya perbedaan yang mendasar dari datu agak

sulit dibuktikan. Tetapi dewasa ini jabatan si Baso dipersempit dalam praktek-praktek

bidan disertai dengan doa-doa singkat .

Secara historis setelah dinasti Sisingamangaraja berakhir sampai urutan ke XII

pada tahun 1907 muncullah sekte-sekte baru yang sangat mengharapkan Raja

Sisingamangaraja ke XII menjelma kembali. Kelompok-kelompok yang oleh Sitor

Situmorang disebut sebagai “gerakan mesianis” di Toba tersebut tetap mempertahankan

konsep ajaran tersebut diatas .Beberapa sekte yang menganut ajaran agama

tradisional Batak Toba tersebut ialah Ugamo Somalaing, Ugamo Sitekka, Ugamo

Parmalim dan Ugamo Sidamdam .

46

Page 47: BAB I EDITAN

Wawancara MT Simamora (20 Maret 2010)

Ibid

Bdk Sitor Situmorang

Bdk Ibid

Bdk. Ibid

Bdk. Tampubolon, op.cit., hal 237-241

4.3 Peluang Hidup Selibat Dalam Mitologi Penciptaan

4.3.1 Apa itu Peluang Hidup Selibat

Dalam uraian-uraian awal tulisan ini telah ditampilkan secara panjang lebar

tentang DNT sebagai falsafah hidup orang Batak Toba. Salah satu sendi falsafah

tersebut ialah status hidup perkawinan, yang menghasilkan keturunan, dan dianggap

sebagai suatu keharusan bagi setiap orang Batak Toba . Bagi mereka yang tidak

menikah atau tidak berketurunan, adat akan mengganjarinya dengan berbagai sangsi

dalam praksis hidup.

Bertitik tolak dari falsafah hidup yang masih diyakini tersebut dapat dilihat

adanya kemungkinan untuk status hidup tidak menikah karena tuntutan panggilan suci

dalam sistim adat Batak Toba sebagai manifestasi sistim kepercayaan. Dari ajaran-

ajaran dan kisah-kisah agama tradisional tentang para malim (imam) mereka terutama

yang tidak menikah dapat digali dan dianalisa kemungkinan tersebut di atas.

Dari segi makna kata peluang dapat diartikan sebagai kesempatan atau

kemungkinan. Maka yang dimaksud dengan peluang ialah kemungkinan-kemungkinan

seperti yang telah diuraikan di atas. Peluang hidup selibat ialah kemungkinan-

kemungkinan atau kesempatan yang terdapat dalam budaya (adat dan sistim

kepercayaan tradisional) itu sendiri, yang mewajibkan seseorang harus hidup dalam

47

Page 48: BAB I EDITAN

status demikian karena tuntutan kultus religius. Dengan kata lain, peluang selibat adalah

“ruang” yang tersedia dimana orang Batak Toba merasa terpanggil untuk dapat dengan

bebas memilih status hidup tidak menikah (hidup bertarak sempurna) demi atau karena

tuntutan kultus atau tugas suci dalam mitologi-mitologi yang diyakini dalam sistim

kepercayaan tradisional Batak Toba.

4.3.2 Mitologi Penciptaan

Dalam buku Tumbaga Holing jilid I kisah tentang penciptaan dimuat dalam 27

bab. Secara garis besar bab-bab tersebut bertemakan kisah penciptaan dunia (banua),

bulan, bintang dan matahari, manusia dan segala kodratnya. Kemudian disinggung juga

tentang terjadinya “dosa asal” dalam buku tumbaga holing.

Dalam salah satu bab, yakni bab V, ditemukan sekumpulan nama yang dianggap

sebagai malaikat pelayan (suru-suruan parhalado) dalam kerajaan Dewata Mulajadi Na

Bolon. Berdasarkan sejarah yang diyakini oleh orang Batak Toba, Tampubolon

mencatat nama-nama malaikat tersebut sebagai berikut:

Inilah para malaikat pelayan Ompu kita Mulajadi Na Bolon pada awal mula Benua

Pertama yang berkharisma (tongam) dan sakti :

1. Sileang-leang mandi, untung-untung yang besar,

Malaikat pelayan Mulajadi Na Bolon.

2. Borong-borong badar, Kupu-kupu yang besar,

Pelayan Kudus Mulajadi Na Bolon.

3. Si Raja Indainda, Si Raja Indapati,

Pelayan nan gesit, dan pewarta nan lincah.

48

Page 49: BAB I EDITAN

4. Tuan Sori Manjujung, Tuan Dihurmajati

Pengantar permohonan kepada Ompu Mulajadi na Bolon

Bdk. Sinaga Dendang Bakti Inkultirasi (Binamedia, Medan 2009) hal. 52 dan juga Bdk. Tampubolon, (Tumabaga Holing) hal 17 Pengantar cincin terpatri, cincin pengikat.

5. Si Raja Ingot Paung dan Si Raja Asiasi

Malaikat pengantar kepada Ompu kita Mulajadi

6. Ompu Raja Hatorusan, pengantar persembahan dan permohonan.

7. Ompu Raja Hasahatan, alamat doa dan persembahan .

Dalam buku tersebut tidak banyak dikatakan tentang latar belakang hidup para

malaikat itu. Yang jelas dikatakan ialah mereka adalah malaikat Mulajadi Na Bolon.

Dalam silsilah ajaib (tarombo halongangan) ditampilkan urutan manusia awal dari dunia

pertama (tempat orang-orang suci dan kalangan para dewa) .Dari silsilah ini

ditampilkan beberapa informasi berikut tentang beberapa malaikat yang disebut diatas :

Tuan Sorimanjujung berpasangan dengan Putri Bunga Iring, Tuan Dihurmajadi dengan

Putri Hasusuran, Si Raja Ingot Paung dengan Putri Purti Oloan, Raja Asiasi dengan

Tiang Dewata.

