Bab 4 Hibah Bersaing

22
Hibah Bersaing A. Latar Historis Masyarakat Kampung Nelayan Cilincing Kampung nelayan Cilincing merupakan salah satu perkampungan nelayan di Jakarta Utara, setelah Muara Angke dan Kali Baru. Secara administratif Kampung nelayan Cilincing berada di Kelurahan Marunda, Kecamatan Cilincing, Kotamadya Jakarta Utara. Wilayah Cilincing sendiri terletak di sebelah timur dari pelabuhan Samudra Tanjung Priok. Seperti wilayah lainnya di Indonesia, wilayah Cilincing juga memiliki sejarahnya tersendiri. Nama Cilincing mulanya adalah Ci Calincing, berasal dari bahasa Sunda. Kata Ci dalam bahasa Sunda memiliki arti sebagai sungai. Dengan demikian, Cilincing merupakan daerah yang dialiri anak sungai marunda, dan masuk dalam kelurahan Marunda. Melihat posisi cilincing sebagai wilayah pesisir perkotaan, ternyata menarik para nelayan dari luar daerah untuk meningkatkan kualitas hidup. Gambar 4.1 Peta Clincing Raya Universitas Negeri Jakarta 13 HASIL PENELITIAN BAB 4

Transcript of Bab 4 Hibah Bersaing

Page 1: Bab 4 Hibah Bersaing

Hibah Bersaing

A. Latar Historis Masyarakat Kampung Nelayan Cilincing

Kampung nelayan Cilincing merupakan salah satu perkampungan nelayan

di Jakarta Utara, setelah Muara Angke dan Kali Baru. Secara administratif

Kampung nelayan Cilincing berada di Kelurahan Marunda, Kecamatan

Cilincing, Kotamadya Jakarta Utara. Wilayah Cilincing sendiri terletak di

sebelah timur dari pelabuhan Samudra Tanjung Priok. Seperti wilayah lainnya

di Indonesia, wilayah Cilincing juga memiliki sejarahnya tersendiri. Nama

Cilincing mulanya adalah Ci Calincing, berasal dari bahasa Sunda. Kata Ci

dalam bahasa Sunda memiliki arti sebagai sungai. Dengan demikian, Cilincing

merupakan daerah yang dialiri anak sungai marunda, dan masuk dalam

kelurahan Marunda. Melihat posisi cilincing sebagai wilayah pesisir

perkotaan, ternyata menarik para nelayan dari luar daerah untuk meningkatkan

kualitas hidup.

Gambar 4.1

Peta Clincing Raya

Sumber: www.peta-cakung-cilincing-raya.com

Universitas Negeri Jakarta 13

HASIL PENELITIAN

BAB

4

Page 2: Bab 4 Hibah Bersaing

Hibah Bersaing

B. Konteks Sosial Masyarakat Kampung Nelayan Cilincing

Penduduk asli Cilincing Rw 04 merupakan suku Betawi atau biasa dikenal

dengan sebutan Betawi pesisir. Pada Awalnya suku Betawi berprofesi sebagai

nelayan, hal ini dapat dipahami dari kondisi geografis daerah Cilincing yaitu

pesisir. Sehingga hal ini berpengaruh terhadap profesi masyarakat setempat

yakni sebagai nelayan maupun pelaut. Namun kini, profesi sebagai nelayan

tidak lagi menjadi pekerjaan utama bagi suku Betawi. Hal ini disebabkan

dengan banyaknya nelayan rantau yang datang melaut di daerah Cilincing

dengan menggunakan teknologi modern. Hingga akhirnya nelayan (betawi

pesisir) perlahan mulai termarginalisasi, dan kini lebih banyak berprofesi

sebagai buruh dan juga pengangguran. Sementara itu, para nelayan rantau

datang dan silih berganti mengeksploitasi hasil laut dari perairan laut Jawa.

