BAB I Case Tri Wisudawati

45
BAB I LAPORAN KASUS A. IDENTIFIKASI Nama : Tri Wisudawati Umur : 12 Tahun 3 Bulan Jenis kelamin : Perempuan Agama : Islam Kebangsaan : Sumatera Alamat : Komp. 3 Gajah Indah Blok I No. 5 MRS : 13 April 2015 B. ANAMNESIS (Alloanamnesis dengan kakak penderita, 15 April 2015) Keluhan Utama : demam tinggi Keluhan Tambahan : menggigil, mual dan muntah Riwayat Perjalanan Penyakit Sembilan hari SMRS, penderita mengeluh BAB cair setelah makan sate di kondangan dan bakso bakar pedas, frekuensi ± 2 kali, air lebih banyak dari ampas, jumlah ± 1 gelas belimbing tiap BAB, lendir tidak ada, darah tidak ada. Penderita diberi omegdiar dan antasid oleh kakak penderita. Penderita belum dibawa berobat ke dokter. Tujuh hari sebelum masuk rumah sakit, penderita mengeluh demam, demam naik turun tapi suhunya tidak 1

description

ok

Transcript of BAB I Case Tri Wisudawati

Page 1: BAB I Case Tri Wisudawati

BAB I

LAPORAN KASUS

A. IDENTIFIKASI

Nama : Tri Wisudawati

Umur : 12 Tahun 3 Bulan

Jenis kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Kebangsaan : Sumatera

Alamat : Komp. 3 Gajah Indah Blok I No. 5

MRS : 13 April 2015

B. ANAMNESIS

(Alloanamnesis dengan kakak penderita, 15 April 2015)

Keluhan Utama : demam tinggi

Keluhan Tambahan : menggigil, mual dan muntah

Riwayat Perjalanan Penyakit

Sembilan hari SMRS, penderita mengeluh BAB cair setelah makan sate di

kondangan dan bakso bakar pedas, frekuensi ± 2 kali, air lebih banyak dari ampas,

jumlah ± 1 gelas belimbing tiap BAB, lendir tidak ada, darah tidak ada. Penderita

diberi omegdiar dan antasid oleh kakak penderita. Penderita belum dibawa berobat

ke dokter.

Tujuh hari sebelum masuk rumah sakit, penderita mengeluh demam, demam

naik turun tapi suhunya tidak pernah mencapai normal, demam meningkat terutama

pada malam hari. Demam tidak disertai menggigil, tidak berkeringat dan tidak

disertai kejang. Mual tidak ada, muntah tidak ada, nafsu makan normal, nyeri ulu

hati tidak ada, batuk tidak ada, pilek tidak ada, sakit menelan tidak ada, sakit

tenggorokan tidak ada, nyeri sendi tidak ada, pegal-pegal tidak ada, koreng-koreng

pada kulit tidak ada, mimisan tidak ada, gusi berdarah tidak ada, dan bintik-bintik

merah tidak ada. BAB cair masih ada frekuensi 2 kali sebanyak ½ gelas belimbing,

BAK seperti biasa. Penderita belum dibawa berobat.

1

Page 2: BAB I Case Tri Wisudawati

Lima hari sebelum masuk rumah sakit, penderita masih demam, demam

naik turun tapi suhunya tidak pernah mencapai normal. Demam disertai menggigil,

tidak berkeringat dan tidak disertai kejang. Mual ada, muntah tidak ada, nafsu

makan menurun, nyeri ulu hati ada, batuk tidak ada, pilek tidak ada, sakit menelan

tidak ada, sakit tenggorokan tidak ada, nyeri sendi tidak ada, pegal-pegal tidak ada,

koreng-koreng pada kulit tidak ada, mimisan tidak ada, gusi berdarah tidak ada,

bintik-bintik merah tidak ada. BAB cair masih ada frekuensi 2 kali sebanyak ½

gelas belimbing, BAK seperti biasa. Penderita lalu dibawa berobat ke Puskes,

diperiksa DDR hasilnya negatif, dan mendapat pengobatan kloramfenikol 4x1 tab,

ranitidine 3x1 tab, Parasetamol 3x1 tab, dan domperidone 2x1 tab.

Dua hari sebelum masuk rumah sakit pederita mengeluh demam tinggi,

setelah diukur oleh kakak penderita, suhunya 39oC. Demam disertai menggigil dan

mengigau, mual ada, muntah tidak ada, nyeri ulu hati ada, batuk pilek tidak ada,

sakit menelan tidak ada, sakit tenggorokan tidak ada, nyeri sendi tidak ada, pegal-

pegal tidak ada, koreng-koreng pada kulit tidak ada, mimisan tidak ada, gusi

berdarah tidak ada, bintik-bintik merah tidak ada. BAB cair masih ada frekuensi 1

kali sebanyak ½ gelas belimbing, BAK seperti biasa. Penderita masih melanjutkan

pengobatan dari Puskesmas.

Empat jam sebelum masuk rumah sakit penderita mengeluh demam tinggi,

disertai menggigil, lemas, mual ada, muntah ada frekuensi 2 kali sebanyak 1 gelas

belimbing, nyeri ulu hati ada, nafsu makan menurun, BAB cair ada frekuensi 1 kali

sebanyak 1/2 gelas belimbing, BAK seperti biasa. Penderita lalu dibawa ke dokter

umum dan dirujuk ke Poli Anak RS Ibnu Sutowo. Penderita disarankan untuk rawat

inap.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat penyakit demam lama dengan gejala yang sama sebelumnya disangkal

Riwayat batuk-batuk lama disertai kesulitan penambahan berat badan disangkal

Riwayat mengkonsumsi obat-obatan malaria disangkal

Riwayat mual dan nyeri ulu hati sebelumnya disangkal

2

Page 3: BAB I Case Tri Wisudawati

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga

Riwayat penyakit batuk dan demam lama dalam keluarga disangkal

Riwayat Kebiasaan dan Pola Hidup

Penderita sering jajan di pinggir jalan dan kantin sekolah dan jarang mencuci

tangan dengan sabun sebelum dan sesudah makan.

Penderita tidur tidak menggunakan kelambu dan banyak pakaian yang

tergantung di belakang pintu kamar.

Bak mandi dikuras teratur setiap 2 kali dalam seminggu, bak penampungan air

tertutup.

Riwayat Lingkungan

Penderita tinggal bersama ayah, satu orang kakak laki-laki dan satu orang kakak

perempuan di rumah pribadi, terdiri atas tiga kamar dan satu WC terletak didalam

rumah. Sumber air yang dipakai berasal dari ledeng. Air untuk minum dan

memasak menggunakan air ledeng yang telah dimasak.

