Bab Gender_ Kelompok 1

22
TUGAS MK. NEGOSIASI DAN ADVOKASI BISNIS GENDER Dosen Mata Kuliah : Dr. Ir. Burhanuddin, M.M. Dr. Ir. Wahyu Budi Priyatna, M.Si Disusun oleh : Astriana Febrisari (H351140141) Ayu Wulandari Priyambodo (H351140221) Fadhlan Zuhdi (H351140241) Mahfudlotul „Ula (H34110017) Rizky Prayogo Ramadhan (H34110048) Rizky Lutfi Suprabowo (H34110070) PROGRAM STUDI MAGISTER SAINS AGRIBISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

description

gender

Transcript of Bab Gender_ Kelompok 1

  • TUGAS MK. NEGOSIASI DAN ADVOKASI BISNIS

    GENDER

    Dosen Mata Kuliah :

    Dr. Ir. Burhanuddin, M.M.

    Dr. Ir. Wahyu Budi Priyatna, M.Si

    Disusun oleh :

    Astriana Febrisari (H351140141)

    Ayu Wulandari Priyambodo (H351140221)

    Fadhlan Zuhdi (H351140241)

    Mahfudlotul Ula (H34110017) Rizky Prayogo Ramadhan (H34110048)

    Rizky Lutfi Suprabowo (H34110070)

    PROGRAM STUDI MAGISTER SAINS AGRIBISNIS

    SEKOLAH PASCASARJANA

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR

    2015

  • PENDAHULUAN

    Advokasi didefiniskan sebagai proses perubahan dan transformasi sosial

    yang diarahkan untuk membuat hubungan-hubungan kekuasaan di masyarakat

    menjadi lebih demokratis, seraya menjamin orang-orang yang dipinggirkan

    mendapat tempat dalam keputusan-keputusan publik dan membuat hidup serta

    lingkungan mereka lebih sehat, lebih aman, dan lebih produktif (Miller dan Covey

    2005). Definisi ini menunjukkan bahwa advokasi memiliki peran sebagai suatu

    proses yang menjembatani kebutuhan publik yang sebenarnya sehingga kebutuhan

    tersebut dapat dipenuhi melalui suatu perumusan kebijakan yang sesuai.

    Advokasi sendiri dari segi bahasa didefinisikan sebagai pembelaan. Zenit

    (2012) menyimpukan bahwa advokasi dapat difahami sebagai bentuk upaya

    melakukan pembelaan rakyat (masyarakat sipil) dengan cara yang sistematis dan

    terorganisir atas sikap, perilaku, dan kebijakan yang tidak berpihak pada keadilan

    dan kenyataan. Sehingga advokasi memiliki suatu tujuan untuk mendorong

    terwujudnya perubahan atas sebuah kondisi yang tidak atau belum ideal sesuai

    dengan yang diharapkan. Secara lebih spesifik, dalam praktisnya kerja advokasi

    banyak diarahkan pada sasaran tembak yaitu kebijakan publik yang dibuat oleh

    para pembuat kebijakan.

    Beberapa landasan utama yang diperlukan antara pihak yang akan

    diadvokasi kepentingannya dengan para advokat sehingga dapat menunjang

    keberhasilan proses advokasi adalah 1) perlunya tingkat kepercayaan antara kedua

    belah pihak; 2) perlunya saling menghargai antra kedua belah pihak; 3) perlunya

    kejujuran dalam menyampaikan tujuan bersama yang ingin dicapai; serta 4)

    perlunya komitmen dalam memperjuangkan tujuan bersama yang ingin dicapai

    oleh kedua belah pihak.

    Pada kesempatan ini, kami mencoba melakukan pembahasan mengenai

    suatu proses advokasi yang berkaitan dengan perilaku diskriminatif dan

    penyimpangan berkaitan dengan gender. Menurut Suprijadi dan Siskel (2004)

    dalam Nurhayati (2011) gender didefiniskan sebagai suatu peran sosial dimana

    peran laki-laki dan peran perempuan ditentukan. Selain itu, gender didefinisikan

    sebagai perbedaan status dan peran antara perempuan dan laki-laki yang dibentuk

    oleh masyarakat sesuai dengan nilai budaya yang berlaku dalam periode waktu

    tertentu (WHO 2001 dalam Nurhayati 2011).

    Terdapat beberapa teori yang berkaitan dengan gender, yaitu teori kodrat

    alam, teori kebudayaan, teori fungsional struktural, dan teori evolusi. Teori kodrat

    alam menjelaskan bahwa perbedaan biologis yang membedakan jenis kelamin

    dalam memandang gender (Suryadi 2004). Teori ini kemudian berkembang

    menjadi teori yang memandang gender sebagai suatu kodrat alam yang tidak

    dipermasalahkan. Sedangkan pandangan yang lain beranggapan bahwa gender

    sebagai hasil rekayasa budaya, sehingga gender tidak berlaku universal dan dapat

    dipertukarkan. Teori kedua adalah teori kebudayaan. Teori ini memandang gender

    sebagai konstruksi budaya. Nurhayati (2011) menjelaskan bahwa pemilahan peran

    sosial berdasarkan jenis kelamin dapat dipertukarkan, dibentuk, dan dilatihkan.

    Teori fungsional struktural menjadi salah satu penyebab munculnya

    tuntutan untuk adanya kesetaraan gender dalam peran sosial di masyarakat akibat

    adanya perubahan struktur nilai sosial ekonomi masyarakat. Sedangkan teori

  • evolusi menjelaskan bahwa segala sesuatu yang terjadi di jagat raya tidak

    berlangsung secara otomatis tetapi mengalami proses evolusi atau perubahan yang

    berjalan secara perlahan tapi pasti serta terus menerus tanpa henti.

    Proses advokasi diperlukan untuk menyelesaikan berbagai permasalah

    terkait dengan adanya perbedaan pemahaman terkait gender, adanya kesenjangan

    peran sosial antara laki-laki dan perempuan, serta menyelesaikan berbagai

    fenomena kekerasan yang terkait dengan adanya perbedaan gender.

    KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN

    Kekerasan terhadap perempuan adalah fakta yang tidak terbantahkan di

    negara ini dan setiap tahunnya mengalami peningkatan. Dalam catatan Komnas

    Perempuan pada tahun 2001-2011, pada tahun 2003 jumlah kasus yang

    dilaporkan sebanyak 7.787 kasus, tahun 2004 sebanyak 14.020 kasus, tahun 2005

    sebanyak 20.391 kasus, dan tahun 2006 sebanyak 22.512 kasus.

    Gambar. Jumlah Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan

    Selain jumlah yang tinggi, hal yang paling menyedihkan dari tindak kekerasan

    terhadap perempuan adalah menyangkut pelaku kekerasan yang terjadi, Data

    Komnas Perempuan menunjukkan bahwa pelaku tindakan kekerasan terbanyak

    adalah orang-orang terdekat korban seperti ayah, suami, paman atau pacar korban,

    artinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan tindak kekerasan yang

    paling banyak dilaporkan. Dari segi bentuk, kekerasan terhadap perempuan tidak

    hanya secara fisik, tetapi juga mengalami kekerasan psikis dan seksual. Terhadap

    berbagai kekerasan yang dialami perempuan, aspek yang menjadi perhatian

    terpenting adalah bagaimana memulihkan perempuan yang menjadi korban

    kekerasan. Proses pemulihan bagi perempuan korban kekerasan bukanlah proses

    mudah. Terlebih lagi bagi perempuan yang mengalami kekerasan seksual akan

  • membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk memulihkannya. Pemulihan

    korban kekerasan tidak saja mempertimbangkan aspek-aspek fisik, tetapi juga

    perlu melihat aspek psikis korban. Setidaknya ada tiga kebutuhan utama bagi

    perempuan yang menjadi korban kekerasan yaitu:

    1. Kebutuhan akan layanan medis 2. Kebutuhan akan layanan hukum 3. kebutuhan akan layanan psikososial Dalam konteks pemulihan korban, ketiga kebutuhan ini membutuhkan waktu yang

    cukup panjang dan tidak mudah untuk menjalaninya. Kegagalan dalam satu proses

    akan berdampak pada kegagalan proses pemulihan secara keseluruhan, karena

    dalam proses ini kondisi perempuan menjadi sangat rentan. Dalam konteks itu

    maka diperlukan advokasi yang lebih kompleks dan mendalam upaya membantu

    pemulihan korban kekerasan.

