Bab 4 Hasil Penelitian dan Pembahasan -...
Embed Size (px)
Transcript of Bab 4 Hasil Penelitian dan Pembahasan -...

25
Bab 4
Hasil Penelitian dan Pembahasan
4.1 Workload
4.1.1 Bank Mandiri
Beban kerja merupakan kemampuan pekerja
untuk menerima pekerjaan yang sesuai dan seimbang
dengan kemampuan fisik maupun psikologis. Beban
kerja yang berlebihan menyebabkan pekerja mengalami
tekanan kerja yang dapat mempengaruhi produktivitas
dan kualitas kerja pegawai. Tingginya tekanan kerja
dapat mengakibatkan ketegangan psikologis maupun
kelelahan fisik. Pekerjaan di sektor perbankan memiliki
potensi tekanan kerja yang muncul dari load dan
ekspektasi pekerjaan yang tinggi guna mengejar target
perusahan dan menghadapi ekspektasi konsumen.
Pressure seperti inilah yang lazimnya menjadi sumber
stres bagi para pekerja. Kondisi kerja yang stressful
dapat mengganggu kestabilan emosi dan jika
melampaui kemampuan untuk mengelola emosi dapat
berimplikasi pada gangguan kesehatan (sakit).
Akumulasi keadaan ini seringkali terbawa kedalam
kehidupan keluarga, menjadi beban mental tambahan
bagi pekerja dan membuatnya makin tidak fokus dalam
bekerja. Pengalaman ibu YL yang karena situasi kerja

26
yang demikian stressful, mengalami gangguan emosi
yang terbawa sampai ke rumah pernah berkata :
“Saya pernah terbawa emosi sampai ke keluarga. Jujur ya
memang pernah drop sampe memang karena gak achieve
target kan ya jadi memang beban mental ya dan terbawa
sampai ke rumah sampe sakit pernah. Saya pernah tidak
fokus karena masalah ini..”
Ibu RA yang karena kelelahan dalam pekerjaan
pernah mengalami kondisi emosi yang tidak stabil
hingga terbawa sampai ke kehidupan keluarga. Selain
itu, ibu RA seringkali merasakan stres kerja ketika
pergantian jabatan atau posisi dari divisi pelayanan ke
divisi mikro dan ketika mutasi dari cabang satu ke
cabang lainnya, sebab ketika berganti jabatan atau
posisi dan mutasi kerja ibu RA menghadapi
tanggungjawab dan lingkungan kerja yang berbeda.
Berikut pernyataan ibu RA :
“Kadang karena capek saya marah-marah mbak. Ya namanya juga manusia ya kadang capek ya mbak..” Terus
kalo pindah ganti ke jabatan yang lain itu loh mbak biasanya
agak stres. Stresnya juga kalo kita di mutasi dari cabang sini nanti di mutasi ke cabang mana, pasti kan penyesuaian dulu kan. Biasanya sih di penyesuaian awal ya mbak [stres
biasanya di penyesuaian awal]..”
Responden-responden penelitian ini bekerja di
salah satu bank terbesar di Indonesia yang memiliki
tuntutan kerja yang lebih tinggi dari bank pada
umumnya. Sekalipun dengan resiko pekerjaan yang
tinggi, mereka harus bisa menghadapi dan
mengelolanya. Para responden menganggap kelelahan

27
yang dialami adalah resiko dari pekerjaan yang harus
dihadapi. Hal ini ditegaskan dengan pernyataan :
“Kalo lelah pasti lelah ya mbak. Kalo Mandiri itu memang
gede ya kan bank terbesar di Indonesia ya makanya. Mandiri
kan rame mbak, kalo mbak liat rame banget jadi transaksinya kan banyak banget kecuali kalo bank yang kecil
itu kan palingan jam 15.00 itu sudah selesai, selesai, selesai.
Kalo Mandiri zaman aku jadi teller itu, yang lain-lain kayak bank lain itu sudah pada mati lampu, bank Mandiri itu lampunya masih hidup karena memang transaksinya belum
selesai. Nasabah sudah selesai, cuman kitanya yang belum.
Transaksi rata-rata di sini satu orang itu harus 170
transaksi jadi 1 hari itu bisa 1000 orang masuk Mandiri makanya capek banget..(ibu RA)”
“Yang jelas gini mbak, stres sebenarnya kan karena target,
karena situasi kondisi kerja. Pekerjaan di bank itu penuh
resiko, belum di target, belum di complain.. (ibu YL)”
“Setiap orang kan pasti pernah merasakan capek, lelah gitu.
Sakit biasa, flu, kecapekan [saya pernah sakit seperti flu dan
juga kelelahan]. Semua juga sama, yang lain juga kan
kerjanya pun mungkin hampir sama ya semuanya. Sama-
sama berat gitu loh, cuma menurut saya karena resiko..( ibu
DA)”
Meskipun pressure pekerjaan mengintervensi
kehidupan keluarga namun pengertian dan dukungan
dari suami, orang tua dan adanya pihak ketiga seperti
jasa pembantu dan pihak sekolah merupakan
mekanisme untuk mendukung kepentingan keluarga
sehingga tidak memberikan pressure balik terhadap
kepentingan-kepentingan pekerjaan. Hal ini menjadi
faktor-faktor yang menetralisir stres terhadap
pekerjaan sehingga dapat membantu responden
khususnya dalam menetralisir pressure keluarga.
Semua responden mengatakan hal yang sama tentang

28
dukungan suami dan keluarga terhadap pekerjaan
mereka. Berikut pernyataan responden.
“keluargaku sangat mendukung. Dari pihak keluargaku atau
suamiku mendukung karena aku sebelum kenal suamiku pun dia sudah tau aku sudah kerja kan jadinya sudah taulah
jadi dia sangat mendukung. Keluarga juga sangat
mendukung..”
Pengalaman ibu RA, tidak hanya mendapat
dukungan dari keluarga inti tetapi juga dari extended
family-nya. Hal ini diceritakan ibu RA ketika ia bekerja,
extended family-nya ikut membantu dalam
memperhatikan dan mengurus anak. Berikut kutipan
ibu RA.
“Anakku ta tinggal di rumah tuh aku tetap gak khawatir
karena memang ada eyang di rumah kan gak sama
pembantu aja. Ada mbahnya, ada mbak putri, trus kakakku
rumahnya juga dekat di situ, kakak iparku, sepupu jadi ada
ada yang nemenin gitu loh..”
Mekanisme internal juga membantu responden
untuk menetralisir stres kerja yang mereka hadapi.
Semua responden mengatakan bahwa stres kerja dapat
ditekan tergantung cara menikmati dan sikap terhadap
pekerjaan itu sendiri. Berikut kutipan responden.
“Kalo lelah pasti lelah ya mbak. Tapi lama-lama akan enjoy
mbak. Kalo pressure, tiap bank pasti pressure kalo target
pasti iya cuman kalo kita jadikan beban nanti gak kerja-kerja, pusing sendiri. Enjoy aja pokoknya, santai. Memang
kerjanya begitu jadi kalo kita mikir susah trus kita mikir ke
bawah susah..”
Ibu DA mengungkapkan bahwa adanya kondisi
dan lingkungan kerja yang menyenangkan serta adanya
hubungan baik dengan rekan kerja dan juga atasan

29
dapat menekan stres kerja karena bagi ibu DA tidak
harmonisnya hubungan dengan rekan kerja dan atasan
dapat menciptakan stres dalam bekerja. Berikut
pernyataan ibu DA.
“Supaya kita gak stres kita aja buat situasi kerja itu
nyaman, sama teman-teman, sama atasan, sama bawahan
kalo bisa harus punya hubungan yang baik. Soalnya kalo
misalkan kerjaan, kalo kerjaan sih kalo ringan ya ringan tapi
kalo misalnya hubungannya sama atasan sama bawahan
kurang bagus kan bikin stres..”
Organisasi dalam menetralisir stres kerja yang
dihadapi, memfasilitasi kebutuhan pegawai selain
dengan gaji, insentif, tunjangan-tunjangan, jaminan
kesehatan dan cuti pegawai, juga menyediakan
program-program untuk menanggulangi stres kerja dan
menciptakan keakraban diantara pegawai, baik dengan
rekan kerja, atasan maupun bawahan. Kegiatan-
kegiatan tersebut sudah menjadi tradisi yang
diberlakukan untuk seluruh cabang Bank Mandiri
seperti Refreshing yaitu belanja, nonton, makan
bersama, olahraga, piknik, kerohanian dan kesenian.
Seperti yang diceritakan para responden berikut ini.
“Untuk menanggulangi stres ya kalo di cabang itu biasanya
tuh ada nonton bareng, jadi ke Solo ke Paragon atau kemana, makan-makan bareng, piknik, kadang karaokean bareng.
Kalo di Mandiri ada club-club olahraga, di sini sabtu
biasanya pada bulutangkis bareng, ada futsal, biasanya ada
Sepak bola, kerohanian juga ada, kemudian kayak nyanyi-nyanyi itu juga ada Mandiri Idol juga, lomba foto di pasar,
macam-macam di sini nanti ada hadiahnya.. ”