Berikut ini adalah peta perubahan sosial yang terjadi di Kampung Nelayan

Cilincing.

Universitas Negeri Jakarta 14

Page 3: Bab 4 Hibah Bersaing

Hibah Bersaing

Universitas Negeri Jakarta 15

Page 4: Bab 4 Hibah Bersaing

Hibah Bersaing

Berdasarkan peta perubahan sosial yang terjadi di kampung nelayan

Cilincing, secara ekonomi maka dapat kita lihat bahwa telah terjadi

pergeresan dominasi. Pergeseran dominasi tersebut ditunjukan dengan posisi

nelayan rantau yang semakin sukses dan sebaliknya masyarakat betawi pesisir

perlahan mulai kehilangan otoritas. Sementara itu meningkatnya jumlah

nelayan rantau di kelurahan cilincing berdampak pada sulitnya mendata

jumlah penduduk secara baik. Pak hasyim menuturkan:

“Jumlah penduduk di sini (RT.012) kalo dari KK (kartu keluarga) sih

jumlahnya kurang lebih 250-an KK, tapi sebenernya lebih. Masalahnya

banyak penduduk yang kagak netap di sini, banyak juga yang kagak punya

KTP tapi kagak pada lapor diri. Maklumlah kebanyakan pekerjaan

masyarakat sini melaut (nelayan), jadi pada males ngurus-ngurus beginian”.

Berdasarkan penuturan Pak Hasyim, tidak mengherankan bila jumlah

penduduk di kampung nelayan Cilincing tidak terdata dengan baik. Namun,

untuk mengindentifikasi etnis apa saja yang dominan di kawasan ini dapat

kita ketahui dari aksen berbicara mereka. Dari pengamatan di lapangan, dapat

diketahui bahwa setidaknya ada dua etnis yang dominan di kawasan ini, yakni

Sunda dan Jawa. Sedangkan asal wilayahnya terdiri dari Karawang,

Indramayu, dan Cirebon. Untuk bahasa yang digunakan sehari-hari adalah

bahasa sunda dan indramayu.

C. Lingkungan dan Masalah yang Timbul

Tinggal di lingkungan nelayan, sebagaimana selama ini orang

mengasosiasikan kehidupan nelayan yakni sebuah kehidupan yang keras,

acuh, kumuh, jorok, tertinggal, miskin dan tidak ramah bagi masyarakat luar.

Perkampungan nelayan ini tergolong persis yang dibayangkan oleh orang

banyak. Hubungan antara nelayan dan laut juga dapat digambarkan negatif,

mereka tidak segan untuk membuang limbah (plastik) rumah tangga ke laut.

Akhirnya menimbulkan lingkungan yang kotor. Lingkungan yang kotor ini

diperparah lagi dengan adanya perusahaan yang membuang limbah ke aliran

laut. Sehingga dalam beberapa waktu, munculah berbagai penyakit, yang

Universitas Negeri Jakarta 16

Page 5: Bab 4 Hibah Bersaing

Hibah Bersaing

menyerang masyarakat. Seperti, gangguan pernafasan, sakit kulit, dan lain-

lain. Laut bagi mereka adalah rumah kedua, karena begitu bertumpunya

masyarakat pada laut. Tetapi mereka tidak merasa perlu menjaga kebersihan

lingkungan.

Permasalahan air bersih juga menjadi penting mengingat, air sumur yang

selama ini digunakan untuk aktifitas MCK (Mandi Cuci Kakus) dan keperluan

dapur bersumber dari air laut. Sedangkan kondisi air laut sangat kotor. Jelas

kebutuhan akan air bersih menjadi sangat vital bagi kehidupan. Selain itu

juga, permasalahan dalam bidang ekonomi tentunya memegang peranan dari

segala masalah sosial. Untuk itu, semua anggota keluarga perlu meyadari

pentingnya memberdayakan diri dan terlibat dalam aktif bekerja secara santun.

