BAB I Bersih

20
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata Perancis ‘jaune’ yang berarti kuning. Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat kadarnya dalam sirkulasi darah. Jadi ikterus adalah warna kuning pada sklera, mukosa dan kulit yang disebabkan oleh akumulasi pigmen empedu di dalam darah dan jaringan. The World Health Report 2008 mengatakan bahwa AKB (Angka Kematian Bayi) di Indonesia mencapai 20/1000 kelahiran hidup. Berarti setiap jam terdapat 10 bayi baru lahir meninggal, setiap hari ada 246 bayi meninggal dan setiap tahun ada 89.770 bayi baru yang lahir meninggal. Kematian bayi lahir sebesar 79% terjadi setiap minggu pertama kelahiran terutama saat persalinan. Sebanyak 54% terjadi pada tingkatan keluarga yang sebagian besar disebabkan karena tidak memperoleh layanan rujukan dan kurang pengetahuan keluarga akan kegawatdaruratan pada bayi. Penyebab kematian bayi menurut Survey Demografi Kesehatan Indonesia (2009), menyebutkan bahwa terdapat 157.000 bayi meninggal dunia per tahun. Faktor yang

description

ya

Transcript of BAB I Bersih

Page 1: BAB I Bersih

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata Perancis ‘jaune’ yang berarti kuning.

Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran

mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat

kadarnya dalam sirkulasi darah. Jadi ikterus adalah warna kuning pada sklera, mukosa

dan kulit yang disebabkan oleh akumulasi pigmen empedu di dalam darah dan jaringan.

The World Health Report 2008 mengatakan bahwa AKB (Angka Kematian Bayi)

di Indonesia mencapai 20/1000 kelahiran hidup. Berarti setiap jam terdapat 10 bayi baru

lahir meninggal, setiap hari ada 246 bayi meninggal dan setiap tahun ada 89.770 bayi

baru yang lahir meninggal. Kematian bayi lahir sebesar 79% terjadi setiap minggu

pertama kelahiran terutama saat persalinan. Sebanyak 54% terjadi pada tingkatan

keluarga yang sebagian besar disebabkan karena tidak memperoleh layanan rujukan dan

kurang pengetahuan keluarga akan kegawatdaruratan pada bayi.

Penyebab kematian bayi menurut Survey Demografi Kesehatan Indonesia (2009),

menyebutkan bahwa terdapat 157.000 bayi meninggal dunia per tahun. Faktor yang

mempengaurhi angka tersebut yaitu prematuritas dan BBLR (34%), asfiksia (37 %),

Sepsis (12%), hipotermi (7%), ikterus (6%), post matur (5%) Kelainan Kongenital (1%)

(Riskesdas 2009).

Kejadian ikterus neunatorum pada bayi di Indonesia sekitar 50% bayi cukup bulan

yang mengalami perubahan warna kulit, mukosa dan wajah mengalami kekuningan

(ikterus) dan pada bayi kurang bulan (premature) dengan kejadian yang lebih sering

75%. Di Indonesia didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit

pendidikan dengan menggunakan sebuah studi cross – sectional yang dilakukan di

Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Ciptomangunkusumo selama tahun 2003,

menenukan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58% untuk kada bilirubin di

atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kada bilirubin di atas 12 mg/dL pada minggu pertama

kehidupan. RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85 % bayi cukup bulan sehat memiliki

kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8 % memiliki kadar bilirubin diatas 13 mg/dL.

Page 2: BAB I Bersih

Pemeriksaan dilakukan pada hari 0, 3, dan 5. Dengan pemeriksaan kada bilirubin setiap

hari, di dapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6 % bayi cukup

bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia

ditemukan pada 95% dan 56 % bayi.

Ikterus terjadi apabila terdapat bililirubin dalam darah. Pada sebagian besar

neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama dalam kehidupannya.

Di Jakarta dilaporkan 32,19 % menderita ikterus. Ikterus ini pada sebagian lagi bersifat

patologik yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan

kematian. Karena setiap bayi dengan ikterus harus ditemukan dalam 24 jam pertama

kehidupan bayi atau bila kadar bilirubin meningkat lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam.

Oleh karena itu, diharapkan angka kematian bayi (AKB) dapat menurun untuk

mewujudkan visi “Indonesia Sehat 2010” dimana salah satu tolak ukurnya adalah

menurunnya angka mortalitas dan morbiditas neonatus pada tahun 2025 dapat turun

menjadi 18 per 1000 kelahiran hidup.