    Kekhasan Advokasi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan

    Pemahaman advokasi anti kekerasan terhadap perempuan tidak sama

    dengan pemahaman advokasi secara umum. Kerja advokasi dalam konteks ini

    mempunyai kekhasan yaitu tidak hanya memperhatikan prinsip-prinsip dasar

    secara umum, namun juga perlu memahami prinsip-prinsip yang lebih spesifik

    terkait dengan persoalan spesifik yang dialami oleh perempuan. Kekhasan dalam

    advokasi ini terkait dengan beberapa aspek, pertama dari aspek pelaku. Kekerasan

    terhadap perempuan mempunyai perbedaan yang sangat signifikan menyangkut

    pelaku kekerasan. Jika pelanggaran hak asasi manusia (HAM) secara umum

    pelakunya sangat terkait dengan peran-peran negara, maka pada kekerasan

    terhadap perempuan pelakunya tidak hanya negara tetapi juga masyarakat bahkan

    keluarga terdekat seperti suami, ayah, paman, pacar, tetangga atau orang yang

    dikenal korban. Dalam konteks itu maka tanggungjawab Negara saja tidak cukup

    melainkan juga memerlukan tanggungjawab masyarakat dan institusi-institusi

    yang terbangun dalam masyarakat, seperti institusi adat, agama, dan sebagainya.

    Kedua Kekerasan terhadap perempuan tidak mengenal tempat. Kekerasan

    dapat terjadi baik diruang publik, maupun diruang keluarga. Jika dipetakan maka

    kekerasan terhadap perempuan terjadi pada tiga ruang yaitu keluarga, komunitas

    dan negara. Dalam sejumlah kasus, keluargalah wilayah yang paling tinggi

    terjadinya kekerasan. Konsekuensi dari situasi ini adalah bagaimana menciptakan

    kebijakan yang dapat masuk dalam hal yang privat, namun tetap menghargai

    privacy.

    Ketiga, Kekerasan terhadap perempuan yaitu diskriminasi. Dalam konteks

    ini advokasi tidak bias hanya diarahkan pada institusi struktural formal, tetapi juga

    institusi kultural. Kekerasan terhadap perempuan tidak terlepas dari proses

    internalisasi nilai-nilai sosial dalam masyarakat yang terbangun secara sistematik,

    baik melalui kebijakan negara, budaya masyarakat setempat maupun ajaran

    agama yang ditafsirkan secara bias gender. Akibat internalisasi ini kekerasan

    terhadap terhadap perempuan dianggap wajar oleh masyarakat, bahkan jika ada

    perempuan yang lebih berdaya, masyarakat cenderung melakukan resistensi

    terhadapnya. Sebagai contoh, perempuan yang melaporkan kasus kekerasan yang

    dialaminya tidak sepenuhnya mendapat dukungan dari masyarakat. Masyarakat

    justru bertanya-tanya atas kebenaran kasus yang dialaminya. Tidak jarang

    masyarakat justru menyalahkan perempuan yang menjadi korban atas sejumlah

  • peristiwa yang terjadi. Pada kasus perkosaan perempuan seringkali disalahkan

    dengan berbagai alasan seperti karena pulang malam, karena memakai pakaian

    ketat dan sebagainya. Sementara laki-laki pemerkosa lebih mendapat pemakluman

    dari masyarakat. Tidak hanya masyarakat, perlindungan korban juga tidak

    sepenuhnya diperoleh dari aparat penegak hukum. Masih banyak aparat penegak

    hukum yang belum memahami soal perlindungan korban, meskipun sudah ada

    undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

    Rumah Tangga sebagai landasan untuk melakukan tindakan. Korban justru sering

    mengalami ketakutan dan tertekan pada saat melaporkan kasusnya, karena bukan

    perlindungan yang didapatkan namun perlakuan aparat yang cenderung

    melecehkan korban.

    Advokasi Untuk Kepentingan Siapa?

    Aspek penting yang perlu diperhatikan dalam proses advokasi anti

    kekerasan terhadap perempuan adalah keberadaan korban. Dalam proses ini,

    korban merupakan indikator utama yang menentukan apakah advokasi yang

    berlangsung dapat memberdayakan atau justru sebaliknya menyebabkan

    mengalami kekerasan untuk kedua kalinya. Hal ini penting diperhatikan karena

    dalam proses memperjuangkan kasusnya, korban dapat menjadi lebih tertekan,

    bingung, dan depresi. Untuk itu, dalam advokasi yang melibatkan korban,

    lembaga layanan harus memiliki kepekaan dan pemahaman mekanisme

    kemungkinan terjadinya proses pengulangan kekerasan pada korban, sehingga

    seminimal mungkin pengulangan kekerasan pada korban dapat dihindari.

    Pada aspek yang lebih luas, menjaga agar proses advokasi tidak

    menimbulkan pengulangan kekerasan pada korban, proses advokasi harus dilihat

    pula sebagai proses pemberdayaan korban. Korban tidak hanya didudukan sebagai

    pihak yang pasif, ia hanya mengikuti langkah-langkah pemulihan baik hukum,

    medis maupun psikososial tanpa mengerti

    apa pentingnya upaya ini. Advokasi seharusnya menjadikan korban sebagai pihak

    yang mempunyai kesadaran akan peristiwa yang dialami untuk selanjutnya

    melakukan pemulihan medis, psikososial dan melakukan penuntutan hukum.

    Selain menjadi bagian pemberdayaan, aspek yang juga perlu diperhatikan

    dalam advokasi anti kekerasan terhadap perempuan adalah pemahaman tentang

    prinsip-prinsip hak korban. Hal ini terkait dengan dua kepentingan yang timbul,

    baik dari sisi korban maupun sisi pihak yang melakukan advokasi. Persoalannya

    terletak pada perbedaan kepentingan dari masing-masing pihak. Dalam konteks

    itulah pemahaman hak korban sangat perlu diperhatikan, khususnya bagi pihak

    yang melakukan advokasi.

    Ada tiga hak korban yang menjadi prinsip penegakan hak korban yang

    harus diperhatikan dalam proses advokasi yaitu hak atas kebenaran, keadilan, dan

    pemulihan. Ketiga hak korban ini harus saling terkait sehingga kerja advokasi dan

    pemulihan korban menjadi hubungan saling menguatkan. Seringkali yang terjadi

    adalah pertentangan antara kedua belah pihak. Masing-masing pihak tetap

    mempertahankan pendiriannya. Korban, pada sejumlah pengalaman advokasi

    seringkali kemauannya berbeda dengan kenyataannya yang terjadi. Pihak korban

    seringkali menganggap pendamping tidak memahami apa yang diinginkan dan

    menganggap pendamping hanya memanfaatkan korban. Begitupula dengan pihak

    yang melakukan advokasi seringkali korban dianggap terlalu susah dan berbelit-

  • belit sehingga menyusahkan proses advokasi. Banyak pendamping yang justru

    merasa kesulitan bila mengajak korban dalam proses advokasi hukum. Tidak

    sedikit akhirnya proses advokasi berhenti ditengah jalan hanya karena perbedaan

    dua kepentingan. Meskipun pertentangan kepentingan antar kedua belah pihak

    mesti dihindarkan pihak pendamping harusnya lebih bisa memahami situasi yang

    dialami korban. Meskipun pada akhirnya kelelahan dalam menghadapi korban,

    namun situasi psikologis pendamping jauh lebih baik daripada korban.

    Pendamping dalam situasi apapun harus tetap berpijak pada hak-hak korban.

    Prinsip-prinsip kerja advokasi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan

    Seperti yang disampaikan diatas, bahwa advokasi kekerasan terhadap

    perempuan mempunyai kekhasan dibandingkan proses advokasi pada umumnya.

    Untuk itu, proses advokasi anti kekerasan terhadap perempuan semestinya

    memegang sejumlah prinsip sebagai berikut:

    1. Advokasi sebagai alat transformasi sosial. Prinsip ini menekankan bahwa advokasi tidak saja bertujuan adanya perubahan dalam tingkat kebijakan,

    namun lebih menekankan pada pemberdayaan diri sendiri. Hal ini

    dikarenakan advokasi adalah sebagai bagian dari gerakan sosial, yang

    berbasis pada pengorganisasian masyarakat dan pemberdayaan gerakan

    sendiri.

    2. Kekuatan advokasi tergantung pada kemapanan upaya pengorganisasian yang telah berjalan. Advokasi tidak hanya mengandalkan kekuatan internal

    organisasi tetapi juga memerlukan kekuatan eksternal. Artinya, advokasi

    tidak saja kerja penguatan organisasi, tetapi juga penguatan jaringan.

    3. Mengutamakan hak atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan bagi korban kekerasan. Dalam hal ini advokasi dan pemulihan korban harus saling

    mendukung, tidak bertentangan anatar kedua kepentingan, baik korban

    maupun pihak yang melakukan advokasi.

