BAB I - Copy

63
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di era globalisasi dengan perkembangan teknologi diberbagai bidang termasuk informasi, manusia modern semakin menemukan ketidakberjarakan yang menyebabkan belahan dunia yang satu dengan yang lain seakan tampak menyatu (global village). Kemajuan-kemajuan tersebut memberikan tantangan pada manusia untuk maju dan sukses , tetapi kehidupan modern yang penuh kompetisi juga memberikan banyak tekanan dan ketegangan jiwa yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit / gangguan kesehatan pada manusia . sejalan dengan ini terjadi pergeseran pola penyakit, dimana penyakit pembuluh darah akan menggeser infeksi sebagai penyebab kematian terbesar penduduk Indonesia hal ini didukung dengan data dimana terjadinya peningkatan penyakit pembuluh darah tiap tahunnya (Misbach,2007) 1

description

akbar

Transcript of BAB I - Copy

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang MasalahDi era globalisasi dengan perkembangan teknologi diberbagai bidang termasuk informasi, manusia modern semakin menemukan ketidakberjarakan yang menyebabkan belahan dunia yang satu dengan yang lain seakan tampak menyatu (global village). Kemajuan-kemajuan tersebut memberikan tantangan pada manusia untuk maju dan sukses , tetapi kehidupan modern yang penuh kompetisi juga memberikan banyak tekanan dan ketegangan jiwa yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit / gangguan kesehatan pada manusia . sejalan dengan ini terjadi pergeseran pola penyakit, dimana penyakit pembuluh darah akan menggeser infeksi sebagai penyebab kematian terbesar penduduk Indonesia hal ini didukung dengan data dimana terjadinya peningkatan penyakit pembuluh darah tiap tahunnya (Misbach,2007)Di amerika serikat kejadian stroke diperkirakan sekitar 795.000 orang per tahun, 610.000 diantaranya merupakan serangan pertama dan 185.000 orang sisanya merupakan serangan berulang. Dari data tersebut menunjukkan bahwa, stroke membunuh lebih dari 137.000 orang setiap tahun dan setiap 40 detik ada satu orang diamerika yang terserang stroke serta setiap 4 menit ada satu orang yang meninggal akibat serangan stroke (AHA,2010a). selain itu data statistic menunjukkan sekitar 5,5 juta orang di Amerika serikat yang menderita stroke menjalani hidup dengan mengalami gejala sisa akibat stroke, dimana gejala sisa yang paling banyak diderita berupa defisit motorik (Heart Disease and stroke statistic,2006).Prevalensi penderita stroke tidak hanya banyak terjadi dinegara maju tetapi juga dinegara berkembang termasuk Indonesia.Di Indonesia, stroke merupakan penyakit nomor tiga yang mematikan setelah jantung dan kanker. Bahkan, menurut survey tahun 2004, stroke merupakan pembunuh nomor satu di Rs pemerintah di seluruh penjuru Indonesia.Diperkirakan terdapat 500.000 penduduk yang terkena stroke. Dari jumlah tersebut sepertiganya bisa pulih kembali, sepertiga lainnya mengalami gangguan fungsional ringan sampai berat yang mengharuskan penderita terus menerus di kasur yang membutuhkan perawatan jangka panjang (Yastroki,2006). Hasil Riskesdas 2007 menunjukkan prevalensi stroke di Indonesia cukup tinggi yaitu sekitar 8,3 per 1000 penduduk (Depkes RI,2009) dan menurut Gemari (2007) diramalkan pada tahun 2020, prevalensi stroke akan meningkat menjadi dua kali lipat.Berdasarkan kunjungan yang didapat di klinik Herifah Makassar sekitar 286 orang sedangkan penderita hemiparese sekitar 48 orang atau sekitar 16,78 %, dari 48 orang penderita tersebut ditemukan 39 orang penderita hemiparese post NHS sedangkan 9 orang pendereta hemiparese penderita post HS.Data diatas menunjukkan bahwa setiap tahunnya penderita stroke mengalami peningkatan dengan tingkat kecacatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kematian. Hemiplegia atau hemiparesis pada extremitas atas merupakan gangguan yang menonjol akibat stroke serta memiliki gangguan yang signifikan terhadap aktivitas kegiatan sehari-hari dan kualitas hidup. Pemulihan fungsi ekstremitas atas adalah paling cepat selama 3 bulan pertama setelah stroke. Bagaimanapun juga, pada 3 bulan pertama setelah stroke hanya 20% yang selamat memiliki fungsi extremitas atas yang normal. Berdasarkan hal tersebut menunjukkan bahwa gangguan fungsi pada extremitas atas merupakan problem utama dan berhubungan dengan level rendah kehidupan pasien (Joke R. De Kroon et al, 2005).Ketergantungan dalam mobilitas merupakan salah satu alasan utama tindakan pemulihan pada pasien hemiparese akibat stroke. Berbagai program dalam rangka pemulihan dilakukan untuk membantu pasien memperoleh kembali kemampuan berjalan. Fakta menjelaskan bahwa 35% pasien hemiparese dengan paralisis awal pada tungkai tidak memperoleh kembali fungsi berjalan dengan baik, dan 25% tidak mampu berjalan bantuan fisik penuh (Melek Gunes Yavuzer, 2006).Selain diperlukan tindakan medis yang lain pada penderita hemipares post stroke, penanganan fisioterapi juga sangat penting peranannya dalam meningkatkan kan fungsi motoric dan kemampuan fungsional pasien (carr dan shepperd,1998).Salah satu metode fisioterapipada penderita stroke yang dapat mengembalikan kontrol motorik adalah Motor Relearning Programme (MRP). Tujuan dari program rehabilitasi adalah untuk memberikan suatu lingkungan dimana pasien dapat belajar bagaimana memperoleh kembali kontrol motorik berdasarkan kemampuan dan skill-skill sosial. Secara teoritis, program MRP akan memiliki efektifitas maksimum jika lingkungan rehabilitasi dapat memberikan konsistensi latihan dan memberikan peluang untuk perkembangan personal (Janet H. Carr). Hasil penelitian Eunike (2007) tentang pengaruh MRP terhadap perubahan keseimbangan berdiri menunjukkan adanya perubahan keseimbangan berdiri secara bermakna yaitu nilai rata-rata sebesar 1,63 dengan nilai p = 0,001 < 0,05. Hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa pemberian MRP dapat menghasilkan perubahan keseimbangan berdiri yang bermakna, namun belum diketahui dampaknya terhadap perubahan tingkat kemandirian ADL penderita hemiparese sehingga peneliti ingin mengetahui seberapa besar pengaruh program MRP terhadap perubahan tingkat kemandirian ADL dalam rehabilitasi stroke. Dengan demikian peneliti tertarik mengambil judul tentang Pengaruh Motor Relearning Programme terhadap perubahan tingkat kemandirian ADL pada penderita hemiparese di klinik Herifah Makassar B. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan masalah penelitian ini yaitu :1. Bagaimana distribusi tingkat ADL extremitas superior pada penderitaHemiparese pasca strokedi klinik Herifa Makassar sebelum diberikan Motor Relearning Programme.2. Bagaimana distribusi tingkat ADL extremitas superior pada penderita Hemiparese pasca stroke di klinik Herifa Makassar setelah diberikan Motor Relearning Programme.3. Adanya pengaruh pemberian Motor Relearning Programme terhadap tingkat ADL extremitas superior pada penderita Hemiparese pasca stroke di klinik Herifha Makassar.C. Tujuan Penelitian1. Tujuan UmumUntuk mengetahui pengaruh MRP terhadap perubahan tingkat kemandirian ADL pada penderita hemiparese di klinik Herifah Makassar tahun 2014.2. Tujuan Khususa. Untuk mengetahui distribusi penderita hemiparese pasca stroke di klinik Herifah Makassar tahun 2014. b. Untuk mengetahui bagaimana distribusi tingkat ADL extremitas superior pada penderita Hemiparese pasca stroke di klinik klinik Herifah Makassar sebelum diberikan Motor Relearning Programme.c. Untuk mengetahui bagaimana distribusi tingkat ADL extremitas superior pada penderita Hemiparese pasca stroke di klinik klinik Herifah Makassar setelah diberikan Motor Relearning Programme.d. Untuk mengetahui Adanya pengaruh pemberian Motor Relearning Programme terhadap tingkat ADL extremitas superior pada penderita Hemiparese pasca stroke di klinik Herifah Makassar.

