Bab Gender_ Kelompok 1
-
Upload
rizky-lutfi-s -
Category
Documents
-
view
3 -
download
2
description
Transcript of Bab Gender_ Kelompok 1
-
TUGAS MK. NEGOSIASI DAN ADVOKASI BISNIS
GENDER
Dosen Mata Kuliah :
Dr. Ir. Burhanuddin, M.M.
Dr. Ir. Wahyu Budi Priyatna, M.Si
Disusun oleh :
Astriana Febrisari (H351140141)
Ayu Wulandari Priyambodo (H351140221)
Fadhlan Zuhdi (H351140241)
Mahfudlotul Ula (H34110017) Rizky Prayogo Ramadhan (H34110048)
Rizky Lutfi Suprabowo (H34110070)
PROGRAM STUDI MAGISTER SAINS AGRIBISNIS
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
-
PENDAHULUAN
Advokasi didefiniskan sebagai proses perubahan dan transformasi sosial
yang diarahkan untuk membuat hubungan-hubungan kekuasaan di masyarakat
menjadi lebih demokratis, seraya menjamin orang-orang yang dipinggirkan
mendapat tempat dalam keputusan-keputusan publik dan membuat hidup serta
lingkungan mereka lebih sehat, lebih aman, dan lebih produktif (Miller dan Covey
2005). Definisi ini menunjukkan bahwa advokasi memiliki peran sebagai suatu
proses yang menjembatani kebutuhan publik yang sebenarnya sehingga kebutuhan
tersebut dapat dipenuhi melalui suatu perumusan kebijakan yang sesuai.
Advokasi sendiri dari segi bahasa didefinisikan sebagai pembelaan. Zenit
(2012) menyimpukan bahwa advokasi dapat difahami sebagai bentuk upaya
melakukan pembelaan rakyat (masyarakat sipil) dengan cara yang sistematis dan
terorganisir atas sikap, perilaku, dan kebijakan yang tidak berpihak pada keadilan
dan kenyataan. Sehingga advokasi memiliki suatu tujuan untuk mendorong
terwujudnya perubahan atas sebuah kondisi yang tidak atau belum ideal sesuai
dengan yang diharapkan. Secara lebih spesifik, dalam praktisnya kerja advokasi
banyak diarahkan pada sasaran tembak yaitu kebijakan publik yang dibuat oleh
para pembuat kebijakan.
Beberapa landasan utama yang diperlukan antara pihak yang akan
diadvokasi kepentingannya dengan para advokat sehingga dapat menunjang
keberhasilan proses advokasi adalah 1) perlunya tingkat kepercayaan antara kedua
belah pihak; 2) perlunya saling menghargai antra kedua belah pihak; 3) perlunya
kejujuran dalam menyampaikan tujuan bersama yang ingin dicapai; serta 4)
perlunya komitmen dalam memperjuangkan tujuan bersama yang ingin dicapai
oleh kedua belah pihak.
Pada kesempatan ini, kami mencoba melakukan pembahasan mengenai
suatu proses advokasi yang berkaitan dengan perilaku diskriminatif dan
penyimpangan berkaitan dengan gender. Menurut Suprijadi dan Siskel (2004)
dalam Nurhayati (2011) gender didefiniskan sebagai suatu peran sosial dimana
peran laki-laki dan peran perempuan ditentukan. Selain itu, gender didefinisikan
sebagai perbedaan status dan peran antara perempuan dan laki-laki yang dibentuk
oleh masyarakat sesuai dengan nilai budaya yang berlaku dalam periode waktu
tertentu (WHO 2001 dalam Nurhayati 2011).
Terdapat beberapa teori yang berkaitan dengan gender, yaitu teori kodrat
alam, teori kebudayaan, teori fungsional struktural, dan teori evolusi. Teori kodrat
alam menjelaskan bahwa perbedaan biologis yang membedakan jenis kelamin
dalam memandang gender (Suryadi 2004). Teori ini kemudian berkembang
menjadi teori yang memandang gender sebagai suatu kodrat alam yang tidak
dipermasalahkan. Sedangkan pandangan yang lain beranggapan bahwa gender
sebagai hasil rekayasa budaya, sehingga gender tidak berlaku universal dan dapat
dipertukarkan. Teori kedua adalah teori kebudayaan. Teori ini memandang gender
sebagai konstruksi budaya. Nurhayati (2011) menjelaskan bahwa pemilahan peran
sosial berdasarkan jenis kelamin dapat dipertukarkan, dibentuk, dan dilatihkan.
Teori fungsional struktural menjadi salah satu penyebab munculnya
tuntutan untuk adanya kesetaraan gender dalam peran sosial di masyarakat akibat
adanya perubahan struktur nilai sosial ekonomi masyarakat. Sedangkan teori
-
evolusi menjelaskan bahwa segala sesuatu yang terjadi di jagat raya tidak
berlangsung secara otomatis tetapi mengalami proses evolusi atau perubahan yang
berjalan secara perlahan tapi pasti serta terus menerus tanpa henti.
Proses advokasi diperlukan untuk menyelesaikan berbagai permasalah
terkait dengan adanya perbedaan pemahaman terkait gender, adanya kesenjangan
peran sosial antara laki-laki dan perempuan, serta menyelesaikan berbagai
fenomena kekerasan yang terkait dengan adanya perbedaan gender.
KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
Kekerasan terhadap perempuan adalah fakta yang tidak terbantahkan di
negara ini dan setiap tahunnya mengalami peningkatan. Dalam catatan Komnas
Perempuan pada tahun 2001-2011, pada tahun 2003 jumlah kasus yang
dilaporkan sebanyak 7.787 kasus, tahun 2004 sebanyak 14.020 kasus, tahun 2005
sebanyak 20.391 kasus, dan tahun 2006 sebanyak 22.512 kasus.
Gambar. Jumlah Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan
Selain jumlah yang tinggi, hal yang paling menyedihkan dari tindak kekerasan
terhadap perempuan adalah menyangkut pelaku kekerasan yang terjadi, Data
Komnas Perempuan menunjukkan bahwa pelaku tindakan kekerasan terbanyak
adalah orang-orang terdekat korban seperti ayah, suami, paman atau pacar korban,
artinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan tindak kekerasan yang
paling banyak dilaporkan. Dari segi bentuk, kekerasan terhadap perempuan tidak
hanya secara fisik, tetapi juga mengalami kekerasan psikis dan seksual. Terhadap
berbagai kekerasan yang dialami perempuan, aspek yang menjadi perhatian
terpenting adalah bagaimana memulihkan perempuan yang menjadi korban
kekerasan. Proses pemulihan bagi perempuan korban kekerasan bukanlah proses
mudah. Terlebih lagi bagi perempuan yang mengalami kekerasan seksual akan
-
membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk memulihkannya. Pemulihan
korban kekerasan tidak saja mempertimbangkan aspek-aspek fisik, tetapi juga
perlu melihat aspek psikis korban. Setidaknya ada tiga kebutuhan utama bagi
perempuan yang menjadi korban kekerasan yaitu:
1. Kebutuhan akan layanan medis 2. Kebutuhan akan layanan hukum 3. kebutuhan akan layanan psikososial Dalam konteks pemulihan korban, ketiga kebutuhan ini membutuhkan waktu yang
cukup panjang dan tidak mudah untuk menjalaninya. Kegagalan dalam satu proses
akan berdampak pada kegagalan proses pemulihan secara keseluruhan, karena
dalam proses ini kondisi perempuan menjadi sangat rentan. Dalam konteks itu
maka diperlukan advokasi yang lebih kompleks dan mendalam upaya membantu
pemulihan korban kekerasan.
Kekhasan Advokasi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
Pemahaman advokasi anti kekerasan terhadap perempuan tidak sama
dengan pemahaman advokasi secara umum. Kerja advokasi dalam konteks ini
mempunyai kekhasan yaitu tidak hanya memperhatikan prinsip-prinsip dasar
secara umum, namun juga perlu memahami prinsip-prinsip yang lebih spesifik
terkait dengan persoalan spesifik yang dialami oleh perempuan. Kekhasan dalam
advokasi ini terkait dengan beberapa aspek, pertama dari aspek pelaku. Kekerasan
terhadap perempuan mempunyai perbedaan yang sangat signifikan menyangkut
pelaku kekerasan. Jika pelanggaran hak asasi manusia (HAM) secara umum
pelakunya sangat terkait dengan peran-peran negara, maka pada kekerasan
terhadap perempuan pelakunya tidak hanya negara tetapi juga masyarakat bahkan
keluarga terdekat seperti suami, ayah, paman, pacar, tetangga atau orang yang
dikenal korban. Dalam konteks itu maka tanggungjawab Negara saja tidak cukup
melainkan juga memerlukan tanggungjawab masyarakat dan institusi-institusi
yang terbangun dalam masyarakat, seperti institusi adat, agama, dan sebagainya.