    4. Proses advokasi sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi, akuntabilitas, dan transparansi. Prinsip ini berlaku umum sebagai bagian dari landasan

    pelaku gerakan sosial.

    5. Proses advokasi mencakup tahapan pasca-advokasi. Proses advokasi tidak sebatas pada pra-advokasi, selama proses advokasi saja, tetapi juga

    meliputi pasca advokasi. Tahap ini justru penting, karena tahap inilah yang

    justru penting karena kalau tidak dilakukan penguatan dapat merubah

    orientasi yang sudah terbangun selama proses advokasi.

    6. Advokasi di tengah budaya kekerasan meuntut kesiapan dengan sistem perlindungan bagi perempuan pendamping korban. Hal ini dikarenakan

    mereka juga rentan terhadap stigmatisasi, pengucilan, dan serangan.

    Kasus: Kekerasan Dalam Rumah Tangga

    Pada umumnya setiap keluarga memimpikan untuk dapat membangun

    keluarga yang harmoni, bahagia dan saling mencintai atau sering juga dsebut

    dengan sakinah, mawaddah dan wa rahmah. Namun pada kenyataannya banyak

    juga keluarga yang merasa tidak nyaman, tertekan dan sedih dikarenakan

  • kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga, baik itu kekerasan fisik,

    psikologis, seksual, emosional maupun penelantaran. Kekerasan dalam rumah

    tangga (KDRT) disebabkan oleh dua faktor yakni faktor internal dan faktor

    eksternal, baik itu secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Secara internal,

    KDRT dapat terjadi sebagai akibat dari semakin lemahnya kemampuan adaptasi

    setiap anggota keluarga di antara sesamanya, sehingga setiap anggota keluarga

    yang memiliki kekuasaan dan kekuatan cenderung bertindak deterministik dan

    eksploitatif terhadap anggota keluarga yang lemah. Secara eksternal, KDRT

    muncul sebagai akibat dari intervensi lingkungan di luar keluarga yang secara

    langsung atau tidak langsung mempengaruhi sikap anggota keluarga, terutama

    orangtua atau kepala keluarga, yang terwujud dalam perlakuan eksploitatif

    terhadap anggota keluarga yang sering kali ditampakkan dalam pemberian

    hukuman fisik dan psikis yang traumatik baik kepada anaknya, maupun

    pasangannya. Almira At-Thahirah (2006) menjelaskan bahwa sekitar 24 juta

    perempuan dari 217 juta penduduk Indonesia terutama di pedesaan mengakui

    pernah mengalami kekerasan dan yang terbesar adalah KDRT. Komnas

    perempuan pada tahun 2001 melakukan survei pada 14 daerah di Indonesia

    (Aceh, Palembang, Jambi, Bengkulu, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah,

    Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi

    Selatan, NTT) menunjukkan bahwa kaum perempuan paling banyak mengalami

    kekerasan dan penganiayaan oleh orang-orang terdekatnya serta tindak perkosaan

    di lingkungan komunitasnya sendiri. Selain daripada itu terdapat 60% kekerasan

    terhadap anak dilakukan oleh orangtua mereka (Seto Mulyadi, Komnas Anak).

    KDRT dengan alasan apapun dari waktu ke waktu akan berdampak

    terhadap keutuhan keluarga, yang pada akhirnya bisa membuat keluarga

    berantakan. Jika kondisinya demikian, yang paling banyak mengalami kerugian

    adalah anak-anaknya terlebih bagi masa depannya. Karena itulah perlu terus

    diupayakan mencari jalan terbaik untuk menyelamatkan institusi keluarga dengan

    tetap memberikan perhatian yang memadai untuk penyelamatan terutama anggota

    keluarga, dan umumnya masyarakat sekitarnya. Untuk lebih memahami persoalan

    KDRT, selanjutnya akan digali lebih jauh tentang makna KDRT, penyebab-

    penyebabnya, dampak KDRT, dan berbagai pendekatan untuk penangannya.

    Makna Kekerasan Dalam Rumah Tangga

    Menurut Wahab (2010), Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dapat

    diartikan sebagai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh seorang pengasuh,

    orangtua, atau pasangan. KDRT dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk, di

    antaranya: Kekerasan fisik, penggunaan kekuatan fisik; kekerasan seksual, setiap

    aktivitas seksual yang dipaksakan; kekerasan emosional, tindakan yang mencakup

    ancaman, kritik dan menjatuhkan yang terjadi terus menerus; dan

    mengendalikan untuk memperoleh uang dan menggunakannya.

    Berdasarkan Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang PKDRT pada

    pasal 1 butir 1 menyebutkan bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah

    setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat

    timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,

    dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan

    perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum

    dalam lingkup rumah tangga. Demikian juga pada pasal 2 ayat 1 menyebutkan

    bahwa lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi (a) Suami, isteri,

  • dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri); (b) Orang-orang yang

    mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf

    a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian,

    yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan); dan/atau

    (c) Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah

    tangga tersebut (Pekerja Rumah Tangga).

    Lebih jauh lagi bentuk-bentuk KDRT dapat dijelaskan secara detil.

    Pertama, kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh

    sakit atau luka berat (Pasal 6). Adapun kekerasan fisik dapat diwujudkan

    dengan perilaku di antaranya: menampar, menggigit, memutar tangan, menikam,

    mencekek, membakar, menendang, mengancam dengan suatu benda atau senjata,

    dan membunuh. Perilaku ini sungguh membuat anak-anak menjadi trauma dalam

    hidupnya, sehingga mereka tidak merasa nyaman dan aman. Kedua, kekerasan

    psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya

    diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau

    penderitaan psikis berat pada seseorang (pasal 7). Adapun tindakan kekerasan

    psikis dapat ditunjukkan dengan perilaku yang mengintimidasi dan menyiksa,

    memberikan ancaman kekerasan, mengurung di rumah, penjagaan yang

    berlebihan, ancaman untuk melepaskan penjagaan anaknya, pemisahan, mencaci

    maki, dan penghinaan secara terus menerus. Ketiga, kekerasan seksual adalah

    setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan

    seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan

    seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

    Kekerasan seksual meliputi (pasal 8): (a) Pemaksaan hubungan seksual yang

    dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; (b)

    Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah

    tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

    Keempat, penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang

    menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum

    yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib

    memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.

    Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan

    ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk

    bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah

    kendali orang tersebut (pasal 9). Penelantaran rumah tangga dapat dikatakan

    dengan kekerasan ekonomik yang dapat diindikasikan dengan perilaku di

    antaranya seperti: penolakan untuk memperoleh keuangan, penolakan untuk

    memberikan bantuan yang bersifat finansial, penolakan terhadap pemberian

    makan dan kebutuhan dasar, dan mengontrol pemerolehan pelayanan kesehatan,

    pekerjaan, dan sebagainya.

    Penyebab Terjadinya KDRT

    Zastrow & Browker (1984) menyatakan bahwa ada tiga teori utama yang

    mampu menjelaskan terjadinya kekerasan, yaitu teori biologis, teori frustasi-

    agresi, dan teori kontrol. Pertama, teori biologis menjelaskan bahwa manusia,

    seperti juga hewan, memiliki suatu instink agressif yang sudah dibawa sejak

    lahir. Sigmund Freud menteorikan bahwa manusia mempunyai suatu keinginan

    akan kematian yang mengarahkan manusia-manusia itu untuk menikmati tindakan

  • melukai dan membunuh orang lain dan dirinya sendiri. Robert Ardery yang

    menyarankan bahwa manusia memiliki instink untuk menaklukkan dan

    mengontrol wilayah, yang sering mengarahkan pada perilaku konflik antar

    pribadi yang penuh kekerasan. Konrad Lorenz menegaskan bahwa agresi dan

    kekerasan adalah sangat berguna untuk survive. Manusia dan hewan yang

    agresif lebih cocok untuk membuat keturunan dan survive, sementara itu manusia

    atau hewan yang kurang agresif memungkinkan untuk mati satu demi satu.

    Agresi pada hakekatnya membantu untuk menegakkan suatu sistem dominan,

    dengan demikian memberikan struktur dan stabilitas untuk kelompok. Beberapa

    ahli teori biologis berhipotesis bahwa hormon seks pria menyebabkan perilaku

    yang lebih agresif. Di sisi lain, ahli teori belajar verteori bahwa perbedaann

    perilaku agresif terutama disebabkan oleh perbedaan sosialisasi terhadap pria dan

    wanita.

