Bab 9 Penampang Strat

download Bab 9 Penampang Strat

of 25

Transcript of Bab 9 Penampang Strat

9

PAGE 86Penampang Stratigrafi

5Pengukuran Penampang Stratigrafi

5.1 Pengertian Penampang Stratigrafi

Penampang stratigrafi adalah suatu gambaran urutan vertikal lapisan-lapisan batuan sedimen pada lintasan yang dipilih. Setiap titik dalam aturan mengikuti kaidah hukum superposisi.

Dalam penelitian geologi suatu daerah yang merupakan bagian dari suatu cekungan sedimentasi data mengenai jenis litologi, variasinya serta vertikal dan lateral serta ketebalan masing-masing satuan stratigrafi merupakan data yang penting untuk diketahui. Setiap lokasi yang menunjukkan urutan dan kontak batuan yang jelas dianjurkan untuk mengadakan pengukuran penampang terukur

Secara umum tujuan pengukuran penampang stratigrafi dapat dikemukakan sebagai berikut :

1. Mendapatkan data litologi terperinci dari urutan-urutan perlapisan suatu satuan stratigrafi (formasi,kelompok, anggota, dan sebagainya).

2. Mendapatkan ketebalan yang teliti dari tiap-tiap satuan stratigrafi atau lapisan yang menjadi obyek penelitian (misalnya batubara).

3. Untuk mendapatkan dan mempelajari hubungan stratigrafi antar satuan batuan dan urutan-urutan sedimentasi dalam arah vertikal secara detail..4. Untuk menafsirkan lingkungan pengendapan dengan memperhatikan profil dan pola urutan vertikal batuan.Data-data tersebut biasanya dituangkan dalam bentuk gambar yang disebut sebagai kolom stratigrafi. Berhubungan dengan keadaan singkapan, pengukuran suatu penampang stratigrafi secara langsung kadang agak sulit dilakukan di Indonesia, dalam keadaan tersebut ketebalan ditentukan dengan pembuatan penampang struktur. Tetapi mengingat pentingnya data tersebut, maka disarankan untuk berusaha mengukur penampang pada singkapan-singkapan yang menerus terutama yang meliputi satu atau lebih satuan-satuan stratigrafi yang resmi.

5.2 Prosedur Pelaksanaan Lapangan

Idealnya pengukuran penampang stratigrafi dilakukan pada tahap akhir pemetaan geologi, dimana informasi mengenai penyebaran satuan batuan dan struktur geologi sudah diketahui, sehingga dapat dipilih lintasan-lintasan yang ideal (lintasan menerus, tidak terganggu struktur dan lain-lain). Namun dalam praktek, mengingat efisiensi waktu dan biaya, pengukuran penampang stratigrafi seringkali dilakukan bersamaan dengan waktu pemetaan, terutama pada daerah-daerah yang sulit dijangkau.

Ada empat tahapan utama yang harus ditempuh dalam pengukuran penampang stratigrafi yaitu : perencanaan, pengumpulan data, pengolahan data dan penyajian.

5.2.1. Perencanaan lintasanUntuk mendapatkan hasil yang baik, setelah satuan urut-urutan singkapan secara keseluruhan diperiksa untuk hal-hal sebagai berikut :

1. Kedudukan lapisan (strike/dip), apakah curam, landai, vertikal, atau horisontal. Arah lintasan yang akan diukur sedapat mungkin tegak lurus terhadap jurus.

2. Harus diperiksa apakah jurus atau kemiringan lapisan itu terus-menerus tetap atau berubah-ubah. Hal-hal tersebut diatas adalah penting dalam menentukan metode dan perhitungan pengukuran. Kemungkinan adanya struktur sepanjang penampang seperti sinklin, antiklin, sesar, perlipatan, dan sebagainya. Hal ini penting untuk menentukan urutan-urutan stratigrafi yang betul.

3. Penentuan superposisi dari lapisan, sesuatu yang sangat penting, tetapi kadang-kadang tidak diperhatikan. Kriteria untuk superposisi ini umumnya diperoleh dari struktur sedimen yang ada.

4. Meneliti akan adanya lapisan penunjuk (key beds) yang dapat diikuti di seluruh daerah (misalnya lapisan batubara, lapisan bentonit).Lapisan penunjuk ini penting sebagai referensi untuk mengikat (to tie in) penampang stratigrafi ini pada sistem wilayah (region) yang resmi. Adalah sangat baik jika dapat diikat pada jalur-jalur biostratigrafi.