Kedua Kekerasan terhadap perempuan tidak mengenal tempat. Kekerasan
dapat terjadi baik diruang publik, maupun diruang keluarga. Jika dipetakan maka
kekerasan terhadap perempuan terjadi pada tiga ruang yaitu keluarga, komunitas
dan negara. Dalam sejumlah kasus, keluargalah wilayah yang paling tinggi
terjadinya kekerasan. Konsekuensi dari situasi ini adalah bagaimana menciptakan
kebijakan yang dapat masuk dalam hal yang privat, namun tetap menghargai
privacy.
Ketiga, Kekerasan terhadap perempuan yaitu diskriminasi. Dalam konteks
ini advokasi tidak bias hanya diarahkan pada institusi struktural formal, tetapi juga
institusi kultural. Kekerasan terhadap perempuan tidak terlepas dari proses
internalisasi nilai-nilai sosial dalam masyarakat yang terbangun secara sistematik,
baik melalui kebijakan negara, budaya masyarakat setempat maupun ajaran
agama yang ditafsirkan secara bias gender. Akibat internalisasi ini kekerasan
terhadap terhadap perempuan dianggap wajar oleh masyarakat, bahkan jika ada
perempuan yang lebih berdaya, masyarakat cenderung melakukan resistensi
terhadapnya. Sebagai contoh, perempuan yang melaporkan kasus kekerasan yang
dialaminya tidak sepenuhnya mendapat dukungan dari masyarakat. Masyarakat
justru bertanya-tanya atas kebenaran kasus yang dialaminya. Tidak jarang
masyarakat justru menyalahkan perempuan yang menjadi korban atas sejumlah
-
peristiwa yang terjadi. Pada kasus perkosaan perempuan seringkali disalahkan
dengan berbagai alasan seperti karena pulang malam, karena memakai pakaian
ketat dan sebagainya. Sementara laki-laki pemerkosa lebih mendapat pemakluman
dari masyarakat. Tidak hanya masyarakat, perlindungan korban juga tidak
sepenuhnya diperoleh dari aparat penegak hukum. Masih banyak aparat penegak
hukum yang belum memahami soal perlindungan korban, meskipun sudah ada
undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga sebagai landasan untuk melakukan tindakan. Korban justru sering
mengalami ketakutan dan tertekan pada saat melaporkan kasusnya, karena bukan
perlindungan yang didapatkan namun perlakuan aparat yang cenderung
melecehkan korban.
Advokasi Untuk Kepentingan Siapa?
Aspek penting yang perlu diperhatikan dalam proses advokasi anti
kekerasan terhadap perempuan adalah keberadaan korban. Dalam proses ini,
korban merupakan indikator utama yang menentukan apakah advokasi yang
berlangsung dapat memberdayakan atau justru sebaliknya menyebabkan
mengalami kekerasan untuk kedua kalinya. Hal ini penting diperhatikan karena
dalam proses memperjuangkan kasusnya, korban dapat menjadi lebih tertekan,
bingung, dan depresi. Untuk itu, dalam advokasi yang melibatkan korban,
lembaga layanan harus memiliki kepekaan dan pemahaman mekanisme
kemungkinan terjadinya proses pengulangan kekerasan pada korban, sehingga
seminimal mungkin pengulangan kekerasan pada korban dapat dihindari.
Pada aspek yang lebih luas, menjaga agar proses advokasi tidak
menimbulkan pengulangan kekerasan pada korban, proses advokasi harus dilihat
pula sebagai proses pemberdayaan korban. Korban tidak hanya didudukan sebagai
pihak yang pasif, ia hanya mengikuti langkah-langkah pemulihan baik hukum,
medis maupun psikososial tanpa mengerti
apa pentingnya upaya ini. Advokasi seharusnya menjadikan korban sebagai pihak
yang mempunyai kesadaran akan peristiwa yang dialami untuk selanjutnya
melakukan pemulihan medis, psikososial dan melakukan penuntutan hukum.
Selain menjadi bagian pemberdayaan, aspek yang juga perlu diperhatikan
dalam advokasi anti kekerasan terhadap perempuan adalah pemahaman tentang
prinsip-prinsip hak korban. Hal ini terkait dengan dua kepentingan yang timbul,
baik dari sisi korban maupun sisi pihak yang melakukan advokasi. Persoalannya
terletak pada perbedaan kepentingan dari masing-masing pihak. Dalam konteks
itulah pemahaman hak korban sangat perlu diperhatikan, khususnya bagi pihak
yang melakukan advokasi.
Ada tiga hak korban yang menjadi prinsip penegakan hak korban yang
harus diperhatikan dalam proses advokasi yaitu hak atas kebenaran, keadilan, dan
pemulihan. Ketiga hak korban ini harus saling terkait sehingga kerja advokasi dan
pemulihan korban menjadi hubungan saling menguatkan. Seringkali yang terjadi
adalah pertentangan antara kedua belah pihak. Masing-masing pihak tetap
mempertahankan pendiriannya. Korban, pada sejumlah pengalaman advokasi
seringkali kemauannya berbeda dengan kenyataannya yang terjadi. Pihak korban
seringkali menganggap pendamping tidak memahami apa yang diinginkan dan
menganggap pendamping hanya memanfaatkan korban. Begitupula dengan pihak
yang melakukan advokasi seringkali korban dianggap terlalu susah dan berbelit-
-
belit sehingga menyusahkan proses advokasi. Banyak pendamping yang justru
merasa kesulitan bila mengajak korban dalam proses advokasi hukum. Tidak
sedikit akhirnya proses advokasi berhenti ditengah jalan hanya karena perbedaan
dua kepentingan. Meskipun pertentangan kepentingan antar kedua belah pihak
mesti dihindarkan pihak pendamping harusnya lebih bisa memahami situasi yang
dialami korban. Meskipun pada akhirnya kelelahan dalam menghadapi korban,
namun situasi psikologis pendamping jauh lebih baik daripada korban.
Pendamping dalam situasi apapun harus tetap berpijak pada hak-hak korban.
Prinsip-prinsip kerja advokasi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
Seperti yang disampaikan diatas, bahwa advokasi kekerasan terhadap
perempuan mempunyai kekhasan dibandingkan proses advokasi pada umumnya.
Untuk itu, proses advokasi anti kekerasan terhadap perempuan semestinya
memegang sejumlah prinsip sebagai berikut:
1. Advokasi sebagai alat transformasi sosial. Prinsip ini menekankan bahwa advokasi tidak saja bertujuan adanya perubahan dalam tingkat kebijakan,
namun lebih menekankan pada pemberdayaan diri sendiri. Hal ini
dikarenakan advokasi adalah sebagai bagian dari gerakan sosial, yang
berbasis pada pengorganisasian masyarakat dan pemberdayaan gerakan
sendiri.
2. Kekuatan advokasi tergantung pada kemapanan upaya pengorganisasian yang telah berjalan. Advokasi tidak hanya mengandalkan kekuatan internal
organisasi tetapi juga memerlukan kekuatan eksternal. Artinya, advokasi
tidak saja kerja penguatan organisasi, tetapi juga penguatan jaringan.
3. Mengutamakan hak atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan bagi korban kekerasan. Dalam hal ini advokasi dan pemulihan korban harus saling
mendukung, tidak bertentangan anatar kedua kepentingan, baik korban
maupun pihak yang melakukan advokasi.
4. Proses advokasi sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi, akuntabilitas, dan transparansi. Prinsip ini berlaku umum sebagai bagian dari landasan
pelaku gerakan sosial.
5. Proses advokasi mencakup tahapan pasca-advokasi. Proses advokasi tidak sebatas pada pra-advokasi, selama proses advokasi saja, tetapi juga
meliputi pasca advokasi. Tahap ini justru penting, karena tahap inilah yang
justru penting karena kalau tidak dilakukan penguatan dapat merubah
orientasi yang sudah terbangun selama proses advokasi.
