BAB I Bersih
-
Upload
kartikasariirdan -
Category
Documents
-
view
9 -
download
2
description
Transcript of BAB I Bersih
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata Perancis ‘jaune’ yang berarti kuning.
Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran
mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat
kadarnya dalam sirkulasi darah. Jadi ikterus adalah warna kuning pada sklera, mukosa
dan kulit yang disebabkan oleh akumulasi pigmen empedu di dalam darah dan jaringan.
The World Health Report 2008 mengatakan bahwa AKB (Angka Kematian Bayi)
di Indonesia mencapai 20/1000 kelahiran hidup. Berarti setiap jam terdapat 10 bayi baru
lahir meninggal, setiap hari ada 246 bayi meninggal dan setiap tahun ada 89.770 bayi
baru yang lahir meninggal. Kematian bayi lahir sebesar 79% terjadi setiap minggu
pertama kelahiran terutama saat persalinan. Sebanyak 54% terjadi pada tingkatan
keluarga yang sebagian besar disebabkan karena tidak memperoleh layanan rujukan dan
kurang pengetahuan keluarga akan kegawatdaruratan pada bayi.
Penyebab kematian bayi menurut Survey Demografi Kesehatan Indonesia (2009),
menyebutkan bahwa terdapat 157.000 bayi meninggal dunia per tahun. Faktor yang
mempengaurhi angka tersebut yaitu prematuritas dan BBLR (34%), asfiksia (37 %),
Sepsis (12%), hipotermi (7%), ikterus (6%), post matur (5%) Kelainan Kongenital (1%)
(Riskesdas 2009).
Kejadian ikterus neunatorum pada bayi di Indonesia sekitar 50% bayi cukup bulan
yang mengalami perubahan warna kulit, mukosa dan wajah mengalami kekuningan
(ikterus) dan pada bayi kurang bulan (premature) dengan kejadian yang lebih sering
75%. Di Indonesia didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit
pendidikan dengan menggunakan sebuah studi cross – sectional yang dilakukan di
Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Ciptomangunkusumo selama tahun 2003,
menenukan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58% untuk kada bilirubin di
atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kada bilirubin di atas 12 mg/dL pada minggu pertama
kehidupan. RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85 % bayi cukup bulan sehat memiliki
kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8 % memiliki kadar bilirubin diatas 13 mg/dL.
Pemeriksaan dilakukan pada hari 0, 3, dan 5. Dengan pemeriksaan kada bilirubin setiap
hari, di dapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6 % bayi cukup
bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia
ditemukan pada 95% dan 56 % bayi.
Ikterus terjadi apabila terdapat bililirubin dalam darah. Pada sebagian besar
neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama dalam kehidupannya.
Di Jakarta dilaporkan 32,19 % menderita ikterus. Ikterus ini pada sebagian lagi bersifat
patologik yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan
kematian. Karena setiap bayi dengan ikterus harus ditemukan dalam 24 jam pertama
kehidupan bayi atau bila kadar bilirubin meningkat lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam.
Oleh karena itu, diharapkan angka kematian bayi (AKB) dapat menurun untuk
mewujudkan visi “Indonesia Sehat 2010” dimana salah satu tolak ukurnya adalah
menurunnya angka mortalitas dan morbiditas neonatus pada tahun 2025 dapat turun
menjadi 18 per 1000 kelahiran hidup.
I.2. Tujuan
1. Mengetahui definisi, klasifikasi dan etiologi ikterus neonatorum.
2. Mengetahui patofisiologi terjadinya ikterus neonatorum.
3. Mengetahui diagnosis dan diagnosis banding ikterus neonatorum.
4. Mengetahui komplikasi dan prognosis ikterus neonatorum.
5. Mengetahui tata laksana medikamentosa dan non medikamentosa dari ikterus
neonatorum.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata Perancis ‘jaune’ yang berarti kuning.
Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran
mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat
kadarnya dalam sirkulasi darah dan jaringan (> 2 mg/ 100 ml serum).