    Kedua, teori frustasi-agresi menyatakan bahwa kekerasan sebagai suatu

    cara untuk mengurangi ketegangan yang dihasilkan situasi frustasi. Teori ini

    berasal dari suatu pendapat yang masuk akal bahwa sesorang yang frustasi sering

    menjadi terlibat dalam tindakan agresif. Orang frustasi sering menyerang sumber

    frustasinya atau memindahkan frustasinya ke orang lain. Misalnya, seorang

    remaja (teenager) yang diejek oleh orang lain mungkin membalas dendam, sama

    halnya seekor binatang kesayangan yang digoda.Seorang pengangguran yang

    tidak dapat mendapatkan pekerjaan mungkin memukul istri dan anak-anaknya.

    Suatu persoalan penting dengan teori ini, bahwa teori ini tidak menjelaskan

    mengapa frustasi mengarahkan terjadinya tindakan kekerasan pada sejumlah

    orang, tidak pada orang lain. Diakui bahwa sebagian besar tindakan agresif dan

    kekerasan nampak tidak berkaitan dengan frustasi. Misalnya, seorang pembunuh

    yang pofesional tidak harus menjadi frustasi untuk melakukan penyerangan.

    Walaupun teori frustasi-agresi sebagian besar dikembangkan oleh para psikolog,

    beberapa sosiolog telah menarpkan teori untuk suatu kelompok besar. Mereka

    memperhatikan perkampungan miskin dan kotor di pusat kota dan dihuni oleh

    kaum minoritas telah menunjukkan angka kekerasan yang tinggi. Mereka

    berpendapat bahwa kemiskinan, kekurangan kesmepatan, dan ketidakadilan

    lainnya di wilayah ini sangat membuat frustasi penduduknya. Penduduk semua

    menginginkan semua benda yang mereka lihat dan dimiliki oleh orang lain, serta

    tak ada hak yang sah sedikitpun untuk menggunakannya. Akibatnya, mereka

    frustasi dan berusaha untuk menyerangnya. Teori ini memberikan penjelasan

    yang masuk akal terhadap angka kekarasan yang tinggi bagi penduduk minoritas.

    Ketiga, teori ini menjelaskan bahwa orang-orang yang hubungannya dengan

    orang lain tidak memuaskan dan tidak tepat adalah mudah untuk terpaksa berbuat

    kekerasan ketika usaha-usahnya untuk berhubungan dengan orang lain

    menghadapi situasi frusstasi. Teori ini berpegang bahwa orang-orang yang

    memiliki hubungan erat dengan orang lain yang sangat berarti cenderung lebih

    mampu dengan baik mengontrol dan mengendalikan perilakunya yang impulsif.

    Travis Hirschi memberikan dukungan kepada teori ini melalu temuannya

    bahwa remaja putera yang memiliki sejarah prilaku agresif secara fisik cenderung

    tidak memiliki hubungan yang dekat dengan orang lain. Selain itu juga dinyatakan

    bahwa kekerasan mengalami jumlah yang lebih tinggi di antara para eks

    narapidana dan orang-orang lain yang terasingkan dari teman-teman dan

    keluarganya daripada orang-orang Amerika pada umumnya. Setelah

  • memperhatikan ketiga teori tersebut, kiranya variasi kekerasan di masyarakat

    untuk sementara ini disebabkan oleh tiga faktor tersebut. Bagaimana dengan

    penyebab munculnya KDRT, lebih khususnya di Indonesia.

    Upaya Penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

    Pada hakekatnya secara psikologis dan pedagogis ada dua pendekatan

    yang dapat dilakukan untuk menangani KDRT, yaitu pendekatan kuratif dan

    preventif. Berikut kedua pendektan tersebut:

    1. Pendektan Kuratif

    Menyelenggarakan pendidikan orangtua untuk dapat menerapkan cara mendidik dan memperlakukan anak-anaknya secara humanis.

    Memberikan keterampilan tertentu kepada anggota keluarga untuk secepatnya melaporkan ke pihak lain yang diyakini sanggup memberikan

    pertolongan, jika sewaktu-waktu terjadi KDRT.

    Mendidik anggota keluarga untuk menjaga diri dari perbuatan yang mengundang terjadinya KDRT.

    Membangun kesadaran kepada semua anggita keluarga untuk takut kepada akibat yang ditimbulkan dari KDRT.

    Membekali calon suami istri atau orang tua baru untuk menjamin kehidupan yang harmoni, damai dan saling pengertian, sehingga dapat terhindar dari

    perilaku KDRT.

    Melakukan filter terhadap media massa, baik cetak maupun elektronik yang menampilkan informasi kekerasan.

    Mendidik, mengasuh, dan memperlakukan anak sesuai dengan jenis kelamin, kondisi, dan potensinya.

    Menunjukkan rasa empati dan rasa peduli terhadap siapapun yang terkena KDRT, tanpa sedikitpun melemparkan kesalahan terhadap korban KDRT.

    Mendorong dan memfasilitasi pengembangan masyarakat untuk lebih peduli dan responsif terhadap kasus-kasus KDRT yang ada di lingkungannya.

    2. Pendekatan Preventif

    Memberikan sanksi secara edukatif kepada pelaku KDRT sesuai dengan jenis dan tingkat berat atau ringannya pelanggaran yang dilakukan,

    sehingga tidak hanya berarti bagi pelaku KDRT saja, tetapi juga bagi

    korban dan anggota masyarakat lainnya.

    Memberikan incentive bagi setiap orang yang berjasa dalam mengurangi, mengeliminir, dan menghilangkan salah satu bentuk KDRT secara berarti,

    sehingga terjadi proses kehidupan yang tenang dan membahagiakan.

    Menentukan pilihan model penanganan KDRT sesuai dengan kondisi korban KDRT dan nilai-nilai yang ditetapkan dalam keluarga, sehingga

    penyelesaiannya memiliki efektivitas yang tinggi.

    Membawa korban KDRT ke dokter atau konselor untuk segera mendapatkan penanganan sejak dini, sehingga tidak terjadi luka dan

    trauma psikis sampai serius.

    Menyelesaikan kasus-kasus KDRT yang dilandasi dengan kasih sayang dan keselamatan korban untuk masa depannya, sehingga tidak menimbulkan

    rasa dendam bagi pelakunya.

  • Mendorong pelaku KDRT untuk sesegera mungkin melakukan pertaubatan diri kepada Allah swt, akan kekeliruan dan kesalahan dalam berbuat

    kekerasan dalam rumah tangga, sehingga dapat menjamin rasa aman bagi

    semua anggota keluarga.

    Pemerintah perlu terus bertindak cepat dan tegas terhadap setiap praktek KDRT dengan mengacu pada UU tentang PKDRT, sehingga tidak

    berdampak jelek bagi kehidupan masyarakat.

    Contoh Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga

    Kasus KDRT ini terjadi pada tahun 2006, korban SNJ alias Lisa. Dalam

    kasus KDRTnya Lisa di siram oleh suaminya ME dengan menggunakan air keras.

    ME mengaku, tindakannya itu dilakukan karena cemburu, alasannya, Lisa sering

    keluar rumah tanpa minta izin. Sedangkan Lisa, menurut pengakuan Mulyono,

    sering ingin meninggalkan rumahnya di Pasuruan, Jatim, karena tak kuat hidup

    bersama Mulyono yang "ringan tangan". Lisa bahkan sempat pergi ke Pontianak,

    Kalbar. Namun Mulyono berhasil mengejarnya dan membawa Lisa kembali ke

    Pasuruan. Saat itulah, kejadian mengerikan itu berlangsung. "Dia tidak ingin

    istrinya keluar rumah. Kemudian korban disiram dengan air pembersih lantai yang

    mengandung zat kimia HCl," kata Kapolwiltabes.

    Menurut tetangga korban, lisa memiliki wajah yang cantik, "lha wong kalau dia bangun tidur, enggak mandi, langsung ke pasar. Di pasar jadi idola kog ujar salah seorang tetangga korban. Setelah kejadian penyiraman air keras, pihak

    RSUD Soetomo, Surabaya melakukan face off (rekonstruksi wajah total)

    kepadanya untuk memperbaiki wajahnya yang rusak, meskipun tidak akan

    kembali 100% seperti semula.

    Analisis Kasus

    Pada kasus diatas, pelaku kekerasan dapat dikenakan pelanggaran Undang-

    undang No.23 Tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

    Tangga pasal 5 (a) dan pasal 6 yakni mengenai tindakan kekerasan dalam rumah

    tangga berupa kekerasan fisik (pasal 5 a) yang mengakibatkan rasa sakit dan luka

    berat pada korban (pasal 6). Atas perbuatannya tersebut pelaku kekerasan

    terancam hukuman pidana sebagaimana yang sudah tertera diatas dan tercantum

    dalam UU PKDRT. Pelaku kekerasan akan dikenakan pasal 44 ayat (1) yang

    berbunyi :

    Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf (a) dipidana dengan pidana

    penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00

    (lima belas juta rupiah).