30
Program-program organisasi tersebut bersifat
kondisional artinya dilakukan pada kondisi tertentu.
Pekerjaan di sektor perbankan dengan tekanan kerja
yang tinggi menyebabkan terjadinya konflik pekerjaan-
keluarga yaitu waktu yang terlalu banyak tersita
dipekerjaan. Hal ini berimplikasi adanya
ketidakseimbangan waktu antara pekerjaan dan
keluarga, ketidakseimbangan keterlibatan pekerjaan
dan keluarga dan tidak seimbangnya tanggungjawab
pekerjaan dan keluarga sehingga para responden
sangat sulit membagi waktu secara seimbang antara
pekerjaan dan keluarga.
4.1.2 Dosen
Load pekerjaan di sektor pendidikan dalam hal
mengajar tidak menimbulkan kelelahan dan stres kerja
sebab telah terjadwal. Tekanan pekerjaan seperti stres
kerja dan kelelahan dirasakan responden ketika
berhadapan dengan load pekerjaan di luar mengajar
seperti terlibat dalam pengurusan re-akreditasi,
menjadi panitia atau koordinator suatu kegiatan dan
tugas keluar kota. Seperti pengalaman ibu BS dan ibu
ER berikut.
“Kalo stres karena memang terkadang saya merasa tidak bisa
membagi waktu ketika anak banyak kegiatan berbarengan
disini re-akreditasi gitu. (ibu BS)”
“Selain ngajar biasanya ada panitia-panitia gitu loh. Suruh
jadi panitia apa panitia apa, itu yang kadang membuat kita
sedikit stres, sedikit terbeban. Kalo pekerjaan rutin seperti

31
ngajar, koreksi itu gak masalah. Yang bikin stres itu administratifnya.. (ibu ER)”
Stres kerja dialami juga ketika masa-masa
penyesuaian dengan lingkungan kerja. Seeperti kasus
ibu ER dan ibu SP yang karena masa-masa
adaptasinya menjadi dosen, ia sempat mengalami
kelelahan dan berimplikasi pada tekanan fisik hingga
sempat terganggu kesehatannya. Berikut kutipan
responden.
“Dulu ya maklum aku masih dalam masa-masa adaptasi ya
[dulu saya mengalami kelelahan ketika penyesuaian awal]. Waktu itu sampe pernah kena maag. Tetapi di sisa itu sih
jarang..”
Walaupun pressure pekerjaan dan pressure
keluarga seringkali dialami oleh para responden,
dukungan dari suami dan adanya pihak ketiga seperti
jasa pembantu merupakan mekanisme untuk
menetralisir stres kerja dan kelelahan. Semua
responden mengatakan hal yang sama tentang suami
yang mendukung pekerjaan mereka. Berikut kutipan
responden.
“Kalo suami saya sudah tau dan mendukung. Sudah tau
pekerjaan saya bahkan dia membantu..”
Stres kerja dalam pekerjaan sebagai dosen dapat
dinetralisir pula dengan kehadiran rekan kerja yang
membantu responden mengatasi kesulitan-kesulitan
yang dihadapi seperti mengalami stres karena tidak
seimbangnya waktu antara pekerjaan dan keluarga
maka responden melakukan diskusi atau sharing

32
dengan rekan kerjanya. Seperti pengalaman ibu ER dan
ibu BS berikut.
“Ya untuk pekerjaan masih bisa di handle sih. Untuk
kesulitan-kesulitan masih bisa di atasi, kan banyak teman
juga untuk diskusi. Kalo misalnya ada kesulitan tentang pekerjaan ya bisa sharing sama teman..(ibu ER)”
“Kalo stres karena benar-benar stres karena memang
terkadang saya merasa tidak bisa membagi waktu ketika anak banyak kegiatan berbarengan di sini re-akreditasi gitu,
yah kalo kondisi seperti itu ya sudah, paling-paling
penyelesaiannya dengan bercerita dengan siapa seperti
itu..(ibu BS)”
Selain itu, lingkungan kerja yang menyenangkan
juga membantu responden untuk menetralisir tekanan
pekerjaan yang dialami. Semua responden mengatakan
bahwa mereka merasa nyaman dengan lingkungan
kerjanya. Berikut pernyataan responden.
“Saya merasa ini lingkungan yang menyenangkan. Dari sisi pekerjaan kadang-kadang memang stressful ya artinya
memang kadang-kadang tuntutannya tinggi, kedepannya juga akan lebih tinggi tetapi sampai dengan hari ini sih saya
masih senang, masih enjoy di sini terlebih saya punya
lingkungan kerja yang juga menyenangkan, banyak
pekerjaan tetapi lingkungan saya menyenangkan..”
Pengalaman ibu SP dan ibu BS sebagai responden
yang bukan alumni institusi pendidikan tempat mereka
bekerja, mereka merasa bahwa lingkungan pekerjaan
mereka adalah lingkungan pekerjaan yang unik
sehingga mereka merasa senang dan nyaman bekerja.
Berikut pengalaman responden.
“Bagi saya, lingkungan di sini sangat unik. Dengan
background saya yang bukan alumni sini, saya kebetulan dari negeri kan dan ya pertama saya masuk sini sih kaget. Ya di negeri itu kan kalo dosen sama mahasiswa kan harus

33
“bapak/ibu”. Tetapi ketika saya masuk pertama kali kesini sangat mengejutkan ketika saya melihat relasi mahasiswa dengan dosen itu akrab gitu loh. Akrab sampe dalam sapaan
pun tidak menggunakan “bapak/ibu” tapi “koh, cik, mbak, mas” saya rasa itu sudah relasi yang menarik. Pengalaman
pribadi saja, ketika saya baru masuk di sini sebagai orang luar ya bukan alumni sini, yang notabenenya saya juga
belum banyak bahkan tidak tau sama sekali suasana disini,
mereka welcome, mereka nyapa, mengajak kenalan, kadang
membantu saya untuk mengenal institusi ini lebih jauh. Itu yang saya rasakan dek, baik dari senior maupun dari rekan-
rekan sekerja baik..”
Pekerjaan diperusahan perbankan dengan load
pekerjaan yang tinggi dan berimplikasi terhadap
tingginya tekanan pekerjaan, para responden dengan
pengalamannya sulit untuk membagi waktu,
keterlibatan dan tanggungjawab secara seimbang
antara pekerjaan dan keluarga. Berbeda dengan kondisi
pekerjaan di sektor perbankan, pekerjaan di institusi
pendidikan seperti perguruan tinggi dengan profesi
sebagai dosen, memiliki kelenturan waktu untuk
menyeimbangkan waktu, keterlibatan dan
tanggungjawab terhadap pekerjaan dan keluarga.
Kedua kondisi kerja ini berimplikasi pada konflik
pekerjaan-keluarga dan kepuasan terhadap pekerjaan
maupun kepuasan terhadap kehidupan keluarga.
4.2 Konflik pekerjaan-keluarga
4.2.1 Bank Mandiri
Konflik pekerjaan-keluarga terjadi sebagai akibat
individu menanggung peran ganda yaitu peran dalam

34
pekerjaan dan peran dalam keluarga di mana waktu
dan perhatian sebagian besar tercurah pada satu
diantaranya (biasanya peran pada pekerjaan) sehingga
tuntutan peran lain (dalam keluarga) tidak terpenuhi
secara optimal (Susanto, 2009). Kasus konflik
pekerjaan-keluarga dalam penelitian ini menunjukkan
implikasi terhadap pengasuhan anak, kurangnya kasih
sayang terhadap anak dan kurangnya waktu bagi
keluarga. Kondisi kerja yang menyita waktu relatif lebih
banyak dipekerjaan dan kondisi suami yang juga
bekerja, para responden mempercayakan pengasuhan
anaknya selain kepada suami, juga kepada orang tua,
pembantu dan pihak sekolah. Selain itu, karena
tersitanya waktu yang lebih banyak dipekerjaan,
responden tidak memiliki waktu untuk bersosialisasi
dengan lingkungan sosialnya. Berikut kutipan
responden.
“Kalo anak-anak itu seutuhnya saya kasi ke sekolah, jadi
model sekolahnya itu kan dari pagi sampe sore. Ada
penitipan anak di sana jadi kita tidak perlu khawatir anak
itu nanti makannya gimana, nanti tidur siangnya gimana,
semua sudah di atur dari sekolah.. (ibu YL)”
“Kebetulan sama bapak ibuku tuh rumahnya gandeng jadi
anak ada pengawasan. Ada pembantu juga. Jadi gak perlu
khawatir. Cuma aku juga sering ya kasih sayang tuh gak ada
aku [kurang kasih sayang dari saya], cuman ada kakek
neneknya yang sering tiap hari. Trus suamiku juga dia kalo
libur gini kan juga di rumah full. kalo dia piket malam aku kan sudah di rumah jadi ada yang gantiin.. “Kalo arisan gitu aku gak ikut mbak. Cuman bayar arisannya yo tetap cuman
kalo menyempatkan diri arisan, duduk gitu aku gak pernah. Kalo tetangga nikahan itu mbantu yo gak, ya gak sempat ya
mbak.. (ibu RA)”

35
Ketiga responden penelitian mendapat complain -
dari anak-anak mereka karena terambilnya waktu bagi
keluarga disebabkan lembur kerja dan tersitanya waktu
libur yang merupakan waktu untuk keluarga. Berikut
kutipan responden.
“Anak kadang biasanya [anak biasanya protes]. Biasanya sabtu minggu aku lembur kan ya, dia mesti : “ ya ini kan hari
sabtu kenapa mama harus masuk? Ya aku yang gak masuk.
Kan sabtu libur jadi ya kadang dia pengen di perhatikan,
cuman kalo sabtu minggu aku keluar dia mesti protes..”
Konflik pekerjaan-keluarga ini berpengaruh
terhadap ketidakseimbangan antara kehidupan
pekerjaan-keluarga dan kepuasan responden.
Kepuasan yang dimaksudkan adalah kepuasan yang
sama terhadap pekerjaan dan keluarga, kepuasan yang
sama terhadap keterlibatan yang seimbang antara
pekerjaan dan keluarga serta kepuasan yang sama
terhadap pembagian waktu yang seimbang antara
pekerjaan dan keluarga. Ibu RA dan ibu YL merasa
belum seimbang dalam pembagian waktu dan
keterlibatan antara pekerjaan dan keluarga karena
waktu dan keterlibatan lebih banyak tersita
dipekerjaan. Berikut kutipan responden.
“Kalo seimbang sih lebih berat di pekerjaan ya mbak karena
sering ketemu pekerjaan. Kalo di keluarga kan kadang kita
sudah capek karena kalo di keluarga kita pengennya kan
datang, istirahat gitu ya. Kalo di keluarga emang aku masih
merasa agak kurang..”
Kasus ibu DA yang bekerja terpisah dari
keluarganya memiliki pengalaman sulit dalam hal