I.2. Tujuan

1. Mengetahui definisi, klasifikasi dan etiologi ikterus neonatorum.

2. Mengetahui patofisiologi terjadinya ikterus neonatorum.

3. Mengetahui diagnosis dan diagnosis banding ikterus neonatorum.

4. Mengetahui komplikasi dan prognosis ikterus neonatorum.

5. Mengetahui tata laksana medikamentosa dan non medikamentosa dari ikterus

neonatorum.

Page 3: BAB I Bersih

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata Perancis ‘jaune’ yang berarti kuning.

Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran

mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat

kadarnya dalam sirkulasi darah dan jaringan (> 2 mg/ 100 ml serum).

Penumpukan bilirubin dalam aliran darah menyebabkan pigmentasi kuning

dalam plasma darah yang menimbulkan perubahan warna pada jaringan yang

memperoleh banyak aliran darah tersebut. Kadar bilirubin serum akan menumpuk

kalau produksinya dari heme melampaui metabolisme dan ekskresinya.

Ketidakseimbangan antara produksi dan klirens dapat terjadi akibat pelepasan

prekursor bilirubin secara berlebihan ke dalam aliran darah atau akibat proses fisiologi

yang mengganggu ambilan (uptake) hepar, metabolisme ataupun ekskresi metabolit

ini.

Ikterus yang ringan dapat dilihat paling awal di sklera mata, dan bila ini terjadi

kadar bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dL (34-43 mmol/L) atau sekitar 2 kali

batas atas kisaran normal. Kadar bilirubin serum normal adalah bilirubin direk : 0-0.3

mg/dL, dan total bilirubin: 0.3-1.0 mg/dL.

Jaringan sklera kaya dengan elastin yang memiliki afinitas yang tinggi

terhadap bilirubin, sehingga ikterus pada sklera biasanya merupakan tanda yang lebih

sensitif untuk menunjukkan hiperbilirubinemia daripada ikterus yang menyeluruh.

Tanda dini yang serupa untuk hiperbilirubinemia adalah warna urin yang gelap yang

terjadi akibat ekresi bilirububin lewat ginjal dalam bentuk bilirubin glukoronid. Pada

ikterus yang mencolok kulit dapat berwarna kehijauan karena oksidasi sebagian

bilirubin yang beredar menjadi biliverdin.

B. Fisiologi Metabolisme Bilirubin

Bilirubin merupakan produk pemecahan hemoglobin normal yang dihasilkan

dari sel eritrosit tua (berusia 120 hari), cincin heme setelah dibebaskan dari besi, dan

Page 4: BAB I Bersih

globin oleh sistem retikuloendotelial, yang diubah menjadi biliverdin yang berwarna

hijau. Selanjutnya biliverdin berubah menjadi bilirubin yang berwarna kuning.

Bilirubin tak terkonjugasi yang tidak larut air ini ditransportasikan ke hati, lalu terikat

dengan albumin. Bilirubin ditransportasikan melewati membran sinusoid hepatosit

kedalam sitoplasma. Enzim uridine diphosphate–glucuronyl transferase

mengkonjugasikan bilirubin tak-terkonjugasi yang tidak larut dengan asam glukoronat

untuk membentuk bentuk terkonjugasi yang larut air. Bilirubin terkonjugasi kemudian

secara aktif disekresikan kedalam kanalikulus empedu. Pada ileum terminal dan

kolon, bilirubin diubah oleh aktivitas enzim-enzim bakteri menjadi

mesobilirubinogen, stercobilinogen dan urobilinogen yang sebagian besar

diekskresikan ke dalam feses. Sekitar 10-20% urobilinogen direabsorbsi ke dalam

sirkulasi portal. Selanjutnya sejumlah kecil yang terlepas dari ekskresi hepar

mencapai ginjal dan diekskresi melalui urine.

Gambar 1. skema metabolisme bilirubin.

Page 5: BAB I Bersih

C. Patofisiologi

Pembagian terdahulu mengenai tahapan metabolisme bilirubin yang

berlangsung dalam 3 fase, yaitu pre-hepatik, intrahepatik, post-hepatik, masih relevan.