Maksudnya santun di sini adalah, bekerja dengan cara-cara yang tidak

menyimpang. Mengingat cukup banyak terdapat tempat-tempat hiburan

malam seperti diskotik, pub, hotel di sekitar kampung nelayan Cilincing. Pada

saat yang sama, masyarakat terutama perempuan-perempuan baik di sekitar

perkampungan nelayan Cilincing maupun di luar sangat rentan menjadi

pekerja seks hiburan atau hanya sekedar teman duduk minum.

Menurut Bapak Giyarno selaku ketua RW. 04, keberadaan tempat-tempat

hiburan tersebut bukan masuk dalam wilayah tanggungjawabnya, karena

secara administratif masuk di lingkungan RW. 03. Namun, usaha untuk

menutup tempat-tempat tersebut sudah dilakukan, namun tetap saja masih

berdiri. Memang keberadaan tempat hiburan tersebut telah mengundang

perempuan, terutama anak-anak gadis di daerah kampung nelayan Cilncing

dan sekitar untuk bekerja di lokasi tersebut. Tentu saja ini masalah sosial yang

penting di tengah isu pembedayaan perempuan. Tidak semua anak-anak gadis

bekerja di tempat hiburan, ada juga yang bekerja sebagai buruh pabrik

didaerah kawasan industri di Marunda.

D. Kondisi Ekonomi Masyarakat Kampung Nelayan Cilincing

Masyarakat kampung nelayan Cilincing hidup di pesisir teluk pantai

Jakarta Utara. Hal ini dapat dipahami karena hampir sebagian besar mata

Universitas Negeri Jakarta 17

Page 6: Bab 4 Hibah Bersaing

Hibah Bersaing

pencaharian utama mereka adalah nelayan, tidak mengeherankan bila mereka

bersandarkan hidup pada laut. Untuk sekarang, status nelayan di daerah

kampung nelayan Cilincing dipadati oleh masyarakat pendatang atau nelayan

rantau dengan kapal dan teknologi modern. Pendapatan bersih nelayan per hari

berkisar antara Rp. 120.000-150.000 dan ini pun sangat bergantung pada

cuaca, bila cuaca sedang tidak bersahabat biasanya mereka pulang dengan

hasil yang lebih sedikit. Alhasil, bila cuaca dalam sebulan bagus, pendapatan

mereka mencapai Rp. 3.600.000-4.500.000. Jumlah ini tentu saja cukup besar

bila dibandingkan dengan pekerjaan sebagai buruh pabrik, hanya saja resiko

menjadi nelayan begitu besar. Sedangkan jumlah tersebut belum termasuk

perbaikan jaring yang harus ditanggung oleh nelayan. Dengan demikian, bisa

dikatakan bahwa secara ekonomi kehidupan nelayan di kampung nelayan

Cilincing cukup sejahtera.

Sementara bagi pendatang yang tidak melaut, mereka memilih menjadi

tengkulak. Dari tengkulak inilah masyarakat khususnya perempuan mendapat

pekerjaan sebagai buruh pengupas kulit kerang dan udang, dengan menerima

bayaran Rp. 8.000- per karungnya. Biasanya pekerjaan ini dilakukan secara

borongan dan diambil dari TPI (Tempat Pelelangan Ikan). Pekerjaan lain

yang dapat dilakukan oleh mereka antara lain, pengolahan ikan asin, berjualan

membuka warung maupun berkeliling. Seperti yang dilakukan oleh ibu Kati

(46 tahun) warga Rt. 03 Rw. 004. Ibu Kati berjualan secara berpindah-pindah,

siang sekitar jam 10.00 Wib berjemur bersama dagangannya, dan sekitar jam

15.00 Wib, berkeliling menjajakan makanan yang diolah bersama putri nya.

“ya mau gimana lagi dek, kalo ngak begini mau makan apa? bapaknya

anak-anak uda nggak ada, jadilah ibu yang kerja. Untung aja si Santi

orangnya mah nggak minderan, mau dia keliling dagangin jualanan,

syukur alhamdulliah dagangan selalu habis dek”

