BAB I AD
-
Upload
baiqhulhizatilamni -
Category
Documents
-
view
224 -
download
1
description
Transcript of BAB I AD
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Penyakit Alzheimer (AD) merupakan gangguan neurodegeneratif yang paling
umum terjadi. Dengan tidak adanya strategi pencegahan yang jelas atau terapi
penyakit modifikasi, diharapkan bahwa jumlah orang yang terkena AD di seluruh
dunia akan melebihi 100 juta pada tahun 2050 (Kayed, R et al. 2011).
Dampak sosial ekonomi dari gangguan demensia di seluruh dunia sangat
besar, tetapi sulit untuk mengukur dengan tepat. Lebih dari 25 juta orang menderita
demensia dan total biaya tahunan di seluruh dunia telah diperkirakan melebihi US $
200 miliar. Menurut Asosiasi Alzheimer, pada tahun 2009 diperkirakan 5,3 juta orang
di Amerika Serikat memiliki penyakit Alzheimer (AD). Pasien dengan AD
membutuhkan perawatan kesehatan dan layanan perawatan jangka panjang (Citron,
M. 2010).
Pada tahun 2010, penyakit Alzheimer adalah penyebab kematian untuk 83.494
kasus. Kematian akibat penyakit Alzheimer terus meningkat selama 30 tahun terakhir.
Penyakit Alzheimer adalah penyebab utama kematian keenam di Amerika Serikat dan
penyebab utama kelima bagi orang yang berusia 65 tahun ke atas. Diperkirakan 5,4
juta orang di Amerika Serikat mengidap penyakit Alzheimer. Mortalitas penyakit
Alzheimer bervariasi berdasarkan umur, jenis kelamin, ras, asal, dan wilayah
geografis (Vera, BT. 2013).
BAB II
ISI
DEFINISI
Penyakit Alzheimer merupakan bentuk yang paling umum dari demensia yang
menyebabkan penurunan kemampuan kognitif yang secara bertahap semakin
memburuk. Penyakit Alzheimer (AD) adalah gangguan neurodegeneratif yang paling
umum, dengan biaya kesehatan yang tinggi (Kayed, R et al.2011).
Penyakit Alzheimer (AD) adalah gangguan neurologis progresif yang paling
luas tersebar pada pria setelah 65 tahun dan itu menjadi masalah semua masyarakat
yang sangat serius sebagai akibat dari peningkatan usia rata-rata, dengan gejala
kesulitan dalam menemukan kata yang tepat atau memahami apa yang dikatakan
orang; kesulitan dalam melakukan tugas-tugas yang sebelumnya rutin; masalah
dengan bahasa; kepribadian dan perubahan mood (Babusikova & Evinova, 2011).
EPIDEMIOLOGI
Lebih dari 25 juta orang menderita demensia dan total biaya tahunan di
seluruh dunia telah diperkirakan melebihi US $ 200 miliar. Menurut Asosiasi
Alzheimer, pada tahun 2009 diperkirakan 5,3 juta orang di Amerika Serikat memiliki
penyakit Alzheimer (AD), yang sekarang penyebab utama kematian keenam di
Amerika Serikat. Seperti bertambahnya usia adalah faktor risiko terbesar untuk
penyakit ini, kejadian tersebut akan meningkat menjadi sebesar 7,7 juta kasus pada
tahun 2030 dan 11-16.000.000 kasus di Amerika Serikat pada tahun 2050 (Citron, M.
2010).
Pasien dengan AD merupakan pasien yang membutuhkan perawatan
kesehatan dan layanan perawatan jangka panjang. Di Amerika Serikat saat ini terdapat
9,9 juta perawat keluarga yang belum dibayar dan beban emosional yang besar
(Citron, M. 2010).