D. Manfaat Penelitian1. Manfaat Ilmiaha. Dapat menambah pengetahuan dan pengalaman peneliti dalam menangani kasus hemiparese post stroke dengan aplikasi program MRP dilahan praktek.b. Sebagai bahan bacaan bagi para mahasiswa, staf pengajar dan lainnya yang ingin membuat tugas, makalah atau melakukan penelitian lebih lanjut.2. Manfaat PraktisSebagai bahan rujukan bagi fisioterapis di Rumah Sakit dan di lahan praktek dalam menangani kasus hemiparese post stroke dengan aplikasi terapi Motor Relearning Programme (MRP).

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang HemiphareseStroke merupakan gangguan fungsi saraf yang disebabkan oleh gangguan aliran darah dalam otak yang timbul secara mendadak dalam beberapa detik atau secara cepat dalam beberapa jam dengan gejala atau tanda tanda sesuai dengan daerah yang terganggu (Muhammad Irfan, 2010). Hemiparese merupakan suatu kondisi kelemahan separuh badan yang di sebabkan karena adanya salah satu arteri dalam otak tersumbat ataupun pecahnya pembuluh darah di otak yang menimbulkan kelemahan anggota gerak. Kelemahan separuh badan dan letak daerah kerusakan akan menentukan berat ringannya kelemahan stroke (Airiza Ahmad,2010).Menurut WHO (World Health Organization), stroke sebagai kondisi yang cepat berkembang dengan kehilangan fungsi otak yang berlangsung lebih dari 24 jam atau menyebabkan kematian akibat gangguan aliran darah otak (Stuart B. Porter, 2003). Secara umum, gangguan fungsi akibat hemiplegic atau hemipharese post stroke adalah sebagai berikut :a) Gangguan mental dan intelegensi mental penderita pada umumnya, labil, kadang bingung dan cenderung pelupa.b) Lemah separuh badan mulai dari wajah, lengan, badan dan tungkai.c) Gangguan ketegangan (tonus) otot tubuh yang lemah. d) Gangguan keseimbangan dan koordinasi gerak dalam berbagai posisi dari tidur ke duduk, duduk ke berdiri dan berdiri ke jalan.e) Gangguan postur tubuh. f) Gangguan aktivitas sehari-hari dalam hal aktivitas makan minum, kamar mandi, berpakaian, dan pemeliharaan diri. g) Gangguan aktivitas seks

a. Gangguan ADL ADL dan koordinasi fungsi gerak adalah : kemampuan sesorang dalam melakukan aktivitas kegiatan sehari-hari, secara mandiri tanpa bantuan dari orang lain, seperti : perawatan diri, makan minum, berpakaian, kegiatan di toilet/kamar mandi, aktivitas seks, kegiatan dalam pekerjaan, dan kegiatan berrekreasi. Kegiatan ADL dan koordinasi fungsi gerak membutuhkan tiga komponen utama yaitu fungsi sensorik, fungsi kognitif dan fungsi motorik yang terangkum didalam sensomotorik integrasi untuk mewujudkan suatu aktivitas yang terkoordinir dan berfungsi (Aras,Johan 2013).Salah satu cara menilai aktivitas fungsional pasien hemiplegi pasca stroke adalah dengan menggunakan Indeks Barthel yang dimodifikasi. Skala Barthel atau indeks ADL barthel merupakan suatu skala yang digunakan untuk mengukur performa dalam basic ADL. Kesepuluh item tersebut menggambarkan ADL. Item-item tersebut mencakup aktivitas makan-minum, bergerak dari kursi roda ke bed dan sebaliknya, transfer ke dan dari toilet , aktivitas mandi , berjalan diatas permukaan lantai, naik dan turun tangga, aktivitas berpakaian, aktivitas BAB dan BAK.Adapun tujuan pengukuran ADL dan koordinasi fungsi gerak adalah : untuk menunjukkan kemampuan ADL dan koordinasi gerak fungsional pasien yang rill, memotivasi penderita untuk lebih mandiri, salah satu parameter penilaian sebelum dan sesudah diberikan penanganan fisioterapi , dasar membuat program terapi lebih lanjut : jenis- bentuk alat bantu, modifikasi alat / lingkungan kerja dan tempat tinggal. (Aras,Johan 2013).Komponen ADL dianggap baik jika mampu melakukan gerakan tingkat kesukaran tinggi amat cepat dengan ketepatan akurat (cepat,tepat,berirama,bertujuan). Tabel 1. 1 Indeks BarthelNoAktivitasNilai

BantuanMandiri

1. Makan510

2Berpindah dari kursi roda ke tempat tidur dan sebaliknya5-1015

3.Kebersihan diri, mencuci muka, menyisir, mencukur dan menggosok gigi,05

4.Aktivitas di toilet510

5.Mandi05

6.Berjalan mendatar (jika tdk mampu) dengan kursi roda1015

7.Naik turun tangga510

8.Berpakaian dan bersepatu510

9.Mengontrol BAB510

10.Mengontrol BAK510

Jumlah100

Penilaian :0-20 : ketergantungan penuh21-61 : ketergantungan berat/sangat62-90 : ketergantungan moderat91-99 : ketergantungan ringan100 : Mandiri

Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menetukan level dasar dari fungsi gerak dan dapat digunakan untuk memonitor perkembangan aktivitas kegiatan sehari-hari di sepanjang waktu.item-item tersebut diskoring berdasarkan skema yang dikembangkan oleh peneliti. Seseorang bisa mendapatkan skore tertentu berdasarkan pada kemampuannya, apakah membutuhkan bantuan atau tidak saat melakukan tugas aktivitas tersebut. Skore-skore pada setiap item akan dijumlah untuk memperoleh total skore. Skore yang tertinggi menunjukkan seseorang lebih independent (bebas).Kebebasan berarti bahwa seseorang tidak membutuhkan bantuan pada saat melakukan tugas aktivitas tersebut.Jika seseorang melakukan tugas tersebut sekitar 50% kebebasannya maka belum mencapai kebebasan penuh.