5.2.2 Pengambilan Data

Ada dua hal penting dalam tahapan ini yaitu pengukuran tidak langsung maupun langsung ketebalan perlapisan batuan dari pemerian pada tiap-tiap langkah pengukuran.

5.2.2.1 Pengukuran

Cara-cara mengukur penampang stratigrafi banyak sekali ragamnya, dan metode yang digunakan sangat tergantung pada keadaan medan dan singkapan yang ada, namun pada dasarnya pengukuran ini dilakukan untuk mendapatkan data ketebalan satuan stratigrafi. Disini hanya akan dibahas salah satu cara yang sering diterapkan di Indonesia, yaitu pengukuran dengan memakai pita ukuran dan kompas. Metode ini diterapkan terhadap singkapan yang menerus atau sejumlah singkapan-singkapan yang dapat disusun menjadi satu penampang. Pengukuran ini sebaiknya dilakukan oleh sekurang-kurangnya dua orang.

Cara mengukur ini dapat dilihat dalam gambar 5.1. Sebaliknya diusakan agar arah pengukuran tegak lurus pada jurus lapisan, untuk menghindari koreksi- koreksi yang rumit. Peletakan posisi patok satu terhadap patok berikutnya seharusnya mempertimbangkan perubahan jenis litologi, dan bukan ketersediaan panjang tali. Adapun data yang harus dicatat yang akan dipakai untuk menghitung ketebalan adalah :

1. Jarak terukur antar patok

2. Azimuth (arah) lintasan

3. Kemiringan lereng

4. Jurus dan kemiringan lapisanTahapan pelaksanaannya adalah sebagai berikut :

1. Mulailah pengukuran dari dasar penampang yang akan diukur.

2. Tentukan satuan-satuan litologi yang akan diukur. Berilah patok-patok atau tanda lainnya pada batas-batas satuan litologi ini. Jika satuan- satuan litologi ini tebal semuanya kurang dari 5 meter, lebih praktis jika pita ukuran membentangkan pita ukuran dari alas satuan sampai atap satuan tersebut. ini dibentangkan sepanjang-panjangnya, kemudian tebal semu diperoleh dengan mengurangkan pembacaan pada alas. Jika satuan litologi yang diukur tebal semuanya 5 m atau lebih ambillah pengukuran satuan demi satuan dengan membentangkan pita ukuran dari alas satuan sampai atap satuan tersebut.

Gambar 5.1. Cara pengukuran penampang stratigrafi (Compton, 1985)3. Baca azimuth arah pengukuran (arah bentangan pita ukuran), dan besarnya sudut lereng (slope = so).

4. Ukur kedudukan lapisan (jurus dan kemiringan), jika jurus dan kemiringan dari tiap satuan berubah-ubah sepanjang penampang, sebaiknya pengukuran jurus dan kemiringan (Az, dip=) dilakukan pada alas dan atap dari satuan ini dan dalam perhitungan dipergunakan rata-ratanya.

5. Baca jarak terukur = dt (tebal semu) darisatuan yang sedang diukur pada pita meter.

Kemudian buatlah pemerian litologinya, untuk teknik pemerian lihat sub bab selanjutnya yaitu pengamatan dan deskripsi.

5.2.2.2 Pengamatan dan Deskripsi

Pada pengukuran stratigrafi setiap satuan litologi harus dideskripsikan secara detail dan harus diingat bahwa satuan litologi disini tidak sama dengan satuan peta. Semua fakta yang menurut pengamatan lapangan dapat digambarkan di kolom pada skala 1 : 1.000 atau pada skala yang lebih besar lagi harus diperiksakan secara teliti dan terperinci. Dalam pembuatan deskripsi ini sebaiknya dilakukan mulai dari kenampakan yang pada skala singkapan kemudian dipertajam dengan pengamatan yang lebih detail.

Satuan stratigrafi atau satuan sedimentasi dapat terdiri dari satu jenis batuan atau terdiri dari selang-seling beberapa lapisan litologi berlainan, atau satu litologi utama dengan sisipan-sisipan (interkalasi tipis sebagai litologi). Pembagian satuan sangat tergantung pada skala yang akan digunakan sewaktu menggambar kolom. Pada skala 1 : 1.000, satu satuan batuan tebal minimumnya 10 m (10 mm pada kolom).