ETIOLOGI
Penyebab atau etiologi dari penyakit Alzheimer belum diketahui, sebagian
besar ahli setuju bahwa AD mungkin berkembang sebagai akibat dari beberapa faktor
resiko, bukan penyebab tunggal. Beberapa faktor risiko AD, antara lain : usia; jenis
kelamin; gen; hiperkolesterolemia; diabetes mellitus; stroke; trauma otak; pendidikan;
alkohol dan merokok. Faktor risiko terbesar untuk penyakit Alzheimer adalah usia
lanjut, akan tetapi AD bukan merupakan proses normal dari penuaan (Babusikova &
Evinova, 2011).
Penyakit Alzheimer dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut (Price & Wilson, 2006) :
a. Faktor genetik
50% prevalensi kasus alzheimer ini diturunkan melalui gen autosomal dominant.
Individu dengan keturunan garis pertama pada keluarga penderita alzheimer
mempunyai resiko menderita demensia 6 kali lebih besar dibandingkan kelompok
kontrol normal. Pemeriksaan genetika DNA pada penderita alzheimer dengan familial
early onset terdapat kelainan lokus pada kromosom 21 diregio proximal log arm,
sedangkan pada familial late onset didapatkan kelainan lokus pada kromosom 19.
Begitu pula pada penderita down syndrome mempunyai kelainan gen kromosom 21,
setelah berumur 40 tahun terdapat neurofibrillary tangles (NFT), senile plaque dan
penurunan marker kolinergik pada jaringan otaknya yang menggambarkan kelainan
histopatologi pada penderita alzheimer.
b. Faktor infeksi
Ada hipotesa menunjukkan penyebab infeksi virus pada keluarga penderita
alzheimer yang dilakukan secara immuno blot analisis, ternyata diketemukan adanya
antibodi reaktif. Infeksi virus tersebut menyebabkan infeksi pada susunan saraf pusat
yang bersipat lambat, kronik dan remisi. Beberapa penyakit infeksi seperti
Creutzfeldt-Jacob disease, diduga berhubungan dengan penyakit alzheimer. Hipotesa
tersebut mempunyai beberapa persamaan antara lain: Manifestasi klinik yang sama;
Tidak adanya respon imun yang spesifik; Adanya plak amyloid pada susunan saraf
pusat; Timbulnya gejala mioklonus; Adanya gambaran spongioform.
c. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan juga dapat berperan dalam patogenesa penyakit alzheimer.
Faktor lingkungan antar alain, aluminium, silicon, mercury, zinc. Aluminium
merupakan neurotoksik potensial pada susunan saraf pusat yang ditemukan
neurofibrillary tangles (NFT) dan senile plaque (SPINALIS). Pada penderita
alzheimer, juga ditemukan keadan ketidak seimbangan merkuri, nitrogen, fosfor,
sodium, dengan patogenesa yang belum jelas. Ada dugaan bahwa asam amino
glutamat akan menyebabkan depolarisasi melalui reseptor N-methy D-aspartat
sehingga kalsium akan masuk ke intraseluler (Cairan-influks) dan menyebabkan
kerusakan metabolisma energi seluler dengan akibat kerusakan dan kematian neuron.
d. Faktor imunologis
Sekitar 60% pasien yang menderita alzheimer didapatkan kelainan serum protein
seperti penurunan albumin dan peningkatan alpha protein, anti trypsin
alphamarcoglobuli dan haptoglobuli.
e. Faktor trauma
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan penyakit alzheimer dengan
trauma kepala. Hal ini dihubungkan dengan petinju yang menderita demensia
pugilistik, dimana pada otopsinya ditemukan banyak neurofibrillary tangles.
f. Faktor neurotransmiter
Perubahan neurotransmitter pada jaringan otak penderita alzheimer mempunyai
peranan yang sangat penting seperti (Price & Wilson, 2006) :
1. Asetilkolin
Otopsi jaringan otak pada penderita alzheimer didapatkan penurunan
aktivitas kolinasetil transferase, asetikolinesterase dan transport kolin serta
penurunan biosintesa asetilkolin. Adanya defisit presinaptik dan postsynaptik
kolinergik ini bersifat simetris pada korteks frontalis, temporallis superior,
nukleus basalis, hipokampus. Kelainan neurottansmiter asetilkoline
merupakan kelainan yang selalu ada dibandingkan jenis neurottansmiter
lainnya pada penyakit alzheimer, dimana pada jaringan otak/biopsinya selalu
didapatkan kehilangan cholinergik Marker. Pada penelitian dengan pemberian
scopolamin pada orang normal, akan menyebabkan berkurang atau hilangnya
daya ingat. Hal ini sangat mendukung hipotesa kolinergik sebagai patogenesa
penyakit Alzheimer.