B. Tinjauan Tentang Motor Relearning Programme (MRP)Motor Relearning Programme (MRP) terbentuk dari 7 bagian aktivitas sehari-hari yang representatif terhadap fungsi-fungsi esensial (tugas-tugas motorik) dalam kehidupan sehari-hari, sebagian besar aktivitas tersebut dikelompokkan secara bersamaan yaitu : fungsi extremitas atas, fungsi oro-facial, tugas-tugas motorik dalam posisi duduk dan berdiri, duduk ke berdiri dan berdiri ke duduk, serta berjalan. Duduk dari posisi tidur terlentang merupakan petunjuk untuk membantu pasien memperoleh lebih awal postur tegak setelah stroke pada saat pasien memiliki sedikit kontrol motorik.Didalam setiap bagian aktivitas dapat ditentukan rencana pengobatan, menyusun 4 langkah (lihat tabel 2) dan didahului oleh gambaran tentang aktivitas normal mencakup komponen-komponen gerakan yang paling esensial.Terapist dapat memulai suatu tahap pengobatan dengan bagian apapun atau komponen dari bagian tersebut paling cocok bagi pasien. Bagaimanapun juga, setiap tahap pengobatan biasanya terdiri dari komponen dari seluruh bagian.MRP dapat dimulai secepat mungkin bila pasien secara medis dianggap stabil. Sebaiknya pasien dibatasi pada bed saja selama jangka waktu yang pendek setelah stroke. Pasien sebaiknya memulai pengobatan dengan bagian-bagian dari program MRP sebagai contoh fungsi oro-facial, fungsi extremitas atas dan ekstensi hip untuk persiapan berdiri.Tabel 1.2. Empat langkah atau tahap dalam Motor Relearning ProgrammeNo.Tahap/LangkahKomponen

1.Tahap IAnalisis Tugas :Observasi MembandingkanAnalisis

2.Tahap IILatihan pada komponen-komponen yang hilang :Penjelasan - identifikasi tujuan akhirInstruksi Latihan + verbal dan visual feedback + tuntunan manual

3.Tahap IIILatihan pada tugas-tugas fungsional :Penjelasan - identifikasi tujuan akhirInstruksi Latihan + verbal dan visual feedback + tuntunan manualRe-evaluasiAnjuran fleksibilitas

4.Tahap IVTransfer training :Kesempatan untuk latihan sesuai pola yang benarKonsistensi latihanOrganisasi latihan yang dimonitor sendiriLingkungan pembelajaran yang terstrukturKeterlibatan staff/petugas