Penumpukan bilirubin dalam aliran darah menyebabkan pigmentasi kuning
dalam plasma darah yang menimbulkan perubahan warna pada jaringan yang
memperoleh banyak aliran darah tersebut. Kadar bilirubin serum akan menumpuk
kalau produksinya dari heme melampaui metabolisme dan ekskresinya.
Ketidakseimbangan antara produksi dan klirens dapat terjadi akibat pelepasan
prekursor bilirubin secara berlebihan ke dalam aliran darah atau akibat proses fisiologi
yang mengganggu ambilan (uptake) hepar, metabolisme ataupun ekskresi metabolit
ini.
Ikterus yang ringan dapat dilihat paling awal di sklera mata, dan bila ini terjadi
kadar bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dL (34-43 mmol/L) atau sekitar 2 kali
batas atas kisaran normal. Kadar bilirubin serum normal adalah bilirubin direk : 0-0.3
mg/dL, dan total bilirubin: 0.3-1.0 mg/dL.
Jaringan sklera kaya dengan elastin yang memiliki afinitas yang tinggi
terhadap bilirubin, sehingga ikterus pada sklera biasanya merupakan tanda yang lebih
sensitif untuk menunjukkan hiperbilirubinemia daripada ikterus yang menyeluruh.
Tanda dini yang serupa untuk hiperbilirubinemia adalah warna urin yang gelap yang
terjadi akibat ekresi bilirububin lewat ginjal dalam bentuk bilirubin glukoronid. Pada
ikterus yang mencolok kulit dapat berwarna kehijauan karena oksidasi sebagian
bilirubin yang beredar menjadi biliverdin.
B. Fisiologi Metabolisme Bilirubin
Bilirubin merupakan produk pemecahan hemoglobin normal yang dihasilkan
dari sel eritrosit tua (berusia 120 hari), cincin heme setelah dibebaskan dari besi, dan
globin oleh sistem retikuloendotelial, yang diubah menjadi biliverdin yang berwarna
hijau. Selanjutnya biliverdin berubah menjadi bilirubin yang berwarna kuning.
Bilirubin tak terkonjugasi yang tidak larut air ini ditransportasikan ke hati, lalu terikat
dengan albumin. Bilirubin ditransportasikan melewati membran sinusoid hepatosit
kedalam sitoplasma. Enzim uridine diphosphate–glucuronyl transferase
mengkonjugasikan bilirubin tak-terkonjugasi yang tidak larut dengan asam glukoronat
untuk membentuk bentuk terkonjugasi yang larut air. Bilirubin terkonjugasi kemudian
secara aktif disekresikan kedalam kanalikulus empedu. Pada ileum terminal dan
kolon, bilirubin diubah oleh aktivitas enzim-enzim bakteri menjadi
mesobilirubinogen, stercobilinogen dan urobilinogen yang sebagian besar
diekskresikan ke dalam feses. Sekitar 10-20% urobilinogen direabsorbsi ke dalam
sirkulasi portal. Selanjutnya sejumlah kecil yang terlepas dari ekskresi hepar
mencapai ginjal dan diekskresi melalui urine.
Gambar 1. skema metabolisme bilirubin.
C. Patofisiologi
Pembagian terdahulu mengenai tahapan metabolisme bilirubin yang
berlangsung dalam 3 fase, yaitu pre-hepatik, intrahepatik, post-hepatik, masih relevan.
Pentahapan yang baru menambahkan 2 fase lagi sehingga pentahapan metabolisme
bilirubin menjadi 5 fase, yaitu fase pembentukan bilirubin, transpor plasma, liver
uptake, konjugasi, dan ekskresi bilier. Ikterus disebabkan oleh gangguan pada salah
satu dari 5 fase metabolisme bilirubin tersebut.
Fase Pre-hepatik
Fase prehepatik atau hemolitik yaitu menyangkut ikterus yang disebabkan oleh
hal-hal yang dapat meningkatkan hemolisis (rusaknya sel darah merah)
- Pembentukan Bilirubin. Sekitar 250 sampai 350 mg bilirubin atau sekitar 4
mg/kg BB terbentuk setiap harinya; 70-80% berasal dari pemecahan sel
darah merah yang matang oleh sel-sel retikuloendotelial, sedangkan sisanya
20-30% berasal dari protein heme lainnya yang berada terutama dalam
sumsum tulang dan hati. Peningkatan hemolisis sel darah merah merupakan
penyebab utama peningkatan pembentukan bilirubin.