36
menyeimbangkan waktu dan keterlibatan antara
pekerjaan dan keluarga. Keluarga ibu DA berdomisili di
Jogjakarta sedangkan ibu DA bekerja di Salatiga.
Waktu dan keterlibatan dengan keluarga hanya dapat
dirasakan pada hari sabtu dan minggu, bahkan
terkadang waktu untuk keluarga tersita karena
tanggungjawab dual control. Ibu DA sedang berupaya
untuk mengurus mutasi kerjanya agar tempat kerjanya
lebih dekat dengan keluarga. Berikut pernyataan ibu
DA.
“Kalo pekerjaan dalam seminggu kalo 5 hari bekerja kan berarti untuk kerja sendiri sekitar 70% ya untuk keluarga
paling 30%. Saya rasa juga gak seimbang. Ya paling saya
pinginnya, doain aja, saya sedang ngurus pindah ke Jogja
jadi selain kerja itu malam juga masih ada waktu dengan keluarga. Saya rasa kan paling gak kan 40:60 lah kalo saya
kerja di Jogja. Kadang kalo sabtu saya di sini karena ada
tanggungjawab untuk monitoring ATM jadi kadang sabtu juga tersita. Tapi biasanya sabtu minggu saya pulang, senin sudah balik lagi kesini..”
Secara tanggungjawab, semua responden merasa
belum seimbang tanggungjawabnya antara pekerjaan
dan keluarga, belum maksimal dan belum puas
tanggungjawabnya terhadap pekerjaan maupun
keluarga disebabkan tersitanya waktu yang lebih
banyak untuk pekerjaan. Berikut pernyataan
responden.
“Kalo saya seimbang tanggungjawab mungkin belum ya. Kalo
jadi istri itu seutuhnya saya harus melayani suami bener-
bener tapi kan saya gak bisa. Kalo tanggungjawab terhadap
anak saya pun hanya setengah-setengah. Dua-duanya belum puas ya di kantor juga belum maksimal, dirumah pun belum

37
maksimal juga jadinya kalo kita mau fokus di rumah otomatis kantor harus di tinggal, kalo kita mau fokus di
kantor, rumah ya di abaikan dulu tapi kita gak bisa seperti
itu..”
Walaupun secara waktu dan intensitas
keterlibatan lebih besar dipekerjaan, responden belum
puas terhadap pekerjaannya karena merasa belum
maksimal dan harus terus menggali kinerjanya. Berikut
pernyataan responden.
“Saya belum puas ya mbak. Kita kan ada target ya.
Targetnya itu setiap bulan semakin menantang, kalo
targetnya belum tercapai ya belum puas. Kalo katakanlah
targetnya sudah tercapai tapi yang lain mencapainya lebih
dulu juga belum puas juga. Kinerja saya harus tetap di galih lagi walaupun saya merasa sudah bisa tapi tetap harus
belajar lagi mbak..”
4.2.2 Dosen
Konflik pekerjaan-keluarga pada kondisi tertentu
kerapkali terjadi pada responden yang bekerja sebagai
dosen. Konflik pekerjaan-keluarga dialami responden
ketika menangani kegiatan di luar mengajar seperti
tugas keluar kota, re-akreditas, koordinator kegiatan
dan kepanitian. Meskipun tugas-tugas ini terjadi secara
seasonal namun kegiatan-kegiatan tersebut kerapkali
menyita waktu yang relatif lebih besar dipekerjaan dan
mengakibatkan kurangnya waktu untuk keluarga.
Terganggunya waktu untuk keluarga karena urusan
pekerjaan, para responden kerapkali mendapat
komplain dari anak-anak mereka. Seperti pengalaman
ibu BS ketika waktu tersita lebih banyak dipekerjaan

38
karena menangani kegiatan pembinaan olimpiade, ia
mendapat protes dari anaknya. Ibu BS menuturkan :
“Pernah ketika pekerjaan itu banyak sekali, misalnya di IE
kami pembinaan untuk olimpiade jadi kadang ada beberapa sekolah SMA yang datang ke fakultas Ekonomi sementara saya koordinatornya. Walaupun saya gak ngajar karena saya
koordinator, kan saya harus datang lebih pagi,
mempersiapkan, memastikan nanti pengajarnya, nanti tempatnya benar ini, fasilitasnya ini, gitu kan. Nah itu kalo
sudah seperti itu terus bisa 1 bulan seperti itu. Anak saya walaupun sabtu minggu saya ajak pergi tapi kalo ketika dari senin sampe jumat saya dari pagi sampe jam 6.00 terus, dia
akan berkomentar dan dia akan protes..”
Pengalaman ibu SP yang karena membawa
pekerjaan dirumah, ia mendapat komplain dari
anaknya. Berikut yang diceritakan ibu SP.
“Waktu itu karena mengejar harus uji proposal atau apa gitu,
kebetulan waktunya sudah mepet kan ya jadi saya belum
sempat baca, saya bawa pulang ke rumah. Nah, situasinya
ketika saya membaca sambil melihat anak bermain, ternyata
anak saya protes. Dia masih kecil tetapi dia sudah. Bagi saya, ya udalah..”
Mencegah kemungkinan komplain dari anak-anak,
semua responden menyatakan bahwa mereka memilih
untuk menyelesaikan pekerjaan setelah anak mereka
tidur. Berikut pernyataan responden.
“Jadi kalo memang saya harus selesaikan [kalau memang
saya harus menyelesaikan pekerjaan] ya saya nunggu sampe
anak tidur baru saya kerja..”
Sebagai wanita yang memiliki peran ganda,
responden seringkali menghadapi tekanan tidak hanya
dari pekerjaan tetapi juga dari keluarga. Ibu SP yang
karena mengalami tekanan keluarga, ia pernah merasa

39
sulit membagi perannya dengan baik. Ibu SP
mengungkapkan :
“Waktu itu anak saya masih baby jadi saya butuh orang
ketiga istilah pembantulah untuk membantu saya. Kebetulan
cuman saya, suami, anak dan pembantu. Ketika hari itu saya sudah di jadwalkan mengajar segala macem, nah kejadiannya tuh pada hari H pembantu saya gak datang,
padahal hari itu saya harus tugas keluar kota, segala macem begitu kan, ya udah situasinya kan pembantu gak datang
gak ada yang jaga anak. Mendadak begitu ya otomatis, ya
bagi saya tuh pilihan yang agak sulit juga ya, disatu sisi ini bicara tugas dari pekerjaan, disisi yang lain ini anak gitu ya,
waktu itu ya stres..”
Para responden menuturkan bahwa mereka
seringkali berkeputusan untuk meninggalkan
profesionalitas mereka ketika diperhadapkan dengan
pilihan antara masalah keluarga dan kepentingan
pekerjaan. Kasus ibu SP dan ibu BS ketika mengalami
masalah dalam keluarga, profesionalitas kerja
seringkali ditinggalkan dan lebih mengutamakan
keluarga. Hal itu terjadi ketika kondisi dan keadaan
yang cenderung mendesak misalnya anak sakit.
Berikut kutipan responden.
“Ketika terjadi konflik artinya saya sendiri ingin profesional
dalam arti ketika bekerja saya bertanggungjawab inginnya
profesional tetapi kadang-kadang saya sebagai ibu ada
sesuatu hal yang tidak bisa saya hindari, contoh ketika anak saya sakit ya mau tidak mau profesionalisme saya kadang-
kadang bisa saya tinggalkan. Nah, jadi saya akan mengurus anak saya yang sakit, dengan konteks bahwa sakitnya si anak lagi butuh pengawasan.. ”
Konflik pekerjaan-keluarga dalam pekerjaan
sebagai dosen cenderung terjadi pada kondisi
mendesak. Terlepas hari hal tersebut, pekerjaan

40
sebagai dosen memiliki kelenturan waktu yang dapat
membantu para responden untuk menyeimbangkan
tanggungjawabnya terhadap pekerjaan dan keluarga.
Seperti kasus ibu BS dengan kelenturan waktu yang
memungkinkan, ketika menghadapi konflik pekerjaan-
keluarga ia dapat meluangkan waktunya untuk
menengok anaknya ketika sakit. Berikut pernyataan
ibu BS.
“Pernah dalam kasus saya ketua panitia untuk Economi
competition yang itu untuk seJawa, jadi saya untuk
koordinator acaranya. Baru sekali itu anak saya sakit pas saya harus acara besar, saya tidak mungkin tinggal, saya
tetap. Dia di rumah dengan ayahnya. Saya berangkat pagi,
ketika acara sudah mulai saya naik motor pulang ke rumah
untuk sekedar menengok anak saya, memastikan tidak apa-apa..”
Bagi seorang wanita, keluarga adalah aspek
terpenting sehingga sebagian pekerja wanita dalam
mencegah terjadinya konflik pekerjaan-keluarga, karir
seringkali dihindari. Seperti kasus ibu BS yang
cenderung mementingkan keluarga, ia menegaskan
bahwa dalam pekerjaannya, jabatan selalu
dihindarinya meskipun diakuinya bahwa hal ini adalah
motivasi yang “buruk”. Bagi ibu BS, ketika ia diberi
jabatan maka konsekuensinya adalah waktu akan
cenderung lebih banyak tersita untuk pekerjaan
sehingga waktu untuk keluarga akan berkurang.
Berikut pernyataan ibu BS.
“Saya cenderung tidak punya keinginan untuk punya jabatan
karena saya selalu menghindari jabatan, saya selalu bilang