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran

GPA : P3A0

Masa kehamilan : ±38 minggu

Partus : Spontan per vaginam

Ditolong oleh : Dokter Sp.OG

Tanggal : 11 Januari 2003

Berat badan lahir : 3000 gram

Panjang badan lahir : kakak penderita tidak tahu

Keadaan saat lahir : Langsung menangis

Riwayat Makanan

Penderita sehari-hari mengkonsumsi:

- nasi biasa 3 kali sehari. Rata-rata penderita menghabiskan nasi sebanyak 2-3

centong nasi sebanyak 3 kali sehari.

3

Page 4: BAB I Case Tri Wisudawati

- Sayur ada setiap hari. Bervariasi dari sayur kangkung, tauge, lodeh, katu dan

bayam. Sekali makan bisa mengambil 2-3 sendok sayur.

- Lauk yang dikonsumsi bervariasi mulai dari ikan (1/2 potong), ayam (1 potong),

telur (1 butir), tahu (sepotong), dan tempe (sepotong). Frekuensi 3 kali sehari.

- Konsumsi buah seperti buah pir, duku, pisang, pepaya, jeruk 2-3 x dalam

seminggu.

- Penderita minum air sebanyak ± 1 L dalam sehari

- Penderita sering jajan disekolah seperti bakso, tekwan dengan cabe yang banyak,

coklat, ciki-ciki, es sisri, teh gelas, dan Cappucinno Cincau.

Riwayat:

ASI : tidak pernah

Susu Formula : 0 bulan – 3 tahun

Nasi tim : 7 – 12 bulan

Nasi biasa : 1 tahun sampai sekarang

Kesan : Kualitas dan kuantitas makanan cukup.

Riwayat Perkembangan Fisik

Berbalik : 3 bulan

Tengkurap : 4 bulan

Duduk : 6 bulan

Merangkak : 8 bulan

Berdiri : 10 bulan

Berjalan : 12 bulan

Berbicara : 24 bulan

Kesan : Perkembangan fisik dalam batas normal

4

Page 5: BAB I Case Tri Wisudawati

Riwayat Imunisasi

BCG : 1 kali, scar + (pada lengan kanan)

DPT : 3 kali

Polio : 4 kali

Hepatitis B : 3 kali

Campak : 1 kali

Kesan : Imunisasi dasar lengkap

Riwayat Sosial Ekonomi

Penderita adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Ayah penderita berusia 58

tahun, pendidikan terakhir STM, yang bekerja sebagai karyawan di PT. SB. Ibu

penderita telah meninggal saat berusia 45 tahun dengan pendidikan terakhir D3, dan

bekerja sebagai guru. Ekonomi keluarga ditanggung oleh ayah penderita yang tinggal

dirumah sendiri dengan penghasilan 3,5 juta perbulan.

Kesan sosial ekonomi: menengah keatas.

C. PEMERIKSAAN FISIK

Tanggal pemeriksaan: 16 April 2015

Keadaan Umum

Kesadaran : Kompos mentis

Tekanan darah : 100/70 mmHg

Nadi : 22 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup

Pernapasan : 30 x/menit

Suhu : 39°C

Anemis : tidak ada

Sianosis : tidak ada

Ikterus : tidak ada

Dispnea : tidak ada

Edema umum : tidak ada

Berat Badan : 83 kg

5

Page 6: BAB I Case Tri Wisudawati

Tinggi Badan : 172 cm

Status Gizi: BB/U : 83/43 x 100% = 193 %

TB/U : 172/153 x 100% = 112,4 %

BB/TB : 83/NA x 100% = N/A

Kesan : obesitas

Keadaan Spesifik

Kepala

Bentuk : Normosefali, simetris

Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut, halus.

Mata : Cekung (-), edema palpebra (-), konjungtiva anemis (-), sklera

ikterik (-), Pupil bulat isokor ø 3mm, reflek cahaya (+/+) normal

Hidung : Napas cuping hidung (-), mukosa edema (-), hiperemis (-),

deviasi septum (-), sekret (-)

Telinga : Meatus auditori eksterna (+), serumen (-), edema (-), hiperemis

(-), sekret (-), nyeri tarik aurikula (-), nyeri tekan tragus (-),

nyeri tekan mastoid (-)

Mulut : bibir kering (-), Sianosis (-), pucat (-), bibir pecah-pecah (-),

cheilitis (-), thypoid tongue (-)

Tenggorokan : Dinding faring hiperemis (-), T1-T2 hiperemis (-), detritus (-),

crypta melebar (+)

Leher : Pembesaran KGB (-),

Thorak s

Paru-paru

Inspeksi : Statis dan dinamis simetris, retraksi (-)

Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri

Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru, batas paru hepar ICS V

Linea

Mid Clavicularis Dekstra

Auskultasi : Vesikuler normal, ronki (-), wheezing (-)

Jantung

6

Page 7: BAB I Case Tri Wisudawati

Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat, voussure cardiac tidak terlihat.

Palpasi : Ictus cordis tidak teraba, thrill tidak teraba

Perkusi : Batas atas : ICS II linea midclavicularis sinistra

Batas kanan : ICS IV linea parasternalis dextra

Batas kiri : ICS IV linea axilaris anterior sinistra

Auskultasi : HR: 94 x/menit, irama reguler, pulsus defisit (-), BJ I-II normal,

murmur (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi : datar

Palpasi : Lemas, nyeri tekan (+) di regio epigastrium dan umbilikal, hepar

dan lien tidak teraba.