6. Advokasi di tengah budaya kekerasan meuntut kesiapan dengan sistem perlindungan bagi perempuan pendamping korban. Hal ini dikarenakan
mereka juga rentan terhadap stigmatisasi, pengucilan, dan serangan.
Kasus: Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Pada umumnya setiap keluarga memimpikan untuk dapat membangun
keluarga yang harmoni, bahagia dan saling mencintai atau sering juga dsebut
dengan sakinah, mawaddah dan wa rahmah. Namun pada kenyataannya banyak
juga keluarga yang merasa tidak nyaman, tertekan dan sedih dikarenakan
-
kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga, baik itu kekerasan fisik,
psikologis, seksual, emosional maupun penelantaran. Kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) disebabkan oleh dua faktor yakni faktor internal dan faktor
eksternal, baik itu secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Secara internal,
KDRT dapat terjadi sebagai akibat dari semakin lemahnya kemampuan adaptasi
setiap anggota keluarga di antara sesamanya, sehingga setiap anggota keluarga
yang memiliki kekuasaan dan kekuatan cenderung bertindak deterministik dan
eksploitatif terhadap anggota keluarga yang lemah. Secara eksternal, KDRT
muncul sebagai akibat dari intervensi lingkungan di luar keluarga yang secara
langsung atau tidak langsung mempengaruhi sikap anggota keluarga, terutama
orangtua atau kepala keluarga, yang terwujud dalam perlakuan eksploitatif
terhadap anggota keluarga yang sering kali ditampakkan dalam pemberian
hukuman fisik dan psikis yang traumatik baik kepada anaknya, maupun
pasangannya. Almira At-Thahirah (2006) menjelaskan bahwa sekitar 24 juta
perempuan dari 217 juta penduduk Indonesia terutama di pedesaan mengakui
pernah mengalami kekerasan dan yang terbesar adalah KDRT. Komnas
perempuan pada tahun 2001 melakukan survei pada 14 daerah di Indonesia
(Aceh, Palembang, Jambi, Bengkulu, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi
Selatan, NTT) menunjukkan bahwa kaum perempuan paling banyak mengalami
kekerasan dan penganiayaan oleh orang-orang terdekatnya serta tindak perkosaan
di lingkungan komunitasnya sendiri. Selain daripada itu terdapat 60% kekerasan
terhadap anak dilakukan oleh orangtua mereka (Seto Mulyadi, Komnas Anak).
KDRT dengan alasan apapun dari waktu ke waktu akan berdampak
terhadap keutuhan keluarga, yang pada akhirnya bisa membuat keluarga
berantakan. Jika kondisinya demikian, yang paling banyak mengalami kerugian
adalah anak-anaknya terlebih bagi masa depannya. Karena itulah perlu terus
diupayakan mencari jalan terbaik untuk menyelamatkan institusi keluarga dengan
tetap memberikan perhatian yang memadai untuk penyelamatan terutama anggota
keluarga, dan umumnya masyarakat sekitarnya. Untuk lebih memahami persoalan
KDRT, selanjutnya akan digali lebih jauh tentang makna KDRT, penyebab-
penyebabnya, dampak KDRT, dan berbagai pendekatan untuk penangannya.
Makna Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Menurut Wahab (2010), Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dapat
diartikan sebagai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh seorang pengasuh,
orangtua, atau pasangan. KDRT dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk, di
antaranya: Kekerasan fisik, penggunaan kekuatan fisik; kekerasan seksual, setiap
aktivitas seksual yang dipaksakan; kekerasan emosional, tindakan yang mencakup
ancaman, kritik dan menjatuhkan yang terjadi terus menerus; dan
mengendalikan untuk memperoleh uang dan menggunakannya.
Berdasarkan Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang PKDRT pada
pasal 1 butir 1 menyebutkan bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumah tangga. Demikian juga pada pasal 2 ayat 1 menyebutkan
bahwa lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi (a) Suami, isteri,
-
dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri); (b) Orang-orang yang
mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf
a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian,
yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan); dan/atau
(c) Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah
tangga tersebut (Pekerja Rumah Tangga).
Lebih jauh lagi bentuk-bentuk KDRT dapat dijelaskan secara detil.
Pertama, kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh
sakit atau luka berat (Pasal 6). Adapun kekerasan fisik dapat diwujudkan
dengan perilaku di antaranya: menampar, menggigit, memutar tangan, menikam,
mencekek, membakar, menendang, mengancam dengan suatu benda atau senjata,
dan membunuh. Perilaku ini sungguh membuat anak-anak menjadi trauma dalam
hidupnya, sehingga mereka tidak merasa nyaman dan aman. Kedua, kekerasan
psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya
diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau
penderitaan psikis berat pada seseorang (pasal 7). Adapun tindakan kekerasan
psikis dapat ditunjukkan dengan perilaku yang mengintimidasi dan menyiksa,
memberikan ancaman kekerasan, mengurung di rumah, penjagaan yang
berlebihan, ancaman untuk melepaskan penjagaan anaknya, pemisahan, mencaci
maki, dan penghinaan secara terus menerus. Ketiga, kekerasan seksual adalah
setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan
seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan
seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Kekerasan seksual meliputi (pasal 8): (a) Pemaksaan hubungan seksual yang
dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; (b)
Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Keempat, penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang
menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum
yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib
memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan
ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk
bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah
kendali orang tersebut (pasal 9). Penelantaran rumah tangga dapat dikatakan
dengan kekerasan ekonomik yang dapat diindikasikan dengan perilaku di
antaranya seperti: penolakan untuk memperoleh keuangan, penolakan untuk
memberikan bantuan yang bersifat finansial, penolakan terhadap pemberian
makan dan kebutuhan dasar, dan mengontrol pemerolehan pelayanan kesehatan,
pekerjaan, dan sebagainya.
Penyebab Terjadinya KDRT
Zastrow & Browker (1984) menyatakan bahwa ada tiga teori utama yang
mampu menjelaskan terjadinya kekerasan, yaitu teori biologis, teori frustasi-
agresi, dan teori kontrol. Pertama, teori biologis menjelaskan bahwa manusia,
seperti juga hewan, memiliki suatu instink agressif yang sudah dibawa sejak
lahir. Sigmund Freud menteorikan bahwa manusia mempunyai suatu keinginan
akan kematian yang mengarahkan manusia-manusia itu untuk menikmati tindakan
-
melukai dan membunuh orang lain dan dirinya sendiri. Robert Ardery yang
menyarankan bahwa manusia memiliki instink untuk menaklukkan dan
mengontrol wilayah, yang sering mengarahkan pada perilaku konflik antar
pribadi yang penuh kekerasan. Konrad Lorenz menegaskan bahwa agresi dan
kekerasan adalah sangat berguna untuk survive. Manusia dan hewan yang
agresif lebih cocok untuk membuat keturunan dan survive, sementara itu manusia
atau hewan yang kurang agresif memungkinkan untuk mati satu demi satu.
Agresi pada hakekatnya membantu untuk menegakkan suatu sistem dominan,
dengan demikian memberikan struktur dan stabilitas untuk kelompok. Beberapa
ahli teori biologis berhipotesis bahwa hormon seks pria menyebabkan perilaku
yang lebih agresif. Di sisi lain, ahli teori belajar verteori bahwa perbedaann
perilaku agresif terutama disebabkan oleh perbedaan sosialisasi terhadap pria dan
wanita.
Kedua, teori frustasi-agresi menyatakan bahwa kekerasan sebagai suatu
cara untuk mengurangi ketegangan yang dihasilkan situasi frustasi. Teori ini
berasal dari suatu pendapat yang masuk akal bahwa sesorang yang frustasi sering
menjadi terlibat dalam tindakan agresif. Orang frustasi sering menyerang sumber
frustasinya atau memindahkan frustasinya ke orang lain. Misalnya, seorang
remaja (teenager) yang diejek oleh orang lain mungkin membalas dendam, sama
halnya seekor binatang kesayangan yang digoda.Seorang pengangguran yang
tidak dapat mendapatkan pekerjaan mungkin memukul istri dan anak-anaknya.