Pentahapan yang baru menambahkan 2 fase lagi sehingga pentahapan metabolisme

bilirubin menjadi 5 fase, yaitu fase pembentukan bilirubin, transpor plasma, liver

uptake, konjugasi, dan ekskresi bilier. Ikterus disebabkan oleh gangguan pada salah

satu dari 5 fase metabolisme bilirubin tersebut.

Fase Pre-hepatik

Fase prehepatik atau hemolitik yaitu menyangkut ikterus yang disebabkan oleh

hal-hal yang dapat meningkatkan hemolisis (rusaknya sel darah merah)

- Pembentukan Bilirubin. Sekitar 250 sampai 350 mg bilirubin atau sekitar 4

mg/kg BB terbentuk setiap harinya; 70-80% berasal dari pemecahan sel

darah merah yang matang oleh sel-sel retikuloendotelial, sedangkan sisanya

20-30% berasal dari protein heme lainnya yang berada terutama dalam

sumsum tulang dan hati. Peningkatan hemolisis sel darah merah merupakan

penyebab utama peningkatan pembentukan bilirubin.

- Transport plasma. Bilirubin tidak larut dalam air, karenanya bilirubin tak

terkojugasi ini transportnya dalam plasma terikat dengan albumin dan tidak

dapat melalui membran gromerolus, karenanya tidak muncul dalam air seni.

-

Fase Intra-hepatik

Fase intrahepatik yaitu menyangkut peradangan atau adanya kelainan pada hati

yang mengganggu proses pembuangan bilirubin

- Liver uptake. Pengambilan bilirubin melalui transport yang aktif dan

berjalan cepat, namun tidak termasuk pengambilan albumin.

- Konjugasi. Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami

konjugasi dengan asam glukoronik membentuk bilirubin diglukuronida /

bilirubin konjugasi / bilirubin direk. Bilirubin tidak terkonjugasi merupakan

bilirubin yang tidak larut dalam air kecuali bila jenis bilirubin terikat sebagai

kompleks dengan molekul amfipatik seperti albumin. Karena albumin tidak

terdapat dalam empedu, bilirubin harus dikonversikan menjadi derivat yang

larut dalam air sebelum diekskresikan oleh sistem bilier. Proses ini terutama

Page 6: BAB I Bersih

dilaksanakan oleh konjugasi bilirubin pada asam glukuronat hingga

terbentuk bilirubin glukuronid / bilirubin terkonjugasi / bilirubin direk.

Fase Post-hepatik

Fase post-hepatik yaitu menyangkut penyumbatan saluran empedu di luar hati

oleh batu empedu atau tumor

- Ekskresi bilirubin. Bilirubin konjugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus

bersama bahan lainnya. Di dalam usus, flora bakteri mereduksi bilirubin

menjadi sterkobilinogen dan mengeluarkannya sebagian besar ke dalam tinja

yang memberi warna coklat. Sebagian diserap dan dikeluarkan kembali ke

dalam empedu, dan dalam jumlah kecil mencapai mencapai air seni sebagai

urobilinogen. Ginjal dapat mengeluarkan bilirubin konjugasi tetapi tidak

bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini menerangkan warna air seni yang gelap

khas pada gangguan hepatoseluler atau kolestasis intrahepatik.

Gangguan metabolisme bilirubin dapat terjadi lewat salah satu dari keempat

mekanisme ini: over produksi, penurunan ambilan hepatik, penurunan konjugasi

hepatik, penurunan eksresi bilirubin ke dalam empedu (akibat disfungsi intrahepatik

atau obstruksi mekanik ekstrahepatik).

A. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi/indirek

1. Over produksi

Peningkatan jumlah hemoglobin yang dilepas dari sel darah merah yang

sudah tua atau yang mengalami hemolisis akan meningkatkan produksi bilirubin.

Penghancuran eritrosit yang menimbulkan hiperbilirubinemia paling sering akibat

hemolisis intravaskular (kelainan autoimun, mikroangiopati atau hemoglobinopati)

atau akibat resorbsi hematom yang besar. Ikterus yang timbul sering disebut ikterus

hemolitik. Konjugasi dan transfer bilirubin berlangsung normal, tetapi suplai

bilirubin tak terkonjugasi/indirek melampaui kemampuan sel hati. Akibatnya

bilirubin indirek meningkat dalam darah. Karena bilirubin indirek tidak larut dalam

air maka tidak dapat diekskresikan ke dalam urine dan tidak terjadi bilirubinuria.