    KETIDAKSAMAAN PARISIPASI SOSIAL DAN POTITIK

    B. Partisipasi Politik

    Politik pada hakekatnya adalah upaya untuk merebut peran kekuasaan,

    termasuk akses dan kontrol dalam pengambilan keputusan. Hingga saat ini,

    kondisi perpolitikan yang ada di Indonesia masih sangatlah didominasi oleh laki-

    laki, baik di tingkat yang paling sederhana yaitu keluarga, tingkat masyarakat

  • hingga tingkat politik formal. Maka tidaklah heran jika Indonesia disebut sebagai

    negara maskulin. Gender menjadi isu yang banyak dibicarakan seirama dengan

    perkembangan akses perpolitikan bagi perempuan. Melalui akses perpolitikan,

    maka kesadaran untuk membicarakan relasi gender di dalam kehidupan

    masyarakat menjadi semakin mengedepan. Kesetaraan gender sebagaimana yang

    diketahui adalah produk impor dari negeri barat tentang adanya tuntutan untuk

    keseimbangan peran di dalam relasi gender tersebut. Pembicaraan gender di

    Indonesia banyak dilakukan di tahun 1980-an. Melalui program dari Non

    Governmental Organization (NGO) lokal yang bekerja sama dengan NGO

    internasional, maka banyak penyadaran tentang relasi gender yang dilakukan di

    Indonesia. Banyak perbincangan dan pelatihan dengan tujuan untuk menyadarkan

    tentang relasi gender. Jadi, yang dilakukan adalah melakukan pelatihan tentang

    urgensi gender mainstreaming pada masyarakat negara sedang berkembang. Di

    dunia internasional, banyak NGO yang bergerak di dunia ketiga, misalnya NGO

    dari Belanda, Jerman, Inggris, dan juga Australia. Banyak program yang diusung,

    misalnya tentang kesetaraan pendidikan, sosial, dan politik yang disinergikan

    dengan NGO lokal Indonesia yang juga bergerak di bidang ini. Oleh karenanya,

    gerakan gender kemudian menjadi arus utama di negara-negara berkembang

    termasuk di Indonesia. Di dunia politik, memang dominasi lelaki masih nampak.

    Misalnya jika kita secara kuantitatif berhitung, berapa banyak perempuan yang

    memasuki kawasan pimpinan di perpolitikan Indonesia. Pertanyaan-pertanyaan ini

    yang memang masih menjadi ganjalan di dalam kerangka untuk kesetaraan

    gender. Beberapa isu gender di bidang politik di Indonesia, antara lain :

    1. Kedudukan dan peran perempuan pada kepengurusan partai politik lebih rendah dibandingkan laki-laki.

    2. Keterwakilan perempuan di lembaga legislatif baik di pusat (DPR RI , DPD

    RI) maupun daerah ( DPRD Kab/Kota) sangat kecil dibandingkan laki laki.

  • 3. Di bidang eksekutif posisi seperti Gubernur, Bupati,Wakil Bupati, Wali Kota, Wakil Wali Kota, didominasi kaum laki-laki.

    "Perempuan dalam top eksekutif dapat digambarkan, seorang Gubernur dan

    seorang Wagub dari 33 Gubernur/Kepala Daerah, perempuan menjadi

    Bupati/Walikota sebanyak 38 orang (7,6 persen) dari 497 Kabupaten/Kota

    (Menteri Pemberdayaan Wanita dan Perlindungan Anak, 2014). 4. Posisi seperti Hakim, Jaksa, Hakim Agung, lebih banyak diduduki oleh kaum

    laki-laki dibanding perempuan.

    5. Di lembaga eksekutif semakin tinggi tingkat eselon semakin banyak jumlah laki-laki yang menduduki.

    6. Jumlah anggota kabinet/menteri lebih banyak laki-laki dibanding perempuan.

  • Namun demikian, di akhir-akhir ini, akses perempuan di dalam politik

    memang sudah mulai tampak dengan semakin banyaknya keterlibatan perempuan

    di dalam politik praktis. Sekarang semakin banyak perempuan di dunia legislatif,

    birokrasi, dan juga jabatan-jabatan politik lain. Ada beberapa bupati perempuan

    yang terdapat di Indonesia, demikian pula gubernur. Bahkan ada bupati

    perempuan yang bisa menjabat dua kali periode, demikian pula gubernur. Tidak

    terhitung yang berlama-lama di parpol dan kemudian berlanjut di lembaga

    legislatif.

    Semakin terbuka akses keterbukaan politik, maka tentu akan semakin

    banyak perempuan yang akan bisa berkompetisi dengan kaum lelaki di dalam

    pentas publik. Oleh karena itulah pemberian kuota kepada perempuan di dalam

    representasi politik tentulah tidak penting. Meskipun begitu, saat ini hak-hak

    politik bagi perempuan sudah banyak diakui, namun adanya hak-hak tersebut

    tidak menjamin adanya sistem politik yang demokratis di mana asas partisipasi,

    representasi, dan akuntabilitas diberi makna sesungguhnya. Adanya keterwakilan

    perempuan di dalamnya, dan berbagai kebijakan yang muncul yang memiliki

    sensitivitas gender tidak serta merta terwujud meskipun hak politik perempuan

    sudah diakui. Perempuan sebagai warga negara seharusnya dapat berpartisipasi

    secara mandiri dalam proses demokrasi ini. Selama ini di Indonesia, kita

    mendapati bahwa sebagian besar perempuan bahkan belum dapat membuat

    pilihan politiknya secara mandiri. Pilihan politik perempuan banyak dipengaruhi

    atau bahkan ditentukan oleh suami, atasan, teman, atau keluarga. Bukti-bukti

    empiris sudah menunjukkan bahwa kesetaraan gender sudah bukan masalah di

    negeri ini. Hanya saja yang memang perlu diperjuangkan adalah bagaimana agar

    perempuan semakin berdaya di dalam pengembangan SDM terutama melalui

    pendidikan, sehingga ke depan peluang untuk memasuki dunia politik akan

    semakin nyata. Beberapa faktor penyebab ketidaksetaraan gender dalam bidang

    politik, antara lain :

    1. Berkembangnya Ideologi Patriarki (Konstruksi sosial masyarakat yang menomor duakan perempuan)

    2. Paham ideologi patriarki yang masih melekat kuat pada sebagian besar masyarakat (termasuk dalam rumah tangga)

    3. Relasi gender yang tidak seimbang 4. Tingkat pendidikan perempuan yang rendah 5. Ketidak terlibatan perempuan dalam penentuan keputusan pada berbagai

    masalah kehidupan

    Pentingnya Kesetaraan Gender dalam Kehidupan Politik

    Pendidikan politik adalah suatu aktivitas yang bertujuan untuk membentuk

    dan menumbuhkan orientasi-orientasi politik pada setiap individu maupun

    kelompok. Proses pendidikan politik dilakukan agar masyarakat luas dapat

    menjadi Warga Negara Indonesia yang sadar dan menjunjung tinggi akan hak dan

    kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa, dan bernegara, serta

    memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender. Hal ini ditekankan karena pada

    realitasnya, masih dirasakan adanya kesenjangan antara peranan yang dilakukan

    oleh kaum pria dan perempuan pada berbagai peran, utamanya pada peran-peran

    publik. Oleh karena itu, peningkatan peran perempuan dalam pembangunan yang

  • berwawasan gender sebagai bagian integral dari pembangunan nasional,

    mempunyai arti yang penting dalam upaya untuk mewujudkan kemitrasejajaran

    yang harmonis antara pria dan perempuan agar dapat terwujud kesetaraan dan

    keadilan gender dalam berbagai kegiatan khususnya bidang politik. Perempuan

    mempunyai makna yang sangat penting untuk memberikan pemahaman dan

    menyatukan persepsi tentang pentingnya pembangunan demokrasi yang sehat, adil

    dan realistis. Oleh karena itu, pengembangan pendidikan politik perempuan, perlu

    ditingkatkan baik dari segi organisasional maupun pemantapan pilar-pilar

    demokrasi melalui lembaga legislatif, eksekutif maupun yudikatif yang aspiratif

    dan pro terhadap kepentingan perempuan. Kondisi semacam ini perlu mendapat

    perhatian khusus, untuk itulah salah satu hal yang perlu ditangani adalah masalah

    pendidikan politik bagi kaum perempuan, sehingga dengan tumbuh

    berkembangnya kesadaran politik dikalangan perempuan, mereka diharapkan

    mampu memanfaatkan kesempatan dan peluang yang ada sesuai potensi yang

    dimiliki dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    Kebijakan khusus afirmasi (Affirmative Action) harus segera diubah dengan

    srategi Pengarus Utamaan Gender (PUG) di semua bidang kehidupan, khususnya

    di semua lini dan strata untuk mempercepat persamaan akses, partisipasi, kontrol,

    serta manfaat yang sama antara perempuan dan laki-laki. Berdasarkan Inpres

    Nomor 9 tahun 2000, eksekutif hanya mengikat untuk melaksanakan PUG. Oleh

    karena itu, perlu ditingkatkan jumlah kebijakan pelaksanaan PUG yang akan

    mengikat seluruh pemangku kepentingan, baik pemerintah, penyelenggara pemilu,

    dan partai politik sebagai pilar demokrasi untuk mendorong pemenuhan Hak

    Asasi Manusia (HAM) perempuan di bidang politik melalui peningkatan

    keterwakilan perempuan dalam pengambil kebijakan. Gerakan perempuan dan

    pemerhati masalah perempuan, melakukan upaya yang sangat keras

    memperjuangkan masuknya kuota sebesar 30% keterwakilan perempuan sebagai

    jumlah minimal dalam paket UU politik dari hulu ke hilir.

    Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia

    Sari, mengatakan bahwa efektivitas UU parpol dan UU pemilu terkait

    keterwakilan perempuan bisa dilihat dari hasil pemilu 2009 dimana keterwakilan

    perempuan sudah meningkat dibandingkan pemilu 2004. Jumlah ini masih jauh

    ketimbang dari hasil keseimbangan ideal minimal 30%. Oleh karenanya, harus

    dilakukan pengawalan sejak tataran perumusan kebijakan, proses dan

    implementasinya, serta evaluasi dampaknya guna perbaikan kedepan pada pemilu

    2014, sampai kesetaraan dan keadilan partisipasi perempuan dalam politik yang

    terjadi, tidak dibutuhkan lagi. Sementara itu, perempuan yang dilibatkan di dunia

    politik seharusnya dapat mengetahui manfaat yang baik untuk dirinya maupun di

    partai politik, namun pada faktanya, perempuan kini cenderung mudah

    dipengaruhi untuk menerima money politics. Hal tersebut diakibatkan kurangnya

    pendidikan dasar dalam berpolitik yang belum dapat dipahami secara penuh

    ketika berkiprah di dunia politik. Dalam proses demokratisasi, persoalan

    partisipasi politik perempuan yang lebih besar, reperesentasi dan persoalan

    akuntabilitas menjadi persyaratan mutlak bagi terwujudnya demokrasi yang lebih

    bermakna di Indonesia. Demokrasi yang bermakna adalah demokrasi yang

    memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan mayoritas penduduk Indonesia

    yang terdiri dari perempuan. Ide bahwa politik bukan wilayah bagi perempuan

    adalah ide yang selalu didengungkan selama berabad-abad, dan ternyata memang

  • sangat efektif untuk membatasi perempuan untuk tidak memasuki wilayah ini.

    Terminologi publik dan privat yang erat kaitannya dengan konsep gender, peran

    gender, dan stereotype, telah menciptakan ketidaksetaraan dan ketidakadilan di

    antara perempuan dan laki-laki. Akibat yang paling jelas dari situasi politik seperti

    itu adalah marjinalisasi dan pengucilan perempuan dari kehidupan politik formal.

    Ini artinya, keberadaan perempuan dalam kehidupan politik formal di banyak

    tempat memperlihatkan gambaran yang tidak menggembirakan. Akar dari semua

    persoalan tersebut adalah budaya patriarki yang menghambat semua ruang gerak

    perempuan di semua bidang, termasuk bidang politik. Demokrasi berkaitan erat

    dengan politik. Konsep demokrasi berasal dari istilah politik yang berarti

    pemerintahan oleh rakyat. Di dalamnya terkandung makna dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam terminologi politik yang bias gender, untuk waktu yang lama, pengertian partisipasi dari rakyat, oleh rakyat, dan umtuk rakyat hanya diartikan secara terbatas hanya untuk beberapa kalangan tertentu dalam masyarakat, dan tentu saja tidak termasuk perempuan di dalamnya.

    Keterwakilan perempuan adalah untuk menyuarakan kepentingan perempuan.

    Pada titik ini, yang banyak diabaikan oleh banyak kalangan, bahkan oleh kalangan

    perempuan sendiri, adalah bahwa kepentingan-kepentingan perempuan memang

    lebih baik disuarakan oleh perempuan sendiri karena mereka sesungguhnya paling

    mengerti kebutuhan perempuan. Dalam kerangka demokrasi yang representative,

    pandangan dari kelompok yang berbeda harus dipertimbangkan dalam

    memformulasikan keputusan dan kebijakan yang akan dibuat.

    Mempertimbangkan kepentingan perempuan dan melibatkan laki-laki dan

    perempuan dalam proses pembuatan kebijakan adalah dasar dari kerangka

    demokrasi yang mendorong ke arah kesetaraan dan keadilan gender.

    Upaya Memperjuangkan Kesetaraan Gender dalam Kehidupan Politik

    Pada dasarnya, kuota 30% yang diberikan untuk keterlibatan perempuan

    dalam politik dan keterwakilan perempuan dalam parlemen yang diamanatkan

    oleh Undang-undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Undang-

    undang No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik (Parpol), masih sangat jauh

    dengan kenyataannya. Walau sejatinya angka 30% ditinjau dengan hitungan

    statistik berdasarkan jumlah masih dinilai tidak adil. Namun sebagian kalangan

    perempuan yang lain menyambut hal ini sebagai langkah maju untuk memberi

    gerak bagi perekrutan kaum perempuan dalam langkah politiknya. Karena selama

    ini perempuan hanya berjumlah 12 % saja yang berkiprah dalam ruang sidang di

    Senayan. Merupakan fenomena baru dan menyegarkan dalam perkembangan

    sistem demokrasi di Indonesia, meskipun dalam tataran yang relatif kecil dan

    sederhana, tetapi masih banyak harapan dan peluang yang bisa dilalui oleh para

    perempuan dalam partisipasinya untuk mensosialisasikan dan

    mengimplementasikan undang-undang tersebut sekaligus sebagai penghargaan

    terhadap pengorbanan dan perjuangan perempuan yang selama terpinggirkan oleh

    sistem. Karena pada kesempatan kali ini, publik akan memberikan penilaian

    langsung terhadap partai-partai politik peserta pemilu yang mempunyai

    kepedulian terhadap perjuangan serta potensi-potensi perempuan, bahkan ada

    semacam kecaman dari berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau

    organisasi-organisasi kemasyarakatan perempuan lainnya, untuk tidak memilih

    gambar partai yang tidak memperhatikan kepentingan perempuan atau dengan

  • tidak merealisasikan Undang-Undang tentang keterwakilan perempuan.

    Keterwakilan perempuan menjadi penting karena jumlah perempuan dalam

    panggung politik masih sangat rendah, berada dibawa standar, sehingga posisi dan

    peran perempuan dalam lembaga legislatif, terlebih jabatan eksekutif sebagai

    pengambil dan penentu kebijakan masih minim. Hal ini menunjukkan bahwa

    keberadaan perempuan masih belum diperhitungkan. Dengan adanya dorongan

    untuk keterwakilan perempuan yang 30% di parlemen saat pemilu 2009 tersebut,

    seperti diamanatkan UU No. 10 tahun 2008, walaupun belum ada affirmative

    action yang memberikan previlage tertentu, sehingga memberikan syarat yang

    lebih mudah bagi caleg perempuan dari pada caleg laki-laki, namun hasil dari

    pemilu tersebut sudah menunjukkan keterwakilan yang meningkat dari pemilu

    sebelumnya, yaitu untuk DPR RI 18% dari sebelumnya yang hanya 12% dan

    untuk keterwakilan di DPD agak lebih tinggi dari pada keterwakilan di DPR, yaitu

    27,3% dari sebelumnya 18,8%.

    Berdasarkan data tersebut di atas, kurang adanya pengakuan terhadap

    pentingnya peran perempuan dalam proses politik, telah terbuktikan dengan

    kurang terakomodirnya permasalahan perempuan dalam perencanaan

    pembangunan, meskipun sejak lama sudah dikampanyekan dalam isu gender

    mainstreaming tentang perempuan sebagai bagian dan sasaran dalam

    pembangunan pada tahun 1974 dengan menggunakan pendekatan Women In Development Approach (WID). Hal ini dikarenakan konsep gender dalam pembangunan masih belum diterjemahkan dengan baik oleh semua elemen

    pembangunan baik secara teoritis maupun aplikatif. Sehingga hasilhasil pembangunan masih berpihak pada kelompok-kelompok tertentu.dan menjadi bias

    gender. Adapun upayaupaya untuk mencapai penyetaraan dan keadilan gender terus dilakukan oleh aktivis perempuan, pada tahun 1980-an, melalui pendekatan

    Gender And Development Aproach (GAD). Pendekatan ini tidak lagi melihat perempuan dan lakilaki dari perbedaan biologis, akan tetapi memandang lakilaki dan perempuan secara sosial dan struktural dapat berpartisipasi dalam proses

    kehidupan, terutama partisipasi dalam kehidupan di ranah politik dan publik.