Ibu Kati hanyalah satu dari sekian profil perempuan yang memberdayakan

dirinya sekaligus merupakan representasi dari perempuan yang memiliki

keinginan untuk membantu perekonomian keluarga. Sebagai informasi,

dagangan yang dijajakan oleh ibu Kati hanyalah dua jenis, yakni pepes dan

Universitas Negeri Jakarta 18

Page 7: Bab 4 Hibah Bersaing

Hibah Bersaing

minuman. Pepes terdiri dari pepes ikan, hati, ayam, dan untuk minuman terdiri

dari kolang-kaling, cendol, kolak. Masing-masing ibu Kati sanggup membuat

100 bungkus untuk setiap jenis olahannya. Jadi, sekitar 200 bungkus olahan

setiap harinya yang dijual, dengan harga Rp. 2.000 untuk per bungkus

minuman dan Rp. 2.500 untuk satu bungkus pepes. Jadi, dalam sehari

penghasilan Ibu Kati bisa mencapai Rp. 450.000, jika dikurangi dengan biaya

bahan berkisar Rp 400.000 jadi masih ada sisa sebesar Rp 50.000 perhari.

Bila menyusuri sepanjang jalan perkampungan nelayan Cilincing, memang

banyak warung klontong dan warung makan hampir di kanan-kiri jalan.

Pemiliknya sebagian besar adalah penduduk asli yaitu suku Betawi pesisir, hal

ini seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa gejala ini muncul sebagai

akibat adanya dominasi ekonomi dari masyarakat atau nelayan pendatang.

Terlepas dari hal tersebut, hal ini tentu saja menunjukan betapa kuatnya

keingingan masyarakat (perempuan) nelayan Cilincing untuk menjadi

wirausaha. Semangat dan tekad yang kuat yang dimiliki masyarakat nelayan

Cilincing tidak terlepas dari kontruksi sosial budaya. Sebagaimana kehidupan

di pesisir, yang keras dan juga membutuhkan keberanian ternyata tidak hanya

mempengaruhi perilaku mereka di laut tapi juga dikehidupan sosial lainnya.

Semangat masyarakat pesisir ikut juga menjadi faktor pendorong terciptanya

diferensiasi social bidang pekerjaan. Untuk itu, pada tabel berikut mencoba

untuk melihat spesialisasi pekerjaan masyarakat Betawi pesisir dan

masyarakat pendatang serta di sini juga mencoba untuk melihat di mana saja

peran perempuan Cilincing di luar sektor

Universitas Negeri Jakarta 19

Page 8: Bab 4 Hibah Bersaing

Hibah Bersaing

Tabel 4.2

Diferensiasi Pekerjaan Masyarakat Kampung Nelayang Cilincing

No Klasifikasi PekerjaanMasyarakat

Betawi Pesisir

Masyarakat Pendatang

Peran Perempuan

1. Nelayan (Melaut) √ √ -2. Pengolahan hasil laut (ikan asin) - √ √3. Buruh Pengupas √ - √4. Buruh bangunan √ - -5. Tukang ojek √ - -6. Penjual balok es √ - -7. Usaha solar - √ -8. Pedagang peralatan - √ -9. Warung klontongan √ - √10. Warung makan √ - √11. Montir Bengkel - √ -12. Usaha Las - √ -13. Pemulung/pengumpul barang bekas √ - √

Sumber: Olah Data Dari Lapangan

E. Pendidikan Sebagai Sistem Pengetahuan

Berdasarkan tabel di atas, mengenai diferensiasi pekerjaan di kampung

nelayan Cilincing, dapat kita lihat bahwa beberapa pekerjaan yang

behubungan dengan laut maupun hasil olahannya, dilakukan oleh masyarakat

asli dan juga perempuan. Masyarakat betawi pesisir bekerja lebih banyak

bidang dibandingkan dengan masyarakat pendatang, hal ini sebagai akibat dari

pergeseran aktivitas sosial yang terjadi di kampung nelayan Cilincing.