2. Noradrenalin
Kadar metabolisme norepinefrin dan dopimin didapatkan menurun
pada jaringan otak penderita alzheimer. Hilangnya neuron bagian dorsal lokus
seruleus yang merupakan tempat yang utama noradrenalin pada korteks
serebri, berkorelasi dengan defisit kortikal noradrenergik. Hasil biopsi dan
otopsi jaringan otak penderita alzheimer menunjukkan adanya defisit
noradrenalin pada presinaptik neokorteks. Konsentrasi noradrenalin menurun
baik pada post dan ante-mortem penderita alzheimer.
c. Dopamin
Pengukuran terhadap aktivitas neurottansmiter regio hipothalamus,
dimana tidak adanya gangguan perubahan aktivitas dopamin pada penderita
alzheimer. Hasil ini masih kontroversial, kemungkinan disebabkan karena
potongan histopatologi regio hipothalamus setia penelitian berbeda-beda.
d. Serotonin
Didapatkan penurunan kadar serotonin dan hasil metabolisme 5
hidroxi-indolacetil acid pada biopsi korteks serebri penderita alzheimer.
Penurunan juga didapatkan pada nukleus basalis dari meynert. Penurunan
serotonin pada subregio hipotalamus sangat bervariasi, pengurangan maksimal
pada anterior hipotalamus sedangkan pada posterior peraventrikuler
hipotalamus berkurang sangat minimal. Perubahan kortikal serotonergik ini
berhubungan dengan hilangnya neuron-neuron dan diisi oleh formasi NFT
pada nukleus rephe dorsalis.
e. MAO (Monoamine Oksidase)
Enzim mitokondria MAO akan mengoksidasi transmitter mono amine.
Aktivitas normal MAO terbagi 2 kelompok yaitu MAO A untuk deaminasi
serotonin, norepineprin dan sebagian kecil dopamin, sedangkan MAO B untuk
deaminasi terutama dopamin. Pada penderita alzheimer, didapatkan
peningkatan MAO A pada hipothalamus dan frontais sedangkan MAO B
meningkat pada daerah temporal danmenurun pada nukleus basalis dari
meynert.
Studi epidemiologi menunjukkan depresi, cedera kepala traumatis dan faktor
kardiovaskular dan serebrovaskular (misalnya, merokok, tekanan darah tinggi
setengah baya, obesitas dan diabetes) sebagai meningkatkan risiko penyakit AD,
sedangkan obat anti inflamasi menunjukkan dapat mengurangi (Citron, M. 2010).
Risiko kematian akibat penyakit Alzheimer meningkat secara signifikan
dengan bertambahnya usia. Pada tahun 2010, penduduk berusia 85 tahun ke atas
memiliki 50 kali kemungkinan meninggal akibat penyakit Alzheimer dibandingkan
kelompok usia 65-74 tahun. Demikian pula, orang yang berusia 85 tahun ke atas
adalah 5 kali lebih mungkin meninggal akibat penyakit Alzheimer dibandingkan
kelompok usia 75-84 tahun. Untuk tahun 2000 dan 2010, tingkat usia tertentu
kematian akibat penyakit Alzheimer untuk kelompok usia 65-74 tahun meningkat 6
persen, untuk kelompok usia 75-84 tahun meningkat adalah 32 persen, dan untuk
kelompok usia 85 tahun ke atas meningkat 48 persen (Vera, BT. 2013)
Gambar 1. Grafik resiko kematian akibat AD berdasarkan tingkatan usia.