- Transport plasma. Bilirubin tidak larut dalam air, karenanya bilirubin tak
terkojugasi ini transportnya dalam plasma terikat dengan albumin dan tidak
dapat melalui membran gromerolus, karenanya tidak muncul dalam air seni.
-
Fase Intra-hepatik
Fase intrahepatik yaitu menyangkut peradangan atau adanya kelainan pada hati
yang mengganggu proses pembuangan bilirubin
- Liver uptake. Pengambilan bilirubin melalui transport yang aktif dan
berjalan cepat, namun tidak termasuk pengambilan albumin.
- Konjugasi. Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami
konjugasi dengan asam glukoronik membentuk bilirubin diglukuronida /
bilirubin konjugasi / bilirubin direk. Bilirubin tidak terkonjugasi merupakan
bilirubin yang tidak larut dalam air kecuali bila jenis bilirubin terikat sebagai
kompleks dengan molekul amfipatik seperti albumin. Karena albumin tidak
terdapat dalam empedu, bilirubin harus dikonversikan menjadi derivat yang
larut dalam air sebelum diekskresikan oleh sistem bilier. Proses ini terutama
dilaksanakan oleh konjugasi bilirubin pada asam glukuronat hingga
terbentuk bilirubin glukuronid / bilirubin terkonjugasi / bilirubin direk.
Fase Post-hepatik
Fase post-hepatik yaitu menyangkut penyumbatan saluran empedu di luar hati
oleh batu empedu atau tumor
- Ekskresi bilirubin. Bilirubin konjugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus
bersama bahan lainnya. Di dalam usus, flora bakteri mereduksi bilirubin
menjadi sterkobilinogen dan mengeluarkannya sebagian besar ke dalam tinja
yang memberi warna coklat. Sebagian diserap dan dikeluarkan kembali ke
dalam empedu, dan dalam jumlah kecil mencapai mencapai air seni sebagai
urobilinogen. Ginjal dapat mengeluarkan bilirubin konjugasi tetapi tidak
bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini menerangkan warna air seni yang gelap
khas pada gangguan hepatoseluler atau kolestasis intrahepatik.
Gangguan metabolisme bilirubin dapat terjadi lewat salah satu dari keempat
mekanisme ini: over produksi, penurunan ambilan hepatik, penurunan konjugasi
hepatik, penurunan eksresi bilirubin ke dalam empedu (akibat disfungsi intrahepatik
atau obstruksi mekanik ekstrahepatik).
A. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi/indirek
1. Over produksi
Peningkatan jumlah hemoglobin yang dilepas dari sel darah merah yang
sudah tua atau yang mengalami hemolisis akan meningkatkan produksi bilirubin.
Penghancuran eritrosit yang menimbulkan hiperbilirubinemia paling sering akibat
hemolisis intravaskular (kelainan autoimun, mikroangiopati atau hemoglobinopati)
atau akibat resorbsi hematom yang besar. Ikterus yang timbul sering disebut ikterus
hemolitik. Konjugasi dan transfer bilirubin berlangsung normal, tetapi suplai
bilirubin tak terkonjugasi/indirek melampaui kemampuan sel hati. Akibatnya
bilirubin indirek meningkat dalam darah. Karena bilirubin indirek tidak larut dalam
air maka tidak dapat diekskresikan ke dalam urine dan tidak terjadi bilirubinuria.
Tetapi pembentukkan urobilinogen meningkat yang mengakibatkan peningkatan
ekskresi dalam urine feces (warna gelap). Beberapa penyebab ikterus hemolitik :
hemoglobin abnormal (cickle sel anemia), kelainan eritrosit (sferositosis heriditer),
antibodi serum (Rh. Inkompatibilitas transfusi), dan malaria tropika berat.