41
ke kaprogdi saya, puji Tuhan baik sekali, saya bilang “ pak, saya mending di suruh apa saja tetapi jangan beri saya
jabatan, suruh koordinator ini ok tapi saya jangan di beri jabatan”. Karena kalau di beri jabatan berarti konsekuensi
saya harus menambah waktu di kantor itu lebih banyak, itu
saya gak mau..”
Terlepas dari konflik pekerjaan-keluarga yang
dialami, semua responden dengan pengalamannya
masing-masing mengatakan bahwa institusi pendidikan
tempat mereka bekerja tidak menerapkan jam kerja
yang kakuh sehingga mereka terbantu dalam
menyeimbangkan antara pekerjaan dan keluarga.
Berikut pernyataan responden.
“Pekerjaan kami sebagai dosen tidak kakuh ya. Dari segi waktu kalo tidak mengajar kan kadang kita bisa melakukan
hal yang lain ya seperti penelitian, atau kalo misalnya kita
punya keperluan di luar kampus ya kita bisa keluar sih. Kalo
di perusahan kan harus kakuh dari jam 8.00 sampe jam
4.00 gak bisa keluar gak bisa izin-izin, susahlah. Kalo di sini masih gampang..”
Dengan kelenturan waktu tersebut, para
responden terbantu untuk menyeimbangkan
kepentingan pekerjaan dan keluarga. Hal ini
berimplikasi terhadap kepuasan mereka yaitu
kepuasan terhadap waktu, keterlibatan dan
tanggungjawab yang sama antara pekerjaan dan
keluarga. Responden-responden penelitian ini
mengatakan bahwa mereka puas dengan keterlibatan,
waktu dan tanggungjawab mereka terhadap pekerjaan
dan keluarga sebab mereka dapat memenuhi peran
gandanya secara seimbang. Berikut kutipan ibu SP dan

42
ibu ER yang merasa senang dan puas dengan
pekerjaan dan keluarga mereka.
“Saya puas dengan pekerjaan dan tanggungjawab saya
dalam keluarga karena saya merasa semuanya baik-baik saja dan seimbang-seimbang saja. Memang dari sisi tuntutan
profesi memang saya masih jauh dari yang diharapkan. Tetapi kalo secara pribadi, saya sudah merasa puas, saya
merasa senang..”
Kasus ibu BS yang dapat menyeimbangkan waktu,
keterlibatan dan tanggungjawabnya terhadap pekerjaan
dan keluarga merasa senang dan puas karena dengan
keseimbangan yang terpenuhi, ia dapat meluangkan
waktu untuk mengajar anaknya dan ia merasa bangga
anaknya berprestasi. Berikut kutipan ibu BS.
“Saya rasa sejauh ini semuanya seimbang. Saya senang,
karena saya puas anak saya bisa membaca dan menulis
karena saya, anak saya tidak perlu les mata pelajaran karena saya masih bisa ngajari sendiri. Puji Tuhan, campur tangan Tuhan anak saya bisa berprestasi..”
Tingginya tekanan pekerjaan dan konflik
pekerjaan-keluarga yang berpengaruh pada kepuasan
atau ketidakpuasan terhadap waktu, keterlibatan dan
tanggungjawab pekerjaan dan keluarga ini berimplikasi
pada keinginan responden untuk tetap bekerja,
berpindah pekerjaan bahkan meninggalkan pekerjaan
mereka.

43
4.3 To stay or to leave
4.3.1 Bank Mandiri
Pada bagian sebelumnya telah digambarkan
bahwa tekanan pekerjaan di sektor perbankan berada
pada level pressure yang cenderung konstan dan
bahkan meningkat. Hal ini berimplikasi terhadap
keinginan responden untuk berpindah pekerjaan.
Mereka berpikir bahwa jika memiliki pekerjaan yang
tekanan kerjanya rendah, mereka dapat
menyeimbangkan waktu dan keterlibatan dengan
keluarga. Ibu YL yang karena kelelahan dalam
pekerjaannya, sempat berpikir untuk berpindah
pekerjaan yaitu dengan berwirausaha namun hal itu
dianggap hanya emosi sesaat ketika kelelahan. Selain
itu, gaji, insentif, tunjangan-tunjangan dan jaminan
yang diberikan organisasi menjadi alasan ibu YL tetap
bekerja diperbankan. Ibu YL berkata :
“Saya pernah [saya pernah berpikir untuk berpindah pekerjaan], saya pernah ketika saya lelah saya pengen seperti
wiraswasta. Tapi saya berpikir lagi secapek-capeknya orang pasti suatu saat kalo saya sudah menjalani pekerjaan lain
kan pasti saya capek juga. Akhirnya saya tetap memilih
disini. Itu pun kalo waktu itu saya berencana untuk
wiraswasta itu hanya emosi sesaat ya. Kita kembali
flashback lagi, disini kita kerja toh Mandiri sudah berikan semuanya, ya insentif, ya kesehatan, ya sudah benar-benar
dicover..”
Kasus ibu RA yang karena tingginya tekanan pekerjaan
dan tidak seimbangnya keterlibatan serta tanggungjawab
antara pekerjaan dan keluarga pernah berpikir untuk
berpindah pekerjaan tetapi dukungan suami, gaji atau

44
income yang menjanjikan, insentif, tunjangan-tunjangan dan
jaminan seperti pengalaman ibu RA ketika anaknya
dioperasi, keseluruhan biaya di-cover oleh organisasi serta
faktor ekonomi keluarga menjadi alasan ibu RA memilih
untuk tetap bekerja diperbankan.Ibu RA merasa organisasi
menjamin kesejahteraannya sehingga ia menjadi loyal
terhadap organisasi. Berikut pernyataan ibu RA.
“Saya pernah sih mbak berpikir untuk pindah pekerjaan tapi ta pikir kalo suamiku kan dukung aku di sini ya mbak.
Cuman kalo kita sudah terbiasa dengan gaji, kalo orang mungkin pegawai bank ya gajinya lebih banyak sebenarnya
gak juga sih tapi kalo dibanding pegawai negeri kita income
lebih ya. Wong dari segi materi lebih menjanjikan disini..”
“Kemaren kebetulan abis anakku operasi nih mbak dan 9
harian. Alhamdulillah operasi pun kita dicover semua dari
bank Mandiri biayanya. Aku sendiri dan anakku sendiri jadi
semuanya tercover. Ya makanya mungkin semakin
perusahan memperhatikan kesejahteraan kita ya, ya mungkin semakin loyal ya..”
Berbeda dengan kasus ibu YL dan ibu RA,
meskipun dengan tekanan kerja yang tinggi dan
mengalami ketidakseimbangan antara pekerjaan dan
keluarga ibu DA tidak berpikir untuk berpindah
pekerjaan karena pertimbangan income atau gaji yang
memadai, telah bekerja dalam kurun waktu yang
terpaut lama (12 tahun), faktor usia tidak
memungkinkan bagi ibu DA untuk berpindah
pekerjaan, adanya reward yang diberikan organisasi
dan adanya rasa nyaman dengan jabatan atau
posisinya dalam organisasi. Berikut pernyataan ibu DA.
“Pindah pekerjaan sih gak. Karena umur sudah gak pas dan
posisi di sini sudah lumayan jadi saya gak mungkin cari

45
pekerjaan dengan umur saya, belum tentu dapat sebaik ini. Kemudian di Mandiri itu ada reward ya. Kayak produk-produknya Mandiri itu bisa pergi ke luar negeri, bisa di
promosi, banyak. Yah mungkin itu penghargaan ya buat
semangat..”
Responden penelitian ini akan memilih untuk
berpindah atau berhenti dari pekerjaannya ketika
ekonomi keluarga sudah mapan karena mereka bekerja
untuk membantu suami memenuhi ekonomi keluarga
dan ingin memberikan pendidikan yang berkualitas
kepada anak-anak. Menurut responden, pendidikan
yang berkualitas tidaklah murah sehingga mereka juga
harus bekerja. Seperti pada kasus ibu YL yang memilih
tetap bekerja diperbankan karena ingin anak-anaknya
mendapat pendidikan terbaik. Berikut pernyataan ibu
YL.
“Mereka sadar kalo saya gak kerja toh mereka juga gak akan
dapat pendidikan yang seperti itu kan tentunya [pendidikan
yang berkualitas]. Ya sekolah negeri ya paling gak sih dengan fasilitas seadanya saya gak mau. Ya kita kan kalo memilih
sekolahan, pendidikan yang terbaik untuk anak-anak. Saya
tekankan sama mereka pendidikan memang nomor 1 jadi
kalo saya pengen pendidikan yang bagus untuk kamu saya
harus kerja..”
Selain itu, ibu RA dan ibu YL bangga bekerja di
perusahan perbankan. Mereka mnegatakan bahwa ada
kebanggaan ketika mereka menjadi contoh bagi anak-
anak dan memenuhi harapan orang tua. Bagi ibu RA
dan ibu YL, mereka bekerja di salah satu bank terbesar
di Indonesia dapat menciptakan rasa percaya diri,
prestige, dan mendapatkan penghargaan dari suami