Sementara pekerjaan yang sifatnya lebih “tinggi” kedudukannya didominasi

oleh masyarakat rantau. Hal demikian dikarenakan, berdasarkan penuturan

Pak Hasyim, warganya perlahan-lahan sudah mulai realistis dan memiliki

pengetahuan tentang ajaran agama. Realistis di sini maksudnya adalah,

sekarang banyak masyarakat tidak mau bergantung pada satu pekerjaan

(melaut), tapi sudah mulai mencoba pekerjaan lain. Hal ini dikarenakan

menyadari bahwa keadaan alam (laut) yang mulai tidak mendukung bagi

sumber kehidupan mereka. Namun demikian, mereka tetap bekerja sesuai etos

kerja sebagai masyarakat pesisir.

Universitas Negeri Jakarta 20

Page 9: Bab 4 Hibah Bersaing

Hibah Bersaing

Bila melihat tingkat pendidikan masyarakat kampung nelayan Cilincing

yang sudah mulai mengenyan pendidikan hingga jenjang tinggi. Tidaklah

mengherankan bahwa telah terjadi perubahan cara berfikir masyarakat.

Perlahan masyarakat mulai belajar akan budayanya, memahami dan mencoba

mengkoreksi. Misalnya saja tradisi Nadran, yakni sebuah tradisi yang

dilakukan setahun sekali dan diyakini sebagai perwujudan ucapan syukur serta

pengharapan akan rejeki laut yang berlimpah. Salah satu ritual yang tidak bisa

diterima oleh sebagian masyarakat nelayan adalah dengan membuang kepala

kerbau ke laut. Menurut mereka hal tersebut sudah termasuk ke dalam

golongan musyrik dari ajaran agama. Namun, sebagian nelayan masih

meyakini tradisi tersebut.

Pada tabel di atas juga memperlihatkan bagaimana peran perempuan dalam

dimensi ekonomi masih terbatas. Perihal mengenai terbatasnya peran atau

keterlibatan perempuan dalam ekonomi keluarga juga diungkapkan oleh

Bapak Gani. Bahwa masalah kurangnya keterlibatan perempuan, selain karena

keterbatasan ilmu pengetahuan yang dimiliki juga dikarenakan kurangnya

pihak-pihak yang memberikan suatu bentuk pendidikan maupun pelatihan

kepada warga. Sementara itu menurut Ibu Mariamah kurang terlibatnya

perempuan lebih dikarenakan ketidakefektifan ketua-ketua Rt dalam

mensosialisasikan kegiatan yang datang dari luar. Masih menurut Ibu

Mariamah, banyak bentuk bantuan yang datang, tetapi baik ketua RT dan

pengurus koperasi nelayan, jarang sekali untuk berkordinasi dengan pengurus

RW dan pengurus PKK. Sehingga bantuan yang datang hanya dinikmati oleh

sebagian masyarakat, khususnya yang berada di dalam kampung nelayan

Cilincing.

Pembahasan masalah keterlibatan perempuan atau upaya untuk

memberdayakan perempuan agar berdaya untuk diri sendiri dan orang lain

merupakan isu penting. Agar perempuan memiliki kecakapan sosial dalam

kehidupan sehari-hari. Dalam konteks ini perempuan kampung nelayan

Cilincing adalah aktor yang turut berperan membantu kesejahteraan keluarga.