2. Penurunan ambilan hepatik
Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi dilakukan dengan memisahkannya
dari albumin dan berikatan dengan protein penerima. Beberapa obat-obatan seperti
asam flavaspidat, novobiosin dapat mempengaruhi uptake ini.
3. Penurunan konjugasi hepatik1,3
Terjadi gangguan konjugasi bilirubin sehingga terjadi peningkatan bilirubin
tak terkonjugasi. Hal ini disebabkan karena defisiensi enzim glukoronil transferase.
Terjadi pada : Sindroma Gilberth, Sindroma Crigler Najjar I, Sindroma Crigler Najjar
II.
B. Hiperbilirubinemia konjugasi/direk3,6
Hiperbilirubinemia konjugasi / direk dapat terjadi akibat penurunan eksresi
bilirubin ke dalam empedu.Gangguan ekskresi bilirubin dapat disebabkan oleh
kelainan intrahepatik dan ekstrahepatik, tergantung ekskresi bilirubin terkonjugasi
oleh hepatosit akan menimbulkan masuknya kembali bilirubin ke dalam sirkulasi
sistemik sehingga timbul hiperbilirubinemia. Kelainan hepatoseluler dapat berkaitan
dengan : Hepatitis, sirosis hepatis, alkohol, leptospirosis, kolestatis obat (CPZ), zat
yang meracuni hati fosfor, klroform, obat anestesi dan tumor hati multipel. Ikterus
pada trimester terakhir kehamilan hepatitis virus, sindroma Dubin Johnson dan Rotor,
ikterus pasca bedah.
Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik akan menimbulkan hiperbilirubinemia
terkonjugasi yang disertai bilirubinuria. Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik dapat
total maupun parsial. Obstruksi total dapat disertai tinja yang akolik. Penyebab
tersering obstruksi bilier ekstrahepatik adalah :6
- Obstruksi sal.empedu didalam hepar : Sirosis hepatis, abses hati,
hepatokolangitis, tumor maligna primer dan sekunder.
- Obstruksi didalam lumen sal.empedu : batu empedu, askaris.
- Kelainan di dinding sal.empedu : atresia bawaan, striktur traumatik, tumor
saluran empedu.
- Tekanan dari luar saluran empedu : Tumor caput pancreas, tumor Ampula
Vatery, pancreatitis, metastasis tumor di lig.hepatoduodenale
D. Diagnosis
Riwayat penyakit yang rinci dan pemeriksaan fisik sangat penting untuk
menegakkan diagnosis penyakit dengan keluhan ikterus. Tahap awal ketika akan
mengadakan penilaian klinis seorang pasien dengan ikterus adalah tergantung kepada
apakah hiperbilirubinemia bersifat konjugasi atau tak terkonjugasi. Jika ikterus ringan
tanpa warna air seni yang gelap harus difikirkan kemungkinan adanya
hiperbilirubinemia indirect yang mungkin disebabkan oleh hemolisis, sindroma
Gilbert atau sindroma Crigler Najjar, dan bukan karena penyakit hepatobilier.