Beberapa nama lain yakni Sileangleang Mandi, Untung-untung yang besar,

Borong-borong yang merah kecoklatan, Kupu-kupu yang besar, si Raja Indainda si Raja

Indapati, Ompu Hatorusan dan Ompu Raja Hasahatan tidak termasuk dalam silsilah ini.

Asumsi yang dapat diberikan mengapa beberapa mereka tidak disebut dalam silsilah

ialah karena wujud nomor 1 dan 2 direpresentasikan dengan nama beberapa serangga

dan burung. Maka ketika terjadi ‘eksodus’ ke benua tengah mereka tetap dalam wujud

49

Page 50: BAB I EDITAN

Tampubolon , hal 14

Bdk. Ibid., hal 18

dan jabatannya. Boleh jadi karena itu malaikat yang direpresentasikan dengan nama-

nama binatang itu sering kali muncul dalam doa-doa liturgis (tonggo-tonggo) .

Tentang malaikat lainnya yakni Ompu Raja Hatorusan dan Ompu Raja

Hasahatan tidak terlalu banyak diketahui walaupun gelar tersebut masih muncul

beberapa kali dalam doa-doa liturgis. Lain halnya dengan si Raja Indainda si Raja

Indapati. Ia masih sering muncul dalam doa-doa liturgis yang dirangkaikan dengan

beberapa predikat yang lain.

4.3.3 Si Raja Indainda Imam Yang Hidup Dalam Status Selibat

Dalam salah satu tulisan yang ditampilkan oleh Uskup Anicetus Sinaga

dikatakan bahwa si Raja Indainda tidak menikah (Selibat). Berdasarkan penelitiannya

Uskup Anicetus Sinaga tidak menemukan bahwa si Raja Indainda menikah dan

meninggalkan keturunan. Selanjutnya Anicetus mengatakan bahwa si Raja Indainda

adalah satu dari sekian orang yang disucikan bagi Allah sebagai imam yang atas nama

semua ciptaan menyampaikan sembah dan puji. Disebutkan juga bahwa ia tidak kawin

dan ia bertugas membawa sifat Allah kepada manusia .

Pendapat Uskup Sinaga ini didukung oleh bapak Simamora dan A. Juang

Naibaho. A. Juang mendukung pendapat tentang status selibat si Raja Indainda dengan

menekankan aspek kesucian mahluk mitis ini . Simamora juga mengisahkan status si

Bdk. Ibid., hal 41-51

50

Page 51: BAB I EDITAN

Bdk Sinaga ,”Romantika Hidup Allah Batak Toba”,hal 8

Bdk. Naibaho hal 2

Raja Indainda yang tidak menikah, kira-kira demikian . Dalam kisah penciptaan

manusia disebutkan seseorang yang bernama si Raja Endaenda, putra kedua Ompu

Tuan Soripada . Nama Raja Endaenda ini diikuti oleh gelar si Raja Mogot Pinaungan,

namarrompuhon riman, namarsalipihon omas, yang berwujud aneh, pemilik suara yang

istimewa, yang tak pernah kalah dan sampai tua tetap menang .

Kisah tentang si Raja Endaenda ini bercerita tentang adanya konsensus antara

pihak Batara Guru, orangtua dari si Boru Sorbajadi dan Tuan Soripada sebagai orangtua

dari si Raja Endaenda. Konsensus ini menunjukkan kepada niat kedua orangtua tersebut

untuk menikahkan si Raja Endaenda dan si Boru Sorbajadi.

Secara singkat, konsensus itu dilanjutkan oleh pihak yang hendak dinikahkan. Si

Boru Sorbajadi berinisiatif untuk mulai mendekati si Raja Endaenda dan berkat restu

dari keluarga Batara Guru termasuk saudara laki-lakinya Datu Tantan Debata Badia

Porhas.Dari dalam bilik na pinasiding (yang diasingkan) si Raja Endaenda

mempersilahkan si Boru Sorbajadi masuk dengan syarat agar si Boru Sorbajadi terlebih

dahulu mengambil sehelai rambutnya yang terindah dan meniupkannya kepermukaan

dahulu mengambil sehelai rambutnya yang terindah dan meniupkannya kepermukaan

tangga batu. Bila rambut itu putus maka jangan masuk, tetapi bila tidak putus maka

boleh masuk. Tetapi apa yang terjadi ialah setiap kali si Boru Sorbajadi mendekati si

Raja Endaenda ia mengalami kegagalan, rambutnya yang terindah itu selalu putus.

51

Page 52: BAB I EDITAN

)108 Wawancara Simamora (20 Maret 2010)

Bdk. Sinaga,”Menggali Permata Perkawinan Batak Toba”.

Bdk Tampubolon, Tumbaga…….. hal 35

Wawancara Simamora (20 Maret 2010)

Dengan sangat kecewa ia kembali kerumah orangtuanya dan melaporkan

peristiwa tersebut. Walau sudah beberapa kali gagal ia masih mencoba untuk melihat si

Raja Endaenda berkat dorongan keluarganya. Akhirnya pada kali terakhir ia berhasil

menemui si Raja Endaenda. Tetapi apa yang terjadi ialah si Boru Sorbajadi lari

tunggang langgang dan melaporkan peristiwa yang dialaminya kepada orangtuanya. Ia

melarikan diri karena si Raja Endaenda yang dilihatnya rupanya sudah berubah wujud

menjadi kadal. Ia sangat kecewa dan sama sekali tidak berniat lagi untuk membicarakan

masalah ini dengan orang tuanya kendatipun sebenarnya orangtuanya masih sangat

gencar mendorongnya. Untuk itu ia menipu orangtuanya. Ia menyampaikan

permohonan agar ia diberi waktu menari diiringi gondang sebagai tanda perpisahan

dengan seluruh sanak keluarga. Akhirnya, permintaan itu diluluskan dan ia pun

melompat dan jatuh ke benua tengah.