Tetapi pembentukkan urobilinogen meningkat yang mengakibatkan peningkatan

ekskresi dalam urine feces (warna gelap). Beberapa penyebab ikterus hemolitik :

Page 7: BAB I Bersih

hemoglobin abnormal (cickle sel anemia), kelainan eritrosit (sferositosis heriditer),

antibodi serum (Rh. Inkompatibilitas transfusi), dan malaria tropika berat.

2. Penurunan ambilan hepatik

Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi dilakukan dengan memisahkannya

dari albumin dan berikatan dengan protein penerima. Beberapa obat-obatan seperti

asam flavaspidat, novobiosin dapat mempengaruhi uptake ini.

3. Penurunan konjugasi hepatik1,3

Terjadi gangguan konjugasi bilirubin sehingga terjadi peningkatan bilirubin

tak terkonjugasi. Hal ini disebabkan karena defisiensi enzim glukoronil transferase.

Terjadi pada : Sindroma Gilberth, Sindroma Crigler Najjar I, Sindroma Crigler Najjar

II.

B. Hiperbilirubinemia konjugasi/direk3,6

Hiperbilirubinemia konjugasi / direk dapat terjadi akibat penurunan eksresi

bilirubin ke dalam empedu.Gangguan ekskresi bilirubin dapat disebabkan oleh

kelainan intrahepatik dan ekstrahepatik, tergantung ekskresi bilirubin terkonjugasi

oleh hepatosit akan menimbulkan masuknya kembali bilirubin ke dalam sirkulasi

sistemik sehingga timbul hiperbilirubinemia. Kelainan hepatoseluler dapat berkaitan

dengan : Hepatitis, sirosis hepatis, alkohol, leptospirosis, kolestatis obat (CPZ), zat

yang meracuni hati fosfor, klroform, obat anestesi dan tumor hati multipel. Ikterus

pada trimester terakhir kehamilan hepatitis virus, sindroma Dubin Johnson dan Rotor,

ikterus pasca bedah.

Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik akan menimbulkan hiperbilirubinemia

terkonjugasi yang disertai bilirubinuria. Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik dapat

total maupun parsial. Obstruksi total dapat disertai tinja yang akolik. Penyebab

tersering obstruksi bilier ekstrahepatik adalah :6

- Obstruksi sal.empedu didalam hepar : Sirosis hepatis, abses hati,

hepatokolangitis, tumor maligna primer dan sekunder.

- Obstruksi didalam lumen sal.empedu : batu empedu, askaris.

- Kelainan di dinding sal.empedu : atresia bawaan, striktur traumatik, tumor

saluran empedu.

- Tekanan dari luar saluran empedu : Tumor caput pancreas, tumor Ampula

Vatery, pancreatitis, metastasis tumor di lig.hepatoduodenale

Page 8: BAB I Bersih

D. Diagnosis

Riwayat penyakit yang rinci dan pemeriksaan fisik sangat penting untuk

menegakkan diagnosis penyakit dengan keluhan ikterus. Tahap awal ketika akan

mengadakan penilaian klinis seorang pasien dengan ikterus adalah tergantung kepada

apakah hiperbilirubinemia bersifat konjugasi atau tak terkonjugasi. Jika ikterus ringan

tanpa warna air seni yang gelap harus difikirkan kemungkinan adanya

hiperbilirubinemia indirect yang mungkin disebabkan oleh hemolisis, sindroma

Gilbert atau sindroma Crigler Najjar, dan bukan karena penyakit hepatobilier.

Keadaan ikterus yang lebih berat dengan disertai warna urin yang gelap menandakan

penyakit hati atau bilier. Jika ikterus berjalan sangat progresif perlu difikirkan segera

bahwa kolestasis lebih bersifat ke arah sumbatan ekstrahepatik (batu saluran empedu

atau keganasan kaput pankreas).6

Kolestasis ekstrahepatik dapat diduga dengan adanya keluhan sakit bilier atau

kandung empedu yang teraba. Jika sumbatan karena keganasan pankreas (bagian

kepala/kaput) sering timbul kuning yang tidak disertai gajala keluhan sakit perut