Sumber : Janet H. Carr, 1998

MRP merupakan suatu program yang diperuntukkan untuk memperoleh kembali kontrol motorik melalui tugas-tugas motorik. Dengan kata lain, training fungsional merupakan remedial itu sendiri. Bagaimanapun juga, metode yang lain untuk mengaktivasi otot-otot dan tugas-tugas motorik, metode yang memberikan bukti/fakta bahwa pendengaran (auditory) atau penglihatan (visual) dapat merangsang kontraksi otot (khususnya biofeedback) dan yang membantu pasien untuk mengkontraksikan otot yang sebelumnya flaccid atau menginhibisi otot yang overaktif, mungkin digunakan dalam kaitannya dengan program MRP.Informasi dari penelitian tentang perilaku motorik tidak akan meragukan lagi sehingga metode training kontrol motorik dapat menjadi lebih spesifik daripada metode yang ada. Sebagai contoh, penelitian baru-baru ini tentang fungsi otak menunjukkan bahwa terdapat interaksi yang kompleks antara 2 hemisphere cerebral. Jika hemisphere kanan dianggap sebagai minor hemisphere dan terdapat gambaran dominan sederhana yang menunjukkan dominan secara total pada salah satu hemisphere, maka sekarang dapat dipahami bahwa setiap hemisphere memiliki fungsi-fungsi khusus dan kedua hemisphere tersebut akan bekerja secara bersamaan untuk menyempurnakan satu sama lain. Istilah dominan sekarang digunakan untuk berhubungan dengan fungsi-fungsi tertentu. Sebagai contoh, hemisphere kanan dianggap dominan dalam hal fungsi visuospatial, dan hemisphere kiri dalam hal bahasa. Suatu pemahaman tentang fungsi tersebut dimana setiap hemisphere memiliki dominasi dan suatu pemahaman tentang cara dimana kedua hemisphere dapat berinteraksi dan menyempurnakan satu sama lain dalam organisasi perilaku yang akhirnya memungkinkan terapis untuk menentukan metode training tersebut (training kontrol motorik) sehingga terapis dapat berkonsentrasi dengan pasien tertentu. Tentu saja, dalam penatalaksanaan program ini terapis harus mempertimbangkan adanya gangguan dari instruksi verbal ke peragaan visual atau sebaliknya. Variasi dari bagian-bagian program akan terbentuk pada tahap pengobatan sehari-hari, dimana berkisar dari jam dalam 2x sehari pada beberapa hari pertama sampai tahap 1 jam setiap hari atau yang lebih baik dari itu. Bagaimanapun juga, agar terjadi pembelajaran, tugas-tugas motorik pasien yang telah dilatih oleh terapis akan membutuhkan latihan diluar tahap pengobatan, dan dianjurkan partisipasi penuh dari pasien untuk menghasilkan feedback yang konsisten dan diperlukan suatu bantuan. Suatu rutinitas atau latihan tertentu yang dilakukan melalui tahap pengobatan sampai rest (istirahat) adalah hal yang esensial untuk konsistensi performa dan pembelajaran kontrol motorik. Rencana pengobatan berdasarkan pada 4 langkah yang terlihat pada tabel diatas. Langkah pertama melibatkan analisis performa pasien atau usaha pasien untuk melakukan tugas-tugas motorik dan problem-problem yang berkaitan dengan performa tersebut. Hal ini memungkinkan untuk membuat keputusan tentang intervensi dan memungkinkan klarifikasi tujuan akhir bagi pasien.Terapis akan mengobservasi pasien dan membandingkan performanya dengan daftar komponen-komponen yang esensial. Terapis menggunakan daftar ini sebagai model dari tugas-tugas motorik dan sebagai kerangka kerja (framework) untuk menganalisis dan mengetahui bahwa suatu perubahan dalam gerakan angular suatu sendi akan dikompensasi oleh perubahan pada sendi lain. Terapis akan mengobservasi apakah dapat mencapai tujuan akhir dan menganalisis tujuan mana yang tercapai, perhatikan adanya komponen-komponen yang hilang atau timing yang tidak tepat dari komponen tersebut dalam pola sinergis, tidak adanya aktivitas otot, adanya aktivitas otot yang berlebihan atau tidak tepat serta adanya perilaku motorik kompensasi. Sebagai contoh, dalam analisis berdiri ditemukan bahwa kenapa terjadi hiperekstensi knee pada saat menumpu berat badan problem ini akibat hilangnya kontrol dari otot quadriceps pada 0 - 15o extensi (level neural). hilangnya kontrol ini berkaitan dengan aktivitas otot yang tidak perlu seperti hiperaktivitas plantarfleksor, posisi kneenya terdorong akibat abnormal alignment hip (terjadi fleksi yang berlebihan) atau extensi saat terapis membantu berdiri (level kinematik).Atau apakah posisi kneenya disebabkan oleh pemendekan otot betis (level muskular),Terapis harus dapat membedakan antara problem primer dan problem yang bersifat sekunder (kompensasi) agar dapat membuat keputusan yang tepat tentang problem-problem yang diarahkan pada pengobatan yang tepat. Dengan demikian, hanya dengan melakukan seluruh analisis pada setiap tugas-tugas motorik dan problem yang berkaitan mencakup faktor anatomi, biomekanik, fisiologis dan perilaku, maka terapis akan mampu membuat keputusan yang tepat tentang intervensinya. Pasien juga dianjurkan untuk berpartisipasi dalam analisis performanya sehingga dapat melihat apakah ada atau tidak dia dapat mendeteksi problem gerakannya sendiri. Jika pasien berpartisipasi dengan cara ini, maka dia akan memahami latihan yang dilakukan dan apa yang dicapai.Dalam penelitian ini, peneliti hanya menerapkan Motor Relearning Programme pada extremitas atas yang akan dijelaskan dibawah ini.1. Gambaran Fungsi Normal Pada Extremitas AtasSebagian besar aktivitas kegiatan sehari-hari melibatkan gerakan kompleks pada anggota gerak atas. Tugas-tugas motorik yang dihasilkan oleh anggota gerak atas dapat menggambarkan 2 problem fundamental dalam kontrol motorik yaitu problem derajat kebebasan gerak dan problem gerakan spesifik. Dalam kehidupan sehari-hari, tujuan akhir dari gerakan lengan adalah peletakan tangan (memposisikan tangan) sebagai contoh menunjuk, meraih, atau memindahkan obyek yang dipegang. Salah satu kebutuhan adalah mampu untuk :a. Memegang dan melepaskan obyek yang berbeda yaitu berbeda bentuk, ukuran, berat, susunanb. Memegang dan melepaskan obyek yang berbeda dengan posisi lengan yang berbeda (yakni mendekati tubuh, menjauhi tubuh)c. Memindahkan suatu objek dari satu tempat ke tempat lainnya.d. Menggerakkan suatu objek disekitar tangane. Memanipulasi alat-alat untuk tujuan spesifikf. Mencapai sesuatu dalam seluruh arah (di depan, belakang, diatas kepala, dan lain-lain).g. Menggunakan 2 tangan secara bersamaan, sebagai contoh salah satu tangan memegang dan tangan yang lain bergerak, atau kedua tangan melakukan gerakan yang sama, atau kedua tangan melakukan gerakan yang berbeda-beda (pemain piano).Gerakan-gerakan ini adalah kompleks karena melibatkan kebutuhan untuk mengontrol beberapa sendi dan otot sehingga membentuk rantai biokinematik multi-link seperti gerakan pada lengan. Lebih jauh, beberapa derajat kebebasan gerak terlaksana (sendi, otot, motor unit) dalam cara yang berbeda sesuai dengan tugas fungsional seseorang. Pada sense yang umum, gerakan terbentuk oleh kebutuhan tugas-tugas fungsional. Lebih spesifik, tangan itu sendiri terbentuk oleh objek yang dipegang. Sebagai contoh, bentuk gelas dan level air didalamnya dapat menentukan genggaman tangan, dan ditambah pula lokasi mulut dapat menentukan bagaimana tangan bergerak melalui suatu ruang/space, besarnya rotasi shoulder dan lengan