Setiap satuan litologi yang diukur harus diberi pemerian selengkapnya. Dianjurkan supaya cara pemerian dilakukan secara beraturan dan sistematik dari kenampakan yang lebih besar (singkapan) ke yang lebih detail (tekstur komposisi). Di bawah ini diberikan urutan susunan pemerian yang dianjurkan:

1. Nama satuan batuan (jika bisa ditentukan di lapangan)

2. Batuan utama dan sisipan atau perselingan serta organisasi antar lapisan begitu pula struktur sedimen.

3. Pemerian litologi setiap lapisan (warna, tekstur, komposisi).

4. Hubungan dengan satuan di bawahnya.

Nama satuan batuanNama untuk satuan batuan sebaiknya memakai ciri umum dari satuan batuan. Dalam hal ini perlu diperhatikan sifat sisipan atau perselingan antara batuan yang dominan (main lithology) dan batuan yang merupakan sisipan atau selingan. Kadang karena sulitnya medan, penentuan nama ini dilakukan setelah pengeplotan lintasan selesai. Batuan utama dan sisipan atau perselingannya serta organisasi antar lapisan begitu pula struktur sedimen.

Untuk mendeskripsikan masalah tersebut dapat dibantu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan misalnya :

a. Apakah terdiri dari satu jenis litologi atau lebih.

b. Jika lebih dari satu litologi apakah bersifat perselingan atau sisipan.

c. Apakah sisipan atau perselingan hanya terdiri atas satu litologi atau lebih.

d. Jika lapisan utama atau sisipan itu adalah klastik kasar (konglomerat, breksi batu pasir/lanau atau karbonat) maka pertanyaan yang penting adalah : apakah lapisan bersifat massive, tebal, tipis, atau berlaminasi. Keadaan perlapisan sebaiknya diperikan secara kuantitatif, misalnya dengan klasifikasi Mc. Kee dan Weir (1953). Istilah bedding, dalam bahasa Indonesia dapat digunakan : berlapis tebal, berlapis tipis, dan sebagainya, sedangkan lamination dapat dipakai istilah : berlapis halus atau berlapis sangat halus.

Kemudian perhatikan organisasi antar lapisan yang ada. Yang dimaksud dengan organisasi perlapisan adalah bagaimana sifat perselingan lapisan atau sisipan lapisan itu dari bawah ke atas apakah bersifat :

1. Sisipan makin menebal ke atas (thickening upward sequence)

2. Menipis ke atas (thinning upward sequence) atau

3. Seragam

Pada tahap ini perlu dicatat tebal lapisan selang-seling rata-rata berapa tebal rata-rata batuan sisipan dan berapa spasinya. Pengamatan organisasi vertikal lapisan-lapisan ini menjadi sangat penting karena berkembangnya konsep stratigrafi sikuen (sequen stratigraphy). Pada konsep tersebut pengenalan system tract diidentifikasi dengan cara analisis urutan vertikal. Kemudian juga penting untuk diamati sifat batas atas dan batas bawah lapisan, apakah bersifat :

1. Batas berangsur (transisi)

2. Batas tegas

3. Batas erosi

Untuk mengamati organisasi lapisan ini disarankan menggunakan teknik pengamatan agak menjauh dari singkapan (3-5 meter dari obyek yang diamati). Pada tahap ini juga perlu dicatat struktur sedimen yang berkembang pada batuan utama dan pada selingan atau sisipan. Struktur sedimen yang umum dijumpai adalah : perlapisan, perlapisan bersilang (cross bedding), perlapisan bersusun (graded bedding), gelembur gelombang, rekah kerut (mud crack), kikisan erosi, jejak organisme, bekas erosi (scour mark), struktur pembebanan (load cast), struktur imbrikasi, struktur distorsi (slump, convolute), dan lain-lain. Struktur non sedimen, misalnya konkresi (rijang, lempung gampingan, nodule, bola batubara (styllolit), struktur organik dan lain-lain.

Deskripsi litologi setiap lapisan.

Jika satuan terdiri dari selang-seling beberapa macam batuan, periksakanlah dulu batuan utama secara lengkap dan kemudian baru batuan lainnya. Sebutkan hubungan batuan pertama terhadap kedua, ketiga dan seterusnya.

Pengamatan ini untuk mendapatkan gambaran sifat litologi dari masing-masing penyusun singkapan yaitu meliputi warna, tekstur, fragmen pembentuk, semen atau massa dasar, mineral sedikit, kandungan fosil, porositas dan kekerasan.