46
dan masyarakat. Berikut pernyataan ibu RA dan ibu
YL.
“Kalo kita kerja di bank Mandiri setidaknya ada penghargaan
gitu ya entah dari suami atau masyarakat. Bangga ya mbak
kerja di bank Mandiri. Jadi kebanggaan buat keluarga juga sih, kan bapak ibu juga “ini loh anakku ta sekolahin”, jadi
kalo setiap bulan kita bantu orang tua kan bisa. Punya gaji
sendiri kan gak harus minta uang suami mau bantuin orang
tua, mungkin orang tua suami juga, saudara-saudara.
Sedikit-sedikit bisa bantu. Ada kebanggaan.. (Ibu RA)”
“Tulang rusuk kan ya kita membantu menegakkan ekonomi
keluarga. Bisa jadi contoh buat anak-anak juga. Jadi, ini loh wanita juga bisa bekerja. Ada sebuah nilai plus ya, kebanggan seperti sedikit gengsi gitu, jadi kalo katakanlah di tanya “ibumu kerja apa?” : ibuku di rumah gak kerja, beda dengan ibumu kerja di mana? : oh di Mandiri gitu kan ada
kebanggaan tersendiri buat mereka. Saya bekerja juga untuk
prestige.. (Ibu YL)”
Semua responden mengatakan bahwa stres kerja
dan kelelahan yang dirasakan setimpal dengan
kesejahteraan dan income yang diterima. Hal ini
membuat para responden memilih untuk tetap bekerja
pada organisasi perbankan. Namun, jika bekerja
dengan tekanan kerja yang tinggi tetapi tidak menerima
imbalan yang setimpal maka terbuka kemungkinan
bagi responden untuk berpindah dari pekerjaannya.
Berikut pernyataan responden.
“Mungkin kalo ya sudah gajinya sedikit, suruh kerjanya
sampe malem, cuti gak di kasi, uang cuti gak ada ya udah
[Mungkin jika gajinya sedikit dan bekerja hingga malam hari, tidak diberikan cuti dan tidak ada uang cuti maka saya akan
berpindah pekerjaan]..”
Selain itu, dukungan keluarga juga menjadi faktor
penting bagi wanita yang bekerja. Semua responden

47
mengatakan bahwa jika keluarga tidak mendukung
pekerjaan mereka, maka mereka akan lebih memilih
untuk berpindah pekerjaan. Berikut pernyataan
responden.
“Kalo keluarga tidak mendukung, saya akan keluar ya. Saya
keluar tapi saya mau istilah nego ya, ya bolehlah saya keluar
tapi dengan gaji kamu [gaji suami] apakah sudah mencukupi
semuanya? Tapi apapun yang terjadi, keluarga tetap nomor
1..”
4.3.2 Dosen
Tekanan pekerjaan yang cenderung seasonal dan
belum cukup tinggi berimplikasi terhadap terpenuhinya
keseimbangan antara kepentingan pekerjaan dan
kepentingan keluarga. Oleh sebab itu, para responden
tidak pernah berpikir untuk berpindah ataupun
meninggalkan pekerjaan. Seperti kasus ibu SP dan ibu
ER yang tidak berpikir untuk berpindah pekerjaan
selain karena lingkungan kerja yang menyenangkan
dan pada dasarnya wanita memang harus bekerja, ibu
SP dan ibu ER juga bekerja untuk membantu suami
secara perekonomian, bekerja karena pelayanan dan
menjadi contoh bagi anak-anaknya. Bagi ibu SP dan
ibu ER, pekerjaan bukan hanya masalah uang tetapi
masalah eksistensi diri. Berikut kutipan responden.
“Sejauh ini belum terpikir ya [belum berpikir berpindah pekerjaan]. Ya saya prioritas pertama memang untuk
membantu suami ya secara perekonomian. Selain itu,
Pekerjaan bagi saya sebenarnya bukan hanya masalah uang, itu juga masalah eksistensi diri ya. Misalkan contoh, saya
sudah sekolah tinggi gitu kan, kalo tidak bekerja saya mau
buat apa? Dan kalo ada orang bilang ini contoh untuk anak-

48
anak ya saya sendiri juga sependapat sebenarnya, paling tidak terlebih kan saya di dunia pendidikan seperti ini kan
anak-anak saya sih harapannya kedepan mudah-mudahan
dia bisa mencontoh ya bahwa belajar juga penting..”
Berbeda dengan kasus ibu SP dan ibu ER, ibu BS
pernah berpikir untuk berpindah pekerjaan. Namun,
keinginan berpindah pekerjaan ini bukan karena
tekanan pekerjaan tetapi karena ibu BS bekerja
terpisah dari suaminya. Pengertian dan dukungan
suamilah yang membuat ibu BS bertahan dalam
pekerjaannya. Berikut kasus ibu BS.
“Dulu waktu saya punya anak baby saya pernah berpikir
mau keluar Karena waktu itu saya pernah mengalami suami
saya kan kerja di Salatiga kan baru 3 tahun ini, Waktu itu
suami saya tidak ada di sini dia di Jogja. saya sempat
bergumul. Saya lebih baik keluar dari sini karena suami saya
di Jogja. Akhirnya suami saya yang memutuskan keluar dan
bekerja di Salatiga. Saya merasa bahwa ini memang yang
Tuhan tempatkan untuk saya..”
Dukungan pasangan hidup (suami) menjadi faktor
terpenting pegawai wanita tetap bertahan dalam
pekerjaannya. Responden mengakui bahwa jika
keluarga (suami) tidak mendukung maka mereka lebih
memilih untuk mengutamakan keluarga dan
meninggalkan pekerjaan, tetapi kondisi seperti ini
membutuhkan banyak syarat. Seperti pernyataan ibu
SP berikut.
“Kalo situasinya misalkan terpaksa misalkan suami saya
tetap tidak mendukung, kemudian juga situasi keluarga saya sudah “ok”, secara ekonomi sudah “ok”, ya sebenarnya sih
bagi saya tidak masalah kalo saya harus melepaskan
pekerjaan tetapi situasi seperti itu pasti membutuhkan banyak syarat..”

49
Seperti yang sudah diungkapkan pada bagian
sebelumnya, pekerjaan di sektor perbankan dengan
tingginya load pekerjaan berimplikasi pada tekanan
kerja yang dialami pegawai, baik tekanan secara
psikologis maupun tekanan. Potensi tingginya tekanan
pekerjaan diperusahan perbankan ini kemudian
mengakibatkan terjadinya konflik pekerjaan-keluarga
dan ketidakpuasan terhadap keseimbangan antara
pekerjaan dan kepentingan keluarga.
Selanjutnya, effect konflik pekerjaan-keluarga
terhadap ketidakpuasan ini berimplikasi pada
keinginan pegawai untuk berpindah atau bahkan
memilih untuk meninggalkan pekerjaannya. Berbeda
dengan di sektor perbankan, pekerjaan di institusi
pendidikan sebagai dosen memiliki potensi kelenturan
waktu yang memungkinkan para pegawai terbantu
untuk menyeimbangkan kepentingan pekerjaan dan
kepentingan keluarga. Load pekerjaan dalam hal
mengajar tidak menimbulkan tekanan baik secara
psikologis maupun secara fisik karena telah terjadwal.
Tekanan pekerjaan yang stressful dialami ketika
menjalankan pekerjaan di luar mengajar dan dalam
beberapa kasus tekanan pekerjaan yang stressful ini
berimplikasi pada gangguan kesehatan. Kondisi
pekerjaan dosen dengan potensi tekanan pekerjaan
yang seasonal dan memiliki kelenturan waktu,

50
menghasilkan kepuasan yang sama terhadap pekerjaan
dan keluarga. Kepuasan terhadap pekerjaan dan
keluarga ini kemudian berimplikasi pada keinginan
pegawai untuk tetap bertahan dan tidak berpikir untuk
berpindah pekerjaan.
Kondisi pekerjaan dengan pressure yang tinggi
sebenarnya berpotensi bagi organisasi untuk
memberikan intervensi untuk menekan pressure
pekerjaan agar pressure kerja tersebut telatif
berkurang. Intervensi ini dapat membantu pekerja
dalam memenuhi tuntutan pekerjaan dan tuntutan
keluarga secara seimbang khususnya bagi pekerja
wanita yang memiliki peran ganda. Intervensi yang
dibutuhkan adalah kebijakan organisasi untuk
menerapkan flexible working. Dunia kerja seperti
didunia barat telah menerapkan flexible working bagi
pekerjanya untuk memfasilitasi pekerjanya
menyeimbangkan kepentingan pekerjaan dan
kepentingan keluarga, menekan angka turnover,
meningkatkan kepuasan kerja, meningkatkan
produktivitas dan mempertahankan sumber daya
manusia yang berkualitas. Namun, berbeda dengan
dunia kerja di Indonesia. Meskipun dengan tekanan
kerja yang tinggi seperti diperusahan perbankan dan
kelenturan waktu yang memadai untuk
menyeimbangkan kepentingan pekerjaan dan keluarga

51
seperti di institusi pendidikan khususnya perguruan
tinggi, organisasi tidak memfasilitasi pekerjanya dengan
flexible working.
4.4 Mengapa organisasi tidak menerapkan
flexible working?
Temuan-temuan penelitian ini menunjukkan
bahwa pekerjaan di sektor perbankan merupakan
memiliki pressure yang tinggi karena tingginya load
pekerjaan dan ekspektasi mengejar target perusahan
dan memenuhi ekspektasi konsumen. Tingginya
tekanan pekerjaan di sektor perbankan berimplikasi
terhadap ketegangan psikologis dan ketegangan fisik
yaitu kelelahan, stres kerja dan bahkan gangguan
kesehatan. Meskipun dengan kondisi kerja yang
demikian stressful, organisasi tidak menerapkan
flexible working sebagai kebijakan untuk membantu
pekerja wanita menyeimbangkan kehidupan pekerjaan
dan kehidupan keluarga. Flexible working hanya
sempat menjadi wacana yaitu penerapan flexitime tetapi
hanya mencakup posisi back office karena pekerjaan
back office dinilai bisa fleksibel dibanding dengan posisi
kerja yang lain. Keterangan dari semua responden,
posisi kerja di perbankan yang bisa fleksibel adalah
bagian marketing karena bagian marketing selalu