Pendidikan Kesejahteraan Keluarga atau biasa dikenal dengan sebutan PKK,

Universitas Negeri Jakarta 21

Page 10: Bab 4 Hibah Bersaing

Hibah Bersaing

merupakan media bagi perempuan untuk meningkatkan pengetahuan dan

menjadi terampil. Setidaknya ada sepuluh program yang merupakan turun dari

visi dan misi PKK, kesepuluh program ini sifatnya menambah pengetahuan

dan bisa saja bentuknya penyuluhan, seminar maupun pelatihan. PKK yang

berada di bawah kordinasi dari RW tentu saja dalam kepengurusan maupun

kegiatannya melibatkan semua RT dibawah satu naungan RW.

Sehingga rasanya tepat bila melibatkan perempuan daerah tertinggal

dengan merangkul PKK. Dalam konteks ini adalah PKK di Rw 04 kampung

nelayan Cilincing. Menurut Ibu Mariamah, PKK memiliki 20 orang anggota

disetiap RT-nya, kegiatan yang dilakukan biasanya mengenai sandang dan

pangan. Menurut Ibu Mariamah dan teman pengurus, bahwa bentuk bantuan

dalam pelatihan itu pernah ada. Namun, masalahnya adalah dimodal dan

pemasaran. Misalnya saja bertanam sayur-sayuran dalam pot membuat

berbagai jenis makanan dari bahan olahan, dan lain-lain, selalu kendalanya

dipemasaran. Sementara itu, kegiatan ini dilakukan dalam salah satu turunan

dari program yang kemudian diberi nama Dasa Wisma, kegiatannya sebulan

sekali dan biasanya kegiatan ini lakukan di kantor RW dan di TPI. Perempuan

nelayan Cilincing adalah tipikal yang mau bekerja dan serius. Dalam bantuan

kegiatan, mereka mengharapkan suatu bimbingan pengetahuan yang

berkelanjutan, agar mereka memiliki pengetahuan yang tidak hanya didapat

saat kegiatan berlangsung. Sekiranya gambaran secara umum masyarakat

Cilincing yang memiliki kemauan yang keras hasil tempaan kontruksi sosial

tempat tinggal.

F. ETOS KERJA PEREMPUAN NELAYAN CILINCING

Dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup, perempuan nelayan cilincing

secara ekonomi memiliki motivasi yang tinggi serta semangat yang tinggi

dalam berwirausaha. Hal ini ditandai dengan berbagai faktor, pertama,

karakter mandiri. Karakter kemandirian ini bisa dilihat dari aspek keluarga.

Berdasarkan fakta di lapangan, diketahui bahwa setidaknya terdapat 12 (dua

belas) perempuan nelayan cilincing dalam konteks penelitian ini yang hidup

Universitas Negeri Jakarta 22

Page 11: Bab 4 Hibah Bersaing

Hibah Bersaing

tanpa kepala keluarga (suami). Sehingga secara tidak langsung hal ini mampu

membentuk karakter mandiri pada perempuan nelayan cilincing. Wujud

kemandirian ini dapat dilihat dari karakteristik perempuan nelayan cilincing

yang tidak mau meminjam pada “koperasi jalan” atau lebih dikenal dengan

sebutan rentenir. Salah satunya alasan adalah, karena takut tidak sanggup

membayar iuran serta bunga dari pinjaman yang mereka peroleh.

Oleh sebab itu, perempuan nelayan cilincing lebih suka bekerja sebagai

pengupas kulit udang, kulit kerang, dan menjadi penjaja kue yang mereka

ambil dari warga lainnya. Setidaknya ada 7 (tujuh) informan yang memiliki

pandangan dan alasan yang secara keseluruhan sama mengenai hal tersebut.

Mereka lebih memilih bekerja apa saja seperti yang disebutkan di atas,

daripada harus meminjam pada rentenir. Dengan demikian mereka tetap bisa

mencukupi kebutuhan hidup tanpa perlu berhutang pada rentenir. Berdasarkan

informasi yang diperoleh dari beberapa infoman mengenai keberadaan

koperasi, hasilnya mereka tidak keberatan untuk menjadi pengurus atau

anggota koperasi dengan syarat iurannya tidak besar.