Warna Warna batuan merupakan hal yang paling awal dapat dikenali. Dalam hal ini berikanlah warna yang paling cocok. Kadang-kadang terdapat warna campuran, beraneka warna, berbintik-bintik atau garis dll.

TeksturPengamatan tekstur, terutama mengenai besar butir, bentuk butir, pemilahan dan kemas.

Besar butir (ukuran butir)Besar butir atau grain size hanya dapat dibedakan pada klastika kasar dan kadang-kadang pada karbonat. Untuk konglomerat dan breksi nyatakan dalam ukuran rata-rata sebagai millimeter atau sentimeter dan juga ukuran maksimumnya.

Istilah-istilah yang dipakai untuk ukuran batupasir :

berbutir sangat kasar (bsk) (2 - 1 mm)

berbutir kasar (bk) (1 - mm)

berbutir sedang (bs) (1/2 - mm)

berbutir halus (bh) ( - 1/8 mm)

berbutir sangat halus (bsh) (1/8 1/16 mm)

Untuk batuan karbonat, jika macam fragmen/butir pembentuk adalah sublitografi maka besar butir tidak perlu diberikan lagi.

Dalam hal besar butir ini sering terjadi variasi secara vertikal dalam satu lapisan klastik kasar, dalam hal ini dikenal istilah :

1. Seragam (tidak ada perubahan)

2. Menghalus ke atas (fining upward sequence)

3. Mengkasar ke atas (coarsening upward sequence)

Bentuk butir (grain shape)

Sifat ini hanya dimiliki batuan klastik kasar. Pakailah istilah-istilah membundar, membundar baik, membundar tanggung, bersudut tanggung,dan menyudut.

Pemilahan (sorting)

Pemilahan hanya dapat diteliti pada batuan klastik kasar. Pakailah istilah-istilah : terpilah sangat baik jika butiran sama besar, terpilah baik jika terdapat kisaran besar butir tetapi suatu besar butir rata-rata masih dapat dilihat, terpilah buruk apabila tidak dapat dilihat adanya besar butir rata-rata Kemas (fabric)

Untuk klastik halus kemas tidak diamati. Untuk breksi dan konglomerat pakailah istilah kemas terbuka atau kemas tertutup atau imbrikasi.

Fragmen Pembentuk

Bermacam-macam fragmen/butir pembentuk adalah berlainan untuk tiap macam batuan.

Sebagai contoh :

1. Konglomerat, breksi dan aglomerat : sebutkan macam batuannya (andesit, basalt, kuarsa dan sebagainya)

2. Batupasir, sebutkan susunan mineral utama yang menyolok seperti : kuarsa, feldspar, fragmen batuan, glaukonit, dan lain-lain.3. Tufa : a. Jenis butir (kristal, gelas, fragmen batuan, batuapung)

b. Petrologi/mineralogi (andesit, basalt, hornblende, dsb)

4. Karbonat, gamping, dan dolomit :Kerangka (skeletal), fragmental, cocquina, oolit, kristalin, atau bisa disebutkan macam kerangka fosil pembentuk :koral, foram, ganggang, dan sebagainya.

Semen atau massa dasar (matriks)

Untuk batuan seperti konglomerat dan breksi, dapat hadir sebagai semen karbonat, atau berupa massa dasar batupasir, lempung atau tufa. Untuk batupasir, macam semen adalah gampingan, kersikan, breksian, dan macam massa dasar adalah lempungan, detritus ; kadang-kadang tak dapat dibedakan dari campuran.Kandungan FosilKandungan fosil sedapat mungkin diidentifikasi sampai ke genus atau spesiesnya . Kadang kadang cukup dengan menyebut mengandung bryozoa, mollusca, foraminifera dsb.