(painless jaundice). Kadang-kadang bila bilirubin telah mencapai kadar yang lebih

tinggi, warna kuning pada sklera mata sering memberi kesan yang berbeda dimana

ikterus lebih memberi kesan kehijauan (greenish jaundice) pada kolestasis

ekstrahepatik dan kekuningan (yellowish jaundice) pada kolestasis intrahepatik.6

Diagnosis yang akurat untuk suatu gejala ikterus dapat ditegakkan melalui

penggabungan dari gejala-gajala lain yang timbul dan hasil pemeriksaan fungsi hepar

serta beberapa prosedur diagnostik khusus. Sebagai contoh, ikterus yang disertai

demam, dan terdapat fase prodromal seperti anoreksia, malaise, dan nyeri tekan hepar

menandakan hepatitis. Ikterus yang disertai rasa gatal menandakan kemungkinan

adanya suatu penyakit xanthomatous atau suatu sirosis biliary primer. Ikterus dan

anemia menandakan adanya suatu anemia hemolitik.7 Berikut adalah beberapa temuan

klinis dan laboratorium yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis ikterus:

Page 9: BAB I Bersih

Tabel tes diagnostik

Tes fungsi Ikterus pre-hepatik Ikterus hepatikIkterus post-hepatik

Bilirubin totalNormal / Meningkat

Meningkat

Konjugasi bilirubin

Meningkat

Normal Meningkat

Bilirubin tak terkonjugasi

Normal / Meningkat

Normal

UrobilinogenNormal / Meningkat

Menurun / Negatif

Warna Urine Normal Gelap

Warna feses Normal Pucat

Alkaline fosfatase Normal

Meningkat

Alanin transferase dan Aspartat

Meningkat

Bilirubin terkonjugasi Dalam urine

Didapatkan Tidak didapatkan

E. Pemeriksaan Penunjang

- Darah rutin

Pemeriksaan darah dilakukan unutk mengetahui adanya suatu anemia dan juga

keadaan infeksi.10

- Urin

Tes yang sederhana yang dapat kita lakukan adalah melihat warna urin dan

melihat apakah terdapat bilirubin di dalam urin atau tidak.9

- Bilirubin

Penyebab ikterus yang tergolong pre-hepatik akan menyebabkan peningkatan

bilirubin indirek. Kelainan intrahepatik dapat berakibat hiperbilirubin indirek maupun

direk. Kelainan posthepatik dapat meningkatkan bilirubin direk.10

- Aminotransferase dan alkali fosfatase

- Tes serologi hepatitis virus

IgM hepatitis A adalah pemeriksaan diagnostik untuk hepatitis A akut. Hepatitis

B akut ditandai oleh adanya HBSAg dan deteksi DNA hepatitis B.10

- Biopsi hati

Histologi hati tetap merupakan pemeriksaan definitif untuk ikterus hepatoseluler

dan beberapa kasus ikterus kolestatik (sirosis biliaris primer, kolestasis intrahepatik

akibat obat-obatan (drug induced).10

Page 10: BAB I Bersih

- Pemeriksaan pencitraan

Pemeriksaan pencitraan sangat berharga ubtuk mendiagnosis penyakit infiltratif

dan kolestatik. USG abdomen, CT Scan, MRI sering bisa menemukan metastasis dan

penyakit fokal pada hati.10

F. Penatalaksanaan

1. Ikterus Pre-hepatik

Seperti yang telah disebutkan dalam bahasan sebelumnya, beberapa penyebab

ikterus pre-hepatik antara lain anemia hemolitik, malaria tropika berat, sindroma

Gilbert atau sindroma Crigler Najjar.

Anemia hemolitik bisa disebabkan oleh reaksi tokosik-imunologi. Terapi

untuk anemia hemolitik meliputi Prednison 1-2mg/kgBB, obat-obatan

imunosupresif,dan spleenektomi bila gagal dengan terapi konservatif.

Sedangkan untuk penyakit yang diturunkan secara familial seperti sindroma

Gilbert atau sindroma Crigler Najjar (defisiensi enzim glukoronil transferase)

merupakan kasus yang jarang terjadi. Menurut kepustakaan, terapi yang diberikan

adalah Fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dalam jangka lama.

2. Ikterus Intra-hepatik

Penyebab ikterus intra-hepatik yang sering ditemui di klinis antara lain

hepatitis virus, sirosis hepatis, dan hepatoma. Penatalaksanaan spesifik dari masing-

masing penyakit ini berbeda sesuai dengan etiologinya.