Suatu persoalan penting dengan teori ini, bahwa teori ini tidak menjelaskan
mengapa frustasi mengarahkan terjadinya tindakan kekerasan pada sejumlah
orang, tidak pada orang lain. Diakui bahwa sebagian besar tindakan agresif dan
kekerasan nampak tidak berkaitan dengan frustasi. Misalnya, seorang pembunuh
yang pofesional tidak harus menjadi frustasi untuk melakukan penyerangan.
Walaupun teori frustasi-agresi sebagian besar dikembangkan oleh para psikolog,
beberapa sosiolog telah menarpkan teori untuk suatu kelompok besar. Mereka
memperhatikan perkampungan miskin dan kotor di pusat kota dan dihuni oleh
kaum minoritas telah menunjukkan angka kekerasan yang tinggi. Mereka
berpendapat bahwa kemiskinan, kekurangan kesmepatan, dan ketidakadilan
lainnya di wilayah ini sangat membuat frustasi penduduknya. Penduduk semua
menginginkan semua benda yang mereka lihat dan dimiliki oleh orang lain, serta
tak ada hak yang sah sedikitpun untuk menggunakannya. Akibatnya, mereka
frustasi dan berusaha untuk menyerangnya. Teori ini memberikan penjelasan
yang masuk akal terhadap angka kekarasan yang tinggi bagi penduduk minoritas.
Ketiga, teori ini menjelaskan bahwa orang-orang yang hubungannya dengan
orang lain tidak memuaskan dan tidak tepat adalah mudah untuk terpaksa berbuat
kekerasan ketika usaha-usahnya untuk berhubungan dengan orang lain
menghadapi situasi frusstasi. Teori ini berpegang bahwa orang-orang yang
memiliki hubungan erat dengan orang lain yang sangat berarti cenderung lebih
mampu dengan baik mengontrol dan mengendalikan perilakunya yang impulsif.
Travis Hirschi memberikan dukungan kepada teori ini melalu temuannya
bahwa remaja putera yang memiliki sejarah prilaku agresif secara fisik cenderung
tidak memiliki hubungan yang dekat dengan orang lain. Selain itu juga dinyatakan
bahwa kekerasan mengalami jumlah yang lebih tinggi di antara para eks
narapidana dan orang-orang lain yang terasingkan dari teman-teman dan
keluarganya daripada orang-orang Amerika pada umumnya. Setelah
-
memperhatikan ketiga teori tersebut, kiranya variasi kekerasan di masyarakat
untuk sementara ini disebabkan oleh tiga faktor tersebut. Bagaimana dengan
penyebab munculnya KDRT, lebih khususnya di Indonesia.
Upaya Penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Pada hakekatnya secara psikologis dan pedagogis ada dua pendekatan
yang dapat dilakukan untuk menangani KDRT, yaitu pendekatan kuratif dan
preventif. Berikut kedua pendektan tersebut:
1. Pendektan Kuratif
Menyelenggarakan pendidikan orangtua untuk dapat menerapkan cara mendidik dan memperlakukan anak-anaknya secara humanis.
Memberikan keterampilan tertentu kepada anggota keluarga untuk secepatnya melaporkan ke pihak lain yang diyakini sanggup memberikan
pertolongan, jika sewaktu-waktu terjadi KDRT.
Mendidik anggota keluarga untuk menjaga diri dari perbuatan yang mengundang terjadinya KDRT.
Membangun kesadaran kepada semua anggita keluarga untuk takut kepada akibat yang ditimbulkan dari KDRT.
Membekali calon suami istri atau orang tua baru untuk menjamin kehidupan yang harmoni, damai dan saling pengertian, sehingga dapat terhindar dari
perilaku KDRT.
Melakukan filter terhadap media massa, baik cetak maupun elektronik yang menampilkan informasi kekerasan.
Mendidik, mengasuh, dan memperlakukan anak sesuai dengan jenis kelamin, kondisi, dan potensinya.
Menunjukkan rasa empati dan rasa peduli terhadap siapapun yang terkena KDRT, tanpa sedikitpun melemparkan kesalahan terhadap korban KDRT.
Mendorong dan memfasilitasi pengembangan masyarakat untuk lebih peduli dan responsif terhadap kasus-kasus KDRT yang ada di lingkungannya.
2. Pendekatan Preventif
Memberikan sanksi secara edukatif kepada pelaku KDRT sesuai dengan jenis dan tingkat berat atau ringannya pelanggaran yang dilakukan,
sehingga tidak hanya berarti bagi pelaku KDRT saja, tetapi juga bagi
korban dan anggota masyarakat lainnya.
Memberikan incentive bagi setiap orang yang berjasa dalam mengurangi, mengeliminir, dan menghilangkan salah satu bentuk KDRT secara berarti,
sehingga terjadi proses kehidupan yang tenang dan membahagiakan.
Menentukan pilihan model penanganan KDRT sesuai dengan kondisi korban KDRT dan nilai-nilai yang ditetapkan dalam keluarga, sehingga
penyelesaiannya memiliki efektivitas yang tinggi.
Membawa korban KDRT ke dokter atau konselor untuk segera mendapatkan penanganan sejak dini, sehingga tidak terjadi luka dan
trauma psikis sampai serius.
Menyelesaikan kasus-kasus KDRT yang dilandasi dengan kasih sayang dan keselamatan korban untuk masa depannya, sehingga tidak menimbulkan
rasa dendam bagi pelakunya.
-
Mendorong pelaku KDRT untuk sesegera mungkin melakukan pertaubatan diri kepada Allah swt, akan kekeliruan dan kesalahan dalam berbuat
kekerasan dalam rumah tangga, sehingga dapat menjamin rasa aman bagi
semua anggota keluarga.
Pemerintah perlu terus bertindak cepat dan tegas terhadap setiap praktek KDRT dengan mengacu pada UU tentang PKDRT, sehingga tidak
berdampak jelek bagi kehidupan masyarakat.
Contoh Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kasus KDRT ini terjadi pada tahun 2006, korban SNJ alias Lisa. Dalam
kasus KDRTnya Lisa di siram oleh suaminya ME dengan menggunakan air keras.
ME mengaku, tindakannya itu dilakukan karena cemburu, alasannya, Lisa sering
keluar rumah tanpa minta izin. Sedangkan Lisa, menurut pengakuan Mulyono,
sering ingin meninggalkan rumahnya di Pasuruan, Jatim, karena tak kuat hidup
bersama Mulyono yang "ringan tangan". Lisa bahkan sempat pergi ke Pontianak,
Kalbar. Namun Mulyono berhasil mengejarnya dan membawa Lisa kembali ke
Pasuruan. Saat itulah, kejadian mengerikan itu berlangsung. "Dia tidak ingin
istrinya keluar rumah. Kemudian korban disiram dengan air pembersih lantai yang
mengandung zat kimia HCl," kata Kapolwiltabes.
Menurut tetangga korban, lisa memiliki wajah yang cantik, "lha wong kalau dia bangun tidur, enggak mandi, langsung ke pasar. Di pasar jadi idola kog ujar salah seorang tetangga korban. Setelah kejadian penyiraman air keras, pihak
RSUD Soetomo, Surabaya melakukan face off (rekonstruksi wajah total)
kepadanya untuk memperbaiki wajahnya yang rusak, meskipun tidak akan
kembali 100% seperti semula.
Analisis Kasus
Pada kasus diatas, pelaku kekerasan dapat dikenakan pelanggaran Undang-
undang No.23 Tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga pasal 5 (a) dan pasal 6 yakni mengenai tindakan kekerasan dalam rumah
tangga berupa kekerasan fisik (pasal 5 a) yang mengakibatkan rasa sakit dan luka
berat pada korban (pasal 6). Atas perbuatannya tersebut pelaku kekerasan
terancam hukuman pidana sebagaimana yang sudah tertera diatas dan tercantum
dalam UU PKDRT. Pelaku kekerasan akan dikenakan pasal 44 ayat (1) yang
berbunyi :
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf (a) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00
(lima belas juta rupiah).