Gambar 5.2. Contoh pengambilan data fosil dilapangan (Pringgoprawiro dan Kapidd, 1999)Mineral-mineral sedikit Adanya mineral-mineral sedikit tetapi masih bisa diamati dengan kaca pembesar (loupe) kadang-kadang sangat penting sebagai penunjuk lingkungan pengendapan sedimen atau batuan asal. Mineral-mineral ini misalnya: pirit, glaukonit, keping-keping karbon atau mika. Kadang-kadang mineral sedikit ini begitu menyolok dan menjadi sangat penting dalam pemetaan batuan, sehingga ditempatkan di muka sebagai macam fragmen atau butir pembentuk.Tabel 5.1 Daftar batuan Sedimen yang Umum (Harsolumakso, 2001)NamaSebagai CampuranNameSebagai

Campuran

Konglomerat Breksi Aglomerat Batupasir

Tufa Batulanau Serpih Lempung Napal Gamping

Dolomit Batubara

an an an an

an

an

an

an

an an

an an

Karbonan Conglomerate Breccia Agglomerate Sandstone

Tuff

Siltstone

Shale

Clay

Marl

Limestone

Dolomite

Coal

Chert ic,pseph

ous

ic

sandy,

arenaceous

aceous

silty

ey

ey

y

limy,

calcareous

ic

y

y

Porositas Menyatakan porositas dapat dilakukan dengan mempergunakan istilah :

Porositas istimewa, porositas sedang, porositas dapat diabaikan. Untuk menduga porositas dapat diketahui dengan meneteskan air diatas batuan. Berbeda halnya dengan porositas yang digunakan dalam batuan karbonat, lebih cenderung menggunakan istilah genetik (gambar 5. 3) terutama dalam batuan karbonat reef.

Gambar 5.3. Contoh porositas khusus pada batuan karbonat (Choquette and Pray, 1970)

Kekompakan dan kekerasan

Pakailah istilah- istilah :

Lembek, lunak, dapat diremas, keras, padat, getas, dan kompak.

Hubungan dengan satuan diatasnya

Hubungan dengan satuan diatasnya juga harus disebutkan dengan jelas, misalnya hubungan yang tegas atau tajam, berangsur, batas erosi, atau ketidakselarasan, kontak patahan dsb.

Gambar 5.4. Sketsa kolom stratigrafi terukur yang menunjukkan sifat perlapisan dan struktur sedimen.

Gambar 5.5. Cara pengambara penampang terukur, simbol-simbol yang umum digunakan dalam pembuatan penampang terukur (Withnall,1993) 5.2.3. Menghitung ketebalan

Dari data mentah berupa pengukuran dilapangan untuk menjadi kolom stratigrafi harus melalui tahapan perhitungan satuan-satuan yang diukur untuk mendapatkan data ketebalan sebenarnya.

Tebal lapisan adalah jarak terpendek antara bidang alas / bottom dan bidang atas/top. Ada berbagai variasi cara pengukuran, namun pada dasarnya, perhitungan ketebalan lapisan yang tepat harus dilakukan dalam bidang yang tegak lurus jurus lapisan.

Bila pengukuran dilapangan tidak dilakukan dalam bidang yang tegak lurus maka jarak terukur yang diperoleh harus dikoreksi terlebih dahulu dengan rumus sebagai berikut :

D = dt x cosinus , dimana = sudut antara arah kemiringan dengan arah pengukuran (azimuth)Demikian juga halnya dengan sudut lereng ( slope). Didalam menghitung tebal lapisan, sudut lereng yang dipergunakan adalah sudut yang terukur pada arah pengukuran yang tegak lurus jurus lapisan. Untuk ini, apabila cukup besar, perlu dilakukan koreksi untuk mengembalikan besaran sudut lereng yang tegak lurus jurus. Koreksi tersebut antara lain dapat dilakukan dengan menggunakan tabel koreksi dip untuk pembuatan penampang.

Sudut lereng terukur dapat disamakan dengan apparent dip dan adalah penyiku sudut antara jurus dan arah penampang.

5.2.3.1. Pengukuran pada daerah datar ( lereng 0o )

Gambar 5.6. Posisi pengukuran pada daerah datar

Pengukuran di daerah datar, apabila jarak terukur adalah jarak tegak lurus (gambar 5.6a) ketebalan T langsung didapat dengan perhitungan : T = dt x sin ( gambar 5.6b), dimana dt = jarak terukur dilapangan dan = sudut kemiringan lapisan.