Dalam kisah selanjutnya dikatakan bahwa pihak Batara Guru merasa malu

kepada pihak Tuan Soripada karena kegagalan itu. Maka untuk menutupi rasa malu

pihak Batara Guru menawarkan purti keduanya si Boru Deang Parujar untuk menjadi

istri si Raja Endaenda. Tetapi kisahnya sama seperti kisah sebelumnya. Akhirnya si

Boru Deang Parujar melompat kebenua tengah dan tidak mau lagi kembali ke benua

atas .Dalam bagian penutup kisah tentang si Raja Endaenda ini Niessen mengatakan

bahwa sampai akhir hidupnya si Raja Endaenda tidak menikah .

52

Page 53: BAB I EDITAN

Bdk Ibid., Hal 32

Bdk. Ibid., hal 32

4.3.4 Si Raja Uti Tidak Menikah

Si Raja Uti adalah seorang imam, maka muncul pertanyaan berikut : Apakah

Raja Uti tidak menikah? Dalam bukunya, Radja Patik Tampubolon tidak menyinggung

apakah Raja Uti menikah atau tidak. Ada dua versi jawaban atas pertanyaan diatas.

Versi pertama dari Ismail Manalu mengatakan bahwa Raja Uti menikah dan ia

mempunyai seorang putri . Dikatakan bahwa Raja Uti berdiam disekitar daerah

Manduamas yang terletak dekat perbatasan dengan daerah Tapak Tuan, Aceh bagian

selatan . Versi kedua yang bersumber dari tradisi lisan (MT Simamora)

mengatakan bahwa Raja Uti tidak menikah atau sekurang-kurangnya tidak pernah

kedengaran bahwa Raja Uti menikah. Dari hasil wawancara penulis mengetahui dan

mengerti sejarah yang masih menganut kepercayaan Batak Toba dikatakan bahwa Raja

Uti tidak menikah. Nama Raja Uti sendiri berhubungan dengan sifat kemurniannya. MT

Simamora mengatakan bahwa gambaran Raja Uti harus dihubungkan dengan kesucian

dan kekudusannya. Nama Raja Uti sering dirangkaikan dengan sifatnya yakni putih

melebihi yang lain dan tetap dalam status perjaka (uti naso haliapan, uti naso

habubuhan). Uti sesuai dengan namanya berarti putih yang digambarkan sebagai hasil

proses pengikisan air terhadap batu pualam. Selain itu status Raja Uti adalah tetap

sebagai status perjaka. Namanya sering dihubungkan dengan kesaktian dan jabatan yang

53

Page 54: BAB I EDITAN

Bdk. Ismail Manalu, Mengenal Batak, (Medan : CV Kiara) hal 124

Bdk. Ibid., hal 125

Wawancara dengan bapak MT Simamora (22 Maret 2010)

diembannya. Ia adalah kekuatan ilahi yang mendiami Gunung Pusuk Buhit. Kemudian

banyak orang mengatakan bahwa ia pindah kepantai barat yang disebut dengan daerah

Barus dan sekitarnya.

Dari kedua versi diatas, agak sulit mengambil suatu kesimpulan apakah Raja Uti

menikah atau tidak. Kesulitan ini muncul karena tak seorangpun dapat memastikan

apakah status Raja Uti itu sungguh-sungguh historis atau tidak. Yang jelas ialah ada dua

pernyataan, satu mengatakan menikah yang lain mengatakan tidak menikah.

Untuk sementara apakah yang dapat dikatakan tentang Raja Uti? Berdasarkan

sumber lisan dan tulisan ada beberapa petunjuk yang dapat dikatakan tentang Raja Uti :

pertama, Raja Uti mengemban jabatan suci dalam kultus yakni sebagai perantara

manusia dan Allah dalam kepercayaan tradisional Batak Toba. Kedua, Raja Uti

menduduki tempat yang terhormat dalam struktur masyarakat Batak Toba tradisional

dengan gelar hatorusan dan hasahatan (pengantara dan alamat) doa-doa. Ketiga,

mengenai status Raja Uti ada dua versi : ada yang mengatakan bahwa ia menikah dan

ada yang mengatakan bahwa ia tidak menikah. Keempat, meskipun status belum dapat

dipastikan kebenarannya namun yang jelas ialah bahwa Raja Uti tetap dihormati dan

dipuji sebagai pribadi yang suci dan mengemban tugas sebagai imam. Kelima, akan

tetapi bila diperhatikan ciri-ciri, sifat-sifat, dan peranan Raja Uti dalam kultus

peribadatan sebagai pengantara doa, maka ada kemungkinan besar bahwa Raja Uti

“tidak menikah”.

54

Page 55: BAB I EDITAN

4.4 Kedudukan Hidup Selibat Dalam Jabatan Datu dan Si Baso

4.4.1 Jabatan Datu Sebagai Imam

Dalam pengalaman religius suku Batak Toba ditemukan adanya ide tentang

manusia yang teralienasi. Manusia Batak Toba merasa diri sebagai orang yang terasing

dan ditinggalkan dari suasana ‘firdaus’. Pengalaman teralienasi ini muncul sebagai

akibat pemberontakan manusia terhadap kuasa Mulajadi Na Bolon. Inilah yang disebut

dengan ‘dosa asal’ (parserahan di rimas na parjolo) .