KETIDAKSAMAAN PARISIPASI SOSIAL DAN POTITIK
B. Partisipasi Politik
Politik pada hakekatnya adalah upaya untuk merebut peran kekuasaan,
termasuk akses dan kontrol dalam pengambilan keputusan. Hingga saat ini,
kondisi perpolitikan yang ada di Indonesia masih sangatlah didominasi oleh laki-
laki, baik di tingkat yang paling sederhana yaitu keluarga, tingkat masyarakat
-
hingga tingkat politik formal. Maka tidaklah heran jika Indonesia disebut sebagai
negara maskulin. Gender menjadi isu yang banyak dibicarakan seirama dengan
perkembangan akses perpolitikan bagi perempuan. Melalui akses perpolitikan,
maka kesadaran untuk membicarakan relasi gender di dalam kehidupan
masyarakat menjadi semakin mengedepan. Kesetaraan gender sebagaimana yang
diketahui adalah produk impor dari negeri barat tentang adanya tuntutan untuk
keseimbangan peran di dalam relasi gender tersebut. Pembicaraan gender di
Indonesia banyak dilakukan di tahun 1980-an. Melalui program dari Non
Governmental Organization (NGO) lokal yang bekerja sama dengan NGO
internasional, maka banyak penyadaran tentang relasi gender yang dilakukan di
Indonesia. Banyak perbincangan dan pelatihan dengan tujuan untuk menyadarkan
tentang relasi gender. Jadi, yang dilakukan adalah melakukan pelatihan tentang
urgensi gender mainstreaming pada masyarakat negara sedang berkembang. Di
dunia internasional, banyak NGO yang bergerak di dunia ketiga, misalnya NGO
dari Belanda, Jerman, Inggris, dan juga Australia. Banyak program yang diusung,
misalnya tentang kesetaraan pendidikan, sosial, dan politik yang disinergikan
dengan NGO lokal Indonesia yang juga bergerak di bidang ini. Oleh karenanya,
gerakan gender kemudian menjadi arus utama di negara-negara berkembang
termasuk di Indonesia. Di dunia politik, memang dominasi lelaki masih nampak.
Misalnya jika kita secara kuantitatif berhitung, berapa banyak perempuan yang
memasuki kawasan pimpinan di perpolitikan Indonesia. Pertanyaan-pertanyaan ini
yang memang masih menjadi ganjalan di dalam kerangka untuk kesetaraan
gender. Beberapa isu gender di bidang politik di Indonesia, antara lain :
1. Kedudukan dan peran perempuan pada kepengurusan partai politik lebih rendah dibandingkan laki-laki.
2. Keterwakilan perempuan di lembaga legislatif baik di pusat (DPR RI , DPD
RI) maupun daerah ( DPRD Kab/Kota) sangat kecil dibandingkan laki laki.
-
3. Di bidang eksekutif posisi seperti Gubernur, Bupati,Wakil Bupati, Wali Kota, Wakil Wali Kota, didominasi kaum laki-laki.
"Perempuan dalam top eksekutif dapat digambarkan, seorang Gubernur dan
seorang Wagub dari 33 Gubernur/Kepala Daerah, perempuan menjadi
Bupati/Walikota sebanyak 38 orang (7,6 persen) dari 497 Kabupaten/Kota
(Menteri Pemberdayaan Wanita dan Perlindungan Anak, 2014). 4. Posisi seperti Hakim, Jaksa, Hakim Agung, lebih banyak diduduki oleh kaum
laki-laki dibanding perempuan.
5. Di lembaga eksekutif semakin tinggi tingkat eselon semakin banyak jumlah laki-laki yang menduduki.
6. Jumlah anggota kabinet/menteri lebih banyak laki-laki dibanding perempuan.
-
Namun demikian, di akhir-akhir ini, akses perempuan di dalam politik
memang sudah mulai tampak dengan semakin banyaknya keterlibatan perempuan
di dalam politik praktis. Sekarang semakin banyak perempuan di dunia legislatif,
birokrasi, dan juga jabatan-jabatan politik lain. Ada beberapa bupati perempuan
yang terdapat di Indonesia, demikian pula gubernur. Bahkan ada bupati
perempuan yang bisa menjabat dua kali periode, demikian pula gubernur. Tidak
terhitung yang berlama-lama di parpol dan kemudian berlanjut di lembaga
legislatif.
Semakin terbuka akses keterbukaan politik, maka tentu akan semakin
banyak perempuan yang akan bisa berkompetisi dengan kaum lelaki di dalam
pentas publik. Oleh karena itulah pemberian kuota kepada perempuan di dalam
representasi politik tentulah tidak penting. Meskipun begitu, saat ini hak-hak
politik bagi perempuan sudah banyak diakui, namun adanya hak-hak tersebut
tidak menjamin adanya sistem politik yang demokratis di mana asas partisipasi,
representasi, dan akuntabilitas diberi makna sesungguhnya. Adanya keterwakilan
perempuan di dalamnya, dan berbagai kebijakan yang muncul yang memiliki
sensitivitas gender tidak serta merta terwujud meskipun hak politik perempuan
sudah diakui. Perempuan sebagai warga negara seharusnya dapat berpartisipasi
secara mandiri dalam proses demokrasi ini. Selama ini di Indonesia, kita
mendapati bahwa sebagian besar perempuan bahkan belum dapat membuat
pilihan politiknya secara mandiri. Pilihan politik perempuan banyak dipengaruhi
atau bahkan ditentukan oleh suami, atasan, teman, atau keluarga. Bukti-bukti
empiris sudah menunjukkan bahwa kesetaraan gender sudah bukan masalah di
negeri ini. Hanya saja yang memang perlu diperjuangkan adalah bagaimana agar
perempuan semakin berdaya di dalam pengembangan SDM terutama melalui
pendidikan, sehingga ke depan peluang untuk memasuki dunia politik akan
semakin nyata. Beberapa faktor penyebab ketidaksetaraan gender dalam bidang
politik, antara lain :
1. Berkembangnya Ideologi Patriarki (Konstruksi sosial masyarakat yang menomor duakan perempuan)
2. Paham ideologi patriarki yang masih melekat kuat pada sebagian besar masyarakat (termasuk dalam rumah tangga)
3. Relasi gender yang tidak seimbang 4. Tingkat pendidikan perempuan yang rendah 5. Ketidak terlibatan perempuan dalam penentuan keputusan pada berbagai
masalah kehidupan
Pentingnya Kesetaraan Gender dalam Kehidupan Politik
Pendidikan politik adalah suatu aktivitas yang bertujuan untuk membentuk
dan menumbuhkan orientasi-orientasi politik pada setiap individu maupun
kelompok. Proses pendidikan politik dilakukan agar masyarakat luas dapat
menjadi Warga Negara Indonesia yang sadar dan menjunjung tinggi akan hak dan
kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa, dan bernegara, serta
memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender. Hal ini ditekankan karena pada
realitasnya, masih dirasakan adanya kesenjangan antara peranan yang dilakukan
oleh kaum pria dan perempuan pada berbagai peran, utamanya pada peran-peran
publik. Oleh karena itu, peningkatan peran perempuan dalam pembangunan yang
-
berwawasan gender sebagai bagian integral dari pembangunan nasional,
mempunyai arti yang penting dalam upaya untuk mewujudkan kemitrasejajaran
yang harmonis antara pria dan perempuan agar dapat terwujud kesetaraan dan
keadilan gender dalam berbagai kegiatan khususnya bidang politik. Perempuan
mempunyai makna yang sangat penting untuk memberikan pemahaman dan
menyatukan persepsi tentang pentingnya pembangunan demokrasi yang sehat, adil
dan realistis. Oleh karena itu, pengembangan pendidikan politik perempuan, perlu
ditingkatkan baik dari segi organisasional maupun pemantapan pilar-pilar
demokrasi melalui lembaga legislatif, eksekutif maupun yudikatif yang aspiratif
dan pro terhadap kepentingan perempuan. Kondisi semacam ini perlu mendapat
perhatian khusus, untuk itulah salah satu hal yang perlu ditangani adalah masalah
pendidikan politik bagi kaum perempuan, sehingga dengan tumbuh
berkembangnya kesadaran politik dikalangan perempuan, mereka diharapkan
mampu memanfaatkan kesempatan dan peluang yang ada sesuai potensi yang
dimiliki dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kebijakan khusus afirmasi (Affirmative Action) harus segera diubah dengan
srategi Pengarus Utamaan Gender (PUG) di semua bidang kehidupan, khususnya
di semua lini dan strata untuk mempercepat persamaan akses, partisipasi, kontrol,
serta manfaat yang sama antara perempuan dan laki-laki. Berdasarkan Inpres
Nomor 9 tahun 2000, eksekutif hanya mengikat untuk melaksanakan PUG. Oleh