Perkusi : Timpani

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Lipat paha dan genitalia : Pembesaran KGB (-)

Ekstremitas : Akral hangat, pucat (-), sianosis (-), edema pretibial (-),

CRT < 3”

D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Darah rutin 13 April 2015

Hb: 11,0 g/dl

Leukosit : 6400 IU

Trombosit : 337.000 IU

Hematokrit : 32%

Hitung jenis leukosit

Segmen : 62%

Limfosit : 38%

Pemeriksaan serologi

WIDAL

Salmonella typhi O : 1/320

Salmonella paratyphi AO : 1/80

7

Page 8: BAB I Case Tri Wisudawati

Salmonella paratyphi BO : 1/80

Salmonella paratyphi CO : 1/80

Salmonella typhi H : 1/80

Salmonella paratyphi AH : 1/320

Salmonella paratyphi BC : 1/80

Salmonella paratyphi CH : 1/80

E. DIAGNOSIS BANDING

Demam tifoid

Malaria

Tuberkulosis

F. PEMERIKSAAN ANJURAN

Mantouks test

DDR

Darah perifer lengkap

Urin Rutin

Feses rutin

Kultur urin dan kultur feses

G. DIAGNOSIS KERJA

Demam tifoid

H. PENATALAKSANAAN

1. Supportif

o Tirah baring sampai 7 hari bebas panas, lalu mobilisasi secara bertahap

o Diet: bebas serat, tidak merangsang, tidak menimbulkan gas, mudah dicerna,

tidak dalam jumlah yang banyak, bubur saring sampai 7 hari bebas panas,

bubur biasa 3 hari kemudian makan biasa

o IVFD D5 1/2 NS gtt XX x/menit

2. Simptomatik

8

Page 9: BAB I Case Tri Wisudawati

o Paracetamol 3x500 mg, bila suhu ≥ 38,5o C

o Ranitidine injeksi 2 x 1 ampul

o Antacid oral 4 x 1 tab

3. Kausatif

o Kloramfenikol 4x500 mg

4. Edukasi

o Higiene perorangan dan lingkungan seperti tidak jajan di sembarang tempat,

mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, pengamanan pembuangan

limbah feses (tinja), pemberantasan lalat, penyediaan air minum yang

memenuhi syarat.

I. PROGNOSIS

Quo ad vitam : bonam

Quo ad functionam : bonam

J. FOLLOW UP

Tanggal Follow up Pengobatan

14 April

2013

S/ demam (+), mual (+), muntah (+), menggigil (+), berkeringat (+)

O/Keadaan umum : tampak sakit ringan Sensorium : compos mentis Temperatur : 38,1oCPulse rate : 98 x/mRespiratory rate : 28 x/mTekanan darah : 110/70 mmHg

Kepala : CA(-), SI (-), edema palpebra (-), NCH (-), tonsil T1-T1 hiperemis (-)Thorax : simetris, retraksi (-)Pulmo : vesikuler (+) normal, Wh (-) , Rh (-)

IVFD D5 ¼ NS gtt XX /m

Injeksi :

Ranitidin 2x1 amp

Antasid 3x1 tab

Kloramfenikol 4x500 mg

Parasetamol 3x1 tab, bila

temp ≥ 38,5oC

Zink 1x1 tab

Cek DR, UR, widal, DDR

9

Page 10: BAB I Case Tri Wisudawati

Cor : BJ 1 dan 2 normal, m(-), g(-)Abdomen : datar, lemas, h/l ttb, BU (+) normalExtremitas : akral hangat (+), CRT < 2”

15 April

2015

S/ demam (+), mual (+), muntah (+)

O/Keadaan umum : tampak sakit ringan Sensorium : compos mentis Temperatur : 37,6oCPulse rate : 98 x/mRespiratory rate : 26 x/mTekanan Darah : 110/70 mmHg

Kepala : CA(-), SI (-), edema palpebra (-), NCH (-), tonsil T1-T1 hiperemis (-)Thorax : simetris, retraksi (-)Pulmo : vesikuler (+) normal, Wh (-) , Rh (-)Cor : BJ 1 dan 2 normal, m(-), g(-)Abdomen : datar, lemas, h/l ttb, BU (+) normalExtremitas : akral hangat (+), CRT < 2”

IVFD D5 ¼ NS gtt XX /m

Injeksi Ranitidin 2x1 amp

Antasid 3x1 tab

Kloramfenikol 4x500 mg

Parasetamol 3x1 tab, bila

temp ≥ 38,5oC

Zink 1x1 tab

16 April

2015

S/ demam (+), mual (+),

O/Keadaan umum : tampak sakit ringan Sensorium : compos mentis Temperatur : 39oCPulse rate : 94 x/mRespiratory rate : 26 x/mTekanan darah : 100/70 mmHg

Kepala : CA(-), SI (-), edema palpebra (-), NCH (-), tonsil T1-T1 hiperemis (-)Thorax : simetris, retraksi (-)Pulmo : vesikuler (+) normal, Wh

10

Page 11: BAB I Case Tri Wisudawati

(-) , Rh (-)Cor : BJ 1 dan 2 normal, m(-), g(-)Abdomen : datar, lemas, h/l ttb, BU (+) normalExtremitas : akral hangat (+), CRT < 2”

17 April

2015

S/ demam (+), mual (+)O/Keadaan umum : tampak sakit ringan Sensorium : compos mentis Temperatur : 37,6oCPulse rate : 100 x/mRespiratory rate : 22 x/mTekanan darah : 120/80 mmHg

Kepala : CA(-), SI (-), edema palpebra (-), NCH (-), tonsil T1-T1 hiperemis (-)Thorax : simetris, retraksi (-)Pulmo : vesikuler (+) normal, Wh (-) , Rh (-)Cor : BJ 1 dan 2 normal, m(-), g(-)Abdomen : datar, lemas, h/l ttb, BU (+) normalExtremitas : akral hangat (+), CRT < 2”

11

Page 12: BAB I Case Tri Wisudawati

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi endemik di Asia,

Afrika, Amerika latin, Karibia, dan Oceania, termasuk Indonesia penyakit yang

masih tergolong endemik di negara-negara yang sedang berkembang seperti

Indonesia. Penyakit infeksi yang ditularkan melalui makanan dan minuman ini,

disebabkan oleh kuman S. typhi. Insiden demam tifoid di seluruh dunia menurut

data pada tahun 2002 sekitar 16 juta per tahun, 600.000 di antaranya

menyebabkan kematian.1

Di Indonesia kasus demam tifoid telah tercantum dalam Undang-undang

nomor 6 Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan

penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat

menimbulkan wabah.2

Di Indonesia insidens penyakit tersebut tergolong masih tinggi. Penyakit

tersebut diduga erat hubungannya dengan hygiene perorangan yang kurang

baik,sanitasi lingkungan yang jelek (misalnya penyediaan air bersih yang kurang

memadai, pembuangan sampah dan kotoran manusia yang kurang memenuhi

syarat kesehatan, pengawasan makanan dan minuman yang belum sempurna),

serta fasilitas kesehatan yang tidak terjangkau oleh sebagian besar masyarakat.3

2.1 Terminologi dan Definisi

Secara historis, typhus berasal dari bahasa Yunani ”typhos” yang berarti

asap, atau yang lebih halus lagi dari asap, merupakan kiasan yang

menggambarkan orang melamun, yang dipengaruhi oleh asap yang sedang naik di

awan, dari asal nama di atas menggambarkan bahwa kesadaran penderita demam

tifoid seperti diliputi awan (kabut). Nama lain yang sering ditulis dalam

kepustakaan adalah ”typhus abdominalis” suatu istilah yang kurang tepat, karena

12

Page 13: BAB I Case Tri Wisudawati

dulunya dianggap bahwa demam tifoid adalah kumpulan gejala demam tifus yang

menyerang alat pencernaan.3

Demam tifoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada

saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih

disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan

kesadaran.1

2.2 Etiologi

Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella

paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif,

tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak

dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam

bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan

pemanasan (suhu 6000C) selama 15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan

khlorinisasi. Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu: 4

1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh

kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut

juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak

tahan terhadap formaldehid.

2. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili dari

kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap

formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.

3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat

melindungi kuman terhadap fagositosis. Ketiga macam antigen tersebut di atas

di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula pembentukan 3 macam

antibodi yang lazim disebut aglutinin.

2.3 Sumber Penularan

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai di daerah tropis

dan subtropis terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai

dengan standar higiene dan sanitasi yang rendah. Demam tifoid disebabkan oleh

Salmonella typhii yang dapat bertahan hidup lama di lingkungan yang kering dan

13

Page 14: BAB I Case Tri Wisudawati

beku. Organisme ini juga mampu bertahan hidup selama 1 minggu dan dapat

merubah warna dan bentuknya. Manusia merupakan satu-satunya sumber

penularan alami Salmonella typhii, melalui kontak langsung maupun tidak

langsung dengan seorang penderita demam tifoid atau karier, ataupun melalui

makanan atau minuman yang telah terkontaminasi Salmonella typhii. Sumber

makanan atau minuman yang telah terkontaminasi Salmonella typhii diantaranya

adalah:4

1. air yang terkontaminasi dengan tinja,

2. susu atau hasil susu lainnya (es krim, keju, kustard) yang terkontaminasi

dengan tinja atau pasteurisasi yang tidak cukup atau pengepakan yang tidak

tepat,

3. kerang-kerangan akibat kontaminasi air,

4. telur yang dibuat bubuk atau dibekukan dari unggas yang terinfeksi atau

terkontaminasi selama pemrosesan

5. daging dan hasil dari binatang yang terinfeksi

6. binatang piaraan rumah, misalnya kucing, anjing, dan kura-kura.

Sumber penularan utama (manusia) penyakit ini adalah:

a. Penderita Demam Tifoid

Yang menjadi sumber utama infeksi adalah manusia yang selalu

mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakit, baik ketika ia sedang

menderita sakit maupun yang sedang dalam penyembuhan. Pada masa

penyembuhan penderita pada umumnya masih mengandung bibit penyakit di

dalam kandung empedu dan ginjalnya.

b. Karier Demam Tifoid.

Penderita tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses atau

urin) mengandung Salmonella typhi setelah satu tahun pasca demam tifoid,

tanpa disertai gejala klinis. Pada penderita demam tifoid yang telah sembuh

setelah 2 – 3 bulan masih dapat ditemukan kuman Salmonella typhi di feces

atau urin. Penderita ini disebut karier pasca penyembuhan.

Pada demam tifoid sumber infeksi dari karier kronis adalah kandung

empedu dan ginjal (infeksi kronis, batu atau kelainan anatomi). Oleh karena

14

Page 15: BAB I Case Tri Wisudawati

itu apabila terapi medika-mentosa dengan obat anti tifoid gagal, harus

dilakukan operasi untuk menghilangkan batu atau memperbaiki kelainan

anatominya.

Karier dapat dibagi dalam beberapa jenis:6

1. Healthy carrier (inapparent) adalah mereka yang dalam sejarahnya tidak

pernah menampakkan menderita penyakit tersebut secara klinis akan tetapi

mengandung unsur penyebab yang dapat menular pada orang lain, seperti

pada penyakit poliomyelitis, hepatitis B dan meningococcus.

2. Incubatory carrier (masa tunas) adalah mereka yang masih dalam masa

tunas, tetapi telah mempunyai potensi untuk menularkan penyakit/ sebagai

sumber penularan, seperti pada penyakit cacar air, campak dan pada virus

hepatitis.

3. Convalescent carrier (baru sembuh klinis) adalah mereka yang baru

sembuh dari penyakit menulat tertentu, tetapi masih merupakan sumber

penularan penyakit tersebut untuk masa tertentu, yang masa penularannya

kemungkinan hanya sampai tiga bulan umpamanya kelompok salmonella,

hepatitis B dan pada dipteri.

4. Chronis carrier (menahun) merupakan sumber penularan yang cukup lama

seperti pada penyakit tifus abdominalis dan pada hepatitis B.

2.4 Patogenesis

Masa inkubasi demam tifoid kurang lebih 14 hari.5 Masuknya kuman

Salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella paratyphi (S. paratyphi) ke dalam

tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian

kuman ini akan dimusnahkan dalam lambung, sebagian lagi lolos masuk ke dalam

usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa

usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel dan selanjutnya ke

lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh

selselfagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak dalam

makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague peyeri ileum distal dan kemudian

kekelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman

yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah dan

15

Page 16: BAB I Case Tri Wisudawati

menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di

organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian

berkembangbiak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam

sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteriemia yang kedua kalinya dengan

disertai tanda-tandadan gejala penyakit infeksi sistemik.2,3

Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang

biak,dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen

usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam

sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung

makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella

terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan

menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise,

mialgia,sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, dan koagulasi.2,3

Di dalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi

hyperplasia jaringan. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh

darahsekitar plague peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat

akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan

limfoidini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan

dapatmengakibatkan perforasi.4

Peranan endotoksin dalam patogenesis demam tifoid telah dipelajari secara

mendalam. Pernah dicoba pemberian suntikan endotoksin 0.5 mcg

padasukarelawan-sukarelawan, dalam waktu enam puluh menit mereka menjadi

sakitkepala, dingin, rasa tak enak pada perut. Bakteriolisis yang dilakukan oleh

system retikuloendotelialium merupakan upaya pertahanan tubuh di dalam

pembasmian kuman. Akibat bakteriolisis maka dibebaskan suatu zat endotoksin,

yaitu suatulipopolisakarida (LPS), yang akan merangsang pelepasan pirogen

endogen darileukosit, sel-sel limpa, dan sel-sel kuppfer hati, makrofag, sel

polimorfonuklear dan monosit. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel

endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan

neuropsikiatrik, kardiovaskuler,pernapasan, dan gangguan organik lainnya.5

16

Page 17: BAB I Case Tri Wisudawati

2.5 Manifestasi Klinis

Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis

yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik

hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.5

Pada minggu pertama setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala

penyakit itu pada awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti

demam tinggi yang berkepanjangan yaitu setinggi 39º C hingga 40º C, sakit

kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan nadi

antara80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan semakin cepat dengan

gambaranbronkitis kataral, perut kembung dan merasa tak enak, sedangkan diare

dan sembelit silih berganti. Pada akhir minggu pertama, diare lebih sering terjadi.