Dalam kisah in illo tempore dikatakan bahwa pada awalnya manusia dan

Debata Mulajadi Na Bolon hidup dalam suasana ‘rahmat’ dan harmonis . Manusia

mengalami persatuan yang erat dan intim di benua pertama. Ketika waktu bertambah

dan manusia semakin berkembang biak timbullah berbagai macam perangai. Dari

berbagai macam tingkah laku nampak ada kecenderungan yang sama yakni melawan

Debata dengan segala perintahnya. Orang bertindak semaunya, melawan perintah dan

mengubah hukum (mangalaosi patik pauba uhum), yang mendahulukan kekuatan fisik

dan mengabaikan kekuatan hukum (na pajolo gogo papudi uhum). Selain itu timbul

juga berbagai macam kejahatan seksual. Maka sebagai akibat dari perbuatan tersebut

manusia dihukum pisah dari suasana ‘surgawi’ Debata.

Dalam suasana yang terasing itu manusia merindukan adanya persatuan kembali

dengan Mulajadi Na Bolon. Kerinduan itu dijawab oleh Debata dengan memberikan

55

Page 56: BAB I EDITAN

Bdk. Tampubolon., op cit hal 12

Bdk. Ibid., hal12

sahala kepada beberapa orang yang dipanggil sebagai datu untuk menjadi saluran

kehendak Debata dan jalan (parhitean) manusia menyampaikan doa dan persembahan

kepada-Nya.

A. Juang memberi tiga tipe datu berdasarkan tugasnya. Pertama, Datu Tonggo-

tonggo berfungsi untuk menyampaikan atau memanjatkan doa-doa atas nama umat.

Kedua, Datu Pagar berfungsi untuk membuat sistim penjagaan bagi orang, kampung,

rumah dan pesta agar terhindar dari segala gangguan baik yang berasal dari orang, alam

maupun penyakit. Ketiga, Datu Panjujur Ari berfungsi untuk menentukan hari yang

cocok dan mengandung banyak berkat dalam penyelenggaraan suatu pesta atau horja

.

Berdasarkan cara terjadinya (bentuk panggilan), datu ada tiga golongan .

Golongan pertama, seseorang menjadi datu karena ia diberi sahala dan dipenuhi dengan

kemampuan melalui kekuatan ilahi (roh) yang datang padanya melalui mimpi.

Golongan kedua, datu yang mendapat panggilan melalui peristiwa kesurupan

(hasoropan). Biasanya orang yang seperti ini dalam keadaan tidak kesurupan tidak

mampu menjalankan fungsinya. Ia baru berfungsi setelah roh memasuki dirinya.

Dengan kata lain, sang roh ilahi “pinjam badan” untuk hadir ditengah-tengah umatnya.

Golongan ketiga, datu yang memperoleh kedatuannya melalui jalur “pelajaran” dan ia

sendiri mampu menerima ajaran tersebut berdasarkan sahala yang ada padanya.

56

Page 57: BAB I EDITAN

Bdk. Tobing ……..hal 88-89

Bdk. Naibaho………. Hal1

Bdk. Ibid., hal 1-2

Fungsi datu pada umumnya ialah menggabungkan unsur-unsur magis dengan

tugas-tugas yang bersifat medis agamaniah meskipun sebenarnya setiap orang Batak

Toba dewasa dapat mempersembahkan kurban kepada roh-roh. Jabatan datu tersebut

dianggap telah mengembangkan suatu sistim tata cara ibadah yang sangat dikhususkan

bagi hal-hal yang ilahi . Dalam hal-hal yang spesifik, datu berfungsi untuk melihat

atau meramal berdasarkan penglihatan gaib. Datu menentukan mana daerah yang cocok

sebagai sumber mata air (homban) .

Selain peranan yang disebut di atas, datu masih mempunyai kemampuan-

kemampuan berikut : datu dapat membujuk roh (tondi) orang yang hidup dan roh orang

yang sudah mati (begu). Ia dapat mendamaikan dan memaksa roh-roh yang tidak ramah

melalui rumus-rumus magis. Ia dapat mengendalikan cuaca, mempengaruhi panen dan

menentukan hari depan .Segala sesuatu yang dikatakan tentang datu sebagai

perantara dunia manusia dengan dunia ilahi dianggap suci dan diyakini memiliki banyak

sahala. Datu sangat dihormati sebagai sumber kehidupan, kesejahteraan, kebahagiaan

dan peruntungan baik. Mereka sering dipanggil untuk menghadiri peristiwa-peristiwa

kekeluargaan yang penting dan sering dimintai nasehat tentang pemilihan waktu yang

baik, nama yang baik, pemilihan jodoh dan pelaksanaan upacara-upacara penguburan

.

Wawancara dengan bapak MT Simamora (20 maret 2010)

57

Page 58: BAB I EDITAN

Ibid

Ibid

Ibid

Malahan pada daerah-daerah tertentu golongan-golongan marga sangat mengharapkan

adanya datu dari kalangan mereka sendiri demi kejelasan dan kelancaran hubungan

antar marga disekitar mereka .

Dalam struktur kepemimpinan tradisional Batak Toba ditemukan nama datu.

Tobing mendefenisikan bahwa datu ialah seorang ahli ramal, imam dan tabib . Ia

dikatakan berperan sebagai raja dan imam. Oleh karena itu jabatan ini tidak dipangku

oleh sembarang orang. Sebagai pengantara dunia ilahi dan dunia manusia, seharusnya

datu sudah dipersiapkan sejak awal dari kelahirannya. Ia telah diberi salah satu sahala

oleh Debata untuk menjadi datu .