bawah. Tangan akan terbentuk pada suatu objek karena sifat objek dan penggunaan tangan. Aktivasi otot diperlukan untuk memegang gelas secara keseluruhan dan membawa ke mulut.Ada prasyarat tertentu untuk penggunaan yang efektif pada anggota gerak atas yaitu a. Kemampuan untuk melihat apa yang dilakukan,b. Kemampuan untuk melakukan penyesuaian postural yang terjadi saat gerakan lengan dan kebebasan tangan dalam manipulasi, danc. Informasi sensorik.Informasi utama terhadap kontrol motorik muncul dari penglihatan. Ketika kami meminta seseorang untuk melihat apa yang dia lakukan, maka kami berharap dia dapat mengambil informasi tentang objek dan lingkungan yang akan membantu dia melakukan tugas-tugas motorik. Informasi taktil diperoleh dari rasa objek pada tangan, mengenal sifat alamiah objek (ukurannya, bentuknya, komposisi dan teksturenya) dan posisinya objek pada tangan. Informasi proprioceptive melibatkan kesadaran bagian tangan yang berhubungan satu sama lain dan posisinya dalam ruang/space. Aspek penting dalam deskriminasi sensorik melibatkan pengetahuan tentang kompresibilitas objek, yang dapat melibatkan kombinasi dynamaesthesia (pengetahuan tentang gaya yang teraplikasi pada aksi motorik), kinaesthesia (pengetahuan tentang perubahan posisi jari-jari) dan pengetahuan tentang counterpressure pada ujung jari tangan.2. Komponen-komponen EsensialMeskipun kompleksitas fungsi anggota gerak atas, hal ini memungkinkan untuk mengidentifikasi komponen-komponen gerakan yang esensial, dimana ketika aktif akan memberikan performa pada beberapa aktivitas yang berbeda. Oleh karena itu komponen otot-sendi dianggap sebagai bagian penting dalam beberapa sinergis fungsional yang melibatkan tugas-tugas motorik setiap hari. Memang, performa dari komponen-komponen itu sendiri tidak akan mampu melakukan tugas-tugas motorik yang kompleks. Komponen-komponen ini terlebih dahulu akan membutuhkan aktivasi dari pasien, kemudian dikombinasikan dengan komponen-komponen otot-sendi lainnya dalam sinergis tertentu yang diperlukan untuk tugas-tugas spesifik. a. LenganFungsi utama lengan adalah memungkinkan tangan diposisikan dalam ruang untuk manipulasi. Komponen-komponen esensial yang terlibat dalam mencapai objek adalah :1) Abduksi shoulder2) Fleksi shoulder3) Ekstensi shoulder4) Fleksi dan ekstensi elbowb. Tangan Fungsi utama tangan adalah memegang, melepas dan memanipulasi objek untuk tujuan-tujuan spesifik. Komponen-komponen esensialnya adalah :1) Radial deviasi dikombinasikan dengan ekstensi wrist2) Ekstensi dan fleksi wrist sementara memegang objek3) Abduksi palmar dan rotasi (opposisi) pada carpometacarpal joint ibu jari4) Fleksi dan rotasi (opposisi) pada jari-jari tangan kearah ibu jari.5) Fleksi dan ekstensi metacarpophalangeal joint jari-jari tangan disertai dengan beberapa fleksi interphalangeal joint.6) Supinasi dan pronasi lengan bawah sementara memegang objek.3. Tahap 1 Analisis Fungsi Extremitas AtasSegera setelah stroke, beberapa pasien mengalami kesulitas dalam aktivitas motorik pada anggota gerak atas. Bagaimanapun juga, saat terlihat adanya flaccid pada lengan maka pemulihan aktivitas motorik dapat ditemukan jika terapis memahami fungsi otot dengan cukup baik sehingga mampu secara aktif untuk mendeteksi besar kecilnya aktivitas otot. Dengan kata lain, otot yang nampak tidak berfungsi akan berkontraksi kembali jika kondisinya benar. Terapis berupaya untuk memungkinkan pasien memunculkan kembali aktivitas ototnya, sebagai contoh dengan mengubah tujuannya atau mengubah lamanya otot berkontraksi. Terapis harus menata kondisi-kondisi yang diperlukan untuk aktivasi otot. Penggunaan EMG untuk memonitor aktivitas dan memberikan feedback bagi pasien dan terapis merupakan tahap awal yang esensial.Analisis aktivitas otot disekitar shoulder dapat dibentuk saat pasien tidur terlentang sampai pasien dapat mengontrol shouldernya dalam posisi duduk tanpa gerakan kompensasi yang berlebihan. Aktivitas otot pada tangan dianalisis dengan cara yang sama tetapi saat pasien duduk dengan tangan pada meja.Dalam kenyataannya, problem-problem spesifik mencakup hilangnya komponen-komponen esensial dan kesalahan fungsi yang menggambarkan hilangnya kontrol yang berhubungan dengan komponen-komponen didalam sinergis spesifik, dengan beberapa otot menunjukkan aktivitas yang minim dan aktivitas yang berlebihan lainnya.Problem-problem umum dan strategi kompensasia. Lengan1) Gerakan scapula yang jelek (khususnya lateral rotasi dan protraksi) dan depresi shoulder girdle yang terus menerus.2) Kontrol otot yang jelek pada glenohumeral joint, yaitu hilangnya abduksi dan fleksi shoulder atau ketidakmampuan menopang posisi-posisi tersebut. Pasien mungkin melakukan kompensasi dengan menggunakan elevasi shoulder girdle dan lateral fleksi trunk yang berlebihan. 3) Fleksi elbow, internal rotasi shoulder, dan pronasi lengan bawah yang berlebihan.b. Tangan1) Kesulitan memegang dengan ekstensi wrist. Hilangnya aktivitas ekstensor wrist, serta hilangnya longus fleksor jari tangan yang berfungsi untuk fleksi wrist dan jari-jari tangan.2) Kesulitan ekstensi dan fleksi metacarpophalangeal joint dengan beberapa fleksi pada interphalangeal joint untuk posisi jari-jari tangan dalam memegang dan melepas objek.3) Kesulitan abduksi dan rotasi ibu jari untuk memegang dan melepas objek.4) Ketidakmampuan melepas objek tanpa fleksi wrist.5) Ekstensi jari-jari tangan dan ibu jari yang berlebihan dalam pelepasan objek (biasanya dengan beberapa fleksi wrist).6) Kecenderungan untuk pronasi lengan bawah secara berlebihan sementara menggenggam atau mengambil suatu objek.7) Ketidakmampuan menggenggam objek yang berbeda-beda sementara menggerakkan lengan.8) Kesulitan cupping (membentuk arkus palmar) pada tangan.Ditambah pula, ada 5 akibat lanjut dari stroke yang umum dimana memungkinkan dapat dicegah :a. Kebiasaan postur pada anggota gerak menyebabkan perubahan panjang pada jaringan lunak di shoulder, wrist, ibu jari, dan jari-jari tangan.b. Kompensasi dengan lengan yang normal.c. Penggunaan lengan normal untuk menggerakkan lengan yang lumpuh/lemah.d. Pembelajaran tanpa penggunaan lengan yang lumpuh/lemah.Problem utama setelah stroke adalah kebutuhan (kemandirian) pasien dapat dilihat dengan penggunaan anggota gerak tunggal karena kebutuhannya relatif sederhana. Gangguan fungsional yang besar pada salah satu anggota gerak seringkali dijumpai pada pasien.4. Tahap 2 dan 3 Latihan Fungsi Extremitas AtasLiteratur menjelaskan bahwa rehabilitasi pada fungsi anggota gerak atas umumnya tidak berhasil, dimana pasien tidak pernah menilai efektif penggunaan lengan dan beberapa diantaranya berkembang nyeri hebat pada shoulder. Hal ini kemungkinan akibat teknik pengobatan yang kurang tepat dan kecenderungan menunggu tanda-tanda pemulihan yang jelas sebelum memberikan terapi aktif.Aktivitas motorik biasanya dapat dimunculkan lebih awal saat pasien tidur terlentang dengan lengan elevasi. Seringkali, otot-otot dapat diaktifkan lebih awal dengan kontraksi eksentrik yang lebih baik daripada kontraksi konsentrik, dan pada panjang otot tertentu. Hal ini sulit bagi pasien yang mengaktifkan otot-otot disekitar