Khas lidah pada penderita adalah kotor di tengah, tepi dan ujung merah

sertabergetar atau tremor. Epistaksis dapat dialami oleh penderita

sedangkantenggorokan terasa kering dan meradang. Jika penderita ke dokter pada

periodetersebut, akan menemukan demam dengan gejala-gejala di atas yang bisa

sajaterjadi pada penyakit-penyakit lain juga. Ruam kulit (rash) umumnya terjadi

padahari ketujuh dan terbatas pada abdomen di salah satu sisi dan tidak

merata,bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang

dengansempurna. Roseola terjadi terutama pada penderita golongan kulit putih

yaituberupa makula merah tua ukuran 2-4 mm, berkelompok, timbul paling sering

padakulit perut, lengan atas atau dada bagian bawah, kelihatan memucat bila

ditekan.Pada infeksi yang berat, purpura kulit yang difus dapat dijumpai. Limpa

menjaditeraba dan abdomen mengalami distensi.6

Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat

setiaphari, yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore

ataumalam hari. Karena itu, pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus

menerusdalam keadaan tinggi (demam). Suhu badan yang tinggi, dengan

penurunansedikit pada pagi hari berlangsung. Terjadi perlambatan relatif nadi

penderita yang semestinya nadi meningkat bersama dengan peningkatan suhu,

saat inirelatif nadi lebih lambat dibandingkan peningkatan suhu tubuh. Gejala

septikemiasemakin berat yang ditandai dengan keadaan penderita yang

17

Page 18: BAB I Case Tri Wisudawati

mengalami delirium.Umumnya terjadi gangguan pendengaran, lidah tampak

kering, merah mengkilat,nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun,

diare yang meningkat dan berwarna gelap, pembesaran hati dan limpa, perut

kembung dan sering berbunyi,gangguan kesadaran, mengantuk terus menerus, dan

mulai kacau jikaberkomunikasi.6

Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinik akibat kegawatan dirongga

perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama.

Keadaan ini memerlukan penanggulangan segera yang sering berupa tindakan

bedah, misalnya pada perforasi, perdarahan intraabdomen, infeksi, dan obstruksi.

Perforasi usus adalah komplikasi yang cukup serius, terjadi pada 1-3 %kasus.

Terdapat lubang di usus, akibatnya isi usus dapat masuk ke dalam ronggaperut

dan menimbulkan gejala. Tanda-tanda perforasi usus adalah nyeri perut yang tidak

tertahankan (acute abdomen), atau nyeri perut yang sudah ada sebelumnya

mengalami perburukan, denyut nadi meningkat dan tekanan darah menurun secara

tiba-tiba. Gawat abdomen ini membutuhkan penanganan segera.

Minggu keempat merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal

minggu ini dapat dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis

venafemoralis. Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikian

juga hanya menghasilkan kekebalan yang lemah, kekambuhan dapat terjadi dan

berlangsung dalam waktu yang pendek. Kekambuhan dapat lebih ringan dari

serangan primer tetapi dapat menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi

primer tersebut. Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak diobati akan

mengakibatkan timbulnya relaps.7

2.6 Diagnosis Banding

Demam tifoid merupakan keadaan infeksi yang lama dengan manifestasi

utama yaitu demam lebih dari 7 hari. Diagnosis banding yang dapat di dapat jika

ditemukan manifestasi berupa demam lama (lebih dari 7 hari) adalah penyakit

paru kronis seperti TBC, malaria, dan infeksi saluran kemih (ISK). Pada TBC,

biasanya ditemukan gejala khas walaupun kadang tidak spesifik pada anak seperti

batuk yang lama (>3 minggu), adanya penurunan berat badan yang signifikan

(akibat penurunan nafsu makan), timbul benjolan pada tulang belakang

(spondilitis TB), dan adanya riwayat kontak pada penderita TB. Untuk malaria,

18

Page 19: BAB I Case Tri Wisudawati

kita dapat melihat dari tipe demamnya yang intermiten (panas tinggi, kemudian

turun sampai batas normal) walau kadang tidak spesifik untuk malaria akibat P.

falsiparum dan disertai menggigil, kadang disertai kuning, memiliki riwayat

bepergian atau tinggal di daerah endemis malaria, dan beberapa gejala lain yang

tidak khas. Untuk ISK, kadang bersifat asimptomatik, tapi gejala khas pada ISK

adalah adanya riwayat BAK yang sedikit-sedikit tapi sering, nyeri saat BAK,

nyeri suprapubik bahkan sampai ke pinggang, BAK disertai warna kemerahan,

atau rasa tidak lampias saat BAK.

2.7 Diagnosis Kerja

1. Diagnosis Klinik

Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak tepat, karena gejala kilinis yang

khas pada demam tifoid tidak ditemukan atau gejala yang sama dapat juga

ditemukan pada penyakit lain. Diagnosis klinis demam tifoid sering kali

terlewatkan karena pada penyakit dengan demam beberapa hari tidak

diperkirakan kemungkinan diagnosis demam tifoid.

2. Diagnosis Mikrobiologik/Pembiakan Kuman

Metode diagnosis mikrobiologik adalah metode yang paling spesifik dan

lebih dari 90% penderita yang tidak diobati, kultur darahnya positif dalam

minggupertama. Hasil ini menurun drastis setelah pemakaian obat antibiotika,

dimana hasil positif menjadi 40%. Meskipun demikian kultur sum-sum tulang

tetap memperlihatkan hasil yang tinggi yaitu 90% positif. Pada minggu-minggu

selanjutnya hasil kultur darah menurun, tetapi kultur urin meningkat yaitu 85%

dan 25% berturut-turut positif pada minggu ke-3 dan ke-4. Organisme dalam

tinja masih dapat ditemukan selama 3 bulan dari 90% penderita dan kira-kira

3% penderita tetap mengeluarkan kuman Salmonella typhi dalam tinjanya

untuk jangka waktu yang lama.