4.4.2 Jabatan Si Baso

Selain jabatan datu dalam struktur kepemimpinan tradisional Batak Toba masih

ada perangkat yang juga sangat berpengaruh ditengah-tengah masyarakat Batak Toba

yakni si Baso atau shaman. Jabatan ini biasanya dipegang oleh seorang wanita. Si Baso

juga berfungsi sebagai pengantara rohani antara orang Batak Toba dengan roh-roh

nenek moyang. MT.Simamora mengatakan bahwa terpilihnya seseorang menjadi si

Baso datang dari pilihan roh-roh itu sendiri . Maka karena itu, roh-roh itu

mengungkapkan kehendak dan keinginannya kepada manusia melalui si Baso ini.

Ibid

58

Page 59: BAB I EDITAN

Tobing…………, hal 15)

Ibid ., hal 88-89

Wawancara MT Simamora (20Maret2010)

4.4.3 Datu dan Si Baso Tidak Menikah ?

Secara umum diyakini bahwa dalam masyarakat Batak Toba tidak ada Datu atau

si Baso yang hidup selibat secara kolektif sebagai suatu aturan hidup. Malahan

dikatakan bahwa untuk meneruskan jabatannya, seorang datu mewariskannya kepada

keturunannya . Meskipun dapat dikatakan bahwa datu itu menikah, namun dalam

banyak urusan, dari seorang pejabat datu atau si Baso dituntut banyak pantangan yang

sangat ketat demi kemurnian persembahan dan kemurnian yang mempersembahkan.

Dari kepribadian datu dan si Baso ini Uskup Anicetus Sinaga lebih melihat

unsur lain, yakni kontemplasi lebih dari sekedar pantangan.Uskup Anicetus Sinaga

mengatakan dengan jelas : “………..adalah menarik untuk mengamati bahwa dengan

pengalaman mistik dan kontemplasi orang sampai tuntutan hidup selibater karena

disucikan kepada Allah” . Kalangan datu dan si Baso sebagai pengemban imamat ini

pun sampai kepada kesimpulan dan mungkin pengalaman hidup selibat demi Allah

dalam apa yang disebut Si Boru malim. Diyakini bahwa si Boru malim sebagai nama

umum untuk imam yang telah disucikan dan dikhususkan bagi Allah, sehingga tugasnya

hanya berkontemplasi mengenai Allah dan Benua Atas serta menyampaikan kehendak

Allah kepada manusia dan penderitaan manusia disalurkan kepada Allah.Uskup Sinaga

menyimpulkan bahwa demi tugas itulah ia tidak kawin .

59

Page 60: BAB I EDITAN

Wawancara dengan bapak A.Purba (Anak Raja Raja Rambe) dipakkat hauagong

(22maret2010)

Bdk. Sinaga,”Romantika Hidup Depan Allah Batak Toba,” hal 8

Bdk. Ibid ., hal 8 dan juga dalam “Manggali Permata Perkawinan Batak Toba,” hal35-36

Selain hal diatas yang dikatakan tentang datu dan si Baso sebagai kaum imam,

masih ada satu topik yang menarik untuk diamati sehubungan dengan peluang selibat,

yaitu kebutuhan akan kesucian yang luhur dalam persembahan dan yang

mempersembahkan, ditunjuk dalam upacara Mangase Taon. Dari apa yang dikatakan

oleh MT.Simamora dan A.Purba tentang pantangan yang dalam mangase taon dapat

disimak dengan jelas adanya salah satu pantang yang berkenaan dengan tindakan

seksual. Uskup Sinaga, berdasarkan penelitiannya membuktikan bahwa seorang imam

diharuskan menjalani pantang seksual dalam jangka waktu tertentu sebelum dan

sesudah menyampaikan doa-doa persembahan kepada Allah pada waktu upacara

mangase taon .

60

Page 61: BAB I EDITAN

Bdk. Ibid., hal 8

BAB VPENUTUP : KESIMPULAN DAN REFLEKSI

5.1 Kesimpulan

5.1.1 Seorang Imam Katolik Harus Hidup dalam Status Selibat

Menurut ajaran Gereja Katolik, imam adalah pengantara manusia dan segala

ciptaan dengan Allah dan sebaliknya Allah kepada manusia dan segala ciptaan. Seorang

imam, berkat tahbisan imamatnya, dijadikan secitra dengan Kristus, sebagai Pemimpin,

Pelayan, Sang Kepala, Pengantara Umat manusia kepada Allah dan pembangun seluruh

tubuh-Nya yakni gereja. Imam yang secitra dengan Kristus itu dipilih dan diangkat dari

tengah-tengah umat dan diperuntukkan bagi kemuliaan Allah demi pengudusan umat

Allah. Oleh karena itu salah satu tugas utamanya ialah mewartakan sabda dan karya-

karya Allah serta membina umat dalam iman.

Para imam, sebagai citra Kristus menjadi jalan kesempurnaan dan kesucian

ditengah kelemahan manusia. Sebagaimana Kristus telah disucikan, dan dengan

kesengsaraan-Nya telah memasuki kemulian-Nya, demikian pula para imam tampil

61

Page 62: BAB I EDITAN

sebagai representasi Kristus dan bertindak atas nama Kristus. Sebagai pelayan liturgi

terutama dalam kurban Ekaristi, para imam secara khas membawakan (menghadirkan)

pribadi Sang Kristus, sosok pribadi yang mereka anut. Dalam setiap perayaan misteri

wafat dan kebangkitan Tuhan para imam mengarahkan dan mempersembahkan seluruh

dirinya serta umat kepada Allah.