Hepatitis yang paling sering ditemui di klinis dan sering menimbulkan

penampakkan ikterus adalah hepatitis A (ditularkan melaui fekal-oral) dan hepatitis B

(ditularkan melaui darah). Hepatitis A merupakan self limiting disease dan tidak ada

obat spesifik untuk penyakit ini. Sedangkan hepatitis B merupakan penyakit serius

yang bila tidak diterapi dengan tuntas akan menyebabkan komplikasi jangka panjang

yang buruk. Berbagai obat alternatif yang dapat diberikan untuk hepatitis B antara lain

Lamivudin 100mg/hari selama 2 tahun, interferon, dsb. Manifestasi ikterus pada

hepatitis viral akan menghilang sejalan dengan perbaikan penyakitnya.

Sedangkan hepatoma dan sirosis hepatis adalah dua penyakit yang saling

berhubungan dan mungkin didahului oleh riwayat hepatitis kronis sebelumnya. Pada

dua kondisi penyakit ini, terapi yang diberikan hanyalah bersifat simptomatis.

Page 11: BAB I Bersih

Transplantasi hepar adalah satu-satunya terapi definitif yang bisa memberikan hasil

yang memuaskan.

3. Ikterus Post-hepatik

Pada dasarnya penatalaksanaan pasien dengan ikterus obstruktif bertujuan

untuk menghilangkan penyebab sumbatan atau mengalihkan aliran empedu. Tindakan

tersebut dapat berupa tindakan pembedahan misalnya pengangkatan batu atau reseksi

tumor.

Bila penyebabnya adalah tumor dan tindakan bedah tidak dapat

menghilangkan penyebab obstruksi karena tumor tersebut maka dilakukan tindakan

drainase untuk mengalihkan aliran empedu tersebut.

BAB III

KESIMPULAN

Page 12: BAB I Bersih

Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata Perancis ‘jaune’ yang berarti kuning.

Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran

mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat

kadarnya dalam sirkulasi darah dan jaringan (> 2 mg/ 100 ml serum).1

Ada 3 tipe ikterus yaitu ikterus pre-hepatik (hemolitik), ikterus intra-hepatik

dan ikterus post-hepatik (obstruksi).Riwayat penyakit yang rinci dan pemeriksaan

fisik sangat penting untuk menegakkan diagnosis penyakit dengan keluhan ikterus.

Diagnosis yang akurat untuk suatu gejala ikterus dapat ditegakkan melalui

penggabungan dari gejala-gajala lain yang timbul dan hasil pemeriksaan fungsi hepar

serta beberapa prosedur diagnostik khusus.

Penatalaksanaan ikterus sangat tergantung penyakit dasar penyebabnya. Jika

penyebabnya adalah penyakit hati (misalnya hepatitis virus), biasanya ikterus akan

menghilang sejalan dengan perbaikan penyakitnya. Sedangkan pada ikterus obstruktif,

pengobatan bertujuan untuk menghilangkan penyebab sumbatan atau mengalihkan

aliran empedu.

DAFTAR PUSTAKA

Page 13: BAB I Bersih

1. Schwartz SI. Manifestations of Gastrointestinal Desease. Dalam :

Principles of Surgery fifth edition, editor : Schwartz, Shires, Spencer. Singapore :

McGraw-Hill, 1989. 1091-1099.

2. Lesmana. Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (E R C

P) diagnostik dan terapeutik pada Obstruksi Biller. Http://www.kalbe.co.id.

3. Anonim. Ikterus. Http://ilmukedokteran.net.

4. Medline Plus. Bilirubin. Http://www.nlm.nih.gov.

5. Anonim. Gallensteine. Http://www.internisten-im-netz.de.

6. Campbell FC. Jaundice. Http://www.qub.ac.uk.

7. Medline Plus. Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography

(ERCP). Http://www.nlm.nih.gov.

8. Sulaiman A. Pendekatan Klinis pada Pasien Ikterus. Dalam Buku Ajar

Ilmu Penyakit Dalam Jilid III edisi IV. Jakarta : Pusat penerbitan Departemen Ilmu

Penyakit Dalam FKUI. 2006. 422-425.

9. Davey P. Ikterus. Dalam : At a Glace Medicine. Jakarta : Erlangga

Medical Series, 2006.

10. Pratt S, Kaplan MM. Jaundice. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL,

Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL. Harrison‟s Principles of Internal Medicine

Vol.1.16th ed. USA, Mc GrawHill, 2005.p.240