19

Page 20: BAB I Case Tri Wisudawati

3. Diagnosis Serologik

a. Uji Widal

Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi

(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam

serum penderita demam tifoid, pada orang yang pernah tertular Salmonella typhi

dan pada orang yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid.

Antigen yang digunakan pada uij Widal adlah suspensi Salmonella typhi

yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji Widal adalah

untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita

demam tifoid.8

Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang

ditentukan titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin

besar pula kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi

yang aktif, titer aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan

selangwaktu paling sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat

selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid.

Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut:8

o Titer O yang tinggi ( 160) menunjukkan adanya infeksi akut.

o Titer H yang tinggi ( 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau

pernah menderita infeksi.

o Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.

b. Uji ELISA

Deteksi antigen spesifik dari Salmonella typhi dalam spesimen klinik (darah

atau urine) secara teoritis dapat menegakkan diagnosis demam tifoid secara dini

dan cepat, serta dianggap lebih sensitif dan spesifik dibandingkan uji widal. Uji

ELISA yang sering dipakai untuk melacak adanya antigen Salmonella typhi dalam

spesimen klinis, yaitu double antibody sandwich ELISA.Diagnosis DemamTyphoid/

Paratyphoid dinyatakan bila: 1) JikaIgM positif menandakan infeksi akut; 2) jika

IgG positif menandakan pernah kontak/ pernah terinfeksi/ reinfeksi/

daerahendemik.

20

Page 21: BAB I Case Tri Wisudawati

c. Uji Mikrobiologi (Kultur Darah)

Merupakan baku emas (Gold Standard) dalam menegakkan diagnosis

demam tifoid secara pasti. Akan tetapi, penggunaan uji ini memiliki beberapa

kerugian diantaranya adalah hasil yang lama, hasil negatif palsu dikarenakan

sampel yang terlalu sedikit, darah tidak segera dimasukkan dalam medial gall, dan

penderita telah mendapat terapi antibiotik sebelumnya.9

2.8 Tatalaksana

Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid,

yaitu :Istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang (simptomatik dan

suportif), dan pemberian medikamentosa. Istirahat yang berupa tirah baring dan

perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Sedangkan diet dan

terapi merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit

demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan

gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama.

Tata laksana medikamentosa demam tifoid dapat berupa pemberian antibiotik,

antipiretik, dan steroid. Obat antimikroba yang sering diberikan adalah

kloramfenikol, tiamfenikol, kotrimoksazol, sefalosporin generasi ketiga,ampisilin,

dan amoksisilin.2, 10

Kloramfenikol merupakan obat pilihan utama untuk mengobati

demamtifoid. Kloramfenikol mempunyai ketersediaan biologik 80% pada

pemberian iv.Waktu paruh plasmanya 3 jam pada bayi baru lahir, dan bila terjadi

sirosis hepatis diperpanjang sampai dengan 6 jam. Dosis yang diberikan secara

per oral pada dewasa adalah 20-30 (40) mg/kg/hari. Pada anak berumur 6-12

tahun membutuhkan dosis 40-50 mg/kg/hari. Pada anak berumur 1-3 tahun

membutuhkan dosis 50-100 mg/kg/hari. Pada pemberian secara intravena

membutuhkan 40-80 mg/kg/hari untuk dewasa, 50-80 mg/kg/hari untuk

anakberumur 7-12 tahun, dan 50-100 mg/kg/hari untuk anak berumur 2-6 tahun.

Bentuk yang tersedia di masyarakat berupa kapsul 250 mg, 500 mg, suspensi

125mg/5 ml, sirup 125 ml/5ml, serbuk injeksi 1 g/vail. Penyuntikan intramuscular

tidak dianjurkan oleh karena hirolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat

21

Page 22: BAB I Case Tri Wisudawati

suntikan terasa nyeri. Dari pengalaman obat ini dapat menurunkan demam

ratarata7,2 hari. Untuk menghindari reaksi Jarisch-Herxheimer pada

pengobatandemam tifoid dengan kloramfenikol, dosisnya adalah sebagai berikut:

hari ke 1: 1g, hari ke 2: 2 g, hari ke 3: 3 g, hari kemudian diteruskan 3 g sampai

dengansuhu badan normal. Beberapa efek samping yang mungkin timbul pada

pemberian kloramfenikol adalah mual, muntah, mencret, mulut kering, stomatitis,

pruritus ani, penghambatan eritropoiesis, Gray-Syndrom pada bayi baru lahir,

anemia hemolitik, exanthema, urticaria, demam, gatal-gatal, anafilaksis, dan

terkadang Syndrom Stevens-Johnson. Reaksi interaksi kloramfenikol dengan

paracetamol akan memperpanjang waktu paruh plasma dari kloramfenikol.

Interaksinyadengan obat sitostatika akan meningkatkan resiko suatu kerusakan

sumsumtulang.8,11

Tiamfenikol memiliki dosis dan keefektifan yang hampir sama

dengankloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan

terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol.

Dosis tiamfenikol untuk orang dewasa adalah 500 mg tiap 8 jam, dan untuk anak

30-50mg/kg/hari yang dibagi menjadi 4 kali pemberian sehari. Bentuk yang

tersedia dimasyarakat berupa kapsul 500 mg. Beberapa efek samping yang

mungkin timbulpada pemberian tiamfenikol adalah mual, muntah, diare, depresi

sumsumtulang yang bersifat reversibel, neuritis optis dan perifer, serta dapat

menyebabkanGray baby sindrom. Interaksi tiamfenikol dengan rifampisin dan

fenobarbitonakan mempercepat metabolisme tiamfenikol. Dengan tiamfenikol

demam padademam tifoid dapat turun setelah 5-6 hari.

Kotrimoksazol adalah kombinasi dua obat antibiotik, yaitu trimetroprimdan

sulfametoksazol. Kombinasi obat ini juga dikenal sebagai TMP/SMX, danberedar

di masyarakat dengan beberapa nama merek dagang misalnya Bactrim.Obat ini

mempunyai ketersediaan biologik 100%. Waktu paruh plasmanya 11 jam.Dosis

untuk pemberian per oral pada orang dewasa dan anak adalah trimetroprim 320

mg/hari, sufametoksazol 1600 mg/hari. Pada anak umur 6 tahun trimetroprim 160

mg/hari, sufametoksazol 800 mg/hari. Pada pemberian intravena paling baik

diberikan secara infus singkat dalam pemberian 8-12 jam. Beberapa efek samping

yang mungkin timbul adalah sakit, thromboplebitis, mual, muntah, sakit

22

Page 23: BAB I Case Tri Wisudawati

perut,mencret, ulserasi esofagus, leukopenia, thrombopenia, anemia

megaloblastik,peninggian kreatinin serum, eksantema, urtikaria, gatal, demam,

dan reaksihipersensitifitas akibat kandungan Natriumdisulfit dalam cairan infus.