Sebagai citra Kristus, Sang Imam Agung, para imam diajak untuk semakin

serupa dengan Kristus termasuk dalam penyerahan dan persembahan diri secara total

kepada Allah yang nampak dalam salah satu wujudnya yakni status hidup selibat.

Dengan selibat, seorang imam menjadi lebih bebas dan utuh dalam mencintai Allah dan

segala ciptaan-Nya, lebih bebas dan utuh melayani Allah dan umat.

Secara eklesial, selibat dilihat sebagai pelayanan kepada gereja-Nya untuk

memperluas Kerajaan Allah dimana mereka harus mempersembahkan banyak kurban.

Dalam hal ini selibat bermakna “diakonia” dalam Gereja, dalam persatuan dengan

Kristus.

Dalam pengharapan eskatologis status selibat memiliki nilai yang dalam tentang

gambaran umat Allah dalam kepenuhannya. Dalam gambaran itu dinyatakan bahwa

status hidup selibat para imam merupakan antisipasi Kerajaan Allah. Suasana masa

depan yang hendak dituju tidak lagi mengenal status kawin dan dikawinkan melainkan

semua berada dalam kebahagian anak-anak Allah.

Atas dasar alasan-alasan diatas, Gereja mewajibkan para imamnya untuk hidup

dalam status selibat. Status ini ditentukan oleh gereja sebagai norma yang harus

dihidupi oleh setiap imam. Dengan memilih jabatan imam itu artinya juga memilih

status hidup selibat. Dengan kata lain, jabatan imamat menuntut status hidup selibat.

62

Page 63: BAB I EDITAN

Sebagai ketentuan normatif, status selibat ditentukan bukan demi selibat itu

sendiri melainkan harus dilihat dalam konteks hidup imamat dalam skope yang lebih

luas. Banyak nilai yang sungguh positif dari status tersebut yang memberikan

sumbangan besar pada jabatan imamat. Prinsip umum yang digariskan dalam jabatan

imamat ialah pengorbanan dan persembahan diri secara total kepada Allah. Sama seperti

Kristus, Sang Imam Agung, telah menyerahkan diri demi misi Allah didunia, demikian

juga para imam sebagai citra Kristus menyerahkan dan mempersembahkan dirinya

secara menyeluruh termasuk status hidup selibat yang akan dimilikinya. Kristus telah

menyerahkan Diri-Nya bukan hanya dalam status selibat tetapi mencakup seluruh

hidup-Nya hingga Ia wafat dan bangkit untuk menebus manusia dari perhambaan dosa.

5.1.2 Seorang Imam Menurut Kepercayaan Batak Tradisional

Pada zaman permulaan yang disebut dengan zaman in illo tempore, Debata

Mulajadi Na Bolon dan manusia hidup dalam suasana bahagia, penuh damai dan

sejahtera, tidak ada kekacauan dan kekurangan, semua manusia berada dalam

kesempurnaan, tanpa dosa, dan tanpa pelanggaran. Relasi Mulajadi Na Bolon dengan

manusia berada dalam suasana harmonis. Manusia berada dalam kebahagian penuh

rahmat. Inilah yang disebut dengan zaman keemasan persatuan Mulajadi Na Bolon dan

manusia Batak Toba.

Kemudian zaman keemasan itu runtuh seiring dengan terjadinya pemberontakan

manusia terhadap kuasa Mulajadi Na Bolon. Pada waktu manusia bertambah banyak

timbullah kejahatan, pemberontakan dan pelanggaran dalam hati manusia terhadap adat-

patik – uhum Mulajadi Na Bolon. Hidup manusia menjadi semakin durhaka terhadap

63

Page 64: BAB I EDITAN

Mulajadi Na Bolon. Banyak orang berperilaku yang lebih mengutamakan kekuatan fisik

daripada mendahulukan hukum (pajolo gogo papudi uhum), timbul banyak kejahatan

seksual dan bentuk-bentuk pemberontakan yang lain.

Suasana kacau ini merupakan awal perpisahan (rimas perserahan) antara

Mulajadi Na Bolon dan manusia, benua atas dan benua tengah. Manusia meninggalkan

‘suasana firdaus’ dan terusir kebenua tengah.

Dalam suasana keterpisahan ini manusia rupanya masih merindukan adanya

kesatuan kembali dengan Mulajadi Na Bolon. Untuk itu Mulajadi Na Bolon

memberikan panggilan untuk menjadi imam (sahala hadatuon). Dari kalangan orang

Batak Toba ada orang yang dipanggil untuk menjadi imam, tabib dan raja yang

berfungsi sebagai perantara manusia dengan Mulajadi Na Bolon. Datu sebagai imam

bertugas untuk memulihkan kembali dan memelihara relasi yang harmonis antara

Mulajadi Na Bolon dan manusia. Pemulihan kembali serta pemeliharaan relasi intim

antara manusia Batak Toba dengan Mulajadi Na Bolon direalisasikan melalui

persembahan dan pujian yang dibawakan oleh seorang yang disebut “imam”. Itulah

peranan imam besar yang disebut dengan nama Si Raja Indainda – Si Raja Indapati, Si

Raja Uti dan Sisingamangaraja. Mereka, dengan nama besarnya merupakan panutan dan

model untuk setiap imam Batak Toba.