Bila anggota keluarga ada yang menderita penyakit ini, maka diklasifikasikan
sebagai familiar atau Alzheimer Disease Familial (FAD). Penyakit Alzheimer yang
timbul tanpa diketahui ada riwayat familiarnya disebut sporadic atau Alzheimer
Disease Sporadic (ADS). AD juga digambarkan sebagai (Price & Wilson, 2006) :
1. Awitan dini (gejala pertama muncul sebelum usia 65 tahun, yaitu dalam
kisaran 30-60 tahun). AD awitan dini ini jarang terjadi yaitu angka
kejadiannya sekitar 5% sampai 10%. AD awitan dini ini cenderung terjadi
dalam keluarga, yang dipercayai sebagai penyebab sebenarnya adalah karena
adanya mutasi gen yang diwasirkan secara autosomal. Sejauh ini, tiga gen
awitan dini mutasi penyebab AD telah diidentifikasi pada tiga kromosom
yang berbeda, yaitu kromosom nomer 21, 14, dan 1.
2. Awitan lambat (gejala pertama muncul pada usia lebih dari 65 tahun).
Para ahli mengemukakan bahwa lebih dari satu gen yang terlibat dalam
meningkatkan risiko seseorang untuk terkena AD awitan lambat.
PATOGENESIS
Penyakit Alzheimer adalah penyakit multifaktorial yang mencakup faktor
genetik dan lingkungan termasuk dalam patogenesisnya. Ada dua hipotesis utama
menjelaskan penyebab AD yaitu: hipotesis amyloid cascade - proses
neurodegenerative yang dimulai dengan proses abnormal protein prekursor amiloid
(APP) dan hipotesis degenerasi cytoskeletal neuronal (Babusikova & Evinova, 2011).
Secara maskroskopik, perubahan otak pada penyakit Alzheimer melibatkan
kerusakan berat neuron korteks dan hippocampus, serta penimbunan amiloid dalam
pembuluh darah intracranial. Secara mikroskopik, terdapat perubahan morfologik
(structural) dan biokimia pada neuron-neuron. Perubahan morfologis terdiri dari 2 ciri
khas lesi yang pada akhirnya berkembang menjadi degenarasi soma dan atau akson
dan atau dendrit. Satu tanda lesi pada AD adalah kekusutan neurofibrilaris yaitu
struktur intraselular yang berisi serat kusut dan sebagian besar terdiri dari protein
“tau”.
Dalam sistem saraf pusat, protein tau sebagian besar sebagai penghambat
pembentuk structural yang terikat dan menstabilkan mikrotubulus dan merupakan
komponen penting dari sitokleton sel neuron. Pada neuron AD terjadi fosforilasi
abnormal dari protein tau, secara kimia menyebabkan perubahan pada tau sehingga
tidak dapat terikat pada mikrotubulus secara bersama-sama. Tau yang abnormal
terpuntir masuk ke filament heliks ganda yang sekelilingnya masing-masing terluka.
Dengan kolapsnya system transport internal, hubungan interseluler adalah yang
pertama kali tidak berfungsi dan akhirnya diikuti kematian sel. Pembentukan neuron
yang kusut dan berkembangnya neuron yang rusak menyebabkan Alzheimer (Price &
Wilson, 2006).
Lesi khas lain adalah plak senilis, terutama terdiri dari beta amiloid (A-beta)
yang terbentuk dalam cairan jaringan di sekeliling neuron bukan dalam sel neuronal.
A-beta adalah fragmen protein prekusor amiloid (APP) yang pada keadaan normal
melekat pada membrane neuronal yang berperan dalam pertumbuhan dan pertahanan
neuron. APP terbagi menjadi fragmen – fragmen oleh protease, salah satunya A-beta,
fragmen lengket yang berkembang menjadi gumpalan yang bisa larut. Gumpalan
tersebut akhirnya bercampur dengan sel – sel glia yang akhirnya membentuk fibril –
fibril plak yang membeku, padat, matang, tidak dapat larut, dan diyakini beracun bagi
neuron yang utuh. Kemungkinan lain adalah A-beta menghasilkan radikal bebas
sehingga mengganggu hubungan intraseluler dan menurunkan respon pembuluh
darah sehingga mengakibatkan makin rentannya neuron terhadap stressor. Selain
karena lesi, perubahan biokimia dalam SSP juga berpengaruh pada AD (Price &
Wilson, 2006).