Interaksikotrimoksazol degan antasida menurunkan resorbsi sulfonamid. Pada

pemberiaanyang bersamaan dengan diuretika thiazid akan meningkatkan

insidenthrombopenia, terutama pada pasien usia tua.

Ampisilin dan amoksisilin memiliki kemampuan untuk menurunkandemam

lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Obat ini mempunyai

ketersediaan biologik: 60%. Waktu paruh plasmanya 1.5 jam (bayi baru lahir:

3,5jam). Dosis untuk pemberian per oral dalam lambung yang kosong dibagi

dalampemberian setiap 6-8 jam sekitar 1/2 jam sebelum makan. Untuk orang

dewasa 2-8g/hari, sedangkan pada anak 100-200 mg/kg/hari. Pada pemberiaan

secaraintravena paling baik diberikan dengan infus singkat yang dibagi

dalampemberiaan setiap 6-8 jam. Untuk dewasa 2-8 g/hari, sedangkan pada anak

100-200 mg/kg/hari. Bentuk yang tersedia di masyarakat berupa kapsul 250 mg,

500mg; Kaptab 250 mg, 500 mg; Serbuk Inj.250 mg/vial, 500 mg/vial, 1g/vial,

2g/vial; Sirup 125 mg/5 ml, 250 mg/5 ml; Tablet 250 mg, 500 mg. Beberapa

efeksamping yang mungkin muncul adalah sakit, thrombophlebitis, mencret,

mual,muntah, lambung terasa terbakar, sakit epigastrium, iritasi

neuromuskular,halusinasi, neutropenia toksik, anemia hemolitik, eksantema

makula, danbeberapa manifestasi alergi. Interaksinya dengan allopurinol dapat

memudahkanmunculnya reaksi alergi pada kulit. Eliminasi ampisilin diperlambat

padapemberian yang bersamaan dengan urikosuria (misal: probenezid), diuretik,

danobat dengan asam lemah.

Sefalosporin generasi ketiga (Sefuroksin, Moksalaktan, Sefotaksim,

danSeftizoksim) yang hingga saat ini masih terbukti efektif untuk demam

tifoidadalah seftriakson. Antibiotik ini sebaiknya hanya digunakan untuk

pengobataninfeksi berat atau yang tidak dapat diobati dengan antimikroba lain,

sesuai denganspektrum antibakterinya. Hal ini disebabkan karena selain harganya

mahal juga memiliki potensi antibakteri yang tinggi Dosis yang dianjurkan adalah

antara 3-4gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama 1/2 jam perinfus sekali

sehari,diberikan selama 3 hingga 5 hari.

23

Page 24: BAB I Case Tri Wisudawati

2.9 Komplikasi

1. Komplikasi Intestinal 6

a. Perdarahan Usus

Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan

minor yang tidak membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat

terjadi hingga penderitamengalami syok. Secara klinis perdarahan akut

darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam.

b. Perforasi usus

Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul

pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama.

Penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat

terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian meyebar ke

seluruh perut. Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah

turun dan bahkan sampai syok.

2. Komplikasi Ekstra Intestinal

a. Komplikasi kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis),

miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.

b. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi

intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.

c. Komplikasi paru: pneumoni, empiema, dan pleuritis

d. Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis

e. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis

f. Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis

g. Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, meningismus, meningitis, polineuritis

perifer, psikosis, dan sindrom katatonia.

24

Page 25: BAB I Case Tri Wisudawati

2.10 Prognosis1

Umumnya prognosis demam tifoid pada anak baik asal penderita cepat

mendapat pengobatan. Prognosa menjadi buruk bila terdapat gejala klinis yang

berat, seperti :

- Hiperpireksia atau febris kontinua.

- Kesadaran menurun.

- Malnutrisi.

- Terdapat kompliksi yang berat misalnya dehidrasi dan asidosis, peritonitis,

bronkopneumonie, dll.

25

Page 26: BAB I Case Tri Wisudawati

BAB III

ANALISIS KASUS

BAB III

ANALISIS KASUS

Seorang anak perempuan berusia 12 tahun dibawa ke RSUD dr. Ibnu

Sutowo Baturaja dengan keluhan utama demam sejak 7 hari sebelum masuk rumah

sakit. Dari anamnesis didapatkan keluhan tambahan berupa mual, muntah, nyeri

perut, nafsu makan menurun, bibir kering dan pecah-pecah, lidah terasa pahit,

mulut bau, dan BAB cair.

Beberapa penyakit yang terkait dengan keluhan utama demam lama antara

lain adalah demam tifoid, malaria, dan tuberkulosis. Pada pasien ini, demam naik

turun, namun turun tidak pernah sampai mencapai suhu normal tubuh, demam naik

terutama pada malam hari. Demam disertai menggil, tidak disertai berkeringat dan

tidak didapatkan riwayat batuk lama dan riwayat kontak dengan penderita penyakit

batuk lama, serta riwayat kesulitan penambahan berat badan, sehingga diagnosis

tuberculosis dapat dijauhkan. Demam pada malaria merupakan demam yang

bersifat intermiten, ditandai dengan demam menggigil yang naik turun, namun

dapat mencapai nilai normal suhu tubuh saat demam turun. Tipe demam tersebut

berbeda dengan tipe demam yang dialami oleh penderita pada kasus ini. Pada

pasien ini didapatkan menggigil, tidak ada riwayat pernah terkena malaria, jarang

keluar pada malam hari, dan tidur tidak me makai kelambu serta banyak pakaian

tergantung di belakang pintu kamar, sehingga diagnosis demam akibat malaria

dapat dipikirkan sebagai diagnosis banding. Namun, pada pasien ini telah dilakukan

pemeriksaan DDR sebayak 2 kali (di Puskes dan RSUD Ibnu Sutowo) dan hasilnya

adalah negatif pada kedua tes, sehingga demam akibat malaria dapat disingkirkan.

Dari anamnesis, tipe demam pada pasien ini lebih mengarah pada demam

tifoid, yaitu demam naik turun yang meningkat terutama pada malam hari dan tidak

pernah mencapai suhu normal, dengan gejala gastrointestinal berupa mual, muntah

dan nyeri perut.