karena itu, perlu ditingkatkan jumlah kebijakan pelaksanaan PUG yang akan
mengikat seluruh pemangku kepentingan, baik pemerintah, penyelenggara pemilu,
dan partai politik sebagai pilar demokrasi untuk mendorong pemenuhan Hak
Asasi Manusia (HAM) perempuan di bidang politik melalui peningkatan
keterwakilan perempuan dalam pengambil kebijakan. Gerakan perempuan dan
pemerhati masalah perempuan, melakukan upaya yang sangat keras
memperjuangkan masuknya kuota sebesar 30% keterwakilan perempuan sebagai
jumlah minimal dalam paket UU politik dari hulu ke hilir.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia
Sari, mengatakan bahwa efektivitas UU parpol dan UU pemilu terkait
keterwakilan perempuan bisa dilihat dari hasil pemilu 2009 dimana keterwakilan
perempuan sudah meningkat dibandingkan pemilu 2004. Jumlah ini masih jauh
ketimbang dari hasil keseimbangan ideal minimal 30%. Oleh karenanya, harus
dilakukan pengawalan sejak tataran perumusan kebijakan, proses dan
implementasinya, serta evaluasi dampaknya guna perbaikan kedepan pada pemilu
2014, sampai kesetaraan dan keadilan partisipasi perempuan dalam politik yang
terjadi, tidak dibutuhkan lagi. Sementara itu, perempuan yang dilibatkan di dunia
politik seharusnya dapat mengetahui manfaat yang baik untuk dirinya maupun di
partai politik, namun pada faktanya, perempuan kini cenderung mudah
dipengaruhi untuk menerima money politics. Hal tersebut diakibatkan kurangnya
pendidikan dasar dalam berpolitik yang belum dapat dipahami secara penuh
ketika berkiprah di dunia politik. Dalam proses demokratisasi, persoalan
partisipasi politik perempuan yang lebih besar, reperesentasi dan persoalan
akuntabilitas menjadi persyaratan mutlak bagi terwujudnya demokrasi yang lebih
bermakna di Indonesia. Demokrasi yang bermakna adalah demokrasi yang
memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan mayoritas penduduk Indonesia
yang terdiri dari perempuan. Ide bahwa politik bukan wilayah bagi perempuan
adalah ide yang selalu didengungkan selama berabad-abad, dan ternyata memang
-
sangat efektif untuk membatasi perempuan untuk tidak memasuki wilayah ini.
Terminologi publik dan privat yang erat kaitannya dengan konsep gender, peran
gender, dan stereotype, telah menciptakan ketidaksetaraan dan ketidakadilan di
antara perempuan dan laki-laki. Akibat yang paling jelas dari situasi politik seperti
itu adalah marjinalisasi dan pengucilan perempuan dari kehidupan politik formal.
Ini artinya, keberadaan perempuan dalam kehidupan politik formal di banyak
tempat memperlihatkan gambaran yang tidak menggembirakan. Akar dari semua
persoalan tersebut adalah budaya patriarki yang menghambat semua ruang gerak
perempuan di semua bidang, termasuk bidang politik. Demokrasi berkaitan erat
dengan politik. Konsep demokrasi berasal dari istilah politik yang berarti
pemerintahan oleh rakyat. Di dalamnya terkandung makna dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam terminologi politik yang bias gender, untuk waktu yang lama, pengertian partisipasi dari rakyat, oleh rakyat, dan umtuk rakyat hanya diartikan secara terbatas hanya untuk beberapa kalangan tertentu dalam masyarakat, dan tentu saja tidak termasuk perempuan di dalamnya.
Keterwakilan perempuan adalah untuk menyuarakan kepentingan perempuan.
Pada titik ini, yang banyak diabaikan oleh banyak kalangan, bahkan oleh kalangan
perempuan sendiri, adalah bahwa kepentingan-kepentingan perempuan memang
lebih baik disuarakan oleh perempuan sendiri karena mereka sesungguhnya paling
mengerti kebutuhan perempuan. Dalam kerangka demokrasi yang representative,
pandangan dari kelompok yang berbeda harus dipertimbangkan dalam
memformulasikan keputusan dan kebijakan yang akan dibuat.
Mempertimbangkan kepentingan perempuan dan melibatkan laki-laki dan
perempuan dalam proses pembuatan kebijakan adalah dasar dari kerangka
demokrasi yang mendorong ke arah kesetaraan dan keadilan gender.
Upaya Memperjuangkan Kesetaraan Gender dalam Kehidupan Politik
Pada dasarnya, kuota 30% yang diberikan untuk keterlibatan perempuan
dalam politik dan keterwakilan perempuan dalam parlemen yang diamanatkan
oleh Undang-undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Undang-
undang No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik (Parpol), masih sangat jauh
dengan kenyataannya. Walau sejatinya angka 30% ditinjau dengan hitungan
statistik berdasarkan jumlah masih dinilai tidak adil. Namun sebagian kalangan
perempuan yang lain menyambut hal ini sebagai langkah maju untuk memberi
gerak bagi perekrutan kaum perempuan dalam langkah politiknya. Karena selama
ini perempuan hanya berjumlah 12 % saja yang berkiprah dalam ruang sidang di
Senayan. Merupakan fenomena baru dan menyegarkan dalam perkembangan
sistem demokrasi di Indonesia, meskipun dalam tataran yang relatif kecil dan
sederhana, tetapi masih banyak harapan dan peluang yang bisa dilalui oleh para
perempuan dalam partisipasinya untuk mensosialisasikan dan
mengimplementasikan undang-undang tersebut sekaligus sebagai penghargaan
terhadap pengorbanan dan perjuangan perempuan yang selama terpinggirkan oleh
sistem. Karena pada kesempatan kali ini, publik akan memberikan penilaian
langsung terhadap partai-partai politik peserta pemilu yang mempunyai
kepedulian terhadap perjuangan serta potensi-potensi perempuan, bahkan ada
semacam kecaman dari berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau
organisasi-organisasi kemasyarakatan perempuan lainnya, untuk tidak memilih
gambar partai yang tidak memperhatikan kepentingan perempuan atau dengan
-
tidak merealisasikan Undang-Undang tentang keterwakilan perempuan.
Keterwakilan perempuan menjadi penting karena jumlah perempuan dalam
panggung politik masih sangat rendah, berada dibawa standar, sehingga posisi dan
peran perempuan dalam lembaga legislatif, terlebih jabatan eksekutif sebagai
pengambil dan penentu kebijakan masih minim. Hal ini menunjukkan bahwa
keberadaan perempuan masih belum diperhitungkan. Dengan adanya dorongan
untuk keterwakilan perempuan yang 30% di parlemen saat pemilu 2009 tersebut,
seperti diamanatkan UU No. 10 tahun 2008, walaupun belum ada affirmative
action yang memberikan previlage tertentu, sehingga memberikan syarat yang
lebih mudah bagi caleg perempuan dari pada caleg laki-laki, namun hasil dari
pemilu tersebut sudah menunjukkan keterwakilan yang meningkat dari pemilu
sebelumnya, yaitu untuk DPR RI 18% dari sebelumnya yang hanya 12% dan
untuk keterwakilan di DPD agak lebih tinggi dari pada keterwakilan di DPR, yaitu
27,3% dari sebelumnya 18,8%.
Berdasarkan data tersebut di atas, kurang adanya pengakuan terhadap
pentingnya peran perempuan dalam proses politik, telah terbuktikan dengan
kurang terakomodirnya permasalahan perempuan dalam perencanaan
pembangunan, meskipun sejak lama sudah dikampanyekan dalam isu gender
mainstreaming tentang perempuan sebagai bagian dan sasaran dalam
pembangunan pada tahun 1974 dengan menggunakan pendekatan Women In Development Approach (WID). Hal ini dikarenakan konsep gender dalam pembangunan masih belum diterjemahkan dengan baik oleh semua elemen
pembangunan baik secara teoritis maupun aplikatif. Sehingga hasilhasil pembangunan masih berpihak pada kelompok-kelompok tertentu.dan menjadi bias
gender. Adapun upayaupaya untuk mencapai penyetaraan dan keadilan gender terus dilakukan oleh aktivis perempuan, pada tahun 1980-an, melalui pendekatan
Gender And Development Aproach (GAD). Pendekatan ini tidak lagi melihat perempuan dan lakilaki dari perbedaan biologis, akan tetapi memandang lakilaki dan perempuan secara sosial dan struktural dapat berpartisipasi dalam proses
kehidupan, terutama partisipasi dalam kehidupan di ranah politik dan publik.