52
bekerja di luar kantor untuk mencari nasabah dan
memenuhi target. Berikut pernyataan responden.
“Untuk saat ini bank tidak bisa ya fleksibel kecuali kalo
marketing ya. Marketing kalo dipegawai kami kan ada
pegawai tetap ada yang outsourching. Outsourching itu biasanya dia menangani untuk produk-produk pihak ketiga
kayak dia sales kartu kredit kemudian kredit-kredit mikro,
itu kan masuk keluar masuk dan itu mereka bisa lebih
fleksibel karena mereka yang ditargetkan yang penting tercapai. Kalo mereka sih masih bisa fleksibel untuk
marketing tapi kalo yang lain susah mbak..”
Berdasarkan temuan-temuan penelitian ini bahwa
tidak diterapkannya flexible working untuk pekerjaan di
sektor perbankan didasarkan pada pertimbangan-
pertimbangan kebutuhan, peraturan jam kerja, bidang
pekerjaan sektor perbankan, dukungan organisasi dan
konsekuensi dari penerapan fleksibilitas itu sendiri
baik terhadap pegawai, nasabah, instansi-instansi
maupun konsekuensi terhadap sektor ekonomi. Seperti
ibu YL dan ibu RA yang mengungkapkan bahwa
pekerjaan di sektor perbankan belum cocok untuk
diterapkannya flexible working. Berikut pernyataan
responden.
“Gak cocok kayaknya ya mbak untuk bank. Karena kalo kita
kerja part time misalnya ya, pagi nih kita istirahat nanti sore
kita sampe malam kerja. Jadi gak cocok..(ibu YL)”
“Kayaknya belum cocok ya. Nanti kalo ada yang ganti bingung nanti anak buahnya. Terus saya complain ke teman-teman mungkin akan susah ya. Pimpinannya kan saya jadi kalo demikian ngontrolnya akan susah. Mengkoordinasi
mereka agak susah ya.. (ibu RA)”
Selanjutnya ibu RA menyatakan bahwa sektor
perbankan tidak menerapkan flexible working karena belum

53
adanya peraturan dari kantor pusat untuk serempak
menerapkan rancangan pekerjaan yang fleksibel. Menurut
ibu RA, rancangan pekerjaan yang fleksibel dapat diterapkan
sektor perbankan jika pemberlakuannya dilakukan secara
serempak. Selanjutnya, ibu RA menyatakan bahwa tidak
diterapkannya flexible working di sektor perbankan karena
bank berhubungan dengan instansi yang lain, karena
pelayanan dan tuntutan masyarakat dan berpengaruh
terhadap sektor ekonomi. Berikut pernyataan ibu RA.
“Karena memang dari kantor pusat memang belum ada
kayak flexible time gitu-gitu gak ada ya. Kecuali kalo semua
serempak mungkin bisa ya mbak. Terus karena memang ya
langsung dengan nasabah, keinginan nasabah itu, misalkan
untuk beli bensin beli solar itu kan ada pembayarannya bank
Mandiri. Kalo misalkan itu sampe malem, itu kan langsung nembusnya ke pertamina tuh sistemnya, kan gak mungkin
pertamina kerja malem-malem juga kan makanya karena juga berhubungan dengan instansi yang lain karena orang butuh kita dan mereka butuhnya juga untuk ke tempat lain.
Makanya karena memang tuntutan juga dari masyarakat
kan. Terus juga pengaruhnya ke sektor ekonomi itu pasti
ya..”
Lebih lanjut ibu RA menyatakan sektor perbankan
tidak menerapkan flexible working karena harus
melihat dari sisi kebutuhan masyarakat. Selain itu,
perbankan tidak menerapkan flexible working karena
penyesuaian terhadap mobilitas uang di masyarakat.
Bank Mandiri sebagai salah satu bank terbesar di
Indonesia bahkan membuka layanan Mandiri weekend
di wilayah-wilayah tertentu karena adanya mobilitas
uang di masyarakat. Berikut pernyataan ibu RA.

54
“Kalo di Mandiri kan ada weekend Mandiri juga tapi gak semua cabang. Kalo di Solo biasanya di Slamet Riyadi kalo di
Semarang biasanya di Pahlawan kalo gak salah ya. Jadi
karena di Solo itu ada pasar Klewer, yah di situ kan ada
mobilitas uang itu kan jadi setiap hari pasti ada uang masuk
makanya sabtu itu Mandiri weekend Solo dibuka tapi kalo
disini belum karena gak se-rame di Solo..”
Ibu DA menyatakan bahwa sektor perbankan tidak
menerapkan flexible working karena bank Mandiri
bekerja dengan sistem, berhadapan langsung dengan
nasabah, tergantung bidang pekerjaan dan perbankan
mengikuti jam kerja di Indonesia pada umumnya.
Selain itu, ibu DA menyatakan bahwa untuk
menerapkan flexible working perlu mempertimbangkan
konsekuensi dari fleksibilitas itu sendiri. Berikut
pernyataan ibu DA.
“Tidak bisa ya mbak karena kita berhadapan langsung
dengan nasabah dan bekerja dengan sistem. Terus karena ini sudah bidangnya ya mbak. Ada kantor yang bisa tapi kalo di Mandiri gak mungkin ya karena resikonya juga gak baik bagi
nasabah dan karyawan, resikonya agak banyak..”
“Terus kalo mau fleksibel itu kita liat bidang jasanya apa dulu. Kalo yang di perbankan, di liat jabatannya juga sih, di liat posisinya juga. Kalo saya di frontliner kan gak mungkin.
Trus juga kan juga memang sudah ada patokan kalo di
perbankan kan dari jam 8.00 sampe jam 5.00 sore.
Kemudian karena kebanyakan untuk jam kerja di Indonesia disamakan ya jadi ada hubungannya dengan jam kerja yang
berlaku di Indonesia..”
Selain itu, semua responden mengatakan bahwa
sektor perbankan tidak menerapkan flexible working
karena sektor jam kerja perbankan berkaitan dengan
ketentuan jam kerja Bank Indonesia sebagai bank
perantara. Berikut pernyataan responden.

55
“Kita patokannya kan di jam kerja. Sudah ada aturannya dari jam berapa sampe jam berapa. Kalo kita mau bikin
aturan sendiri kan malah gak lazim karena bank Indonesia
kan juga bukanya sama, jam terbangnya sama. Jam kerjanya
dari jam 8.00, ada yang buka sampe jam 4.00 sore. Karena
kalo kita kirim, kita transfer-transfer kan perantaranya
mereka. Misalnya dari Mandiri transfer ke BCA itu kan lewat dulu BI baru di transfer ke BCA-nya. Nah, kalo misalkan kalo
pihak ketiga ini kita kerjanya malam sementara BI-nya
kerjanya siang kan gak mungkin bisa jalan..”
Ibu YL menyatakan bahwa menerapkan flexible
working di sektor perbankan perlu mempertimbangkan
nasabah karena menerapkan flexible working misalnya
compress week maka akan merugikan nasabah dan
tidak manusiawi bagi karyawan. Selain itu, ibu YL
menyatakan bahwa perbankan tidak fleksibel karena
sudah merupakan konsekuensi. Berikut pernyataan
ibu YL.
“Kalo seperti itu tidak manusiawi [kalau compress week]. Menurutku tidak manusiawi, karena kita akan sangat
kelelahan ya. Dan juga akan merugikan nasabah karena
misalnya yang wiraswata itu kan perputaran uangnya kan
terjadi setiap hari jadi kalo kita tutupnya terlalu lama kasian mereka juga gitu. Jadi harus menyesuaikan dengan mobilitas
dimasyarakat ya. Kalo Mandiri tidak fleksibel karena
memang itu udah konsekuensinya mbak..”
Berbeda dengan sektor perbankan, pekerjaan
sebagai dosen memiliki kelenturan waktu yang
memungkinkan untuk menyeimbangkan antara
kehidupan pekerjaan dan kehidupan keluarga. Semua
responden mengatakan bahwa tugas-tugas di luar
mengajar adalah fleksibel sehingga memungkinkan bagi
mereka untuk menyeimbangkan kepentingan pekerjaan
dan kepentingan keluarga. Tugas-tugas di luar

56
mengajar yang fleksibel menurut responden yaitu
mengoreksi tugas mahasiswa, menyiapkan bahan
mengajar, membaca skripsi ketika menjadi penguji,
melakukan penelitian, dan pengabdian masyarakat
yang bisa diselesaikan atau dilakukan tidak hanya di
kantor tetapi dapat dikerjakan dirumah dengan waktu
yang fleksibel. Berikut pernyataan responden.
“Hal dalam pendidikan yang fleksibel itu yang di luar ngajar kan fleksibel. Contoh, misalkan ketika saya mengoreksi, nah itu kan memang tidak harus, yang pasti kan batas akhir nilai
masuk ya saya tidak terlambat gitu aja. Kemudian yang
kedua yang sedikit fleksibel bagi saya adalah ketika jam
konsultasi atau bimbingan mahasiswa, baik untuk skripsi, proposal dan lain segala macam, pengabdian masyarakat
dan penelitian bisa fleksibel..”
Namun, berbicara masalah pengajaran merupakan
pekerjaan yang tidak fleksibel karena sudah terjadwal
dan harus dijalankan secara bertanggungjawab.
Meskipun dalam kondisi tertentu sebagai pengajar atau
dosen berhalangan untuk memenuhi kewajibannya
dalam mengajar karena kendala tertentu, namun hal
itu terjadi karena situasional seperti harus memenuhi
tugas keluar kota dan ketika anggota keluarga sakit.
Selain karena sudah terjadwal, masalah pengajaran
tidak bisa fleksibel karena dapat merugikan baik pihak
mahasiswa maupun kesulitan mencari waktu dan kelas
pengganti. Berikut pernyataan para responden.
“Kalo untuk pengajaran, bicara tatap muka kita tidak bisa
hindari jadi itu kan hukumnya istilahnya wajib, jamnya,
jadwalnya sudah di tentukan jadi yang itu jelas tidak fleksibel, gak bisa “seenak gue” gitu misalnya gitu pindah