shoulder dengan lengan disamping tubuh baik saat duduk maupun tidur, sebagaimana kontraksi otot diperlukan untuk mengangkat anggota gerak dengan kerugian mekanikal. Faktor penting lainnya adalah cara mengaktifkan otot sehingga berfungsi normal. Setiap otot atau fungsi beberapa otot dengan otot lainnya dalam pola sinergis yang beragam, bergantung pada tugas-tugas motorik yang dilakukannya. Oleh karena itu, akibat stroke otot dapat diaktifkan sebagai bagian dari salah satu sinergis tertentu sebelum dapat diaktifkan sebagai bagian lainnya. Sama halnya, jika otot tidak dapat berkontraksi sebagai fungsi primemovernya, maka otot mampu berkontraksi sebagai sinergis. Pada tahap awal setelah stroke, terlihat adanya aktivitas motorik yang minimal atau tidak ada sama sekali pada anggota gerak atas. Objektivitasnya adalah untuk menemukan apakah aktivitas motorik muncul dengan memberikan kesempatan otot tertentu untuk berkontraksi secara normal dalam tugas-tugas motorik tertentu, untuk menunjukkan kepada pasien apakah dapat melakukan tugas-tugas motorik dan membantu pasien untuk memperluas kemampuannya. Terapis tidak perlu lagi melakukan latihan pasif (PROMEX) untuk memelihara ROM sendi, karena beberapa aktivitas yang dijelaskan dibawah ini akan memiliki efek pemanjangan otot yang dipertahankan dalam posisi memendek secara habitual. Berikut ini hal-hal yang harus dipertahankan sepanjang bagian dari program MRP :a. Gerakan-gerakan lengan, mencakup gerakan-gerakan tangan harus dilatih lebih awal setelah stroke. Gerakan tangan harus dilatih dengan benar sampai terjadi beberapa pemulihan fungsi disekitar shoulder, sebagaimana dianjurkan oleh beberapa peneliti. Pemulihan tidak perlu terjadi dari proksimal ke distal, melainkan terlebih dahulu berupaya memperoleh kembali kontrol tangan untuk memiliki kontrol shoulder.b. Tugas-tugas motorik yang melibatkan fungsi anggota gerak atas terbentuk dari kombinasi yang kompleks dari aksi otot. Secepatnya aksi otot yang terisolir dimunculkan, sehingga harus dilatih dan diperluas kedalam tugas-tugas motorik yang bermanfaat, dimana pasien memperoleh kontrol melalui peningkatan ROM, perubahan ke gerakan-gerakan lain yang juga memerlukan kontraksi otot sebagai primemover, sinergis dan fiksator, perubahan kontraksi dari kontraksi konsentrik ke eksentrik dalam ROM yang berbeda dan kecepatan yang beragam.c. Seluruh aktivitas otot yang tidak diperlukan untuk gerakan harus dieliminir secara sadar oleh pasien. Hal ini mencakup gerakan-gerakan pada sisi tubuh yang normal dan aktivitas otot pada lengan yang lumpuh/lemah yang tidak diperlukan untuk gerakan atau aktivitas tertentu harus dilatih. Eliminasi aktivitas otot yang tidak perlu merupakan bagian dari perkembangan kontrol motorik, dan pada kasus aktivitas otot yang tidak perlu dari lengan yang lumpuh harus diminimalisasi perkembangan over-aktivitas fleksor.d. Pola gerakan kasar yang dikontrol terapis pada anggota gerak atas harus dihindari karena tidak akan memberikan kesadaran bagi pasien adanya aktivitas otot yang minimal dan hanya akan cenderung otot yang lebih aktif berkontraksi (biasanya cenderung menjadi memendek), dan dapat menyebabkan trauma disekitar shoulder (sebagai contoh tendinitis bicipitalis).e. Aktivitas harus dimunculkan terlebih dahulu dalam posisi keuntungan mekanikal otot yang terbesar. Sebagai contoh, dalam posisi tidur terlentang lengan difleksikan 90o untuk kontraksi otot deltoid.f. Hal ini penting bahwa terapis tidak memegang anggota gerak dengan sangat kuat sejak secara aktual dapat mencegah pasien dari aktivitas otot. Ditambah pula, anggota gerak yang tidak ditopang oleh aktivitas otot yang cukup harus dilatih kembali. Tuntutan manual yang diperlukan ketika terdapat aktivitas otot yang tidak cukup akan diubah dengan tuntutan verbal secepat mungkin.g. Jika otot tidak berkontraksi dalam kondisi tertentu, maka diperlukan variasi kondisi. Sebagai contoh, perubahan kecepatan gerakan, hubungannya dengan gaya gravitasi, atau tujuan akhir.h. Otot harus diarahkan berkontraksi dengan tepat. Latihan yang merangsang otot berkontraksi secara konsentrik melalui seluruh ROMnya tidak akan diberikan jika bergerak tidak alamiah dimana perubahan anggota gerak berhubungan dengan gaya gravitasi. Sebagai contoh perubahan aktivitas otot terjadi pada akhir gerakan ketika lengan digerakkan dari sisi tubuh ke atas kepala dalam posisi tidur terlentang. i. Tujuan akhir harus diidentifikasi dengan jelas dan pasien akan mengetahui apakah pasien mampu mencapainya. Sama halnya, pasien tidak dianjurkan untuk latihan gerakan yang tidak memiliki signifikansi fungsional. Sebagai contoh pasien tidak akan diberikan latihan rubber ball (bola karet) karena kebiasaan aktivitas fleksor, yang biasanya dikombinasikan dengan fleksi dan pronasi wrist, oleh karena itu menuntun perkembangan postur fleksi yang terfiksir.j. Overaktivitas otot yang stereotyp dan pemendekan otot dapat mempengaruhi latihan gerakan lengan dan hal ini tidak dapat diatasi dengan kontrol volunter. Aplikasi serial plaster, dikombinasikan dengan latihan mencapai dan menunjuk, seringkali akan memungkinkan pasien untuk memperoleh beberapa kontrol melalui aplikasi tugas-tugas motorik anggota gerak atas. EMG feedback juga dapat memungkinkan pasien dipersiapkan untuk giat memperoleh ide tentang bagaimana meminimalisasi aktivitas otot yang tidak diinginkank. Terapis tidak akan menggunakan istilah strengthening otot pada sense yang umum. Objektivitasnya adalah untuk membantu pasien memunculkan aktivitas otot dan melatih kontrol aktivitas untuk tugas-tugas motorik yang spesifik. Pada saat pasien latihan pada tugas-tugas yang beragam, pasien akan memperoleh kekuatan otot yang tepat dan endurance yang relatif mudah, dimana pasien diberikan kesempatan untuk bekerja ototnya sampai titik kelelahan otot yang ringan. Pasien akan meningkatkan jumlah repetisi terhadap tugas-tugas motorik tertentu setiap hari dan tugas-tugas tersebut akan dimodifikasi sehingga kekuatannya meningkat pada tugas-tugas yang sama. Sebagai contoh, tugas motorik menunjuk dapat dimodifikasi dengan tugas motorik yang melibatkan peningkatan gerakan mengangkat objek yang berat diatas kepala.l. Tugas-tugas yang melibatkan kedua lengan akan diperkenalkan secepat mungkin. Pada tugas-tugas tertentu, kedua anggota gerak kelihatannya berfungsi sebagai bagian dari salah satu sinergis yang mencakup memanipulasi objek, dan tugas-tugas tersebut akan membutuhkan latihan yang spesifik untuk proses pembelajaran. Meskipun hal ini berguna dengan melakukan gerakan tertentu secara pasif agar dapat memberikan ide gerakan bagi pasien, gerakan pasif yang terus menerus dapat mencegah pasien dari pemunculan aktivitas otot yang dapat mempengaruhi usaha pasien. Ditambah pula, gerakan pasif membuat kesulitan bagi terapis untuk mengenal aktivitas otot yang terjadi dan feedback bagi pasien dimana informasi ini penting bagi proses pembelajaran. Gerakan pasif sedikit berperan dalam meningkatkan motor learning semenjak informasi yang berasal dari gerakan pasif berbeda dengan informasi dari gerakan aktif. Memang, anggota gerak perlu diposisikan secara pasif oleh terapis.