Partisipasi antara lakilaki dan perempuan dalam kehidupan berpolitik merupakan salah satu prinsip perjuangan para aktivis perempuan, sampai diamanatkan dalam
konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang
kemudian diadopsi oleh sidang umum PBB tahun 1979 yang ditetapkan pada
tahun 1981. Pemerintah Indonesia sendiri juga telah meratifikasi melalui UndangUndang Republik Indonesia no. 7 tahun 1984 pada tanggal 24 juli 1984 melalui
lembar negara no. 29 tahun 1984. Meskipun demikian, sampai saat ini perjuangan
menuju kesetaraan dan keadilan masih belum optimal karena adanya diskriminasi
secara struktural dan kelembagaan yang masih kuat dalam kehidupan masyarakat.
Pendiskriminasian semacam ini semakin melemahkan sumber daya perempuan
terlebih ketika para perempuan tidak mempunyai keinginan untuk merubah dan
melakukan pembenahan-pembenahan sejak dini.
Untuk itu, adapun upaya untuk memperjuangkan kesetaraan gender dalam
kehidupan politik, yakni pertama, harus diusahakan adanya peraturan atau UU
tentang pemilu, pilkada, dan partai politik yang mencantumkan perihal affirmative
action terhadap keterwakilan perempuan dengan memberikan previlage tertentu
kepada keterwakilan perempuan, sehingga dengan adanya affirmative action,
diharapkan keterwakilan perempuan akan meningkat dan sesuai harapan. Kedua,
-
diperlukan adanya usaha-usaha peningkatan pendidikan bagi perempuan secara
terus menerus. Karena dengan adanya peningkatan taraf pendidikan bagi kaum
perempuan, maka akan meningkatkan kompetensi dan daya saing kaum
perempuan di bidang politik. Ketiga, diperlukan adanya pencerahan dan
pendidikan politik yang terus-menerus kepada masyarakat luas, bisa dilakukan
oleh lembaga swadaya masyarakat, ormas, ataupun oleh lembagalembaga lain, tentang unggulnya pemimpin politik perempuan. Dengan usaha itu diharapkan
akan memberikan perubahan pandangan tentang budaya patriarki bagi
masyarakat, sehingga kemungkinan terpilihnya peminpin politik perempuan akan
sama dengan kemungkinan terpilihnya pemimpim politik laki-laki. Sehingga
kesetaraan gender dalam dunia perpolitikan akan semakin maju dan efek
sampingnya untuk kemajuan usaha pemberantasan korupsi bisa segera dirasakan.
Sebagai contoh, ada beberapa produk legislatif progresif hadir diantaranya,
undang-undang KDRT, perlindungan anak, kewarganegaraan dan perlindungan
saksi dan korban, serta Undang-Undang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan
Orang. Undang-undang tersebut lahir dari kolaborasi gerakan perempuan di
parlemen dan di masyarakat.
Maka dari itu, betapa pentingnya perempuan untuk masuk ke dalam ranah
publik atau politik agar mampu memperjuangkan hak-haknya dalam kesetaraan
gender. Keterlibatan perempuan akan mampu memformulasikan kebijakan-
kebijakan yang diatur dalam rancangan undang-undang yang pro kepentingan
perempuan, sehingga kesetaraan gender dalam kehidupan yang harmonis akan
tercapai.
Kesimpulan
Dunia perpolitikan Indonesia lebih didominasi oleh kaum laki-laki. Kebijakan-
kebijakan yang dihasilkan dimuat dalam Undang-Undang pun belum mampu
menghilangkan diskriminasi gender terutama terhadap kaum perempuan. Maka
dari itu, keterwakilan perempuan yang masuk ke ranah publik sangatlah
diperlukan agar dapat mewarnai panggung politik agar aspirasi-aspirasi dari para
perempuan dapat tersampaikan dan terealisasikan. Dalam memutuskan kebijakan,
biasanya laki-laki lebih cenderung terhadap hal-hal yang rasional, sedangkan
wanita lebih kepada perasaan yang diutamakan. Sehingga keterwakilan
perempuan dapat melengkapi formulasi kebijakan-kebijakan yang tidak hanya
didominasi oleh pemikiran atau gagasan dari kaum laki-laki. Pada prosesnya,
dalam memperjuangkan hak dan peran perempuan dalam dalam ranah publik
(politik), lahirlah Inpres (Instruksi Presiden) Nomor 9 tahun 2000, eksekutif hanya
mengikat untuk melaksanakan PUG Kuota 30 % keterwakilan perempuan dalam
parlemen sebagaimana Undang-undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu
Legislatif dan Undang-undang No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik (Parpol).
Dalam pelaksanaannya partai politik kuota 30 % keterwakilan perempuan belum
tercapai bahkan masih banyak yang mengabaikannya. Ketegasan dan sanksi dari
KPU pun haruslah diimplementasikan. Maka diperlukan formulasi kebijakan
affirmasi action dengan penerapan zypper system. Misalnya, jika ada 3 calon
legislatif dari salah satu parpol, maka salah satu dari calon tersebut haruslah
perempuan. Di samping itu, dalam membuat RUU pro perempuan, sebagai
contoh, ada beberapa produk legislatif progresif hadir diantaranya, undang-
undang KDRT, perlindungan anak, kewarganegaraan dan perlindungan saksi dan
-
korban, serta Undang-Undang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Undang-undang tersebut lahir dari kolaborasi gerakan perempuan di parlemen dan
di masyarakat.
Studi kasus : Hambatan terhadap Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia
Dalam pemilihan umum pertama pada tahun 1955, 6,5 persen dari anggota
parlemen adalah perempuan. Kemudian, representasi perempuan Indonesia di
parlemen mengalami pasang surut, dan mencapai angka tertinggi sebesar 13,0
persen pada tahun 1987. Saat ini, jumlah perempuan mencapai 8,8 persen dari
seluruh anggota perwakilan terpilih. Kurangnya keterwakilan perempuan di
parlemen disebabkan oleh serangkaian hambatan yang membatasi kemajuan
mereka. Oleh karena itu, berbagai strategi harus dipelajari secara simultan untuk
mengatasi hambatan tersebut, sehingga tujuan untuk meningkatkan representasi
perempuan di parlemen bisa diwujudkan. Studi kasus ini menyajikan tingkat
representasi politik perempuan di Indonesia, dan mengkaji beberapa dari
hambatan yang menghalangi wanita untuk menjadi anggota parlemen. Selain itu,
ditawarkan berbagai strategi yang bisa dipertimbangkan untuk mengatasi
permasalahan keterwakilan ini.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola seleksi antara laki-laki dan
perempuan sebagai anggota legislative. Faktor pertama berhubungan dengan
konteks budaya di Indonesia yang masih sangat kental asas patriarkalnya. Persepsi
yang sering dipegang adalah bahwa arena politik adalah untuk laki-laki, dan
bahwa tidaklah pantas bagi wanita untuk menjadi anggota parlemen. Faktor kedua
berhubungan dengan proses seleksi dalam partai politik. Seleksi terhadap para
kandidat biasanya dilakukan oleh sekelompok kecil pejabat atau pimpinan partai,
yang hampir selalu laki-laki. Di beberapa negara, termasuk Indonesia, di mana
kesadaran mengenai kesetaraan gender dan keadilan masih rendah, pemimpin
laki-laki dari partai-partai politik mempunyai pengaruh yang tidak proporsional
terhadap politik partai, khususnya dalam hal gender. Perempuan tidak
memperoleh banyak dukungan dari partai-partai politik karena struktur
kepemimpinannya didominasi oleh kaum laki-laki. Ketiga, berhubungan dengan
media yang berperan penting dalam membangun opini publik mengenai
pentingnya representasi perempuan dalam parlemen. Keempat, tidak adanya
jaringan antara organisasi massa, LSM dan partaipartai politik untuk
memperjuangkan representasi perempuan. Jaringan organisasi-organisasi wanita
di Indonesia baru mulai memainkan peranan penting sejak tahun 1999.