MANIFESTASI KLINIS
Tahap pejalanan penyakit Alzheimer dimulai bertahap sejak masa muda.
Diawali dengan forgetfulness, berkembang menjadi mild cognitive impairement
(MCI) dan akhirnya berlanjut menjadi penyakit Alzheimer (Machfoed et al, 2011).
Gejala forgetfulness ditandai sebagai berikut (Machfoed et al, 2011):
1. Lupa menaruh benda, lupa terhadap nama, wajah, janji, dan sebagainya.
2. Ada gangguan dalam mengingat kembali
3. Terdapat gangguan dalam mengambil kembali informasi yang tersimpan
dalam memori
4. Tidak ada gangguan dalam mengenali suatu isyarat
5. Lebih sering menjabarkan fungsi suatu benda daripada namanya
Selanjutnya, hal ini dapat berkembang menjadi MCI dengan tanda sebagai
berikut (Machfoed et al, 2011):
1. Keluhan memori yang diungkapkan penderita atau keluarganya
2. Aktivitas hidup yang sederhana tidak bermasalah
3. Aktivitas sehari-hari yang kompleks dapat terganggu
4. Fungsi kognitif masih normal
Apabila tidak segera ditangani, MCI dapat berlanjut menjadi penyakit
Alzheimer. Berdasarkan Clinical Dementia Rating Scale (CDR), Alzheimer
dibagi menjadi 3 kelompok, antara lain (Machfoed et al, 2011):
1. Mild alzheimer dengan ciri khusus kemunduran pada pekerjaan dan hubungan
social, tetapi pasien dapat mandiri. Judgment masih baik walaupun penderita
mengalami kesulitan terhadap tugas yang kompleks seperti mengurus
keuangan, jadwal, dan perencanaan belajar. Gangguan perilaku yang dapat
muncul berupa apatis, depresi, dan menarik diri.
2. Moderate alzheimer ditandai dengan adanya kemunduran recent memory,
orientaasi, dan insight. Aktivitas harian mulain terganggu, seperti memakai
pakaian. Gangguan perilaku yang dapat muncul berupa agitasi, waham,
gangguan pola tidur, dan suka keluyuran.
3. Severe alzheimer ditandai dengan kemunduran bermakna pada kegiatan
sehari-hari seperti, makan, berpakaian, mandi, bahkan BAB. Komunikasi
sangat terbatas.
DIAGNOSIS
Untuk mendiagnosis AD, riwayat klinis yang didapat harus lengkap.
Pemeriksaan pada saraf dan fisik harus dilakukan pada semua pasien demensia.
Gangguan panurunan fungsi kognitif merupakan bagian penting dari kriteria
diagnostik. Penilaian terhadap fungsi kognitif harus dilakukan pada semua pasien.
Pengujian neuropsikologi kuantitatif harus dilakukan pada pasien dengan penyakit
AD awal. Penilaian fungsi kognitif harus mencakup ukuran umum kognitif dan
pengujian yang lebih rinci dari domain kognitif utama. Penilaian BPSD (behavioral
and psychological symptoms of dementia) harus dilakukan di masing-masing pasien.
Informasi harus dikumpulkan dari seorang informan menggunakan skala penilaian
yang sesuai (Hort, J et al. 2010).
CT-scan dan MRI dapat digunakan untuk menyingkirkan penyebab yang dapat
diobati. Multislice CT-scan dan MRI koronal dapat digunakan untuk menilai atrofi
pada hippocampal untuk mendukung diagnosis klinis AD. FDG, PET dan SPECT
adalah pemeriksaan tambahan yang berguna ketika diagnosis masih diragukan.