Keadaan ikterus yang lebih berat dengan disertai warna urin yang gelap menandakan
penyakit hati atau bilier. Jika ikterus berjalan sangat progresif perlu difikirkan segera
bahwa kolestasis lebih bersifat ke arah sumbatan ekstrahepatik (batu saluran empedu
atau keganasan kaput pankreas).6
Kolestasis ekstrahepatik dapat diduga dengan adanya keluhan sakit bilier atau
kandung empedu yang teraba. Jika sumbatan karena keganasan pankreas (bagian
kepala/kaput) sering timbul kuning yang tidak disertai gajala keluhan sakit perut
(painless jaundice). Kadang-kadang bila bilirubin telah mencapai kadar yang lebih
tinggi, warna kuning pada sklera mata sering memberi kesan yang berbeda dimana
ikterus lebih memberi kesan kehijauan (greenish jaundice) pada kolestasis
ekstrahepatik dan kekuningan (yellowish jaundice) pada kolestasis intrahepatik.6
Diagnosis yang akurat untuk suatu gejala ikterus dapat ditegakkan melalui
penggabungan dari gejala-gajala lain yang timbul dan hasil pemeriksaan fungsi hepar
serta beberapa prosedur diagnostik khusus. Sebagai contoh, ikterus yang disertai
demam, dan terdapat fase prodromal seperti anoreksia, malaise, dan nyeri tekan hepar
menandakan hepatitis. Ikterus yang disertai rasa gatal menandakan kemungkinan
adanya suatu penyakit xanthomatous atau suatu sirosis biliary primer. Ikterus dan
anemia menandakan adanya suatu anemia hemolitik.7 Berikut adalah beberapa temuan
klinis dan laboratorium yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis ikterus:
Tabel tes diagnostik
Tes fungsi Ikterus pre-hepatik Ikterus hepatikIkterus post-hepatik
Bilirubin totalNormal / Meningkat
Meningkat
Konjugasi bilirubin
Meningkat
Normal Meningkat
Bilirubin tak terkonjugasi
Normal / Meningkat
Normal
UrobilinogenNormal / Meningkat
Menurun / Negatif
Warna Urine Normal Gelap
Warna feses Normal Pucat
Alkaline fosfatase Normal
Meningkat
Alanin transferase dan Aspartat
Meningkat
Bilirubin terkonjugasi Dalam urine
Didapatkan Tidak didapatkan
E. Pemeriksaan Penunjang
- Darah rutin
Pemeriksaan darah dilakukan unutk mengetahui adanya suatu anemia dan juga
keadaan infeksi.10
- Urin
Tes yang sederhana yang dapat kita lakukan adalah melihat warna urin dan
melihat apakah terdapat bilirubin di dalam urin atau tidak.9
- Bilirubin
Penyebab ikterus yang tergolong pre-hepatik akan menyebabkan peningkatan
bilirubin indirek. Kelainan intrahepatik dapat berakibat hiperbilirubin indirek maupun
direk. Kelainan posthepatik dapat meningkatkan bilirubin direk.10
- Aminotransferase dan alkali fosfatase
- Tes serologi hepatitis virus
IgM hepatitis A adalah pemeriksaan diagnostik untuk hepatitis A akut. Hepatitis
B akut ditandai oleh adanya HBSAg dan deteksi DNA hepatitis B.10
- Biopsi hati
Histologi hati tetap merupakan pemeriksaan definitif untuk ikterus hepatoseluler
dan beberapa kasus ikterus kolestatik (sirosis biliaris primer, kolestasis intrahepatik
akibat obat-obatan (drug induced).10
- Pemeriksaan pencitraan
Pemeriksaan pencitraan sangat berharga ubtuk mendiagnosis penyakit infiltratif
dan kolestatik. USG abdomen, CT Scan, MRI sering bisa menemukan metastasis dan
penyakit fokal pada hati.10
F. Penatalaksanaan
1. Ikterus Pre-hepatik
Seperti yang telah disebutkan dalam bahasan sebelumnya, beberapa penyebab
ikterus pre-hepatik antara lain anemia hemolitik, malaria tropika berat, sindroma
Gilbert atau sindroma Crigler Najjar.
Anemia hemolitik bisa disebabkan oleh reaksi tokosik-imunologi. Terapi
untuk anemia hemolitik meliputi Prednison 1-2mg/kgBB, obat-obatan
imunosupresif,dan spleenektomi bila gagal dengan terapi konservatif.
Sedangkan untuk penyakit yang diturunkan secara familial seperti sindroma
Gilbert atau sindroma Crigler Najjar (defisiensi enzim glukoronil transferase)
merupakan kasus yang jarang terjadi. Menurut kepustakaan, terapi yang diberikan
adalah Fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dalam jangka lama.
2. Ikterus Intra-hepatik
Penyebab ikterus intra-hepatik yang sering ditemui di klinis antara lain
hepatitis virus, sirosis hepatis, dan hepatoma. Penatalaksanaan spesifik dari masing-
masing penyakit ini berbeda sesuai dengan etiologinya.