    Partisipasi antara lakilaki dan perempuan dalam kehidupan berpolitik merupakan salah satu prinsip perjuangan para aktivis perempuan, sampai diamanatkan dalam

    konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang

    kemudian diadopsi oleh sidang umum PBB tahun 1979 yang ditetapkan pada

    tahun 1981. Pemerintah Indonesia sendiri juga telah meratifikasi melalui UndangUndang Republik Indonesia no. 7 tahun 1984 pada tanggal 24 juli 1984 melalui

    lembar negara no. 29 tahun 1984. Meskipun demikian, sampai saat ini perjuangan

    menuju kesetaraan dan keadilan masih belum optimal karena adanya diskriminasi

    secara struktural dan kelembagaan yang masih kuat dalam kehidupan masyarakat.

    Pendiskriminasian semacam ini semakin melemahkan sumber daya perempuan

    terlebih ketika para perempuan tidak mempunyai keinginan untuk merubah dan

    melakukan pembenahan-pembenahan sejak dini.

    Untuk itu, adapun upaya untuk memperjuangkan kesetaraan gender dalam

    kehidupan politik, yakni pertama, harus diusahakan adanya peraturan atau UU

    tentang pemilu, pilkada, dan partai politik yang mencantumkan perihal affirmative

    action terhadap keterwakilan perempuan dengan memberikan previlage tertentu

    kepada keterwakilan perempuan, sehingga dengan adanya affirmative action,

    diharapkan keterwakilan perempuan akan meningkat dan sesuai harapan. Kedua,

  • diperlukan adanya usaha-usaha peningkatan pendidikan bagi perempuan secara

    terus menerus. Karena dengan adanya peningkatan taraf pendidikan bagi kaum

    perempuan, maka akan meningkatkan kompetensi dan daya saing kaum

    perempuan di bidang politik. Ketiga, diperlukan adanya pencerahan dan

    pendidikan politik yang terus-menerus kepada masyarakat luas, bisa dilakukan

    oleh lembaga swadaya masyarakat, ormas, ataupun oleh lembagalembaga lain, tentang unggulnya pemimpin politik perempuan. Dengan usaha itu diharapkan

    akan memberikan perubahan pandangan tentang budaya patriarki bagi

    masyarakat, sehingga kemungkinan terpilihnya peminpin politik perempuan akan

    sama dengan kemungkinan terpilihnya pemimpim politik laki-laki. Sehingga

    kesetaraan gender dalam dunia perpolitikan akan semakin maju dan efek

    sampingnya untuk kemajuan usaha pemberantasan korupsi bisa segera dirasakan.

    Sebagai contoh, ada beberapa produk legislatif progresif hadir diantaranya,

    undang-undang KDRT, perlindungan anak, kewarganegaraan dan perlindungan

    saksi dan korban, serta Undang-Undang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan

    Orang. Undang-undang tersebut lahir dari kolaborasi gerakan perempuan di

    parlemen dan di masyarakat.

    Maka dari itu, betapa pentingnya perempuan untuk masuk ke dalam ranah

    publik atau politik agar mampu memperjuangkan hak-haknya dalam kesetaraan

    gender. Keterlibatan perempuan akan mampu memformulasikan kebijakan-

    kebijakan yang diatur dalam rancangan undang-undang yang pro kepentingan

    perempuan, sehingga kesetaraan gender dalam kehidupan yang harmonis akan

    tercapai.

    Kesimpulan

    Dunia perpolitikan Indonesia lebih didominasi oleh kaum laki-laki. Kebijakan-

    kebijakan yang dihasilkan dimuat dalam Undang-Undang pun belum mampu

    menghilangkan diskriminasi gender terutama terhadap kaum perempuan. Maka

    dari itu, keterwakilan perempuan yang masuk ke ranah publik sangatlah

    diperlukan agar dapat mewarnai panggung politik agar aspirasi-aspirasi dari para

    perempuan dapat tersampaikan dan terealisasikan. Dalam memutuskan kebijakan,

    biasanya laki-laki lebih cenderung terhadap hal-hal yang rasional, sedangkan

    wanita lebih kepada perasaan yang diutamakan. Sehingga keterwakilan

    perempuan dapat melengkapi formulasi kebijakan-kebijakan yang tidak hanya

    didominasi oleh pemikiran atau gagasan dari kaum laki-laki. Pada prosesnya,

    dalam memperjuangkan hak dan peran perempuan dalam dalam ranah publik

    (politik), lahirlah Inpres (Instruksi Presiden) Nomor 9 tahun 2000, eksekutif hanya

    mengikat untuk melaksanakan PUG Kuota 30 % keterwakilan perempuan dalam

    parlemen sebagaimana Undang-undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu

    Legislatif dan Undang-undang No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik (Parpol).

    Dalam pelaksanaannya partai politik kuota 30 % keterwakilan perempuan belum

    tercapai bahkan masih banyak yang mengabaikannya. Ketegasan dan sanksi dari

    KPU pun haruslah diimplementasikan. Maka diperlukan formulasi kebijakan

    affirmasi action dengan penerapan zypper system. Misalnya, jika ada 3 calon

    legislatif dari salah satu parpol, maka salah satu dari calon tersebut haruslah

    perempuan. Di samping itu, dalam membuat RUU pro perempuan, sebagai

    contoh, ada beberapa produk legislatif progresif hadir diantaranya, undang-

    undang KDRT, perlindungan anak, kewarganegaraan dan perlindungan saksi dan

  • korban, serta Undang-Undang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

    Undang-undang tersebut lahir dari kolaborasi gerakan perempuan di parlemen dan

    di masyarakat.

    Studi kasus : Hambatan terhadap Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia

    Dalam pemilihan umum pertama pada tahun 1955, 6,5 persen dari anggota

    parlemen adalah perempuan. Kemudian, representasi perempuan Indonesia di

    parlemen mengalami pasang surut, dan mencapai angka tertinggi sebesar 13,0

    persen pada tahun 1987. Saat ini, jumlah perempuan mencapai 8,8 persen dari

    seluruh anggota perwakilan terpilih. Kurangnya keterwakilan perempuan di

    parlemen disebabkan oleh serangkaian hambatan yang membatasi kemajuan

    mereka. Oleh karena itu, berbagai strategi harus dipelajari secara simultan untuk

    mengatasi hambatan tersebut, sehingga tujuan untuk meningkatkan representasi

    perempuan di parlemen bisa diwujudkan. Studi kasus ini menyajikan tingkat

    representasi politik perempuan di Indonesia, dan mengkaji beberapa dari

    hambatan yang menghalangi wanita untuk menjadi anggota parlemen. Selain itu,

    ditawarkan berbagai strategi yang bisa dipertimbangkan untuk mengatasi

    permasalahan keterwakilan ini.

    Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola seleksi antara laki-laki dan

    perempuan sebagai anggota legislative. Faktor pertama berhubungan dengan

    konteks budaya di Indonesia yang masih sangat kental asas patriarkalnya. Persepsi

    yang sering dipegang adalah bahwa arena politik adalah untuk laki-laki, dan

    bahwa tidaklah pantas bagi wanita untuk menjadi anggota parlemen. Faktor kedua

    berhubungan dengan proses seleksi dalam partai politik. Seleksi terhadap para

    kandidat biasanya dilakukan oleh sekelompok kecil pejabat atau pimpinan partai,

    yang hampir selalu laki-laki. Di beberapa negara, termasuk Indonesia, di mana

    kesadaran mengenai kesetaraan gender dan keadilan masih rendah, pemimpin

    laki-laki dari partai-partai politik mempunyai pengaruh yang tidak proporsional

    terhadap politik partai, khususnya dalam hal gender. Perempuan tidak

    memperoleh banyak dukungan dari partai-partai politik karena struktur

    kepemimpinannya didominasi oleh kaum laki-laki. Ketiga, berhubungan dengan

    media yang berperan penting dalam membangun opini publik mengenai

    pentingnya representasi perempuan dalam parlemen. Keempat, tidak adanya

    jaringan antara organisasi massa, LSM dan partaipartai politik untuk

    memperjuangkan representasi perempuan. Jaringan organisasi-organisasi wanita

    di Indonesia baru mulai memainkan peranan penting sejak tahun 1999.