Dopaminergik SPECT berguna untuk membedakan AD dari DLB. Menindaklanjuti
dengan menggunakan MRI berguna dalam mendokumentasikan perkembangan
penyakit (Hort, J et al. 2010).
Gambar 1. Coronal, T1-weighted magnetic resonance imaging (MRI) scan ada pasien
Alzheimer disease moderate. Pada gambar terlihat atrofi pada hippocampus, terutama
pada sisi kanan (Ramachandran et al, TS. 2014).
Gambar 2. Potongan axial, T2-weighted magnetic resonance imaging (MRI) terdapat
perubahan pada artrofi pada bagian lobus terporal (Ramachandran et al, TS. 2014).
Ada beberapa hal yang perlu dokter unruk mendiagnosis AD anatara lain
(NIH, 2011) :
mengajukan pertanyaan tentang kesehatan secara keseluruhan, masalah
medis masa lalu, kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari,
dan perubahan perilaku dan kepribadian
Melakukan tes memori, pemecahan masalah, perhatian, menghitung,
dan bahasa
Melakukan tes medis standar, seperti tes darah dan urine, untuk
mengidentifikasi kemungkinan penyebab lain dari masalah yang
dikeluhkan
Melakukan scan otak, seperti computed tomography (CT-scan) atau
magnetic resonance imaging (MRI), untuk membedakan Alzheimer
dari kemungkinan penyebab lain dari gejala, seperti stroke atau tumor
Tes-tes ini dapat diulang untuk memberikan informasi kepada tentang
bagaimana memori seseorang berubah dari waktu ke waktu. Diagnosis lebih awal
yang akurat sangat menguntungkan karena beberapa alasan. Seperti Hal ini dapat
memberikan informasi apakah gejala pada mereka adalah penyakit Alzheimer atau
karena penyebab lain, seperti stroke, tumor, penyakit Parkinson, gangguan tidur, efek
samping dari obat kation, atau kondisi lain yang mungkin diobati dan mungkin dapat
reversible (NIH, 2011).
Memulai pengobatan awal dalam proses penyakit dapat membantu
melestarikan fungsi otak untuk beberapa waktu, meskipun proses penyakit yang
mendasarinya tidak dapat diubah. Memiliki diagnosis dini juga membantu keluarga
merencanakan masa depan, membuat pengaturan hidup, mengurus masalah keuangan
dan hukum, dan dapat memberi dukungan pada pasien (NIH, 2011).
TATALAKSANA
Cholinesterase inhibitor (donepezil, rivastigmine, dan galantamine) dan N-
metil-d-aspartat antagonis reseptor memantine adalah satu-satunya pengobatan untuk
penyakit Alzheimer yang telah disetujui oleh FDA (Mayeux, 2010).
Obat Dosis Efek samping Keterangan
Donepezil
5 mg/hari sebelum tidur dengan atau tanpa makanan selama 4 sampai 6 minggu; 10 mg/hari setelahnya
Mual, muntah, kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan, insomnia
Tersedia dalam dosis tunggal
Rivastigmine (Exelon)
3 mg sehari, pada pagi dan malam hari disertai dengan makan;dosis ditingkatkan 3 mg / hari setiap 4 minggu, dengan maksimal dosis harian 12 mg
Mual, muntah, kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan, ganguan pencernaan, pusing, mengantuk, sakit kepala dan diaphoresis.Mual, muntah, kehilangan
Tersedia dalam bentuk patch
Galantamine (Razadyne)
8 mg sehari, diminum pada pagi dan malam hari dan disertai dengan makanan; dosis ditingkatkan sebesar 4 mg setiap 4 minggu, dengan dosis harian maksimal 16- 24 mg
Mual, muntah, kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan, diare, pusing, sakit kepala, kelelahan
Tersedia dalam kapsul lepas lambat
Memantin (Namenda)
5 mg / hari dengan atau tanpa makanan; dosis ditingkatkan sebesar 5 mg setiap minggu, dengan dosis harian maksimum 20 mg
Konstipasi, pusing, sakit kepala
Sering digunakan sebagai tambahan untuk cholinesterase inhibitor; tidak dianjurkan untuk pengobatan pada tahap awal
Strategi Pengobatan Yang Lain
Penggunaan obat NSAID, terapi estrogen, vitamin antioksidan, atau statin
dapat digunakan untuk pencegahan penyakit Alzheimer, namun hasil dari percobaan
secara acak adalah tidak konsisten atau negatif. Demikian pula, efikasi untuk terapi
komplementer (misalnya, ginkgo biloba, asetil-L-karnitin, lesitin, huperzine A,
piracetam, kurkumin, periwinkle, dan phosphatidylserine) belum dapat dibuktikan.