57
hari jam itu gak bisa. Saya pernah kosong mendadak karena
anak saya sakit, saya mengakui itu ataupun saya pribadi
pernah sakit, ataupun ada dapat tugas keluar kota. Tapi itu karena situasi ya dek..”
Meskipun memiliki kelenturan waktu namun
pekerjaan di sektor pendidikan tidak menerapkan
flexible working. Menurut ibu ER organisasi tidak
menerapkan flexible working karena pekerjaan sebagai
dosen merupakan pekerjaan yang sudah fleksibel.
Lebih lanjut ibu ER menyatakan bahwa secara legasi
rancangan jam kerja mengikuti legasi universitas
meskipun pada prakteknya dapat lebih fleksibel dan
untuk menerapkan fleksibilitas perlu
mempertimbangkan konsekuensi sikap individu
terhadap pekerjaannya. Berikut pernyataan ibu ER.
“Selama ini kita juga menurut saya fleksibel ya. Secara
aturan kan kita harus tunduk pada universitas ya.
Universitas kan jam kerjanya jam 8.00 sampai jam 4.00. Jadi
secara legasi kita harus tetap ikut aturan universitas
walaupun nanti secara praktek kita bisa lebih fleksibel. Kan
jam kerja tuh kan harus ikut itu kan, walaupun prakteknya juga fleksibel asalkan pekerjaan kita beres. Tapi sebenarnya
tergantung individunya juga sih kalo individunya memang
kerjaannya beres menurut saya bisa tapi kalo kembali lagi ke
individu kalo dia gak beres nanti kalo di fleksibelkan seperti
itu tambah gak beres..”
Para responden menyatakan bahwa pekerjaan di
institusi pendidikan seperti dosen sudah tergolong
fleksibel dan didukung oleh atasan dan organisasi.
Semua responden menyatakan bahwa pekerjaan
sebagai dosen bukan merupakan pekerjaan yang
fleksibel karena organisasi tidak mengatur secara

58
kakuh pekerjaan dosen yang terpenting adalah
menjalankan tanggungjawab dengan baik. Berikut
kutipan responden.
“Sebenarnya kalo saya merasa lembaga ini menerapkan itu
karena ketika raker ada yang mengusulkan kita harus
presensi pegawai seperti finger nail, pak Rektor sendiri
mengatakan “mau? kalian mau seperti itu? gak kan?”. Jadi sebenarnya kan secara kelembagaan sendiri juga menyadari
bahwa yang penting kan tanggungjawab kita pengajaran
jalan. Pimpinan kami sebenarnya dari dulu sudah mengatakan “kita fleksibel yang jelas asal jangan sampai
mengganggu proses PBM dan tugas di luar ngajar itu juga
selesai sesuai deadline. Bicara koreksi, mau di kantor mau di
rumah, kantor tidak pernah mempermasalahkan yang
penting tanggungjawab selesai..”
Ibu SP menyatakan bahwa untuk fleksibilitas
perlu mempertimbangkan jenis pekerjaan sebab
menurut ibu SP, ada pekerjaan yang bisa diselesaikan
di mana saja dan ada juga pekerjaan yang seharusnya
diselesaikan ditempat kerja misalnya pekerjaan dengan
sistem internal. Berikut pernyataan ibu SP.
“Memang sebagian besar pekerjaan ada yang bisa saya
lakukan di manapun saya bisa melakukannya tetapi ada
juga pekerjaan yang saya tidak bisa lakukan di manapun. Artinya saya harus tetap di situ. Nah itu kalo kita bicara soal
sistem internal dek. Kan kalo kita bicara keuangan di dana
pensiun misalkan, atau keuangan di UKSW, itu kan jaringan
internet tetapi intranet di sini jadi kalo mo mengurus hal-hal
itu ya harus disini, gak bisa di tempat yang lain. Dan ini
bukan bicara fleksibel tidak fleksibel, tapi ini bicara
kerahasiaan data yang memang tidak bisa sembarang orang tau..”
Ibu SP juga menyatakan bahwa pekerjaan sebagai
dosen bukan pekerjaan yang kakuh sebab dosen dalam
proses belajar dan mengajar seringkali berlangsung

59
lebih pagi dan juga pada malam hari. Berikut
pernyataan ibu SP.
“Kami sebagai dosen, kami tidak bisa kakuh, kenapa?
Karena ada jam mengajar dimulai jam 7.00 pagi artinya kami bisa 1 jam lebih cepat bahkan kami bisa mengajar sampe malam. Nah, jadi kadang-kadang realisasinya bisa
lebih dari itu tetapi juga bisa kurang dari itu. Bahkan kalo
bicara jam kerja di UKSW juga setau saya gak kakuh-kakuh amat karena kan bicara jadwal kuliah sangat fleksibel juga..”
Fleksibilitas pada pekerjaan dosen ini pada
dasarnya adalah mengikuti bentuk atau model kerja
standar yaitu pekerjaan dosen mengikuti jadwal dalam
mengajar dan para responden menyatakan bahwa
kegiatan-kegiatan dan tugas-tugas di luar mengajar
adalah fleksibel. Sifat pekerjaan ini memungkinkan
pekerjaan sebagai dosen bisa dilakukan secara
fleksibel.
4.5 Pembahasan
Realitas yang dihadapi responden yaitu tingginya
load pekerjaan yang berimplikasi terhadap ketegangan
secara psikologis maupun kelelahan fisik. Kondisi kerja
yang stressful ini dapat mengganggu kestabilan emosi
hingga mengganggu kesehatan dan seringkali terbawa
hingga ke kehidupan keluarga. Meskipun pressure
pekerjaan mengintervensi kehidupan keluarga namun
coping keluarga terhadap pressure tersebut dapat
membantu responden untuk mengatasi stres kerjanya.
Jika coping mekanisme tidak sanggup menanggung

60
beban maka mengakibatkan stres kerja. Stres kerja ini
berdampak pada under-performance karyawan terhadap
pekerjaannya dan berpotensi bagi karyawan
berkeputusan untuk stay atau leave terhadap
pekerjaannya. Jika kondisi stres terus menerus
meningkat dan kemudian karyawan berkeputusan
untuk meninggalkan pekerjaannnya, maka hal ini
dapat menjadi persoalan dan kerugian bagi organisasi
seperti biaya yang harus ditanggung dan waktu yang
dihabiskan untuk melakukan rekrutmen, seleksi dan
training untuk mendapatkan karyawan yang
berkualitas.
Tingginya load pekerjaan yang berinteraksi
dengan beban rumah tangga yaitu jika beban pekerjaan
memberi pressure terhadap beban rumah tangga dalam
artian urusan pekerjaan mencampuri urusan keluarga
atau sebaliknya beban rumah tangga memberi pressure
terhadap beban pekerjaan mengakibatkan terjadinya
konflik pekerjaan-keluarga. Konflik pekerjaan-keluarga
berpengaruh terhadap kepuasan terhadap waktu,
keterlibatan dan tanggungjawab pekerjaan-keluarga
dan dapat menyebabkan stres kerja yang kemudian
berimplikasi terhadap keinginan responden untuk tetap
bekerja, berpindah atau meninggalkan pekerjaan.
Kondisi kerja seperti yang telah diungkapkan
seharusnya telah menunjukkan signaling terhadap

61
organisasi untuk mengintervensi desain pekerjaan
secara lebih fleksibel untuk memenuhi work life
balance karyawan, menurunkan stres kerja,
menurunkan konflik pekerjaan-keluarga dan
meningkatkan performance karyawan. Namun, dalam
penelitian ini ditemukan bahwa meskipun kondisi kerja
dengan workload yang tinggi dan stressful, adanya
work-family conflict serta adanya keinginan responden
untuk berpindah pekerjaan, organisasi tidak
memberikan intervensi atau adopsi flexible working.
Tidak diterapkannya flexible working disebabkan faktor-
faktor hambatan yaitu regulasi, type/nature of work,
belum adanya dukungan manajerial dan organisasi
serta pertimbangan effect atau konsekuensi dari
penerapan flexible working itu sendiri. Jika regulasi dan
nature of work berubah, adanya dukungan manajerial
dan organisasi maka kemungkinan untuk intervensi
rancangan pekerjaan yang lebih fleksibel akan semakin
terbuka. Berikut model yang dihasilkan sebagai dasar
perusahan atau organisasi tidak menerapkan flexible
working.

62
Ya Tidak
Gambar 1 Model hasil penelitian
Gambar 1 menunjukkan bahwa terdapat 4
(empat) faktor sebagai alasan perusahan atau
organisasi tidak menerapkan flexible working. Faktor
pertama, adanya regulasi yang mengatur mekanisme
kerja suatu organisasi seperti pekerjaan yang berbasis
sistem dan adanya aturan jam kerja. Flexible working
dapat memberikan effect positif terhadap produktivitas
karyawan jika didukung oleh regulasi organisasi (Al-
WLB
WFC
Coping
Beban kerja
Beban rumah tangga
Ya
Stres kerja,
Kelelahan.
ketegangan
Performance
Flexible
working
Intent to
stay/to leave
Constraints
Effect/Consequences Managerial/
Organizational support Regulation Type/ Nature of work

63
Rajudi, 2012). Hal ini menunjukkan adanya indikasi
dari pekerja yang membutuhkan eksistensi suatu
kebijakan dan hukum untuk mendukung rancangan
suatu pekerjaan yang fleksibel (Al-Rajudi, 2012).
Organisasi sebaiknya tidak hanya memenuhi tuntutan
teknis dalam organisasi tetapi juga harus merespon
tekanan yang berbeda-beda dari beberapa lembaga dan
memenuhi tuntutan dalam bentuk peraturan, norma,
hukum, dan harapan sosial (Triaryati, 2003). Hal ini
menunjukkan bahwa bilamana regulasi diubah dan
tidak menghambat maka kemungkinan perusahan-
perusahan akan lebih terbuka mengadopsi flexible
working karena pressure aktual bahkan kemunginan
akan semakin meningkat.
Seperti yang terjadi di negara-negara barat bahwa
organisasi menawarkan praktik work life balance
karena mereka menyadari manfaat yang dapat
dirasakan terlepas dari apakah karyawan
memanfaatkan praktek tersebut atau tidak; Hal ini
adalah relevansi khusus bagi konteks dan tidak
ditandai dengan regulasi yang memberatkan
(Beauregard dan Henry, 2009). Misalnya, undang-
undang Inggris menetapkan bahwa karyawan yang
memiliki tanggungjawab pengasuhan anak atau
tanggungan orang tua, memiliki hak untuk meminta
jadwal kerja yang fleksibel dan organisasi berkewajiban