Hepatitis yang paling sering ditemui di klinis dan sering menimbulkan
penampakkan ikterus adalah hepatitis A (ditularkan melaui fekal-oral) dan hepatitis B
(ditularkan melaui darah). Hepatitis A merupakan self limiting disease dan tidak ada
obat spesifik untuk penyakit ini. Sedangkan hepatitis B merupakan penyakit serius
yang bila tidak diterapi dengan tuntas akan menyebabkan komplikasi jangka panjang
yang buruk. Berbagai obat alternatif yang dapat diberikan untuk hepatitis B antara lain
Lamivudin 100mg/hari selama 2 tahun, interferon, dsb. Manifestasi ikterus pada
hepatitis viral akan menghilang sejalan dengan perbaikan penyakitnya.
Sedangkan hepatoma dan sirosis hepatis adalah dua penyakit yang saling
berhubungan dan mungkin didahului oleh riwayat hepatitis kronis sebelumnya. Pada
dua kondisi penyakit ini, terapi yang diberikan hanyalah bersifat simptomatis.
Transplantasi hepar adalah satu-satunya terapi definitif yang bisa memberikan hasil
yang memuaskan.
3. Ikterus Post-hepatik
Pada dasarnya penatalaksanaan pasien dengan ikterus obstruktif bertujuan
untuk menghilangkan penyebab sumbatan atau mengalihkan aliran empedu. Tindakan
tersebut dapat berupa tindakan pembedahan misalnya pengangkatan batu atau reseksi
tumor.
Bila penyebabnya adalah tumor dan tindakan bedah tidak dapat
menghilangkan penyebab obstruksi karena tumor tersebut maka dilakukan tindakan
drainase untuk mengalihkan aliran empedu tersebut.
BAB III
KESIMPULAN
Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata Perancis ‘jaune’ yang berarti kuning.
Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran
mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat
kadarnya dalam sirkulasi darah dan jaringan (> 2 mg/ 100 ml serum).1
Ada 3 tipe ikterus yaitu ikterus pre-hepatik (hemolitik), ikterus intra-hepatik
dan ikterus post-hepatik (obstruksi).Riwayat penyakit yang rinci dan pemeriksaan
fisik sangat penting untuk menegakkan diagnosis penyakit dengan keluhan ikterus.
Diagnosis yang akurat untuk suatu gejala ikterus dapat ditegakkan melalui
penggabungan dari gejala-gajala lain yang timbul dan hasil pemeriksaan fungsi hepar
serta beberapa prosedur diagnostik khusus.
Penatalaksanaan ikterus sangat tergantung penyakit dasar penyebabnya. Jika
penyebabnya adalah penyakit hati (misalnya hepatitis virus), biasanya ikterus akan
menghilang sejalan dengan perbaikan penyakitnya. Sedangkan pada ikterus obstruktif,
pengobatan bertujuan untuk menghilangkan penyebab sumbatan atau mengalihkan
aliran empedu.
DAFTAR PUSTAKA
1. Schwartz SI. Manifestations of Gastrointestinal Desease. Dalam :
Principles of Surgery fifth edition, editor : Schwartz, Shires, Spencer. Singapore :
McGraw-Hill, 1989. 1091-1099.
2. Lesmana. Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (E R C
P) diagnostik dan terapeutik pada Obstruksi Biller. Http://www.kalbe.co.id.
3. Anonim. Ikterus. Http://ilmukedokteran.net.
4. Medline Plus. Bilirubin. Http://www.nlm.nih.gov.
5. Anonim. Gallensteine. Http://www.internisten-im-netz.de.
6. Campbell FC. Jaundice. Http://www.qub.ac.uk.
7. Medline Plus. Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography
(ERCP). Http://www.nlm.nih.gov.
8. Sulaiman A. Pendekatan Klinis pada Pasien Ikterus. Dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid III edisi IV. Jakarta : Pusat penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. 2006. 422-425.
9. Davey P. Ikterus. Dalam : At a Glace Medicine. Jakarta : Erlangga
Medical Series, 2006.
10. Pratt S, Kaplan MM. Jaundice. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL,
Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL. Harrison‟s Principles of Internal Medicine
Vol.1.16th ed. USA, Mc GrawHill, 2005.p.240