Kedua, kerja keras. Karakter kerja keras ini merupakan respon dari karakter

mandiri yang dimiliki oleh sebagian perempuan nelayan cilincing. Dengan

“menyandang” status janda, tidak lantas membuat mereka menjadi terpuruk,

justru sebaliknya menjadi perempuan yang mandiri dan pekerja keras. Karena

hidup tanpa kepala keluarga (suami) pencari rejeki, perempuan nelayan

cilincing akhirnya menjalani kehidupan dengan predikat “beban kerja ganda”.

Selain mereka bekerja di sektor domestik, mereka juga dihadapkan pada

situasi dan kondisi ekonomi yang sulit sehingga mereka harus terlibat di

sektor publik.

Misalnya saja, Ellin (19 tahun), Ellin merupakan salah satu perempuan

yang bekerja sebagai pekerja seks di daerah Waramalang. Ellin memiliki anak

bayi yang baru berusia 2 (dua) bulan, dan Ellin menjadi PSK setelah ditinggal

suaminya dan dikarenakan untuk kebutuhan si kecil. Sebelumnya dia sudah

melamar pekerjaan di kawasan industri, namun karena kendala pendidikan

yang tidak memenuhi syarat ia tidak diterima. Ia tidak dapat memastikan

Universitas Negeri Jakarta 23

Page 12: Bab 4 Hibah Bersaing

Hibah Bersaing

sampai kapan ia akan bekerja seperti ini, namun jika ada panggilan kerja ia

pastikan akan meninggalkan pekerjaan ini. Berbeda halnya dengan perempuan

cilincing yang tidak memiliki pekerjaan, misalnya Ibu Tjarsinah dan Tarmini.

Mereka bahkan mengharapkan adanya kegiatan-kegiatan atau pelatihan yang

bisa dikuti dan ditekuni.

Ketiga, kemauan untuk belajar. Tingkat pendidikan perempuan nelayan

cilincing yang rata-rata hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar (SD)

membuat mereka memiliki keterbatasan dalam hal pengetahuan. Keterbatasan

inilah yang menjadi salah satu halangan mereka untuk bekerja yang lebih baik.

Berdasarkan informasi yang didapat, bahwa beberapa informan pernah ikut

dan tertarik bila ada pelatihan-pelatihan yang dibimbing sampai mereka benar-

benar bisa. Persoalan lain yang muncul adalah waktu, bahwa mereka belum

tentu bisa ikut kegiatan tersebut bila pasokan kerang dan udang sedang

banyak. Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa sebenarnya perempuan

nelayan cilincing memiliki kemauan untuk belajar.

PROFIL INFORMAN

No Nama Usia PekerjaanPenghasilan

(per hari)Pengeluaran

(per hari)1 Sarnah 37 Tahun Kuliner Rp. 150.000 Rp. 120.0002 Masuroh 41 Tahun Buruh Harian Rp. 30.000 Rp. 50.0003 Sadiah 36 Tahun Buruh Harian Rp. 30.000 Rp. 40.0004 Tarinah 58 Tahun Buruh Harian Rp. 25.000 Rp. 20.0005 Ellin 19 Tahun Tunasusila Rp. 50.000 Rp. 35.0006 Kunarti 34 Tahun Menjahit Rp. 20.000 Rp. 50.0007 Nining 36 Tahun Buruh Harian Rp. 30.000 Rp. 40.0008 Sariyah 45 Tahun Pedagang kecil Rp. 20.000 Rp. 40.0009 Ulfa 51 Tahun Pengangguran Rp. - Rp. -10 Tarmini 49 Tahun Pengangguran Rp. - Rp. -11 Tarsinah 45 Tahun Pengangguran Rp. - Rp. -12 Maryam 45 Tahun Pengangguran Rp. - Rp. -13 Kati 45 Tahun Kuliner Rp. 400.000 Rp.300.000Sumber: Data Lapangan Peneliti