5.2.3.2. Pengukuran pada medan berlereng

Terdapat dua kemungkinan lapisan posisi lapisan terhadap lereng yaitu berlawanan dan searah dengan lereng ( gambar 5.7 dan 5.8).Kemiringan lapisan searah dengan lereng

Bila kemiringan jelas () lebih besar daripada sudut lereng (s) dan arah lintasan tegak lurus jurus maka perhitungan ketebalan adalah T = d sin (s) (gambar 5.7b)

Bila kemiringan lapisan lebih kecil daripada lereng perhitungan ketebalan adalah : T = d sin ( s ) ( gambar 5.7c)

Gambar 5.7. Posisi pengukuran pada lereng yang searah dengan kemiringan

Kemiringan lapisan berlawanan arah dengan kemiringan lereng

Apabila jumlah sudut lereng dan sudut kemiringan lapisan adalah 90o (lereng berpotongan tegak lurus dengan lapisan ) maka T = d ( gambar 5.8c)

Bila kemiringan lapisan membentuk sudut lancip terhadap lereng maka

T = d sin ( + s ) gambar 5.8b

Bila kemiringan lapisan membentuk sudut tumpul terhadap lereng maka

T = d sin ( 180o s ) Gambar 5.8d

Bila lapisannya mendatar maka T = d sin s

Gambar 5.8. Posisi pengukuran pada lereng yang berlawanan dengan kemiringan

5.3. Penggambaran

Hasil suatu pengukuran penampang stratigrafi dapat disajikan dalam bentuk gambar kolom yang lazim disebut kolom stratigrafi atau penampang stratigrafi. Gambar 5.4 merupakan contoh penampang stratigrafi sedangkan gambar 5.9 merupakan contoh kolom hasil pengukuran penampang stratigrafi.

Dalam penggambaran kolom ada dua bagian penting yang harus ada yaitu ; keterangan gambar dan gambar kolom stratigrafi.

5.3.1. Keterangan gambarGambar ini terdiri dari beberapa lajur dari yang umumnya meliputi kolom berikut ini : (gambar 5.9)Kolom umur

Kolom ini dimaksudkan untuk memberikan keterangan umur batuan, untuk mengisi kolom ini biasanya harus dilakukan analisis umur baik berdasarkan fosil maupun radiometri. Untuk keperluan tersebut yang standar biasanya dilakukan analisis paleontologi untuk itu harus dipilih contoh batuan yang mengandung fosil ( biasanya lempung, serpih atau batugamping ). Sebaiknya penentuan umur paling tidak dilakukan pada tiga level (bawah, tengah, atas) dari satuan.

Kolom satuan batuan Kolom ini disi dengan penamaan resmi ( Kelompok, Formasi, Anggota, dll ), atau pun tak resmi ( berdasarkan ciri umumnya ) dari satuan yang ada.

Kolom Ketebalan

Diisi berdasarkan data hasil perhitungan ketebalan, untuk menghindari kekeliruan ploting yang berulang disarankan untuk mengeplot secara kumulatif dari suatu datum tertentu.

Gambar 5.9. Kolom stratigrafi terukur umum suatu daerah penelitian (Comptom, 1985) Kolom besar butir dan struktur sedimen

Diisi berdasarkan hasil deskripsi lapangan mengenai besar butir dan struktur sedimen perlu diperhatikan letak persis dari perubahan besar butir dan struktur sedimen. Gunakan simbol struktur sedimen yang sudah baku.

Simbol litologi

Simbol litologi digambarkan berdasarkan data litologi yang diamati dilapangan. Ikutilah simbol-simbol yang sudah baku kalau ada simbol-simbol yang perlu ditambahkan, misalnya adanya fosil foram, sisa tumbuhan, dll sebaiknya diletakkan pada bagian ini.

Ekspresi topografi

Ide pencantuman ekspresi topografi barangkali untuk memberikan gambaran yang identik antara besar butir yang simetris terhadap ekspresi topografi mirip dengan bentuk log SP yang biasanya simetris terhadap log resistivity. Hal ini biasanya digunakan dalam industri minyak bumi untuk mengetahui geometri batuan reservoir.

Kolom deskripsi

Kolom deskripsi seyogyanya diberikan menurut kebutuhan. Hal ini bisa sangat detail pada masing-masing lapisan yang dianggap penting, namun juga deskripsi bersifat umum yang mewakili ciri satuan batuan/hal ini biasanya digunakan untuk keperluan pemetaan.Kandungan Fosil

Kandungan fosil yang dicantumkan pada kolom ini sebaiknya hanya fosil- fosil yang diagnostik / untuk umum dan lingkungan pengendapan, hal tersebut untuk memperkuat penafsiran umur dan lingkungan pengendapan.Lingkungan Pengendapan

Lingkungan pengendapan dapat ditentukan setelah melalui analisis baik yang berdasarkan urutan vertikal/analisis stratigrafi atau analisis fosil bentos.

Penuntun Geologi Lapangan