Pelatihan kognitif dan terapi rehabilitasi yang digunakan untuk mengatasi hilangnya
memori dan fungsi intelektual lainnya tidak menunjukkan efek yang signifikan
(Mayeux, 2010).
Manajemen Gejala Psikiatri
Gejala perilaku dan kejiwaan biasanya meningkatkan seiring dengan
perkembangan penyakit. Namun, depresi dan kecemasan sering bahkan di awal
penyakit Alzheimer. Serotonin- selektif reuptake inhibitor yang umum digunakan dan
trisiklik antidepresan umumnya dihindari, karena efek antikolinergiknya dapat
menyebabkan atau memperburuk gejala kebingungan pada pasien (Mayeux, 2010).
Psikosis yang ditandai dengan halusinasi dan delusi dapat terjadi namun jarang
pada pasien dengan penyakit Alzheimer. terjadinya agitasi, delusi, halusinasi, dan
iritabilitas pada awal perjalanan penyakit juga menimbulkan kemungkinan diagnosis
alternatif, seperti dementia dengan badan Lewy (Mayeux, 2010).
Kemunduran ingatan pada orang tua disebut demensia senilis tipe Alzheimer
dan merupakan penyebab 50–60% kasus demensia senilis. Klien dengan penyakit ini
memerlukan perawatan terus-menerus 24 jam (Muttaqin, A. 2008).
Antioksidan memberi harapan dalam mengatasi kerusakan yang ditimbulkan
oleh radikal bebas. Aspirin dan obar anti-inflamasi lain mungkin memperlambat
perjalanan penyakit Alzheimer dengan menghambat komponen-komponen
inflamatorik penyakit (Sherwood, L. 2011).
KOMPLIKASI
Penyakit Alzheimer memiliki banyak komplikasi, yang masing-masing dapat
menyebabkan berbagai masalah kepada pasien. Dengan demikian, penting untuk
dilakukan pengawasan yang ketat untuk penyakit ini dan tahu bagaimana
memperlakukan pasien dengan benar. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada
penderita alzheimer antara lain (Serraro-Pozo, 2011):
1. Pneumonia
Banyak penderita alzheimer yang mengalami kesulitan menelan
makanan atau cairan, yang berpotensi dapat menyebabkan pneumonia. I
2. Infeksi saluran kemih
Komplikasi lain yang perlu diwaspadai adalah infeksi saluran kemih.
Pada staidum sedang atau berat kejadian yang umum terjadi pada pasien
alzheimer adalah inkontinensia urin. Hal ini disebabkan karena pasien yang
tidak mampu mengendalikan kandung kemih mereka. Akibatnya, banyak
orang dengan penyakit ini terpaksa menggunakan kateter. Sementara hal ini
dapat mempermudah invasi bakteri ke tubuh mereka dan berpotensi
menyebabkan infeksi saluran kemih.
3. Cedera karena jatuh
Orang dengan penyakit Alzheimer cenderung jatuh, yang dapat
menyebabkan cedera serius, seperti patah tulang atau gegar otak. Banyak
orang dengan penyakit Alzheimer harus menggunakan tongkat atau pejalan
kaki, tapi karena mereka mengalami penurunan kognitif, mereka mungkin
lupa untuk menggunakan perangkat ini. Ketika itu terjadi, mereka berpotensi
dapat memiliki jatuh serius.