Dari uraian bab-bab terdahulu telah dikatakan bahwa tidak ada status hidup

selibat secara umum bagi setiap datu dengan segala aspeknya. Setiap datu umumnya

hidup dalam status pernikahan dan memiliki keturunan. Namun yang perlu dicatat dari

jabatan datu dan statusnya ialah aturan hidup yang keras. Setiap datu dituntut untuk

64

Page 65: BAB I EDITAN

hidup dalam aturan yang keras dan teliti. Tingkah laku dan perilaku hidup mereka diatur

sesuai dengan norma jabatan, cara bicara, cara melangkah dan banyak pantang.

Salah satu aturan yang diharuskan ialah pantang seksual secara berkala dan

temporal. Seorang datu diharuskan untuk menghindarkan aktivitas seksual selama

beberapa minggu bahkan tahun menjelang atau sesudah terlaksananya suatu perayaan

ritual. Alasan untuk pantang tersebut adalah demi kemurnian diri orang yang

menyampaikan persembahan dan demi kemurnian persembahan yang disampaikan,

sehingga berkenan kepada Mulajadi Na Bolon. Dalam Skope yang lebih luas aspek

kemurnian itu juga menyangkut seluruh umat manusia dan bumi yang didiaminya.

Selain itu dalam kepercayaan orang Batak Toba tradisional diyakini adanya

pribadi-pribadi yang mempunyai kekuatan ilahi (sahala) dengan tuntutan untuk tidak

menikah. Pribadi yang dianggap sangat dekat dengan roh (sumangot) nenek moyang

dan Debata Mulajadi Na Bolon.

Dalam kepercayaan Batak Toba tradisional yang sampai sekarang masih

dipertahankan, misalnya dalam agama parmalim ada disebut dua pribadi imam besar

Batak Toba yakni Si Raja Indainda Si Raja Indapati dan Si Raja Uti. Kedua pribadi

ini sangat dekat dengan Mulajadi Na Bolon dan sudah mencapai suasana surgawi.

Mereka dianggap sebagai imam besar yang hidup dalam status selibat dihadapan Allah.

Selibat yang mereka hidupi merupakan persembahan diri mereka sendiri kepada

Mulajadi Na Bolon demi harmoni antara hubungan Allah dan manusia dengan segala

ciptaan dalam alam semesta. Mereka hidup dalam status selibat karena mereka memang

disucikan bagi Mulajadi Na Bolon. Imam yang hidup dalam selibat itu adalah seorang

pribadi yang menjadi perantara antara manusia dengan Mulajadi Na Bolon.

65

Page 66: BAB I EDITAN

5.1.3 Pandangan Orang Katolik Batak Toba Terhadap Status Hidup Selibat

Dari hasil penelitian dan refleksi diatas dapat disimpulkan bahwa dalam adat

Batak Toba atau lebih tepat dalam kepercayaan Batak Toba tradisional ada

kemungkinan atau peluang untuk hidup selibat. Hidup selibat ini dihidupi dan dihayati

oleh mereka yang disebut imam oleh orang Batak Toba.

Dalam kepercayaan Batak Toba tradisional yang masih hidup dalam diri orang-

orang Batak Toba zaman ini jelas ada kemungkinan atau peluang hidup selibat. Oleh

karena itu, seharusnya tidak lagi menjadi masalah yang besar atau tidak merupakan

keanehan dan sekaligus pelecehan terhadap adat Batak Toba apabila para pemudanya

memilih status selibat sebagai status hidupnya oleh karena panggilannya sebagai

seorang imam atau calon imam dalam Gereja Katolik.

Dengan kata lain, ajaran dan nilai-nilai luhur adat Batak Toba itu, khususnya

dalam konteks pembicaraan tema skripsi ini yaitu panggilan sebagai seorang imam

dengan status hidup selibat, dapat berinkulturasi dengan ajaran dan nilai-nilai luhur

budaya kekristenan, khususnya Katolik. Oleh karena itu orang-orang Batak Toba,

didasari oleh refleksi atas salah satu nilai yaitu “peluang hidup selibat” dalam adat

kepercayaan Batak Toba yang masih hidup di kalangan orang Batak Toba itu sendiri

hingga sekarang, seharusnya dapat mengerti, memaklumi dan menerima “panggilan

luhur” dan “status hidup selibat” yang dipilih oleh pemuda Batak Toba yang seorang

Katolik menjadi status hidupnya demi pelayanan Kerajaan Allah.

5.2 Refleksi

66

Page 67: BAB I EDITAN

Adakah keselarasan antara ke-Batak-an dan ke-Katolik-an? Pertanyaan ini

sangat menarik bila diletakkan dalam perspektif sejarah pertemuan budaya Batak Toba

dengan ajaran Katolik. Banyak orang telah mencoba memberi jawaban atas pertanyaan

ini dalam karya-karya besar mereka.

Pertanyaan yang lebih spesifik muncul,”Mungkinkah seorang pemuda Batak

Toba dapat dimengerti, dimaklumi dan diterima oleh adat Batak Toba apabila menjadi

seorang imam Katolik dengan status selibat? Tulisan ini tidak langsung menjadi

jawaban atas pertanyaan tersebut namun dalam tulisan ini penulis mencoba

menampilkan pertimbangan yang lebih luas dari elemen-elemen adat Batak Toba dan

melihatnya dengan ‘kacamata’ ke-Katolik-an.

Pada awal sejarah perkembangan Gereja Katolik di kalangan suku Batak Toba

timbullah reaksi yang bernada menolak terhadap pendirian lembaga pendidikan calon

imam di antara mereka. Reaksi itu lebih merupakan aspirasi kultural Batak Toba itu

sendiri terhadap status hidup selibat para imam Katolik. Bagi suku Batak Toba yang

menganut falsafah hidup DNT hidup tanpa berketurunan merupakan sesuatu yang

mustahil. Reaksi selanjutnya timbul dari putra Batak Toba yang hendak atau yang telah

menjadi imam. Bila ditanya tentang motivasi hidup mereka menjadi imam dengan berat

hati mereka mengungkapkan bahwa menjadi imam dan sebagai seorang Batak Toba

adalah dua sifat yang bertentangan.