64
untuk mempertimbangkan permintaan tersebut secara
serius (DTI, 2007 dalam Beauregard dan Henry, 2009 ).
Di Eropa dan Jepang, kebijakan publik mendukung
jam kerja yang fleksibel, paid parental leave, dan jam
kerja mingguan yang lebih pendek dalam upaya untuk
meningkatkan partisipasi wanita dalam angkatan kerja
(Appelbaum et al., 2006). Sebagai perbandingan,
negara-negara seperti Amerika Serikat, Australia, dan
Kanada mempercayakan inisiatif penerapan kebijakan
terhadap pemilik perusahan untuk menerapkan
praktik-praktik kehidupan kerja.
Faktor kedua, untuk menerapkan rancangan
pekerjaan yang fleksibel perlu menelusuri bidang atau
jenis pekerjaan dan nature pekerjaan sebagai sifat-sifat
dari sebuah pekerjaan dalam suatu organisasi. Sebab,
kondisi kerja dan sifat-sifat suatu bidang atau jenis
pekerjaan memiliki tekanan pekerjaan yang berbeda,
artinya terdapat variasi kebutuhan dan kepentingan
dari suatu bidang atau jenis pekerjaan. Suksesnya
penerapan flexible work arrangements dikontrol oleh
rancangan pekerjaan yang digunakan secara aktual,
jenis industri, budaya yang telah diimplementasikan
dalam pekerjaan dan relative flexibility terhadap praktik
pekerjaan itu sendiri (Al-Rajudi, 2012). Hal ini
menunjukkan bahwa perlu adanya kesesuaian antara
penerapan flexible working dengan type/nature of work

65
dalam organisasi. Seperti pernyataan Kossek dan Lee
(2008) yaitu pengaturan flexible working perlu
disesuaikan dengan jenis pekerjaan tertentu dan
kebutuhan.
Nature of work akan cenderung sama. Nature of
work yang dimaksud adalah nature dalam konteks
lingkungan pekerjaan. Karakteristik pekerjaan akan
berubah dengan adanya intervensi teknologi sehingga
pekerjaan dapat dilakukan tidak hanya secara fisikal
ditempat kerja tetapi memungkinkan dilakukan dari
jarak yang jauh. Jika teknologi berubah dan mengubah
nature of work maka kemungkinan adopsi rancangan
pekerjaan secara lebih fleksibel dapat diterapkan.
Faktor ketiga, penerapan rancangan pekerjaan
yang fleksibel membutuhkan dukungan dari pihak
manajerial maupun organisasi. Jika manajer dan
organisasi mendukung maka penerapan intervensi
flexible working akan semakin terbuka. Duxbury dan
Haines (1991) menyebutkan bahwa manajer dan
supervisor menjadi kunci dalam mengimplementasikan
strategi rancangan pekerjaan yang lebih fleksibel. Jika
manajer ingin mempertahankan karyawan yang
berkualitas maka pihak manajer perlu mengurangi
pekerjaan yang stressful dan menyediakan kebijakan
yang ramah (Sahzad et al., 2011). Kebijakan tersebut
berupa flexible work hours, timetable dan menyatu

66
dalam pengambilan keputusan terhadap penerapan
work life policies (Ongori (2007). Jika organisasi
mendukung implementasi program desain pekerjaan
secara lebih fleksibel dan work life policies, maka hal ini
dapat menurunkan terjadinya turnover sebab praktik-
praktik work life balance dapat membantu organisasi
menarik karyawan baru dan memperbaiki sikap dan
perilaku karyawan terhadap organisasi (Beauregard
dan Henry, 2009). Sebaliknya, ketidakmampuan
organisasi atau perusahan untuk mengadaptasi
kebijakan yang diperlukan karyawannya dapat
mengakibatkan konflik pekerjaan-keluarga, stres kerja
dan ketidakpuasan, yang kemudian melatarbelakangi
keputusan karyawan untuk meninggalkan
pekerjaannya (Triaryati, 2003). Hal ini menunjukkan
bahwa manajer dan supervisor perlu menyadari
pentingnya kebijakan yang ramah terhadap suatu
bisnis atau pekerjaan yaitu peran flexible work
arrangements sebagai alat untuk menarik dan
mempertahankan karyawan yang valuable (Al-Rajudi,
2012).
Faktor keempat, dalam menerapkan flexible
working perlu mempertimbangkan dampak dan
konsekuensi baik terhadap organisasi, pekerja maupun
terhadap konsumen. Al-Rajudi (2012) menyatakan
bahwa sangat penting untuk memikirkan secara

67
holistik dampak dari flexible work arrangements
ditempat kerja. Riset-riset menunjukkan penerapan
flexible working memberikan effect dan konsekuensi
positif baik bagi organisasi maupun bagi karyawan.
Bagi organisasi, penerapan flexible working dapat
meningkatkan kepuasan kerja karyawan (Baltes et al.,
1999; Beham et al., 2012; Hilbrect et al., 2008)),
meningkatkan komitmen terhadap organisasi (Glass
dan Finley, 2002), Mengurangi ketidakhadiran dan
turnover (Hyland, 2000) dan meningkatkan
produktivitas karyawan (Al-Rajudi, 2012; Pierce &
Newstrom, 1989). Bagi karyawan, penerapan flexible
working dapat mengurangi stres kerja (Almer & Kaplan,
2002; Schaefer, 2005), meningkatkan energi, kreativitas
dan mengurangi burnout (Schaefer, 2005), karyawan
berpersepsi bahwa flexible working membuat mereka
“bahagia” dan menentukan sikap dan perilaku yang
menghubungkan kebahagiaan, perilaku discretionary
dan meningkatkan performance outcomes (Atkinson &
Hall, 2011) serta mencapai pemenuhan work life
balance dan mengurangi terjadinya konflik pekerjaan-
keluarga (Beham et al., 2012; Hayman, 2009).
Berbeda dengan riset-riset tersebut, temuan
dalam penelitian ini para responden cenderung
mengutarakan kekhawatiran mereka terhadap effect
atau konsekuensi negatif penerapan flexible working

68
baik terhadap organisasi, karyawan maupun
konsumen. Kekhawatiran responden terhadap effect
atau konsekuensi negatif penerapan flexible working
dapat disebabkan karena kurangnya pemahaman
mereka tentang konsep-konsep flexible working sebab
flexible working cenderung masih merupakan hal baru
bagi responden dan bahkan bagi organisasi. Karena
kurangnya pemahaman tentang flexible working,
responden belum memandang flexible working sebagai
kebutuhan dan solusi. Padahal penelitian (Al-Rajudi,
2012) menunjukkan bahwa employees support
berpengaruh terhadap penerapan fleksibilitas. Sebab,
dalam perancangan dan penentuan kebijakan
karyawan diikutsertakan sehingga kebijakan yang
diadaptasi sesuai dengan kebutuhan karyawan
(Triaryati, 2003).
Temuan-temuan penelitian ini menunjukkan
bahwa flexible working tidak menjadi solusi untuk
memenuhi work life balance karyawan karena adanya
faktor-faktor hambatan seperti yang telah dijelaskan
pada bagian sebelumnya. Hal ini mengindikasikan
bahwa workload yang tinggi, stres kerja, kelelahan dan
konflik pekerjaan-keluarga merupakan fenomena yang
akan terus terjadi. Coping terhadap beban rumah
tangga merupakan mekanisme individual untuk dealing
dengan pressure pekerjaan. Artinya, adanya coping

69
beban rumah tangga ini membantu karyawan untuk
menetralisir tekanan kerja akibat tingginya load
pekerjaan. Hal ini mungkin sulit berlaku dalam
budaya sosial didunia barat yang cenderung
individualis. Namun, budaya sosial (social cultural) di
masyarakat Asia yang cenderung kolektif atau oriented
family memungkinkan untuk adanya coping terhadap
beban rumah tangga. Hal ini ditunjukkan seperti
adanya keluarga inti dan extended family yang
membantu karyawan menangani urusan keluarga,
serta lingkungan sosial ditempat kerja yang dapat
menetralisir stres kerja karyawan melalui hubungan
yang harmonis.
Di kota-kota besar coping terhadap beban rumah
tangga semakin sulit terjadi pada pekerja-pekerja yang
jauh dari lingkungan sosial aslinya seperti keluarga dan
extended family. Tidak adanya family support ini
memunculkan stres pada karyawan. Penelitian ini
berlangsung dikota Salatiga, Jawa Tengah di mana
pekerja lazimnya memiliki konteks sosial pendukung.
Bilamana konteks sosial itu berubah seperti dikota
besar di mana masyarakat pekerja hidup dari dan
untuk dirinya sendiri tanpa dukungan sosial dan
coping mechanism, maka intervensi organisasi
diperlukan. Hal ini mengindikasikan bahwa flexible
working menjadi solusi ditempat-tempat yang tidak
memungkinkan untuk coping mechanism. Namun,

70
untuk menerapkan intervensi flexible working dapat
dilakukan jika adanya kelonggaran terhadap faktor-
faktor hambatan pada gambar 1 dan diperlukan
pelaku-pelaku yang adaptif terhadap realitas
perubahan dan perkembangan kebutuhan pekerja
dalam organisasi.