Strategi meningkatkan representasi perempuan yaitu dengan cara
1. Membangun dan memperkuat hubungan antar jaringan dan organisasi perempuan
2. Meningkatkan representasi perempuan dalam organisasi partai-partai politik
3. Melakukan advokasi para pemimpin partai-partai politik 4. Membangun akses ke media 5. Meningkatkan pemahaman dan kesadaran perempuan melalui pendidikan
dan pelatihan
6. Memberikan kuota untuk meningkatkan jumlah anggota parlemen perempuan
-
PEMBERDAYAAN EKONOMI PEREMPUAN
Perempuan merupakan bagian tak terpisahkan dalam sebuah masyarakat, tak
terkecuali dalam masyarakat miskin. Perempuan memiliki potensi yang sama
dengan laki-laki untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan masyarakat.
Namun pada kenyataannya, perempuan masih belum diberi peran yang lebih,
bahkan juga terpinggirkan.
Kiprah perempuan dalam perekonomian keluarga dan nasional menjadi
salah satu bagian penting dalam pembangunan secara keseluruhan. Seiring dengan
bertambahnya pendapatan perempuan atau akses perempuan terhadap
sumber-sumber daya ekonomi melalui usaha ini, maka kemampuan dan
kesempatan mereka bernegosiasi dalam rumah tangga pun meningkat. Posisi
tawar mereka berubah dan pendapat mereka mulai diperhitungkan dalam setiap
proses pengambilan keputusan dalam rumah tangga. Partisipasi perempuan
merupakan hal yang sangat penting untuk mencapai tujuan pembangunan. Upaya
pengembangan usaha mikro yang dilakukan oleh perempuan ini menjadi penting,
karena perempuan berhadapan dengan kendalakendala tertentu yang dikenal
dengan istilah tripple burden of women, yaitu ketika mereka diminta menjalankan fungsi reproduksi, produksi, sekaligus fungsi sosial di masyarakat
pada saat yang bersamaan. Hal tersebut menyebabkan kesempatan perempuan
untuk memanfaatkan peluang ekonomi yang ada menjadi sangat terbatas.
Sebagian besar perempuan masih berkiprah di sektor informal atau pekerjaan
yang tidak memerlukan kualitas pengetahuan dan ketrampilan spesifik.
Pekerjaan-pekerjaan ini biasanya kurang memberikan jaminan perlindungan
secara hukum dan jaminan kesejahteraan yang memadai, disamping kondisi kerja
yang memprihatinkan serta pendapatan yang rendah. Beberapa studi
mengindikasikan upah perempuan lebih rendah dari laki-laki. Salah satu studi
menunjukkan bahwa upah perempuan sekitar 70% dari upah laki-laki. Dilihat dari
akses terhadap kredit, pengusaha perempuan diperkirakan mempunyai akses yang
lebih kecil, 11% dibandingkan laki-laki, 14%.7 Informasi dari Kementrian
Pemberdayaan Perempuan (Hastuti dkk, 2003).
Budaya yang cenderung patriarki mengakibatkan perempuan sebagai salah
satu kelompok yang termarjinalkan, baik dalam akses pendidikan, kesehatan, dan
ekonomi. Guna meningkatkan kesejahteraan perempuan salah satunya adalah
melalui pendidikan non formal yaitu pelatihan life skill.
Studi literature
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Baroroh (2008) untuk
mengadvokasikan perempuan dalam pembangunan perekonomian salah satunya
melalui lembaga swadaya masyarakat (LSM). Penelitian tersebut mengambil studi
kasus di Lembaga Advokasi Pendidikan Yogyakarta. LSM ini dalam
memberdayakan perekonomian perempuan melalui life skill. Life skill ini kegiatan
pendampingan dalam usaha mikro, tidak hanya pendampingan LSM LAPY juga
memfasilitasi pendidikan informal dan pemberian modal.
Pada prinsipnya LSM ini mengadvokasi melalui tiga tahapan yaitu :
pertama adanya transformasi wacana advokasi pendidikan di masyarakat sebagai
skill bagi masyarakat sebagai upaya penyadaran diri dan ikut memperjuangkan
hak haknya dalam pendidikan, kedua, pembentukan jaringan sebagai wadah
-
pendukung perjuangan dalam melakukan advokasi di lingkungan pendidikan dan
advokasi pendidikan di masyarakat dan ketiga, adalah pemberdayaan dan
penguatan pendidikan di masyarakat sebagai upaya advokasi yang perlu
dilakukan. Sehingga sebagai media penyadaran, pendidikan dapat berperan
sebagai counter hegemony dari budaya dan social dalam masyarakat.
Advokasi dalam pemberdayaan perekonomian perempuan juga dilakukan
oleh Asia Foundation. Asia Foundation berkomitmen meningkatkan hak-hak dan
peran perempuan dalam pembangunan demokrasi dan ekonomi Indonesia. Asia
Foundation bermitra dengan organisasi masyarakat sipil dan pemerintah untuk
mendukung upaya meningkatkan partisipasi perempuan dalam pembuatan
kebijakan, meningkatkan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif,
mendorong transparansi anggaran dan alokasi anggaran yang adil, meningkatkan
kesadaran gender, dan melindungi hak-hak perempuan.
Perlunya mengadvokasikan perempuan dalam pambangunan ekonomi
kayrena sebanyak 35 persen UKM skala kecil dan menengah yang menjadi
penggerak utama pertumbuhan ekonomi Indonesia dimiliki perempuan. Namun,
masih banyak pengusaha perempuan memiliki pengetahuan usaha yang terbatas
dan masih mendaftarkan usaha mereka atas nama suami. Hal ini menyebabkan
kurangnya jaminan hukum bagi para perempuan tersebut untuk mengontrol bisnis
mereka serta mempersulit akses terhadap institusi permodalan formal. Asia
Foundation bekerja sama dengan kelompok usaha perempuan mendorong kaum
perempuan mendaftarkan usaha atas nama mereka sendiri, mensosialisasikan
manfaat dari memiliki izin, dan melakukan kegiatan perizinan massal di 18
kabupaten di delapan provinsi, dimana 2.200 perempuan mendaftarkan usaha
mereka. Asia Foundation bersama PPSW mendukung upaya untuk
meningkatkan keterampilan kewirausahaan perempuan pemilik UKM dalam hal
pengembangan bisnis, pembukuan, mekanisme dana bergulir, dan pembentukan
institusi keuangan mikro. Ribuan perempuan di Aceh telah mendapatkan
kesempatan ekonomi baru melalui program kredit mikro ini.
-
DAFTAR PUSTAKA
At-Thahirah, Almira. 2006. Kekerasan Rumah Tangga Produk Kapitalisme (Kritik
Atas Persoalan KDRT) UIN, Bandung.
Nurhayati. 2011. Peran Gender dalam Pengambilan Keputusan Pelayanan
Kebidanan Pada Masa Persalinan Multigravida di Rumah Bersalin Sari
Simpang Limun Medan [karya tulis ilmiah]. Medan (ID): Universitas
Sumatera Utara.
Parawansa. 2003. Hambatan Terhadapa Partisipasi Politik Perempuan. CS
Indonesia: Jakarta.
Parawansa K I. 2003. Hambatan Terhadap Partisipasi Politik Perempuan. CS
Indonesia: Jakarta.
Subiyantoro EB. 2006. Advokasi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan:
Pengalaman Forum Belajar Bersama Komnas Perempuan. Jakarta (ID): Sub
Komisi Pengembangan Sistem Pemulihan Bagi Perempuan Korban
Kekerasan Komnas Perempuan.
Tridewiyanti K. 2013. Ketersediaan Gender di Bidang Politik Pentingnya nKeterwakilan Perempuan di Legislatif. [Jurnal].Legislasi Vol 41.
UNDP. 2010. Partisipasi Perempuan Dalam Politik dan Pemerintahan. UNDP
Indonesia.
UNDP. 2010. Partisipasi Perempuan dalam Politik dan Pemerintahan. UNDP
Indoneisa: Jakarta.
Wahab, Rochmat. 2010. Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Perspektif Psikologis
dan Edukatif. Universitas Negeri Yogyakarta.
Zastrow, Charles & Bowker, Lee. 1984. Social Problems: Issues and Solutions,
Chicago: Nelson-Hall