Tanpa merinci siapa yang mengatakan, berapa orang yang mengatakan, dan

sejauh mana itu benar penulis tidak ingin menganalisa kesan-kesan subjektif terhadap

topik ini. Lepas dari ungkapan tersebut diatas, DNT sendiri nampaknya tidak memberi

peluang terhadap status hidup selibat. Sebagai falsafah hidup DNT sangat praksis dalam

67

Page 68: BAB I EDITAN

kehidupan sehari-hari masyarakat Batak Toba. Proses hidup bermasyarakat, konflik

dan tatanan hidup yang lainnya dibentuk berdasarkan DNT. Dengan kata lain dapat

dikatakan bahwa DNT dengan segala unsur positif dan negatifnya telah mendarah

daging dan merupakan dasar yang kokoh dan tangguh dalam prinsip hidup masyarakat

Batak Toba. Dengan kata lain, masyarakat Batak Toba begitu diikat oleh ajaran DNT.

Adalah juga kenyataan bahwa pada tingkat penghayatan religius, yaitu dalam

kepercayaan tradisional suku Batak Toba, ditemukan rasa penghormatan yang besar

kepada pribadi-pribadi orang yang hidup selibat secara sempurna karena nilai kesucian

dan relasinya dengan Mulajadi Na Bolon. Orang-orang yang demikian sungguh

dihormati bahkan dipuji sebagai ‘orang kudus’ yang sangat dekat dengan Mulajadi Na

Bolon, Allah orang Batak Toba tradisional. Nama Si Raja Indainda kendati hanya dalam

mitos suci sungguh dihormati sebagai tipe imam yang hidup selibat. Bahkan nama ini

seharusnya menjadi nama untuk semua imam Batak Toba. Selain itu nama Raja Uti

sebagai imam yang hidup selibat dihadapan Mulajadi Na Bolon. Sebenarnya setiap

orang Batak Toba terpanggil menjadi ‘uti’, putih dan tak bercela dihadapan Mulajadi Na

Bolon.

Selibat imam Katolik dan selibat imam tradisional Batak Toba masing-masing

mempunyai sejarah dan nilai dalam dirinya. Kedua ajaran dan keyakinan ini memiliki

kesamaan dan perbedaan sekaligus. Dalam skope yang lebih luas agama Katolik

berbeda dari agama tradisional Batak Toba. Yang satu tampak sebagai “kafir” bagi

orang lain. Tetapi patut juga dipertanyakan: adakah elemen-elemen kepercayaan Batak

Toba yang kiranya menjadi lahan yang subur bagi perkembangan nilai-nilai ajaran

Katolik?

68

Page 69: BAB I EDITAN

Elemen yang patut dihargai dalam sistim kepercayaan Batak Toba tradisional

ialah “tarak temporal” yang dipraktekkan oleh para imamnya. Realitas “tarak” ini dapat

menjadi lahan pertumbuhan yang subur bagi hidup selibat para imam Katolik.

Lebih dari itu hal yang pantas direnungkan ialah pengalaman mistik dan

kontemplasi yang membuat orang sampai pada tuntutan hidup selibater karena

disucikan bagi Allah. Dalam pengalaman hidup para datu dan si Baso sebagai

pengemban imamat dan juga pengalaman hidup tidak menikahnya si Boru Malim,

kemungkinan besar ditemukan ide ‘yang disucikan bagi Allah’ yang membuat mereka

hanyalah berkontemplasi mengenai Allah dan benua atas. Seiring dengan kontemplasi

itu mereka bertugas untuk berbicara atas nama Allah dan menyampaikan kehendak

Allah kepada manusia dan mengantarkan penderitaan manusia kepada Allah.

Menurut penulis, ajaran dan pewartaan iman Katolik (mis. Tentang panggilan

imam dan hidup selibat) dapat bertemu, menjiwai dan menyempurnakan nilai-nilai

luhur yang ada dalam adat Batak Toba. Karena bagaimanapun salah satu tantangan

dalam pewartaan Injil bagi suku Batak Toba ialah memasuki ‘jiwa’ suku itu dengan

nilai- nilai yang dianutnya. Tantangan ini merupakan suatu proses perjuangan untuk

melihat unsur-unsur kepercayaan Batak Toba yang mendukung prinsip-prinsip Katolik.

Gereja Konsili Vatikan II mengatakan bahwa ke Katolik an tidak boleh bersifat

destruktif-imperialis terhadap budaya setempat, melainkan menyambut dengan terbuka

kebenaran dan kebiasaan yang baik untuk ‘dibaptiskan’ dalam ke-Katolik-an. Oleh

karena itu, Gereja Katolik dipanggil untuk menyempurnakan unsur-unsur teologis Batak

Toba yang mendukung nilai-nilai ke-Katolik-an tersebut.

69

Page 70: BAB I EDITAN

Sebagai penutup patut dikatakan: Skripsi ini bukanlah jawaban akhir dari semua

pertanyaan di atas. Dan juga skripsi ini bukanlah “pilar-pilar Yunani”, oleh karena

kesempurnaannya maka tidak setitik nodapun dapat ditambahkan kepadanya. Skripsi ini

belum selesai. Oleh karena itu, setiap orang Batak Toba yang mencintai adat dan

agamanya pantas dan layak untuk merenungkannya.

70