Ibu Masuroh merupakan salah satu perempuan di Cilicing yang

pekerjaannya sebagai buruh harian (mengupas udang). Ibu yang dikaruniai

dua anak ini harus menjadi tulang punggung keluarga karena suaminya telah

Universitas Negeri Jakarta 24

Page 13: Bab 4 Hibah Bersaing

Hibah Bersaing

meninggal 15 tahun lalu. Pendapatan yang diperoleh sehari-hari hanya

mencapai Rp. 30.000 dan kemudian digunakan untuk membiayai anaknya

yang masih berada di bangku SMA. Namun dengan penghasilan yang

diperolehnya dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, walaupun mereka harus

makan seadanya. Ibu dua anak ini memiliki sifat pekerja keras, rajin, tekun,

dan pantang menyerah tetapi yang terpenting walaupun keluarga ini masih

sangat kekurangan ia sangat menghindari untuk meminjam uang di bank

keliling.

Ibu Kunarti adalah seorang ibu rumah tangga yang sehari-harinya

menjahit. Ia menjalankan usaha jahitnya ini baru dua tahun yang lalu.

Penghasilan yang diperoleh setiap harinya sekitar lima ribu sampai dua puluh

ribu. Selain mengandalkan jahitan, ibu Kunarti juga bekerja sebagai buruh

pengupas udang karena kegiatan ini menurutnya dapat membantu memenuhi

kebutuhan sehari-hari keluarganya. Ibu yang memiliki dua anak ini pada

awalnya adalah seorang karyawan di bidang konveksi, kemudian setelah

keluar lalu ia meneruskan untuk membuka jahitan di rumah sendiri. Alasan ia

keluar dari konveksi tersebut karena kedua anaknya tidak ada yang mengurus,

sehingga Ibu ini lebih memilih membuka jasa jahit di rumah. Namun kendala

yang dihadapi adalah belum adanya keahlian untuk membuat desain baju, jadi

ia hanya bisa vermak levis, jahit baju yang robek, memperbaiki baju dan lain

sebagainya. Ibu ini sangat mengaharapkan adanya bantuan pelatihan tentang

menjahit sehingga ia bisa mengembangkan usaha jahitnya dengan membuat

baju.

Ibu Kati merupakan ibu rumah tangga yang kegiatan sehari-harinya adalah

pedagang kuliner keliling. Ibu Kati merupakan salah satu perempuan yang

memberdayakan dirinya sekaligus merupakan representasi dari perempuan

yang memiliki keinginan untuk membantu perekonomian keluarga. Sebagai

informasi, dagangan yang dijajakan oleh ibu Kati hanyalah dua jenis, yakni

pepes dan minuman. Pepes terdiri dari pepes ikan, hati, ayam, dan untuk

minuman terdiri dari kolang-kaling, cendol, kolak. Masing-masing ibu Kati

sanggup membuat 100 bungkus untuk setiap jenis olahannya. Jadi, sekitar

Universitas Negeri Jakarta 25

Page 14: Bab 4 Hibah Bersaing

Hibah Bersaing

200 bungkus olahan setiap harinya yang dijual, dengan harga Rp. 2.000 untuk

per bungkus minuman dan Rp. 2.500 untuk satu bungkus pepes. Jadi, dalam

sehari penghasilan Ibu Kati bisa mencapai Rp. 450.000.

Walau hanya bekerja sebagai buruh, keterlibatan perempuan nelayan

cilincing di sektor publik merupakan etos kerja yang telah menjadi roh

kehidupannya. Etos kerja yang digambarkan oleh perempuan nelayan

cilincing pada konteks ini adalah usaha-usaha yang mereka tekuni dan yakin

bahwa dengan bekerja keras, mereka akan berhasil dan sukses. Oleh sebab

itu, etos kerja yang dimiliki oleh perempuan cilincing sejauh ini merupakan

modal sosial yang harus dan perlu ditingkatkan.

Universitas Negeri Jakarta 26