5. Prosedur Pelaksanaan a. Untuk memunculkan aktivitas otot dan melatih kontrol motorik untuk mencapai dan menunjuk1) Teknik 1 :a) Posisi pasien tidur terlentang, terapis mengangkat lengan pasien dan menopang lengan dalam posisi fleksi. Pasien berusaha untuk mencapai keatas. Juga dapat dilakukan dalam posisi tidur miring.b) Instruksi : angkat lengan keatas, konsentrasi pada gerakan shoulder, kemudian biarkan shoulder kembali ke bedc) Pastikan scapula bergerak - mungkin harus digerakkan secara pasif kearah posisi yang diinginkan selama beberapa usaha yang pertama. Jangan biarkan terjadi retraksi shoulder secara aktif - penurunan/pengembalian gerakan harus melibatkan aktivitas otot secara eksentrik.

2) Teknik 2 : a) Posisi pasien tidur terlentang, terapis mengangkat lengan pasien dan menopang dalam posisi fleksi.b) Terapis membantu pasien memunculkan aktivitas otot dengan meminta pasien untuk berusaha melakukan tugas-tugas motorik yang beragam, seperti mengarahkan tangan kearah kepalanya, mengarahkan tangannya diatas kepala kearah bantal.c) Pasien harus berusaha memunculkan aktivitas otot pada otot-otot tertentu khususnya otot deltoid dan triceps brachii. 3) Teknik 3 :a) Posisi pasien tidur terlentang, terapis mengangkat lengan pasien dan menopang lengan dalam posisi fleksi.b) Pasien melatih mempertahankan lengannya dalam posisi fleksi dan dan menggerakkan lengan didalam ROM yang sama kesegala arah, selalu mempertahankan kontrol motorik.c) Jangan biarkan lengan bawah pronasi, fleksi elbow, atau internal rotasi shoulder secara berlebihan.4) Teknik 4 :a) Duduk dengan lengan diatas meja, pasien melatih mencapai gerakan ke depan dan keatas. b) Pasien harus melatih didalam ROMnya dan dapat melatih kontrol motorik, kemudian secara bertahap ditingkatkan.c) Ketika pasien dapat mengontrol shouldernya diatas 90o, pasien harus melatih mencapai dibawah 90o tetapi ditingkatkan ROMnya, sampai pasien dapat mencapai posisi yang diinginkan baik fleksi dan abduksi.d) Jangan biarkan elevasi shoulder girdle sebagai gerakan kompensasi untuk abduksi atau fleksi shoulder. Jangan biarkan fleksi elbow kecuali diperlukan karena posisi objek. Pastikan pasien mencapai fleksi kedepan dengan eksternal rotasi shoulder.b. Untuk mempertahankan panjang otot1) Teknik Ia) Pasien duduk dengan tangannya yang terganggu didatarkan pada bed dibelakang punggungnya. Terapis memberikan bantuan.b) Teknik ini dapat membantu mencegah kontraktur longus fleksor jari-jari tangan, fleksor dan internal rotator shoulder.c) Pastikan berat pasien dibawa kearah belakang dan mentransfer berat badan ke tangannya yang terganggu. Jangan biarkan elbow fleksi.2) Teknik IIa) Pasien duduk atau berdiri, terapis membantu pasien mempertahankan tangannya di dinding dengan lengan abduksi atau fleksi pada 90o.b) Terapis membantu meletakkan tangannya dalam posisi tersebut. c) Beberapa tekanan horizontal melalui lengan akan mencegah tangan dari sliding ke bawah. d) Pada awalnya terapis mungkin perlu mempertahankan elbow tetap ekstensi, kemudian dalam posisi tersebut pasien melatih elbownya kearah fleksi dan ekstensi agar terjadi perbaikan kontrol melalui ekstensor elbow, sebagaimana pasien telah memperoleh kontrol shoulder dan elbow dengan latihan memutar trunk dan kepala.c. Untuk memunculkan aktivitas otot dan melatih kontrol motorik untuk manipulasi1) Teknik I :a) Pasien duduk dengan lengan tersanggah diatas meja, lengan bawah dalam mid-posisi, jari-jari tangan dan ibu jari memegang objek (gelas).b) Pasien berusaha untuk mengangkat objek (gelas) keatas.c) Ditingkatkan : dengan posisi lengan bawah mid-posisi, pasien melatih gerakan mengangkat objek keatas, mengekstensikan wrist, meletakkan kembali, memfleksikan wrist, meletakkan kembali. Pasien harus memegang objek selama latihan.2) Teknik IIa) Pasien juga dapat melatih gerakan tangan ke belakang sehingga menyentuh objek.b) Jarak objek yang akan digerakkan dapat ditingkatkan secepat mungkin.c) Tujuan dapat diubah dengan pasien mendorong objek disepanjang meja, yang melibatkan beberapa lengan serta gerakan wrist.d) Koreksi kecenderungan fleksi wrist ketika akan diekstensikan, dan koreksi kecenderungan pronasi pada lengan bawah.

3) Teknik IIIa) Jari-jari tangan pasien memegang objek yang berbentuk silindrical, kemudian pasien berusaha melakukan supinasi lengan bawah sehingga ujung objek menyentuh meja.b) Jangan biarkan lengan bawah terangkat dari meja kecuali diperlukan oleh tugas motorik tersebut.c) Tujuan dapat diubah dengan meminta pasien meratakan potongan dempul. melakukan hal yang sama.C. Tinjauan Pengaruh Pemberian Motor Rearning Program (MRP) terhadap tingkat ADL makan minum pasien Hemipharese Post Stroke.Propioseptif Feedback pada Motor Relearning Programmme (MRP) Umpan balik (feedback) merupakan suatu faktor penting yang menurut banyak teorimempengaruhi proses motor learning. Seperti latihan, umpan balik merupakan variableyang dapat dikontrol dan diubah untuk meningkatkan proses belajar. Umpan balik adalah suatu informasi tentang suatu respon yang dapat bersifat intrinsik atau ekstrinsik. Umpan balik intrinsik didefinisikan sebagai suatu informasi sensori yang datang dari reseptor khusus di dalam otot, sendi, tendon dan kulit serta reseptor visual dan auditorius baik selama atau setelah dihasilkannya gerakan. Sementara itu umpan balik ekstrinsik adalah informasi dari sumber eksternal tentang gerakan yang diberikan kepada orang yang akan melakukan hal tersebut. Pada pasien stroke, umpan balik intrinsik sering mengalami distorsi atau bahkan menghilang sehingga efektivitasnya dalam memberikan umpan balik tentang penampilan motorik menjadi terbatas. Hal ini mengakibatkan diperlukannya suatu penguatan melalui umpan balik ekstrinsik yang tepat. Umpan balik ekstrinsik dapat memberikan informasi tambahan untuk memfasilitasi kesadaran dini akan suatu gerakan dan proses belajar. Secara teoritis, umpan balik ekstrinsik merupakan hal penting untuk terbentuknya rujukan internal tentang ketepatan suatu pergerakan, yang terbentuk melalui proses latihan. Hal ini merupakan inti proses motor learning pada penderita stroke.