26

Page 27: BAB I Case Tri Wisudawati

Demam tifoid merupakan infeksi akut yang disebabkan oleh Salmonella

typhii dengan penularan secara feco-oral. Pada riwayat kebiasaan dan pola hidup

didapatkan bahwa pasien ini sering jajan di pinggir jalan dan di kantin sekolah,

pasien juga jarang mencuci tangan dengan air yang mengalir dan sabun sebelum

dan sesudah makan, sehingga mempermudah transmisi S.typhii ke dalam tubuh.

Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan pada tanggal 15 April 2015

didapatkan nyeri tekan epigastrium dan umbilikal. Konfirmasi dengan pemeriksaan

laboratorium menunjukkan peningkatan titer antigen Salmonella typhii O dan

Salmonella paratyphii AH.

Salmonella typhii masuk ke tubuh melalui bahan makanan atau minuman

yang tercemar kuman S. Typhii yang secara pasif terbawa oleh lalat (kaki-kaki

lalat). Saat kuman masuk ke saluran pencernaan, sebagian kuman mati oleh asam

lambung. Semakin banyak kuman yang masuk, sistem imun akan berespon dengan

mengingkatkan asam lambung sehingga dapat mengiritasi mukosa lambung itu

sendiri. Oleh karena itu, pasien ini merasakan mual dan nyeri ulu hati.

Sebagian kuman dapat lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya

berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa usus kurang baik maka

kuman akan menembus sel-sel epitel dan selanjutnya ke lamina propria. Kuman

dapat hidup dan berkembang biak dalam makrofag yang terdapat di lamina propria

dan selanjutnya dibawa ke plague payeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar

getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang

terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke

seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ

tersebut kuman ini dapat menimbulkan peradangan sehingga dapat menimbulkan

hepatomegali pada sebagian kasus demam typhoid.

Makrofag yang telah teraktivasi dan hiperaktif akan melepaskan beberapa

mediator inflamasi yang dapat menimbulkan instabilitas vaskular. Makrofag yang

hiperaktif juga dapat menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan, yang kemudian

dapat menimbulkan perdarahan saluran cerna akibat erosi pembuluh darah.

Demam disebabkan karena Salmonella thypi dan endotoksinnya merangsang

sintetis dan pelepasan zat pirogen endogen (IL1) oleh leukosit pada jaringan yang

meradang. Adanya IL1 ini akan menginduksi pembentukan prostaglandin E2 dari

27

Page 28: BAB I Case Tri Wisudawati

asam arakidonat yang selanjutnya menaikkan ‘set up’ panas tubuh yang berada di

hipotalamus. Kenaikan ‘set up’ menyebabkan kenaikan aktifitas metabolisme sel

sebagai raspon tubuh untuk dapat mencapai suhu hipotalamus.

Pada pemeriksaan laboratorium pasien ini didapatkan titer O aglutinin

sebesar 1/320. Menurut Poorwo Soedarmo dan Mubin (2008), bila titer O aglutinin

sekali periksa ≥ 1/200 sekali periksa atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali

(dalam satu minggu), maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan ( positif ).

Oleh karena itu, berdasarkan kesesuaian antara patogenesis penyakit demam tifoid

dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien ini, yang diperkuat oleh

pemeriksaan laboratorium, dapat disimpulkan bahwa diagnosis pada pasien ini

adalah demam typhoid. Pemeriksaan anjuran untuk menyingkirkan diagnosis

banding pada kasus ini antara lain adalah mantouks test, DDR, pemeriksaan urin

dan feses rutin.

Penatalaksanaan pada pasien ini meliputi penatalaksanaan supportif,

simptomatik, kausatif, dan edukatif. Karena invasi kuman pada plaque payeri

ileum distal yang dapat menimbulkan perforasi, maka penatalaksanaan supportif

pada pasien ini meliputi tirah baring dan diet yang dapat meringankan kerja usus.

IVFD diperlukan karena pasien lemas dan anoreksia sehingga tidak dapat makan

per oral. Selain itu, IVFD juga diperlukan untuk memasukan obat injeksi secara

berulang sehingga tidak menyakiti pasien. Terapi simptomatik meliputi antipiretik

(bila suhu diatas 38,5o C), dan mukoprote ktor bagi lambung. Terapi kausatif

meliputi antibiotik. Edukasi juga sangat diperlukan pada kasus ini agar pasien

tidak terjangkit penyakit yang sama dan keluarga pasien juga dapat terhindar dari

demam tifoid.

28

Page 29: BAB I Case Tri Wisudawati

DAFTAR PUSTAKA

1. Cleary TG. Salmonella. Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson

HB.2000.Nelson Textbook of Pediatrics ed. 15. Jakarta : EGC, 842-8.

2. Tumbelaka AR, Retnosari S.2001. Imunodiagnosis Demam Tifoid. Dalam :

Kumpulan Naskah Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak

XLIV. Jakarta : BP FKUI, 65-73.

3. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W.2002. Demam Tifoid. Dalam :

Soegijanto S, Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1.

Jakarta : Salemba Medika, 1-43.

4. Diagnosis of typhoid fever. Background document : The diagnosis, treatment

and prevention of typhoid fever. World Health Organization, 2003;7-18.

5. Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soedarmo SS, Garna H,

Hadinegoro SR.2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi & Penyakit

Tropis, edisi 1. Jakarta : BP FKUI, 367-75.

6. Parry CM.2002. Typhoid fever. N Engl J Med ;347(22):1770-82.

7. Pang T.1992. Typhoid Fever : A Continuing Problem. Dalam : Pang T, Koh CL,

Puthucheary SD, Eds. Typhoid Fever : Strategies for the 90’s. Singapore : World

Scientific, 1-2.

8. Hoffman SL.1991. Typhoid Fever. In : Strickland GT, Ed. Hunter’s Textbook of

Pediatrics, edition7. Philadelphia : WB Saunders, 344-58.

9. Kalra SP, Naithani N, Mehta SR, Swamy AJ.2003. Current trends in the

management of typhoid fever. MJAFI ;59:130-5.

10. Lim PL, Tam FCH, Cheong YM, Jegathesan M.1998. One-step 2-minute test to

detect typhoid-specific antibodies based on particle separation in tubes. J Clin

Microbiol ;36(8):2271-8.

11. Parry CM, Hien TT, Dougan G, et al.2002. Typhoid fever. N Engl J

Med. ;347(22):1770-82.

29