Prognosis
Prognosis dan harapan hidup pasien Alzheimer tergantung pada kondisi fisik
dan mental pasien. Jika tidak ada penyakit fisik pasien dapat hidup sedikit lebih lama
dibandingkan dengan beberapa masalah medis. Pneumonia dan flu adalah komplikasi
penting yang pada pasien Alzheimer. Alzheimer menyebabkan kegagalan sistem
tubuh dan ini menyebabkan kematian pasien (Castellani 2010).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Penyakit Alzheimer (AD) adalah gangguan neurodegeneratif yang paling
umum. Sampai saat ini penyebab yang pasti belum diketahui, tetapi faktor genetik
sangat menentukan (riwayat keluarga), sedangkan faktor lingkungan hanya sebagai
pencetus ekspresi genetik. Pengobatan pada saat ini belum mendapatkan hasil yang
memuaskan, hanya dilakukan secara empiris, simptomatik dan suportif untuk
menyenangkan penderita atau keluarganya.
DAFTAR PUSTAKA
Babusikova & Evinova, 2011. lzheimer's Disease: Definition, Molecular and Genetic
Factors, Advanced Understanding of Neurodegenerative Diseases, Dr
Raymond Chuen-Chung Chang (Ed.). Diakses tanggal 27 April 2015
Available from: http://www.intechopen.com/books/advanced-understanding-
of-neurodegenerative-diseases/alzheimer-s-disease-definition-molecular-and-
genetic-factors
Citron, M. 2010. Alzheimer’s disease: strategies for disease modification. Volume 9.
Diakses tanggal 27 April 2015 Available from:
https://web.stlawu.edu/library/system/files/course_readings/Alzheimers
%20disease_strategies.pdf
Castellani, R. J., Rolston, R. K., & Smith, M. A. (2010). Alzheimer Disease.Disease-
a-Month : DM, 56(9), 484–546. doi:10.1016/j.disamonth.2010.06.001.
Diakses tanggal 27 April 2015
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3234452/pdf/cshperspectmed-
ALZ-a006189.pdf
Hort, J et al. 2010. EFNS guidelines for the diagnosis and management of
AlzheimerÕs disease. European Journal of Neurology. Diaskes tanggal 26 April
2015 available at http://www.jung-diagnostics.de/uploads/Hort%20et%20al.
%202010%20(EFNS%20guidelines).pdf
Kayed, R et al. 2011. Alzheimers Disease: Review of emerging Treatment Role for
Intravenous Immunoglobulins. Diakses tanggal 27 April 2015 Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3663607/
Mayeux R, 2010. Early Alzheimer's Diseases. N Eng J Med 2010, 362; 2194-2201
Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan keperawan klien dengan gangguan system
persarafan. Jakarta : salemba medika.
NIH. 2011. Alzheimer’s Disease. National Institutes of Health. Diaskes tanggal 26
April 2015 available at
http://depts.washington.edu/adrcweb/files/9213/1162/5979/Alzheimers_Diseas
e_Fact_Sheet.pdf
Price, Sylvia A, dan Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi Konsep Llinis Proses-
Proses Penyakit. Jakarta: EGC
Ramachandran, TS et al. 2014. Alzheimer Disease Imaging . Medscape. Diaskes
tanggal 26 April 2015 available at
http://emedicine.medscape.com/article/336281-overview
Serrano-Pozo, A., Frosch, M. P., Masliah, E., & Hyman, B. T. (2011).
Neuropathological Alterations in Alzheimer Disease. Cold Spring Harbor
Perspectives in Medicine:, 1(1), a006189. doi:10.1101/cshperspect.a006189.
Diakses tanggal 27 April 2015
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2941917/pdf/nihms230494.pdf
Sherwood, L. 2011. Fisiologi Manusia dari sel ke system. Edisi 6. Jakarta : EGC.
Vera, BT. 2013. Mortality From Alzheimer’s Disease in the United States: Data for
2000 and 2010. Diakses tanggal 27 April 2015 Available from:
http://www.cdc.gov/nchs/data/databriefs/db116.htm