41

BAB IIIKERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

A. KERANGKA KONSEP

Gangguan ADL Pasien Hemipharese Post Stroke

Berpakaian Transfer ToilettingSexTransfer

Gangguan ADL Makan minum dan Berpakaian

Motor Relearning Program (MRP)

Tingkat ADL Makan Minum dan Berpakaian Penggunaan Obat-obatan

Penggunaan Alat bantu

B. Hipotesis Penelitian Ada pengaruh pemberian Motor Relearning Programme (MRP) terhadap perubahan tingkat ADL pada penderita hemiparese post stroke

BAB IVMETODOLOGI PENELITIAN

A. DESAIN PENELITIAN Jenis penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian eksperimen kuasi yang sering disebut eksperimental semu, dengan pendekatan Pre test - Post test Design. Disebut penelitian ekperimen kuasi karena tidak semua variable luar dikontrol oleh peneliti (Pratiknya, 2001).Dalam penelitian ini penulis menggunakan data primer yaitu dengan melakukan pencacatan data sebelum dan sesudah intervensi.Pencatatan meliputi tingkat kemampuan aktivitas fungsional. Selanjutnya desain peneltian dapat digambarkan sebagai berikut :O1 ------------------ X -------------------- O2Keterangan :01 : Keadaan sebelum perlakuanX: Pemberian MRP02 : Keadaan sesudah perlakuan

B. POPULASI DAN SAMPEL 1. Populasi Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien stroke yang datang di Herifah Makassar tahun 20142. SampelSampel pada penelitian ini berjumlah 15 orang yang berobat keKlinik fisioterapi Herifah tekhnik pengampilan sampel adalah dengan kriteria inklusi yaitu : a. Bersedia menjadi responden b. Pasien yang berkunjung minimal 3x seminggu pada instalasi fisioterapic. Nilai otot 0 sudah bisa di berikan terapi latihan ini .C. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIANa. Tempat : Klinik Herifah Makassarb. Waktu penelitian : direncanakan selama bulan oktober-november 2014

D. ALUR PENELITIAN

Observasi

Menentukan populasi

Menentukan sampel sesuai kriteria

Pengumpulan data

Pre test, questioner, experiment

Pemberian MRP 6x

Post Test

Analisis Data Penelitian

Penyajian data

Laporan Penelitian

E. DEFINISI OPERASIONAL1. Motor Relearning Programme adalah suatu program latihan aktif kombinasi pasif yang diaplikasikan pada extremitas atas dan bawah berdasarkan fungsi esensial ekstremitas atasdalam kehidupan sehar-hari. a. Untuk memunculkan aktivitas otot dan melatih kontrol motorik untuk mencapai dan menunjukTeknik :1) Posisi pasien tidur terlentang, terapis mengangkat lengan pasien dan menopang lengan dalam posisi fleksi. Pasien berusaha untuk mencapai keatas. Juga dapat dilakukan dalam posisi tidur miring.2) Instruksi : angkat lengan keatas, konsentrasi pada gerakan shoulder, kemudian biarkan shoulder kembali ke bed3) Pastikan scapula bergerak - mungkin harus digerakkan secara pasif kearah posisi yang diinginkan selama beberapa usaha yang pertama. Jangan biarkan terjadi retraksi shoulder secara aktif - penurunan/pengembalian gerakan harus melibatkan aktivitas otot secara eksentrik.b. Untuk mempertahankan panjang ototTeknik : 1) Pasien duduk dengan tangannya yang terganggu didatarkan pada bed dibelakang punggungnya. Terapis memberikan bantuan.2) Teknik ini dapat membantu mencegah kontraktur longus fleksor jari-jari tangan, fleksor dan internal rotator shoulder.3) Pastikan berat pasien dibawa kearah belakang dan mentransfer berat badan ke tangannya yang terganggu. Jangan biarkan elbow fleksi.c. Untuk memunculkan aktivitas otot dan melatih kontrol motorik untuk manipulasiTeknik :1) Pasien duduk dengan lengan tersanggah diatas meja, lengan bawah dalam mid-posisi, jari-jari tangan dan ibu jari memegang objek (gelas).2) Pasien berusaha untuk mengangkat objek (gelas) keatas.3) Ditingkatkan : dengan posisi lengan bawah mid-posisi, pasien melatih gerakan mengangkat objek keatas, mengekstensikan wrist, meletakkan kembali, memfleksikan wrist, meletakkan kembali. Pasien harus memegang objek selama latihan. Dosis yang digunakan adalah : Frekuensi=3 x semingguIntensitas=2 x 8 pengulanganTeknik=Latihan Aktif - Pasif yang terkontrol dan berulangTime=10 menitd. Tingkat Kemandirian ADL adalah kemampuan ADL makan-minum, berjalan dan naik turun tangga yang diukur dengan Indeks Barthel, adapun kriterianya adalah sebagai berikut :1. ADL Meningkat, dikatakan meningkat jika terjadi perubahan skore dari pre test ke post test.2. ADL Menetap, dikatakan menetap jika tidak terjadi perubahan skore dari pre test ke post test.Dengan kriteria sebagai berikut :0-20 : ketergantungan penuh21-61 : ketergantungan berat/sangat62-90 : ketergantungan moderat91-99 : ketergantungan ringan100 : Mandiri

F. TEKHNIK PENGUMPPULAN DAN PENGOLAHAN DATAPengumpulan data penelitian dilakukan peneliti dengan menggunakan data yang bersifat primer yaitu questioner, yang sebelumnya diberikan penjelasan kepada responden tentang prosedur pengumpulan data.Selanjutnya data yang bersifat sekunder berasal dari rekam medik atau instansi terkait.

G. RENCANA PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA a. Rencana pengolahanData yang sudah terkumpul dari responden dilakukan pengolahan data dengan menggunakan komputer (Hastono,,2004), selanjutnya dilakukan lagkah-langkah sebagai berikut:1. Editing data Data untuk memastikan bahwa data yang diperoleh sudah lengkap terisi semua dan dapat terbaca dengan baik dilakukan dengan cara mengkoreksi data ( klarifikasi ) yang telah diperoleh meliputi kebenaran pengisian dan kelengkapan jawaban terhadap lembar instrument.2. Coding dataPemberian kode pada data dimaksudkan agar mudah dalam entry data3. Processing data Tahap ini peneliti memasukkan data ke paket program computer dan selanjutnya dilakukan analisis data 4. Cleaning data Data yang telah dimasukkan ke program computer dilakukan pembersihan agar sel;uruh data yang diperoleh terbebas dari kesalahan sebalum dilakukan analisissb. Analisis dataAnalis data dilakukan dengan dua tahap :

1. Analisis univariet Tujuan analisis ini untuk mengukur distribusi dari masing-masing variable yang diteliti. Pengujian masing masing variable dengan menggunakan table dan di interpretasikan berdasarkan hasil yang diperoleh 2. Analisis bivariet Analisis bivariet dilakukan untuk melihat pengaruh beberapa variable independent terhadap variable dependent .

H. ETIKA PENELITIAN Merupakan masalah yang sangat penting dalam penelitian mengingat berhadapan langsung dengan manusia .masalah etik yang harus diperhatikan antara lain :1. Informed consent Diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan memberikan lemba persetujuan untk enjadi responden tujuannya adalah agar subjek mengerti maksud dan tujuan penelitian .2. Anonymity (tanpa nama)Nama responden tidak dicantumkan pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data ataua hasil penelitian yang akan disajikan 3. Kerahasiaan (privacy)Semua informasi yang tel;ah dikumpulkan dijamin kerahasiaanya oleh panitia, hanya kelompok data tersusun yang akan dilaporkan pada hasil penelitian.