    Strategi meningkatkan representasi perempuan yaitu dengan cara

    1. Membangun dan memperkuat hubungan antar jaringan dan organisasi perempuan

    2. Meningkatkan representasi perempuan dalam organisasi partai-partai politik

    3. Melakukan advokasi para pemimpin partai-partai politik 4. Membangun akses ke media 5. Meningkatkan pemahaman dan kesadaran perempuan melalui pendidikan

    dan pelatihan

    6. Memberikan kuota untuk meningkatkan jumlah anggota parlemen perempuan

  • PEMBERDAYAAN EKONOMI PEREMPUAN

    Perempuan merupakan bagian tak terpisahkan dalam sebuah masyarakat, tak

    terkecuali dalam masyarakat miskin. Perempuan memiliki potensi yang sama

    dengan laki-laki untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan masyarakat.

    Namun pada kenyataannya, perempuan masih belum diberi peran yang lebih,

    bahkan juga terpinggirkan.

    Kiprah perempuan dalam perekonomian keluarga dan nasional menjadi

    salah satu bagian penting dalam pembangunan secara keseluruhan. Seiring dengan

    bertambahnya pendapatan perempuan atau akses perempuan terhadap

    sumber-sumber daya ekonomi melalui usaha ini, maka kemampuan dan

    kesempatan mereka bernegosiasi dalam rumah tangga pun meningkat. Posisi

    tawar mereka berubah dan pendapat mereka mulai diperhitungkan dalam setiap

    proses pengambilan keputusan dalam rumah tangga. Partisipasi perempuan

    merupakan hal yang sangat penting untuk mencapai tujuan pembangunan. Upaya

    pengembangan usaha mikro yang dilakukan oleh perempuan ini menjadi penting,

    karena perempuan berhadapan dengan kendalakendala tertentu yang dikenal

    dengan istilah tripple burden of women, yaitu ketika mereka diminta menjalankan fungsi reproduksi, produksi, sekaligus fungsi sosial di masyarakat

    pada saat yang bersamaan. Hal tersebut menyebabkan kesempatan perempuan

    untuk memanfaatkan peluang ekonomi yang ada menjadi sangat terbatas.

    Sebagian besar perempuan masih berkiprah di sektor informal atau pekerjaan

    yang tidak memerlukan kualitas pengetahuan dan ketrampilan spesifik.

    Pekerjaan-pekerjaan ini biasanya kurang memberikan jaminan perlindungan

    secara hukum dan jaminan kesejahteraan yang memadai, disamping kondisi kerja

    yang memprihatinkan serta pendapatan yang rendah. Beberapa studi

    mengindikasikan upah perempuan lebih rendah dari laki-laki. Salah satu studi

    menunjukkan bahwa upah perempuan sekitar 70% dari upah laki-laki. Dilihat dari

    akses terhadap kredit, pengusaha perempuan diperkirakan mempunyai akses yang

    lebih kecil, 11% dibandingkan laki-laki, 14%.7 Informasi dari Kementrian

    Pemberdayaan Perempuan (Hastuti dkk, 2003).

    Budaya yang cenderung patriarki mengakibatkan perempuan sebagai salah

    satu kelompok yang termarjinalkan, baik dalam akses pendidikan, kesehatan, dan

    ekonomi. Guna meningkatkan kesejahteraan perempuan salah satunya adalah

    melalui pendidikan non formal yaitu pelatihan life skill.

    Studi literature

    Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Baroroh (2008) untuk

    mengadvokasikan perempuan dalam pembangunan perekonomian salah satunya

    melalui lembaga swadaya masyarakat (LSM). Penelitian tersebut mengambil studi

    kasus di Lembaga Advokasi Pendidikan Yogyakarta. LSM ini dalam

    memberdayakan perekonomian perempuan melalui life skill. Life skill ini kegiatan

    pendampingan dalam usaha mikro, tidak hanya pendampingan LSM LAPY juga

    memfasilitasi pendidikan informal dan pemberian modal.

    Pada prinsipnya LSM ini mengadvokasi melalui tiga tahapan yaitu :

    pertama adanya transformasi wacana advokasi pendidikan di masyarakat sebagai

    skill bagi masyarakat sebagai upaya penyadaran diri dan ikut memperjuangkan

    hak haknya dalam pendidikan, kedua, pembentukan jaringan sebagai wadah

  • pendukung perjuangan dalam melakukan advokasi di lingkungan pendidikan dan

    advokasi pendidikan di masyarakat dan ketiga, adalah pemberdayaan dan

    penguatan pendidikan di masyarakat sebagai upaya advokasi yang perlu

    dilakukan. Sehingga sebagai media penyadaran, pendidikan dapat berperan

    sebagai counter hegemony dari budaya dan social dalam masyarakat.

    Advokasi dalam pemberdayaan perekonomian perempuan juga dilakukan

    oleh Asia Foundation. Asia Foundation berkomitmen meningkatkan hak-hak dan

    peran perempuan dalam pembangunan demokrasi dan ekonomi Indonesia. Asia

    Foundation bermitra dengan organisasi masyarakat sipil dan pemerintah untuk

    mendukung upaya meningkatkan partisipasi perempuan dalam pembuatan

    kebijakan, meningkatkan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif,

    mendorong transparansi anggaran dan alokasi anggaran yang adil, meningkatkan

    kesadaran gender, dan melindungi hak-hak perempuan.

    Perlunya mengadvokasikan perempuan dalam pambangunan ekonomi

    kayrena sebanyak 35 persen UKM skala kecil dan menengah yang menjadi

    penggerak utama pertumbuhan ekonomi Indonesia dimiliki perempuan. Namun,

    masih banyak pengusaha perempuan memiliki pengetahuan usaha yang terbatas

    dan masih mendaftarkan usaha mereka atas nama suami. Hal ini menyebabkan

    kurangnya jaminan hukum bagi para perempuan tersebut untuk mengontrol bisnis

    mereka serta mempersulit akses terhadap institusi permodalan formal. Asia

    Foundation bekerja sama dengan kelompok usaha perempuan mendorong kaum

    perempuan mendaftarkan usaha atas nama mereka sendiri, mensosialisasikan

    manfaat dari memiliki izin, dan melakukan kegiatan perizinan massal di 18

    kabupaten di delapan provinsi, dimana 2.200 perempuan mendaftarkan usaha

    mereka. Asia Foundation bersama PPSW mendukung upaya untuk

    meningkatkan keterampilan kewirausahaan perempuan pemilik UKM dalam hal

    pengembangan bisnis, pembukuan, mekanisme dana bergulir, dan pembentukan

    institusi keuangan mikro. Ribuan perempuan di Aceh telah mendapatkan

    kesempatan ekonomi baru melalui program kredit mikro ini.

  • DAFTAR PUSTAKA

    At-Thahirah, Almira. 2006. Kekerasan Rumah Tangga Produk Kapitalisme (Kritik

    Atas Persoalan KDRT) UIN, Bandung.

    Nurhayati. 2011. Peran Gender dalam Pengambilan Keputusan Pelayanan

    Kebidanan Pada Masa Persalinan Multigravida di Rumah Bersalin Sari

    Simpang Limun Medan [karya tulis ilmiah]. Medan (ID): Universitas

    Sumatera Utara.

    Parawansa. 2003. Hambatan Terhadapa Partisipasi Politik Perempuan. CS

    Indonesia: Jakarta.

    Parawansa K I. 2003. Hambatan Terhadap Partisipasi Politik Perempuan. CS

    Indonesia: Jakarta.

    Subiyantoro EB. 2006. Advokasi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan:

    Pengalaman Forum Belajar Bersama Komnas Perempuan. Jakarta (ID): Sub

    Komisi Pengembangan Sistem Pemulihan Bagi Perempuan Korban

    Kekerasan Komnas Perempuan.

    Tridewiyanti K. 2013. Ketersediaan Gender di Bidang Politik Pentingnya nKeterwakilan Perempuan di Legislatif. [Jurnal].Legislasi Vol 41.

    UNDP. 2010. Partisipasi Perempuan Dalam Politik dan Pemerintahan. UNDP

    Indonesia.

    UNDP. 2010. Partisipasi Perempuan dalam Politik dan Pemerintahan. UNDP

    Indoneisa: Jakarta.

    Wahab, Rochmat. 2010. Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Perspektif Psikologis

    dan Edukatif. Universitas Negeri Yogyakarta.

    Zastrow, Charles & Bowker, Lee. 1984. Social Problems: Issues and Solutions,

    Chicago: Nelson-Hall